• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu dari Hutan Rakyat

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha, dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephutbun 1999). Djajapertjunda (2003) dalam Rachman et al. (2006) mengemukakan bahwa luas hutan rakyat sampai dengan tahun 2003 mencapai 1.265.000 ha yang tersebar di 24 provinsi, sedangkan di Pulau Jawa mencapai 500.000 ha. Untuk Jawa Barat perkembangan luas dan produksi hutan rakyat terus meningkat setiap tahunnya. Data terakhir dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2007) dalam Rachman et al. (2006) diperoleh angka luasan sebesar 185.547,63 ha dengan produksi kayu sebesar 1.336.006,30 m3, dengan jenis kayu utama sengon, mahoni, jati, afrika dan kayu buah-buahan. Kayu rambutan, nangka dan kecapi merupakan salah satu jenis kayu buah-buahan yang termasuk di dalamnya.

2.1.1 Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L.)

Rambutan (Nephelium lappaceum L.) merupakan tanaman buah hortikultural berupa pohon dengan famili Sapindaceae. Tanaman buah tropis ini dalam bahasa inggrisnya disebut hairy fruit berasal dari Indonesia (Deptan 2000). Tanaman rambutan di Indonesia tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai ketinggian 600 meter diatas permukaan laut. Tetapi hasil yang baik akan diperoleh pada lahan-lahan yang lebih rendah yakni antara 0-250 meter. Penyebaran tumbuh tanaman di beberapa wilayah tumbuh Indonesia bagian barat dan merata ke hampir semua pulau besar di Indonesia. Taksonomi untuk rambutan adalah sebagai berikut (Anonim 2011) :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Sapindaceae

(2)

Genus : Nephelium

Species : Nephelium lappaceum L.

Kayu rambutan termasuk ke dalam kayu hardwood. Kayu dalam kelompok ini mengandung sejumlah tipe sel dan terspesialisasi untuk fungsi yang berbeda, antara lain sel-sel libriform mempunyai dinding yang tebal dengan rongga-rongga kecil mengandung beberapa noktah sederhana. Kayu rambutan mempunyai berat jenis 0,8-0,91 kelas kuat I-II dan kelas awet III (Seng 1990). Kayu pohon rambutan cukup keras dan kering, tetapi mudah retak sehingga kurang baik untuk bahan bangunan. Namun, kayu rambutan bagus sekali untuk kayu bakar dan arang (Anonim 2005).

2.1.2 Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus)

Nangka memiliki nama botani A. heterophyllus Lamk. Menurut Verheij dan coronel (1992) dalam Nurmawan (2011), Nangka memiliki nama lain seperti Jackfruit (Inggris), Jacquier (Prancis), Nongko (Jawa), Langka (Filipina), Khanun (Thailand). Nama daerah untuk Nangka pun bermacam-macam seperti nangko atau nangka (Jawa), anaane (Ambon), panaih (Aceh), lumasa dana malasa (Lampung), dan nama lainnya. Verheij dan coronel (1992) dalam Nurmawan (2011), mengklasifikasikan Nangka sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Rosales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus

Species : Artocarpus heterophyllus

Menurut Burgess (1989) dalam Nurmawan (2011), kayu nangka memiliki struktur anatomi antara lain porinya tersebar secara tata baur, 30-80% berpori soliter dan sisanya bergabung secara radial. Porinya berbentuk bulat sampai oval dengan jumlah pori sekitar 7-8 per mm2. Jari-jari berukuran sedang sampai cukup lebar (50-150 mikron) dan jumlahnya antara 4-6 per mm2, heteroseluler, tidak ada silika.

(3)

Menurut Isrianto (2007) dalam Nurmawan (2011), kayu nangka memiliki berat jenis maksimum 0,71 dan berat jenis minimum adalah 0,55 dengan berat jenis rata-rata 0,61 sehingga masuk ke dalam kelas kuat II. Kayu yang masuk dalam kelas kuat II-III baik digunakan untuk tujuan struktural. Kayu nangka dapat digunakan untuk pembuatan meubel, konstruksi bangunan pembubutan, tiang kapal, dayung, perkakas, dan alat musik. Di jawa banyak digunakan sebagai tiang bangunan, kentongan, dan lesung.

2.1.3 Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape)

Pohon kecapi termasuk ke dalam pohon buah-buahan, tingginya dapat mencapai 25 – 30 m dengan diameter 70 – 90 cm, di Jawa tumbuh di bawah 1000 m di atas permukaan laut dan ditanam oleh penduduk. Kayu kecapi mempunyai kayu teras berwarna putih-kelabu sampai cokelat muda, gambar polos, dan tektur agak kasar (Mandang 2005). Menurut Martawijaya et al. (1983) kayu ini mempunyai BJ 0,29-0,59 dengan kelas awet IV – V, dan kelas kuat III – IV . Kayunya dapat digunakan untuk konstruksi bangunan, kerajinan kayu, untuk perabotan rumah tangga serta peralatan lainnya (Verbeij & Coronel dalam Nurmawan 2011). Taksonomi untuk kecapi adalah sebagai berikut (Anonim 2011): Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Meliaceae Genus : Sandoricum

Species : Sandaricum koetjape (Burm.F.) Merr

2.2 Keawetan Kayu

Keawetan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kegunaan jenis kayu. Penggunaan kayu akan menjadi terbatas jika keawetannya rendah. Salah satu kekurangan kayu adalah dapat dirusak oleh organisme hidup seperti jamur, serangga, dan binatang laut yang dapat merombak komponen utama pembentuk kayu seperti lignin dan selulosa, serta menurunkan kekuatan kayu

(4)

(Batubara 2006). Organisme tersebut merusak kayu karena menjadikan sumber makanan maupun sebagai tempat tinggalnya.

Menurut Dumanau (2001), keawetan kayu ialah daya tahan suatu jenis kayu terhadap organisme perusak yang datang dari luar kayu tersebut. Zat ekstraktif merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap keawetan alami, meskipun tidak semua zat ekstraktif kayu bersifat racun terhadap organisme perusak. Umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami kayu cenderung meningkat (Wistara et al. 2002).

Oey Djoen Seng (1951) dalam Syarif (2010), membagi kayu dalam lima kelas keawetan di Indonesia berdasarkan usia pakai kayu pada berbagai kondisi tempat pemakaian, tanpa menyebutkan secara spesifik jenis organisme yang menyebabkan kerusakan kayu tersebut. Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia

No. Kondisi Tempat Kelas Awet I Kelas Awet II Kelas Awet III Kelas Awet IV Kelas Awet V 1 Selalu berhubungan dengan tanah 8 tahun

5 tahun 3 Tahun Sangat pendek

Sangat pendek 2 Hanya dipengaruhi

cuaca, tetapi dijaga agar tidak terendam air dan tidak kekurangan udara

20 tahun

15 tahun 10 Tahun Beberapa tahun

Sangat pendek

3 Di bawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab, dan tidak kekurangan udara Tak terbatas Tak terbatas Sangat Lama Beberapa tahun Pendek

4 Seperti diatas tetapi dipelihara dengan baik dan dicat teratur

Tak terbatas Tak terbatas Tak terbatas 20 tahun 20 tahun

5 Serangan rayap tanah Tidak Jarang Cepat Sangat cepat

Sangat cepat 6 Serangan bubuk kayu

kering

Tidak Tidak Hampir tidak

Tidak berarti

Sangat cepat Sumber: Oen Djoen Seng (1990) dalam Kurnia (2009)

Barly (2009) menyatakan bahwa beberapa kayu tropis mempunyai keawetan alami yang tinggi, namun di Indonesia sebagian kecil saja kayu-kayu yang mempunyai keawetan yang tinggi sehingga umur pakai kayu tersebut pendek. Dari 4000 jenis kayu yang terdapat di Indonesia diperkirakan hanya 15 % sampai 20 % saja yang sifat keawetannya baik, sisanya merupakan jenis-jenis yang sifat keawetannya rendah (Martawijaya & Barly 1982).

(5)

2.3 Keterawetan Kayu

Keterawetan kayu adalah kemampuan kayu untuk ditembus oleh bahan pengawet, sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu yang secara ekonomis menguntungkan dan efektif untuk mencegah faktor perusak kayu (Batubara 2006). Menurut Tobing (1977), keterawetan kayu sangat bervariasi. Kayu gubal mempunyai keterawetan yang lebih tinggi karena bagian ini sebelumnya berfungsi sebagai penyalur air dan hara dari akar ke daun. Kayu teras mempunyai sifat keterawetan yang kurang baik karena sudah memiliki deposit-deposit lain termasuk ekstraktif yang menutupi sel-sel kayu.

Menurut Martawijaya dan Barly (1982), ada 4 faktor yang mempengaruhi keterawetan kayu, yaitu :

1. Jenis kayu, karena adanya perbedaan struktur anatomi dan kerapatan serta lainnya.

2. Keadaan atau kondisi kayu pada saat diawetkan, seperti kadar air dan arah penembusan. Peranan kadar air terhadap keterawetan kayu tergantung pada bahan pengawet yang digunakan dan jenis kayu tersebut.

3. Metode pengawetan. Metode pengawetan dan skema pengawetan dalam metode yang sama memberikan pengaruh yang berlainan terhadap keterawetan kayu. Pengaruh sangat nyata bila proses tidak sesuai dengan sifat bahan pengawet.

4. Bahan pengawet. Jenis dan konsentrasi bahan pengawet sangat mempengaruhi keberhasilan dalam mengawetkan kayu, yaitu retensi dan penetrasi bahan pengawet.

Hasil studi Martawijaya dan Barly (1982) terhadap penentuan klasifikasi keterawetan kayu mendapatkan hubungan yang erat antara retensi dan penetrasi artinya jenis kayu yang mudah diawetkan cenderung memiliki retensi yang tinggi, sebaliknya jenis kayu yang sukar diawetkan cenderung memiliki retensi yang rendah. Klasifikasi keterawetan kayu yang digunakan untuk metode vakum tekan dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori seperti pada Tabel 2.

(6)

Tabel 2 Kelas keterawetan kayu

Kelas Keterawetan (Treatability) Dalamnya Penetrasi

I Mudah (Permeable) >90

II Sedang (Moderately resistant) 50-90

III Sukar (Resistant) 10-50

IV Sangat Sukar (Extremely resistant) <10 Sumber: Martawijaya 1981

Berdasarkan tim ELSPPAT (1997) dalam Kurnia (2009) retensi bahan pengawet merupakan kemampuan kayu untuk menyerap bahan pengawet yang dinyatakan dalam kg/m3. Penetrasi adalah penembusan bahan pengawet yang masuk kedalam kayu. Paling tidak besarnya retensi serta penetrasi bahan pengawet harus dapat melindungi bagian-bagian sebelah dalam kayu yang tidak dimasuki oleh bahan pengawet tersebut.

2.4 Pengawetan Kayu

Menurut Hunt dan Garrat (1986), pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu untuk melindungi kayu atau memperpanjang masa pakai kayu sehingga dapat mengurangi frekuensi penggantian kayu pada bangunan konstruksi permanen atau bangunan semi permanen, sedangkan Dumanau (2001) mengartikan pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan racun ke dalam kayu, sebagai pelindung dari kerusakan oleh makhluk-makhluk perusak kayu yang datang dari luar seperti rayap, jamur dan binatang laut.

Menurut Nandika et al. (1996), manfaat yang dapat diraih melalui penerapan pengawetan kayu antara lain :

1. Nilai guna jenis-jenis kayu kurang awet dapat meningkat secara nyata, sejalan dengan peningkatan umur pakainya.

2. Biaya untuk perbaikan dan penggantian kayu dalam suatu penggunaan akan berkurang.

3. Dalam jangka panjang, kelestarian hutan lebih terjamin karena konsumsi kayu per satuan waktu lebih rendah.

2.5 Metode Pengawetan Kayu

Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam kayu.

(7)

Hunt dan Garrat (1986) menyatakan metode pengawetan dibagi atas 4 golongan yaitu:

1. Metode pengawetan tanpa tekanan, kayu-kayu diawetkan secara pelaburan/penyemprotan, pencelupan, rendaman, rendaman dingin dan rendaman panas-dingin.

2. Metode pengawetan dengan tekanan atau vakum, kayu-kayu diawetkan dalam silinder tertutup dan diberi tekanan atau diberi vakum.

3. Metode difusi, kayu-kayu basah atau kayu segar diawetkan dengan bahan-bahan pengawet yang berkonsentrasi tinggi.

4. Sap replacement method, cara ini digunakan hanya untuk batang yang baru ditebang.

Metode pengawetan tanpa tekanan yang terdiri dari pelaburan/ penyemprotan (brushing dan spraying); pencelupan (dipping), rendaman (steeping); rendaman dingin (cold soaking); dan rendaman panas-dingin (hot and cold bath). Metode dengan tekanan dan vakum tekan terdiri dari metode sel penuh (full cell) dan sel kosong (empty cell).

2.5.1 Pelaburan / penyemprotan

Dalam cara ini, bahan pengawet dilaburkan/disemprotkan ke permukaan kayu yang telah dikeringkan lebih dahulu dan dibiarkan dalam beberapa waktu. Dalam penggunaan cara pelaburan atau penyemprotan, bahan pengawet haruslah menutupi seluruh permukaan kayu dan dibiarkan masuk ke dalam kayu sebanyak mungkin, jangan dilaburkan terlalu tipis seperti cat. Hasilnya dipengaruhi oleh mudah tidaknya kayu dipenetrasi dan jumlah bahan pengawet yang dilaburkan. Biasanya digunakan bahan pengawet minyak/larut minyak. Dapat juga menggunakan bahan pengawet larut air yang tidak mudah berfiksasi. Penetrasi yang dicapai dangkal sehingga perlindungan kayu tidak maksimal (Hunt & Garrat 1986).

2.5.2 Pencelupan

Dalam cara ini kayu-kayu diawetkan dengan mencelupkannya ke dalam larutan bahan pengawet selama beberapa detik atau beberapa menit. Umumnya metode ini lebih mahal daripada pelaburan dan penyemprotan, karena

(8)

memerlukan lebih banyak alat dan bahan pengawet yang lebih banyak, dan tidak cocok untuk mengawetkan kayu yang jumlahnya sedikit, terutama bila dilakukan di tempat langsung. Tetapi dibandingkan dengan metode pelaburan, metode ini memiliki nilai penetrasi yang lebih baik. Meskipun dalam penggunaannya, tingkat perlindungan yang ingin dicapai tidak jauh berbeda dengan pelaburan, karena penetrasinya dangkal dan retensinya rendah (Hunt & Garrat 1986).

2.5.3 Rendaman

Dalam cara ini kayu-kayu direndam di dalam tanki-tanki yang berisi bahan pengawet larut air selama beberapa hari atau beberapa minggu. Umumnya lama perendaman maksimum 2 minggu. Retensi yang cepat terjadi dalam 2-3 hari pertama, setelah itu retensi berjalan sangat lambat. Karena retensi yang rendah maka konsentrasi bahan pengawet harus lebih tinggi dibanding untuk proses tekanan. Salah satu cara rendaman yang mendapat paten di Inggris pada tahun 1832 disebut Kyanizing. Disini kayu direndam selama 7-10 hari dalam larutan mercuric chloride (sublimat) 0,67%. Kyanizing ini mengalami modifikasi dan cara baru ini disebut improved Kyanizing dimana bahan pengawet yang digunakan adalah campuran mercuric chloride 0,67% dengan NaCl 1%. Dalam kedua cara ini, digunakan peralatan-peralatan yang tahan karat. Saat ini senyawa merkuri sudah tidak digunakan lagi mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkannya (Hunt & Garrat 1986).

2.5.4 Rendaman dingin

Metode ini banyak digunakan menggunakan larutan minyak, umumnya digunakan bahan pengawet pentachlorophenol. Lebih dari separuh retensi terjadi pada hari pertama (24 jam pertama), tetapi absorpsi akan berlangsung terus dengan lebih lambat selama beberapa hari. Penetrasi pada kayu-kayu yang tidak mengalami pengeringan lebih dulu biasanya sangat dangkal. Juga cara ini kurang baik hasilnya bila dilakukan terhadap jenis-jenis kayu daun lebar karena retensi dan penetrasinya dangkal (Hunt & Garrat 1986).

2.5.5 Rendaman panas-dingin

Cara ini mendapat paten dalam tahun 1867 atas nama C.A. Seely dan dikenal juga dengan nama open tank treatment atau thermal process. Disini

(9)

kayu-kayu yang telah dikeringkan direndam di dalam bahan pengawet panas, kemudian dipindahkan ke dalam bahan pengawet dingin (Hunt & Garrat 1986).

Berdasarkan Nandika et al. (1996), untuk melaksanakan proses rendaman panas dan rendaman dingin ada beberapa cara yaitu:

1. Memindahkan kayu-kayu yang telah direndam dalam bahan pengawet yang dipanaskan ke tanki lain dimana bahan pengawet relatif dingin.

2. Dengan mengeluarkan bahan pengawet panas dan segera diganti dengan bahan pengawet dingin.

3. Dengan menghentikan pemanasan dan membiarkan kayu serta bahan pengawet tadi menjadi dingin bersama-sama.

Untuk cara 1 dan 2, pemindahan harus dilakukan secara cepat supaya tidak dingin oleh udara. Dalam metode pengawetan ini sebaiknya digunakan bahan pengawet larut minyak, karena suhu sangat berpengaruh terhadap absorbsi dan penetrasi. Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet

Jenis Bentuk/Formulasi Retensi (Kg/m3) Penetrasi

(mm) Di bawah atap Di luar atap

CCB1 Bahan aktif garam Formulasi 8,0 8,4 11,0 11,6 5 5 CCB2 Bahan aktif garam

Formulasi 8,0 8,2 11,0 11,3 5 5 CCB3 Bahan aktif garam

Formulasi 8,0 8,0 11,0 11,0 5 5 CCB4 Bahan aktif garam

Formulasi 8,0 8,0 11,0 12,2 5 5 CCF Bahan aktif garam

Formulasi 6,0 6,0 8,6 8,6 5 5 Sumber: SNI 03-5010.1-1999

2.5.6 Metode pengawetan dengan tekanan

Pada umumnya dilakukan di dalam suatu tabung silinder tertutup. Dibandingkan dengan metode-metode lain, metode tekanan mempunyai beberapa keuntungan yaitu a) proses pengawetan relatif lebih cepat, b) proses pengawetan dapat dikontrol sehingga retensi/penetrasi dapat diatur sesuai dengan keinginan dan dengan sendirinya pemakaian bahan pengawet menjadi lebih efisien, c) retensi lebih tinggi serta penetrasinya lebih dalam dan merata. Adapun kelemahannya adalah a) memerlukan alat-alat yang khusus yang harganya mahal

(10)

sehingga investasinya tinggi, b) kayu-kayu yang akan diawetkan harus diangkut sehingga menambah biaya dalam transportasi, dan c) alat-alat yang dipergunakan harus tahan tekanan, vakum dan tahan karat (Hunt & Garrat 1986).

2.5.7 Metode difusi

Sesuai dengan namanya maka dalam metode ini seluruh/sebagian besar masuknya bahan pengawet ke dalam kayu adalah berdasarkan prinsip difusi. Agar hasil retensi dan penetrasi cukup dalam maka kadar air kayu yang diawetkan harus cukup tinggi serta konsentrasi bahan pengawet yang tinggi. Biasanya bahan pengawet yang digunakan adalah berbentuk pasta atau cream, yang tidak mudah berfiksasi (Hunt & Garrat 1986).

Beberapa metode difusi yang dikenal antara lain adalah (Hunt & Garrat 1986):

a. Double diffusion process. Tujuan utama dari metode ini adalah untuk membentuk endapan didalam kayu yang tahan terhadap pelunturan.

b. Osmose process. Dalam cara ini, bahan pengawet yang digunakan adalah berbentuk pasta atau cream dan disapukan ke seluruh permukaan kayu setelah kayu dilapisi dengan bahan yang waterproof. Kemudian dibiarkan selama ± 30 hari. Lamanya proses ini tergantung pada ukuran dan jenis kayu yang diawetkan. Retensi minimum yang disarankan adalah 1/2-1/4 . lb per cu.ft. (4-8 kg/m3).

2.5.8 Metode sap-replacement

Metode ini mendapat paten pada tahun 1838 atas nama penemunya yaitu Dr. Boucheri dari Perancis. Semula metode ini dilakukan terhadap pohon-pohon yang baru ditebang, dimana cabang-cabang, ranting-ranting dan daunnya masih lengkap. Bahan pengawet diberikan dari pangkal batang dan mengalir keseluruh pohon (pada kayu gubal) karena adanya transpirasi oleh daun. Metode ini mengalami perubahan yang dibuat oleh Mathis (Inggris) dimana sekarang ini, proses ini hanya dilakukan untuk log atau poles yang baru ditebang. Bahan pengawet disimpan pada sebuah bak setinggi 10 m dari tanah, dan dialirkan ke pangkal batang melalui slang atau pipa. Proses ini selesai apabila bahan pengawet telah mengisi seluruh kayu gubal dan ini dapat dilihat pada ujung batang.

(11)

Biasanya digunakan bahan pengawet copper sulfate (blue vitriol), karena mempunyai keuntungan dibandingkan bahan-bahan pengawet larut air yang tidak berwarna, dimana mudah dilihat apakah proses sudah cukup apa belum (Hunt & Garrat 1986).

2.6 Bahan Pengawet

Bahan pengawet adalah bahan kimia yang bila dimasukkan (diimpregnasikan) ke dalam kayu akan menyebabkan kayu menjadi tahan terhadap serangan faktor-faktor perusak kayu golongan biologis (Syarif 2010).

Menurut Tsoumis (1991), bahan pengawet dibagi dalam tiga golongan yaitu: (a) bahan pengawet berupa minyak, (b) bahan pengawet larut minyak, dan (c) bahan pengawet larut air.

2.6.1 Bahan pengawet berupa minyak (kreosot)

Kreosot dihasilkan dari destilasi batubara dan bahan ini mengandung berbagai macam senyawa yang beberapa diantaranya sangat efektif terhadap faktor-faktor perusak kayu. Bahan pengawet ini telah digunakan lebih dari 100 tahun dan memberikan hasil yang baik. Kreosot mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan antara lain sangat beracun terhadap cendawan, serangga dan marine borer, permanen, juga didalam air asin, dapat digunakan dalam berbagai metode pengawetan, tidak bersifat korosif terhadap metal, penetrasi mudah dikontrol, dan harganya murah. Disamping sifat-sifat yang menguntungkan, kreosot juga mempunyai kekurangan-kekurangan seperti baunya tidak enak, mempunyai tendensi meleleh terutama bila disingkapkan terhadap sinar matahari, kayu menjadi tidak dapat dicat, merangsang kulit dan komposisi kimianya sangat bervariasi.

2.6.2 Bahan pengawet larut minyak

Banyak yang bersifat sangat beracun terhadap organisme perusak kayu, akan tetapi umumnya sangat mahal serta tidak baik digunakan secara tunggal. Beberapa bahan pengawet ini sangat mudah menguap (volatile) sehingga tidak tahan lama di dalam kayu. Selain itu karena bersifat korosif terhadap metal, tidak stabil pada penyingkapan di udara terbuka, resistensinya rendah terhadap pelunturan, berbahaya terhadap manusia dan binatang, bau yang keras dan lain

(12)

sebagainya. Dari berbagai macam bahan pengawet golongan ini baru 3 macam yang nyata-nyata efektif berdasarkan American Wood Preservers Association (AWPA) Standard dalam Hunt dan Garrat (1986) yaitu pentachlorophenol (PCP), coppernaphthenate, dan copper-8-guinalinolate. Sayangnya meskipun PCP mempunyai sifat-sifat yang lebih baik, penggunaan PCP sudah sejak lama dilarang karena sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan.

2.6.3 Bahan pengawet larut air

Sifat-sifat yang menguntungkan dari bahan pengawet kelompok ini antara lain: a) dapat diangkut dalam bentuk padat atau dalam konsentrasi tertentu ke tempat penggunaan, sedangkan bahan-bahan pelarutnya (air) harganya murah, b) formulasinya mudah diatur agar bersifat racun terhadap cendawan atau serangga, c) kayunya tetap bersih dan dapat dicat, d) umumnya tidak berbau, dan e) tidak meninggikan sifat bakar kayu dan dapat dikombinasikan dengan bahan penghambat api (fire retardant).

Keburukan dari bahan pengawet ini adalah bahan ini membasahkan kembali kayu sehingga menimbulkan perubahan dimensi kayu. Karena itu diperlukan pengeringan kembali setelah kayu diawetkan. Kelemahan lain bahan pengawet larut air adalah pada umumnya mudah tercuci atau mudah luntur.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka bahan pengawet yang baik haruslah memiliki sifat-sifat, diantaranya adalah:

a. Bersifat racun terhadap organisme perusak kayu walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah.

b. Permanen.

c. Mudah diimpregnasikan (daya penetrasi tinggi) serta mudah dikontrol. d. Aman didalam pengangkutan dan penggunaan.

e. Tidak bersifat korosif

f. Tersedia dalam jumlah yang banyak.

Bahan pengawet Diffusol CB adalah bahan pengawet kayu larut air yang berbentuk garam yang terdiri dari asam borat, boraks, tembaga dan khromium dengan formulasi CuSO4 (32,4%), H3BO3 (21,6%), dan Na2Cr2O7 (36,0%). Bahan berbentuk pasta berwarna coklat gelap serta berbau. Menurut Hunt dan Garrat (1986), Diffusol CB merupakan salah satu bahan pengawet yang larut air.

(13)

Senyawa bor merupakan salah satu bahan yang dapat dipakai untuk mempertinggi daya tahan kayu terhadap api. Selain itu senyawa bor juga dapat pula mempertinggi daya tahan kayu terhadap jamur.

Beberapa sifat persenyawaan bor (Supriana 1978) adalah:

1. Beracun terhadap jamur dan serangga perusak kayu, tetapi tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak.

2. Dapat digunakan baik dengan proses tekanan maupun dengan proses difusi. 3. Tidak korosif terhadap logam, tidak berbau dan tidak merubah warna kayu

sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan alat rumah tangga yang terbuat dari kayu.

4. Kayu yang diawetkan dengan persenyawaan bor dapat dicat, diplitur atau direkat dengan baik.

Senyawa tembaga yang digunakan sebagai bahan pengawet kayu larut air pada umumnya dalam bentuk sulfat, biasanya pentahidrat (CuSO4.5H2O), hidroksida (Cu(OH)2), oksida (CuO), dan dalam basa-basa karbonat terutama Cu2(OH)2CO3. Cu(OH)2CO3 biasanya berbentuk bubuk yang berwarna hijau dengan kandungan tembaga ± 55%. Diperoleh dengan menambahkan larutan tembaga sulfat kepada larutan natrium karbonat. Tembaga sulfat adalah senyawa tembaga yang paling penting dan merupakan sumber utama untuk kebanyakan senyawa tembaga lainnya (Hatford 1973 dalam Mulyadi 2011).

Tembaga sulfat merupakan anti hama yang baik dan sangat baik untuk melawan jamur. Kelemahan utama tembaga sulfat adalah adanya korosif yang tinggi terhadap besi. Kelemahan lainnya adalah daya larutnya yang tinggi dalam air sehingga mudah tercuci kembali. Tembaga sulfat sangat cocok untuk mencegah serangan rayap apabila kayu yang diawetkan bebas dari pengaruh pelunturan.

Senyawa khrom digunakan di dalam bahan pengawet kayu dalam bentuk dikromat natrium (Na2Cr2O7.2H2O), potasium dichromat (K2Cr2O7), sodium khromat (Na2CrO4) dan asam kromat (HCrO3). Dikhromat natrium berwarna merah jingga, berbentuk garam kristal, sangat mudah larut dalam air, yaitu sekitar 69-70% (Hartford 1973 dalam Mulyadi 2011). Potasium dikhromat lebih mahal daripada garam natrium tetapi karena sifat kurang higroskopik, maka ia banyak

(14)

digunakan sebagai campuran bahan pengawet. Senyawa khrom digunakan secara luas sebagai campuran tambahan bahan pengawet kayu larut air. Senyawa khrom tersebut dicampurkan dalam bentuk dikhromat, khromat, asam khromat, atau trioksida khromium. Perkembangan selanjutnya digunakan khrom asetat sebagai campuran celcure. Selanjutnya dikatakan bahwa garam khrom yang paling efektif adalah yang mengandung trioksida khromium yang tinggi. Akan tetapi karena harganya mahal dan juga daya larutnya rendah maka jarang digunakan.

2.7 Sifat Mekanis Kayu

Sifat mekanis kayu merupakan sifat yang berhubungan dengan kekuatan dan merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimampatkan, terpuntir, dan terlengkungkan oleh suatu beban yang mengenainya (Heygreen & Bowyer 1982).

Sifat mekanis kayu merupakan faktor terpenting yang harus diperhatikan apabila kayu akan digunakan untuk bahan bangunan. Beberapa sifat mekanis yang penting untuk menilai kekuatan kayu diantaranya adalah keteguhan lentur statis (static bending strength), keteguhan tekan (compressive strength), keteguhan tarik (tensile strength), keteguhan geser (shearing strength), kekerasan (hardness), kekakuan (stiffness), keuletan (toughness), dan ketahanan belah (cleavage resistance).

2.7.1 Keteguhan lentur statis (static bending strength)

Menurut Tsoumis (1991) kekuatan lentur statis merupakan salah satu sifat mekanis yang sangat penting karena banyak penggunaan struktural kayu mengalami tegangan sepeti ini. Apabila sebuah balok diberi beban dan bengkok, pada dasarnya ada tiga tekanan yang bekerja pada balok itu yaitu tekanan tarik, tekanan tekan, dan tekanan geser. Di bawah batas proporsi tedapat hubungan positif antara tegangan dengan regangan, nilai perbandingan antara regangan dan tegangan ini disebut modulus elastisitas (Modulus of Elasticity, MOE). Sementara tegangan patah (Modulus of Repture, MOR) dihitung dari beban maksimum (beban pada saat patah).

(15)

2.7.2 Keteguhan tekan (compressive strength)

Menurut Tsoumis (1991) keteguhan tekan ialah kemampuan kayu untuk menahan beban atau tekanan yang berusaha memperkecil ukurannya. Kekuatan tekan longitudinal (sejajar serat) lebih besar dibandingkan dengan kekuatan tekan tegak lurus serat (sampai 15 kali). Besarnya keteguhan ini sama dengan besarnya beban maksimum dibagi dengan luas penampang dimana beban tersebut bekerja.

2.7.3 Keteguhan tarik (tensile strength)

Menurut Tsoumis (1991) kekuatan tarik kayu ialah kemampuan kayu untuk menahan gaya yang berusaha menarik atau memanjangkan ukurannya. Kekuatan tarik longitudinal (sejajar serat) jauh lebih tinggi dari kekuatan tarik transversal (sampai 50 kali lipat). Keteguhan tarik dipengaruhi oleh ukuran atau dimensi kayu, kekuatan serat-serat dan susunan serat kayu. Keteguhan tarik sangat penting diketahui untuk suku bawah (busur) pada penopang kayu dan dalam rancangan sambungan antara rangka kuda-kuda bangunan (Heygreen & Bowyer 1982).

2.7.4 Keteguhan geser (shearing strength)

Menurut Tsoumis (1991) kekuatan geser ialah kekuatan kayu untuk menahan beban yang berusaha menggeser atau bagian dengan bagian lainnya pada sepotong kayu. Dimana pergeseran dapat terjadi pada arah longitudinal (searah serat) dan transversal (tegak lurus serat).

Terdapat tiga macam bentuk geseran bila ditinjau dari arah geseran terhadap serat kayu: (1) geser sejajar serat, (2) geser tegak lurus serat, (3) geser miring serat. Tetapi yang lazim diperhitungkan adalah keteguhan geser sejajar serat karena dalam penggunaan sehari-hari kerusakan kayu akibat geseran kebanyakan berupa geseran sejajar serat. Keteguhan geser ini dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antar serat (sel kayu).

2.7.5 Kekerasan (hardness)

Menurut Tsoumis (1991) kekerasan adalah ukuran ketahanan kayu terhadap benda luar yang berusaha masuk ke dalam massanya. Kekerasan lebih tinggi sampai 2 kali lipat pada bidang longitudinal dibanding sisi yang lain, tetapi perbedaan antara bidang radial dan tangensial tidak jauh berbeda. Kekerasan berhubungan dengan kekuatan kayu terhadap pengikisan dan goresan dengan

(16)

berbagai bahan, serta mudah tidaknya dikerjakan dengan alat dan mesin. Sifat kekerasan ini penting untuk berbagai penggunaan seperti lantai, furniture, alat olahraga, pensil, dan lain-lain.

2.7.6 Keteguhan pukul dan keuletan (toughness)

Keteguhan pukul adalah ukuran kemampuan kayu untuk menahan pukulan sampai kayu mengalami kerusakan, sedangkan menurut Tsoumis (1991) keuletan berhubungan dengan kekuatan kayu terhadap beban statis atau beban yang diaplikasikan secara perlahan-lahan. Energi yang diserap oleh kayu lebih tinggi pada beban tiba-tiba dibandingkan dengan beban statis.

2.7.7 Keteguhan belah (cleavage resistance)

Tsoumis (1991) keteguhan belah ialah ketahanan kayu terhadap beban yang berusaha memisahkan antara bagian kayu yang satu dengan bagian lainnya. Kayu memiliki kekuatan belah yang rendah pada arah longitudinal sehingga menguntungkan untuk penggunaan tertentu seperti untuk kayu bakar. Pada umumnya kayu mudah dibelah sepanjang jari-jari (arah radial) daripada`arah tangensial.

Gambar

Tabel 1  Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Papan partikel yang dibuat dari kayu dengan kerapatan rendah akan mengalami pengempaan yang lebih besar pada saat pembuatan, sehingga bila direndam dalam air akan

Papan partikel yang dibuat dari kayu dengan kerapatan rendah akan mengalami pengempaan yang lebih besar pada saat pembentukan sehingga bila direndam dalam air

Pengelasan cair adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan sampai mencair dengan sumber panas dari busur listrik atau sumber api gas yang

Double pipe heat exchanger atau consentric tube heat exchanger yang adalah alat penukar panas dimana fluida panas dan dingin dipisahkan oleh susunan tabung

Secara umum,alat penukar kalor adalah alat yang memindahkan panas diantara dua fluida yang memiliki temperatur yang berbeda tanpa mencampurkan kedua fluida tersebut

kesan hangat sampai panas, atau justru dingin ketika terasa di kulit, tergantung dari jenis komponen penyusunnya. 4) Bersifat tidak stabil terhadap pengaruh lingkungan,

Papan partikel yang dibuat dari kayu dengan kerapatan rendah akan mengalami pengempaan yang lebih besar pada saat pembentukan sehingga bila direndam dalam air akan

Papan partikel yang dibuat dari kayu dengan kerapatan rendah akan mengalami pengempaan yang lebih besar pada saat pembentukan sehingga bila direndam dalam air akan terjadi