TINJAUAN PUSTAKA
Monyet Ekor Panjang
Menurut Lekagul dan McNeely (1977), monyet ekor panjang (MEP) secara taksonomi diklasifikasikan sebagai berikut: Filum Chordata, Sub Filum Vertebrata, Kelas Mammalia, Ordo Primata, Sub ordo Antropoidae, Famili Cercophitecidae, Sub famili Cercopithecinae, Genus Macaca, Spesies Macaca fascicularis Raffles 1821.
Monyet ekor panjang dapat hidup di hutan primer, hutan sekunder, hutan bakau serta dapat hidup disekitar perkampungan masyarakat (Rowe 1996). Bobot badan, panjang badan, serta panjang ekor antara MEP jantan dan betina dewasa berbeda (Tabel 1).
Gambar 2 Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) (Sumber foto: Entang Iskandar 2007)
Tabel. 1 Bobot badan, panjang badan, dan panjang ekor pada monyet ekor panjang dewasa jantan dan betina
Peubah Jantan Betina Panjang tubuh (cm) 4,12 – 6,48 3,85 – 5,03
Bobot badan (kg) 4,70 –8,30 2,50 – 5,70 Panjang ekor (cm) 4,35 – 6,55 4,00 – 5,50
Sumber: Rowe (1996)
Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok yang terdiri dari banyak jantan dan banyak betina (multi male - multi female). Jumlah anggota kelompok
nya berkisar antara 10 sampai lebih dari 100 ekor, namun biasanya antara 20 – 50 ekor (Fuentes 2007). Demikian pula yang dilaporkan oleh Rowe (1996), ukuran kelompok berkisar antara 10 sampai 48 ekor hingga lebih dari 100 ekor dengan daerah jelajah 25 sampai 200 ha.
Pakan monyet ekor panjang terdiri dari 64,0 – 66,7% buah, 17,2% daun, 8,9% bunga, 4,1% insekta, dan lain-lain 3,2% (Rowe 1996; Julliot 1996). Menurut hasil penelitian Soegiarto (1992), komposisi bagian tumbuhan yang dimakan terdiri dari bagian daun 49,93%, buah 38,54%, bunga 6,60% dan lain-lain sebanyak 4,93%. Kebutuhan nutrisi MEP dewasa dapat dilihat pada (Tabel 2). Tabel 2 Kebutuhan nutrisi monyet ekor panjang dewasa
Zat makanan Kadar
Protein kasar (%) 8
Serat kasar (%) 2-8
Lemak (%) 5-9
Asam lemak essensial n-3 (%) 0,50 Asam lemal essensial n-6 (%) 2
Ca (%) 0,55 P (%) 0,33 Mg (%) 0,04 Fe (mg·kg-1) 100 Mn (mg·kg-1) 44 Cu (mg·kg-1) 15 Vitamin A (IU·kg-1) 10.000-15.000 Vitamin D (IU·kg-1) 2.000-9.000 Vitamin K (IU·kg-1) 68 Tiamin (mg/kg-1) 15-30 Riboflavin (μ/kg-1) 25-30 Asam Pantotenat (mg·kg-1) 20 Niasin (mg·kg-1) 50-110 Vitamin B6 (mg·kg-1) 4,40 Biotin (μ/kg-1) 100 Folasin (mg·kg-1) 1,50 Vitamin B12 (mg/kg 1) 0,011 Vitamin C (mg·kg-1) 1-25 Energi (Kal/kg/hari) 72-120 Sumber : NRC (2003) Hewan Model Obesitas
Monyet ekor panjang merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki peranan penting dalam riset biomedis untuk kepentingan manusia. Hal ini karena secara anatomis dan fisiologis serta kedekatan filogenetik MEP memiliki kemiripan dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya
(Sajuthi et al. 1993; Bennett et al. 1995). Monyet ekor panjang adalah hewan yang sesuai sebagai hewan model obesitas karena jangka waktu hidupnya cukup lama (bisa sampai kurang-lebih 30 tahun), sehingga memungkinkan pengamatan sampel untuk waktu yang lama (Wagner et al. 1996).
Satwa primata lain yang digunakan untuk penelitian obesitas antara lain, yang menggunakan juvenile monyet bonnet (Macaca radiata) untuk mengetahui faktor stres sebagai salah satu faktor penyebab obesitas dan terjadinya resisten insulin (Kaufman et al. 2007). Penelitian selanjutnya yang dilaporkan oleh Anthony et al. (2003) menggunakan baboon (Papio hamadryas) sebagai studi genetik pada obesitas, kemudian Sullivan et al. (2005) menggunakan monyet rhesus (Macaca mulatta) betina untuk mengetahui pengaruh konsumsi energi pada malam hari terhadap pertambahan bobot badan. Selanjutnya Banks et al. (2003) menggunakan baboon dewasa liar untuk mengetahui adanya peningkatan kadar leptin dalam serum darah, hiperlipidemia dan resistensi insulin.
Penelitian yang menggunakan tikus sebagai hewan model obesitas pernah dilaporkan oleh Leonard et al. (1988) untuk mengetahu pengaruh pengunaan sukrosa dan pati terhadap pengaruh thermogenesis dan obesitas, kemudian Joshua et al. (1999) untuk mengetahui faktor pemberian pakan terhadap ukuran sel lemak dan sensitifitas hormon lipase. Penelitian selanjutnya adalah Stephen et al. (2003) untuk mengetahui terjadinya obesitas pada tikus yang disebabkan oleh faktor lingkungan.
Obesitas
Obesitas adalah akibat dari kalori yang masuk secara berlebihan dari yang diperlukan oleh tubuh. Obesitas disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: faktor genetik, tingkah laku, lingkungan, fisiologi, sosial dan budaya ( Racette et al. 2003). Hasil penelitian WHO (2006) menyimpulkan bahwa tingkah laku dan lingkungan merupakan faktor pertama penyebab obesitas dalam dua dekade ini. Maes et al. 1997 dalam Racette et al. 2003 mengestimasikan bahwa faktor genetik memberikan kontribusi 50 - 90% dalam perubahan IMT. Menurut WHO (2006) bahwa standar IMT untuk overweight adalah lebih dari 25 dan IMT untuk obesitas adalah lebih dari 30 dan disebabkan oleh banyaknya asupan makanan yang
mengadung lemak, karbohidrat dan rendahnya asupan vitamin, mineral dan micronutrients.
Chen et al. (2000) melaporkan kejadian obesitas dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan faktor lingkungan seperti asupan makanan yang berlebihan serta aktivitas fisik yang semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan kurangnya energi yang digunakan, dan selanjutnya akan menyebabkan obesitas (Gambar 3).
Gambar 3 Penyebab obesitas pada manusia (Chen et al. 2000).
Resiko obesitas adalah resiko psikososial dan resiko medis, pada saat ini resiko psikososial sudah banyak disadari oleh masyarakat, namun resiko medis masih kurang diyakini oleh masyarakat. Orang obes akan cenderung sakit, hal ini disebabkan karena adanya kelainan metabolik. Kelainan metabolik tersebut umumnya berupa resistensi terhadap insulin pada jaringan lemak. Akibat
Aktivitas
enzim endokrin Status Perubahan pada regulasi makanan
FAKTOR LINGKUNGAN
1. Status sosial ekonomi 2. Kebudayaan 3. Ketersediaan makanan 4. Pola makan 5. Pengaruh keluarga Perubahan pada pola metabolisme Peningkatan
sintesa lemak konsumsi energi Peningkatan emosional Pengaruh
Aktivitas yang menurun OBESITAS
resistensi insulin adalah adanya kenaikan kadar asam lemak (free fatty acid) dan gliserol (Sukanto et al. 1996).
Obesitas juga dapat disebabkan oleh virus, seperti yang dilaporkan oleh Dhurandhar (2001) bahwa, terdapat 2 jenis virus yang dapat menyebabkan obesitas pada hewan yaitu SMAM-1 avian adenovirus pada ayam dan adenovirus-36 pada manusia. Dhurandhar et al. (2002) melakukan penelitian menggunakan dua jenis virus tersebut pada monyet Rhesus (Macaca mullata) jantan dan marmosets (Callithrix jacchus) jantan yang menunjukkan adanya efek peningkatan bobot badan dan penurunan kadar kolesterol pada serum darah.
Seperti halnya manusia, primata non manusia juga menujukkan gejala obesitas pada populasi yang makanannya tersedia dalam jumlah banyak. Obesitas dapat terjadi pada monyet yang digunakan sebagai hewan model dan dipelihara di laboratorium dalam kandang yang ukurannya terbatas (Chen et al. 2000). Monyet Rhesus (Macaca mulatta) yang dipelihara dalam kandang individu dilaporkan menjadi gemuk dan beberapa diantaranya cenderung menderita penyakit yang disebabkan oleh obesitas (Hansen et al. 1986). Kekurangan gerak mungkin merupakan faktor penunjang pada monyet ini (Hansen et al. 1995). Obesitas spontan juga dilaporkan terjadi pada baboon liar (Banks et al. 2003), koloni rhesus free-ranging (Schwartz et al. 1993), koloni Macaca fuscata (Takashi et al. 2006), dan Macaca nemestrina (Walike et al. 1977). Putra et al. (2006) juga menyatakan bahwa banyak MEP di kawasan wisata di Bali menunjukkan tanda-tanda obesitas dengan IMT sampai 67,57 kg/m2 pada jantan dan 60,07 kg/m2 pada betina.
Pengukuran Antropometri sebagai Skrining Obesitas
Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan saat ini antara lain pengukuran IMT (Indek Massa Tubuh), lingkar pinggang, serta perbandingan lingkar pinggang, dan lingkar panggul (Caballero 2005). Berikut ini penjelasan masing-masing metode pengukuran antropometri tubuh.
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Menurut Adam (2005), banyak cara untuk menentukan seseorang obes atau tidak, tetapi cara yang paling mudah secara medis adalah dengan mengukur IMT. Selain dengan menggunakan IMT, obesitas juga dapat diukur dengan menentukan distribusi jaringan lemak yaitu obes sentral atau perifer.
Penilaian bobot badan dengan menggunakan IMT sangat cocok diterapkan bagi orang-orang yang ingin mengetahui kondisi bobot badan jika ditinjau dari kesehatan. Meski demikian, penilaian bobot badan menggunakan IMT juga memiliki kelemahan yaitu tidak memperlihatkan distorsi proporsi tubuh (Purwati et al. 2005)
Pada orang dewasa parameter penentu seseorang tersebut dikategorikan obesitas, jika IMT ≥ 30,0 kg/m2 (WHO 1997; Racette et al. 2003). Kategori Indeks massa tubuh (IMT) dibagi menjadi dua kategori yaitu untuk orang Eropa dan orang Asia (Tabel 3 dan 4).
Tabel 3 Kategori indeks massa tubuh (IMT) untuk orang Eropa Kategori bobot badan IMT (kg/m2)
Kurang < 18,5 Normal 18,5 – 24,9 Overweight ≥ 25,0 Pre Obesitas 25,0 – 29,9 Obesitas ≥ 30,0 Obesitas tipe 1 30,0 – 34,9 Obesitas tipe 2 35,0 – 39,9 Obesitas tipe 3 ≥ 40,0
Menurut : World Health Organization’s (1997) Tabel 4 Kategori IMT untuk orang Asia
Kategori bobot badan IMT (kg/m2)
Kurang < 18,5 Normal 18,5 – 22,9 Overweight ≥ 23,0 Pre Obesitas 23,0 – 24,9 Obesitas tipe 1 25,0 – 29,9 Obesitas tipe 2 ≥ 30,0
Menurut : World Health Organization’s (1997) Lingkar Pinggang
IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan merupakan indikator terbaik untuk obesitas (Grundy 2004). Selain IMT, metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar
pinggang (Bell et al. 2005). Parameter penentuan obesitas merupakan hal yang paling sulit dilakukan karena perbedaan cut of point setiap etnis terhadap IMT maupun lingkar pinggang (Bell et al. 2005). Sehinggga IDF (Internasional Diabetes Federation) mengeluarkan kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis (Tjokroprawiro 2006).
Tabel 5 Nilai lingkar pinggang berdasarkan etnis
Negara/grup etnis Lingkar pinggang (cm) pada obesitas
Eropa Pria >94
Wanita >80 Asia Selatan
Populasi China, Melayu, dan Asia- India Pria >90 Wanita >80 China Pria >90 Wanita >80 Jepang Pria >85 Wanita >90
Amerika Tengah dan Selatan Gunakan rekomendasi Asia Selatan hingga tersedia data spesifik
Sub-Sahara Afrika Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia data spesifik
Timur Tengah Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia data spesifik
Sumber : International Diabetes Foundation (2005)
Kriteria Obes
Obesitas sentral adalah lemak di dalam tubuh kita didistribusikan (ditimbun) terutama pada dua tempat yang berbeda yaitu: di bagian perut (abdomen) dan di bagian bokong (gluteus). Pada pria, lemak tubuh banyak didistribusikan di bagian atas tubuh yaitu bagian perut, oleh karena itu obesitas viseral atau yang dikenal juga dengan nama obesitas tipe android. Obesitas sentral merupakan penimbunan lemak yang terdapat di abdomen baik subkutan maupun intra abdominal (viseral abdomen). Jaringan intra abdominal terdiri atas lemak intraperitoneal (omentum dan mesenterik) dan retroperitoneal. Pemeriksaan baku obesitas sentral adalah dengan cara pencitraan yaitu Computerized Tomography scan (CT-scan), magnetic resonance imaging (MRI) maupun densitometri (DXA), namun pemeriksaan tersebut walaupun praktis tetapi membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karena itu ada cara yang lain yang dapat dilakukan, yaitu dengan cara anthropometris sederhana. Ada dua cara pengukuran dengan menggunakan
anthropometris yaitu dengan cara menghitung indeks rasio lingkar pinggang terhadap pinggul (RPP) dan mengukur lingkar pinggang (Adam 2005). Adanya hubungan erat antara obesitas sentral dan faktor resiko terhadap penyakit diabetes melitus Tipe 2, toleransi terhadap glukosa terganggu, hipertensi, jantung koroner dan dislipidemi (Adam 2005).
Obesitas perifer menurut Adam (2005) bahwa, pada tipe ini timbunan lemak berada pada bagian bawah tubuh, yaitu sekitar perut, pinggul, paha, dan pantat, tipe ini lebih aman dari penyakit dan umumnya ditemukan pada wanita (Adam 2005). Cara pengukuran anthropometris yang tepat untuk mengetahui jenis obesitas perifer adalah dengan cara menghitung indeks RPP. Meurut Adam (2005) bahwa RPP pada wanita ≤0,8maka resiko penyakit yang disebabkan oleh obesitas kurang.
Pakan Sumber Energi
Menurut McDonald (2002), pakan sumber energi adalah semua bahan pakan ternak yang kandungan protein kasarnya kurang dari 20%, dengan konsentrasi serat kasar di bawah 18%.
Menurut Kartadisastra (1997), berdasarkan jenisnya, bahan pakan sumber energi dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu
1) kelompok serealia/biji-bijian (jagung, gandum, dan sorgum), 2) kelompok hasil sampingan serealia (limbah penggilingan),
3) kelompok umbi (ketela rambat, ketela pohon, dan hasil sampingannya),
4) kelompok hijauan yang terdiri dari beberapa macam rumput (rumput gajah, rumput benggala, dan rumput setaria).
Selain jenis pakan diatas ada beberapa sumber pakan yang memiliki kandungan energi tinggi yang bersumber dari karbohidrat dan lemak (Tabel 6).
Tabel 6 Kandungan gross energi dari beberapa bahan makanan
Bahan makanan Gross energi (Kal/kg)
Tallow (lemak hewan) 90001
Minyak goreng 80002
Gula 45004
Tepung maizena 36203
Kuning telur 36101
Gandum 31634
Keterangan : 1. NRC (1994), 2. Winarno (1999), 3. Riana (2000), 5. Bogasari (1999). Bahan makanan seperti tallow (lemak hewan), kuning telur dan minyak goreng merupakan sumber energi yang bersumber dari lemak. Kandungan lemak pada kuning telur adalah 99%, meliputi trigliserida 65,5%, fosfolipid 28,3%, dan kolesterol 5,2%. Selain lemak kuning telur juga memiliki kandungan nutrisi yang komplek, yaitu protein 16,6%, kalsium, besi, fosfor, seng, tiamin, B6, folat, dan B12 sebanyak 90%. Kandungan vitamin A, D, E dan K sebanyak 100%.
Tallow terdiri dari saturated 52%, monounsaturated 32%, polyunsaturated 3% dan kolesterol 0,68%. Lemak sebagai bahan penyusun ransum mempunyai beberapa keuntungan diantaranya sebagai sumber energi dan disimpan dalam kelenjar adiposa, sebagai sumber asam-asam lemak esensial, pembawa vitamin, sumber kholin dan prostaglandin. Menurut Jensen et al. (1970), lemak dapat meningkatkan caloric density dan metabolic efficiency. Selanjutnya Wiseman (1985) menyatakan bahwa lemak juga dapat meningkatkan heat increment dan mempunyai extra caloric effect.
Menurut McDonald (2002), bahwa lemak merupakan salah satu sumber energi yang disimpan dalam jaringan lemak dengan bentuk trigliserida. Dalam tubuh trigliserida dapat dimobilisasi untuk mensuplai energi dengan bantuan enzim lipase. Jaringan lemak mempunyai fungsi yaitu sebagai caloric-homeostasis (mengatur jumlah asam lemak bebas dan trigliserida yang dibutuhkan di dalam jaringan).
Energi diperoleh melalui perombakan karbohidrat, protein dan lemak dalam makanan menjadi asetil koenzim-A melalui siklus asam trikarboksilat yang merupakan jalur metabolisme utama (Tillman et al. 1998) (Gambar 4). Degradasi molekul dalam proses metabolisme dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pertama, polisakarida dihidrolisis menjadi monosakarida, protein dihidrolisis
menjadi komponen asam amino, dan triasigliserol sebagai sumber utama lipid makanan dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak.
Gambar 4 Siklus asam trikarboksilat (Toha 2001).
Tahap kedua, monosakarida, gliserol dan asam lemak didegradasi membentuk asetil KoA, dalam glikolisis heksosa diubah menjadi piruvat kemudian menjadi asetil KoA. Hal yang sama juga terjadi pada asam lemak rantai panjang dioksidasi menjadi asetil KoA, sementara gliserol diubah menjadi piruvat dan asetil KoA melalui rangkaian glikolitik. Sedangkan mononukleotida didegradasi menjadi gula pentosa, basa nitrogen dan lainnya. Khusus untuk asam amino pada tahap kedua asam amino seperti alanin, serin, treonin, glisin dan sistein, didegradasi menjadi piruvat dan diubah menjadi asetil KoA. Asam amino prolin, histidin, glutamin, dan arginin, didegradasi menjadi asam glutamat melalui proses transaminasi menghasilkan α-ketoglutarat. Asam aspartat dan asam asparagin ditransaminasi menjadi oksalat. Asam amino leusin, triptofan, lisin,
Glikogen Protein Trigliserida
Asetil koenzim-A Siklus Asam Trikarboksilat CO2 CO2 GTP Energi Proteolisis Lipolisis
Glukosa Asam amino Asam lemak
Glikolisis Piruvat Oksidasi Deaminasi dan oksidasi β Oksidasi Glikogenolisis
fenilalanin, dan tirosin didegradasi menjadi asetoasetil KoA dan diubah kembali menjadi asetil KoA. Sementara asam – asam amino isoleusin, metionin, dan valin diubah menjadi subsinil KoA selama degradasi. Fenilalanin dan tirosin dapat juga didegradasi secara oksidatif membentuk fosforilasi oksidatif.
Setelah proses kedua tahap diatas, kerangka karbon asam amino, karbohidrat, dan lipid menghasilkan senyawa untuk siklus asam sitrat atau asetil KoA. Pada tahap ketiga, ATP yang kaya akan energi dihasilkan melalui fosforilasi oksidatif.
Metabolisme Nutrien
Metabolisme didefinisikan sebagai gabungan seluruh reaksi kimia yang terjadi di dalam sel mahluk hidup. Metabolisme terdiri dari reaksi katabolisme dan anabolisme (Toha 2001). Metabolisme biomolekul secara umum terjadi pada dua tempat, yaitu di luar sel dan di dalam sel. Metabolisme di luar sel berkaitan dengan pencernaan dan penyerapan biomolekul yang terjadi di luar sel, sedangkan metabolisme di dalam sel merupakan tahap metabolisme tingkat molekul, termasuk proses-proses pengangkutan dari luar dan ke dalam sel (Toha 2001).
Metabolisme Karbohidrat
Menurut Riis (1983) bahwa pada hewan non-ruminansia, sumber utama karbon untuk sintesis asam lemak adalah karbohidrat (Gambar 5).
Metabolisme karbohidrat mencakup reaksi kimia dan hubungan-hubungan energi dalam pemanfaatan polisakarida, disakarida dan monosakarida. Pati, glikogen dihidrolisis di dalam saluran cerna dari hewan-hewan (Frandson 1993). Pada Gambar 5, dapat diketahui bahwa glikolisis adalah reaksi-reaksi bertahap yang mengubah glukosa menjadi piruvat. Pada proses ini membutuhkan energi berupa ATP, akan tetapi hasil dari proses ini juga berupa ATP yang lebih banyak jika dibandingkan yang dibutuhkan (Riis 1983).
Karbohidrat
Glikogen atau glukosa
Glukosa -6-P Triose-P Gliserol fosfofenolpiruvat Piruvat Oksaloasetat Asetil KoA Siklus Krebs + ATP
Gambar 5 Metabolisme karbohidrat (Riis 1983).
Pada hewan normal, bila terjadi kelebihan glukosa dalam darah, maka glukosa itu akan diubah menjadi glikogen melalui proses glikogenesis, glikogen yang dibentuk akan disimpan di dalam hati dan otot. Kemampuan hati dan otot untuk menyimpan glikogen ini terbatas, sehingga bila kandungan glukosa darah berlebih, maka akan terjadi pembentukan lemak, melalui proses lipogenesis (Lehninger 1994).
Gliserol yang dibutuhkan untuk pembentukan lemak berasal dari fosfogliseraldehida sebagai hasil dari proses metabolisme karbohidrat dalam jaringan. Fosfogliseraldehida direduksi menjadi fosfogliserol, kemudian dihidrolisis menjadi gliserol. Asam-asam lemaknya berasal dari sintesis asetil Ko-A.
Metabolisme Lemak
Enzim yang berperan dalam mengkatalis reaksi degradasi lipid adalah enzim lipase. Katabolisme lipid berperan sebagai sumber bahan makanan manusia
Lipolisis Asam lemak bebas Steroid Kolesterol Steroidogenesisi Trigliserida Fosfolipid Asil Ko-A
Gliserol fosfat Esterifikasi
Tirosafosfat Piruvat Glukosa Sfingolipid β-oksidasi Asetil Ko-A Ketogenesis Benda keton Siklus Krebs Co2 Gliserol Aktivasi
dan hewan di dalam usus halus. Proses degradasinya dipengaruhi oleh hormon – hormon tertentu untuk mengaktifkan enzim lipase, hasil degradasi tersebut adalah asam lemak bebas dan monoasilgliserol (Gambar 6).
Gambar 6 Metabolisme lipid (Toha 2001).
Lemak di dalam jaringan adiposa sebagai bentuk cadangan energi potensial. Lemak disintesis oleh proses seluler anabolik yang disebut lipogenesis. Jika cadangan itu dibutuhkan oleh tubuh hewan maka, lemak dipecah melalui proses hidrolisis menjadi asam-asam lemak dan gliserol (Frandson 1993).
Di dalam tubuh jaringan lemak berada dalam rongga badan (termasuk sekitar jantung dan ginjal), dibawah kulit lebih kurang 50%, intermuskuler dan intramuskuler.
Metabolisme Protein
Protein yang terdapat di dalam sel dan makanan didegradasi menjadi monomer penyusunan (asam amino) oleh enzim protease yang terdapat di dalam lambung dan usus (Gambar 7). Protein memiliki fungsi sebagai katalisator (enzim), pendukung sistem kekebalan, pengontrol pertumbuhan, dan transmisi implus syaraf (Toha 2001).
Gambar 7 Metabolisme protein (Toha 2001).
Metabolisme protein secara tidak langsung terlibat dalam memproduksi energi, tetapi metabolisme protein terlibat dalam produksi enzim, hormon, komponen struktural, dan protein darah dari sel-sel badan dan jaringan. (Frandson 1993).
Penghancuran protein menghasilkan asam amino, yang kemudian asam-asam amino tersebut dilepas gugus amonianya melalui proses deaminasi oksidatif di sel-sel hati dan menghasilkan asam keton. Asam keton kemudian masuk dalam siklus Krebs untuk pembentukan energi pada saat cadangan karbohidrat terpakai habis, atau dapat membentuk piruvat yang akhirnya membentuk glukosa melalui proses glikogenesis. Asam keton tadi jika masuk ke dalam proses lipogenesis akan membentuk lemak. Sebagian besar hasil deaminasi yang terjadi di dalam sel hati, dibentuk juga amonia (NH3), yang berperan dalam pembentukan urea (Frandson
1993). Asam amino Pencernaan Asam amino dalam darah Absorbsi Asam amino Hati (ekstrasel) Asam amino
dalam darah Hati (intrasel) Asam amino
Senyawa N Asam amino
ekstrasel
Asam amino intrasel
Protein Asam keton
Siklus Krebs Asam lemak Asam keton Siklus urea NH3 Protein dalam makanan Protein
Konsumsi dan Kecernaan Zat - zat Makanan
Wiseman dan Cole (1990) menyatakan bahwa, konsumsi pakan MEP dipengaruhi oleh palatabilitas, ukuran, tekstur, konsistensi pakan dan suhu lingkungan. Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa tingkat energi dalam pakan akan mempengaruhi banyaknya pakan yang dikonsumsi. Tingkat konsumsi adalah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum. Faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah hewan itu sendiri, jenis makanan yang diberikan, dan lingkungan sekitar (Parakkasi 1999). Faktor – faktor yang mempengaruhi konsumsi menurut McDonald et al. (2002) sebagai berikut ini.
1. Temperatur lingkungan, primata dalam kehidupannya membutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai dengan kehidupannya, baik dalam keadaan sedang berproduksi maupun tidak. Apabila terjadi perubahan kondisi lingkungan hidupnya, maka akan merubahan konsumsi pakannya. Konsumsi pakan biasanya menurun sejalan dengan kenaikan temperatur lingkungan. Makin tinggi temperatur lingkungan hidupnya, maka tubuh akan terjadi kelebihan panas, sehingga kebutuhan terhadap pakan akan turun. Sebaliknya, pada temperatur lingkungan yang lebih rendah, akan membutuhkan pakan karena tubuh membutuhkan tambahan panas. Pengaturan panas tubuh dan pembuangannya pada keadaan kelebihan panas dilakukan tubuh dengan cara radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi.
2. Palatabilitas, merupakan sifat performansi bahan-bahan pakan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan - bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur, dan temperaturnya. Hal inilah yang menumbuhkan daya tarik dan merangsang untuk mengkonsumsinya.
3. Selera, sangat bersifat internal, tetapi erat kaitannya dengan keadaan “lapar”, yang merangsang selera adalah pusat saraf (hipotalamus) yang menstimulasi keadaan lapar.
4. Status fisiologi, umur, jenis kelamin, dan kondisi tubuh (misalnya bunting atau dalam keadaan sakit) sangat mempengaruhi konsumsi pakannya.
5. Konsentrasi nutrisi, sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan adalah konsentrasi energi yang terkandung di dalam pakan. Konsentrasi energi pakan ini berbanding terbalik dengan tingkat konsumsinya. Makin tinggi konsentrasi energi di dalam pakan, maka jumlah konsumsinya akan menurun. Sebaliknya, konsumsi pakan akan meningkat jika konsentrasi energi yang dikandung pakan rendah.
6. Bobot badan, berbanding lurus dengan tingkat konsumsi pakannya. Jika tinggi bobot badan, makin tinggi pula tingkat konsumsi terhadap pakan. Kecernaan adalah banyaknya nutrien dalam pakan yang dicerna dan diabsorbsi untuk metabolisme tubuh (Cheeke 2000). McDonal et al. (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah komposisi makanan, faktor ternak, dan faktor pemberian makanan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kecernaan yang rendah akan mengurangi konsumsi. Semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan, semakin tebal dan semakin tahan dinding selnya, mengakibatkan semakin rendah kecernaan bahan makanan tersebut. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pakan yaitu suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik, bahan pakan, dan komposisi zat-zat yang terkandung (Anggorodi 1995).
Menurut NRC (2003), bahwa monyet ekor panjang jantan dewasa dengan bobot badan 5,7 kg dan umur 9 – 10 tahun mengkonsumsi bahan kering 30,0 – 50,0g/ekor/hari, dan konsumsi energi 72-120 Kal/kg/hari. Berikut adalah rumus menghitung kecernaan zat-zat makanan, yaitu jumlah zat pakan yang dikonsumsi dikurangi jumlah zat pakan yang terkandung dalam feses, dibagi jumlah zat pakan yang dikonsumsi kemudian dikalikan 100%.