• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cedera Kepala Berat dengan Perdarahan Subaraknoid. Severe Trauma Capitis with Subarachnoid Haemorrage

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Cedera Kepala Berat dengan Perdarahan Subaraknoid. Severe Trauma Capitis with Subarachnoid Haemorrage"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Cedera Kepala Berat dengan Perdarahan Subaraknoid

Ucha Clarinta, Rekha Nova Iyos

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

Cedera kepala merupakan penyebab utama yang paling sering mengakibatkan kematian dan kecacatan permanen setelah kecelakaan. Perdarahan subaraknoid merupakan salah satu akibat kerusakan primer otak yang diakibatkan oleh cedera kepala. Beberapa faktor yang berhubungan terhadap outcome adalah usia, skor awal Glasgow Coma Scale (GCS), refleks pupil, keadaan hipotensi dan waktu prehospital. Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Data primer diperoleh dari alloanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Seorang pria 55 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan 5 jam yang lalu. Pasien pingsan selama lebih dari 3 jam. Setelah sadar, pasien mengalami gangguan kesadaran dan gangguan status mental. Terdapat perdarahan yang keluar dari hidung pasien namun tidak ada cairan yang keluar dari telinga. Temuan fisik yaitu tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 36,5ºC. Pemeriksaan penunjang rontgen dan computed tomography (CT) scan kepala terdapat fraktur os. Occipitalis kiri, dengan Hematom subaraknoid mengisi sulci & falk cerebri, hematom intrasinus maksilaris kiri, ethmoidalis kiri & sfenoidalis. Pasien didiagnosis cedera kepala berat dan ditatalaksana secara terpadu meliputi primary survey dan secondary survey. Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Cedera kepala merupakan masalah yang serius karena merupakan penyebab kematian yang paling sering terutama pada kecelakaan kendaraan. Untuk menentukan tingkat keparahan pada penderita cedera kepala digunakan pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan GCS.

Kata kunci: cedera kepala berat, glasgow coma scale, perdarahan subaraknoid

Severe Trauma Capitis with Subarachnoid Haemorrage

Abstract

Head injury is the leading cause of the most frequent cause of death and permanent disability after accident. Subarachnoid Hemorraghe is one of the primary result of brain damage caused by head injury. The sooner of operation is performed on patients subarachnoid hemorraghe greater benefits provided. Several factors related to the outcome were age, baseline score Glasgow Coma Scale (GCS), pupillary reflexes , hypotension and prehospital time. In Indonesia the incidence of head injuries are estimated at 500,000 cases each year. From this estimate, 10% of patients die before arriving at the hospital. The patients who reach the hospital, 80% classified as mild head injury, 10 % including mild head injury, and 10% including a severe head injury. Primary data were obtained from allonamnesis, physical examination, and radiology finding. A 55 years old man, was taken to hospital with head pain after an accident 5 hours ago. The patient had fainted 3 hours. After fainted the patient had a mental disorder , conscious and seemed to moderate pain. There are bleeding or fluid from the nose findings: blood pressure 120/70 mmHg, heart rate 80x/ minute, respiration 18x/menit, temperature 36.5ºC. Investigations X-ray and Computed Tomography (CT) scan there is found as fracture os. Occipitalis sinistra with hematom sub arachnoid, hematom intasinus maxillaris sinistra, ethmoidalis sinistra & sfenoidalis. Patients diagnosed with severe head injury and managed in an integrated manner covering primary survey and secondary survey. Head injuries can cause death but also the patient may experience a complete healing. The type and severity of abnormalities depending on the location and severity of the brain damage that occurs. Head injury is a serious problem because it become one of the most common causes of death in accident crashs. The level of severeness of injuries are based on the outcome of GCS.

Keywords: glasgow coma scale, severe head injury, subarachnoid hemorrage

Korespondensi : Ucha Clarinta, S.Ked, alamat Jl. Soemantri Brojonegoro 1, HP 085768561992, e-mail uchaclarinta@yahoo.com

Pendahuluan

Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks.1 Cedera kepala adalah salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif antara 15-44 tahun.2,3 Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam

terutama karena peningkatan penggunaan

kendaraan bermotor. World Health

Organization (WHO) memperkirakan bahwa

pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia.4

(2)

yang masih memiliki angka kejadian kecelakaan yang tinggi. Data kecelakaan lalu lintas yang diperoleh dari profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 secara nasional berjumlah 104.824 kejadian dengan jumlah kematian mencapai 29.952 orang, 67.098 orang mengalami luka berat dan 89.856 luka ringan.5 Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.6

Trauma kepala mengakibatkan kelainan struktural atau fisiologis pada fungsi otak oleh faktor eksternal yang diindikasikan sebagai onset baru atau perburukan dari satu atau lebih gejala klinis berikut kehilangan kesadaran, kehilangan memori tepat setelah terjadinya trauma.7 Kelainan status mental setelah terjadinya trauma (kebingungan, disorientasi, pemikiran yang lambat dan lain-lain), defisit neurologis (kelemahan, kehilangan keseimbangan, perubahan penglihatan, praxis, paresis atau plegia, kelainan sensoris, afasia dan lain-lain) yang dapat terjadi sementara atau presisten, lesi intrakranial. Faktor eksternal yang dimaksud misalnya pukulan pada kepala, kepala menabrak objek, percepatan atau perlambatan pada otak tanpa trauma eksternal pada kepala, penetrasi benda asing, atau faktor eksternal lainnya.8 Komplikasi yang sering terjadi pada pasien cedera kepala adalah perdarahan di otak, penurunan kesadaran, perubahan perilaku yang tidak begitu terlihat, dan defisit kognitif yang dapat terjadi dan tetap ada.9

Perdarahan subaraknoid (PSA)

merupakan gangguan mekanikal sistem vaskuler pada intrakranial yang menyebabkan masuknya darah ke dalam ruang subaraknoid.10 Perdarahan ini biasanya terjadi pada beberapa keadaan klinis, yang paling umum adalah trauma kepala.11

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.12 Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan

menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary

survey adalah identifikasi adanya lesi masa

yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT-scan kepala.13

Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3-5% yang memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.14

Kasus

Seorang pria 55 tahun datang ke Rumah Sakit Abduk Muluk melalui Unit Gawat Darurat (UGD) dengan penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal terjatuh dari motor sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Kepala pasien terbentur aspal jalanan dan pasien tidak sadarkan diri pasca kecelakaan. Keluarga mengatakan pasien sempat mengalami muntah satu kali setelah berada di Rumah Sakit Abdoel Muluk. Pasien pingsan selama lebih dari 3 jam dan tidak terdapat kejang pasca kecelakaan. Namun, setelah sadar, pasien mengalami gangguan kesadaran dan gangguan status mental. Pasien menjadi gelisah dan berbicara melantur. Pasien tidak ingat kejadian. Terdapat perdarahan yang keluar dari hidung pasien namun tidak ada cairan yang keluar dari telinga. Terdapat luka-luka lecet pada lengan dan kaki. Terdapat luka pada kepala bagian belakang dan mengeluarkan darah. Buang air besar dan buang air kecil normal. Pasien tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya. Pasien tidak merokok, tidak minum alkohol dan

tidak mengkonsumsi narkoba saat

mengendarai motornya. Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi makanan dan alergi obat-obatan.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis, Glassgow Coma

Scale (GCS) Eye 1 Verbal 2 Motorik 5, tekanan

(3)

pernafasan 18 x/menit, Suhu 36,5ºC, trauma stigmata terdapat vulnus laceratum post

hecting di regio oksipital sinistra.

Dari pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil peningkatan leukosit. Dari pemeriksaan CT-scan didapatkan hasil fraktur os. Oksipitalis kiri, hematom subaraknoid mengisi sulci & falx

cerebri dan hematom intrasinus maksilaris kiri,

etmoidalis kiri & sfenoidalis.

Pembahasan

Pasien didiagnosis sebagai cedera kepala berat et causa subaraknoid hemoragik. Dasar diagnosis berdasarkan anamnesis, menurut mekanisme terjadinya, pasien termasuk mengalami cedera kepala tumpul yang biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Menurut informasi dari keluarga pasien, pasien mengalami kecelakaan tunggal yaitu terjatuh dari motor dengan kepala terbentur.

Berdasarkan beratnya cedera, pasien termasuk mengalami cedera kepala berat dimana GCS digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya cedera penderita kepala.15

GCS pasien saat dibawa ke UGD (<24 jam) adalah 8.

Dengan GCS, cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi: 1) cedera kepala ringan, bila GCS 13-15, 2) cedera kepala sedang, bila GCS 10-12 dan 3) cedera kepala berat, bila GCS 3-9.16

Pasien juga megalami sindrom

pascakonkusi dimana memiliki gejala psikis dan neurologis kompleks yang timbul setelah konkusi. Gejala-gejalanya dapat berupa gangguan psikis, kognitif dan emosi/perilaku.17

Patofisiologi nya proses patologis pada daerah system limbik dan/atau neurokorteks serta jaras-jaras asosiasinya dapat menyebabkan gejala neurobehaviour (defisit fungsi kognitif dan/ atau gejala neuropsikiatri). Lesi pada akson telah diakui sebagai pencetus gejala sisa cedera otak. Lokasi yang sering terlibat adalah forniks yang penting untuk

fungsi memori dan kognitif.18

Tabel 1. Skor GCS Pasien

Kriteria diagnostic menurut Diagnostik

and Statistical Manual of Mental Disorders

(DSM-IV) sebagai berikut: 1) adanya riwayat cedera kepala yang menyebabkan konkusi serebral yang signifikan, 2) defisit kognitif

dalam hal atendi dan/atau memori dan 3) muncul sekurangnya 3 dari 8 gejala berikut yaitu kelelahan, gangguan tidur, nyeri kepala, pusing, iritabilitas, gangguan afektif, perubahan kepribadian, apati yang muncul

Jenis Respon Respon Skor

Buka Mata Spontan 4

Perintah 3

Nyeri 2

Tidak ada respon 1

Verbal Orientasi baik 5

Disorientasi 4

Kata-kata tidak tepat 3

Suara tanpa arti 2

Tidak ada respon 1

Motorik Menuruti perintah 6

Melokalisasi nyeri 5

Fleksi terhadap nyeri 4

Dekortikasi 3

Deserebrasi 2

Tidak ada respon 1

(4)

setelah trauma dan menetap selama 3 bulan meliputi gejala memburuk setelah trauma, gangguan fungsi sosial dan demensia akibat trauma kepala.19

Pasien pada kasus ini terdapat tanda-tanda rangsang meningeal yang positif dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan. Dimana pada pasien ini terdapat kaku kuduk yang positif. Selain itu pasien juga mengalami kaku di bagian punggung (leher kebawah). Hal ini dapat terjadi dikarenakan terdapat benda asing (perdarahan) yang terdapat di dalam rongga subaraknoid.20 Rangsang meningeal adalah tanda-tanda adanya perangsangan selaput otak. Terjadi oleh karena beberapa sebab seperti, infeksi (meningitis), zat kimia (bahan kontras), darah (perdarahan subaraknoid (SAH)), atau invasi neoplasma (meningitis

carcinomatosa).21

Gambar 1. CT Scan Kepala Pasien Dari pemeriksaan radiologi didapatkan hasil CT-scan tampak lesi hiperdens mengisi

sulci & falx cerebri (slice 11-19), struktur

mediana tidak terdeviasi, sistema ventrikel tak menyempit, sulci & gyri normal, tampak defek fraktur os occipital kiri (slice 1-12), tampak pemadatan intrasinus maksilaris kiri,

ethmoidalis kiri & sfenoidalis (slice 1-7), celula mastoidea kanan & kiri baik. Kesan fraktur os occipitalis kiri, dengan hematom sub araknoid

mengisi sulci & falx cerebri, hematom intrasinus maksilaris kiri, etmoidalis kiri & sfenoidalis.

Berdasarkan klasifikasinya dan setelah dilihat dari hasil pemeriksaan radiologi CT-scan, pasien mengalami lesi fokal, yaitu terdapat perdarahan di intrakranial yang lebih tepat nya di subarachnoid space.

Perdarahan subaraknoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subaraknoid. Perdarahan subaraknoid

umumnya disebabkan oleh rupturnya

aneurisma sakular atau perdarahan dari

arteriovenous malformation. Pada gambaran

radiologi, gambaran perdarahan subaraknoid terdapat di cavum subaraknoid. Pendarahan masuk ke dalam sulcus dan memberikan gambaran hyperdense sulcus.22

Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.23

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,

circulation, disability, dan exposure, yang

kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder

dan mencegah homeostasis otak.24

Penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis

pasien, temuan neuroradiologi dan

patofisiologi dari lesi. 25

Penatalaksanaan medika mentosa di ruangan meliputi pemberian ringer lactat inravena 20 tetes/menit, pemberian ringer

lactat disini sebagai resusitasi cairan intravena

dengan jalan memberikan cairan isotonik agar sirkulasi tetap berjalan lancar. Pasien juga diberikan oksigen via nasal kanal 3 liter/menit

(5)

untuk mempertahankan ventilasi yang tetap terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 35-40 mmHg, sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah di otak yang menurunkan aliran darah ke otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Antibiotik yang diberikan adalah

ceftriaxon 1x2 gr sebagai profilaksis sekaligus

terapi infeksi karena pada pasien terdapat luka terbuka. Pasien juga diberi ranitidin 2x1 amp untuk mengatasi efek samping dari pemberian

ceftriaxone berupa gangguan pencernaan

seperti mual, muntah, dll. Analgetik yang diberikan pada pasien adalah ketorolac yang digunakan untuk penatalaksanaan nyeri jangka pendek namun penggunaannya tidak lebih dari 5 hari. Obat ini menghambat sintesis prostaglandin, memediasi produksi analgesik perifer, juga sebagai antipiretik dan antiinflamasi.

Secara umum digunakan panduan (indikasi tindakan operatif) jika volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial, kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, terdapat tanda fokal neurologis semakin berat, terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat, terdapat pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm, terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg, terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT-scan, dan terdapat gejala akan terjadinya herniasi otak/terjadi kompresi/obliterasi sisterna basalis.26

Pasien dirawat di bangsal selama 17 hari dengan keadaan awal masuk mengalami penurunan kesadaran, GCS pada saat masuk adalah 8. Mulai hari ke-3 sampai ke-9 perawatan di bangsal, kesadaran pasien perlahan-lahan semakin meningkat, GCS pasien menjadi 11. Pasien tampak gelisah, mengalami sulit tidur dan bicara yang kacau. Tekanan darah dalam batas normal. Dari pemeriksaan fisik neurologis, rangsang meningeal positif dimana pasien mengalami kaku kuduk. Pada hari perawatan ke 12-15 kesadaran pasien semakin membaik dengan GCS 13. Pasien sudah mulai bisa diajak berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kaku kuduk sudah semakin berkurang. Pada hari

keperawatan ke 16 kesadaran pasien sudah mulai membaik, dengan GCS 14 dan kaku kuduk yang sudah mulai menghilang. Pada hari perawatan ke-17 pasien sudah dapat dipulangkan. Saat pulang, pasien sudah memenuhi kriteria untuk dipulangkan, yaitu: 1) GCS 15 dan CT tidak diindikasikan, 2) pencitraan kepala atau servikal normal dan GCS kembali 15, 3) adanya perbaikan dari semua tanda dan gejala klinis, 4) tidak ada faktor lain yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, 5) adanya transportasi pulang yang mendukung dan ada yang merawat di rumah dan 6) jika tidak ada yang merawat di rumah, pulangkan pasien jika tidak ada risiko komplikasi yang berarti.

Simpulan

Cedera kepala merupakan masalah yang serius karena merupakan penyebab kematian yang paling sering terutama pada kecelakaan kendaraan. Jenis dan beratnya kelainan akibat cedera kepala tergantung pada lokasi dan beratnya kerusakan otak. Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer yang merupakan akibat langsung dari benturan, dan cedera sekunder yang terjadi akibat proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak. Aspek aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala dan morfologinya. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang ditimbulkan juga tergantung pada bagian otak mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur

penderita, daan bisa menyebabkan

kebingungan dan koma. Untuk menentukan tingkat keparahan pada penderita cedera kepala digunakan pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan GCS.

Daftar Pustaka

(6)

Perbandingan glasgow coma scale dan revised trauma skor dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala di rumah sakit atma jaya. Maj Kedokt Indon. 2010; 60(1):437-42.

2. Japardi I. Cedera kepala. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer; 2004.

3. Riyadina W. Profil cedera akibat jatuh, kecelakaan lalu lintas dan terluka benda tajam atau tumpul pada masyarakat Indonesia. Jur. Peny Tdk Mlr Indo. 2009; 1(1): 1-11.

4. Mass AIR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate and severe traumatic brain injury in adults. Lancet Neurol. 2008; 7(2): 728-41.

5. Oktaviana, F. Gambaran kecelakaan lalu lintas pada kendaraan bermotor roda dua di RSUPN cipto mangunkusumo tahun 2003-2007 [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2008.

6. Sidharta P, Mardjono M. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2005.

7. Brain Injury Association of Michigan. Traumatic brain injury provider training manual. Michigan Department Of Community Health; 2005.

8. Bordignon KC, Arruda WO. CY scan findings in mild head trauma: a series of 2000 patients. Arq Neuropsiquiatr. 2002; 60: 204-10.

9. Corwin, E.J. Buku saku patofisiologi edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.

10. Gruenthal M. Subarachnoid hemorrhage instant diagnosis and treatment. Edisi ke-6. USA: Mosby Inc; 2004.

11. Setyopranoto I. Penatalaksanaan perdarahan subaraknoid: CDK-199. 2012: 39(11).

12. Ali J, Brasel K, Burris DG, Cioffi WG, Cooper A, Hollands M, et al. Advanced trauma life support for doctors. USA: American College of Surgeon; 2004. 13. Markam S, Atmadja DS, Budijanto A.

Cedera tertutup kepala. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;1999.

14. Sidharta, Priguna. Neurologi klinis dalam

praktek umum. Jakarta: Dian Rakyat; 2009.

15. Jenny B. Develepment of glassgow coma scale and outcome scale. Nepal J Neurosci. 2005;2(1):24-8.

16. Bederson JB, Connolly ES, Batjer HH, Dacey RG, Dion JE, Diringer MN, et al. Guidelines for the management of aneurysm subarachnoid hemorrhage. 2009; 40(3):994-1025.

17. Teasdale G, Matthew P. Mechanism of cerebral concussion, contusion and other effects of head injury. Philadelphia; WB Saunders Co; 2003.

18. Iverson GL, Brooks BL, Lovell MR, Collins MW. No cumulative effects for one or two previous concussions. Br J Sports Med. 2006; 40(1):72–5.

19. Boake C, McCauley SR, Levin HS, et al. Diagnostic criteria for post concussion syndrome after mild to moderate traumatic brain injury. J Neuropsychiatry Clin Neurosci. 2005; 17(3):350–6.

20. Adams RD, Victor M. Principles of neurology. Edisi ke-4. United States of America: Mc Graw Hill Co; 2000.

21. Lumbantobing S.M. Vertigo tujuh keliling. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. 22. Rabinstein AA, Weigand S, Atkinson JL,

Wijdicks EF. Patterns of cerebral infarction in aneurysmal subarachnoid hemorrhage. 2005; 36(2): 992-7.

23. Hafid A, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.

24. Ariwibowo, Haryo. Art of therapy. Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta; 2008.

25. Brain Injury Association of Michigan. Traumatic brain injury provider training manual. USA: Michigan Departement Of Community Health. 2008.

26. Coles JP. Imaging after brain injury. Br J Anaesth. 2007; 99(1):49-60.

27. Ghajar J. Traumatic brain injury. Lancet. 2000;356(1):923-29.

Gambar

Tabel 1. Skor GCS Pasien
Gambar 1. CT Scan Kepala Pasien

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi informasi penelitian adalah gambaran mengenai data yang diteliti. Data unsur-unsur religius yang diteliti bersumber dari cerpen “Sejuta Langkah Mendaki Mimpi”

[r]

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis secara berturut-turut dapat ditunjukkan sebagai berikut: Hasil pengolahan data pada penelitian ini tidak terdapat

Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah yang baru saja selesai pada tanggal 10 Rabi’ul akhir 1394 H, bertepatan dengan tanggal 03 Mei 1974 tiba-tiba saja masyarakat desa

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia dan anugerah yang di berikanNya kepada saya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Tumbuhan tersebut antara lain, Jeruk nipis (Juuk Nipis; Citrus aurantiifolia Christm.), Adas (Adas; Foeniculum vulgare Mill.), Salam (Don Janggar Ulam; Syzygium polyanthum

1# Apabila PI%AK K,D/A tidak dapat melaksanakan pengadaan AA tersebut sebagian atau keseluruhan sebagaimana syarat.syarat dalam Surat Perjanjian ini maupun jadwal yang