• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman golongan myco ini berbentuk batang yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman golongan myco ini berbentuk batang yang"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kusta

2.1.1 Pengertian

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman golongan myco ini berbentuk batang yang yang tahan terhadap asam terutama asam alkohol dan oleh sebab itu disebut juga Basil Tahan Asam (BTA). Penyakit ini bersifat kronis pada manusia, yang bisa menyerang saraf-saraf dan kulit.. Bila dibiarkan begitu saja tanpa diobati, maka akan menyebabkan cacat –cacat jasmani yang berat. Namun, penularan penyakit kusta ke orang lain memerlukan waktu yang cukup lama tidak seperti penyakit menular lainnya. Masa inkubasinya adalah 2-5 tahun. Penyakit ini sering menyebabkan tekanan batin pada penderita dan keluarganya, bahkan sampai menggangu kehidupan sosial mereka.10

2.1.2 Epidemiologi Penyakit Kusta a. Distribusi Menurut Orang

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun, jika diamati dalam satu Negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, yaitu kejadian kusta lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu

(2)

atau India. Demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu.11

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Insiden rate penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak antara umur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.

Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.12

b. Distribusi Menurut Tempat dan Waktu

Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985 dengan prevalensi >1/10.000 penduduk, hanya tinggal 6 negara yang masih belum mencapai eliminasi di tahun 2005 yaitu : India, Brazil, Indonesia, Bangladesh, Congo, dan Nepal Antara tahun 1985 hingga 2005 lebih dari 15 juta penderita telah sembuh. Dan 222.367 kasus masih dalam pengobatan pada awal tahun 2006.

Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia menempati posisi ke-3 setelah India dan Brazil. Berdasarkan data kusta awal 2005 Indonesia menempati posisi ke-2 dengan angka prevalensi 0,9 per 10.000 penduduk. Di Indonesia, kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan prevalensi rate 1,76 per 10.000 penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah Bengkulu dengan prevalensi rate 0,17 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara untuk Sumatera Utara

(3)

prevalensinya adalah sebesar 0,23 per 10.000 jumlah penduduk. Penemuan kasus baru selama bulan Januari-Desember 2005 paling banyak ditemukan di Jawa Timur.12 c. Determinan

Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu di takuti. Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta dipengaruhi oleh host, agent, dan environment antara lain :

a. Faktor Daya Tahan Tubuh (host)

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan.

b. Faktor Kuman (agent)

Kuman dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.

c. Faktor Sumber Penularan (environment)

Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Baciler (MB). Penderita MB ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur. Penyakit ini dapat ditulrkan melalui pernafasan (droplet) dan kulit.13

(4)

2.2 Klasifikasi Penyakit Kusta

Tujuan klasifikasi ini untuk menentukan regimen pengobatan dan perencanaan operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe seperti klasifikasi menurut WHO (1998) yaitu:

a. Tipe PB (Pausibasiler)

Yang dimaksud dengan kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate) TT (Tuberculoid) dan BT (Boderline Tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Joplin dan hanya mempunyai jumlah lesi 1-5 pada kulit.

b. Tipe MB (Multi Basiler)

Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB (Mid Boderline), BL (Boderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Joplin dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smer positif.

Menurut Madrid klasifikasi kusta dibagi menjadi 4 yaitu : indeterminate, tuberculoid, borderline, dan lepromatosa. 13

(5)

2.2.1. Hubungan Lymphocyte dengan Type Kusta.(Ridley dan Joplin, 1996) LL BL BB BT T I 1. Indetermi nate ( I ) 2. Tuberculoid ( T )

Ly

m

phoc

yt

e

Type

3. Borderl ine Tuberculoid ( BT )

4. Borderl ine Borderl ine ( BB )

5. Borderl ine Lepromatous ( BL )

6. Lepromatous ( LL )

Penentuan klasifikasi berdasarkan pemeriksaan laboratorium (Bacteriological Index/BI).

Lapangan Pandang dengan pembesaran 100X 1+ 1 Bacil dalam 100 lapangan pandang 2+ 1 Bacil dalam 10 lapangan pandang 3+ 1 Bacil dalam tiap lapangan pandang 4+ 10 Bacil dalam tiap lapangan pandang 5+ 100 Bacil dlam tiap lapangan pandang 6+ 1000 Bacil dalam tiap lapangan pandang

Dari hasil pemeriksaan bakteri dengan mikroskop diatas maka kusta dapat di klasifikasikan menjadi : Tuberculoid Noneseen Boderline Tuberculoid 0 – 3+ Boderline Boderline 3 – 5+ Boderline Lepromatosa 5 – 6+ Lepromatosa Lepromatosa >6+

(6)

2.3 Cara Penularan Penyakit Kusta

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain secara langsung. Cara penularan penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit. Kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga berlangsung sampai bertahun-tahun.

Meskipun cara masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang paling sering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal. Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila kontak dengan penderita dalam waktu yang sangat lama.3,15

2.4 Diagnosa Penyakit Kusta

Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain. Sebaliknya penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan penderita.

Diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (gejala utama), yaitu :

(7)

a. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa sentuh, rasa suhu, dan rasa nyeri

b. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan fungsi motoris (paresis atau paralysis), dan gangguan fungsi otonom (kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu).

c. Ditemukan basil tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf.

Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.16

2.5 Pemeriksaan Penderita 1. Anamnesis

a. Keluhan penderita

b. Riwayat kontak dengan penderita

(8)

2. Inspeksi

Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit.

3. Palpasi

a. Kelainan kulit, nodus infiltrate, jaringan perut, ulkus, khususnya paa tangan dan kaki

b. Kelainana saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti : N.aurikularis magnus, N.ulnaris, dan N.peroneus. Petugas harus mencatat, adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah si penderita, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan sampai menyakiti atau penderita mendapat kesan kurang baik.

Cara pemeriksaan saraf :

3 Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan. 4 Membesar atau tidak

5 Bentuk bulat atau oval

6 Pembesaran regular (smooth) atau irregular, lumps, kerots 7 Perabaan keras atau kenyal

8 Nyeri atau tidak

Untuk mendapat kesan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak.

Cara pemeriksaan saraf tepi : 1. N. aurikularis magnus :

(9)

Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlihat akan terdorong oleh otot dibawahnya sehingga sudah dapat terlihat bila membesar. Dua jari pemeriksaan diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot, perabaan secara seksama akan menentukan jaringan seperti kabel atau kawat, bila ada penebalan. Jangan lupa membandingkan yang kiri dan kanan.

2. N. ulnaris :

Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak.

3. N. peroneus lateralis :

Pasien disuruh duduk dengan kedua kaki menggantung kemudian diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae biasanya sedikit ada ke posterior. Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan seperti terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut. Pada keadaan neuritis akut, sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang hebat.

4. Tes fungsi saraf a. Tes sensoris

 Rasa raba : dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa perasaan dengan menyinggung kulit. Yang diperiksa

(10)

harus duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bila mana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Tanda-tanda di kulit dan bagian-bagian kulit lain yang dicurigai, diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang tersangka diserang kusta. Bercak-bercak di kulit harus diperiksa ditengahnya dan jangan dipinggirnya.

 Rasa nyeri : diperiksa degan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan penderita harus mengatakan tusukan mana yang tumpul.

 Rasa suhu : dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas(sebaiknya 40C) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20C). kenudian mata penderita ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Bila penderita salah menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada

penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan test anhidrosis.

(11)

5. Komplikasi : dicari komplikasi

a. Pada mata, hidung, laring dan testis

b. Reaksi : nyeri saraf, eritema nodosum leprosum, iridosiklitis, tenosinovitis. c. Kerusakan saraf sensoris

d. Kerusakan saraf motoris e. Kerusakan saraf otonom 6. Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopik) berguna untuk : a. Membantu menentukan diagnosis penyakit

b. Membantu menentukan klasifikasi (tipe) penyakit kusta. c. Membantu menilai hasil pengobatan.

Ketentuan untuk lokasi sediaan :

a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling akut.

b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan kelainan kulit di tempat lain.

c. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan di tempat kelainan kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.

d. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa sediaan hapus dilakukan oleh orang yang berlainan. Hal ini untuk menjaga pengaruh gambaran klinis terhadap hasil pemeriksaan bakterioskopik.

e. Tempat yang sering diambil untuk sediaan hapus jaringan bagi pemeriksaan M.leprae adalah : cuping telinga, lengan, punggung, bokong, dan paha.

(12)

f. Jumlah pengambilan sediaan apus jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu : cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, dan bercak yang paling aktif.

g. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindarkan karena : tidak menyenangkan bagi penderita, positif palsu karena mikrobakterium lain, tidak pernah ditemukan M.leprae pada selaput lender hidung apabila sediaan hapus kulit negatif, pada pengobatan pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung negatif lebih dahulu daripada di kulit.

h. Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapus kulit : semua orang yang dicurigai menderita kusta, semua penderita baru yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita kusta, semua penderita kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman (resisten) kebal terhadap obat, dan semua penderita MB setahun sekali.3

2.6 Pencegahan Penyakit Kusta

Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi, insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu : pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier

(13)

2.6.1 Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal hygiene, pendidikan kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko untuk terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.11

2.6.2 Pencegahan Sekunder

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini serta penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit.

2.6.3 Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.

(14)

2.7. Pencegahan Kecacatan

M.leprae menyerang saraf tepi pada tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik, dan otonom.

Menurut WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta adalah :

a) Impairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik.

b) Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia.

c) Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment dan disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya.

Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :

a) Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M.leprae. yang termasuk cacat primer adalah cacat pada fungsi saraf sensorik, fungsi saraf motorik, dan cacat pada fungsi otonom serta gangguan refleks vasodilatasi.

b) Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anastesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.

(15)

Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :

a) Cacat pada tangan dan kaki :

Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis

b) Cacat pada mata :

Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)

Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu

Upaya pencegahan cacat terdiri atas :

a) Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi : - Pengobatan secara teratur dan adekuat - Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis - Diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksi b) Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :

- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka

- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur

- Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan

(16)

Perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.3,17

2.8. Penemuan dan Pengobatan Penderita Kusta 2.8.1. Penemuan Penderita

Dalam program pemberantasan penyakit kusta, penemuan penderita secara dini sangat penting untuk mencegah penularan dan timbulnya cacat pada penderita. Cara penemuan penderita kusta ada 2 (dua) yaitu :

a. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)

Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang belum pernah berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang lain ke sarana kesehatan. Hal ini tergantung dari pengertian dan kesadaran penderita itu sendiri untuk mendapatkan pengobatan. Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :

a) Tidak mengerti tanda dini kusta b) Malu datang ke Puskesmas

c) Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di Puskesmas d) Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh. b. Penemuan secara aktif

Kegiatan yang dilakukan dalam penemuan penderita secara aktif adalah : a) Pemeriksaan kontak serumah (Survei Kontak)

Dengan melakukan pemeriksaan kepada semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita. Pemeriksaan dilakukan minimal 1 tahun sekali, terutama ditujukan pada kontak tipe MB.

(17)

b) Pemeriksaan anak sekolah

Penderita pada usia dibawah 14 tahun atau anak Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak cukup banyak. Ini untuk mengantisipasi kemungkinan adanya penderita kusta pada anak dan mencegah terjadinya penularan di lingkungan sekolah.

c) Chase Survey

Mencari penderita baru sambil membina partisipasi masyarakat untuk mengetahui tanda-tanda kusta dini secara benar.

d) Survei Khusus

Survei ini dilakukan apabila suatu daerah dimana proporsi penderita MB minimal 60% dan dijumpai penderita pada usia muda cukup tinggi sesuai dengan perencanaan dan petunjuk dari Depkes yang sudah diadakan “Set Up” secara statistik oleh ahli statistik dari WHO.tahun 200013

2.8.2. Pengobatan Penyakit Kusta 2.8.2.1. Program MDT

Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika Kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal dengan rejimen MDT-WHO.(2001) Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifamfisin, dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi adapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus obat (drop-out rate) yang cukup tinggi pada masa

(18)

monoterapi dapson. Di samping itu juga diharapkan juga dengan MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman dalam jaringan.3,17

2.8.2.2. Obat Kusta Baru

Dalam pelaksanaan program MDT-WHO (2001) ada beberapa masalah yang timbul, yaitu : adanya persister, resistensi rifampisin, dan lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB, rejimen MDT-PB juga masih menimbulkan beberapa masalah, antara lain : masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan. Jika seorang penderita mempunyai resistensi ganda terhadap dapson dan rifampisin bersama-sama, tentunya hal ini akan membahayakan.3

Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini. Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral, dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Di antara yang sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.17

2.9. Program Pemberantasan Kusta

Untuk mencapai tujuan nasional eliminasi kusta pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan program pemberantasan kusta adalah dengan memutuskan rantai penularan untuk menurunkan insidens penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita dan mencegah timbulnya cacat.

(19)

2.9.1. Tujuan Program Jangka Panjang

a) Penemuan penderita sedini mungkin sehingga proporsi cacat tingkat 2 (dua) di antara penderita baru dapat ditekan serendah mungkin.

b) Meningkatkan pengobatan MDT sebagai obat standar bagi penderita terdaftar dan penderita baru.

c) Tercapainya 100% selesai pengobatan untuk PB dalam jangka waktu 9 bulan dan untuk MB 18 bulan dengan melakukan case holding yang ketat dan cermat.

d) Pembinaan pengobatan, agar penderita yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 9 bulan. Dan semua penderita MB yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 18 bulan sesuai Surat Edaran Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular langsung Departemen Kesehatan RI Nomor : KS.00.02.4.171

e) Mencegah cacat pada penderita yang telah terdaftar sehingga tidak akan terjadi cacat baru.

f) Melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit kusta, agar masyarakat memahami kusta yang sebenarnya dan mengurangi leprophobia. g) Pengawasan sesudah RFT (Release From Treatment) dengan memberikan

motivasi kepada semua penderita agar datang memeriksakan dirinya setiap tahun setelah selesai masa pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk tipe MB.

h) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam memenuhi kebutuhan program.13

(20)

2.9.2. Tujuan Program Jangka Pendek

Tujuan program kusta adalah menurunkan angka kesakitan penyakit kusta menjadi kurang dari 1/10.000 penduduk secara nasional pada tahun 2005, sehingga tidak lagi jadi masalah kesehatan masyarakat.13

2.9.3. Kebijaksanaan

a) Pelaksanaan program kusta diintegrasikan dalam kegiatan puskesmas b) Penderita kusta tidak boleh diisolasi

c) Pengobatan kusta dengan MDT sesuai dengan rekomendasi WHO diberikan secara gratis.13

2.10.Konsep Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dan yang dimaksud dengan perilaku pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berbicara, berjalan, menangis, tertawa, bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.18

(21)

2.11.. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan 2.11.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan manusia banyak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, terutama pengetahuan umum yang sangat bermanfaat untuk keperluan manusia sehari-hari. Setiap orang akan mempergunakan pengetahuan namun tidak tahu benar akan seluk beluk pengetahuan itu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.18

2.11.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belu merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.18

(22)

2.11.3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak-pihak lain.

Selanjutnya tingkat-tingkat tindakan secara teoritis adalah :

1. Persepsi (perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon terpimpin (guided respons), dalam melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar, sesuai dengan contoh adalah merupakan praktik indikator tingkat dua.

3. Mekanisme (mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat ketiga.

4. Adaptasi (adaptation), merupakan suatu tindakan yang sudah berkembang baik, artinya tindakan ini sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau beberapa bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.18

(23)

2.12. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Respon atau reaksi manusia baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun bersifat aktif/tindakan yang nyata (practice). Dengan demikian secara lebih terperinci perilaku kesehatan itu meliputi : 1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia

merespon, baik secara pasif maupun aktif yang dilakukan sehubungan dengan penyakit, dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit.  Perilaku sehubungan de peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health

promotion behavior)

 Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)

 Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeling behavior)

 Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior) 2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan

3. Perilaku terhadap makanan

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior)

Seorang petugas kesehatan berperilaku tertentu dalam mewujudkan keaktifannya disebabkan karena adanya dorongan yang menggerakkan hatinya agar berbuat sesuatu. Dorongan tersebut juga sebagai motif. Pada setiap petugas kesehatan motif dapat berbeda tergantung dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, kebutuhan dan senganbagainya.1

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan data citra satelit Terra dan Aqua MODIS yang divalidasi dengan data in situ air laut dari hasil survei lapangan, diharapkan nantinya dapat

Jangan bawa bola ke belakang kepala, karena dalam posisi tersebut susah untuk melakukan operan dengan cepat, dan mudah di curi oleh lawan, kaki melangkah ke depan sasaran, kumpulkan

kampung nelayan Tambak Lorok bahwa masih ada kesederhanaan yang tertinggal dan tidak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah bagian dari kota Semarang yang berkontribusi dalam

1 DUDUNG DURAHMAN BATUTUMPANG 2 ENING FITRIYANI BATUTUMPANG 3 NANA SUHANA BATUTUMPANG 4 ACEP MUMIN MUNAWIJAYA BATUTUMPANG 5 DEMI AHMAD SARIP CADAS MEKAR 6 AAN ANWARUDIN

Dari hasil penelitian yang diperoleh adalah adanya hubungan yang signifikan antara model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dengan aktivitas dan prestasi

Dengan adanya alih teknologi dari hasil penelitian dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi maupun waktu produksi suatu barang sehingga akan meningkatkan

dilakukan uji Efek mandiri Uji lanjut menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% yang disajikan pada Tabel 3. Uji mandiri Kultivar Rajabasa, Mutiara 1, Argomulyo,

Perusahaan Pelayaran Nusa Tenggara, tarif tambang per mil untuk kapal kamandalu yang dihitung dengan menggunakan metode variabel costing adalah Rp 847.126,36.. 2.3.1 Metode