Unit Oksidasi Unit Purifikasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Proses
Proses pembuatan PTA (Purified Terepthalic Acid) di PT Amoco Mitsui PTA Indonesia terdiri dari dua unit yaitu unit oksidasi dan unit pemurnian (unit purifikasi), blok diagram proses pembuatan PTA dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Keterangan : Feed Mix Reaktor Oksidasi Crystallizer RVF (Filtrasi) Rotary Dryer Silo CTA Feed
Preparation Preheater Heater
Reaktor Hidrogenasi Crystallizer BHS Filter RVF (Filtrasi) Rotary Dryer Silo PTA
Pada unit oksidasi, bahan baku utama paraxylene (Px) direaksikan dengan oksigen yang bersumber dari udara. Reaksi oksidasi Px dilangsungkan dengan menggunakan pelarut asam asetat (CH3COOH) dan CMB (Cobalt-Mangan-Bromin) sebagai katalisnya. Hasil dari reaksi oksidasi Px ini adalah produk TA (Terepthalic Acid) yang masih mengandung pengotor sehingga disebut dengan
crude terephthalic acid (CTA). Pengotor ini berasal dari produk samping yang
dihasilkan selama reaksi oksidasi Px berlangsung. Produk samping hasil reaksi oksidasi adalah p-toluic acid dan 4-CBA (4-carboxy benzaldehyde).
Proses utama dalam unit purifikasi adalah proses pengubahan pengotor yang terkandung di dalam produk menjadi pengotor lain yang lebih larut di dalam air dengan cara hidrogenasi (penambahan H2). 4-CBA merupakan senyawa kimia yang larut dalam asam asetat tetapi kurang larut dalam air, sedangkan p-toluic
acid merupakan senyawa yang lebih mudah larut dalam air daripada 4-CBA.
Dalam unit purifikasi, 4-CBA dikonversi menjadi p-toluic acid yang kemudian dipisahkan dari asam tereftalat menggunakan air sehingga kandungan impuritis di dalam produk yang dihasilkan lebih kecil. Produk yang dihasilkan dari unit purifikasi disebut PTA (Purified Terepthalic Acid) yang merupakan produk utama dari PT Amoco Mitsui PTA Indonesia.
2.1.1 Pemanasan Umpan dalam Preheater dan Heater di Unit Purifikasi
Sebelum dilakukan proses hidrogenasi, umpan berupa CTA (Crude
Terepthalic Acid) dilarutkan dalam air, kemudian dipanaskan oleh preheater
BE-501, BE-502, BE-503, BE-504A/B, BE-505A, dan BE-505B yang dipasang secara seri dengan menggunakan media pemanas berupa steam yang diambil dari
crystallizer BD-601 sampai BD-605. Feed preheater ini berfungsi sebagai
pemanas awal feed slurry sebelum memasuki feed heater (BE-506A/B). Feed
preheater didesain untuk meminimumkan beban BE-506A/B dan untuk recovery
energi dari crystallizer vent steam. Sedangkan, feed heater 506A dan BE-506B menggunakan media pemanas berupa hot oil dan didesain untuk menaikkan temperatur slurry menjadi 288℃ sebelum memasuki reaktor hidrogenasi. Sistem
pemanasan umpan CTA ini dapat dilihat pada Gambar 1.1. Untuk spesifikasi dari
heat exchanger yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Spesifikasi Heat Exchanger
Sumber : PT Amoco Mitsui PTA Indonesia(2004)
Setiap feed preheater dan feed heater terdiri dari 1 pass shell dan 2 pass
tube heat exchanger dengan sebuah sambungan ekspansi pada sisi shellnya. Slurry masuk melewati sisi tube dan steam crystallizer (utility steam) diarahkan
pada sisi shell. Kecepatan sisi tabung 2m/detik harus dipertahankan di preheater untuk mencegah pengotoran tube preheater, aliran rendah ke reaktor hidrogenasi akan mengakibatkan pengotoran yang cepat pada preheater.
Perbedaan feed heater (BE-506A/B) dengan feed preheater adalah media pemanas yang digunakan berupa hot oil dan feed heater tidak punya hubungan ke pot kondensat. Tujuan dari feed heater adalah untuk memastikan bahwa semua asam tereftalat berada dalam keadaan terlarut (dissolved) sebelum masuk ke reaktor hidrogenasi. Untuk kalor jenis slurry (air + asam tereftalat) dapat dilihat pada Tabel 2.2. Bila padatan asam tereftalat tidak dilarutkan sebelum masuk ke dalam reaktor, padatan akan terakumulasi di atas bed reactor dan katalis akan terdeaktivasi.
No. Heat Exchanger BE-505A BE-505B BE-506A BE-506B
TEMA Type BEM BEM BEM BEM
U (kcal/jam m2 oC) 1.297 1.360 759,3 793,8 A (m2) 142,1 142,1 195,3 195,3 Slurry Tin (oC) 224,1 246,4 261,9 275,4 Tout (oC) 246,5 261,9 275,4 288,0 Steam Tin (oC) 265 265 - - Tout (oC) 265 265 - - Hot oil Tin (oC) - - 315,0 315,0 Tout (oC) - - 297,4 301,7 Material 304L SS 304L SS 304L SS 304L SS
Tabel 2.2 Kalor Jenis (cp) Slurry
Sumber : PT Amoco Mitsui PTA Indonesia (2004)
2.1.2 Hot Oil Furnace
Furnace adalah suatu peralatan perpindahan panas yang sumber panasnya
dihasilkan dari reaksi pembakaran bahan bakar oleh burner di dalam fire box baik itu berupa fuel gas, fuel oil atau jenis bahan bakar lain. Panas yang dihasilkan kemudian dipindahkan ke dalam fluida kerja yang akan dipanaskan dan dialirkan dalam tube (Anonim, www.scrib.com). Tujuan dari pemindahan panas hasil pembakaran ke fluida yang dipanaskan tersebut adalah agar dicapai kondisi operasi (temperatur) yang diinginkan oleh proses berikutnya dalam suatu peralatan lain atau langsung sebagai produk jadi (Stefanus, 2010). Furnace yang digunakan PT Amoco Mitsui PTA Indonesia adalah tipe box furnace. Hot oil
furnace berfungsi sebagai pemanas hot oil dan air umpan boiler.
Bahan bakar yang digunakan furnace untuk memanaskan hot oil adalah
natural gas. Natural gas merupakan salah satu bahan bakar alternatif berpotensial
yang dapat memberikan solusi atas masalah krisis energi di dunia. Natural gas yang digunakan oleh PT Amoco Mitsui PTA Indonesia diperoleh dari dua
supplier yaitu Sadikun dan PGN (Perusahaan Gas Negara) dengan persentasi
penggunaannya 60% dan 40%.
No. Temperatur (℃) (kcal/kg ℃) cp
1. 137,9 0,800 2. 162,6 0,811 3. 189,7 0,864 4. 224,1 1,037 5. 246,4 1,306 6. 246,5 1,306 7. 255,7 1,418 8. 261,9 1,774 9. 275,4 2,138 10. 288,0 1,110
Hot oil yang digunakan sebagai pemanas di uni purifikasi PT Amoco
Mitsui PTA Indonesia bermerk 66. Kalor jenis dari hot oil Therminol-66 ini dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kalor Jenis (cp) Hot Oil Therminol-66
No. Temperatur (℃) (kcal/kg℃) cp 1. 210 0,524 2. 220 0,533 3. 230 0,542 4. 240 0,551 5. 250 0,559 6. 260 0,568 7. 270 0,577 8. 280 0,586 9. 290 0,595 10. 300 0,605 11. 310 0,614 12. 320 0,623
Sumber : Solutia “ High Performance Highly Stable Heat Transfer Fluid”.
Therminol-66 merupakan merk hot oil yang cocok untuk operasi hingga temperatur 650℉ (345℃). Therminol-66 digunakan di berbagai industri, seperti : industri bahan kimia, plastik, dan biodiesel (Solutia, 2012). Hot oil ini disupply ke unit purifikasi dari hot oil furnace dengan sistem closed loop.
2.2 Prinsip Perpindahan Panas
Perpindahan panas terjadi karena adanya gaya dorong berupa perbedaan temperatur dan panas mengalir dari daerah yang memiliki temperatur tinggi ke daerah yang memiliki temperatur rendah (Geankoplis, 2003:235). Setiap dua benda atau lebih dengan suhu berbeda dicampurkan maka benda yang bersuhu lebih tinggi akan melepaskan kalornya, sedangkan benda yang bersuhu lebih rendah akan menyerap kalor hingga mencapai keseimbangan yaitu suhunya sama. Energi adalah kekal, sehingga benda yang memiliki temperatur lebih tinggi akan melepaskan energi sebesar q1 dan benda yang memiliki temperatur lebih rendah akan menerima energi sebesar q2dengan besar yang sama.
Mekanisme perpindahan panas yang terjadi dapat berupa konduksi, konveksi, atau radiasi. Dalam aplikasinya, ketiga mekanisme ini dapat saja berlangsung secara simultan. Biasanya, mekanisme perpindahan panas yang terjadi pada alat penukar panas adalah konduksi dan konveksi. Perpindahan panas terjadi dari fluida panas ke permukaan tube atau dinding dengan cara konveksi, sedangkan konduksi dilakukan melalui dinding tube atau plate, kemudian konveksi ke fluida dingin (Geankoplis, 2003:291).
2.3 Alat Penukar Panas (Heat Exchanger)
Alat penukar panas adalah alat yang difungsikan untuk mengakomodasikan perpindahan panas dari fluida panas ke fluida dingin dengan adanya perbedaan temperatur. Karena panas yang dipertukarkan terjadi dalam sebuah sistem maka kehilangan panas dari suatu benda akan sama dengan panas yang diterima benda lain (Wibawa).
Pada dasarnya prinsip kerja dari alat penukar panas yaitu memindahkan panas dari dua fluida pada temperatur berbeda di mana proses perpindahan panas tersebut dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung (Hartono, 2008).
1. Alat penukar panas kontak langsung (Direct Heat Exchanger)
Pada alat penukar panas kontak langsung, fluida yang panas akan bercampur secara langsung dengan fluida dingin (tanpa adanya pemisah) dalam suatu bejana atau ruangan.
2. Alat penukar panas kontak tak langsung (Indirect Heat Exchanger)
Pada alat penukar panas kontak tak langsung, fluida panas tidak berhubungan langsung dengan fluida dingin. Jadi proses perpindahan panasnya itu mempunyai media perantara seperti pipa, plat, atau peralatan jenis lainnya. Berdasarkan arah aliran fluida, alat penukar panas dapat dibedakan menjadi (Hartono, 2008) :
1. Alat penukar panas dengan aliran searah (co-current/parallel flow)
Pertukaran panas pada jenis ini, kedua fluida (dingin dan panas) masuk pada sisi heat exchanger yang sama. Karakter heat exchanger jenis ini, temperatur
fluida dingin yang keluar dari heat exchanger (Tcb) tidak dapat melebihi temperatur fluida panas yang keluar (Thb), sehingga diperlukan media pendingin atau media pemanas yang banyak. Profil temperatur untuk aliran co-current dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Profil Temperatur Aliran Co-current atau Paralel Flow [McCabe, 1993] Dengan asumsi nilai kapasitas panas spesifik (cp) fluida dingin dan panas konstan, tidak ada kehilangan panas ke lingkungan serta keadaan steady state, maka kalor yang dipindahkan :
q = U x A x ∆TLMTD (2.1)
Keterangan : U = koefisien perpindahan panas keseluruhan (kcal/jam m2℃) A = luas perpindahan panas (m2)
∆TLMTD = log mean temperature diferensial (℃) ∆TLMTD = ln ∆T∆T2 − ∆T1
2 / ∆T1 ∆T2 = Thb – Tcb ∆T1 = Tha – Tca
2. Alat penukar panas dengan aliran berlawanan arah (counter-current flow) Pada penukar panas jenis ini, kedua fluida (panas dan dingin) masuk dengan arah berlawanan, mengalir dengan arah berlawanan dan keluar pada sisi yang berlawanan. Temperatur fluida dingin yang keluar dari heat exchanger (Tcb) lebih tinggi dibandingkan temperatur fluida panas yang keluar (Thb), sehingga dianggap
lebih baik dari heat exchanger dengan aliran searah (co-current/parallel flow). Profil temperatur untuk aliran counter-current dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Profil Temperatur Aliran Counter-current [McCabe, 1993]
Kalor yang dipindahkan pada aliran counter current mempunyai persamaan yang sama dengan persamaan 2.1, dengan perbedaan nilai ∆TLMTD, dengan pengertian beda ∆T1 dan ∆T2, yaitu :
∆T1 = Thb – Tca ∆T2 = Tha – Tcb
2.3.1 Masalah pada Heat Exchanger
Beberapa masalah yang dapat terjadi dalam heat exchanger (Eka,dkk : 13) antara lain :
1. Naiknya pressure drop di dalam heat exchanger
Penyebab kenaikan pressure drop di antaranya : terdapat kotoran dalam
heat exchanger (heat exchanger tersumbat), viskositas tinggi, kesalahan
koneksi pada sistem perpipaan, kuantitas aliran terlalu besar. 2. Menurunnya out put heat exchanger (menurunnya kapasitas)
Penyebab penurunan kapasitas di antaranya : heat exchanger terkotori/tersumbat oleh kotoran, aliran terlalu tinggi/cepat.
3. Kebocoran
Penyebab kebocoran heat exchanger di antaranya : tekanan dalam heat
exchanger melebihi tekanan izin, shock pressure/tekanan mendadak,
rusaknya gasket, terbloknya aliran dalam heat exchanger, terjadinya korosi.
4. Tercampurnya media
Penyebab tercampurnya media dalam heat exchanger di antaranya : korosi, plate tidak terinstall dengan benar, koneksi tidak sesuai.
2.3.2 Pengukuran Kinerja Heat Exchanger
Kinerja dari suatu heat exchanger dapat dilihat dari parameter-parameter berikut (Eka,dkk:8):
1. Faktor pengotoran (Fouling Factor)
Faktor pengotoran ini sangat mempengaruhi perpindahan panas pada heat
exchanger. Pengotoran ini dapat tejadi karena endapan dari fluida yang
mengalir, juga disebabkan oleh korosi pada komponen dari heat exchanger akibat pengaruh dari jenis fluida yang dialirinya. Selama heat exchanger ini dioperasikan, pengaruh pengotoran pasti akan terjadi. Terjadinya pengotoran tersebut dapat mengganggu atau mempengaruhi temperatur fluida mengalir juga dapat menurunkan atau mempengaruhi koefisien pindah panas menyeluruh dari fluida tersebut. Beberapa faktor yang dipengaruhi akibat pengotoran antara lain :
 Temperatur fluida
 Temperatur dinding tube
 Kecepatan aliran fluida
Jika fouling factor sudah memiliki nilai sedemikian besar, maka heat
exchanger tersebut dapat disimpulkan sudah tidak baik kinerjanya.
2. Koefisien perpindahan panas
Semakin baik sistem maka semakin tinggi pula koefisien panas yang dimilikinya.
3. Penurunan tekanan (pressure drop)
Pada setiap aliran dalam heat exchanger akan terjadi penurunan tekanan karena adanya gaya gesek yang terjadi antara fluida dan dinding pipa. Hal
Dimana : f = friction factor
Gt = laju aliran massa per satuan luas dt = diameter dalam tube
Np= jumlah pass aliran tube L = panjang tube
𝜌 = massa jenis fluida dalam tube Dimana : Gs = laju aliran massa per satuan luas
Ds = diameter dalam shell Nb= jumlah baffle
De = Diameter ekivalen
𝜌 = massa jenis fluida dalam shell ɸs= Rasio viskositas fluida shell
ini dapat terjadi pada sambungan pipa, fitting, atau pada heat exchanger itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan kehilangan energi sehingga perubahan suhu tidak konstan.
Besarnya penurunan tekanan pada tube side alat penukar kalor telah diformulasikan, persamaan terhadap faktor gesekan dari fluida yang dipanaskan atau yang didinginkan di dalam tube (Thamrin,2009).
∆Pt = 4f 𝐿.𝑁𝑑𝑝 𝑡
𝐺𝑡2 2𝜌
Untuk penurunan tekanan pada shell dapat dihitung dengan : ∆Ps = 𝑓.𝐺𝑠
2 𝑁
𝑏+1 .𝐷𝑠 2𝜌 .𝐷𝑒.ɸ𝑠
4. Konduktivitas termal
Daya hantar kalor yang dimiliki fluida maupun dinding pipa heat
exchanger sangat berpengaruh pada kemampuan kalor tersebut berpindah.
5. Aliran fluida yang bertukar panas
 Aliran kalor sejajar, kurang efisien dan cepat untuk satu fluida.
 Aliran kalor berlawanan arah, kalor yang ditransfer lebih banyak.
2.4 Shell and Tube Heat Exchanger
Alat penukar panas tipe shell and tube (penukar panas cangkang dan buluh) merupakan salah satu jenis alat penukar panas berdasarkan konstruksinya (Sitompul,1993). Alat penukar panas tipe shell and tube ini terdiri atas suatu bundel pipa yang dihubungkan secara paralel dan ditempatkan dalam sebuah pipa mantel (cangkang). Fluida yang satu mengalir di dalam bundel pipa dengan
diameter yang relatif kecil, sedangkan fluida yang lain mengalir di luar pipa pada arah yang sama, berlawanan, atau bersilangan. Kedua ujung pipa tersebut dilas pada penunjang pipa yang menempel pada mantel. Untuk meningkatkan efisiensi pertukaran panas, biasanya pada alat penukar panas cangkang dan buluh dipasang sekat (baffle). Ini bertujuan untuk membuat turbulensi aliran fluida dan menambah waktu tinggal (residence time), namun pemasangan sekat akan memperbesar pressure drop operasi dan menambah beban kerja pompa, sehingga laju alir fluida yang dipertukarkan panasnya harus diatur (Windriyanto).
Menurut Wibawa, keuntungan dari shell and tube heat exchanger adalah sebagai berikut :
 Memiliki permukaan perpindahan panas persatuan volume yang lebih besar.
 Mempunyai susunan mekanik yang baik dengan bentuk yang cukup baik untuk operasi bertekanan.
 Tersedia dalam berbagai bahan konstruksi.
 Prosedur pengoperasian lebih mudah.
 Dapat mengakomodasi ekspansi termal.
 Pembersihan dapat dilakukan dengan mudah.
2.4.1 Pembagian Alat Penukar Kalor Jenis Shell dan Tubes Berdasarkan Standard of Turbular Exchanger Manufactures Association (TEMA). Begitu banyaknya jenis dari alat penukar kalor shell dan tube yang dipergunakan pada dunia industri sehingga untuk membuat pembagiannya secara pasti sangat sulit. Standard of Turbular Exchanger Manufactures Association (TEMA) mengelompokkan alat penukar kalor jenis shell and tube berdasarkan kondisi kerjanya menjadi 3 klasifikasi (Ismail, 2009) , yaitu :
1. Alat penukar kalor kelas “R”, adalah kelas penukar kalor yang dioperasikan pada kondisi yang relatif berat, biasanya digunakan pada industri petroleum. 2. Alat penukar kalor kelas “C”, adalah alat penukar kalor yang dirancang untuk
beban dan persyaratan yang sedang.
3. Alat penukar kalor kelas “B”, adalah alat penukar kalor yang dioperasikan pada kondisi ringan dan biasana dirancang untuk jasa pelayanan umum. Gambar 2.4 di bawah ini merupakan contoh tipe shell and tube heat exchanger dengan tipe BEM :
Gambar 2.4 Shell and Tube Heat Exchanger Tipe BEM by TEMA [Brogan, 2011]
2.4.2 Komponen Utama Shell and Tube Heat Exchanger
Komponen utama dari shell and tube heat exchanger terdiri dari shell, bagian kepala depan dan belakang shell (front-end head dan rear-end head),
tubes, pengarah aliran (baffle), tube sheet, dan tie rods (Eka,dkk : 7). Untuk lebih
jelasnya diuraikan sebagai berikut : 1. Shell
Konstruksi shell sangat ditentukan oleh keadaan tubes yang akan ditempatkan di daIamnya. Shell ini dapat dibuat dari pipa yang berukuran besar atau pelat logam yang dirol. Shell merupakan badan dari penukar kalor di mana di dalamnya terdapat tube bundle (berkas pipa). Untuk temperatur yang sangat tinggi, kadang-kadang shell dibagi dua dan disambungkan dengan sambungan ekspansi.
2. Tube
Tube merupakan bidang pemisah kedua jenis fluida yang mengalir di dalam alat
penukar panas dan sekaligus berfungsi sebagai bidang perpindahan panas. Susunan dari
tube ini dibuat berdasarkan pertimbangan untuk mendapatkan jumlah pipa yang
banyak atau untuk kemudahan perawatan (pembersihan pipa).
3. Tube Sheet
Bagian ini merupakan tempat disatukannya tube-tube pada bagian ujungnya.
Tube sheet ini dibuat tebal dan tube harus terpasang rapat tanpa bocor pada tube sheet dengan konstruksi fluida yang mengalir pada badan shell tidak akan
tercampur dengan fluida yang mengalir di dalam tube. 4. Sekat (Baffle)
Adapun fungsi dari pemasangan sekat (baffle) pada heat exchanger antara lain : sebagai penahan dari tube bundel, untuk mengurangi atau menambah terjadinya getaran, sebagai alat untuk mengarahkan aliran fluida yang berada di dalam tubes.
5. Tie Rods
Batangan besi yang dipasang sejajar dengan tube dan ditempatkan di bagian paling luar dari baffle yang berfungsi sebagai penyangga agar jarak antara baffle yang satu dengan lainnya tetap.
2.4.3 Jumlah Lintasan pada Shell and Tube Heat Exchanger
Menurut Walas (1990) dan Sitompul (1993), pada alat penukar panas tipe
shell and tube terdapat 2 jenis lintasan yaitu :
Shell pass (lintasan shell)
Merupakan lintasan yang dilakukan oleh fluida sejak masuk mulai saluran masuk (inlet nozzle) melewati bagian dalam shell dan mengelilingi tube, keluar dari saluran buang (outlet nozzle) sehingga lintasan ini disebut 1 lintasan shell atau 1 pass shell.
Tube pass (lintasan tube)
Merupakan lintasan yang dilakukan oleh fluida masuk ke dalam penukar kalor melalui salah satu ujung (front head) lalu mengalir ke dalam tube dan langsung ke luar dari ujung yang lain sehingga disebut 1 pass tube. Apabila fluida tersebut membelok lagi masuk ke dalam tube sehingga terjadi 2 kali lintasan dalam tube maka disebut 2 pass tube. Contoh lintasan dalam alat penukar panas tipe shell and tube dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Lintasan pada Alat Penukar Panas Tipe Shell and Tube :
(a) 1-2 pass; (b) 2-4 pass; (c) 3-6 pass; (d) 4-8 pass
2.5 Metoda Effectiveness-NTU (Number of Transfer Unit)
Metoda yang lebih praktis untuk menyelesaikan masalah penentuan laju aliran kalor atau temperatur keluaran fluida panas dan dingin jika laju aliran massa, temperatur masuk, serta ukuran penukar kalor telah diketahui adalah dengan menggunakan metoda efektivitas-NTU.
Pada metoda ini digunakan parameter tak-berdimensi, yaitu efektivitas. Efektivitas penukar panas (ɛ) merupakan ratio pertukaran panas nyata dengan pertukaran panas maksimum yang mungkin terjadi dalam heat exchanger (Geankoplis, 2003). Persamaan efektivitas penukar panas :
ɛ = q q
maks
(2.2)
[Cao, 2010]
Keterangan : ɛ = Efektivitas alat penukar panas q = Laju alir kalor aktual (kcal/jam)
qmaks = Laju alir kalor maksimum yang mungkin terjadi (kcal/jam) Menurut Hewitt, untuk menentukan efektivitas alat penukar panas harus ditentukan fluida minimum, dimana kapasitas panas yang minimum dipilih dari :
Cmin = min (CH, CC) (2.3)
 Untuk fluida dingin : CC = mC x CpC
 Untuk fluida panas : CH = mH x CpH
Untuk menghitung laju aliran kalor maksimum yang mungkin terjadi pada heat
exchanger digunakan persamaan :
qmaks = Cmin x (THi - TCi) (2.4) [Geankoplis, 2003]
Untuk menghitung nilai qmaks perlu diketahui terlebih dahulu temperatur masuk fluida panas dan dingin serta laju aliran massanya. Jika efektivitas telah dapat diketahui maka laju aliran kalor aktual dapat diperoleh menggunakan persamaan :
q = ɛ x Cmin x (THi - TCi) (2.5) [Geankoplis, 2003]
Nilai efektivitas dapat dicari dengan dua cara, yaitu menggunakan persamaan pada Tabel 2.4 ataupun melihat pada Gambar 2.8. Untuk menentukan nilai efektivitas perlu dihitung terlebih dahulu NTU dan ratio kapasitas. NTU (Number
of Transfer Unit) dihitung menggunakan persamaan :
NTU = UA
Cmin
(2.6)
[Geankoplis, 2003]
Dengan U adalah koefisien perpindahan panas keseluruhan dan A adalah luas permukaan penukar panas. Nilai NTU menentukan ukuran penukar panas, semakin besar nilai NTU maka semakin besar pula ukuran penukar panas.
Rasio kapasitas adalah :
Cr = CCmin
maks
(2.7)
[Cao, 2010]
Khusus untuk penukar panas yang melibatkan perubahan fasa, nilai Cr = 0 maka nilai efektivitas adalah :
ɛ = ɛmaks = 1- exp-NTU (2.8)
Untuk menghitung dua variabel temperatur yang belum diketahui, maka digunakan persamaan 2.9.
q = (mH x CpH)(THi - THo) = (mC x CpC)(TCo – TCi) (2.9) [Geankoplis, 2003]
Keterangan :
q = Kalor yang dipindahkan (kcal/jam) mH = Laju alir massa fluida panas (kg/jam) CpH = Kalor jenis fluida panas (kcal/kg℃) THi = Temperatur masuk fluida panas (℃) THo = Temperatur keluar fluida panas (℃) mC = Laju alir massa fluida dingin (kg/jam) CpC = Kalor jenis fluida dingin (kcal/kg℃) TCo = Temperatur keluar fluida dingin (℃) TCi = Temperatur masuk fluida dingin (℃)
Tabel 2.4 Persamaan untuk Menentukan Effectiveness
Flow Arrangement Relation
Concentric Tube
Paralel flow
ɛ = 1−exp [−NTU (1+Cr )1+Cr
Counter flow
ɛ = 1−Cr exp [−NTU (1−Cr )1−exp [−NTU (1−Cr ) (Cr < 1)
ɛ = NTU
1+NTU
(Cr = 1)
Shell and tube
One shell pass
(2,4, .... tube passes) ɛ = 2 1 + Cr+ 1 + Cr2 0.5 ×1 + exp − NTU 1 + Cr 2 0.5 1 − exp − NTU 1 + Cr2 0.5 −1 n Shell passes (2n, 4n, ... tube passes) ɛ = 1− ɛ1 Cr 1−ɛ1 n − 1 1− ɛ1 Cr 1−ɛ1 n − Cr −1
Cross-flow (single pass)
Both fluids unmixed ɛ = 1 – exp 1
Cr (NTU)
0,22 exp −Cr(NTU)0,78 − 1 Cmax (mixed),
Cmin (unmixed)
ɛ = 𝐶𝑟1 (1 – exp {-Cr [1-exp (-NTU)]}) Cmin (mixed),
Cmax (unmixed)
ɛ = 1 – exp (- Cr-1 {1-exp [-Cr (NTU)]})
All exchanger (Cr = 0) ɛ = 1 – exp (-NTU)
Sumber : NM State University, Chapter 11
Sumber : NM State University, Chapter 11
Gambar 2.6 Effectiveness of a shell and tube with one shell and any multiple of two tube passes (two, four, etc tube passes) (a), ɛ of a shell and tube with two shell passes and any
multiple of four tube passes (four, eight, etc tube pasess) (b). (a)
Gambar 2.7 Effectiveness of a single-pas, cross-flow heat exchanger with both fluid unmixed (a), with one fluid mixed and the other unmixed (b).
(b) (a) (b)