• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Umum

Dalam bidang kontruksi bangunan sipil sering dijumpai mengenai pekerjaan beton karena struktur beton ini dapat dibentuk menurut kebutuhan. Struktur beton ini merupakan jenis konstruksi yang kaku (rigid). Struktur Beton Bertulang (reinforced concrete) adalah struktur komposit yang terbuat dari dua bahan dengan karakteristik yang berbeda yaitu beton dan baja. Secara umum beban luar telah diberikan pada beton dan tulangan menerima bagian beban tersebut hanya pada tulangan yang dibungkus beton melalui ikatan. Dalam struktur komposit, ikatan antara komponen beton bertulang yang berbeda memiliki peran primordial dan pengabaiannya akan mengakibatkan respon struktur yang kurang baik. Fenomena yang kompleks ini mengarahkan para insinyur di masa lalu untuk bergantung pada formula empiris untuk desain struktur beton, yang kemudian berasal dari sejumlah percobaan. Untuk itu, keterpaduan ikatan itu dilaksanakan dalam penelitian terakhir. Sifat-sifat interaksi ini tergantung pada sejumlah faktor seperti friksi, interaksi mekanika dan adhesi kimia.

Di masa lalu, jumlah penelitian eksperinmental telah dilakukan untuk mengklarifikasi dan memahami perilaku besi yang terdeformasi yang ditarik dari balok beton dalam kondisi beban siklus atau monotonic. Hasil percobaan ini terdokumentasi dengan baik dalam literatur khusus. Namun penelitian ini hanya

(2)

didapatkan pada hasil percobaan, maka sangat sulit untuk menyaring pengaruh bahan dan parameter geometri atas perilaku ikatan.

Namun pada tesis ini, penulis ingin menganalisa penghubung tarik dengan menggunakan besi beton sebagai angkur. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan mengenai Standar Nasional Indonesia (SNI) 07-2052-2002 tentang baja tulangan beton. Namun di Indonesia belum ada peraturan yang mengatur tentang perencanaan penghubung tarik dengan menggunakan besi beton. Dalam hal ini, penulis menggunakan peraturan dari Negara Eropa yang disusun oleh European organization for Technical Approvals (EOTA) dalam peraturannya tentang Guideline for European Technical Appropal of Metal Anchors for Use in Concrete (ETAG-001) dan juga Standard Amerika dalam peraturannya ACI Standard : Qualificatin of Post-Installed Mechanical Anchors in Concrete (ACI 355.2-04) and Commentary (ACI 355.2R-04).

2.2. Baja Tulangan

Pengujian baja tulangan untuk mengetahui tegangan leleh, tegangan tarik maksimum, tulangan yang digunakan pada penelitian ini tegangan tarik tulangan. Namun dalam struktur beton bertulang, harus supaya tulangan baja dan beton dapat mengalami deformasi secara bersamaan, dengan maksud agar tidak terjadi penggelinciran pada kedua material tersebut. Garis O-A menunjukkan fase elastic, yaitu hubungan antara tegangan dan regangan adalah berbanding lurus (linier). Titik A disebut batas proporsional, tegangan dititik A disebut tegangan proporsional yang nilainya sangat dekat dengan tegangan leleh (f ). Gradien kemiringan yang dibentuk

(3)

oleh garis O-A menunjukkan modulus elastic (E) yang dikenal juga sebagai young modulus. Garis A-B menunjukkan keadaan plastis yang merupakan garis yang relative lurus mendatar, dimana tegangan yang terjadi relative konstan sedangkan regangannya terus bertambah. Setelah melampaui titik B tegangan dan regangan meningkat kembali dan mencapai tegangan maksimum dititik C. Pada titik C disebut tegangan ultimate (kuat tarik baja) dengan nilai regangan berbeda tergangtung mutu bajanya. Fase B-C disebut pergeseran regangan (strainhardening). Setelah melampaui titik C, penampang baja mengalami penyempitan (necking) yang mengakibatkan tegangan menurun dan akhirnya baja putus di D dengan nilai regangan yang berbeda tergantung mutu bajanya. Fase C-D disebut pelunakan regangan yang berbeda (strain softening). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1. diagram tegangan regangan hasil uji tarik (Paulay, 1974).

f

y C

fy A B D

0

ε

Elastic plastis Strain hardening Strain softening

Gambar 2.1. Diagram Tegangan Regangan Hasil Uji Tarik (Paulay, 1975)

(4)

Lekatan tulangan baja dengan beton yang mengelilingi berlangsung sempurna tanpa terjadi penggelinciran. Pada waktu komponen struktur beton bertulang bekerja menahan beban akan timbul tegangan lekat pada permukaan singgung antara tulangan dengan beton.

Tegangan lekat/Kuat lekat adalah kemampuan baja tulangan dan beton yang menyelimutinya dalam menahan gaya-gaya luar ataupun faktor lain yang dapat menyebabkan lepasnya lekatan antara baja tulangan (Winter, 1993). Menurut Nawy (1986), kuat lekatan antara baja tulangan dan beton yang bergantung pada faktor-faktor utama sebagai berikut:

1. Adhesi antara elemen beton dan bahan penguatnya (tulangan baja).

2. Efek gripping (memegang) sebagai akibat dari susut pengeringan beton disekeliling tulangan dan saling geser antara tulangan dengan beton disekelilingnya.

3. Efek kualitas beton dan kekuatan tarik dan tekanannya. 4. Efek mekanis penjangkaran ujung tulangan.

5. Diameter dan bentuk tulangan.

Jenis percobaan yang dapat menentukan kualitas lekatan dengan elemen tulangan yaitu :

(5)

Percobaan ini memberikan perbandingan yang baik antara efisiensi lekatan dengan tulangan memikul tarik adalah angkur besi polos dan angkur besi ulir yang di cor bersamaan dengan beton.

2. Hubungan Slip – Ikatan lokal.

Persamaan diffrensial terhadap slip, dalam Persamaan (2.1) baja penguat yang dimasukkan pada massa beton seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.2. Perubahan dalam pergeseran relative dari baja terhadap beton (d∆) adalah perubahan dalam deformasi baja (∂s) dikurangi perubahan dalam deformasi

beton (∂c) adalah: d∆ = ∂s - ∂c …………...………...……. (2.1)

Besaran deformasi untuk penguatan dan beton, bila kita mengasumsikan keadaan elastis diberikan oleh Persamaan (2.2) dan (2.3)

s

= (

)

dx

..……… (2.2)

c

= (

)

dx ...……… (2.3)

Pada Gambar 2.2 dalam potongan batang yang pendek dx dijelaskan

bahwa kuat lekat baja pada beton adalah sebagai berikut:

XX dx

X

Gambar 2.2. Kuat Lekat Baja pada Beton

Steel bar X

Beton

db

(6)

dimana: s = steel (baja) c = concrete (beton)

Istilah yang digunakan dalam Persamaan (2.1) adalah umum dan berlaku pada tingkat lokal. Dalam prakteknya, nilainya ∂c adalah relative dan

dapat diabaikan terhadap ∂s karena bagian beton lebih besar dari bagian baja

dan tekanan normal beton lebih rendah, maka persamaan kedua dalam Persamaan (2.1) adalah diabaikan dan seluruh slip diffrensial pada level local pada deformasi baja. Persamaan (2.1) direduksi menjadi Persamaan (2.4):

d∆ - ∂s = 0………..…. (2.4)

Substitusikan Persamaan 2.4 ke dalam Persamaan 2.5. dan kemudian disusun kembali, sehingga diperoleh:

..…….….………..……… (2.5)

Bila kita mendiffrensialkan kedua sisi persamaan di atas dengan mengacu kepada dx , maka persamaan berikut akan berlaku:

= (

……..……...……… (2.6)

Pada sisi lain, tekanan ikatan dan tekanan baja (pada segmen dx) adalah

berhubungan dengan kondisi keseimbangan yang menyatakan :

(

=

+ τ

x

. d

x

. π. d

b

Secara sederhana :

= τ

x

π ……....….……...……… (2.7)

(7)

Bila kita mendistribusikan Persamaan (2.7) ke Persamaan (2.6) maka diperoleh persamaan berikut:

= τ (s

(x)

x

π

) .………..……… (2.8)

dimana : ds = diameter tulangan

As = luas penampang tulangan,

Es = Modulus Young dari batang penguat dan

S(x) = Slip antara beton dan baja tulangan x

Persamaan (2.8) diketahui sebagai persamaan diffrensial yang mendasar untuk ikatan antara penguatan baja dan beton. Persamaan ini digambarkan dalam bentuk sederhana seperti diatas atau dalam bentuk lain oleh berbagai penulis. Diasumsikan bahwa karakteristik ikatan batang penguat adalah dijelaskan secara analitik oleh hubungan ikatan

t = t

(s)

,

dimana

adalah tegangan geser pada permukaan kontak bar tulangan dan beton yang slip.

3. Sifat Keruntuhan Lekatan

Bila digunakan baja polos dan ulir untuk penulangan, lekat dianggap sebagai suatu adhesi antar pasta beton dengan permukaan dari baja. Tegangan tarik yang relative rendah didalam penulangan bahkan akan timbul slip yang cukup untuk menghilangkan adhesi pada lokasi yang berdekatan langsung dengan retak di dalam beton. Pergeseran relative antara tulangan dan beton sekelilingnya hanya ditahan oleh gesekan di sepanjang daerah slip. Susut juga

(8)

dapat menimbulkan seretan gesek terhadap batang tulangan, umumnya suatu tulangan polos yang dibentuk dengan cara pengilingan panas, dapat terlepas dari beton karena terbelah di arah memanjang bila terjadi perlawanan gesek yang cukup tinggi atau dapat lepas keluar dengan menimbulkan lubang bulat di dalam beton.

4. Pengujian Kuat Lekat Tulangan

Benda uji ini berbentuk benda uji kubus 30 x 30 x 30 cm. Pengujian dilakukan setelah berumur 28 hari dengan jumlah benda uji sebanyak 36 buah. Letakkan benda uji (kepala tulangan) pada penarik mesin push out test, kemudian diberi perlahan-lahan sampai pembacaan dial tidak naik lagi, dan catat beban maksimum terjadi (terlampir).

5. Variasi Kedalaman Penjangkaran Tulangan.

Variasi kedalaman baja tulangan akan mempengaruhi tingkat kelekatan antara baja dan beton. Benda uji kubus 30 x 30 x 30 cm merupakan benda uji beton dimana tulangan ditanamkan dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Variasi Jumlah Sampel

Jenis Tulangan Variasi Kedalaman Diameter tulangan Keterangan 100 mm @ 2 buah sampel 1. Tulangan Polos 150 mm Ф8, Ф10, Ф13 200 mm 100 mm @ 2 buah sampel 2. Tulangan Ulir 150 mm Ф8, Ф10, Ф13 200 mm

(9)

2.4. Panjang Penyaluran dan Tegangan Lekat Angkur Polos

Panjang penyaluran adalah panjang penanaman yang diperlukan untuk mengembangkan tegangan baja hingga mencapai tegangan luluh, merupakan fungsi dari tegangan leleh, diameter dan tegangan lekat baja tulangan. Sebuah batang dengan penanaman yang cukup didalam beton, tidak dapat dicabut keluar. Apabila setelah gesekan di ujung yang dibebani berlangsung cukup jauh untuk menyalurkan pelekatan pada suatu batang yang besar, batang ini mencapai kekuatan lelehnya, ia akan gagal dalam tarik, kemudian batang itu dinyatakan sebagai diangker penuh dalam beton.

Panjang penyaluran menentukan tahanan terhadap tergelincirnya tulangan. Dasar utama teori panjang penyaluran adalah dengan memperhitungkan suatu baja tulangan yang ditanam massa beton. Agar batang dapat menyalurkan gaya sepenuhnya melalui ikatan, harus tertanam di dalam beton hingga suatu kedalaman tertentu yang dinyatakan dengan panjang penyaluran. Sebuah gaya tarik P bekerja pada baja tulangan tersebut dan gaya ini ditahan oleh lekatan antara beton sekeliling dengan baja tulangan didalam massa beton.

Bila tegangan lekat ini bekerja merata pada seluruh bagian batang yang tertanam, total gaya angker yang harus dilawan sebelum batang tersebut keluar dari beton akan sama dengan panjang bagian yang tertanam dikalikan keliling baja tulangan yang tertanam dikalikan dengan kuat lekat antara beton dengan baja tulangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3.

(10)

Baja tulangan Gambar 2.3. Panjang Penyaluran Baja Tulangan

Gaya maksimum yang dapat dilawan oleh batang itu sendiri sama dengan luas penampang batang dikalikan dengan kekuatan tarik baja. Agar terjadi keseimbangan antara gaya, maka kedua gaya ini harus sama besar. Untuk menjamin lekatan antara baja tulangan dan beton tidak mengalami kegagalan, diperlukan adanya syarat panjang penyaluran.

Ld π . d. = P ……….. (2.9)

Dengan nilai P = As . fy maka didapat persamaan:

Ld π . d. = As . fy ……….. (2.10)

Dengan luas penampang tulangan adalah : As = π

Ld π d = π fy ……….……… (2.11)

Dari persamaan 2.11 diperoleh panjang penyaluran:

Ld =

d ………..………..….…... (2.12)

Dan nilai tegangan lekat:

=

d ………….………...….………..

(

2.13) d P Massa beton Ld 𝐮

(11)

dengan: P = gaya tarik keluar (kg, N)

As = luas penampang baja tulangan (mm2)

fy = tegangan baja leleh (MPa, Pa)

d = diameter tulangan baja (mm) Ld = panjang penyaluran (mm)

= kuat lekat / tegangan lekat.(N/mm2

Kuat lekat antara baja tulangan dengan beton merupakan susunan yang khas dan kompleks dari adhesi, tahanan geser, dan aksi penguncian mekanis dari perubahan permukaan baja tulangan. Ini mempunyai pengaruh penting pada keretakan dan perubahan bentuk bahan struktur bertulang.

Kekuatan lekatan tergantung pada besarnya perikatan baja tulangan di dalam beton dan kuat lekat yang rendah dapat menimbulkan slip (perpindahan) sehingga adhesi hilang maka pergeseran antara tulangan dengan beton sekeklilingnya hanya ditahan oleh gesekan di sepanjang daerah slip.

2.5. Tegangan Lekat Besi Ulir

Mengacu pada Gambar 2.3 dapat dirumuskan gaya tarik yang dapat ditahan oleh lekatan baja tulangan dengan beton. Untuk menjamin lekatan beton tidak mengalami kegagalan diperlukan adanya syarat panjang penyaluran. Agar terjadi keseimbangan antara gaya horizontal maka beban (N) yang dapat ditahan sama dengan luas penampang baja dikalikan dengan kuat lekat.

(12)

Menurut Kemp (1986), distribusi tegangan lekat sepanjang tulangan ulir lebih rumit dan kompleks. Tegangan lekat antara batang tulangan dan beton akan terjadi pada dua tonjolan. Baja ulir dapat meningkatkan kapasitas lekatan karena penguncian dua ulir dan beton di sekelilingnya. Gaya tarik yang ditahan oleh tulangan dipindahkan ke beton melalui sejumlah tonjolan disepanjang angkur tertanam dalam beton.

Rumus yang digunakan untuk menghitung tegangan lekat baja tulangan ulir berbeda dengan baja tulangan polos karena bentuk permukaannya. Baja ulir dapat meningkatkan kapsitas lekatan karena penguncian dua ulir dan beton sekelilingnya. Tegangan lekat yang terjadi diantara dua ulir adalah gabungan dari beberapa tegangan dibawah ini:

1. Tegangan lekat yang dihasilkan dari adhesi disepanjang permukaan baja tulangan.

2. Tegangan lekat permukaan.

3. Tegangan lekat yang bekerja dipermukaan beton kubus yang berbatasan dengan baja tulangan baja ulir.

Untuk angkur dengan tegangan lekat pada baja tulangan ulir dan mekanisme kerusakan antara baja tulangan ulir dengan beton dapat dilhat pada Gambar 2.4. dan Gambar 2.5 dibawah ini.

(13)

Gambar 2.4. Tegangan Lekat pada Baja Tulangan Ulir

(Sumber : Park dan Paulay : 1975)

Gambar 2.5. Mekanisme Kerusakan antara Baja Tulangan Ulir dengan Beton

Hubungan antara tegangan dan gaya dapat dilihat dari rumus:

π –

...…….…..………(2.14)

Tegangan lekat yang dihasilkan dari adhesi disepanjang permukaan baja tulangan sangat kecil dibanding dengasn tegangan lekat permukaan yang mengelilingi ulir, sehingga dapat diabaikan untuk tujuan praktis. Hubungan antara dua komponen penting tegangan lekat, dan dapat disederhanakan menjadi:

1. Karena b ≈ 0,1 c

2. Karena a ≈ 0,05

,

luas permukaan dari salah satu ulir adalah: a d T f b b . .   

(14)

π – ..……….. (2.15) Keterangan gambar :

1. Untuk Gambar (a) dengan a/c/ > 0,15 2. Untuk Gambar (b) dengan a/c < 0,10

∆ ... (2.16) maka :

c = ... (2.17)

Dimana: beban (N)

a = tinggi puncak ulir tulangan (mm) b = lebar puncak ulir (mm)

c = jarak antara ulir (mm) db = diameter nominal (mm)

db’ = diameter dalam (mm)

db” = diameter luar (mm)

fb = tegangan tumpu permukaan ulir (MPa)

a = tegangan lekat/kuat lekat disepanjang permukaan baja (N/mm2) c = tegangan lekat/kuat lekat baja tulangan ulir dan beton (N/mm2) 2.6. Distribusi Tegangan Lekat pada Pengujian Lolos Tarik

Tegangan lekat yang diijinkan sebagian besar ditetapkan dari pengujian lolos tarik (pull-out test). Slip (perpindahan) batang relatif terhadap beton diukur pada ujung yang dibebani dan ujung bebas. Pada beban relatif kecil, sesar mula-mula

(15)

terjadi pada daerah sekitar ujung yang dibebani. Makin besar gaya tarik yang dikerjakan, perpindahan pada ujung dibebani makin bertambah besar. Apabila slip telah mencapai ujung bebas, maka perlawanan maksimum hampir tercapai. Perlawanan rata-rata selalu dihitung seakan-akan merata sepanjang penyaluran (Phil M. Ferguson, 1980). Adapun tegangan lekat kritis didefinisikan sebagai nilai terkecil dari tegangan lekat yang menghasilkan sesar sebesar 0.05 mm pada ujung bebas atau 0.25 mm pada ujung yang dibebani (Park R dan Paulay, 1975)

Untuk perindahan beton yang terjadi dengan baja tulangan dapat dilihat seperti Gambar 2.6 dibawah ini.

Gambar 2.6. Perpindahan Beton dengan Baja Tulangan

Dari Gambar 2.6. dapat dirumuskan bahwa perpindahan beton (∆c) yang terjadi

setelah pembebanan adalah:

c

= ∆ - ∆

s ……….. (2.18)

Dimana:

c= Slip beton yang terjadi (mm)

= pertambahan panjang lokal (mm)

(16)

s = pertambahan panjang baja (mm)

Pertambahan panjang baja dicari dengan persamaan:

...……… (2.19)

Modulus Young (Modulus Elastis)

E =

𝞮……… (2.20)

E = (Fn / A) / (∆L/Lo)

Tegangan dan pertambahan panjang sebagai berikut:

∆L =

……….…….……… (2.21)

𝞮 =

………...….……… (2.22)

dimana ; ∆s = pertambahan panjang baja (mm)

P = Beban (N)

Lo = Panjang mula-mula baja (mm)

E = Modulus Young (MPa) A = Luas penampang baja (mm2)

𝞮 = regangan baja (m/m-1) Fn = gaya normal (kN, N)

∆L = pertambahan panjang baja (mm) = Tegangan normal (N/mm2)

(17)

2.7. Tegangan dan Regangan Geser

2.7.1. Tegangan normal(normal stress).

Tegangan normal adalah intensitas gaya yang bekerja pada arah yang tegak lurus permukaan bahan. Jika suatu batang yang lurus, berbentuk prisma dan langsing akan mengubah bentuknya sampai gaya dalamnya menjadi seimbang dengan gaya luarnya. Kejadian keseimbangan akan kita perhatikan dengan ketentuan agar perubahan bentuknya itu kecil sekali dan pengaruh atas titik tangkap gaya luar dan jurusannya begitu kecil agar pada perhitungan kita abaikan perhitungannya

σ

=

………...………...…… (2.23) Dimana ;

σ

= Tegangan normal (N/mm2)

Fn = Gaya Normal (N)

A = Luas penampang (mm2)

2.7.2. Tegangan geser (shearing stress)

Tegangan geser adalah intensitas gaya yang bekerja pada arah tangensial terhadap permukaan bahan. Gaya geser merupakan resultante dari tegangan gerser yang terdistribusi diseluruh penampang melintang. Lihat Gambar 2.7. sebagai berikut:

(18)

Gambar 2.7. Bidang Batang yang Mengalami Tegangan Geser Perjanjian tanda:

1. Tegangan geser pada muka yang berhadapan (dan sejajar) akan sama besarnya dan berlawanan arah.

2. Tegangan geser dimuka yang bersebelahan (dan tegak lurus) dari suatu elemen sama besar dan mempunyai arah sedemikian rupa hingga tegangan-tegangan tersebut saling menuju atau saling menjauhi geris perpotongan kedua muka tersebut. Pada Gambar 2.7 diatas dijelaskan sudut γ (gamma) merupakan ukuran distorsi atau perubahan bentuk dari elemen dan disebur dengan regangan geser.

Rumus untuk menghitung tegangan geser sebagai berikut:

τ =

...(2.24)

(19)

Tegangan dan regangan sebenarnya diukur berdasarkan luas penampang sebenarnya pada saat diberikan bebannya.

σT = …………...………….. (2.25)

Dimana:

σ

T = tegangan sebenarnya (true stress) (N/mm2)

A1 = luas penampang pada saat dibebani (mm2)

T = ln

……...………...………… (2.26)

Dimana: 𝞮T = regangan sebenarnya (true stress)

li = panjang bahan yang pada saat diberi beban (mm)

lo = panjang awal sebelum dibebani (mm)

Jika tidak ada perubahan volume maka:

A1 l1 = A0 lo dan σ (1+𝞮)

𝞮T = ln (1 + 𝞮) ...…...…….……… (2.27)

Pada Gambar 2.8 di bawah ini dijelaskan bahwa tegangan sebenarnya pada grafik tegangan regangan pada daerah mulai terjadinya deformasi plastis ke kondisi terjadinya necking (pengecilan penampang)

(20)

Gambar 2.8. Grafik Tegangan - Regangan (True Stress dan Normal Stress)

2.8. Aplikasi Baut Angkur

Baut angkur dapat digunakan untuk menghubungkan bagian (elemen) structural dengan beton. Angkur dapat mentransfer beban elemen bangunan ke bagian beton pada titik penghubung tertentu. Baut angkur yang digunakan sudah dipabrikasi dengan spesifikasi produk masing-masing penyedia jasa. Sebagai penghubung tarik banyak digunakan pada peralatan mekanikal elektrikalseperti tiang listrik, gantungan lampu hias, gantungan pipa air, gantungan pipa gas, AC, rambu lalu lintas, furing plafond dan sebagainya.

Baut angkur yang dibautkan pada structural harus diberi chemical anchor sebagai bahan aditif agar daya rekat antara baut angkur dan struktural semakin kuat dan mengurangi pull out pada sambungan tersebut. Produk aditif yang biasanya digunakan antara lain dengan merk dagang Haiti, Ramset, Dia-Kres, Sormat, Simpson.

(21)

Pada dasarnya secara umum dikenal ada beberapa macam tipe klasifikasi, antara lain adalah pengklasifikasian pada cara pemasangannya. Menurut Burtz (2003) mengemukakan klasifikasi baut ada 2 jenis yaitu baut angkur cor di tempat ( cast-in-place) dan baut angkur dipasang (post-installed).

1. Baut angkur cor ditempat (cast-in-place)

Bahwa Angkur tipe ini dipasang sesuai dengan yang telah didesain pada bagian struktur beton yang akan dicor, sehingga penggunaannya terbatas pada konstruksi baru. Beberapa type angkur cor di tempat:

1. Headed bolt 2. L-bolt 3. J-bolt 4. Headed stud

Pada Gambar 2.9 di bawah ini dijelaskan bahwa jenis-jenis angkur yang dicor langsung dengan beton.

Gambar 2.9. Cast in place anchors

2. Baut angkur dipasang (post-installed)

Bahwa angkur tipe ini dipasang pada beton yang telah mengeras atau beton eksisting. Penggunaan tipe ini dapat digunakan pada konstruksi baru ataupun

(22)

rehabilitasi konstruksi lama. Ada beberapa type angkur post installed sebagai berikut : 1. Expansion anchors 2. Undercut anchors 3. Bonded anchors 4. Self-drilling anchors.

Baut angkur post installed dapat dibagi 2 bagian yaitu mechanical anchors dan bonded anchors.

Mechanical anchors adalah angkur yang dipasang hanya memanfaatkan gaya gesekan gelincir antara baut dengan beton contohnya expansion anchor dan undercut anchors. Bonded anchors adalah angkur yang dipasang dengan menggunakan bahan perekat tambahan yang dapat mengikat baut dengan beton,contohnya adhesive anchors dan grouted anchors. Adhesive anchor memerlukan adhesive chemical untuk pemasangannya sehingga angkur akan mengikat dengan beton. Grouted anchor ditanam pada beton yang sebelumnya telah dilubangi dengan langkah-langkah pemasangan yang sama dengan adhesive anchor. Angkur tipe ini mengharuskan lubang yang akan ditanam bersih dan kering agar kekuatan mengikat dengan pasta, angkur dan beton menjadi maksimal.

Ada perbedaan mendasar pada kedua tipe ini adalah jika diameter lubang sama dengan 1 1/2 kali diameter angkur atau lebih kecil maka dikategorikan adhesive anchor, dan sebaliknya jika diameter lubang lebih besar 1 1/2 kali diameter angkur

(23)

maka dapat dikategorikan sebagai grouted anchor.

Pada Gambar 2.10 di bawah ini dijelaskan bahwa ada 2 jenis expantion anchor yaitu torque expantion anchor dan deformation controlled.

Gambar 2.10. Expantion anchor. a). Torque expantion anchor b). Deformation Controlled

Pada Gambar 2.11 di bawah ini dijelaskan bahwa ada 2 jenis expantion anchor yaitu torque expantion anchor dan deformation controlled

(24)

Ada perbedaan mendasar pada kedua tipe ini adalah jika diameter lubang sama dengan 1 1/2 kali diameter angkur atau lebih kecil maka dikategorikan adhesive anchor, dan sebaliknya jika diameter lubang lebih besar 1 1/2 kali diameter angkur maka dapat dikategorikan sebagai grouted anchor.

2.10. Kekuatan Baut Angkur pada Beton

Dalam merencanakan sambungan, ada persyaratan jarak antara baut yang harus dipenuhi. Peraturan yang digunakan dalam hal ini menggunakan Peraturan ETAG 001 (anonim 2,1997)

Berbagai macam kegagalan yang mungkin terjadi diakibatkan oleh berbagai pembebanan (tarik, geser) antara lain sebagai berikut: steel failure, pull-out failure, concrete cone failure.

Beban tarik yang terjadi pada suatu angkur bisa dihitung berdasarkan teori elastisitas dengan asumsi sebagai berikut:

1. Pelat dari angkur harus kaku sehingga tidak akan berdeformasi sebelum dibebani.

2. Kekakuan dan modulus elastisitas angkur sama dengan modulus elastis baja.

3. Pada daerah yang tertekan angkur tidak ikut menyalurkan gaya normal. Jika besaran gaya tarik yang berbeda-beda (Nst) diberikan pada masing-masing

(25)

Gambar 2.12 dan Gambar 2.13) untuk mendapatkan kekuatan nominal group angkur. Model keruntuhan dapat dilihat pada gambar berikut ini.

(26)

Gambar 2.13. Eksentritas Angkur memikul Beban Tarik

2.11. Ketahanan terhadap Beban Tarik

Untuk mendapatkan kekuatan nominal angkur terhadap beban tarik berbeda-beda dalam hal keruntuhannya. Berikut ketahanan beban tarik berdasarkan tipe keruntuhan menurut ETAG-001 (anonim 2, 1997) sebagai berikut:

1. Keruntuhan yang terjadi pada angkur

NRk,S = Asfuk………...……….….… (2.28)

Keruntuhan yang terjadi pada beton.

NRk,C = N0Rk,c Ψs,N. Ψre,N. Ψec,N ...… (2.29)

Dengan nilai awal ketahanan angkur untuk beton retak dan tidak retak: NRk,C = k1 ( fck,cube )1/2 x hef 1.5 …....…...… (2.30)

NRk,C = N0Rk,c / ...….…...…...….. (2.31) = ...'...… (2.32)

(27)

Dimana: = Faktor Keamanan Material beton = faktor keamanan parsial beton

= faktor keamanan saat produksi beton = faktor keamanan parsial pengetesan beton

fck,cube = kuat desak beton karakteristik kubus 150 x 150 mm

(N/mm2)

h ef = kedalaman efektif baut angkur (mm)

k1 = 7.2. diaplikasikan pada beton yang retak.

k1 = 10.1 diaplikasikan pada beton yang tidak retak.

2. Pengaruh lebar dan jarak pada angkur terhadap beton.

Faktor Ψs,N mempengaruhi distribusi tegangan pada beton. Untuk

pengangkuran dengan jarak yang berbeda-beda, jarak yang paling dekat ke ujung beton yang dimasukkan.

Ψs,N = 0.7 + 0.3

≤ 1…………...…… (2.33)

3. Sheel Spalling factor Ψre,N memberi pengaruh pada penulangan

Ψre,N = 0.5 + ≤ 1 ……..…….…...…. (2.34)

Jika dalam area pengangkuran terdapat penulangan dengan jarak ≥ 150 mm (diameter berapa saja) atau dengan diameter ≤ 10 mm dan jarak ≥ 100 mm, maka shell spalling factor Ψre,N = 1.0 dapat diaplikasikan.

(28)

4. Faktor Ψec,N akan berpengaruh ketika beban tarik bekerja pada masing-

masing angkur dalam suatu group. Ψec,N =

≤ 1……… (2.35)

5. Faktor jarak antara angkur terluar dengan ujung beton dan ketebalan beton dan ketebalan beton mempengaruhi karakteristik beban tarik.

Pada gambar di bawah ini dijelaskan bahwa luas tampang permukaan beton pecah dari angkur tunggal (lihat Gambar 2.14) dan luas tampang permukaan beton pecah angkur double atau lebih (lihat Gambar 2.15) akibat beban tarik.

Gambar 2.14. Luas Tampang Beton Pecah dari Angkur Tunggal Akibat Beban Tarik

Ac.N = (c1 + 0,50 Scr,N) x Scr.N ... (2.36)

Jika: c1

(29)

Gambar 2.15. Luas Tampang Aktual Ac,N dari Beton Ideal

Rumus untuk menghitung luas penampang beton retak adalah sebagai berikut: Ac.N = (c1 + 0,50 Scr,N) x Scr.N ... (2.38)

Jika: c1 =c2 S1=S2

Aoc.N = Scr,N x Scr.N ... (2.39)

Jika: c1 S1

c2 S2

Dimana: c1 = jarak baut/angkur ke tepi samping samping (mm)

c2 = jarak baut/angkur ke tepi beton bawah (mm)

S1 = jarak baut/angkur horizontal beton (mm)

S2 = jarak baut / angkur vertikal beton (mm)

Scr,N = jarak baut/angkur ke sisi luar permukaan beton pecah (mm)

2.12. Jenis Besi Beton

(30)

1. Baja Tulangan Beton Polos (BTBP)

Baja tulangan beton polos ini berbentuk bulat, tidak mempunyai sirip dan mempunyai permukaan yang rata. Baja tulangan beton polos ini sering disebut dengan besi polos. Pada Gambar 2.16 di bawah ini terdiri dari besi beton polos yang digunakan memenuhi Standart Nasional Indonesia (SNI) sesuai spesifikasi teknik baja.

Gambar 2.16. Besi Beton Polos SNI

2. Baja Tulangan Beton Sirip (BTBS)

Baja tulangan beton sirip ini berbentuk khusus dan mempunyai sirip melintang dan rusuk memanjang, fungsinya untuk meningkatkan daya lekat dan menahan gerakan membujur dari batang terhadap beton. Baja tulangan beton sirip ini sering disebut sebagai ulir.

Beberapa bentuk baja tulangan beton sirip antara lain: a. Jenis bamboo (Bamboo type)

b. Jenis tulangan ikan (Fish bone type) c. Jenis sirip curam (Tor type)

(31)

2.13. Syarat Mutu

2.13.1. Sifat tampak.

Tidak boleh mengandung serpihan, lipatan, retakan, dan gelombang, hanya diperkenankan berkarat ringan pada permukaan.

2.13.2. Bentuk

Baja tulangan beton polos mempunyai permukaan rata, tidak mempunyai sirip.

Baja tulangan beton sirip antara lain sirip harus teratur, rusuk memanjang yang searah dan sejajar dengan sumbu batang, sirip-sirip melintang harus mempunyai bentuk, ukuran dan jarak yang sama, sirip melintang tidak boleh membentuk sudut

terhadap sumbu batang, apabila mempunyai sudut , arah sirip melintang pada satu sisi atau kedua sisi dibuat berlawanan, bila , sirip arah yang berlawanan tidak diperlukan.

Pada Gambar 2.17 di bawah ini terdiri dari besi beton ulir yang digunakan memenuhi Standart Nasional Indonesia (SNI) sesuai spesifikasi teknik baja..

(32)

Beberapa bentuk tulangan beton sirip sebagai berikut:

a. Jenis Bambo (Bamboo Type)

Tulangan jenis ini memiliki ruas-ruas seperti ruas-ruas pohon bambu seperti Gambar 2.18 sebagai berikut:.

Gambar 2.18. Baja Tulangan Beton Sirip Jenis Bambo b. Jenis tulangan ikan (Fish bone type)

Tulangan jenis ini memiliki sirip-sirip seperti ruas-ruas ikan seperti Gambar 2.19 sebagai berikut:

Gambar 2.19. Baja Tulangan Beton Sirip JenisTulangan Ikan c. Jenis sirip curam (Tor type)

Tulangan jenis ini memiliki sirip-sirip yang tajam seperti seperti Gambar 2.20 sebagai berikut:

(33)

2.14 . Sifat Mekanis

Sifat mekanis baja antara baja tulangan beton polos dengan baja tulangan sirip (ulir). Untuk mengetahui perbedaan sifat mekanis tersebut, maka dilakukan beberapa pengujian dilakukan dan didapat hasil masing baja tulangan polos dan ulir.

2.14.1. Sifat mekanis baja tulangan polos

Setelah dilakukan beberapa pengujian terhadap baja tulangan beton polos, baja tulangan ini diklasifikasikan menjadi dua kelas, dimana dilakukan uji tarik dan uji lengkung. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2. Properti Besi Beton Polos (anonim 1, 2002)

Nomor Mata

Uji

Uji Tarik Uji Tarik Kelas Baja

Tulangan

Batas ulur Kuat tarik Regangan

Sudut Lengkung Diameter Kgf/mm2 Kgr/mm2 ( % ) No.2 Minimum 24 (235) Minimum 39 (390) 20 BjTP 24 1800 3 x d No.3 24 No.2 Minimum 30 (295) Minimum 45 (440) 18 d > 16 = 3 x d BjTP 30 1800 d > 16 = 4 x d No.3 20

2.14.2. Sifat mekanis baja tulangan beton strip

Pada baja tulangan beton sirip juga dilakukan pengujian yang sama dengan baja tulangan polos. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 2.3 sebagai berikut:

(34)

Tabel 2.3. Properti Besi Beton Sirip (anonim 1, 2002) Kelas Baja Tulangan Nomor Mata Uji

Uji Tarik Uji Lengkung

Batas ulur Kuat tarik Regangan Sudut Lengkung Diameter Kgf/mm2 Kgr/mm2 ( % ) Lengkung No.2 Minimum 30 (295) Minimum 45 (490) 18 d≤16= BjTS 30 1800 3x d No.3 20 d > 16 4x d No.2 Minimum 35 (345) Minimum 50 (490) 18 d ≥ 16 = BjTP 35 1800 3 x d 16˂d≤40 No.3 20 = 4 x d No.2 Minimum 40 (390) Minimum 57 (560) 16 5 x d BjTP 40 1800 No.3 18 No.2 Minimum 50 (490) Minimum 63 (620) 16 d ≤ 25=5xd BjTP 50 1800 No.3 18 d > 25= 6 x d

Catatan : Batang uji tarik no.2 untuk diameter ˂ 25mm dan batang uji tarik no. 3 untuk diameter ≥ 25 mm.

2.15. Kuat Tekan Beton.

Penentuan kekuatan tekan beton dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji tekan dan benda uji berbentuk silinder dengan prosedur uji ASTM C-39 atau kubus dengan prosedur BS-1881 Part 115; Part 116 pada umur 28 hari.

Menurut BS 1881, rasio kubus terhadap silinder (cube/cylinder) untuk semua kelas adalah 1,25, sedangkan dan menurut K.W. Day, „Concrete Nv x Design, Quality Control and Spesification”, E & FN SPON, London, 1995, kekuatan tekan kubus jika

(35)

dibandingkan dengan silinder dinyatakan dalam Persamaan 2.39 dan Persamaan 2.40 . Departemen Pekerjaan umum dalam Pedoman Beton 1989, LPMB, 1991, Pasal 4.1.2.1 memberikan Persamaan 2.41 berikut ini:

f’ck = (fc’ - ) ... (2.40) fc’ = (f’ck - ) ... (2.41) fc’ = [0,76 + 0,2 log( ) x f’ck ... (2.42)

Dimana: kuat tekan kubus (kN) fc’ = kuat tekan silinder (kN)

2.16. Beberapa Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian sebelumnya membahas angkur pada beton sebagai bahan pertimbangan untuk perbandingan dalam proses penulisan ini.

Clendennen (1994) memakai type edge-type expantion anchors pada percobaan tarik, geser dan kombinasi geser dengan menggunakan posisi angkur miring. Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui kemampuan angkur tehadap model keruntuhan, perilaku perpindahan yang terjadi dan membandingkan hasil pengamatan dengan perhitungan teoritis.

Cook, et al (1998), melakukan penelitian dengan judul Behavior and Design of Single Adhesive Anchors under Tensile Load in Uncracked Concrete, dimana

(36)

penelitian ini dilakukan dengan pembebanan tarik dengan perlakuan beberapa model yaitu Concrete Cone Models, Bond models, Bond models neglecting the shallow the shallow concrerete cone, Cone models with bond models, Combined cone/bond model, and two interface bon model.

Cook dan Konz (2001), melakukan penelitian dengan judul Factors Influencing Bond Strength of Adhesuve Anchors, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan lekat (bond strength) dari Adhesive Anchors.

Sunarmasto (2008), melakukan penelitian dengan judul “Tegangan Lekat Baja Tulangan (Polos dan Ulir) Pada Beton” dimana penelitian ini dilakukan dengan pembebanan tarik pada angkur tunggal yang ditanam (di cor) langsung ke dalam beton normal (campuran 1 : 2 : 3) dengan fas 0,48. bentuk benda uji silinder dengan kedalaman minimum. Dalam penelitian ini bahwa tegangan lekat tulangan polos lebih rendah dibanding tulangan ulir.

Armeyin (2012), melakukan penelitian dengan judul “Studi Eksperimenntal dan Numerikal Kuat Lekat Tarik Tulangan Polos Dengan Beton” dimana penelitian ini dilakukan dengan pembebanan tarik pada angkur tunggal yang ditanam ke dalam beton bentuk silinder yang dicampur dengan bahan adtif fly ash (abu terbang) dan tanpa fly ash dimana tegangan lekat antara beton dengan fly ash lebih rendah dibanding dengan beton tanpa fly ash.

Gambar

Gambar 2.2. Kuat Lekat Baja pada Beton Steel  bar
Tabel 2.1. Variasi Jumlah Sampel
Gambar 2.4. Tegangan Lekat pada Baja Tulangan Ulir
Gambar 2.6. Perpindahan Beton dengan  Baja Tulangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini akan dilakukan kegiatan evaluasi Usaha Kecil dan Menengah dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya berupa evaluasi kelengkapan

pembelajaran bahasa Bali, (3) mendorong pengembangan pengetahuan, keterampilan, sikap terhadap bahasa, aksara, dan sastra Bali, (4) pemilihan bahan ajar sesuai dengan

Hukum Tua sering mengadakan rapat umum setiap 3 (tiga) bulan dan disitulah masyarakat diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat, kritik, saran dan masukan

1) Selisih penilaian kembali aktiva tetap yaitu nilai yang dibentuk sebagai akibat selisih penilaian kembali aktiva tetap milik bank yang telah mendapat persetujuan Direktorat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa factor Communicative Abilities mempunyai pengaruh signifikan pada tingkat menengah terhadap kemampuan literasi media (

Mengacu kepada Pedoman Pengujian Residu Pestisida Dalam Hasil Pertanian Direktorat Perlindungan Tanaman Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan tahun 2004 yang

Hasil analisis dinamika atmosfer mengenai prekursor curah hujan ekstrim di wilayah DKI Jakarta untuk kejadian banjir periode 2002 dan 2007, terdapat kesamaan pola keberadaan

15) Beban Permukaan adalah Debit air limbah yang masuk ke dalam pengolahan lumpur aktif per luas permukaan yang efektif pada tangki pengendapan. Hal-Hal Yang Diuji Pada