• Tidak ada hasil yang ditemukan

USULAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USULAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

USULAN

PENELITIAN HIBAH BERSAING

MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI

MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI

TIM PENGUSUL:

Sunardi, S.S., M.Pd. / NIDN: 0612016601

Raden Arief Nugroho, S.S., M.Hum. / NIDN: 0617068402 Budi Harjo, S.Kom., M.Kom. / NIDN: 0606027101

UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

APRIL 2013

(2)
(3)

3 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... 1 HALAMAN PENGESAHAN ... 2 DAFTAR ISI ... 3 RINGKASAN ... 4 BAB 1. PENDAHULUAN ... 5 1.1 Latar Belakang ... 5 1.2 Permasalahan ... 6 1.3 Tujuan Khusus ... 7 1.4 Urgensi Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Pembelajaran Inklusif bagi Penyandang Ketunaan ... 8

2.2. Kegiatan Pembelajaran Inklusif ... 11

2.3 Prinsip-Prinsip Pembelajaran Inklusif bagi Peserta Didik Tunanetra ... 14

2.4 Road Map Penelitian ... 16

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 16

3.1 Jenis Penelitian ... 16

3.2 Prosedur dan Tahapan Penelitian ... 17

BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN ... 21

4.1 Anggaran Biaya ... 21

4.2 Jadwal Penelitian ... 21

DAFTAR PUSTAKA ... 22

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 23

Lampiran 1. Justifikasi Anggaran Penelitian ... 23

Lampiran 2. Dukungan Sarana dan Prasarana Penelitian ... 27

Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas ... 28

Lampiran 4. Biodata Ketua/Anggota Tim Peneliti/Pelaksana ... 30

(4)

4

RINGKASAN

Penyandang tunanetra, dalam kegiatan pembelajarannya, selama ini ditempatkan secara eksklusif di sekolah khusus penyandang tunanetra yang membuat mereka semakin terisolasi dari kegiatan sehari-hari masyarakat pada umumnya. Ketika penyandang tunanetra terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas biasa, mereka harus mengikuti proses pembelajaran yang sebenarnya diperuntukkan bagi bukan penyandang ketunaan. Karena keterbatasan penglihatannya, mereka tentu saja tidak dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya yang dapat berakibat pada kegagalan dalam pembelajaran. Permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui praktek pendidikan secara inklusif dengan memberikan alat bantu khusus sesuai dengan ketunaannya, memodifikasi lingkungan belajar, dan menggunakan teknik alternatif yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam kegiatan pembelajaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran inklusif bagi mahasiswa penyandang tunanetra yang belajar di perguruan tinggi, khususnya dalam mata kuliah bahasa Inggris. Target penelitian ini meliputi: (1) terdeskripsikannya masalah yang terjadi dan kebutuhan dalam pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris dimana mahasiswa penyandang tunanetra belajar bersama dalam kelas mahasiswa biasa; (2) tersusunnya model strategi dan media pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; (3) tersusunnya rencana kegiatan pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; (4) terujinya model tersebut secara empiris dan efektif dalam kegiatan pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra.

Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan metode riset dan pengembangan, dengan tahapan penelitian: (1) melakukan identifikasi masalah dan kebutuhan pembelajaran bahasa Inggris dimana mahasiswa penyandang tunanetra belajar bersama dalam kelas mahasiswa biasa, melalui metode kajian pustaka, observasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terarah (FGD); (2) menyusun model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra yang meliputi strategi dan media pembelajaran; (3) menyusun rencana pembelajaran inklusif; (4) mengkonsultasikan model dan rencana pembelajaran inklusif tersebut dengan ahli pembelajaran inklusif (expert judgement); (5) mengimplementasikan dan mengujicobakan model dan rencana pembelajaran inklusif tersebut dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas dengan mahasiswa biasa dan mahasiswa tunanetra; dan (6) menyempurnakan model pembelajaran inklusif tersebut berdasarkan hasil implementasi dan ujicoba.

(5)

5

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Selama ini orang berkebutuhan khusus (difable) atau orang yang menyandang ketunaan (impairment) cenderung dipandang masyarakat sebagai “objek” perlindungan, perlakuan, dan bantuan daripada sebagai subjek pemegang hak (Tarsidi, 2011: 1). Pandangan seperti ini mengakibatkan para penyandang ketunaan dipisahkan dari masyarakat umum dan disediakan tempat dan fasilitas tersendiri. Hal ini dilakukan atas asumsi bahwa mereka tidak mampu menghadapi tantangan hidup di masyarakat luas.

Dalam bidang pendidikan, pemikiran seperti ini melahirkan praktek pendidikan segregasi yang memisahkan penyandang ketunaan dari orang pada umumnya. Mereka ditempatkan di sekolah-sekolah khusus yang dikenal dengan istilah sekolah luar biasa (SLB) dan tidak diperbolehkan belajar di sekolah biasa/reguler. Akibatnya, mereka cenderung diperlakukan sebagai orang asing di dalam masyarakatnya sendiri. Masyarakat cenderung memandangnya sebagai suatu keanehan apabila ada penyandang ketunaan yang berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak dirancang khusus baginya. Isolasi mereka dari kegiatan masyarakat pada umumnya justru membuat mereka tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat umumnya dan semakin tergantung kepada orang lain. Praktek pendidikan seperti ini menimbulkan diskriminasi terhadap para penyandang ketunaan (Tarsidi, 2012: 3). Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat yang dinyatakan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4 Ayat 1: “Pendidikan

diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa,” dan Pasal 5 Ayat 1: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Model pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh para penyandang ketunaan sebagai akibat dari model pendidikan segregasi. Penyelenggaraan model pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan/ketunaan untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Dengan demikian, para penyandang ketunaan memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik (Permendiknas No. 70/2009: Pasal 1 & 2).

(6)

6

1.2 Permasalahan

Penyandang tunanetra, sebagai salah satu dari para penyandang ketunaan, selama ini memiliki akses pendidikan yang berbeda dengan orang pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat bahwa penyandang tunanetra memiliki suatu kondisi di mana orang yang mengalaminya tidak bisa melihat, atau tidak bisa menggunakan penglihatannya secara baik dalam aktifitasnya sehari-hari (Nawawi, 2010: 1), sehingga mereka ditempatkan secara eksklusif di sekolah khusus penyandang tunanetra yang membuat mereka terisolasi dari kegiatan sehari-hari masyarakat pada umumnya.

Ketika penyandang tunanetra terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas biasa, mereka harus mengikuti proses pembelajaran yang sebenarnya diperuntukkan bagi bukan penyandang ketunaan. Karena keterbatasan penglihatannya, mereka tentu saja tidak dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya yang dapat berakibat pada kegagalan dalam pembelajaran. Permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui praktek pendidikan secara inklusif dengan memberikan alat bantu khusus sesuai dengan ketunaannya, memodifikasi lingkungan belajar, dan menggunakan teknik alternatif yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam kegiatan pembelajaran.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini telah ada beberapa teknik alternatif berbasis teknologi komputer, seperti speech technology dan refreshable Braille

display, yang memungkinkan para penyandang tunanetra dapat mengakses informasi di “dunia awas” layaknya orang normal (Tarsidi, 2007:1). Namun, sebagian besar software teknologi alternatif bagi penyandang tunanetra yang ada di pasaran saat ini disusun dengan menggunakan platform bahasa Inggris. Komunikasi antara komputer (software) dengan pengguna (user) dilakukan dengan menggunakan bahasa Inggris. Keberadaan bahasa Inggris dalam software tersebut dapat menjadi kendala utama penggunaannya bagi penyandang tunanetra yang tidak memiliki keterampilan bahasa Inggris yang cukup. Di sisi lain, bagi penyandang tunanetra, software tersebut merupakan pintu masuk untuk mengakses semua informasi yang ada di “dunia awas.” Selain itu, informasi di “dunia awas” terutama yang berkenaan dengan materi pembelajaran bahasa Inggris, sebagian besar disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris. Dalam konteks pembelajaran, keterampilan menggunakan

speech technology tersebut juga membantu penyandang tunanetra dalam mempelajari materi pembelajaran secara baik.

Berbeda dengan tingkat pendidikan dasar dan menengah yang memiliki sekolah khusus (luar biasa) bagi penyandang ketunaan, tingkat pendidikan tinggi tidak memiliki sekolah seperti

(7)

7

ini. Penyandang tunanetra yang melanjutkan kuliah ke jenjang pendidikan tinggi harus mengikuti kegiatan pembelajarannya di kelas reguler bersamaan dengan mahasiswa lain yang bukan penyandang tunanetra. Kenyataan ini menunjukkan bahwa model pembelajaran inklusif tidak dapat dihindarkan dalam kegiatan perkuliahan di perguruan tinggi atau program studi yang menerima mahasiswa penyandang ketunaan, termasuk di dalamnya tunanetra. Dan sebagai mahasiswa, penyandang tunanetra memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan mahasiswa biasa lainnya untuk berhasil dalam studinya.

Penelitian ini direncanakan untuk menjawab pertanyaan berikut:

1. Bagaimanakah model strategi pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra?

2. Bagaimanakah model media pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra?

3. Apakah model pembelajaran inklusif tersebut terbukti memungkinkan mahasiswa penyandang tunanetra mencapai tujuan pembelajaran seperti mahasiswa normal lainnya?

1.3 Tujuan Khusus

Secara umum, penelitian ini direncanakan untuk menghasilkan model pembelajaran inklusif bagi mahasiswa penyandang tunanetra yang belajar di perguruan tinggi, khususnya dalam mata kuliah bahasa Inggris. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

Tahun Pertama:

1. Mengindentifikasi masalah yang terjadi dan kebutuhan dalam melaksanakan pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; 2. Menyusun model strategi pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi

mahasiswa penyandang tunanetra;

3. Menyusun model media pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra;

4. Menyusun rencana kegiatan pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra;

Tahun Kedua:

5. Membuktikan bahwa model pembelajaran inklusif tersebut memungkinkan mahasiswa penyandang tunanetra mencapai tujuan pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris seperti mahasiswa normal lainnya; dan

6. Menyusun model final pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi penyandang tunanetra di perguruan tinggi berdasarkan hasil ujicoba model.

(8)

8

1.4 Urgensi (Keutamaan) Penelitian

Pemberian kesempatan pendidikan tinggi bagi para penyandang tunanetra di Indonesia telah dimulai sekurang-kurangnya sejak tahun 1960-an tetapi pemberian kesempatan tersebut hampir tanpa dukungan sistem. Keberhasilan sejumlah kecil penyandang tunanetra dalam menyelesaikan pendidikan tinggi pada masa itu lebih dipengaruhi oleh kegigihan usaha individu penyandang tunanetra dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya (Tarsidi, 2012: 6). Pendidikan inklusif sebagai salah satu usaha untuk memberi kesempatan yang sama dalam belajar bagi para penyandang ketunaan mulai dikenal luas dalam praktek pendidikan sejak dikeluarkannya Permendiknas No. 70 Tahun 2009. Namun, model pendidikan inklusif lebih banyak dipraktekkan pada tingkat pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas, seperti yang dinyatakan pada Permendiknas No. 70/2009, Pasal 4. Akibatnya, penelitian tentang pelaksanaan pendidikan inklusif lebih banyak dilakukan di sekolah-sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas (Sunanto, 2009; Hastuti, 2010; Rudiyati, 2010). Kajian pendidikan inklusif di tingkat pendidikan tinggi belum banyak dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa konsep pembelajaran inklusif belum banyak dilakukan di perguruan tinggi. Kalaupun ada mahasiswa tunanetra yang mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi, mereka diperlakukan seperti mahasiswa normal tanpa dukungan tambahan sesuai dengan jenis ketunaannya.

Bagi mahasiswa tunanetra, bahasa Inggris memiliki peranan yang sangat penting. Pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris yang mereka miliki akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menggunakan perangkat teknik alternatif pembelajaran dan dalam mengakses informasi yang sebagian besar menggunakan bahasa Inggris. Sayangnya, saat ini masih sedikit model pembelajaran inklusif yang sudah terbukti efektif secara empirik, baik strategi pembelajaran maupun media pembelajarannya, dalam mata kuliah bahasa Inggris bagi penyandang tunanetra di perguruan tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dilakukan dengan harapan mampu menghasilkan sebuah model pembelajaran inklusif yang dapat dipakai sebagai model untuk melaksanakan pembelajaran secara inklusif bagi mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi, khususnya dalam mempelajari materi bahasa Inggris.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembelajaran Inklusif bagi Penyandang Ketunaan

Saat ini terdapat perubahan paradigma tentang penyelenggarakan pendidikan bagi para penyandang ketunaan (orang berkebutuhan khusus): dari medical model of disability ke

(9)

9

social model of disability (Tarsidi, 2012: 1-2). Medical model of disability adalah sebuah model di mana orang berkebutuhan khusus dipandang sebagai akibat dari kondisi kelainan fisik semata-mata, yang merupakan hakikat dari kondisi individu penyandangnya - yang merupakan bagian intrinsik dari diri individu yang bersangkutan. Dalam bidang pendidikan, model ini memunculkan pendekatan berbasis belas kasihan (charity-based approach to disability) dimana orang berkebutuhan khusus cenderung dipandang sebagai “objek” perlindungan, perlakuan dan bantuan daripada sebagai subjek pemegang hak. Sebagai akibat dari pendekatan ini, pembelajaran bagi para penyandang ketunaan dijalankan secara segregatif/eksklusif dimana mereka dipisahkan dari siswa umum dan disediakan sekolah khusus bagi mereka (sekolah luar biasa). Akibatnya, para penyandang ketunaan cenderung diperlakukan sebagai orang asing di dalam masyarakatnya sendiri. Masyarakat cenderung memandangnya sebagai suatu keanehan apabila ada penyandang ketunaan yang berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak dirancang khusus baginya. Lebih jauh pendekatan ini memunculkan diskriminasi terhadap para penyandang ketunaan.

Seiring dengan tuntutan akan kesamaan hak bagi para penyandang ketunaan dalam kehidupan sehari-hari, paradigma pendidikan bagi mereka mulai berubah ke model sosial (social model of disability). Model sosial bagi penyandang ketunaan mengemukakan bahwa hambatan sistemik, sikap negatif dan eksklusi oleh masyarakat (secara sengaja atau tidak sengaja) merupakan faktor-faktor utama yang mendefinisikan siapa yang menyandang ketunaan dan siapa yang tidak di dalam masyarakat tertentu. Model ini mengakui bahwa sementara orang-orang tertentu mempunyai variasi fisik, sensori, intelektual, atau psikologis, yang kadang-kadang dapat mengakibatkan keterbatasan fungsi atau ketunaan pada individu, ini tidak harus mengakibatkan ketunaan, kalau masyarakat dapat menghargai dan menginklusikan semua orang tanpa memandang perbedaan-perbedaan individu. Dalam bidang pendidikan, pemikiran seperti ini melahirkan model pendidikan inklusif. Di Indonesia, pelaksanaan model pendidikan inklusif didasarkan pada Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Pasal 1 dan 2 dalam Permendiknas No. 70 Tahun 2009 menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan

(10)

10

dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan ini bertujuan untuk (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; dan (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Prinsip dasar pendidikan inklusif adalah:

a. Pendidikan untuk semua: setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layk.

b. Belajar hidup bersama dan bersosialisasi: setiap anak berhak mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik.

c. Integrasi pada lingkungan: setiap anak berhak menyatu dengan limgkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.

d. Penerimaan terhadap perbedaan: setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan.

Model pembelajaran inklusif memiliki keuntungan tidak hanya bagi anak berkebutuhan khusus tetapi juga bagi anak tanpa kebutuhan khusus, guru, dan keluarga. Keuntungan pembelajaran inklusif meliputi:

1. Bagi anak berkebutuhan khusus:

a. Terhindar dari label negatif: anak memiliki rasa percaya diri.

b. Memiliki kesempatan menyesuaikan diri: anak memiliki kesiapan menghadapi kehidupan nyata.

2. Bagi anak tanpa kebutuhan khusus:

a. Belajar mengenai keterbatasan tertentu: mengetahui keterbatasan/keunikan temannya, dan peduli terhadap keterbatasan temannya.

b. Dapat mengembangkan keterampilan sosial: berempati terhadap permasalahan temannya dan membantu temannya yang menghadapi kesulitan.

3. Bagi guru/dosen

a. Meningkatkan wawasan guru/dosen terhadap karakteristik siswa: guru/dosen mengenali peta kekuatan dan kelemahan siswa/mahasiswanya.

(11)

11

b. Menambah kompetensi guru/dosen: guru lebih kretaif dan terampil dalam mengajar dan mendidik.

4. Bagi keluarga

a. Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, merasa senang bila anaknya dapat bersosialisasi dengan baik tanpa ada diskriminasi.

b. Orangtua yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus, merasa senang bila anaknya memiliki keterampilan sosial yang baik.

Secara umum ada perbedaan perasaan yang dialami peserta didik ketika mengikuti model pembelajaran inklusif dan model pembelajaran eksklusif. Perbedaan tersebut adalah:

Pembelajaran Inklusif Pembelajaran Eksklusif/Segregatif

Dihargai Harga diri rendah, terkucil

Bangga Kecewa

Senang Marah

Diperhatikan Merasa direndahkan Optimis Frustasi, pesimis Merasa berguna Merasa tidak berguna

Percaya diri Tidak percaya diri

Aktif Pasif

2.2 Kegiatan Pembelajaran Inklusif

Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007: 5-6), kegiatan pembelajaran merupakan inti dari pelaksanaan kurikulum. Mutu pendidikan dan atau mutu lulusan banyak dipengaruhi oleh mutu kegiatan pembelajaran. Jika mutu kegiatan pembelajarannya bagus, dapat diprediksi bahwa mutu lulusan bagus; atau sebaliknya, jika mutu kegiatan pembelajarannya tidak bagus, maka mutu lulusannya juga tidak bagus. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus dirancang dengan baik, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap individu siswa dan didukung oleh kompetensi guru, media, sumber dan strategi pembelajaran yang memadai, sesuai dengan standar pelayanan minimal.

Seiring dengan kemajuan jaman, sudah banyak pembaharuan sistem strategi dan kelembagaan yang melayani peserta didik berkebutuhan khusus. Pada masa-masa sebelumnya bentuk kelembagaan yang melayani pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus masih banyak yang bersifat segregasi (eksklusi) yang terpisah dari

(12)

12

masyarakat. Tetapi memasuki akhir milenium dua, visi dan misi kelembagaan sudah cenderung lebih humanis dan terintegrasi (inklusi) dengan masyarakat.

Pendidikan inklusif adalah suatu bentuk sistem pendidikan di mana peserta didik berkebutuhan khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan oleh karena itu strategi pembelajarannya disesuaikan dengan kebutuhan dan karekteristik individu peserta didik.

Fakta menunjukkan bahwa di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif para siswa memiliki kemampuan yang heterogen, karena peserta didik di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di samping anak-anak normal juga terdapat anak-anak berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus ini memiliki keragaman kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis.

Pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang kemampuan siswanya sangat heterogen, berbeda dengan pembelajaran di sekolah umum yang memiliki kemampuan homogen. Para guru umum, pada umumnya tidak dipersiapkan untuk mengajar siswa yang mengalami kelainan atau berkebutuhan khusus, sehingga sering kali mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus.

Pada prinsipnya, urutan kegiatan pembelajaran model inklusif sama dengan kegiatan pembelajaran model segregatif/eksklusif. Perbedaannya terletak pada adanya dua jenis mahasiswa dalam kelas, yaitu mahasiswa berkebutuhan khusus dan mahasiswa tanpa kebutuhan khusus. Perbedaan mendasar tentang karakteristik peserta didik inilah yang membuat kegiatan pembelajaran inklusif sedikit berbeda, khususnya dalam hal metode, media, dan evaluasi pembelajarannya. Secara umum, kegiatan pembelajaran inklusif meliputi tiga aktivitas utama, yaitu menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif antara lain seperti di bawah ini.

1. Menyusun Rencana Pembelajaran

a. Menetapkan tujuan;

b. Merencanakan pengelolaan kelas: termasuk mengatur lingkungan fisik dan sosial c. Menetapakan dan pengorganisasian bahan/materi: topik apa yang ingin diajarkan

(13)

13

d. Merencanakan strategi pendekatan kegiatan pembelajaran: bagaimana bentuk kegiatannya, apakah peserta didik mendapat kesempatan untuk berperan aktif dalam pembelajaran;

e. Merencanakan prosedur kegiatan pembelajaran: bagaimana bentuk dan urutan kegiatannya, apakah kegiatan itu sesuai untuk semua peserta didik, dan bagaimana peserta didik mencatat, mendokumentasikan, dan menampilkan hasil belajarnya;

f. Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar: sumber belajar mana yang akan digunakan, media apa yang sesuai dan tidak membahayakan peserta didik; g. Merencanakan penilaian: bagaimana cara peserta didik telah menyelesaikan

tugasnya dalam suatu proses pembelajaran, dan apa bentuk tindak lanjut yang diinginkan.

2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran

a. Melaksanakan apersepsi;

b. Menyajikan materi/bahan pelajaran;

c. Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa, serta sesuai dengan kompetensi pembelajaran;

d. Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif;

e. Mendemontrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan;

f. Mengelola pembelajaran kelompok yang kooperatif;

g. Membina hubungan antarpribadi, bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa, menampilkan kegairahan dan kesungguhan, dan mengelola interaksi antarpribadi.

3. Melaksanakan evaluasi

a. Melakukan penilaian selama kegiatan pembelajaran berlangsung dan setelah kegiatan pembelajaran selesai, baik secara lisan, tertulis, maupun melalui pengamatan;

b. Bagi peserta didik yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, penilaian dilakukan dengan membandingkan prestasi yang telah dicapai dengan prestasi sebelumnya;

(14)

14

2.3 Prinsip-Prinsip Pembelajaran Inklusif bagi Peserta Didik Tunanetra

Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007:9), prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusi secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak berkebutuhan khusus.

1. Prinsip Umum

a. Prinsip motivasi

Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

b. Prinsip latar/konteks

Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi peserta didik.

c. Prinsip keterarahan

Setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat

d. Prinsip hubungan sosial

Dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, interaksi dengan lingkungan, serta interaksi banyak arah.

e. Prinsip belajar sambil bekerja

Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, serta menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.

f. Prinsip individulisasi

Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap peserta didik secara mendalam, baik tingkat kemampuan dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan dalam belajar, serta perilaku penting lainnya, sehingga setiap kegiatan

(15)

15

pembelajaran masing-masing peserta didik mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.

g. Prinsip menemukan

Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mendorong anak untuk terlibat secara aktif, baik fisik, mental, sosial, dan atau emosional.

h. Prinsip pemecahan masalah

Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan peserta didik terlatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuannnya.

2. Prinsip Khusus untuk Peserta Didik Tunanetra

a. Prinsip kekonkritan

Peserta didik Tunanetra belajar terutama melalui pendengaran dan perabaan. Bagi mereka, untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda– benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan. Melalui observasi perabaan benda–benda riil, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat–sifat permukaan, kelenturan, suhu dan sebagainya.

Dengan menyadari kondisi seperti ini, dalam proses pembelajaran guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda–benda konkrit sebagai alat bantu atau media dan sumber pencapaian tujuan pembelajaran.

b. Prinsip pengalaman yang menyatu

Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang peserta didik normal yang masuk ke toko, tidak saja melihat rak–rak dan benda–benda riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat hubungan antara rak–rak dengan benda–benda di ruangan. peserta didik Tunanetra tidak mengerti hubungan– hubungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar peserta didik untuk ”mengalami” suasana tersebut secara nyata dan menerangkan hubungan – hubungan tersebut.

c. Prinsip belajar sambil melakukan

Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prinsip belajar sambil bekerja. Perbedaannya adalah bagi peserta didik Tunanetra melakukan sesuatu adalah pengalaman nyata yang tidak mudah terlupakan seperti anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam menangkap informasi. Peserta didik normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat

(16)

16

gambar atau foto. Peserta didik Tunanetra menuntut penjelasan dan pengalaman secara langsung di lingkungan nyata.

Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses pembelajaran tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin peserta didik diajak ke dalam situasi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan karakter bahan yang diajarkannya.

2.4 Road Map Penelitian

Masalah yang akan dipecahkan melalui penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi (Sri Mulatsih, Sunardi, dan Rifqi, 2012) dan strategi penerjemahan oleh penerjemah tunanetra (Nababan, Nugroho, dan Sunardi, 2011). Peta jalan penelitian ini digambarkan sebagai berikut.

Keterangan :

Gambar 1. Road Map Penelitian

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Secara umum penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pengembangan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan produk pendidikan dan menginformasikan proses pengambilan keputusan selama pengembangan produk dalam rangka meningkatkan produk itu dan kemampuan pengembang dalam menciptakan produk sejenis di masa mendatang (Van der Akker, 1999: 75). Dalam penelitian ini produk yang akan dikembangkan adalah (1) model strategi pembelajaran inklusif bahasa

Strategi penerjemahan oleh penerjemah tunanetra (2011) Model pembelajaran “writing” berbasis pendidikan karakter di perguruan tinggi (2012)

Model strategi dan media pembelajaran inklusif bahasa

Inggris bagi mahasiswa tunanetra

(2014)

Implementasi model strategi dan media pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi

mahasiswa tunanetra

(2015)

Model pembelajaran inklusif bahasa Inggris

bagi mahasiswa tunanetra

(17)

17

Inggris bagi mahasiswa tunanetra, dan (2) model media penbelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra.

Secara khusus, penelitian yang akan dilakukan pada tahun pertama berjenis penelitian kualitatif-deskriptif, dengan menggunakan metode penelitian pengembangan. Sedangkan penelitian pada tahun kedua termasuk jenis penelitian kuantitatif-deskriptif, dengan menggunakan metode experimen murni (true-experimental method).

3.2 Prosedur dan Tahapan Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu penyusunan model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi, dan kemudian mengoptimalkan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran, maka penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode riset dan pengembangan (research &

development). Sejalan dengan metode ini, pada tahun pertama akan dilakukan kajian terhadap praktek-praktek pembelajaran inklusif yang ada saat ini, khususnya untuk mata kuliah bahasa Inggris di perguruan tinggi, dan selanjutnya berdasarkan hasil kajian tersebut dirumuskan suatu model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi

mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi. Kemudian pada tahun berikutnya dilakukan

implementasi untuk menerapkan model yang dihasilkan pada tahun pertama, untuk mengetahui efektivitas model tersebut dalam konteks pembelajaran inklusif yang nyata, dan untuk melakukan revisi terhadap model tersebut berdasarkan hasil implementasi, sehingga dihasilkan model yang terakhir.

Secara keseluruhan, penelitian ini akan dilaksanakan dalam dua tahun dengan prosedur dan tahapan sebagai berikut:

Tahun Pertama (2014)

1. Tahap Identifikasi Masalah dan Kebutuhan

Tujuan tahap ini adalah mengetahui masalah yang timbul dalam pembelajaran bahasa Inggris dimana mahasiswa tunanetra belajar bersama dengan mahasiswa biasa dalam kelas yang sama, serta hal-hal yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi:

a. Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra secara inklusif. Data dikumpulkan melalui kajian pustaka terhadap praktek pembelajaran bahasa Inggris yang selama ini dilaksanakan untuk mahasiswa tunanetra bersama dengan mahasiswa biasa, melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran tersebut, dan

(18)

18

melakukan wawancara tentang masalah dan kebutuhan pembelajaran dengan dosen dan mahasiswa peserta perkuliahan, khususnya mahasiswa tunanetra. b. Melakukan diskusi kelompok terarah (focus group discussion) tentang hasil

identifikasi masalah dan kebutuhan pembelajaran inklusif bahasa Inggris dengan beberapa dosen dan mahasiswa tunanetra, yang selanjutnya akan digunakan untuk menyusun model pembelajaran inklusif.

2. Tahap Penyusunan Model Pembelajaran Inklusif

Tahap ini bertujuan untuk menyusun model dan rencana pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra yang pelaksanaan perkuliahannya bersama dengan mahasiswa biasa. Adapun kegiatan yang akan dilakukan meliputi:

a. Menyusun model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra, yang meliputi model strategi pembelajaran dan model media pembelajarannya. b. Menyusun rencana pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa

tunanetra berdasarkan pada model strategi pembelajaran dan model media pembelajaran yang telah disusun.

c. Mengkonsultasikan model dan rencana pembelajaran yang telah disusun dengan beberapa ahli (experts) yang menguasai permasalahan pembelajaran inklusif atau pembelajaran luar biasa bagi penyandang tunanetra. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan masukan atau evaluasi terhadap model dan rencana pembelajaran yang telah disusun, untuk menjaga validitas model pembelajaran tersebut. Ahli yang akan mengevaluasi model dan rencana pembelajaran yang telah disusun berasal dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Negeri Malang, karena kedua perguruan tinggi tersebut telah berpengalaman dalam mengelola pendidikan luar biasa dan pendidikan inklusif bagi orang berkebutuhan khusus.

d. Menganalisis dan merevisi model dan rencana pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra berdasarkan hasil evaluasi dari para ahli. Kegiatan ini akan menghasilkan model pembelajaran dan rencaba pembelajaran yang telah divalidasi oleh ahli pembelajaran inklusif. Model dan rencana pembelajaran inilah yang selanjutnya akan diimplementasikan dan diujicoba pada tahun selanjutnya (tahun kedua).

(19)

19

Tahun Kedua (2015)

3. Tahap Implementasi dan Ujicoba Model dan Rencana Pembelajaran Inklusif

Pada tahap ini akan dilakukan penelitian eksperimen untuk menguji efektivitas model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya (tahap 2) terhadap peningkatan hasil pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris. Ujicoba akan dilakukan pada salah satu mata kuliah Bahasa Inggris yang diikuti oleh mahasiswa tunanetra pada semester genap tahun akademik 2014/2015.

Dua variabel bebasnya adalah model strategi pembelajaran inklusif bahasa Inggris dan model media pembelajaran inklusif bahasa Inggris, sedangkan variabel terikatnya adalah hasil pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris oleh mahasiswa tunanetra. Variabel hasil pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris mahasiswa tunanetra akan diukur lewat test yang akan diberikan kepada mahasiswa tunanetra peserta eksperimen di awal dan akhir tindakan (pretest dan posttest).

Penelitian eksperimen ini akan dilakukan dengan menggunakan model

Pretest-Posttest Control Group Design dengan satu macam perlakuan (Arikunto, 2003), yang dilakukan pada satu kelompok eksperimen dan satu kelompok pembanding.

Model eksperimen dilakukan seperti yang digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pretest-Postest Control Group Design Keterangan :

E = Kelompok Eksperimen P = Kelompok Pembanding O1 = Pretest

O2 = Posttest

Eksperimen ini untuk menjawab 3 (tiga) hipotesis penelitian:

1. Ho : Penggunaan model strategi pembelajaran inklusif bahasa Inggris tidak meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa tunanetra dalam mata kuliah bahasa Inggris.

2. Ho : Penggunaan model media pembelajaran inklusif bahasa Inggris tidak meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa tunanetra dalam mata kuliah bahasa Inggris.

E : O1 x O2

(20)

20

3. Ho : Penggunaan model strategi pembelajaran inklusif dan model media pembelajaran inklusif bahasa Inggris tidak meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa tunanetra dalam mata kuliah bahasa Inggris.

4. Tahap Penyempurnaan Model Pembelajaran Inklusif

Tahap terakhir ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra, yang sudah disempurnakan setelah melalui ujicoba dan revisi. Kegiatan yang akan dilakukan dalam tahap ini meliputi:

a. Melakukan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan dosen pengampu mata kuliah bahasa Inggris dan ahli pembelajaran inklusif tentang hasil uji coba model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra. b. Menyempurnakan model berdasarkan hasil ujicoba dan masukan dari para dosen

dan ahli sehingga dihasilkan model pembelajaran inklusif bahasa Inggris yang lebih baik bagi mahasiswa tunanetra untuk dijadikan model bagi pelaksanaan pembelajaran inklusif mata kuliah lainnya.

Secara ringkas, prosedur dan tahapan penelitian ini dapat disajikan pada Gambar berikut.

(21)

21

BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN 4.1 Anggaran Biaya

Ringkasan anggaran biaya yang diusulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

No Jenis Pengeluaran Biaya Yang Diusulkan (Rp.) Tahun I Tahun II 1 Gaji dan Upah 18.040.000 18.040.000 2 Peralatan Penunjang 19.500.000 18.750.000 3 Bahan Habis Pakai 5.800.000 5.800.000 4 Perjalanan 17.100.000 17.100.000 5 Lain-Lain: publikasi, seminar, lainnya 6.750.000 10.750.000

Jumlah 67.190.000 70.440.000

4.2 Jadwal Penelitian

No Jenis Kegiatan Tahun I Tahun II

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Identifikasi masalah dan kebutuhan

2 FGD dengan dosen dan mahasiswa tunanetra

3 Penyusunan model strategi dan media pembelajaran

4 Penyusunan rencana pembelajaran 5 Tinjauan ahli

6 Finalisasi model pembelajaran 7 Pelaporan hasil tahun ke-1 8 Penentuan kelompok eksperimen

dan kontrol 9 Ujicoba model

10 FGD dan verifikasi model 11 Penyempurnaan model 12 Pelaporan hasil tahun ke-2 13 Diseminasi hasil

(22)

22

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70

Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang

Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) UNESCO (1994). Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Pedoman Khusus Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusif: Kegiatan Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Pedoman Khusus Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusif: Media Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.

Hastuti, Endah Dwi. 2010. “Meningkatkan Kemampuan Percakapan Bahasa Inggris dengan Model Make a Match pada Siswa Tunarungu Wicara dan Tunagrahita Kelas VII SMPLB”. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (Jassi_Anakku) Vol. 9 No. 1 Juni 2010. Hal. 20-26.

Nababan, M.R., Nugroho, R.A., Sunardi. 2011. “Strategi Penerjemahan oleh Penerjemah Tunanetra”. Working Paper at International Conference on Language and Culture at

Works, 5 – 7 November 2011. Sebelas Maret University.

Nawawi, Ahmad. 2010. Pendidikan Inklusi bagi Anak Low Vision. Bandung: Jurusan Pendidikan Luar Biasa, UPI Bandung.

Rudiyati, Sari. 2010. “Pembelajaran Membaca dan Menulis Braille Permulaan pada Anak Tunanetra di SLB Tunanetra”. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan

Khusus (Jassi_Anakku) Vol. 9 No. 1 Juni 2010. Hal. 10-15.

Sri Mulatsih, Sunardi, Muhammad Rifqi. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran

“Writing” Berbasis Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I.

Sunanto, Juang. 2009. ‘Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar’. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (Jassi_Anakku) Vol. 8 No. 2 Desember 2009. Hal. 111-120.

Tarsidi, Didi. 2007. Komputer dan Ketunanetraan. Diakses 12 Februari 2013 dari http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/07/komputerdanketunanetraan.html.

Tarsidi, Didi. 2009. Dampak Ketunaan pada Pembelajar Bahasa. Diakses 12 Februari 2013 dari http://d-tarsidi.blogspot.com/2009/03/dampak-ketunanetraan-terhadap.html.

Tarsidi, Didi. 2012. “Disabilitas dan Pendidikan Inklusif pada Perguruan Tinggi”. Makalah pada International Workshop on Inclusive Education, Universitas Brawijaya Malang, 10 – 11 November 2012.

Van der Akker, J. 1999. “Principles and Methods of Development Research” in Jan Van der Akker, Robert M. Bearch, Kent Gutafson, Nienke Nieveen, and Tjeerd Polmps (Eds.).

Design Approaches and Tools in Action and Training. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)

41

Gambar

gambar atau foto. Peserta didik Tunanetra menuntut penjelasan dan pengalaman  secara langsung di lingkungan nyata
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan banyak ilmu yang bermanfaat bagi penulis.. Seluruh staf dan karyawan

Untuk diagnosa keperawatan pertama adalah bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan infeksi (TTV : RR: 62x/menit, S: 36.4 0 C, N: 136x/menit, leukosit

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dalam menduga bobot badan ternak kerbau Rawa menggunakan lingkar dada lebih baik jika digunakan pada kerbau betina, nilai

Kendala Saat Kegiatan Penyelesaian Ada beberapa pemahaman yang kurang akan pemilahan atau analisis transaksi serta pembukuan yang baik Peserta diberikan modul tentang tata

Dari hasil analisis regresi logistik, hasilnya menunjukkan bahwa status gizi dan lama rawat inap memiliki hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p<0,05 (Tabel

Departemen Pendidikan Nasional.. Berikut pengertian IPS yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan dan IPS di Indonesia. • Moeljono Cokrodikardjo mengemukakan bahwa IPS

Pembinaan Olimpiade Sains Nasional SMP/MTs Tingkat Propinsi (Pra-Olimpiade) (bidang fisika) Dinas Dikpora Propinsi DIY Hotel Tjokrokembang, 1 – 6 April 2014 H.

Masing-masing kelompok berlomba-lomba untuk cepat dan benar dalam menjawab soal yang telah diberikan oleh guru. √