• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sekedar memperagakan keterampilan gerak saja, tetapi harus dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sekedar memperagakan keterampilan gerak saja, tetapi harus dapat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Seorang penari adalah manusia terpilih atau manusia-manusia yang tidak sembarangan, untuk itu dalam membawakan sebuah tarian bukan hanya sekedar memperagakan keterampilan gerak saja, tetapi harus dapat menjiwainya sehingga bisa menghidupkan tarian tersebut berdasarkan gambaran dan isi tariannya. Dalam hal ini, Sal Murgiyanto menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Ketika Cahaya Merah Memudar bahwa: “Seorang penari benar-benar menarikan sebuah tarian kalau ia mampu memperlihatkan kepada penonton hubungan yang ada antara frase-frase atau bagian-bagian gerak yang ia lakukan sehingga nampak jelas” (1993:15).

Dari kutipan tersebut menjelaskan bahwa sebagai seorang penari harus mampu menghubungkan gerak yang satu dengan lainnya, yang didalamnya terdapat unsur ruang, tenaga, dan waktu. Hal ini memang tidak mudah, perlu adanya kreatifitas, bakat menari dan tentunya didukung oleh kemauan yang sangat kuat. Sehingga akan memperlihatkan sebuah tarian yang jelas dan memikat perhatian kepada penonton.

Rasa irama, daya imajinasi, dan daya ingat bagi seorang penari sangat penting untuk dimiliki, karena seorang penari harus mampu bergerak mengikuti irama ketukan pola musiknya. Daya imajinasi diperlukan untuk

(2)

memperoleh gambaran mengenai isi tarian serta bentuk-bentuk gerak baru dalam mengembangkan suatu tarian. Begitu juga daya ingat merupakan hal yang terpenting bagi seorang penari, apabila penari yang pelupa maka bisa mengakibatkan seluruh komposisi berantakan. Hal ini diperjelas pula oleh Risman Suratman dalam bukunya yang berjudul Pemahaman Seni Tari Tentang Pengetahuan Kepenarian, bahwa: “Seorang Penari ketika dihadapkan pada tarian-tarian yang rumit dan kereografinya yang cukup panjang, maka jelaslah seorang penari dituntut memiliki daya peniruan dan daya ingat yang memadai” (2007:5).

Kualitas penari yang telah dipaparkan di atas adalah hal paling utama, namun bukan hanya itu, ada aspek lainnya yang menjadi kekuatan untuk menjadi penari yang baik, dan menambah kualitas menari, dipertegas pula oleh Iyus Rusliana dalam bukunya Tari Wayang, memaparkan bahwa:

“ Yang menjadi intisari dari kelima aspek kualitas menari itu meliputi: Bisa adalah hafal dan tepat dalam teknik mengungkapkan setiap gerak tari. Wanda adalah penyesuaian dengan karakter tari serta ketepatan dan keserasian pemakaian rias dan busana. Wirahma adalah ketepatan mengatur irama tari yang selaras dengan pola irama (embat) iringan karawitannya. Sari adalah kemampuan menghidupkan tarian melalui kekuatan pengungkapan ras dan jiwanya yang sesuai dengan isi tarian. Alus adalah kemampuan menyatukan kekuatan dari keempat aspek kualitas tersebut sehingga luluh dan bersenyawa dengan tarian” (2012: 154).

Kelima aspek kualitas menari di atas, merupakan bagian penting yang harus dikuasai bagi seorang penari, sehingga akan menghasilkan suatu gerak yang optimal, baik secara nalar maupun dibuktikan pada waktu menari di atas pentas.

Berdasarkan pernyataan tersebut, penyaji dapat memahami sosok penari yang baik dan harus mampu menjadi penari yang baik, serta untuk menunjang kepenarian dan meningkatkan kualitas gerak, penyaji sangat menyadari sekali perlu adanya eksplorasi seperti olah tubuh dan olah rasa, karena hal ini terpenting untuk mendalami sebuah karakter dan isi dalam sebuah tarian.

(3)

Sebagai syarat dalam tugas akhir di Jurusan Tari STSI Bandung, terdapat tiga minat utama untuk dipilih oleh mahasiswa yang akan menempuh tugas akhir yaitu, Penyajian Tari, Penciptaan Tari, dan Pengkajian Tari. Adapun pada minat utama ini, penyaji menetapkan untuk mengambil minat utama Penyajian Tari. Penyaji sadar betul bahwa kompetensi yang dimiliki cenderung pada penyajian tari, karena dilihat dari nilai-nilai dari mata kuliah penyajian tari lebih besar, oleh sebab itu penyaji yakin atas kemampuan diri dalam menari.

Pendalaman karakter penyaji dari tarian yang akan dibawakan harus mampu dikuasai dengan baik. Disamping itu seseorang dikatakan sebagai orang yang kreatif apabila dia memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang berbeda, dan merupakan hasil pemikirannya sendiri.

Dengan adanya pemaparan di atas, penyaji ingin menyajikan tarian yang sudah ada untuk dikembangkan kembali menjadi sebuah tarian dengan kemasan baru tetapi tidak merubah esensi dari isi tarian tersebut. Dengan kata lain, merupakan kegiatan yang menuntut kecerdasan dan daya cipta dari imajinasi yang diinterpretasikan menjadi sebuah bentuk kemasan yang baru.

Rumpun tari yang dipelajari di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung diantaranya: Tari Tjetje Somantri, Tari Wayang, Tari Keurseus, Tari Topeng, Tari Rakyat dan lain-lain. Dari bermacam-macam rumpun ini, penyaji memilih dari rumpun Tari Tjetje Somantri.

Beragam kekayaan tari karya Tjetje Somantri memiliki bentuk penyajian, karakter, jenis dan lain sebagainya. Kekayaan dan keanekaragaman tari Tjetje Somantri yang hidup dan berkembang hingga kini menyebar luas ke beberapa daerah di wilayah Jawa Barat yang dijadikan sebagai objek studi pada lembaga formal maupun non formal sebagai pembendaharaan materi tari dan materi pertunjukan tari Sunda.

Tarian karya Tjetje Somantri yang dipelajari di STSI Bandung, terdapat beberapa bentuk penyajian, di antaranya tari tunggal dan tari kelompok. Adapun pada minat utama yang

(4)

dipilih penyaji sebagai bentuk tugas akhir penyajian tari, yaitu bentuk tari tunggal jenis putri yaitu Tari Ratu Graeni.

Selama mengikuti beberapa proses perkuliahan, penyaji mendapatkan pengetahuan bahwa Tari Karya Tjetje Somantri, suatu jenis tarian yang dimaksudkan untuk sajian pertunjukan. Diperjelas pula oleh Endang Caturwati, dalam bukunya Tari di Tatar Sunda bahwa :

“Munculnya karya – karya Tjetje Somantri khususnya tarian-tarian putri merupakan sejarah baru bagi perkembangan Tari Sunda, yang secara historis merupakan jembatan dari masa lampau dengan masa kini. Hal ini merupakan suatu langkah yang maju dan berani, karena bagi perempuan pada waktu itu dianggap aib untuk menari. Tari pertunjukan khusus putri yang memasyarakat belumlah ada, kecuali ronggeng”(2007:110).

Penjelasan di atas membuat penyaji mengetahui perjuangan seorang Tjetje Somantri yang benar-benar memperjuangkan kaum wanita pada saat itu, untuk lebih dihormati lewat sebuah karya tarian putri. Sebagai salah satu contoh tari Ratu Graeni adalah sebuah tarian yang memiliki makna khusus tentang sosok wanita yang lembut namun dapat berjiwa besar layaknya kaum pria. Tari ini berkarakter putri lanyap, anggun, tangkas yang berbentuk tari tunggal.

Diperjelas pula oleh Irawati Durban Ardjo dalam bukunya yang berjudul Tari Sunda Tahun 1940-1965 bahwa :

“Diciptakannya Tari Ratu Graeni pada tahun 1949 karya Tjetje Somantri. Bahwasanya Tari Ratu Graeni ini dari kerajaan Medang Kamulan yang sedang bersiaga, melatih diri untuk menghadapi musuh yaitu Prabu Gandawikalpa yang akan datang menyerang” (2008:78).

Dijelaskan pula oleh Endang Caturwati dalam bukunya yang berjudul Tari di Tatar Sunda : “ dilihat dari sumber garapan dan sikap tarinya, buah ciptaan Tjetje Somantri dapat dibedakan menjadi 5 golongan yaitu : 1. Karya yang bersumber dari Tari Wayang, 2. Karya yang bersumber dari Tari Topeng Cirebon, 3. Karya yang bersumber dari Tari Tayub, 4. Karya yang bersumber dari Tari Jawa, 5. Karya yang bersumber dari gerakan baru” (2007:

(5)

119). Akan tetapi karena kepiawan Tjetje dalam mengolah dan mengembangkan unsur-unsur gerak dasar tari, maka sumber gerak dengan unsur gerak sumber lainnya menjadikan ciri-ciri dari kelompok tari tersebut tidak nampak diambil seutuhnya begitu saja dari sumber asalnya, tetapi semuanya di padukan menjadi satu kesatuan.

Adapun unsur gerak yang bersumber dari tari Jawa, pada umumnya hampir semua tari putri karya Tjetje banyak bersumber dari unsur-unsur gerak Tari Jawa yang dipadukan dengan tari Tayub sehingga menjadi sajian yang lain. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan ragam gerak dan nama-nama gerak pada karya ciptanya seperti pada Tari Ratu Graeni. Kesamaan ragam gerak Tari Karya Tjetje dengan Tari Jawa yaitu ukel (jawa : ukel), trisik (jawa: trisik), kepret (jawa: seblak) dan lain sebagainya (Endang Caturwati, 2007:122).

……Sejalan dengan hal itu Tjetje Somantri menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Endang Caturwati dalam bukunya berjudul Tari di Tatar Sunda , bahwa: “Mengenai tarian yang diajarkan kepada murid wanita adalah tarian yang saya pelajari dari buku, atau juga yang telah saya terima dari para guru yang asalnya semuanya dari tari Jawa Tengah, disebut tari Serimpi, tari Golek, tari Bedoyo, dan tari Kiprah…..Pengaruh dari buku yang ditulis oleh Sri Susuhunan Paku Buwono X dari Solo yang saya peroleh dari kantor Persafi Jatinegara Jakarta, mempertebal keyakinan bahwa tari-tarian itu mengandung unsure kebatinan, dan mempunyai makna yang dalam seperti yang terlihat dalam tari Dewi, tari Ratu Graeni, tari Srigati, dan tari Dewi Serang”(2007: 122).

Apa yang diuraikan Tjetje bahwa tari-tarian itu mengandung unsur kebatinan dan mempunyai makna yang dalam, bahwa pelajaran tari beserta gerak tarinya mempunyai makna yang mengandung simbolis antara lain: (1) Menthang adalah sikap tangan terbuka kanan kiri nangreu/baplang, mengandung arti angencengi (kenceng, kemantapan) jadi pengetahuan yang sudah dilaras (dimengerti dan dihayati) (2) Muncang/pucang kanginan adalah gerakan badan ke kanan dan ke kiri, halus bagaikan daun-daun dari pohon pucang yang tertiup angin. Artinya, walaupun sudah dapat atau berada di atas dan bergerak, pendiriannya harus tetap kokoh, wajib memikirkan yang berada di bawah (3) Laras, yaitu jalan ke kiri, ke kanan, kembali ke belakang, perlambang karena sudah mengetahui jalan yang lurus, walaupun ke

(6)

kiri dan ke kanan, akhirnya kembali lagi ke jalan semula (belakang) (Endang Caturwati, 2007:124).

Diungkapkan pula oleh seniman sunda dan sebagai saksi hidup Tjetje Somantri, berdasarkan hasil wawancara penyaji dengan Dedi Djamhur pada tanggal 18 Februari 2014, menjelaskan bahwa Tari Ratu Graeni ini merupakan tarian simbolik, serta dalam tarian tersebut mengungkapkan makna jiwa seorang wanita, yaitu sebagai seorang istri yang berfungsi dalam 3 komponen yaitu sebagai Raksukan, identitas, dan kedudukan. Ketiga hal ini menyatu dalam tarian Ratu Graeni sebagai simbol sosok wanita yang benar-benar sebagai panutan bagi keluarga dan pemimpin.

Dijelaskan pula bahwa menurut Dedi Djamhur, Tjete Somantri dalam membuat sebuah tarian perempuan ini mengungkapkan sebagai rasa hormat kepada sosok perempuan, serta dari unsur-unsur geraknya sebagai tanda syukur kepada Maha Pencipta, rasa syukur dapat bergerak sehingga memberikan suatu keindahan. Untuk itu dalam menciptakan sebuah tarian Tjetje Somantri mempunyai pandangan sebagai suatu ibadah yang perlu disyukuri.

Selain paparan di atas, dijelaskan pula oleh seniman sunda yaitu Tatang Setiadi sebagai Pimpinan Sanggar Seni Perceka yang berada di Kabupaten Cianjur, hasil wawancaranya dengan penyaji yaitu pada tanggal 28 maret 2014, menjelaskan bahwa Tjetje Somantri dalam membuat Tari Ratu Graeni ini, sebagai rasa hormat, imajinasi dan keyakinan terhadap kaum wanita. Di mana Tjetje Somantri telah melakukan pembaharuan untuk kaum wanita yang awalnya kehidupan tari telah didominasi oleh kaum laki-laki, tetapi beliau menjunjung tinggi kaum wanita dan melakukan perubahan, agar pandangan terhadap kaum wanita tidak negatif. Menciptakan tari-tarian dilihat dari segi koreografi dan kostum, bila digunakan ternyata lebih indah. Figur sosok wanita ditonjolkan dalam tari Ratu Graeni, sebagai makna seorang istri, yang cikal bakalnya dari indung. Istri ditempatkan pada posisi istimewa sebagai pemimpin dari seorang anak serta figur keindahan dari Sang Pencipta.

(7)

Adapun gambaran tarian Ratu Graeni mengungkapkan ketika Sang Ratu mempersiapkan diri dengan berlatih perang. Berdasarkan unsur filosofis dari tarian ini sangat bemanfaat bagi kehidupan. Makna yang tekandung dalam tarian ini bahwa wanita dapat berperan juga dalam kehidupan bukan hanya kaum pria, yang sama-sama memiliki rasa ketangguhan, perjuangan, dan kegigihan dibalik kelembutan seorang wanita.

Namun sangat disayangkan, dari beberapa hasil sumber wawancara serta referensi buku, tidak adanya sumber tertulis secara jelas dan rinci mengenai asal usul tari Ratu Graeni ini, baik itu mengenai silsilah keluarga atau pun kerajaan Ratu Graeni, serta alasan bagaimana awal cerita Ratu Graeni bersiaga berlatih perang untuk menghadapi Prabu Gandawikalpa seperti yang telah dipaparkan di atas. Isi dalam tari Ratu Graeni ini ternyata hanyalah sebuah legenda Parahiyangan yang memiliki makna yang luar biasa seperti halnya telah diungkapkan pada sumber wawancara di atas.

Dalam menempuh tugas akhir, penyaji ingin menyampaikan nilai-nilai yang terkandung dalam isi cerita dan karakter tokoh Ratu Greni kepada para penonton, yang menjadi sumber inspirasi sekaligus landasan ranah sumber dari tari ini, sebagai landasan pada pengambilan minat utama penyajian tari. Bukan sekedar tontonan, tetapi juga sebagai tuntunan bagi kehidupan.

Penyaji mencoba menggarap dengan konsep tari dalam nuansa yang baru melalui sebuah pertunjukan tari. Bukan hanya itu, tarian ini jarang disajikan dalam ujian akhir sehingga menjadikan kesempatan bagi penyaji untuk memperkenalkan tarian ini. Tari karya Tjetje Somantri ini tidak telepas dari norma adat istiadat, juga sopan santun dan keindahan yang disesuaikan dengan bekal estetis yang didapat dari gurunya. Sifat kewanitaan yang luwes dan lembut ini merupakan inovasi Tjetje melalui penghayatan pada tarinya, yang memiliki ciri karakter sehingga memberikan daya tarik tersendiri bagi penyaji. Karakter dari tokoh Ratu Graeni membuat penyaji semakin kuat untuk memperdalam tari Ratu Graeni.

(8)

Tarian ini dijadikan pilihan penyaji melalui beberapa tahapan, yaitu melakukan perbandingan nilai-nilai akhir selama perkuliahan di STSI Bandung. Selain itu beberapa masukan dari dosen wali, dosen mata kuliah, mahasiswa senior, dan rekan kelas, yang menjadikan bahan awal penyaji sebagai pilihan Tugas Akhir. Dan yang lebih mendasar lagi, di semester VII penyaji mengambil Mata kuliah pilihan yaitu tari Ratu Graeni, hal itu sebagai embrio untuk melangkah ke jenjang tugas akhir, disamping itu pengalaman hidup penyaji yang dibesarkan pada tari-tari karya Tjetje Somantri, sehingga tarian Tjetje telah menyatu pada jiwa penyaji, bukan hanya itu penyaji ingin mengaitkan dalam kehidupan sekarang bahwa nyatanya seorang wanita dapat dijadikan sebagai sosok pemimpin yang hanya bukan dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Serta penyaji ingin menjaga serta melestarikan tarian genre karya Tjetje Somantri.

Adapun Susunan gerak pada Tari Ratu Graeni yaitu : Calik ningkat, sembahan, mundur adeg- adeg , geser sembada soder, ke kanan, ke kiri, Nyawang kanan, kiri, trisik, Keupat maju, trisik, Keupat mundur trisik, Kiprah kembang kuray, sorog, trisik, Meresan, makutaan, ke kiri, trisik, Pugeran ke kanan, ke kiri, trisik, Cabut keris, trisik, Nojos maju, trisik, Nojos mundur, trisik, Simpen keris, tindak tilu, trisik, Calik ningkat, sembah.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana mewujudkan konsep garap pengembangan repertoar tari Ratu Graeni hingga terciptanya bentuk penyajiannya yang baru?

C. TUJUAN

(9)

Terwujudnya bentuk penyajian baru dari repertoar tari Ratu Graeni.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Sebagai upaya mewujudkan bentuk baru dari repertoar Tari Ratu Graeni, penyaji melakukan studi pustaka, sehingga bentuk garapan Tari Ratu Graeni yang digarap benar-benar asli garapan baru serta penting untuk mengetahui aspek apa saja yang dapat dikembangkan dan aspek mana saja yang dipertahankan sebagai identitas repertoar tersebut. 1. Skripsi Karya Seni Penyajian Repertoar Tari Sulintang oleh R. Walenda, lulus tahun

2012, Jurusan Tari STSI Bandung.

Penyaji dalam garapannya ingin menampilkan garapan yang baru sehingga dapat memperkaya suatu garapan yang berbeda dari garapan tari sulintang sebelumnya. Penyaji ingin lebih menguasai gerak dan karakter tarian sesuai dengan estetika tarian yang penyaji pilih, menyajikan pola pengembangan variasi gerak yang belum pernah digarap oleh penyaji sebelumnya sehingga dikenal kembali oleh masyarakat. Tujuan lainnya ingin memberikan pengetahuan dan mengajarkan kepada masyarakat melalui sanggar-sanggar. Penyaji mencoba mengembangkannya dengan memperpanjang atau memperpendek pola-pola gerak dengan tidak merubah keaslian ragam gerak atau gerak pokoknya.

Dari skripsi ini kontribusi untuk penyaji yaitu dapat mengambil gambaran mengenai pola-pola bentuk garapan kelompok walaupun penyaji memilih tari Graeni sebagai tari tunggal, tetapi disajikan dengan memakai penari kelompok, sehingga menjadikan penyaji untuk lebih memvariasikan gerak yang belum pernah disajikan oleh penyaji sebelumnya 2. Skripsi Karya Seni Penyajian Repertoar Tari Kencana Wungu oleh Mira, lulus tahun

2011, Jurusan Tari STSI Bandung.

Penyaji dalam sebuah garapannya memaparkan sebuah bentuk yang baru. Dari segi koreografi penyaji memperlihatkan pengembangan koreografi Tari Kencana Wungu tanpa

(10)

merubah esensi gerak aslinya, begitu pula dalam menata ruang tidak begitu rumit, namun lebih berkesan sederhana dan menonjolkan kerapihan dalam desain pola lantainya.

Dari skripsi ini kontribusi untuk penyaji yaitu dapat mengambil jiwa sosok ratu yang bijaksana, sehingga memberi gambaran pula bagi penyaji untuk bisa mengungkapkan sosok ratu yang akan dibawakan pada tugas akhir.

3. Skripsi Karya Penyajian Repertoar Tari Arimbi oleh Afrilia Safitri, lulus tahun 2013, Jurusan Tari STSI Bandung.

Penyaji melakukan pengembangan pada penyajian karyanya tanpa menghilangkan identitas tariannya, namun terdapat penambahan dalang untuk mempertegas suasana isi cerita, serta penyaji mengembangkan penyajian baik dari segi visual (tarian) maupun karawitan. Penyajian secara utuh dari karya ini akan terlihat berbeda dengan tarian yang sebenarnya karena terdapat pengembangan dari segi koreografi, yang akan berpengaruh pula pada segi karawitannya, selain itu struktur pun berkembang.

Dari skripsi ini kontribusi untuk penyaji yaitu dapat memberi gambaran mengenai pola-pola tarian tunggal, memberi bayangan mengenai pengolahan ruang bagi tari tunggal, dan menghidupkan isi cerita tariannya.

4. Skripsi Karya Penyajian Repertoar Tari Topeng Kencana Wungu,oleh Raden Altin Budiarsih, lulus tahun 2010, Jurusan Tari STSI Bandung

Dalam tari Topeng Kencana Wungu ini disajikan dalam bentuk tari tunggal putri. Dalam sajiannya penyaji menginterpretasi pada awal menari sinden ngawih mengisahkan ratu seorang Ratu yang sedang risau. Dengan seting seakan-akan ada di kerajaan. Terdapat pemotongan gerak pada awal serta ragam gerak pokok lainnya.

Dari skripsi ini kontribusi untuk penyaji yaitu dapat memberi gambaran mengenai pola-pola tarian tunggal, memberi bayangan mengenai pengolahan ruang bagi tari tunggal,

(11)

cara menghidupkan isi cerita tariannya, serta member bayangan akan pengungkapan seorang ratu.

1. Sumber Literatur

Untuk memperkuat sumber, penyaji mengutip dari berbagai buku yang sifatnya berhubungan dengan tarian yang di ambil dalam penulisan tugas akhir, seperti yang disebutkan dibawah ini :

1.1. Buku yang disusun oleh Risman Suratman, yang berjudul Pemahaman Seni Tentang Kepenarian tahun 2007. Dalam buku ini, penulis menemukan banyak sekali pengetahuan tentang arti sosok penari yang baik.

1.2. Buku yang ditulis oleh Iyus Rusliana, berjudul Tari Wayang tahun 2012. Dalam buku ini, penulis mengenai aspek penting yang harus dimiliki untuk seorang penari.

1.3. Buku yang ditulis oleh Endang Caturwati, yang berjudul Tari di Tatar Sunda tahun 2007. Dalam buku ini, penulis memaparkan mengenai tarian-tarian yang berada di tatar sunda, khususnya Genre Tari Kreasi Baru Karya Tjetje Somantri. 1.4. Buku yang ditulis oleh Irawati Durban, yang berjudul Tari Sunda tahun

1880-1990 tahun 2007. Dalam buku ini, penulis menjelaskan mengenai kehidupan kesenian di Priangan, berdirinya BKI (Badan Kesenian Jakarta), serta tokoh-tokoh yang berperan didalamnya.

1.5. Buku yang ditulis oleh Irawati Durban, yang berjudul Tari Sunda tahun 1940-1965 tahun 2008. Dalam buku ini, penulis memaparkan mengenai Bandung tempo dulu, peran Tjetje Somantri di BKI, karya-karya tari unggulan BKI, ragam jejak Tjetje, Oemay, dan Kayat, pencarian identitas tari Sunda, tari Tjetje dan karyanya, khasanah karya tari Tjetje di BKI dan refleksi.

(12)

1.6. Buku yang ditulis oleh Tati Narawati, yang berjudul Wajah Tari Sunda Dari Masa ke Masa tahun 2003. Dalam buku ini, penulis menjelaskan mengenai kontak antara karya-karya R. Tjetje Somantri dengan budaya priyayi dan Tari Jawa. Serta kontak antara pertunjukan Topeng Cirebon dengan budaya priyayi dan pertunjukan Topeng jawa.

2. Sumber Kinestetik

Selain melakukan studi pustaka, penyaji juga mengapresiasi dari berbagai video-video tari Ratu Graeni. Kegiatan ini sangat membantu sebagai pendukung dalam mengolah karakter dan pengembangan gerak dari tarian tersebut, seperti :

2.1. Mengapresiasi video tari Ratu Graeni seperti yang ditarikan oleh Ai windasari salah satu mahasiswa STSI Bandung pada tahun 2012.

E. METODE PENDEKATAN

Penyaji menyajikan dan mengembangkan repertoar Tari Ratu Graeni dalam bentuk penyajiannya yang baru. Selain melakukan studi pustaka, penyaji juga mengapresiasi dari berbagai video dan melakukan pendalaman materi secara mandiri maupun secara khusus belajar kepada pakarnya atau dosen tertentu khususnya dosen Tjetje Somantri yang dianggap senior di bidang tarian itu.

F. RANCANGAN / SKESTA GARAP

Berdasarkan uraian di atas, maka penyaji merancang sebuah gambaran pola penyajian baru dari repertoar tari Ratu Graeni meliputi desain koreografi, penambahan jumlah penari, desain karawitan atau musik tari, desain artistik tari (property, busana).

1. Desain Koreografi

Pada tahap ini perlu adanya perubahan dan gubahan koreografi yang meliputi variasi gerak pengembangan, variasi pola lantai, arah hadap, peninggian posisi penari. Untuk itu

(13)

penyaji mencoba memadatkan koreografi serta memunculkan kreativitas pengembangan dari ragam gerak yang tidak mengubah esensi aslinya.

Desain koreografi yang digarap penyaji sebagai bahan menempuh Tugas Akhir meliputi bagian awal, tengah dan akhir. Konsep penyajian koreografi tetap sesuai dengan tataran gerak tari Ratu Graeni yang diajarkan sebagai materi perkuliahan di STSI Bandung. Gerak-gerak tari yang digarapnya dengan mengoptimalkan kesatuan ruang, tenaga, dan waktu, bukan hanya itu dengan pencapaian isi tari tersebut jelas diperhatikan penyaji. Terdapat pula penambahan jumlah penari sehingga bentuk sajian pun akan baru. Pengembangan yang ada membuat bentuk pertunjukan lebih menarik tanpa mengubah isi tarian. Pemilihan penambahan jumlah penari disini untuk mewujudkan keutuhan sebuah adegan tanpa merubah esensi aslinya.

Rancangan desain koreografi yang akan disajikan pada bagian awal, sebagai pembuka penyaji menambahkan gerak tradisi yang dikembangkan dari unsur volume gerak, ruang, pola lantai serta property, yang menggambarkan jiwa sosok seorang Ratu yang disajikan dengan prajurit-prajuritnya dengan pengolahan gerak serta property.

Bagian tengah, dimunculkan kembali para prajurit, yang menggambarkan gejolak seorang Ratu Graeni yang sedang berlatih perang yang dimunculkan pula dengan prajurit-prajuritnya untuk memperkuat suasana. Koreografi pada bagian ini, penyaji serta para pendukungnya mengembangkan gerak baru yaitu pengolahan ruang serta property.

Pada bagian akhir, penyaji mencoba mengembangkan gerak dengan beberapa lintasan pola arah hadap.

2. Desain KarawitanTari

Lagu pengiring tari “Ratu Graeni” ini adalah bendrong berlaras pelog. Satu wilet dan Patet : nem . Dalam memilih repertoar penyajian tari, sebagai salah satu syarat dalam ujian akhir yaitu perlu adanya pengembangan baik dalam gerakan maupun karawitannya.

(14)

Desain karawitan yang dikembangkan oleh penyaji tentu akan menyatu dan sesuai pada ragam gerak yang telah divariasikan, di antaranya pada garapan bagian awal, tengah dan akhir. Bukan hanya itu terdapat penambahan vocal bersamaan dengan dukungan waditra yang berpadu harmonis dalam mengisi gerak-gerak tarinya yang menggambarkan suasana gejolak jiwa seorang ratu ketika berlatih perang.

3. Desain Artistik Tari 3.1 Rias dan Busana

Pada dasarnya tata rias dan busana yang dipakai didalam tari karya Tjetje Somantri jenis putri mempunyai kesamaan antara tarian yang satu dengan yang lainnya yaitu biasanya di dalam rias wajah menggunakan Alis putri, pasu teleng, godeg putri, serta pada busana memakai samping, apok, sampur, andong, gelang, kalung. Begitu pun dalam tari Ratu Graeni rias wajah menggunakan Alis cagak putri, papas, pasu teleng pakai titik, garis mata terbuka, godeg eulis. Serta pemakaian busana dalam tari Ratu Graeni yaitu menggunakan apok yang berwarna hitam bahannya dibuat dari buludru yang dihias pasmen emas dan karpatu, samping, kalung, andong, selempang serta memakai makuta binokrasi.

Sedangkan untuk penari pendukung sebagai symbol prajurit wanita memakai kain bermotif batik yang dibalutkan dari dada hingga sebatas betis, celana sontog, gelang, kilat bahu, soder atau sampur, keris, kalung, sabuk, serta hiasan kepala memakai sumpingan, sobrah atau sanggul serta asesoris pelengkap lainnya.

3.2 Properti

Tari Ratu Graeni menggunakan properti soder, dan keris, tarian ini bertemakan heroic, keris dijadikan properti yang digunakan sebagai senjata disaat Ratu Graeni berlatih perang.

(15)

Background menggunakan kain berwarna hitam, namun di tengah-tengahnya terbuka berbentuk mengerucut ke atas, dan ada silhuet untuk mempertegas sebagai symbol kerajaan, selain itu digunakan penambahan koreografi. Penyaji tidak menggunakan banyak setting lain, hanya saja pada pertunjukannya menggunakan permainan lighting sebagai penambah suasana tarian, dan memperkuat dramatik.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan pengaruh dan kadar optimum pemanfaatan Lumpur Sidoarjo (Lusi) sebagai substitusi agregat halus dengan pemnfaatan batu apung

KOMODIFIKASI SENSUALITAS WANITA DALAM PERFILMAN INDONESIA (Analisis Isi Pada Film “ Kawin Kontrak Lagi “

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap

Di tempat ini bagian bawah dari Permokarbon yang dikenal sebagai formasi kering terdiri dari serpih, batupasir, tufa, konglomerat, batugamping yang mengandung fosil

Sistem operasi adalah seperangkat program yang mengelola sumber daya perangkat keras komputer, dan menyediakan layanan umum untuk aplikasi perangkat lunak. Sistem operasi merupakan

Cangkang kelapa sawit disamping sebagai limbah dengan potensi yang cukup banyak juga memiliki nilai kalor yang cukup tinggi (> 5000 kalori/gram), sehingga berpotensi untuk

sumber data adalah perannya dalam pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan sastra Jawa modern. Adapun alasan pemilihan cerkak DPBLL sebagai objek penelitian adalah

Berdasarkan penjelasan dari hasil penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya, peneliti mengambil kesimpulan bahwa proses kerja public relations @infobdg dalam