• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Tetes Mata

Tetes mata adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi digunakan pada mata dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata disekitar kelopak mata atau bola mata (FI.III, 1979). Tetes mata digunakan untuk menghasilkan efek diagnostik dan terapeutik lokal dan yang lain untuk merealisasikan kerja farmakologis yang terjadi setelah berlangsungnya penetrasi bahan obat, dalam jaringan yang umumnya terdapat disekitar mata (Voight, 1994).

Pembuatan tetes mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas bahan obat, sterlilisasi dan kemasan yang tepat. Beberapa tetes mata perlu hipertonik untuk meningkatkan daya serap dan menyediakan kadar bahan aktif yang cukup tinggi untuk menghasilkan efek obat yang cepat dan efektif. Apabila tetes mata seperti ini digunakan dalam jumlah kecil, pengenceran dengan air mata cepat terjadi sehingga rasa perih akibat hipertonisitas hanya sementara, tetapi penyesuaian isotonisitas oleh pengenceran dengan air mata tidak berarti, jika digunakan larutan hipertonik dalam jumlah besar sebagai koliria untuk membasahi mata. Jadi yang paling penting adalah tetes mata harus mendekati isotonik (Puspitasari, 2009).

Bahan obat yang digunakan pada mata adalah farmaka pelebar pupil (midriatika), seperti atropine, skopolamin, fenilefrin, dan epiefrin sedangkan bahan dengan kerja penyempit pupil (miotika) seperti pilokarpin, fisostigmin, neostigmin dan paraixon. Untuk melawan proses infeksi digunakan antibiotika disamping garam perak untuk mengobati rasa nyeri digunakan anastetika lokal. Mata merupakan organ yang paling peka dari manusia. Oleh karena itu sediaan obat mata mensyaratkan kualitas yang lebih tajam (Puspitasari, 2009).

Beberapa syarat tetes mata adalah jernih, steril, isotonik, isohidris, dan stabilitas. Pemberian etiket pada sediaan tetes mata harus tertera tidak boleh digunakan lebih dari 1 bulan setelah tutup dibuka (Puspitasari, 2009).

(2)

Guna mengurangi iritasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut ini : 1. Penyesuain pH dengan cairan air mata

2. Penyesuaian isotonis dengan air mata 3. Viskositas cairan air mata

Viskositas diperlukan agar larutan obat tidak cepat dihilangkan oleh air mata serta dapat memperpanjang lama kontak dengan kornea, dengan demikian dapat mencapai hasil terapi yang besar.

Surfaktan sering digunakan dalam tetes mata, karena mempunyai fungsi pembasah atau zat penetrasi. Efek samping surfaktan ialah :

1. Menaikkan kelarutan, hingga menaikkan kadar dari obat kontak dengan mata

2. Menaikkan penetrasi kedalam kornea dan jaringan lain

3. Memperlama tetapnya obat dalam konjungtiva, pada pengenceran obat oleh air mata (Puspitasari, 2009).

B. Stabilitas Obat

Efek terapeutik suatu obat tergantung dari banyak faktor antara lain cara dan bentuk pemberian, efek fisikokimiawi yang menentukan reabsorbsi, biotransformasi, dan ekskresinya dalam tubuh. Selain itu, faktor individu serta kondisi fisiologi pengguna juga sangat berpengaruh. Hal yang juga penting adalah stabilitas dari obat itu sendiri. Suatu obat akan memberikan efek teraupetik yang baik jika obat tersebut dalam keadaan baik.

(Luawo et al, 2012)

Stabilitas obat yang baik mempengaruhi mutu obat, sediaan farmasi yang bermutu adalah sediaan farmasi yang memenuhi kriteria aman, efektif, efisien, stabil dan nyaman. Untuk memenuhi kriteria tersebut, obat diformulasikan dalam bentuk sediaan tertentu sehingga dapat mencapai tempat aksinya, memberikan efek samping yang minimal, stabilitas sediaan yang optimal serta nyaman dalam pemakaian, mutu semua obat yang boleh beredar harus terjamin baik dan diharapkan obat akan sampai ke pasien dalam keadaan baik.

(3)

Penyimpanan obat yang kurang baik merupakan salah satu masalah dalam upaya peningkatan mutu obat (Luawo et al, 2012).

Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu obat atau sediaan farmasi biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan memerlukan waktu yang lama sampai ketangan pasien yang membutuhkannya. Obat yang disimpan dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan hasil urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahayakan dan dampak negatif bagi jiwa pasien (Luawo et al, 2012).

Uji stabilitas dimaksudkan untuk menjamin kualitas produk yang telah diluluskan dan beredar di pasaran. Uji stabilitas yang dilakukan bermanfaat untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban terhadap parameter–parameter stabilitas produk seperti kadar zat aktif.

(Luawo et al, 2012).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain adalah panas, cahaya, kelembaban, oksigan, pH, mikroorganisme, dan lain-lain digunakan dalam formula sediaan obat tersebut (Anief, 2005).

Stabilitas suatu obat adalah suatu pengertian yang mencakup masalah kadar obat yang berkhasiat. Bila suau obat stabil artinya dalam waktu relatif lama, obat akan berada dalam keadaan semula, tidak berubah atau bila berubah masih dalam batas yang diperbolehkan oleh persyaratan tertentu.

C. Kloramfenikol Rumus struktrur :

(4)

Gambar 1. Struktur Kloramfenikol (Shadoul et al, 2011)

Nama Kimia : D-treo-(-)-2,2-Dikloro-N-[β-hidroksi-α-(hidroksimetil)-p-nitrofenetil]asetamida [56-75-7]

Rumus Molekul : C11H12CI2N2O5

Berat Molekul : 323,13

Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan; larutan praktis netral terhadap lakmus p; stabil dalam larutan netral atau larutan agak asam. Kelarutan : Sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol; dalam

propilen glikol; dalam aseton dan dalam etil asetat. (FI.IV, 1995).

Kloramfenikol merupakan antibiotika yang diisolasi pertama kali dari Sreptomyces venezuelae. Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman dan yang dihambat ialah enzim peptidil transferase berperan membentuk ikatan-ikatan peptide pada proses sintesis protein kuman. Kloramfenikol aktif terhadap sejumlah organisme gram positif dan gram negatif. Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik spektrum luas yang aktif, tidak hanya terhadap bakteri, tetapi juga terhadap mikroorganisme lain seperti risketsia (Musharraf and Sultana, 2012).

Kloramfenikol digunakan sebagai pengobatan infeksi-infeksi yang parah seperti tifus atau demam. Kloramfenikol kadang-kadang juga digunakan secara topikal untuk pengobatan infeksi mata (Katzung, 2006).

Kloramfenikol mempunyai dua atom karbon asimetrik pada rantai asilamido propandiol. Kloramfenikol sangat stabil dalam kondisi bahan dasar dan bentuk sediaan padat. Dalam larutan secara lambat mengalami berbagai reaksi hidrolitik dan reaksi yang diiunduksi oleh cahaya. Laju reaksi tersebut, tergantung pada pH, panas, dan cahaya. Reaksi hidrolitik termasuk hidrolisis umum terkatalis asam-basa pada amida, memberikan 1-(p-nitrofenil)- 2-amino-propan- 1,3-diol dan asam diklorosoasetat dan hidrolisis dalam suasana

(5)

alkalis ( diatas pH 7) gugus α- kloro membentuk turunan α, α-dihidroksi yang cocok (Wilson dan Gisvold’s, 1982).

Gambar 2. Mekanisme degradasi Kloramfenikol (Syah, 2006 ; Abachi et al, 2010) Kloramfenikol adalah salah satu antibiotik yang secara kimiawi diketahui paling stabil dalam segala hal pemakaian. Kloramfenikol memiliki stabilitas yang sangat baik pada suhu kamar dan kisaran pH 2 sampai 7, stabilitas maksimumnya dicapai pada pH 6. Pada suh kamar 25o C dan pH 6, memiliki waktu paruh hamper 3 tahun.

C. Deksametason Sodium Fosfat Rumus struktur :

Gambar 3. Struktur Deksametason Sodium Fosfat (Shadoul et al, 2011) Rumus molekul : C22H28FNaO8P

Berat molekul : 516,41

Nama kimia : 9-Fluoro 11β, 17,21-trihidroksi-16α- metil pregna-1,4-diena-3,20-dion 21-dihidrogen fosfat)[2392-39-4] Pemerian : serbuk hablur, putih atau agak kuning, tidak berbau atau

agak berbau etanol; sangat higroskopis.

Kelarutan : mudah larut dalam air; sukar larut dalam etanol; sangat sukar larut dalam dioksan; tidak larut dalam kloroform dan dalam eter (FI.IV,1995).

(6)

Deksametason sodium fosfat sangat higroskopik, dan memiliki stabilitas pH 7,0-8,5. Deksametason sodium fosfat merupakan ester anorganik dari deksametason yang larut dalam air (FI.IV, 1995).

Dalam pemanasan kering atau dengan hydrogen peroxide deksametason sodium fosfat dapat terdegradasi menjadi 6β-hydroxydexamethashone dan 17-oxodexamethasone, pada kondisi asam dapat terdegradasi menjadi deksametason-21-asam oic, pada kondisi basa dapat terdegradasi menjadi 6β-hydroxydexamethashone. Hasil produk degradasi sifatnya lebih polar dibandingkan dengan sifat induk itu sendiri (Seid et al, 2012)

Deksametason sodium fosfat, seperti kortikosteroid lainnya yang memiliki efek anti inflamasi, anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamin. Deksametason sodium fosfat merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan alergi kurang lebih 5-14 kali lebih ampuh dari pada prednisolon dan 25-75 kali lebih ampuh dari kortison dan hidrokortison (Shadoul et al, 2011).

Deksametason sodium fosfat dapat digunakan dalam mengobati alergi okular yang signifikan, uveitis anterior, dan penyakit radang mata terkait dengan beberapa infeksi okular dan peradangan pasca operasi, kornea dan bedah intraokular (Hosain et al, 2011).

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi(KCKT)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) merupakan salah satu metode kimia dan fisikokimia. KCKT termasuk metode analisis terbaru yaitu suatu tekhnik kromatografi dengan fase gerak cairan dan fase diam cairan atau padat.

Banyak kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan metode lainnya, kelebihan itu antara lain:

1. Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran 2. Mudah melaksanakannya

3. Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi 4. Resolusi yang baik

(7)

5. Dapat digunakan bermacam-macam detektor 6. Kolom dapat digunakan kembali

7. Mudah melakukan "sample recovery"

Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali jika KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa (MS). Keterbatasan lainnya adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit diperoleh.

Komponen-komponen penting dari KCKT dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 4. Skema alat KCKT (Putra, 2004) a. Pompa (Pump)

Fase gerak dalam KCKT adalah suatu cairan yang bergerak melalui kolom. Ada dua tipe pompa yang digunakan, yaitu kinerja konstan (constant pressure) dan pemindahan konstan (constant displacement). Pemindahan konstan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pompa reciprocating dan pompa syringe. Pompa reciprocating menghasilkan suatu aliran yang berdenyut teratur, oleh karena itu membutuhkan peredam pulsa atau peredam elektronik untuk, menghasilkan garis dasar (base line) detektor yang stabil, bila detektor sensitif terhadapan aliran. Keuntungan utamanya ialah ukuran reservoir tidak terbatas. Pompa syringe memberikan aliran yang tidak berdenyut, tetapi reservoirnya terbatas (Putra, 2004).

(8)

b. Injektor

Sampel yang akan dimasukkan ke bagian ujung kolom, harus dengan disturbansi yang minimum dari material kolom. Ada dua model umum yaitu Stopped Flow dan Solvent Flowing. Ada tiga tipe dasar injektor yang dapat digunakan :

1. Stop-Flow: Aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa digunakan karena difusi di dalam cairan kecil dan resolusi tidak dipengaruhi. 2. Septum: Septum yang digunakan pada KCKT sama dengan yang

digunakan pada kromtografi gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60 -70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat menyebabkan penyumbatan.

3. Loop Valve: Tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar dari 10 µ dan dilakukan dengan cara automatis (dengan menggunakan adaptor yang sesuai, volume yang lebih kecil dapat diinjeksian secara manual). Pada posisi load, sampel diisi kedalam loop pada kinerja atmosfir, bila valve difungsikan, maka sampel masuk ke dalam kolom (Putra, 2004).

c. Kolom (Column)

Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:

1. Kolom analitik : Diameter dalam 2 -6 mm. Panjang kolom tergantung pada jenis material pengisi kolom. Untuk kemasan pellicular, panjang yang digunakan adalah 50 -100 cm. Untuk kemasan poros mikropartikulat, 10 -30 cm. Dewasa ini ada yang 5 cm.

2. Kolom preparatif: umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang kolom 25 -100 cm.

(9)

Kolom umumnya dibuat dari stainlesteel dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. Pengepakan kolom tergantung pada model KCKT yang digunakan Liquid Solid Chromatography (LSC), Liquid Liquid Chromatography (LLC), Ion Exchange Chromatography (IEC), Exclution Chromatography (EC) (Putra, 2004).

d. Detektor (Detector)

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen sampel di dalam kolom (analisis kualitatif) dan menghitung kadamya (analisis kuantitatif). Detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh.

Detektor KCKT yang umum digunakan adalah detektor UV 254 nm. Variabel panjang gelombang dapat digunakan untuk mendeteksi banyak senyawa dengan range yang lebih luas. Detektor indeks refraksi juga digunakan secara luas, terutama pada kromatografi eksklusi, tetapi umumnya kurang sensitif jika dibandingkan dengan detektor UV. Detektor-detektor lainnya antara lain:

1. Detektor Fluorometer 4. Detektor Spektrofotometer Massa 2. Detektor lonisasi nyala 5. Detektor Refraksi lndeks

3. Detektor Elektrokimia 6. Detektor Reaksi Kimia (Putra, 2004) e. Sistem Elusi

Sistem pompa kromatografi cair kinerja tinggi sudah diprogram untuk dapat melakukan elusi dengan satu atau lebih macam pelarut. Dikenal dua sistem pompa pada Kromatografi Cair Kinerja Tinggi yaitu :

(10)

1. Sistem elusi isokratik

Pada sistem ini elusi dilakukan dengan satu macam larutan pengembang atau lebih dari satu macam larutan pengembang (pelarut pengembang campur) dengan tetap, misalnya metanol-air = 50:50 v/v. 2. Sistem elusi gradien

Pada sistem ini elusi dilakukan dengan pelarut pengembang campur perbandingannya berubah dalam waktu tertentu, misanya metanol-air = 40:60 v/v, dengan kenaikkan kadar metanol 8% setiap menit (Mulja dan Suherman, 1995).

f. Fasa gerak

Di dalam kromatografi cair komposisi dari solven atau fase gerak adalah salah satu dari variabel yang mempengaruhi pemisahan. Terdapat variasi yang sangat luas pada solven yang digunakan untuk KCKT, tetapi ada beberapa sifat umum yang sangat disukai, yaitu rasa gerak harus : 1. Murni, tidak terdapat kontaminan

2. Tdak bereaksi dengan wadah (packing) 3. Sesuai dengan defektor

4. Melarutkan sampel

5. Memiliki visikositas rendah

6. Bila diperlukan, memudahkan "sample recovery"

7. Diperdagangan dapat diperoleh dengan harga murah (reasonable price) Umumnya, semua solven yang sudah digunakan langsung dibuang karena prosedur pemumiannya kembali sangat membosankan dan mahal biayanya. Dari semua persyaratan di atas, persyaratan 1 sampai 4 merupakan yang sangat penting.

Menghilangkan gas (gelembung udara) dari solven, terutama untuk KCKT yang menggunakan pompa bolak balik (reciprocating pump) sangat diperlukan terutama bila detektor tidak tahan kinerja sampai 100 psi. Udara yang terlarut yang tidak dikeluarkan akan menyebabkan gangguan yang besar di dalam detektor sehingga data yang diperoleh tidak dapat digunakan (the data may be useless). Menghilangkan gas

(11)

(degassing) juga sangat baik bila menggunakan kolom yang sangat sensitif terhadap udara (Putra, 2004).

E. Validasi Metode Analisis

Validasi metode adalah suatu proses yang menunjukkan bahwa prosedur analitik telah sesuai dengan penggunaan yang dikehendaki. Validasi dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang dilakukan akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Parameter analisis yang ditentukan pada validasi adalah akurasi, presisi, spesifikasi, limit deteksi, limit kuantitasi, linieritas dan rentang kadar dan ketahanan (Harmita, 2004).

1. Linieritas

Linearitas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi yang menghubungkan antara respon (y) dengan konsentrasi (x). Metode ini dapat diukur dengan melakukan pengukuran tunggal pada konsentrasi yang berbeda-beda. Data yang diperoleh selanjutnya diproses dengan metode kuadrat terkecil, untuk selanjutnya dapat ditentukan nilai kemiringan (slope), intersep, dan koefisien korelasinya (Ganjar dan Rohman, 2007).

Penentuan linieritas suatu prosedur analisis dilakukan dengan perlakuan dari hasil uji yang diperoleh pada analisis sampel yang mengandung analit dalam rentang konsentrasi yang dituntut oleh prosedur. Perlakuan tersebut pada umumnya adalah perhitungan garis regresi (Satiadarma, 2004).

2. Batas Deteksi dan Batas Kuntitasi

Batas deteksi (limit of detection) didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat terdeteksi. Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

(12)

Batas kuantitasi (limit of quantitation) didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.

Batas Kuantitasi =

3. Ketelitian (precision)

Presisi dari suatu metode analisis adalah derajat kesesuaian diantara masing-masing hasil uji, jika prosedur analisis diterapkan berulang kali pada sejumlah cuplikan yang diambil dari sampel homogen. Presisi juga diartikan sebagai ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya diekspresikan sebagai standar deviasi relatif (RSD). Pengujian pada presisi biasanya dilakukan replikasi sebanyak 6-15 pada sampel tunggal untuk tiap-tiap konsentrasi. Nilai RSD antara 1-2% biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa aktif dalam jumlah yang banyak, sedangkan untuk senyawa-senyawa dengan kadar sekelumit, RSD berkisar antara 5-15% ( Gandjar dan Rohman, 2007).

4. Akurasi

Akurasi (kecermatan) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (% recovery) analit yang ditambahkan dan dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu metode simulasi (spiked placebo recovery) dan metode penambahan bahan baku (standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni (senyawa pembanding) ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang diperiksa ditambahkan ke dalam sampel dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya.

(13)

Persen perolehan kembali ditentukan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dari analisis dengan hasil sebenarnya yang dihitung secara teoritis. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah metode kuantitasi yang digunakan dalam penentuan akurasi harus sama dengan metode kuantitasi yang digunakan untuk menganalisis sampel dalam penelitian (Harmita, 2004).

% Perolehan Kembali = x 100% Keterangan :

A = konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan baku B = konsentrasi sampel sebelum penambahan baku

Gambar

Gambar 1. Struktur Kloramfenikol  (Shadoul et al, 2011)
Gambar 2.  Mekanisme degradasi Kloramfenikol (Syah, 2006 ; Abachi et al, 2010)
Gambar 4. Skema alat KCKT (Putra, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan menguji pengaruh modernisasi sistem administrasi perpajakan yang terdiri atas struktur organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi,

Ghani dan Lee (1997) telah mengkategorikan saiz pemaju berdasarkan kepada saiz projek yang dibangunkan oleh pemaju tersebut iaitu pemaju yang bersaiz kecil akan

Melalui penugasan individu, siswa mampu menyampaikan upaya-upaya dalam menghadapi musim kemarau dan penghujan dengan percaya diri.. Guru memberikan salam dan menanyakan

Adapun tujuan dari penelitian ini, anatara lain: (1) Mendeskripsikan bentuk konflik batin tokoh utama 方世杰 Fāng Shì Jié dalam Film Kungfu Dunk « 功夫 灌蓝 » karya 朱延平

Pengimplementasian Pendidikan Lingkungan Hidup merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menjaga pelestarian lingkungan. Berdasarkan data di lapangan,

Sekalipun SMA Negeri 1 Sirombu tidak memiliki kebijakan secara khusus yang dimuat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Rencana Kegiatan dan Anggaran

Kesimpulan pada penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara self-efficacy dan hardiness dengan work engagement, antara self-efficacy dengan work engagement,

Penelitian ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam dua siklus, yaitu proses tindakan siklus I dan