• Tidak ada hasil yang ditemukan

Types and Origins Analysis of Palatal Rugae in Males and Females for

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Types and Origins Analysis of Palatal Rugae in Males and Females for"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Types and Origins Analysis of Palatal Rugae in Males and Females for

Sex Identification Interest

Beatrice Intan Kasih, Niniarty Z. Djamal, Mindya Yuniastuti

Corresponding address : Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia. Jalan Salemba Raya No. 4 Jakarta Pusat 10430 Indonesia. Phone: +62 21 31906289, Fax: +62 21 31906289

(2)

Abstract

Background: In forensic identification, sex determination of the victim is important, one of identification methods is palatal rugae analysis. The morphology of palatal rugae is very specific and individualistic, therefore palatal rugae analysis can be used for sex identification quickly and accurately. Methods: The analysis of types and origins palatal rugae by Lysell’s classification on 100 maxilla (50 males and 50 females) in pre-orthodontic patients of Orthodontic Clinic RSGM FKG UI. Results: By using the Mann-Whitney test, secondary rugae’s number were higher in males than females and predominantly in the left palate (p<0.05), while fragmentary rugae’s number were higher in females than males and predominantly in the right palate (p<0.05). Also number of all types palatal rugae in left palate were higher in males than females (p<0.05). The origins of rugae from raphae were more common in males while the rugae from medial origins were more common in female, these were seen on both sides of palate (p<0.05). Conclusions: Analysis of secondary rugae, fragmentary rugae, and the total of all rugae could be used for sex identification, likewise analysis of rugae from raphae and medial origin could be used to distinguish the sexes.

(3)

Abstrak

Latar Belakang: Dalam identifikasi forensik, penentuan jenis kelamin korban merupakan hal penting. Salah satu metode identifikasinya adalah analisis rugae palatal. Morfologi rugae palatal setiap individu sangat spesifik dan bersifat individualistik, sehingga analisis rugae palatal dapat digunakan untuk identifikasi jenis kelamin dengan cepat dan tepat. Metode: Analisis jenis rugae dan asal rugae palatal pada 100 model cetakan rahang atas pasien pre-ortodontik pasien Klinik Ortodonsia RSGM FKG UI yang terdiri dari 50 cetakan laki-laki dan 50 cetakan perempuan dengan menggunakan klasifikasi Lysell. Hasil: Dengan uji Mann-Whitney, rugae sekunder banyak ditemukan pada laki-laki, terlihat dominan di palatum kiri sedangkan rugae fragmenter banyak ditemukan pada perempuan di palatum kanan, secara statistik keduanya berbeda bermakna (p<0.05). Juga total semua jenis rugae pada palatum kiri laki-laki jumlahnya lebih banyak dibandingkan perempuan dan secara statistik berbeda bermakna (p<0.05). Rugae yang berasal dari raphae banyak ditemukan pada laki-laki sedangkan rugae asal medial banyak ditemukan pada perempuan, hal ini terlihat pada kedua sisi palatum dan secara statistik keduanya berbeda bermakna (p<0.05). Kesimpulan: Analisis jenis rugae sekunder, fragmenter, total semua rugae serta asal rugae dari raphae dan medial dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin.

(4)

PENDAHULUAN

Pada peristiwa bencana massal, seringkali identifikasi identitas korban sulit dilakukan terutama pada korban yang tidak utuh lagi, seperti korban kecelakaan pesawat dan ledakan bom.1,2 Oleh karena itu, diperlukan metode identifikasi yang tepat, akurat, mudah, dan murah untuk digunakan di ruang lingkup odontologi forensik. Terdapat berbagai macam metode identifikasi pada odontologi forensik, antara lain identifikasi gigi geligi, analisis jejas gigitan, analisis sidik bibir, analisis rugae palatal dan papilla incisiva, dll3 yang dapat digunakan untuk identifikasi usia, jenis kelamin, ras, dll. Analisis rugae palatal dapat dipakai untuk identifikasi jenis kelamin oleh karena keunikan morfologi dan polanya 4 serta mudah mendapatkan data ante mortemnya 5

Rugae palatal atau yang sering disebut plicae palatinae transverse atau rugae palatine, merupakan ridge pada bagian anterior dari mukosa palatal yang berada pada setiap sisi median palatal raphae dan berada dibelakang papilla incisiva.6 Pada embrio manusia, rugae palatal terlihat cukup jelas dan menempati sebagian besar palatal shelves. Pada tahap 550 mm perkembangan embrio terdapat lima sampai tujuh ridge palatal yang cukup simetris, yang lebih anterior terlihat berasal dekat dengan raphae sedangkan lainnya lebih lateral. Menjelang akhir inta-uterine pola rugae palatal menjadi kurang teratur, ada bagian posterior yang menghilang dan bagian anterior menjadi semakin jelas.7

Rugae palatal juga memiliki ketahanan yang cukup baik terhadap perubahan, baik dari penyakit, trauma fisik maupun termal, dekomposisi ataupun zat kimia.5,8 Bahkan pada kasus dekomposisi mayat, ditemukan proses perubahan pada rugae palatal lebih sedikit dibandingkan dengan bagian tubuh lain dari korban. Kemampuan rugae palatal

(5)

untuk menahan perubahan akibat proses dekomposisi dapat bertahan sampai hari ketujuh sejak kematian.6 Morfologi rugae palatal pada setiap individu sangat spesifik dan bersifat individualistik, bahkan pada individu kembar sekalipun tidak didapati pola rugae palatal yang sama.4 Karakteristik rugae palatal yang berbeda satu sama lain menyebabkan analisis rugae palatal dapat langsung menentukan identitas seseorang dengan tepat.

Sistem klasifikasi rugae palatal pertama kali dibuat oleh Goria (1911) yang membagi rugae palatal menjadi rugae primitive dan rugae compound, akan tetapi sayangnya klasifikasi ini tidak berkembang.9 Tahun 1937, Carrea membuat sistem klasifikasi rugae yang terdiri dari empat tipe berdasarkan arah rugae palatal terhadap median raphae.6 Pada tahun 1955, Lennart Lysell membuat sistem klasifikasi rugae palatal dan dianggap sebagai sistem klasifikasi yang paling signifikan karena bersifat komprehensif dan klasifikasi ini juga memasukan papilla incisiva untuk dianalisis. Oleh karena itu, sistem klasifikasi Lysell (1955) telah banyak dipakai secara luas dalam penelitian rugae palatal. Analisis rugae palatal menurut klasifikasi Lysell dibagi berdasarkan jenis, bentuk, arah, asal, unifikasi, percabangan dan batas posterior rugae palatal serta bentuk dan ukuran papilla incisiva, dan keadaan raphae palatina.10

Berdasarkan jenisnya, rugae palatal dibagi menjadi tiga yaitu: rugae primer (panjang 5mm atau lebih), rugae sekunder (panjang 3mm sampai <5mm) dan rugae fragmenter (panjang 2mm sampai <3mm). Sebelum diklasifikasikan lebih lanjut, rugae palatal primer pada kedua sisi kanan dan kiri palatum diberi penomoran dengan angka romawi I, II dst, rugae lebih anterior diberi nomor yang lebih kecil. Berdasarkan asalnya, rugae palatal jenis primer dibagi menjadi tiga yaitu: rugae asal raphae, rugae asal medial dan rugae asal lateral.10

(6)

Analisis rugae palatal dapat dilakukan dengan 3 cara, pertama dengan pemeriksaan intraoral menggunakan kaca mulut yang dimasukkan langsung dalam rongga mulut untuk melihat rugae palatalnya. Cara ini mudah dan murah, tetapi sulit untuk membandingkan rugae palatal satu individu dengan individu lain.11 Cara kedua dengan menggunakan fotografi oral yang dilakukan dengan menggunakan kamera intraoral. Cara ini memungkinkan perbandingan rugae palatal antar individu, tetapi harus dilakukan dengan alat yang canggih.7,12 Cara yang ketiga dengan pembuatan cetakan gigi rahang atas atau calcorrugoscopy.7

Cara pembuatan cetakan gigi merupakan studi cetakan overlay rugae palatal diatas cetakan gigi rahang atas untuk melakukan analisis perbandingan rugae palatal.7 Keuntungan cara ini adalah mudah dalam menganalisis rugae palatal dan biayanya yang murah.11 Prosedur pencetakan dimulai dengan membuat cetakan rahang atas dengan irreversible hydrocolloid yang kemudian diisi dengan bahan cetak gips. Proses pengisian sebaiknya dilakukan diatas alat vibrator untuk mencegah terjadinya porus (gelembung udara yang terperangkap). Cetakan dikeluarkan perlahan setelah mengeras dibawah air yang mengalir. Dengan menggunakan kaca pembesar, rugae palatal model gigi rahang atas diwarnai atau ditebali outlinenya dengan pensil atau pulpen berwarna hitam, agar pola rugae tampak jelas. Pengukuran rugae palatal dapat dilakukan menggunakan kaliper (dengan ketelitian 0.05 cm) atau dengan penggaris (ketelitian 0.1 cm).11

Meskipun telah banyak penelitian mengenai analisis rugae palatal untuk menentukan jenis kelamin, akan tetapi masih terdapat banyak kontroversi. Sejumlah peneliti menemukan adanya perbedaan jumlah, bentuk dan asal rugae palatal antara laki-laki dan perempuan. Contohnya penelitian Madhankumar et al (2013) menemukan bahwa jumlah

(7)

rugae palatal perempuan lebih banyak dari laki-laki.13 Namun Fahmi et al (2001)14 mengatakan tidak ada perbedaan jumlah rugae palatal yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Penelitian lain tentang asal rugae yang dilakukan Lysell (1955), menemukan tidak ada perbedaan asal rugae palatal antara laki-laki dan perempuan10, sehingga kontroversi ini yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk melakukan penelitian. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dianalisis jenis dan asal rugae palatal pada laki-laki dan perempuan dengan sistem klasifikasi Lysell pada model cetakan rahang pasien pre-orthodontik, yang berkunjung ke klinik Orthodonsia RSGM-FKG UI. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan data awal untuk dapat dikembangkan pada penelitian berikutnya agar diperoleh suatu cara identifikasi jenis kelamin yang cepat, tepat dan murah biayanya untuk diterapkan pada korban-korban yang sulit teridentifikasi terutama di Indonesia.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang atau cross-sectional yang bersifat analitik. Sampel penelitian adalah 100 model cetakan gigi rahang atas yang terdiri dari 50 model cetakan laki-laki dan 50 model cetakan perempuan usia 21-50 tahun pasien pre-orthodontik Klinik Orthodonsia RSGM FKG-UI yang sudah dilengkapi dengan data riwayat hidup secara lengkap dengan anatomi palatal yang normal dan jumlah gigi lengkap.

Pembuatan duplikat 100 model cetakan rahang atas pasien tersebut dilakukan dengan diberi basis cetakan menggunakan mold. Kemudian outline rugae palatal ditebalkan menggunakan pensil 8B yang telah diraut tajam dengan kondisi pencahayaan yang

(8)

terang. Rugae palatal diukur menggunakan jangka dan penggaris (ketelitiannya 0.1 cm) dengan cara menaruh ujung runcing jangka pada titik asal rugae dan titik akhir rugae, kemudian kedua ujung jangka diletakkan diatas penggaris untuk memperoleh ukuran dalam mm. Pengukuran dilakukan oleh dua pengamat sebanyak dua kali pengukuran. Kemudian dilakukan uji reabilitas intra-observer (pengukuran pengamat yang sama) dan inter-observer (pengukuran pengamat yang berbeda) melalui rumus Technical Error of Measurement (TEM) untuk mendapatkan nilai TEM relatif. Semakin kecil nilai yang diperoleh, semakin baik keakuratan pengukuran pengamat.

Selanjutnya rugae palatal ditandai dan ditetapkan berdasarkan sistem klasifikasi Lysell. Kemudian dicatat jenis rugae primer, rugae sekunder, rugae fragmenter, rugae yang berasal dari raphae, medial dan lateral. Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan program statistik SPSS versi 20.0. Analisis jenis dan asal rugae palatal diuji secara statistik dengan menggunakan Mann-Whitney test. Tingkat signifikansi uji statistik penelitian adalah 0,05 (p = 0,05) dan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05).

HASIL PENELITIAN

Pada gambar 1, nilai uji TEM relatif intra-observer setiap jenis rugae pada laki-laki dan perempuan <1.5% dan pada gambar 2 nilai TEM relatif inter-observer setiap jenis rugae <2%. Dari uji TEM relatif intra- dan inter-observer pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa hasil pengukuran panjang rugae palatal untuk antopometri pemula dapat diterima dan cukup akurat. Kemudian data penelitian yang diperoleh diolah dengan menggunakan program statistik SPSS versi 20.0 untuk mendapatkan nilai Modus (Mo), Minimum (Min) dan Maksimum (Max) serta diuji statistik dengan Mann-Whitney test.

(9)

Berdasarkan jenisnya, pada gambar 3 terlihat bahwa frekuensi terbanyak (modus) jumlah rugae primer pada laki-laki (10) sama dengan perempuan (10) dan secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05). Sedangkan modus (Mo) jumlah rugae sekunder laki-laki (4) lebih banyak dibandingkan perempuan (3) yang secara statistik berbeda bermakna (p<0.05). Untuk jenis rugae fragmenter, nilai modus jumlah rugae pada laki-laki dan perempuan terlihat sama (0) akan tetapi secara statistik berbeda bermakna (p<0.05). Modus jumlah total semua rugae pada laki-laki (14) lebih banyak dibandingkan perempuan (13) namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05).

Secara lebih detail, pada gambar 3 terlihat modus jumlah rugae primer di palatum kanan pada laki-laki (6) lebih banyak dibandingkan perempuan (5) namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05). Sedangkan modus jumlah rugae primer di palatum kiri laki-laki dan perempuan sama (5) dan uji statistiknya tidak berbeda bermakna (p>0.05). Modus jumlah rugae sekunder di palatum kanan laki-laki (2) terlihat sama banyak dengan perempuan (2) dan secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05) sedangkan modus jumlah rugae sekunder di palatum kiri laki-laki (2) terlihat lebih banyak dibandingkan perempuan (1) dan secara statistik berbeda bermakna (p<0.05). Untuk jenis rugae fragmenter, modus jumlahnya pada palatum kanan laki-laki (0) terlihat sama dengan perempuan (0) namun uji statistik hasilnya berbeda bermakna (p<0.05) sedangkan modus jumlah rugae fragmenter pada palatum kiri laki-laki (0) terlihat sama banyak dengan perempuan (0) dan secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05). Secara keseluruhan, modus dari jumlah semua rugae pada palatum kanan laki-laki (6) terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan (7) akan tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05) sedangkan modus jumlah semua rugae pada palatum kiri laki-laki (8) terlihat

(10)

lebih banyak dibandingkan perempuan (7) dan secara statistik berbeda bermakna (p<0.05).

Berdasarkan asalnya, pada gambar 4 terlihat sebaran frekuensi terbanyak (Mo) rugae palatal yang berasal/menyatu dengan raphae pada laki-laki (4) lebih banyak dibandingkan perempuan (3) yang secara uji statistik berbeda bermakna (p<0.05). Sedangkan nilai modus rugae yang berasal medial dari raphae pada laki-laki (3) terlihat lebih sedikit dibandingkan perempuan (4) yang secara uji statistik juga berbeda bermakna (p<0.05). Sebaran frekuensi terbanyak dari rugae asal lateral raphae pada laki-laki dan perempuan sama (1) yang secara uji statistik tidak berbeda bermakna.

Secara lebih detail, pada gambar 4 terlihat bahwa nilai modus (Mo) dari jumlah rugae yang berasal/menyatu dengan raphae di palatum kanan laki-laki (2) sama banyak dengan perempuan (2), di sisi kiri pada laki-laki (2) lebih banyak dibandingkan perempuan (1), baik di sisi kanan maupun di sisi kiri keduanya berbeda bermakna. Nilai modus dari asal rugae medial di palatum kanan laki-laki (1) lebih sedikit dibandingkan perempuan (2), demikian juga pada sisi kiri laki-laki (1) terlihat lebih sedikit dibandingkan perempuan (3) yang secara statistik keduanya berbeda bermakna (p<0.05). Modus asal rugae lateral dari raphae di palatum kanan dan kiri pada laki-laki dan perempuan secara statistik tidak berbeda bermakna.

DISKUSI

Penelitian ini dilakukan pada model cetakan rahang atas pasien pre-orthodontik yang datang ke Klinik Ortodonsia RSGM FKG-UI. Jumlah sampel yang digunakan adalah 100

(11)

sampel yang terdiri dari 50 laki-laki dan 50 perempuan yang sesuai dengan kriteria inklusi.

Berdasarkan hasil analisis rugae dari penelitian (gambar 3) terlihat frekuensi terbanyak (Modus) dari rugae sekunder pada palatum kiri laki-laki disisi lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, dan secara statistik berbeda bermakna (p<0.05). Selain itu, rugae fragmenter pada sisi kanan palatum perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki dan secara statistik berbeda bermakna (p<0.05). Untuk jumlah semua jenis rugae pada laki-laki disisi kiri palatum lebih banyak dibandingkan pada perempuan dan secara statistik berbeda bermakna (p<0.05), sedangkan Bakkannavar et al (2012)15 melaporkan sebaliknya yaitu jumlah semua rugae lebih banyak ditemukan disisi kanan palatum perempuan. Perbedaan ras sampel yang diteliti diduga mempengaruhi hasil penelitian oleh peneliti terdahulu yang melakukan penelitian di India yang terdiri dari berbagai macam ras: ras Caucasians (Indo-Aryan 72%), Negroid (Dravidian 25%) dan ras lainnya (3%)16, sedangkan penelitian ini dilakukan di Indonesia pada ras Mongoloid (Jawa dan Sunda). Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Kapali et al (1997)17 dan Shetty et al (2005)18 yang membuktikan adanya perbedaan yang signifikan pola rugae palatal pada ras yang berbeda. Perbedaan jumlah rugae secara keseluruhan pada laki-laki dan perempuan tidak berbeda bermakna pada penelitian ini. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Kamala et al (2011)19 dan Saraf et al (2011)20 yang menyatakan bahwa jumlah rugae antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda bermakna sehingga belum tentu dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin pada identifikasi forensik.

Hasil analisis asal rugae palatal pada penelitian ini seperti yang terlihat pada gambar 4 rugae yang berasal dari raphae pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan

(12)

perempuan, hal ini terlihat pada kedua sisi palatum dan secara statistik berbeda bermakna (p<0.05). Sedangkan rugae palatal yang berasal dari medial pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, hal ini terlihat pada kedua sisi palatum dan secara statistic berbeda bermakna (p<0.05). Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu oleh Lysell (1955)10 yang meneliti asal rugae palatal yang mengatakan tidak ada perbedaan bermakna asal rugae antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan karena adanya perbedaan ras dari sampel yang diteliti, peneliti terdahulu melakukan penelitian di Inggris yang sebagian besar terdiri dari ras Caucasian (English 83.6%, Scottish 8.6%, Welsh 4.9%, Northern Irish 2.9%) dan ras lainnya (5.9%)16 sedangkan penelitian ini dilakukan pada ras Mongoloid (Jawa dan Sunda). Dugaan ini didukung oleh penelitian Kapali et al (1997)17 dan Shetty et al (2005)18 yang membuktikan adanya perbedaan yang signifikan pola rugae palatal pada ras yang berbeda.

Meskipun penelitian hanya menggunakan 100 sampel, namun hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa jenis rugae sekunder, fragmenter dan total rugae serta rugae yang berasal dari raphae dan medial berbeda pada laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan sumbangan data yang baik di bidang odontologi forensik, khususnya untuk identifikasi jenis kelamin.

KESIMPULAN

Jenis dan asal rugae palatal menurut klasifikasi Lysell berbeda pada laki-laki dan perempuan. Rugae sekunder dan total semua rugae banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, sedangkan rugae fragmenter lebih banyak ditemukan pada

(13)

perempuan dibandingkan laki-laki. Rugae primer yang berasal dari raphae banyak ditemukan pada laki-laki, sedangkan yang berasal dari medial banyak ditemukan pada perempuan.

SARAN

Perlu penelitian lanjutan dengan subjek penelitian yang dapat mewakili suku bangsa di Indonesia sehingga hasilnya dapat digunakan untuk identifikasi jenis kelamin pada masyarakat di Indonesia. Selain itu, penelitian analisis jenis rugae palatal secara computerized juga dapat dilakukan sehingga dapat dibandingkan ketepatannya dengan pengukuran secara manual.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

1. Aries S. Sisa Tubuh Korban Sukhoi Sulit Diidentifikasi. Viva News [internet]. 1 Juni 2012 [cited 27 November 2013]; Available from: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/319551-sisa-tubuh-korban-sukhoi-sulit-diidentifikasi.

2. Riky F. Tiga Korban Tewas Bom Carlton-Marriott Sulit Diidentifikasi. Tempo.co [internet]. 18 Juli 2009 [cited 27 November 2013]; Available from: http://www.tempo.co/read/news/2009/07/18/058187894/Tiga-Korban-Tewas-Bom-Carlton-Marriott-Sulit-Diidentifikasi.

3. Pramod JB, Marya A, Sharma V. Role of forensic odontologist in post mortem person identification. Dent Res J (Isfahan). 2012;9(5):522–530.

4. Shamim T, Varghese VI, Shameena PM, Sudha S. Forensic Odontology: A New Perspective. Medicolegal Update. 2006;6(1):1-4.

5. Pretty IA, Sweet D. A Look at Forensic Dentistry — Part 1: The Role of Teeth in The Determination of Human Identity. British Dental Journal. 2001;190(7):359-366. 6. Ines MC, Teresa M, Americo A. Review Establishing identity using cheiloscopy and

palatoscopy. Forensic Sci Int. 2007;165(1):1–9.

7. Saxena S, Aeran H, Rastogi PK, Kadam A. Rugoscopy- An Emerging Aid for Personal Identification: A Review . Indian J Dent. Sci. 2013;4(5):150-153.

8. Muthusubramanian M, Limson KS, Julian R. Analysis of Rugae in Burn Victims and Cadavers to Simulate Rugae Identification in Cases of Incineration and Decomposition. J Forensic Odontostomatol. 2005;23(1):26-29.

9. Sanjaya PR, Gokul S, Prithviraj KJ, Rajendra S. Significance of Palatal Rugae: A Review. International Journal of Dental Update. 2012;2(2):74-82.

10. Lysell L. Plicae palatinae transversae and papilla incisive in man: A morphologic and genetic study. Acta Odontol Scand. 1955;13(18):5-137.

11. Shanty C, Elza IA. Pemanfaatan Ruga Palatal untuk Identifikasi Forensik. Indonesian Journal of Dentistry. 2008;15(3):261-269.

12. Ismar EMF, Silvia HCSP, Arsenio SP, Suzana PMC. Palatal Rugae Patterns as Bioindicators of Identification in Forensic Dentistry. RFO. 2009;14(3):227-233.

(15)

13. Madhankumar S, Natarajan S, Maheswari U, Kumar VA, Veeravalli PT, Banu F. Palatal Rugae Pattern for Gender Identification among Selected Student Population in Chennai, India. JSRR. 2013;2(2):491-496.

14. Fahmi FM, Al-Shamrani SM, Talic YF. Rugae Pattern in a Saudi Population Sample of Males and Females. Saudi Dental Journal. 2001;13(2):92-95.

15. Bakkannavar SM, Manjunanth S, Pradeep KG, Bhat VJ, Prabbu N, Kamath A, RaghavendraBabu YP. Palatal Rugae Patterns among the Indians at Manipal, India. J Pharm Biomed Sci. 2012;20(10):1-5.

16. Pearson Education. Ethnicity and Race by Countries [internet]. 2007 [cited 26 December 2013]; Available from: http://www.infoplease.com/ipa/A0855617.html. 17. Kapali S, Townsend G, Richards L, Parish T. Palatal rugae patterns in Australian

Aborigines and Caucasians. Aust Dent J. 1997;42:129-133.

18. Shetty SK, Kalia S, Patil K, Mahima VG. Palatal rugae pattern in Mysorean and Tibetan populations [abstract]. Indian J Dent Res. 2005;16(2):51-55.

19. Kamala R, Neha G, Amol B, Abhishek S. Palatal Rugae Pattern as an Aid for Personal Identification: A Forensic Study. J Indian Aca Oral Med Radiol. 2011;23(3):173-178.

20. Saraf A, Bedia S, Indurkar A, Degwekar S, Bhowate R. Rugae Patterns As An Adjunct To Sex Differentiation In Forensic Identification. J Forensic Odontostomatol. 2011;29(1):14-19.

(16)

Gambar 1. Uji TEM Relatif Terkecil Intra-Observer

Gambar 2. Hasil Uji TEM Relatif Terkecil Inter-Observer

Gambar 3. Analisis jenis rugae dan semua rugae palatal pada laki-laki dan perempuan

Gambar

Gambar 1. Uji TEM Relatif Terkecil Intra-Observer

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa Utara sebagai Kabupaten harus dalam upayakan meningkatkan struktur perekonomian Produk Domestik Regional bruto (PDRB) atas

bank dalam melakukan transaksi forward di pasar

Faktor selanjutnya yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Beban Tanggungan Penduduk (Dependency Ratio).. Beban

Pengukuran slot breket merek m3 dilakukan pada 2 tipe breket m3 berdasarkan teknik perawatan dan berukuran standar 0,018 inci.Pada Tipe 1 didapatkan bahwa seluruh rata-rata

Jadi metode dakwah merupakan sebuah jalan atau cara yang digunakan atau dilakukan dalam melaksanakan aktifitas mengajak manusia kepada jalan yang lurus, yang mana

RENCANA PROGRAM INVESTASI JANGKA MENENGAH (RPIJM) KABUPATEN BENGKULU TENGAH TAHUN 2017-20212. DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN BENGKULU TENGAH II

Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa meskipun siswa mempersepsikan dirinya memiliki kapasitas yang cukup untuk membaca, namun ada suatu potensi yang

SNI – 2847 – 2002 , “Standar Perencanaan Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung” , Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Badan Standarisasi Nasional.. Floor