• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Imunologi Reaksi Hipersensitivitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Imunologi Reaksi Hipersensitivitas"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH IMUNOLOGI

MAKALAH IMUNOLOGI

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

DOSEN

DOSEN

DRA. REFDANITA M.SI.

DRA. REFDANITA M.SI.

PENYUSUN MAKALAH

PENYUSUN MAKALAH

AYUNI

AYUNI PRASTIKA

PRASTIKA

15334071

15334071

PROGRAM STUDI FARMASI

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI-ISTN

FAKULTAS FARMASI-ISTN

JAKARTA

JAKARTA

2017

2017

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... 2 KATA PENGANTAR ... 3 BAB 1 PENDAHULUAN ... 4 A. LATAR BELAKANG ... 4 B. RUMUSAN MASALAH ... 5 C. TUJUAN ... 5 BAB 2 PEMBAHASAN ... 6 A. DEFINISI ... 6 B. ETIOLOGI ... 6 C. PATOFISIOLOGI ... 7 D. KLASIFIKASI ... 7

E. TANDA DAN GEJALA ... 11

F. PEMERIKSAAN FISIK... 12 G. PEMERIKSAAN PENUNJANG ... 12 H. DIAGNOSTIK ... 13 I. TERAPI ... 13 BAB 3 PENUTUP ... 15 A. KESIMPULAN ... 15 DAFTAR PUSTAKA ... 17

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat- Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “REAKSI

HIPERSENSITIVITAS” dengan baik.

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Immunologi di Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta. Sa ya menyadari  bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapakan kritik dan saran

dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan. Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan sert a dalam penyusunan tugas ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan senantiasa memberkati segala usah a yang dilakukan.

Jakarta, Oktober 2018

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.

Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.

Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan  permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke  jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.

Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat  bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan  berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.

(5)

Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini  berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan

kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.

B. Rumusan Masalah

1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas? 2. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas? 3. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas? 4. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas? 5. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?

6. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?

C. Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya reaksi hipersensitifitas.

(6)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

B. Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :

1. Faktor Internal

a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.

 b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.

c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.

2. Fakor Eksternal

a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).

 b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.

c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.

(7)

C. Patofisiologi

Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel –  sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.

2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian

D. Klasifikasi

1. Hipersensitifitas tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan  bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi  berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit

(8)

atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen).  Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitifitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang  berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.

Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:

a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),  b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat

menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk  produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan

menyebabkan lisis sel darah merah), dan

c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di

(9)

dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran  bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang  persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru  pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat

keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori  berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.

(10)

Tipe Waktu reaksi

Penampakan klinis

Histologi Antigen dan situs

Kontak 48-72  jam

Eksim (ekzema) Limfosit, diikuti makrofag; edema epidermidis

Epidermal (senyawa

organik, jelatang atau poison ivy, logam berat , dll.)

Tuberkulin 48-72  jam Pengerasan (indurasi) lokal Limfosit, monosit, makrofag Intraderma (tuberkulin, lepromin, dll.) Granuloma 21-28 hari

Pengerasan Makrofag,epitheloid  dan sel raksaksa, fibrosis

Antigen persisten atau senyawa asing dalam tubuh (tuberkulosis, kusta, etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

No Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe

1 Tipe

Anafilaksis

Alergen mengikat silang antibody IgE  pelepasan

amino vasoaktif dan

mediatorlain dari basofil dan sel mast rektumen sel radang lain

Anafilaksis, beberapa  bentuk asma  bronchial 2 Antibodi terhadap antigen  jaringan tertentu

IgG atau IgM berikatan dengan antigen pada permukaan sel fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen atau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel yang bergantung antibodi Anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis,  penyakit Goodpasture,  pemfigus vulgaris 3 Penyakit Kompleks Imun Kompleks antigen-antibodi mengaktifkan komplemen

menarik perhatian nenutrofil menjadikan pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dll

Reahsi Arthua, serum sickness, lupus

eritematosus sistemik,  bentuk tertentu

(11)

4 Hipersensivitas Selular

(Lambat)

Limfisit T tersensitisasi  pelepasan sitokin dan

sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T

Tuberkulosis, dermatitis kontak,  penolakan transplant

E. Tanda dan Gejala

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran  pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai  jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal

(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.

Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:

1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala sering disertai pruritis

2. Demam

3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi 4. Limfadenopati

a. kejang perut, mual  b. neuritis optic

c. glomerulonefritis

d. sindrom lupus eritematosus sistemik  e. gejala vaskulitis lain

(12)

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.

Adapun Gejala klinis umumnya :

1. Pada saluran pernafasan : asma

2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal 4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir 

F. Pemeriksaan Fisik 

1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir 

2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan

3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan

4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).

2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.

3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.

4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.

(13)

6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).

7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.

8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

H. Diagnostik 

1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis  pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi,

cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.

2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan  pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam  berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin

(pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya. 3. Reaksi psikologi

I. Terapi

Penanganan reaksi hipersensitivitas berlandaskan pada empat dasar:

1. Menghindari allergen 2. Terapi farmakologis

a. Adrenergik 

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.

 b. Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di  berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif

(14)

c. Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot  polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema,  produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.

3. Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat  pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun

4. Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

(15)

BAB III

PENUTUP

A.

Kesimpulan

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen

Klasifikasi hipersensitivitas sebagai berikut : 1. Hipersensitivitas Tipe I

2. Hipersensitivitas Tipe II 3. Hipersensitivitas Tipe III 4. Hipersensitivitas Tipe IV

Penanganan reaksi hipersensitivitas berlandaskan pada empat dasar :

1. Menghindari allergen 2. Terapi farmakologis

a. Adrenergik 

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ).

 b. Antihistamin

Antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.

c. Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot  polos. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

(16)

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. 3. Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat  pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. 4. Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioed

(17)

DAFTAR PUSTAKA

1.  Nuzulul Hikmah, SEPUTAR REAKSI HIPERSENSITIVITAS (ALERGI), Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.

2. Siti Khamidah. Makalah Imunologi. Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas  Negeri Semarang. 2016

3. Cahya Ningsih. Makalah Hipersensitivitas. Jakarta. 2014

4. Eryati Darwin. DASAR HIPERSENSITIVITAS DAN AUTOIMUNITAS. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2010.

Referensi

Dokumen terkait