• Tidak ada hasil yang ditemukan

JENIS GULMA RAWA SEBAGAI PESTISIDA NABATI TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JENIS GULMA RAWA SEBAGAI PESTISIDA NABATI TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

JENIS GULMA RAWA SEBAGAI PESTISIDA NABATI TERHADAP ULAT GRAYAK

(

Spodoptera litura

F.)

Syaiful Asikin

Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru Abstrak

Hama ulat grayak merupakan jenis hama yang sangat sulit dikendalikan, karena hama ini cepat beradaptasi dengan keadaan lingkungan. Hama ini dapat menyerang beberapa jenis tanaman terutama jenis tanaman sayuran. Pada umumnya dalam mengendalikan hama ini selalu bertumpu dengan pestisida kimiawi. Akibat penggunaan pestisida kimiawi yang kurang bijak, dapat menyebabkan berdampak negatif bagi lingkungan dan bagi pengguna dan hewan peliharaan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dicari alternatif pengendalian yang ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan tanaman sebagai pestisida/insektisida nabati. Tanaman gulma pada umumnya selalu diartikan bersifat negatif karena dapat menjadi sairangan dalam pengambilan hara dan dapat mengggangu proses fotosintesa karena persaingan dalam mendapatkan sinar matahari. Tetapi dilain pihak ada juga gulma yang dapat dijadikan bahan insektisida botani/nabati. Dari hasil penelitian jenis gulma tegari, babadotan, kirinyu, peletekan dan anting-anting sebagai insektisida nabati dalam mengendalikan hama ulat grayak, dengan persentase mortalitas larva sekitar 81,33%, 80,0%, 82,66%, 80,00% dan 81,33%. Dengan demikian tanaman gulma tersebut perlu dilestarikan sekadar untuk bahan penelitian pestisida/insektisida nabati dalam mengendalikan hama ulat grayak.

Kata Kunci: gulma, pestisida nabati, ulat grayak

1.

PENDAHULUAN

Dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman sekarang ini masih bermitra dengan pestisida kimiawi dan apabila penggunaannya yang kurang bijaksana akan menyebabkan terjadinya seperti terbunuhnya musuh alami, terjadinya hama baru, terjadinya resistensi dan resurgensi, pencemaran lingkungan dan kesehatan manusia dan hewan peliharaan. Namun, harus diakui bahwa dampak negatif penggunaan pestisida Indonesia merupakan negara yang tidak bijaksana terhadap kesehatan dan lingkungan sudah banyak dipublikasi sehingga berbagai upaya untuk memimalkan dampak negatifnya perlu dilakukan. Penggunaan pestisida dengan bahan aktif yang sangat toksik dan sulit terdegradasi juga menimbulkan berbagai dampak negatif pada lingkungan, seperti hilangnya keragaman hayati, menurunnya populasi organisme berguna seperti musuh alami, dan pencemaran lingkungan (Isenring 2010). Munculnya OPT yang resisten terhadap pestisida sintetis sudah lama diketahui. Menurut Bellinger (1996), ada lebih dari 500 spesies serangga dan tungau, 270 spesies gulma, 150 patogen tanaman, dan beberapa spesies tikus yang tahan terhadap pestisida. Di antaranya, terdapat lebih dari 1.000 kombinasi serangga/insektisida yang tahan (multiple resistan) dan 17 spesies serangga yang tahan terhadap hampir sebagian besar kelompok insektisida. Matsumura et al. (2009) menyatakan bahwa

resistensi wereng batang coklat terhadap insektisida imidakloprid dan tiametoksam umum terjadi di Asia Timur dan Indochina, kecuali Filipina, sedangkan wereng batang coklat yang tahan terhadap insektisida fipronil ditemukan di Asia dan Asia Tenggara.

Peran gulma di dalam ekosistem pertanian dapat dipandang sebagai organisme pengganggu tanaman, karena memiliki daya kompetisi yang tinggi, dapat tumbuh secara cepat, dan daya serap yang tinggi terhadap unsur-unsur yang tersedia di tanah (Ross & Lembi 1988). Namun tidak semua gulma menjadi musuh bagi petani. Interaksi antara gulma dan tanaman produksi menyebabkan berkurangnya hasil tanaman produksi. Sinyalemen ini berhubungan erat dengaan arah dan strategi pengelolaan gulma yang bertujuan untuk mengendalikannya seoptimal mungkin. Di sisi lain, penggunaan gulma secara langsung maupun tidak langsung, sangat bermanfaat untuk bahan baku pupuk, industri, obat-obatan, sayuran, biofilter, makanan ternak, makanan ikan, inang hama, dan alat penjernih limbah cair rumah tangga. Penggalian berbagai potensi gulma itu, telah banyak yang melaporkan (Everaats 1981), dilakukan melalui pengetahuan kearifan lokal, inventarisasi, koleksi dan pelestarian plasma nuftahnya. Untuk pelestarian gulma yang bermanfaat masih ditemui banyak permasalahan, terutama mengenai budidaya gulma, karena pada saat ini gulma masih dikategorikan sebagai tumbuhan liar.

(2)

Habitat tumbuhan rawa memegang peranan penting untuk kestabilan ekosistem pertanian, karena didayagunakan petani di dalam budidaya pertanian berkelanjutan. Budidaya pertanian konvensional tidak dapat berdiri sendiri, tanpa bantuan manusia dan masukan energi dari luar (Oka 1995). Daur ulang/daur hidup tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai bahan organik merupakan sumber atau aset bagi petani, karena itu tumbuhan rawa selalu dipertahankan lestari. Adapun jenis gulma yang digunakan adalah gulma gulma tegari, babadotan, kirinyu, pletekan dan anting-anting. Penelitian ini menggunakan tanaman gulma sebagai pestisida nabati dalam mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura).

Penelitian bertujuan untuk mengetahui keefektivan jenis ekstrak gulma rawa sebagai insektisida dalam mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura).

2.

METODE PENELITIAN

2.1 Bahan dan Alat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama Penyakit Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa pada musim tanam 2015 (Februari-Mei 2015).

Sumber senyawa sekunder tumbuhan yang berfungsi sebagai bahan aktif pestisida nabati adalah gulma tegari (Dianella sp), babadotan (Ageratum conyzoides), kirinyu (Chromolaena odorata), pletekan (Ruellia tuberosa L.) dan anting-anting (Acalipha indica Linn.)

Bahan-bahan lainnya yang digunakan adalah pelarut aseton 70%, Tween 40 atau 80, water bath, gelas kaca, alat pengaduk dan Serang uji yang dipergunakan adalah larva ulat grayak (Spodoptera litura).

Alat yang digunakan pisau, parang, kantongan, karung, ember, tikar dan water bat (untuk pemadatan), pelarut Aceton dan bahan pencampur Twen 40.

2.2 Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan eksktrak tumbuhan dan ditambah dengan 3 kontrol yaitu Kontrol tanpa pengendalian. Kontrol pestisida nabati dan Kontrol pestisida kimiawi diulang sebanyak 5 kali. Setiap perlakuan diujikan kepada 15 ekor larva instrar 2 atau 2 pada makanan (daun sawi segar) yang diberi masing-masing perlakuan. Pestisida nabati diformulasikan dengan melarutkan ekstrak padat. Mencampur ekstrak padat dengan Tween dilakukan pada plat kaca hingga merata kemudian

dimasukkan air sedikit demi sedikit ke dalam gelas dan dicampur dengan air sebanyak 1000 ml untuk setiap 1,5 g ekstrak padat (Wiratno 2011; Waratno & Siswanto 2012; Ariyadi 2012). Perlakuan dilaksanakan dengan cara mencelupkan selama 1-2 menit dan kemudian dikering anginkan. Setelah kering angin masukkan serangga uji tersebut. Pengamatan dilakukan terhadap kematian serangga uji pada 12, 24, 36, 48, 60 dan 72 jam setelah infestasi serangga, pengatan terhadap gejala keracunan, sifat racun, persentase larva menjadi pupa dan pupa menjadi imago.

Pengamatan terhadap gejala keracunan, mortalitas hama dilakukan pada setiap kali pengamatan dengan membandingkan jumlah hama yang mati dengan jumlah seluruh hama yang ada pada setiap perlakuan, dinyatakan dalam persen (%). Untuk menghitung presentase mortalitas larva digunakan rumus (Kudra 1981; Leatemia dan Rumthe 2011):

M = a/b x 100 %

Keterangan:

M = persentase mortalitas; a = julah serangga/larva uji yang mati; b = jumlah serangga/larva uji yang diinvestasi

Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 persen.

2.3 Pengambilan dan Pengumpulan Data

Ulat grayak dikumpulkan dalam wadah (kotak plastik) sebagai tempat untuk menyimpannya, sebelum dibawa ke laboratorium. Setibanya di laboratorium ulat tersebut dipelihara selama dua hari dengan pemberian makan yang rutin sehingga ulat-ulat tersebut bisa beradaptasi dengan lingkungan laboratorium, sebagai tempat tinggalnya yang baru. Ulat-ulat tersebut diberi daun sawi (sebagai makanan) agar ulat tidak mati sebelum penelitian ini dilaksanakan.

Benih sawi ditanam dalam pot ember berukuran 8 liter di rumah kasa sebanyak 20 pot/bak plastik. Tiap pot/bak plastik terdiri 2 - 5 tanaman sawi sehingga tersedia tanaman sebakan bahan makanan bagi ulat-ulat krop kubis dan plutella. Pada saat tanaman berumur 2 - 3 minggu tanaman disungkup dengan kurungan kasa untuk memelihara serangga dewasa jantan dan betina (masing-masing hama) agar meletakkan telurnya pada tanaman tersebut. Kelompok telur yang telah diletakkan oleh serangga betina pada tanaman sawi tersebut dibiarkan sampai menetas menjadi larva. Larva yang baru menetas tersebut dipelihara di

(3)

laboratorium sampai tersedia instar larva 2 atau 3. Sumber makanan larva yang dipelihara di laboratorium tersebut adalah berasal dari pertanaman sawi yang telah disiapkan di lapangan pada lahan berukuran 10m x 10m.

2.4

Penyediaan Ekstrak

Sebagai langkah awal dari serangkaian tahapan kegiatan tersebut adalah pembuatan Insektisida nabati yaitu dibuat dalam bentuk ekstrak padat (paste) dengan cara merendam bahan tumbuhan segar kedalam pelarut (aseton) dengan perbandingan setiap 1000 gram bahan tumbuhan direndam dengan 3 - 5 l pelarut. Setelah direndam selama 48 jam, kemudian disaring dan hasil saringan dievaporasi dengan vacum untuk menghasilkan residu. Hasil residu dimasukkan ke dalam cawan terbuka dan dipanaskan pada

waterbath dengan suhu 40oC-50oC. Untuk

membentuk ekstrak padat, pemanasan harus dilakukan selama kurang lebih 6-12 jam. Sebelum aplikasi, terlebih dahulu ekstrak padat dicampur dengan minyak Tween 40 atau 80 dengan perbandingan 10 : 1 agar daya rekatnya pada tanaman lebih kuat dan penyebarannya merata pada permukaan tanaman. Ekstrak padat dicampur Tween pada plat kaca hingga merata kemudian dimasukkan air sedikit demi sedikit ke dalam gelas dan dicampur dengan air sebanyak 1000 ml untuk setiap 1,5 g ekstrak padat.

2.5

Uji Toksisitas

Konsentrasi yang digunakan pada masing-masing ekstrak tumbuhan adalah 1,5 gr/liter air. Sebanyak lima belas ekor larva instar II dimasukkan masing-masing ke dalam vial yang telah berisi pakan mengandung ekstrak gulma-gulma rawa dengan berbagai konsentrasi. Pengamatan jumlah larva yang mati dilakukan setiap 24 jam sekali. Nilai LD50 dapat ditentukan berdasarkan analisis probit. Nilai LD 50 ini akan digunakan untuk menentukan konsentrasi yang akan dipakai dalam uji anti makan dan pengukuran efisiensi pemanfaatan makanan serangga uji.

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1

Gejala keracunan dan Sifat racun

Pada pengamatan terhadap gejala keracunan, pada bermacam ekstrak tumbuhan gulma rawa, dan hampir semua ekstrak yang diuji menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata antar

perlakuan terutama dengan perlakuan kontrol tanpa pengendalian. gulma tegari, babadotan, kirinyu, peletekan dan anting-anting.

Pada pengamatan pertama, 12 jam setelah infestasi belum menunjukkan adanya tanda-tanda keracunan bagi serangga uji, karena serangga tersebut masih aktif jalan memutar-mutas untuk mencari pakan yang bebas dari ekstrak tersebut. Sebab dilihat dari perlakuan kontrol aktifitas larva pada umumnya melakukan makan pakan dan keadaan larvanya sehat-sehat dan aktif. Pada penganatan selanjutnya yaitu 24 jam setelah infestasi, keadaan serangga hama dalam keadaan diam dan menggulung. Dari tanda-tanda tersebut serangga tersebut mulai terjadi reaksi keracunan yang bekerja pada perut. Pengamatan selanjutnya hampir semua larva pada perlakuan ekstrak gulma tersebut diam dan menggulung dan ada sebagian yang mulai mati. Menurut Utami et al. (2010), adapun gejala umum kematian larva, diawali dengan paralisis/kelumpuhan. Gejala keracunan demikian biasa dikenal sebagai efek knock down.

Tubuh larva yang mati berwarna hijau kehitaman dan lama kelamaan menghitam dan lunak.

Menurut Shahabuddin & Anshary (2010), peningkatan persentase mortalitas larva karena semakin besarnya kadar bahan aktif yang bersifat toksik dalam ekstrak tersebut dan juga diduga karena kurangnya nutrisi yang dikomsumsi oleh larva akibat adanya senyawa antimakan dalam ekstrak yang diperlakukan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitrian Mutiah et al. (2013) bahwa ekstrak tumbuhan selalu bereaksi agak lambat dibandingkan dengan insektisida kimiawi. Pada 24 jam setelah infestasi semua perlakuan ekstrak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terutama dengan kontrol tanpa pengendalian, menurut Asikin (2014) hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak tumbuhan gulma tegari, babadotan, kirinyu, peletekan dan anting-anting mempunyai nilai mortalitas tertinggi dibandingkan dengan perlakuan ekstrak tumbuhan lainnya. Karena pada umumnya ekstrak yang mempunyai daya racun juga diiringi oleh minyak atsiri yang cukup banyak yang dihasilkan oleh tumbuhan tersebut. Pada umumnya ekstrak tumbuhan mengandung zat antifeedant atau antimakan yang dikeluarkan oleh tanaman tersebut sehingga larva-larva uji tersebut tidak melakukan makan.

Narasimhan et al. (2005) melaporkan bahwa senyawa salanobutirolakton aktif sebagai antifeedant atau antimakan, sedangkan senyawa desasetilsalanobutirolakton aktif sebagai insektisida dan pertumbuhan regulasinya.

(4)

Dengan demikian ekstrak gulma rawa yang digunakan bersifat racun perut bagi serangga hama ulat grayak. Karena setelah larva makan dan melalui peruses dalam perutnya baru memperlihatkan serangga tersebut mulai mengalami gejala keracunan.

Pengamatan selanjutnya yaitu pada 48, 60 dan 72 jam setelah infestasi, bahwa hampir seluruh ekstrak gulma rawa menunjukkan persentase kematian atau mortalitas larva rata-rata mencapai 80-82%. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan aktif dari tumbuhan gulma tersebut. Tumbuhan gulma kirinyu dan babadotan mengandung zat aktif dan volatel-volatel lainnya yang dapat mempengaruhi hama ulat grayak. Pada pengamatan pertama yaitu 12 jam setelah infestasi, pada umumnya serangga uji masih bergerak bebas dan aktif mencari makanan yang bebas dari ekstrak tersebut.

Pada pengamatan selanjutnya yaitu 24 dan 36 jam setelah infestasi, serangga atau larva uji sudah mulai menunjukkan adanya keracunan yang ditandai dengan tingkah laku dari larva tersebut yang sudah mulaimelemah dan menggulung tidak aktif lagi (Tabel 1).

3.2

Mortalitas

Menurut Adegbite & Adesiyan (2005) kirinyuh mempunyai kandungan senyawa aktif yang bersifat sebagai ovisidal dan juvenilsidal terhadap Meloidogyne spp. maka dari itu peneliti ingin mengetahui kemampuan senyawa aktif dalam ekstrak kirinyuh terhadap daya hambat tetas telur dan mortalitas juvenil II Meloidogyne spp. Adapun kandungan yang dimiliki oleh ekstrak tumbuhan krinyu adalah terpenoid, tanin, saponin dan sesquiterpene. Senyawa–senyawa fenol, triterpenoid, alkaloid dan steroid yang terdapat pada

tumbuhan merupakan bahan aktif sebagai pengendali hama.

Menurut Murfon & Norton (1984) dalam

Budiarto (2000), suatu senyawa dikatakan efektif bila mampu mematikan 80% hewan uji. Batas– batas ambang bawah dan ambang atas dapat ditentukan berdasarkan hasil yang terlihat pada Tabel 1 yaitu pada konsentarsi 0,5% dan 4%. Ambang bawah yang digunakan pada konsentrasi 0,5% karena tingkat mortalitasnya 65% hewan uji bila dibanding dengan konsentrasi 1% tidak menunjukan perbedaan yang signifikan (Hadi 2008). Sifat toksik ini kemungkinan disebabkan oleh senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak daun kirinyu seperti, terpenoid, tanin, saponin dan sesquiterpene.

Senyawa–senyawa fenol, triterpenoid, alkaloid dan steroid yang terdapat pada tumbuhan merupakan bahan aktif sebagai pengendali hama. Senyawa ini menyebabkan adanya aktifitas biologi yang khas seperti toksik menghambat makan, antiparasit, dan pestisida (Harborne 1987). Terdapatnya senyawa toksik dalam ekstrak daun kiriyuh akan memberikan respon dengan cara menurunkan laju konsumsi dan efisiensi pencernaan serta metabolismenya. Pengaruhnya

terlihat pada lamanya mortalitas. Sifat toksik ini kemungkinan disebabkan oleh senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak daun kirinyu seperti, terpenoid, tanin, saponin dan sesquiterpene. Senyawa–senyawa fenol, triterpenoid, alkaloid dan steroid yang terdapat pada tumbuhan merupakan bahan aktif sebagai pengendali hama. Senyawa ini menyebabkan adanya aktifitas biologi yang khas seperti toksik menghambat makan, antiparasit, dan pestisida (Harborne 1987). Senyawa toksik dalam ekstrak daun kiriyuh akan memberikan respon dengan cara menurunkan laju konsumsi dan efisiensi pencernaan serta metabolismenya.

Secara fisiologi, senyawa bioaktif yang terkandung didalam ekstrak dapat merusak sistem syaraf serangga uji. Senyawa bioaktif yang mampu merusak sistem syaraf pada rayap adalah senyawa sisquiterpen. Secara fisiologi, senyawa bioaktif yang terkandung didalam ekstrak dapat merusak sistem syaraf serangga uji. Senyawa bioaktif yang mampu merusak sistem syaraf pada rayap adalah senyawa sisquiterpen. Menurut Harto (1998) masuknya senyawa sisquiterpen diketahui dapat menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase

Tabel 1. Tanaman yang diujikan pada hama ulat grayak pada musim tanam 2015

No. Jenis tumbuhan gulma 12 24 Pengamatan (%) 36 48 60 72 1. Tegari 0 40,00b 78,66b 77,33b 81,33a 81,33a 2. Babadotan 0 38,66b 73,33b 73,33b 80,00a 80,00a 3. Kirinyu 0 40,00b 77,33b 77,33b 82,66a 82,66a 4. Anting-Anting 0 37,33b 73,33b 73,33b 80,00a 80,00a 5. Pletekan 0 40,00b 38,66b 77,33b 81,33a 81,33a 5. Kontrol (Pes.kimia) 100 100a 100,00a 100a 100b 100a 6. Mimba (Pes botani) 0 38,00c 68,00c 73,33b 77,33c 73,33b

7. Tanpa pengendalian 0 0 0 0 0 0

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

(5)

sehingga menyebabkan mortalitas pada rayap. Seperti dijelaskan pada Untung (1996 dalam Titisari 2000), bahwa dalam sistem syaraf serangga antara sel syaraf dan sel otot terdapat synaps. Asetilkolin yang dibentuk oleh sistem syaraf berfungsi pusat untuk menghantarkan impuls dari sel syaraf ke sel otot. Setelah implus dihantarkan, proses dihentikan oleh enzim asetilkolinesterase yang memecah asetilkolin menjadi asetil ko-A dan lin. Terhambatnya kerja dari enzim asetilkolinesterase sehingga terjadi penumpukan setilkolin yang akan menyebabkan terjadinya kekacauan pada sistem penghantar impuls ke otot yang dapat berakibat otot kejang, terjadi kelumpuhan dan berakhir ke kematian. Ekstrak tumbuhan krinyu, umbuhan yang mempunyai potensi sebagai insektisida alami adalah tumbuhan kirinyu (C.odorata)

Menurut Hopkins & Hiiner (2004) dalam Yunita

et al. (2009) tanin menekan konsumsi makan, tingkat pertumbuhan dan kemampuan bertahan. Seskuiterpenoid merupakan senyawa bioaktif yang mampu merusak sistem syaraf pada serangga. Masuknya senyawa tersebut diketahui dapat menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase sehingga menyebabkan mortalitas pada rayap (Hadi 2008). Hal tersebut mengakibatkan otot kejang, terjadi kelumpuhan dan berakhir dengan kematian. Kemungkinan seskuiterpenoid yang terkandung dalam ekstrak etanol daun kirinyuh juga dapat menyebabkan mortalitas pada wereng coklat. Alkaloid jenis PAs (Pyrolizidine Alkaloids) yang terkandung dalam tumbuhan kirinyuh bersifat toksik, sebagai penghambat makan dan insektisidal bagi serangga. Menurut Cahyadi (2009) senyawa alkaloid dan flavonoid dapat bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa alkaloid dan flavonoid tersebut masuk ke dalam tubuh larva maka alat pencernaannya akan terganggu.

Gulma babadotan juga memiliki kemampuan sebagai insektisida nabati (racun serangga), karena dalam babadotan terkandung senyawa penting atau senyawa metabolit yang bersifat sebagai insektisida seperti alkaloid, flavonoid, kumarin, saponin, polifenol, dan minyak atsiri (Kardinan 2001).

Scott et al. (2004) melaporkan penurunan residu senyawa dapat disebabkan sinar mata hari. Lebih lanjut, peneliti ini melaporkan bahwa senyawa tefrosin dan deguelin dapat didegradasi oleh cahaya matahari.

Menurut Prijono (1999), beberapa kekurangan insektisida botani antara lain persistensinya yang rendah, sehingga pada tingkat populasi hama yang tinggi untuk mencapai keefektifan pengendalian yang maksimum diperlukan aplikasi berulang-ulang.

Tumbuhan gulma anting-anting mengandung senyawa kimia/fitokimia tumbuhan anting-anting yang menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, triterpenoid, steroid, dan saponin (Halimah 2010). Kandungan senyawa kimia dari tanaman anting-anting berupa senyawa turunan saponin, triterpenoid, steroid,flavonoid, dan senyawa lainnya menjadikan tanaman ini berpotensi sebagai tumbuhan afrodisiak (Halimah 2010).

Gulma anting-anting (Acalypha indica L.) merupakan gulma yang sangat umum ditemukan tumbuh liar di pinggir jalan, lapangan rumput maupun di lereng gunung (Kawatu et al., 2013). Secara fitokimia tanaman ini telah dilaporkan mengandung alkaloid. Flavonoid, khususnya kaempferol mauritianin glycoside, clitorin,dan nicotiflorin biorobin, naringin, quercitrin, hesperitin diisolasi dari bunga dan daun. Kandungan lainnya yaitu alkaloid, catachol, flavonoid, senyawa fenol, saponin dan steroid (Masih et al. 2011).

Gulma pletekan salah satu jenis gulma yang banyak tumbuh dan ditemukan di Indonesia. Kirsimaritin, kirsimarin, kirsiliol 4’-glukosida, sorbifolin dan pedalitin (Lin 2006 dalam Roskiana 2012). Salah satu golongan yang dimiliki oleh tanaman pletekan adalah senyawa fenol, senyawa fenoldapat menurunkan aktivitas enzim nxantin oksidase dan dapat meredam radikal bebas. Flavonoid yaitu Gulma pletekan mengandung senyawa aktif hexadecanamide, 9-Octadecenamide, (Z)-, Octadecenamide dan 1,2 Benzenedicarboxylic acid (Nopiari et al. 2016).

Tumbuhan tegari mempunyai daun yang keras, membujur dan membentuk pedang dengan panjang berkisar 30 cm. Bunga berwarna outih dengan ukuran tidak beraturan, terletak pada satu tangkai bunga yang bergerombol. Buah muda berwarna hijau dan jika tua berwarna biru metalik sampai ungu. Akar tanaman Tegari ternyata banyak mengandung racun. Racun ini dapat digunakan untuk mengendalikan tikus sehingga populasinya terkendali sehingga tidak merusak pertanaman. Bagian tanaman yang dipakai sebagai bahan rodentisida adalah dari bagian akarnya. Akar Tegari mengandung senyawa plumbagin yang merupakan hidrolisis dan oksidasi. Plumbagin adalah derivat senyawa quinone yang digunakan sebagai obat dan racun ,seperti Chimaphilin, Plumbagin dan Eleutherin.

3.3

Persentase pupa dan imago

Pada pengamatan terhadap larva menjadi pupa dan imago masing-masing pada ekstrak tegari kematian larva antra 80-82%. Larva menjadi pupa dan imago

(6)

pada ekstrak terari yaitu jumlah larva 75 ekor dan mati 61 ekor yang menjadi pupa sekitar 14 ekor. Dari 14 ekor tersebut yang bentuknya kecil 7 ekor dan yang agak besar 7 ekor. Dan yang menjadi imago 13 ekor dan yang tidak sempurna arau kecil sekitar 5 bekor dan yang sempurna sekitar 9 ekor dan tidak jadi imago 1 ekor. Untuk ekstrak babadotan dan ektrak anting-anting jumlah larva yang mati sekitar 60 ekor dan pupa dan imago. Jumlah imago sempurna 10 ekor dan tidak sempurna 5 ekor.

Ekstrak kirinyuh/krinyu, larva mati 62 ekor dan yang jadi pupa 13 ekor. Dari 13 pupa tersebut, yang menjadi imago 7 ekor tidak sempurna atau kecil, dan yang besar atau yang sempurna 6 ekor. Dari hasil pengatan terhadap imago dewasa sempurnya tersebut pada umumnya serangganya mandul atau tidak menghasilkan telur.

4

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tumbuhan gulma tegari, babadotan, kirinyu dan anting-anting dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati untuk mengendalikan hama ulat grayak yang ramah lingkungan dengan mortalitas berkisar antara 80-82%. Dengan demikian gulma-gulma tersebut perlu dikonservasi agar tanaman gulma tersebut tetap lestari sebatas sebagai pestisida botani/nabati.

5

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga W, Soetiarso TA. 1999. Strategi petani dalam pengelolaan resiko pada usaha tani cabai merah.

J. Hort., 8 (41)..

Adegbite. 2011. Effects of some indigenous plant extracts as inhibitors of egg hatch in Root-Knot Nematoda (Meloidogyne incognita race 2). Obafemi Awolowo Universit Nigeria. American 1 Journal of Experimental Agriculture, (3), 96-100.

Adegbite AA, Adesiyan SO. 2005. Root extracts of plants to control Root-Knot Nematode on edible soybean. Obafemi Awolowo University. Nigeria. World

Journal of Agricultural Sciences, 1(1), 18-21. Arijadi T. (2012. Isolasi dan uji bioassay bakteri kotoran

cicak yang berpotensi sebagai pengendali larva

Aedes sp. Jurnal Unimus, 91-96.

Asikin S, Thamrin M. 2010. Tumbuhan rawa asal Kalimantan Selatan dan Tengah yang berpotensi sebagai insektisida nabati. Dalam: Sutiman,. B.S.; A.Molyono. , E. Budi.M., Cahyo.C., F. Rosi., T. Kustono. A., E. Setyawati., Novi. A., A. Aziz., M. Jamhuri., Y. Eka Putrie dan Luluk. M. Prosiding Seminar Nasional Green Technologi. Fak.Sain dan Teknologi Univ. Islam Negeri (UIN) Malang, 20 Nov. 2010.

Asikin S. 2012. Uji efikasi ekstrak tumbuhan rawa untuk mengendalikan hama ulat grayak skala laboratorium. Jurnal Agroscientiae, 19(3), 178 – 183.

Askari K, Vandalisna M, Aburaera. 2009. Evaluasi penyuluhan terhadap aplikasi pestisida nabati daun sirsak sebagai pengendali ulat tritip pada tanaman sawi. Jurnal Agrisistem, 5(1), 1-10.

Bellinger RG. 1996. Pest Resistance to Pesticides. Department of Entomology. Clemson University. ipm.ncsu.edu/safety/factsheets/resistan.pdf. Basuki RS. 2009. Pengetahuan petani dan keefektifan

penggunaan insektisida oleh petani dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua Hubn pada tanaman bawang merah di Brebes dan Cirebon.

Jurnal Hortikultura, 19(4), 459−474.

Correll DS, Schubert BG, Gentry HS, Hawley WD. 1955. The search for plant precursors of cortisone.

Economic Botany, 52, 307-375.

Cooper J, Dobson H. 2007. The benefits of pesticides to mankind and the environment. Crop Prot., 26, 1337–1348

Cahyadi R. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Pare (MomordicacharantiaL.) Terhadap Larva Artemiasalina Leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Universitas Diponegoro, Semarang.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Bahan Aktif yang Dilarang Untuk Semua Bidang Penggunaan Pestisida. Pedoman Teknis Kajian Pestisida Terdaftar dan Beredar TA 2012. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Jakarta. 23 h.

Everaats AP. 1981. Weeds of Vegetables in the Highlands of Java. Horticultural Research Institute. Jakarta.

Halimah N. 2010. Uji Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Tanaman Anting-Anting (Acalypha indica L.) Terhadap Larva Udang (Artemia salina Leach). Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Harahap N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Harwoko, Utami E. 2010. Aktivitas sitotoksin fraksi n-heksan: kloroform dari ekstrak metanol kulit batang mangrove (Rhizopora mucronata) pada sel kanker Myeloma. Majalah Obat Tradisional, 15(2), 51 – 55, 2010.

Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. Yogyakarta

Isenring R. 2010. Pesticides and the Loss of Biodiversity. How Intensive Pesticide Use Affects Wildlife Population and Species Diversity. Pesticide Action Network. Europe. 26 pp. Development House 56−64 Leonard Street, London EC2A 4LT. www.pan-europe.info.

(7)

Kundra. 1981. Dinamika Populasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kawatu C, Bodhi W, Mongi J. 2013. Uji efek ekstrak etanol daun anting-anting (Acalypha indica L.) terhadap kadar gula darah tikus putih jantan galur wistar (Rattus novergicus). Pharmacon. 2(1), 81-85.

Laba IW. 2010. Analisis empiris penggunaan insektisida menuju pertanian berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian, 3(2),120−137

Mutiah S, Lubis L, Pangestiningsih Y. 2013. Uji efektivitas beberapa insektisida nabati untuk mengendalikan ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera : Noctuidae) di laboratorium.

JurnalcOnline Agroekoteknologi, 1(3), 560-569. Masih M, Banerjee T, Banerjee B, Pal A. 2011.

Antidiabetic activity of Acalypha indica Linn. on normal and alloxan induced diabetic rats. International. Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science, 3(3), 51-54.

Matsumura M, Takeuchi H, Satoh M, Sanada-Morimura S, Otuka A, Watanabe T, Thanh DV. 2009. Current status of insecticide resistance in rice planthoppers in Asia. In: KL Heong, B Hardy (Eds.).

Planthoppers: New Threats to the Sustainability of Intensive Rice Production Systems in Asia. International Rice Research Institute, Los Baños, Philippines. pp. 233−244.

Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.

Nopiari IA, Adriani NP, Wiratmini NI. 2016. Identifikasi

senyawa daun pletekan (Ruellia tuberosa L.) using GC-MS. Jurnal Simbiosis, 4(2), 55-57.

Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Prijono D. 1999. Prospek dan strategi pemanfaatan insektisida alami dalam PHT. Dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono D, penyunting. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor, 9-13 Agustus 1999. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian Bogor, Bogor. H. 1-7.

Purnobasuki H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. irlangga University Press, Surabaya. Ross MA, Lembi CA. 1985. Applied Weed Science.

Burgess Publ. Co., Minneapolis.

Roskiana AA. 2012. Isolasi dan Elusidasi Struktur Antioksidan dan Penghambat Enzim Xantin Oksidasi Ekstrak Daun Pletekan (Ruellia tuberosa L.). Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Magister Ilmu Kefarmasian, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Jakarta.

Scott CA., Faruqui NI, Raschid-Sally L. 2004.

Wastewater Use in Irrigated Agriculture: Confronting the Livelihoods and Environmental Realities. CABI Publishing, Wallingford, UK, p.193. Utami S. 2011. Bioaktivitas Insektisida Nabati Bintaro

(Cerbera odollam Gaertn.) sebagai Pengendali Hama Pteroma plagiophleps Hampson dan Spodoptera litura. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wiratno, Siswanto. 2012. Bioassay pestisida nabati berbasis tanaman jarak pagar dan cengkeh terhadap Nilaparvata lugens Stal. Prosiding Seminar Minyak Atsiri, Solok.

Wiratno. 2011. Efektifitas pestisida nabati berbasis minyak jarak pagar, cengkeh, dan seraiwangi terhadap mortalitas Nilaparvata lugens Stal.

Prosiding Seminar Nasional Pestisida Nabati IV, Solok, h. 251-260.

Referensi

Dokumen terkait

Ada empat alternatif strategi dalam penyelesaian konflik penguasaan lahan di Lokapurna yaitu mengeluarkan masyarakat secara keseluruhan dari Taman Nasional (relokasi),

Kandungan organik pada air berpotensi membentuk senyawa karsinogenik antara lain THM (Trihalomethane) pada proses desinfeksi dengan khlor, sehingga hal ini

Terdapat sejumlah istilah yang digunakan, antara lain pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), Pendidikan Ilmu Sosial (PIS). Setiap istilah yang digunakan merupakan

Dampak dari perlawanan Teuku Nyak Raja terhadap Agresi Belanda dengan terbunuhnya Kohler itu menjadi dampak yang sangat besar, karena setelah Kohler terbunuh menjadi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas yang memiliki daya hasil per hektar dan ketahanan genotipe terhadap lingkungan melebihi rerata umumnya adalah varietas harapan

Berdasarkan roadmap jambu kristal Indonesia tahun 2015−2035, jambu kristal memiliki peluang dan potensi yang cukup menjanjikan untuk menggantikan (subtitusi)

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan awal sambung samping tanaman jambu kristal pada berbagai taraf konsentrasi IAA dan BAP yang berbeda, serta

Berdasarkan tingkat kepercayaan 95%, disimpulkan bahwa secara simultan variabel DCMR, ICMR, ECRI, Acquiring Cost , dan Overhead Cost dengan NPF sebagai variabel moderasi