• Tidak ada hasil yang ditemukan

OLEH CHELSIE IREINE FINKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OLEH CHELSIE IREINE FINKA"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN

RESILIENSI PADA REMAJA YANG TERLAHIR DALAM

KELUARGA MISKIN DI DESA JONGIN KABUPATEN

TOLITOLI SULAWESI TENGAH

OLEH

CHELSIE IREINE FINKA 802014119

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN

RESILIENSI PADA REMAJA YANG TERLAHIR DALAM

KELUARGA MISKIN DI DESA JONGIN KABUPATEN

TOLITOLI SULAWESI TENGAH

Chelsie Ireine Finka Berta Esti A. Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

Abstrak

Remaja yang terlahir dalam keluarga miskin dapat bangkit dari kemiskinan dengan cara meningkatkan resiliesi. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan resiliensi yaitu kecerdasan spiritual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan spiritual dengan resiliensi pada remaja yang terlahir dalam keluarga miskin di Desa Jongin Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah. Jumlah partisipan dalam penelitian ini sebanyak 39 orang dengan Teknik pengambilan data menggunakan teknik accidental sampling. Variabel resiliensi diukur dengan skala resiliensi yang diadaptasi dari Resilience Quetiont (RQ) dan skala Kecerdasan Spiritual diukur dengan skala Spiritual Intelligenci Self-Report Inventory (SISRI-24). Data dianalisis menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson. Koefisien korelasi yang diperoleh sebesar r= 0,422 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) sehingga dapat disimpulkan, ada hubungan postif dan signifikan antara kecerdasan spiritual dengan resiliensi pada remaja yang terlahir dalam keluarga miskin di Desa Jongin Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah. Makin tinggi kecerdasan spiritual, maka makin tinggi resiliensi dan makin rendah perilaku kecerdasan spiritual, maka makin rendah resiliensi.

(9)

ii

Abstract

Teenagers who were born in poor family can rise from poverty by increasing resilience. One of factors which can improve the resilience is spiritual intelligence. This research is aimed at understanding relationship between spiritual intelligence and resilience of teenagers born in poor family in Jongin Village, Tolitoli Regency, Central Sulawesi. There are 39 participants in this research, and data collecting technique uses accidental sampling technique. Resilience variable is measured with resilience scale adapted from Resilience Quotation (RQ) and Spiritual Intelligence scale is measured with scale of Spiritual Intelligence Self-Report Inventory (SISRI-24). The data is analyzed with correlation technique of Product Moment Pearson. Correlation coefficient is r = 0.422 with significance 0.000 (p < 0,05), so it can be concluded that there is positive relationship and significance between spiritual intelligence and resilience of teenagers born in poor family in Jongin Village, Tolitoli Regency, Central Sulawesi. The higher spiritual intelligence, the higher resilience will be; and the lower spiritual intelligence, the lower resilience will be.

(10)

1

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga merupakan tempat pertama individu belajar banyak hal, baik itu secara verbal maupun nonverbal. Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial diri tiap anggota keluarga (Duval dan Logan, 1986 dalam Setiadi, 2008). Dalam keluarga pastinya terdapat satu atau lebih individu yang merupakan seorang ayah, ibu, dan anak. Keluarga dapat dibedakan berdasarkan status ekonominya.

Keluarga dapat dibedakan berdasarkan status sosial mereka dalam masyarakat. Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat. Status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan keluarga memadai akan menunjang tumbuh kembang anak. Karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun skunder (Soetjiningsih, 2004 dalam Suwarni, 2015). Status ekonomi adalah kedudukan seseorang atau keluarga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Status ekonomi dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang pokok (Kartono, 2006).

(11)

Kemiskinan adalah kondisi keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak seperti keterbatasan dalam pendapatan, keterampilan, kondisi kesehatan, penguasaan aset ekonomi, ataupun akses informasi. Pengukuran ini bersifat materi atau pendekatan moneter. Pengukuran dengan pendekatan moneter dapat dilakukan dengan menggunakan data pengeluaran sebagai pendekatan pendapatan rumah tangga. Kemudian data pengeluaran ini diperbandingkan dengan suatu batas nilai tukar rupiah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Batas ini sering disebut sebagai garis kemiskinan. Penduduk yang pengeluarannya lebih kecil daripada garis kemiskinan ini disebut penduduk miskin. Pemerintah menggunakan garis kemiskinan berdasarkan ukuran dari BPS yang dihitung berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (SUSENAS).

Di Indonesia, berdasarkan data dari badan pusat statistik Indonesia pada bulan Maret 2016 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,01 juta orang (10,86%). Kemiskinan didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan nonmaterial yang diterima oleh seseorang (Suharto dkk, 2004). Presentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2015 sebesar 8,22% turun menjadi 7,79% pada Maret 2016. Sementara presentase penduduk miskin di daerah perdesaan naik dari 14,09% pada September 2015 menjadi 14,11% pada Maret 2016.

(12)

Selama periode September 2015–Maret 2016, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 0,28 juta orang (dari 10,62 juta orang pada September 2015 menjadi 10,34 juta orang pada Maret 2016), sementara di daerah perdesaan turun sebanyak 0,22 juta orang (dari 17,89 juta orang pada September 2015 menjadi 17,67 juta orang pada Maret 2016). Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pada tahun 2017, pendataan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia mendapatkan hasil bahwa pada bulan September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 %), berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang sebesar 27,77 juta orang (10,64%). Presentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2017 sebesar 7,72% turun menjadi 7,26% pada September 2017. Sementara presentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2017 sebesar 13,93% turun menjadi 13,47% pada September 2017. Selama periode Maret 2017–September 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 401,28 ribu orang (dari 10,67 juta orang pada Maret 2017 menjadi 10,27 juta orang pada September 2017), sementara di daerah perdesaan turun sebanyak 786,95 ribu orang (dari 17,10 juta orang pada Maret 2017 menjadi 16,31 juta orang pada September 2017). Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis

(13)

Kemiskinan pada September 2017 tercatat sebesar 73,35%. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi Maret 2017 yaitu sebesar 73,31%.

Salah satunya di desa Jongin Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Di desa tersebut terdapat 68 kepala keluarga yang kebanyakan merupakan masyarakat asli suku pedalaman yang masih banyak tinggal di pegunungan. Penduduk di desa tersebut mayoritas bergantung pada hasil alam dan masih sering menerima bantuan dari pemerintah maupun dari orang-orang yang berbaik hati untuk memberikan bantuan. Mayoritas anak-anak di desa tersebut hanya bersekolah sampai pada jenjang SMP karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah, namun ada beberapa anak yang disekolahkan oleh orang-orang yang hidup berkecukupan sehingga bisa meneruskan pendidikan sampai jenjang yang tinggi. Anak-anak yang masih SDpun hanya memiliki 1 buku tulis untuk semua mata pelajaran dan tidak menggunakan sepatu. Di desa tersebut kebanyakan rumahnya hanya terbuat dari papan dan berukuran sangat kecil bahkan untuk kamar mandi dan toiletnyapun terpisah cukup jauh dari rumah serta dipakai untuk dua atau tiga kepada keluarga secara bergantian.

Kemiskinan di Indonesia merupakan faktor risiko yang memiliki dampak cenderung berkepanjangan dan kompleks. Dampak kemiskinan yang berkepanjangan ditunjukkan dengan situasi-situasi yang secara kontinu dihadapi oleh individu, yang mengakibatkan kompleksitas dampak kemiskinan tersebut akan semakin menyebar ke berbagai dimensi. Kemiskinan memiliki resiko bagi perkembangan fisik, sosioemosional dan kognitif yang sehat dalam sebuah keluarga (Evans, 2004). Hal tersebut tidak

(14)

hanya mempengaruhi orang tua namun juga dapat mempengaruhi anak yang terlahir dalam keluarga dengan status sosial rendah atau miskin. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan pendapatan rendah secara signifikan lebih cenderung mengalami berbagai masalah dan hasil perkembangan yang buruk dibandingkan anak-anak dari keluarga kaya. Greg Duncan dari Universitas Northwestern dan Jeanne Brooks Gunn dari Universitas Columbia (2000) telah merangkum temuan penelitian ekstensif yang memperkuat hubungan signifikan antara kemiskinan dan kesehatan anak-anak, perkembangan kognitif, masalah perilaku, kesejahteraan emosional, dan masalah dengan prestasi sekolah. Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga miskin akan sangat mempengaruhi perkembangan anak tersebut apalagi ketika anak tersebut tiba pada fase remaja yang merupakan fase yang paling rentan dalam pertumbuhan seorang anak.

Remaja merupakan salah satu periode dalam perkembangan anak. Kata remaja (adolescence) berasal dari kata adolescere (Latin) yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Istilah kematangan di sini meliputi kematangan fisik maupun sosial psikologis. Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi konseptual tentang remaja, yang meliputi kriteria biologis, psikologis, dan sosial-ekonomi. Menurut WHO remaja adalah suatu masa disaat: a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual (kriteria biologis), b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa (kriteria psikologis), c. Terjadi peralihan dan ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih

(15)

mandiri (kriteria sosial-ekonomi). Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, sehingga remaja dapat mempercayakan masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakannya dengan orang tua maupun guru (Hurlock, 1993 dalam Nisfiannaoor dan Kartika, 2004 ).

Masa remaja ini merupakan masalah tersulit dalam tahap perkembangan dikarenakan masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Hubungan nyata antara kemiskinan dan permasalahan psikologis pada remaja yang tumbuh dalam kemiskinan memiliki risiko lebih tinggi menghadapi masalah-masalah psikologis (M. Iqbal, 2001:9). Oleh karena itu, dalam tahap ini remaja masih sangat labil sehingga banyak hal yang dapat mempengaruhi remaja dalam melakukan banyak hal, apalagi di zaman yang modern seperti saat ini, banyak remaja yang hidup mengikuti tren masa kini dan banyak pula remaja yang tidak bisa mengikuti trend masa kini dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang rendah. Hal tersebut dapat menjadi pengaruh negatif bagi remaja, karena remaja akan mengikuti pola kehidupan orang-orang atau teman-teman sebaya yang hidup mengikuti tren masa kini dan hal tersebut bisa saja mempengaruhi cara beradaptasi seorang remaja dalam menjalani kehidupan di zaman modern seperti saat ini.

Untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan yang memiliki status sosial rendah di tengah zaman yang semakin modern dibutuhkan suatu kekuatan. Dalam hal ini merupakan kekuatan yang menuntut remaja untuk dapat bangkit dan keluar dari kenyataan bahwa hidup mereka tidak harus seperti remaja lain yang hidup mengikuti zaman akan tetapi dengan ekonomi yang rendah mereka

(16)

tetap dapat hidup bahagia dan sukses seperti remaja lain yang hidup mengikuti tren masa kini. Kekuatan untuk tetap mampu bertahan dalam menghadapi, mengatasi, mempelajari kesulitan dalam hidup, dan bahkan ditransformasi oleh kesulitan tersebut dinamakan resiliensi (Grotberg, 2003).

Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich dan Shatte, 2002). Resiliensi merupakan faktor yang berperan penting untuk dapat bertahan dalam mengatasi masalah dan mempertahankan diri dalam situasi yang menekan, serta mampu beradaptasi dan belajar dalam situasi tersebut. Individu yang berhasil mengatasi situasi yang penuh dengan tekanan dikatakan memiliki tingkat resiliensi yang tinggi (Garmezy & Michael dalam Benard, 2004). Selain itu, menurut Rew, Horner & Aisha, (2014) mengatakan bahwa resiliensi sendiri adalah kemampuan individu dalam menghadapi berbagai masalah agar dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut serta dapat meningkatkan potensi diri setelah menghadapi situasi yang penuh tekanan. Grotberg (2000) menyatakan bahwa resiliensi

adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan.

Resiliensi sangat memberi pengaruh positif bagi individu karena resiliensi

dapat mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Individu yang dapat melakukan resiliensi dengan baik akan mampu mengatasi kesulitan dan trauma yang dihadapi. Mereka akan mampu melihat kegagalan

(17)

sebagai suatu kesempatan untuk menjadi lebih maju dan mampu menarik pelajaran dari kegagalan atau keterpurukan yang dialaminya dan menganggap bahwa itu semua bukanlah akhir dalam hidupnya. Mereka mampu menarik arti dari kegagalan atau keterpurukan yang dialaminya dan menjadikan hal tersebut sebagai batu loncatan untuk menjadi lebih baik. Sedangkan individu yang berada dalam keterpurukan atau kegagalan dan tidak memiliki resiliensi

akan terus hidup dalam “dunia” yang penuh dengan beban dan “gelap” dan selalu mempersepsikan kegagalan, keterpurukan atau masalah sebagai beban dalam hidupnya dan hal tersebut akan membuat mereka lebih mudah merasa terancam dan lebih cepat merasa frustasi.

Dalam mengembangkan resiliensi, banyak faktor yang dapat mempengaruhi salah satunya faktor lingkungan yang mencangkup spiritualitas dan agama. Seseorang yang memiliki agama dan mendalaminya maka akan memiliki spiritualitas yang baik yang akan menjadi pengendali kehidupan manusia dan kedalam pembinaan pribadi yang jika tertanam kuat maka semakin kuat pengaruhnya dalam pengendalian tingkah laku dan pembentukan sikap. Seseorang yang memiliki spiritualitas dan mampu dalam menghadapi dan memecahkan masalah serta mampu untuk mengendalikan tingkah laku dan sikap maka orang tersebut akan dikatakan memiliki kecerdasan spiritual. Kemampuan dalam menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna disebut dengan kecerdasan spiritual (Zohar dan Marshal, 2007)

(18)

King dan DeCicco (2009) menyatakan kecerdasan spiritual adalah sekumpulan kapasitas mental adaptif yang didasarkan pada aspek-aspek non material dan transenden dari realitas, secara khusus yang berhubungan dengan

critical existential thingking, personal meaning production, transcendental awareness, conscious state expansion. Kecerdasan spiritual merupakan modal spiritual individu, dengan model spiritual yang ada dalam diri seseorang akan mampu membangkitkan motivasi tinggi dalam memandang kehidupan, tidak lagi hanya memandang sebatas materi tetapi menjadikan hidup ini penuh arti dan makna yang lebih tinggi (Jauhari, 2007).

Beberapa penelitian yang mendukung diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Theresia dan Dewanti (2013) dalam Hubungan Kecerdasan Spiritual Dengan Resiliensi Pada Siswa Yang Mengikuti Program Akselerasi mengatakan bahwa ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan resiliensi

pada siswa yang mengikuti program akselerasi Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Malang, jika siswa memiliki kecerdasan spiritual yang baik maka siswa memiliki resiliensi yang baik pula. Selain itu, penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian yang dilakukan oleh Hakim. S (2011), Pratiwi. P (2009) dan Puspa. J (2005) menunjukan bahwa seorang yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik akan memiliki resiliensi yang baik pula. Penelitian mengenai kecerdasan spiritual dan resiliensi belum banyak dilakukan terlebih mengenai remaja yang terlahir dalam keluarga miskin. Sehingga penulis ingin menemukan adanya hubungan antara kecerdasan spiritual dan resiliensi pada remaja yang terlahir dalam keluarga miskin.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemiskinan

Menurut Suharto, dkk (2004) kemiskinan didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan nonmaterial yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Dalam menentukan rumah tangga miskin, BPS (Badan Pusat Statistik) menggunakan 14 variabel untuk menentukan apakah suatu rumah tangga layak dikategorikan miskin. Keempat belas variabel tersebut adalah: a. luas bangunan; b. jenis lantai; c. jenis dinding; d. fasilitas buang air besar; e. sumber air minum; f. sumber penerangan; g. jenis bahan bakar untuk memasak; h. frekuensi membeli daging, ayam, dan susu dalam seminggu; i. frekuensi makan dalam sehari; j. jumlah stel pakaian baru yang dibeli dalam setahun; k. akses ke puskesmas/poliklinik; l. akses ke lapangan pekerjaan; m. pendidikan terakhir kepala rumah tangga; dan n. kepemilikan beberapa aset.

Dalam pendataan sosial ekonomi tahun 2005 (PSE05) sebuah rumah tangga dikatakan miskin apabila: a. luas lantai bangunan tempat tinggalnya kurang dari 8 m2 per orang; b. lantai bangunan tempat tinggalnya terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; c. dinding bangunan tempat tinggalnya terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester; d. tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama rumah tangga lain

(20)

menggunakan satu jamban; e. sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; f. air minum berasal dari sumur/mata air yang tidak terlindung/sungai/air hujan; g. bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; h. hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; i. hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun; j. hanya mampu makan satu/dua kali dalam sehari; k. tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik; l. sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan; 13. pendidikan terakhir kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat sekolah dasar (SD)/hanya SD; dan m. tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000 seperti sepeda motor (kredit/nonkredit), emas, hewan ternak, kapal motor ataupun barang modal lainnya.

B. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Beberapa tokoh yang menjelaskan mengenai definisi resiliensi

diantaranya; Menurut Reivich. K dan Shatte. A (2002) yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya. Resiliensi merupakan kunci dari kesuksesan dan kepuasan hidup. Resiliensi yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja

(21)

individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan kerja, memiliki efek terhadap kesehatan individu tersebut secara fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan individu tersebut dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Semua hal-hal tersebut adalah faktor-faktor dasar dari tercapai kebahagiaan dan kesuksesan hidup seseorang. Menurut Grotberg (1999), resiliensi merupakan kunci sukses dalam pekerjaan dan mendapatkan kepuasan dalam hidup. Resiliensi akan mempengaruhi kesehatan fisik, kesehatan mental dan kualitas hubungan interpersonal. Keseluruhan hal ini merupakan komponen dasar dari kebahagiaan dan kesuksesan. Gutman, Sameroff dan Cole (2003), meyatakan bahwa istilah untuk kondisi sulit yang akhirnya menghasilkan suatu kesuksesan disebut

resiliensi. Resiliensi sangat penting dalam membantu individu untuk mengatasi segalah kesulitan yang muncul setiap hari. Resiliensi merupakan kualitas personal yang memampukan individu untuk berkembang dengan baik saat diperhadapkan pada tekanan hidup (Connor Davidson, 2003). Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bangkit dan dapat menyesuaikan serta beradaptasi dari keterpurukan dan kegagalan yang dihadapi dan menjadi individu yang lebih baik.

2. Aspek-aspek Resiliensi

Aspek-aspek resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002). Aspek-aspek resiliensi tersebut meliputi:

a. Emotion regulation (pengendalian emosi). Pengendalian emosi diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengatur emosi sehingga tetap tenang

(22)

meskipun berada dalam situasi di bawah tekanan. Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stress yang dialami oleh individu.

b. Impulse control (pengendalian impuls). Kontrol terhadap impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan impuls atau dorongan-dorongan dalam dirinya. Kemampuan mengontrol impuls akan membawa kepada kemampuan berpikir yang jernih dan akurat. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk relaksasi dan membuat diri kita berada dalam keadaan tenang, yaitu dengan mengontrol pernapasan, relaksasi otot serta dengan menggunakan teknik positive imagery, yaitu membayangkan suatu tempat yang tenang dan menyenangkan.

c. Optimism (optimis). Optimis berarti individu memiliki kepercayaan bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan dan kontrol atas harapannya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang (Reivich & Shatte, 2002).

(23)

d. Causal analysis (analisis penyebab masalah). Kemampuan menganalisis masalah pada individu yang dapat dilihat dari bagaimana individu mengidentifikasi sebab-sebab dari permasalahan yang menimpanya secara akurat.

e. Empathy (empati). Empati merupakan kemampuan individu untuk bisa membaca dan merasakan bagaimana perasaan dan emosi orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002).

f. Self efficacy (efikasi diri). Efikasi diri adalah kepercayaan individu bahwa individu mampu untuk mengatasi segala permasalahan disertai keyakinan akan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi permasalahan – permasalahan tersebut. Reivich dan Shatte (2002) juga mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil

g. Reaching out (kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan). Aspek ini menggambarkan keberanian individu untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya sehingga tidak menghambat individu untuk meraih apa yang diinginkannya.

(24)

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi

a. Faktor Resiko (risk factor)

Kaplan (1999:36) mendefinisikan faktor resiko sebagai “prediktor awal” suatu hasil yang tidak menguntungkan. Rutter (1987, 1990) mendefinisikan faktor resiko sebagai variabel yang mengarah langsung pada patologi atau ketidakcocokan. Meskipun demikian faktor risiko mewakili proses dan mekanisme yang mendasari yang mengarah pada suatu masalah. Luthar (1999) juga mengemukakan bahwa faktor risiko adalah mediator atau variabel yang memudahkan terjadinya perilaku yang bermasalah. Penjelasan serupa dikemukakan oleh Estanol (2009) yang mengatakan bahwa faktor risiko sebagai stressor yang dihadapi individu dalam situasi tertentu yang mengarah pada hasil dan kondisi kesengsaraan. Beberapa contoh faktor resiko misalnya: pola asuh masa kecil yang buruk, hubungan yang buruk dengan sesama kejadian hidup yang buruk, peperangan dan bencana alam (Herman, dkk 2011).

b. Faktor Protektif

Faktor protektif biasanya dipandang sebagai tindakan kompensasi (dengan mengurangi risiko secara langsung) atau cara penyangga (dengan berinteraksi dengan risiko atau hasil) (Cicchetti and Toth 1998, Freitas and Downey 1998, Pollard et al., 1999). Dalam diskusi tentang ketahanan individu, Garmezy (1991) mengidentifikasi sekumpulan kategori faktor pelindung yang sejak saat itu dikutip secara luas: (a) atribut disposisi anak (termasuk temperamen dan kecerdasan); (b) kohesi keluarga dan kehangatan; dan (c) ketersediaan dan penggunaan sistem pendukung

(25)

eksternal oleh orang tua dan anak-anak. Rutter (1990) mengusulkan empat rute potensial melalui mana variabel pelindung bertindak untuk mengubah efek buruk dari variabel risiko: (a) pengurangan dampak variabel risiko; (b) pengurangan rantai kejadian negatif; (c) pengembangan atau pemeliharaan harga diri / self-efficacy; dan (d) membuka peluang baru. Luthar dan Rutter (dalam Estanol, 2009) menyetujui bahwa faktor protektif adalah hal-hal memberikan bantuan pada individu yang mengalami tingkatan stress yang tinggi untuk menjaga atau meningkatkan fungsi mereka dibandingkan menunjukkan psikopatologi atau masalah serius lainnya.

Selain itu, Hermann, dkk (2011) mengemukakan 3 faktor yang mempengaruhi resiliensi:

1. Faktor personal

Terdiri dari ciri kepribadian individu, penguasaan diri, penghargaan diri, spiritualitas dan penilaian kognitif.

2. Faktor Biologis

Mengaitkan resiliensi dengan sistem kerja otak manusia, dimana pengasuhan awal yang kasar dapat berdampak buruk bagi perkembangan.

3. Faktor Lingkungan

Terbukti adanya hubungan antara resiliensi dengan dukungan sosial yang biasanya berasal dari teman, keluarga, guru dan orang-orang di sekitar. Faktor lingkungan, jika dilihat dari sistem yang lebih besar seperti pelayanan masyarakat, budaya, agama.

(26)

C. Kecerdasan Spiritual

1. Pengertian Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual pertama kali diperkenalkan oleh Zohar dan Marshall pada akhir abad kedua puluh. Mereka mengamati pengalaman dari Mats Lederhausen yang merupakan seorang professional muda. Namun Mats Laderhausen menghadapi dilemma karir, sehingga Zohar dan Marshall menganggap Mats sebagai sosok pekerja yang memiliki hati nurani, sehingga mereka menganggap bahwa kecerdasan tersebut memiliki dimensiyang lebih dalam lagi. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain (Zohar dan Marshall, 2003).

Spiritual Quotient (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan intelligence quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ) secara efektif. SQ dapat menjadikan kita makhluk yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah suatu kemampuan untuk memecahkan persoalan makna dan nilai dalam kehidupan. Kecerdasan ini dicirikan dengan adanya kemampuan untuk memaknai hubungannya dengan dunia internal maupun eksternal. Wolman (dalam Amran & Dryer, 2008) mendefiniskan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan manusia untuk mengajukan pertanyaan tertinggi tentang makna hidup, dan secara bersamaan mengalami koneksi tanpa batas antara

(27)

masing-masing dari dirinya dan dunia tempat ia hidup. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan seseorang untuk dapat menempatkan makna hidup secara lebih luas dan mampu membangun kembali hidupnya kepada keadaan yang lebih utuh.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual

Aspek-aspek kecerdasan spiritual menurut King & DeCicco (2009)

a. Critical exixtential thinking

Kapasitas untuk secara kritis merenungkan sifat dari keberadaan, realitas, alam semesta, ruang, waktu, kematian, dan isu-isu eksistensial atau metafisika. Critical thinking dapat menjadikan individu terampil konseptualisasi; menerapkan, menganalisa dan mengevalusai informasi yang dikumpulkan dari observasi, pengalaman, refleksi, penalaran atau komunikasi.

b. Personal meaning production

Kemampuan untuk memperoleh makna pribadi dan tujuan dari semua pengalaman fisikal dan mental, termasuk kapasitas untuk membuat keputusan dan menguasai kehidupan sesuai dengan tujuan hidup.

c. Transcendental awareness

Kemampuan untuk mengidentifikasi dimensi transenden dari diri sendiri, orang lain dan dunia fisikal yang disertai dengan kemampuan untuk mengidentifikasi hubungan semua itu dengan diri sendiri dan orang lain secara fisikal dalam kondisi kesadaran normal.

(28)

Kemampuan untuk masuk dan keluar kepada keadaan kesadaran spiritual yang lebih tinggi atas kebijaksanaan pribadi perenungan yang dalam atau refkesi, meditasi, doa dan sebagainya.

D. Hubungan Kecerdasan spiritual dengan resiliensi

Resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich & Shatte, 2002). Dalam mengembangkan resiliensi, banyak faktor yang dapat mempengaruhi di antaranya yaitu 3 faktor yang dikemukakan oleh Hermann, dkk (2011) yaitu faktor personal, faktor biologi dan faktor lingkungan. Dalam faktor personal dikatakan bahwa spiritualitas memberi pengaruh terhadap resiliensi. Agama dan nilai nilai moral akan menjadi pengendali kehidupan manusia dan ke dalam pembinaan pribadi yang jika tertanam kuat maka semakin kuat pengaruhnya dalam pengendalian tingkah laku dan pembentukan sikap. Kemampuan dalam menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna disebut dengan kecerdasan spiritual (Zohar dan Marshal, 2007).

King dan DeCicco (2009) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah sekumpulan kapasitas mental adaptif yang didasarkan pada aspek-aspek nonmaterial dan transenden dari realitas, secara khusus yang berhubungan dengan critical existential thinking, personal meaning production,

(29)

transcendental awareness dan conscious state expansion. Melalui aspek

critical thinking individu dapat mengambil simpulan mengenai pribadi tentang keberadaannya dan realita. Critical thinking dapat menjadikan individu terampil konseptualisasi; menerapkan, menganalisa dan mengevalusai informasi yang dikumpulkan dari observasi, pengalaman, refleksi, penalaran atau komunikasi (King dan DeCicco, 2009). Tingginya kecerdasan spiritual dalam diri individu akan mengakibatkan individu memiliki kemampuan

resiliensi yang baik karena mampu untuk mengenali realita yang ada karena mampu untuk berpikir kritis.

Melalui aspek personal meaning production individu dapat menemukan makna hidup yang sebenarnya tanpa memandang pahit kehidupan yang sedang dijalani. Personal meaning dapat diartikan sebagai kemampuan memiliki tujuan dalam hidup, memiliki arah, ketertiban dan alasan keberadaan (Reker, dalam King dan DeCicco, 2009). Dalam aspek ini individu dapat mengambil keputusan dan menguasai kehidupan sesuai dengan tujuan hidup yang sedang dijalani dan menjadikan sikap yang kurang bersyukur akan kehidupan menjadi bersyukur dan menerima kehidupan yang sedang dia jalani sehingga dapat menjadikan individu menjadi semangat untuk menjalani hidup dan bangkit dari perasaan-perasaan yang suram akan kehidupannya.

Aspek transcendental awareness dapat memberikan kesuksesan pada individu karena individu mampu bergerak melalui batas-batas yang membatasi pribadi mereka dengan mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan yang lebih besar lagi (King dan DeCicco, 2009). Sehingga individu akan memiliki

(30)

dan mampu melangkah keluar untuk mengalahkan keterpurukan dengan berbagai macam cara yang mereka buat sesuai dengan tujuan hidup mereka.

Aspek conscious state expansion merupakan kemampuan individu untuk dapat masuk dan keluar kepada kesadaran spriritual yang lebih tinggi dan mampu merenungkan kehidupan yang sedang mereka jalani dan mampu mengambil makna dari kehidupan tersebut (King dan DeCicco, 2009). Melalui aspek ini, individu dapat menempatkan dan memanfaatkan spiritual mereka dengan baik sebagai suatu landasan dalam melakukan tindakan untuk menjalani kehidupan yang terpuruk. Individu yang seperti ini akan memiliki

resiliensi yang baik karena mampu merubah cara pandang mengenai kehidupan mereka dan akan mampu melakukan tindakan yang benar sehingga dapat keluar dari keterpurukan yang dialami.

Selain itu, hubungan kecerdasan spiritual dengan resiliensi juga dapat dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Theresia & Dewanti (2013) mahasiswa Universitas Merdeka Malang yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara kecerdasan spiritual dengan resiliensi dengan hasil perhitungan dan analisis data dengan menggunkan teknik Product Moment, diperoleh indeks korelasi (rxy) = (0,687). Untuk mengetahui signifikansinya peneliti membandingkan dengan nilai rtabel. Dari tabel r, untuk N = 55 pada taraf signifikansi 5% diperoleh nilai rtabel sebesar 0,266, maka diperoleh perbandingan rhitung (0,687) > rtabel (0,266) berarti rhitung lebih besar dari rtabel.

(31)

E. Hipotesis

Berdasarkan teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu terdapat hubungan antara kecerdasan spiritual dan resiliensi.

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan ini dipilih karena peneliti mengolah data dalam bentuk angka-angka ke dalam analisis statistik. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian korelasi.

B. Variabel Penelitian

Penelitian ini merupakan studi korelasi dengan tujuan untuk mengetahui hubungan diantara dua variabel. Variabel dalam penelitian ini antara lain: Variabel terikat : Resiliensi

Variabel bebas : Kecerdasan Spiritual

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini yaitu remaja yang tinggal dalam keluarga miskin di Desa Jongin, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Dengan Kriteria remaja berumur 12-21 tahun, berada dalam keluarga miskin, tinggal di rumah yang kurang layak, masih sering mendapatkan bantuan. Pengambilan sampel menggunakan teknik accindental sampling sehingga subjek dalam penelitian ini berjumlah 39 orang.

(32)

D. Teknik Pengumpulan Data

Setiap penelitian selalu menggunakan alat pengumpulan data yang disusun dan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Adapun metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data adalah Metode Angket. Metode angket ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang resiliensi dan kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh individu.

Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Resiliensi

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur resiliensi adalah skala

resiliensi yang diadaptasi dari Resilience Quetiont (RQ) yang diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (2002). Item-item dalam skala ini disusun berdasarkan tujuh aspek resiliensi oleh Reivich dan Shatte (2002) yaitu emotion regulation, impuls control, optimism, causal analysis, empathy,

self efficacy, reaching out. Skala ini terdiri dari 56 item.

Skala resiliensi ini menggunakan skala Likert. Alat ukur telah diuji dengan tingkat reliabilitas 0,63 serta uji validitas sebesar 0.72. Dalam penelitian ini, ada 33 item yang gugur sehingga hanya tersisa 23 item valid dengan masing-masing aspek terwakili diantaranya emotion regulation 4 item, impulse control 5 item, optimism 3 item, causal analysis 2 item,

empathy 3 item, self efficacy 3 item dan reaching out 3 item. Penelitian ini memiliki reliabilitas Alpha’s Cronbach sebesar 0.844 dengan item korelasi bergerak dari 0,253 sampai 0,496. Dalam skala ini mengukur resiliensi

menurut subjek dari yang paling tidak mendekati sampai paling mendekati sikap subjek. Penilaian dinilai dengan empat tingkat dari nilai paling

(33)

rendah yaitu: sangat tidak sesuai(1), tidak sesuai(2), sesuai(3), sangat sesuai(4). Nilai paling rendah menggambarkan bahwa pernyataan yang ada sangat tidak sesuai dengan diri subjek.

2. Skala Kecerdasan Spiritual

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat ukur kecerdasan spiritual menggunakan skala Spiritual Intelligenci Self-Report Inventory (SISRI-24). Skala ini diadaptasi oleh penulis berdasarkan skala dari King and DeCicco (2009) yaitu SISRI-24 yang berisi 24 item berdasarkan aspek critical exixtential thingking, personal meaning production, transcendental awareness, conscious state expansion. Alat ukur telah diuji dua kali dalam jangka waktu empat bulan dengan subskala individu CET, PMP, TA, dan CSE menunjukkan koefisien Alpha’s Cronbach yang memadai masing-masing sebesar 0,78, 0,78, 0,87, dan 0,91. Korelasi antar-item rata-rata adalah 0,34, dengan reliabilitas split-half pada level 0,91. Pada penelitian ini ada 10 item yang gugur sehingga hanya tersisa 14 item valid dengan masing-masing terwakili diantaranya

critical exixtential thinking 4 item, personal meaning production 3 item, transcendental awareness 4 item, dan conscious state expansion 3 item. Penelitian ini memiliki tingkat reliabilitas Alpha’s Cronbach sebesar 0,789 dengan item korelasi bergerak dari 0,346 sampai 0,675.

Skala ini menggunakan skala likert dengan alternatif pilihan jawaban yang tersedia, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Adapun skoring yang digunakan dalam skala

(34)

ini yaitu 1 untuk sangat tidak setuju, 2 untuk tidak setuju, tiga untuk setuju dan 4 untuk sangat setuju.

E. Teknik Analisa Data

Analisis data dimaksudkan untuk menguji kebenaran hipotesis. Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi dan regresi sederhana. Peneliti menggunakan analisis korelasi product moment. Analisis korelasi product moment untuk penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS for windows versi 16.0.

HASIL PENELITIAN

A. Analisis Deskriptif

1. Resiliensi

Variabel Resiliensi memiliki item dengan daya diskriminasi yang baik dengan jenjang skor antara 1 sampai dengan 4. Pembagian interval dilakukan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Pembagian interval dilakukan dengan mengurangi jumlah skor tertinggi dikurangi jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori.

Tabel 1 Kriteria Skor Resiliensi

Kategori Interval % Frekuensi Mean Tinggi 69≤ x ≤92 71,7% 28 74,6 Sedang 46≤ x ≤69 28,2% 11

(35)

Data di atas menunjukkan tingkat resiliensi yang berbeda-beda. Pada kategori tinggi didapati presentasi sebesar 71,7%, kategori sedang 28,2% sedangkan kategori rendah hanya 0%. Dari nilai mean 74,6 menunjukkan bahwa rata-rata subjek berada pada kategori tinggi.

2. Kecerdasan Spiritual

Variabel ini juga memiliki daya diskriminasi yang baik dengan total skor 1 sampai dengan 4, serta pembagian kategori dibagi menjadi tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah.

Tabel 2 Kriteria Skor SQ

Data di atas menunjukkan tingkat kecerdasan spiritual yang berbeda-beda. Pada kategori tinggi didapati presentasi sebesar 56,4%, kategori sedang 43,5% dan kategori rendah mendapat presentasi sebesar 0%. Dari nilai mean 42,1 menunjukkan bahwa rata-rata subjek berada pada kategori sedang.

A. Uji Asumsi

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi antara kecerdasan spiritual dengan

resiliensi pada remaja yang terlahir dalam keluarga miskin.

Kategori Interval % Frekuensi Mean Tinggi 42 ≤ x ≤ 56 56,4% 22

42,1 Sedang 28 ≤ x ≤ 42 43,5% 17

(36)

1. Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov. Data berdistribusi normal jika angka signifikansi (sig > 0.05).

Tabel 3 Hasil Uji Normalitas Kecerdasan Spiritual dan Resiliensi One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Kolmogorov- smirnov Z

Sig

Resiliensi 0.756 0.617 Kecerdasan Spiritual 0,706 0,701

Berdasarkan hasil pengujian normalitas pada tabel 1.3 kedua variabel memiliki signifikansi lebih dari 0,05 (> 0,05). Variabel kecerdasan spiritual memiliki koefisien sebesar 0,706 dengan signifikansi sebesar 0.701 (p > 0,05). Sedangkan variabel resiliensi memiliki koefisien sebesar 0,756 dengan signifikansi sebesar 0,617 (p > 0,05). Dengan demikian kedua variabel dinyatakan berdistribusi normal.

(37)

2. Uji Linearitas

Tabel 4. Hasil Hasil Uji Linearitas ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square F Sig. resiliensi * SQ Between Groups (Combined) 1703.974 17 100.234 2.441 .027 Linearity 875.057 1 875.057 21.31 0 .000 Deviation from Linearity 828.917 16 51.807 1.262 .304 Within Groups 862.333 21 41.063 Total 2566.308 38

Tabel 5 Rangkuman Hasil Uji Linearitas Antara Kecerdasan Spiritual dengan Resiliensi

Sig Resiliensi dengan Kecerdasan

Spiritual

0.304

Data di atas menunjukkan bahwa penelitian ini dikatakan linier karena memiliki signifikansi di atas 0,05 yaitu 0,304

(38)

Berdasarkan uji asumsi yang telah dilakukan, diketahui bahwa data yang diperoleh berdistribusi normal dan variabel-variabel penelitian linier maka uji korelasi dilakukan dengan menggunakan statistic parametric. Uji korelasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah korelasi Pearson.

Tabel 6 Hasil Uji Korelasi Antara Kecerdasan Spiritual dengan Resiliensi

Pearson Corelation Sig Resiliensi dengan

Kecerdasan Spiritual

0,422 0.00

Hasil dari uji korelasi menujukkan adanya korelasi positif atau hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan spiritual dan relsiliensi dengan r = 0.422 dengan signifikansi sebesar 0.000 (p<0,05). Hal ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan adanya hubungan antara kecerdasan spiritual dengan resiliensi pada remaja yang berada dalam keluarga miskin diterima. Dengan demikian semakin tinggi kecerdasan spiritual maka semakin tinggi pula resiliensi.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka diperoleh hasil nilai koefisien korelasi sebesar r = 0,422 dengan signifikan sebesar 0,00 (p < 0.05) artinya ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan spiritual dengan

(39)

sebaliknya semakin rendah kecerdasan spiritual maka semakin rendah pula

resiliensi. Selain itu, dalam penelitian ini kedua varibel yang digunakan juga berdistribusi normal dan juga kedua variable linear.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Theresia dan Dewanti (2013) dalam hubungan kecerdasan spiritual dengan resiliensi pada siswa yang mengikuti program akselerasi mengatakan bahwa mengatakan adanya hubungan antara kecerdasan spiritual dengan resiliensi. Penelitian lain yang juga sesuai yaitu penelitian yang dilakukan oleh Hakim. (2011), Pratiwi. (2009) dan Puspa. (2005) menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik akan memiliki reiliensi yang baik pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Herman, dkk (2011) yang mengatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi. Menurut America Psychological Assosiation (dalam Djudiyah, 2011) menyatakan bahwa cara pandang diri negative terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga pada diri remaja akan berdampak pada perkembangan resiliensinya. Apabila remaja menganggap bahwa hidup ini kejam hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya menghadapinya maka akan menyababkan daya resiliensinya tidak berkembang atau cenderung rendah, namun bila remaja berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha menerima apa yang dimiliknya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat berkembang.

Berdasarkan hasil uji korelasi, SQ memberikan pengaruh berdasarkan aspek-aspek yang dimilikinya, seperti aspek-aspek Critical thinking dapat menjadikan individu terampil konseptualisasi; menerapkan, menganalisa dan mengevalusai informasi yang dikumpulkan dari observasi, pengalaman, refleksi, penalaran atau

(40)

komunikasi (King dan DeCicco, 2009). Sehingga individu yang mampu untuk bersikap dan berpikir kritis akan cenderung memiliki resiliensi yang tinggi. Begitu juga dengan aspek personal meaning production, pada aspek ini individu dapat menemukan makna hidup yang sebenarnya tanpa memandang pahit kehidupan yang sedang dijalani. Personal meaning dapat diartikan sebagai kemampuan memiliki tujuan dalam hidup, memiliki arah, ketertiban dan alasan keberadaan (Reker, dalam King dan DeCicco, 2009). Sehingga individu yang dalam hidupnya memiliki tujuan dan arah serta tidak memandang pahitnya suatu kehidupan dapat dikatakan memiliki resiliensi yang tinggi.

Begitu juga dengan aspek transcendental awareness, berdasarkan aspek ini, individu dapat memberikan kesuksesan pada dirinya karena individu mampu bergerak melalui batas-batas yang membatasi pribadi mereka dengan mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan yang lebih besar lagi (King dan DeCicco, 2009). Oleh karena itu, individu yang mampu melihat lebih luas bagaimana kehidupannya dan mampu untuk berjalan keluar dari “zona nyaman” berarti memiliki resiliensi yang tinggi. Sama halnya dengan aspek ke empat yaitu aspek conscious state expansion merupakan kemampuan individu untuk dapat masuk dan keluar kepada kesadaran spriritual yang lebih tinggi dan mampu merenungkan kehidupan yang sedang mereka jalani dan mampu mengambil makna dari kehidupan tersebut (King dan DeCicco, 2009). Individu yang mampu merenungkan kehidupan yang mereka jalani dan mampu dalam mengambil makna dalam kehidupannya akan cenderung memiliki resiliensi yang tinggi.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual memberikan kontribusi terhadap resiliensi sebesar r2 38,9%. Hal ini berarti resiliensi tidak

(41)

hanya dipengaruhi oleh kecerdasan spiritual saja. Ada banyak faktor yang mempengaruhi resiliensi diantaranya seperti yang dikatakan oleh Hermann, dkk (2011) mengemukakan 3 faktor yang mempengaruhi resiliensi: Faktor personal, terdiri dari ciri kepribadian individu, penguasaan diri, penghargaan diri, spiritualitas dan penilaian kognitif. Faktor Biologis, mengaitkan resiliensi dengan sistem kerja otak manusia, dimana pengasuhan awal yang kasar dapat berdampak buruk bagi perkembangan dan Faktor Lingkungan.

Seseorang yang memiliki agama dan mendalaminya maka akan memiliki spiritualitas yang baik yang akan menjadi pengendali dalam kehidupan manusia dan seseorang yang memiliki spiritualitas dan mampu dalam menghadapi berbagai persoalan dan dapat mengendalikan tingkah laku disebut memiliki kecerdasan spiritual. Oleh karena itu semakin tinggi kecerdasan sesorang dalam menempatkan makna hidupnya maka semakin tinggi pula resiliensi seseorang.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Jongin Kab. Tolitoli, Sulawesi Tengah tentang hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Resiliensi, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan spiritual dengan resiliensi pada remaja yang terlahir dalam keluarga miskin dengan r = 0,422 dan signifikansi sebesar 0,00 (p<0,05).

SARAN

1. Untuk remaja yang berada dalam keluarga miskin, agar bisa semakin mencerdaskan spiritualitas dalam diri masing-masing sehingga dapat semakin meningkatkan resiliensi.

(42)

2. Untuk penelitian selanjutnya dapat melihat hubungan resiliensi dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor-faktor biologis atau faktor-faktor personal dan juga dapat meneliti bagaimana caranya mengembangkan kecerdasan spiritual agar bias meningkatkan resiliensi.

DAFTAR PUSTAKA

Almedom, A. M., & Tumwine, J. K. (2008). Resilience to disasters: a paradigm shift from vulnerability to strength. African Health Sciences, 8 Suppl 1, S1-4.

Retrieved from

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3060724&tool=p mcentrez&rendertype=abstract

Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Badan Pusat Statistik. (2018, 2 Januari). Presentase Penduduk Miskin September

2017 Mencapai10,12 Persen. Diperoleh 14 Februari 2018. https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/01/02/1413/persentase-penduduk-miskin-september-2017-mencapai-10-12-persen.html.

Block, J., & Turula, E. (1963). Identification, Ego Control, and Adjustment. Child Development, 34(4), 945. https://doi.org/10.2307/1126537

Cahyani, Y. E., & Akmal, S. Z. (2017). Peranan Spiritualitas Terhadap Resiliensi

Pada Mahasiswa Yang Sedang Mengerjakan Skripsi. Psikoislamedia : Jurnal

Psikologi, 2(1), 32. https://doi.org/10.22373/psikoislamedia.v2i1.1822

Christensen, C. M., & Overdorf, M. (2002). Disruptive Change. Harvard Business Review, 80(April), 94–101. https://doi.org/10.1002/rwm3.20019

Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new Resilience scale: The Connor-Davidson Resilience scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18(2), 76–82. https://doi.org/10.1002/da.10113

Hammouri, K. A., & Abdulaziz A. S. (2016). Spiritual Intelligence and the Differences among Gifted and Non-gifted Students, According to Gender and Class Level. American Journal of Educational Research, 4(15), 1086–1095. https://doi.org/10.12691/education-4-15-6

Herrman, H., Stewart, D. E., Diaz-Granados, N., Berger, E. L., Jackson, B., & Yuen, T. (2011). What is resilience? Canadian Journal of Psychiatry, 56(5), 258–265. https://doi.org/10.1177/070674371105600504

(43)

Holland, R. (2013). Educating Urban At-Risk Students on Aspect s of Life Skills and Personal Management While enrolled at Borough of Manhattan Community College. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Isdijoso, W., Suryahadi, A., & Akhmadi. (2016). Penetapan Kriteria dan Variabel Pendataan Penduduk Miskin yang Komprehensif dalam Rangka Perlindungan Penduduk Miskin di Kabupaten / Kota. The SMERU Reaserch Institute. 1-25. http://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/cbms_criteria_ind.pdf Kalil, A. (2003). Family Resilience and Good Child Outcomes. A review of the

literature. New Zealend: Ministry of Social Development.

https://www.msd.govt.nz/documents/about-msd-and-our-work/publications-resources/archive/2003-family-resilience-good-child-outcomes.doc

King, D. B., & Decicco, T. L. (2009). A Viable Model and Self-Report Measure of Spiritual Intelligence. International Journal of Transpersonal Studies,

28(1), 68–85.

Mawarpury, M. & Mirza. (2017). Resilience in Family: Psychological Perspective. Jurnal Psikoislamedia, 2(April), 96–106.

Nay, T.O., & Dewanti, R. (2013). Hubungan Kecerdasan Spiritual Dengan

Resiliensi Pada Mahasiswa Yang Mengikuti Program Akselerasi. Jurnal Tabularasa. 8(2), 708-716.

Pasudewi, C. Y. (2012). Resiliensi Pada Remaja Binaan Bapas Ditinjau Dari Coping Stress. Journal of Sosial and Industrial Psychology, 2(1), 64–68. Rahmasari, L. (2012). Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan

Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan. Majalah Ilmiah INFORMATIKA, 3(1), 1–20.

Reivich, A. K., & Shatte. A. (2002). The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Strength and Overcoming Life’s Hurdles. Three Rivers press.

https://www.deeelliottconsulting.com/system/files/The%20Resilience%20Fa ctor.pdf

Rinaldi. (2010). Resiliensi pada masyarakat kota padang ditinjau dari jenis kelamin. Jurnal Psikologi, 3(2), 99–105.

Riza, M., & Herdiana, I. (2013). Resiliensi pada Narapidana Laki-laki di Lapas Klas 1 Medaeng. Jurnal Psikologi Kepribadian Dan Sosial, 2(1), 1–6.

Septiani, T., & Fitria, N. (2016). Hubungan Antara Resiliensi Dengan Stres Pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedinasan. Jurnal Penelitian Psikologi, 7(2), 59– 76.

(44)

Setyowati, A., Hartati, S., & Sawitri, D. R. (2010). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Resiliensi Pada Siswa Penghuni Rumah Damai. Psikologi Undip, 7(1), 67–77.

Sina, P. G., & Noya, A. (2012). Pengaruh Kecerdasan Spiritual Terhadap Pengelolaan Keuangan Pribadi. Jurnal Manajemen, 11(2), 171–188. https://doi.org/10.28932/jmm.v11i2.183

Sisca, H., & Moningka, C. (2008). Resiliensi Perempuan Dewasa Muda Yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual Di Masa Kanak-Kanak. Jurnal

Psikologi, 2(1), 61–69. Retrieved from

http://www.ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/viewFile/245/1 86

Soetjinigsih, C. H. (2012). Perkembangan anak: Sejak Pembuahan Sampai Dengan Kanak-kanak Akhir. Jakarta: Prenada

Stapleford, F. N. (1919). Causes of Poverty. The Public Health Journal, 10(4), 157–161. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/41975717

Sugiyono, (2011). Metode penelitian administrasi. Bandung: Alfabeta

Sukmawati, N. L. G., Herawati, N. T., & Sinarwati, N. K. (2014). Pengaruh etika profesi, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap opini auditor. E-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan

Ganesha, 2(1) 1-11.

https://www.google.co.id/search?q=54-2484-1-SM.pdf&oq=54-2484-1

SM.pdf&aqs=chrome..69i57.968j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8

Ulina, M. O., Kurniasih, O. I., & Putri, D. E. (2013). Hubungan Religiusitas dengan Penerimaan Diri pada Masyarakat Miskin. Jurnal Proceeding PESAT, 5, 17-22.

Uyun, Q. R. (2012). Sabar Dan Shalat Sebagai Model Untuk Meningkatkan Resiliensi di Daerah Bencana, Yogyakarta. Journal Psychology Intervention,

4(2), 253–267.

Yantiek, E. (2014). Kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual dan perilaku prososial remaja. Persona, Jurnal Psikoloi Indonesia, 3(1), 22–31.

Zohar, M., & Marshall, I. (2000). Spiritual Intelligence, The Ultimate

Intelligence. London: Bloomsburry Publishing, Inc.

https://books.google.co.id/books?id=bfhSGrIm7KIC&printsec=frontcover&h l=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false

Gambar

Tabel 1 Kriteria Skor Resiliensi
Tabel 2 Kriteria Skor SQ
Tabel  3  Hasil  Uji  Normalitas  Kecerdasan  Spiritual  dan  Resiliensi  One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Tabel 4. Hasil Hasil Uji Linearitas ANOVA Table  Sum of  Squares  df  Mean  Square  F  Sig
+2

Referensi

Dokumen terkait

tentang pendapatan daerah provinsi dari pajak kendaraan bermotor untuk memperolah informasi data Kode wilayah; Nama wilayah administrasi, Luas wilayah adminsitrasi;

Pada kelas kontrol yang tidak menggunakan strategi Information Search diperoleh nilai rata-rata hasil belajar biologi adalah 54,47 dengan nilai tertinggi 70 dan nilai terendah

dua kategori umum iaitu kandungan berbentuk fakta atau pengetahuan akademik dan kandungan bertujuan untuk pembentukan sahsiah atau peribadi pembaca. Penemuan ini

Oleh karena itu, jika disimpulkan substrat yang paling banyak untuk produksi enzim adalah jerami, hal tersebut jika dilihat dari total jumlah xilan dan selulosa

Padahal, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa penyakit menular seperti diftria, batuk rejan, polio, dan tetanus neonatorium dapat dicegah

1) kesediaan calon pemegang saham berupa lembaga keuangan bank untuk membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan Bank yang dimiliki, dalam hal Bank

Populasi penelitian ini adalah seluruh karyawan Hotel Grand Rocky Bukittinggi yang berjumlah 114 orang dan pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik

Sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik yaitu bahwa kita harus mengusahakan akibat- akibat baik sebanyak