• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lama Waktu Tunggu Pelayanan

1. Pengertian Waktu Tunggu Pelayanan

Waktu tunggu adalah waktu yang dipergunakan oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan rawat jalan dan rawat inap dari tempat pendaftaran sampai masuk ke ruang pemeriksaan dokter. Waktu tunggu sering menimbulkan keluhan pasien di beberapa pelayanan kesehatan. Lama waktu tunggu pasien mencerminkan bagaimana pelayanan kesehatan mengelola komponen pelayanan yang disesuaikan dengan situasi dan harapan pasien (Depkes RI, 2007).

Waiting time (waktu tunggu) adalah periode waktu dimana seseorang harus

menunggu dalam rangka menunggu pemeriksaan atas dirinya. Pemeriksaan tersebut merupakan jenis pemeriksaan yang diminta atau diinstruksikan (Wikipedia, 2013).

Menurut Kapustiak dalam Khairani (2011), mendefinisikan bahwa waktu tunggu merupakan total waktu yang digunakan oleh pasien menunggu di poiliklinik, yang kedua yaitu waktu antara pasien pertama kali mendaftar di bagian pendaftaran dan ketika pasien kembali untuk mengawali pemeriksaan, dan yang ketiga yaitu waktu yang berlalu antara waktu perjanjian yang telah ditetapkan dengan waktu ketika pasien untuk mendapatkan evaluasi awal oleh petugas poliklinik.

Menurut Nurhayat (2013), pelayanan kesehatan di Puskesmas seperti waktu tunggu yang lama, antrian yang terlalu panjang, kapasitas dokter dan sarana

(2)

prasarana kesehatan dinilai masih cukup minim. Terutama yang paling dirasakan adalah waktu menunggu yang cukup lama. Penuhnya Puskesmas karena antrian yang terlalu panjang. Sehingga menimbulkan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa hasil pemantauan Pusat Informasi Kesehatan (PIK) bahwa untuk 1 orang pasien di Puskesmas membutuhkan waktu tunggu di loket 10 menit, di ruang periksa 15–20 menit dan di tempat tebus resep bisa mencapai 15 menit. Jadi untuk satu kali kunjungan pasien membutuhkan waktu 30 menit sampai dengan 45 menit. Menurut standart ISO 9001-2008, pelayanan puskesmas kepada warga harus segera, tidak lebih dari 30 menit. Artinya, sejak pasien mendaftar sampai diperiksa dan mendapat obat harus tidak boleh lebih dari 30 menit (Suara merdeka, 2012).

2. Sepuluh Hal Tentang Menunggu

a. Menunggu sering kali menjadi pengalaman yang menjemukan

Menunggu sering kali menjadi kegiatan yang menjemukan bagi orang yang berkarier. Karena pada masa sekarang ini tidak ada waktu lagi untuk menunggu, apapun harus dikerjakan tanpa jeda, tanpa perhentian berkepanjangan. Namun, harapan untuk setiap orang untuk tidak menunggu kadang harus kandas karena saat itu memang benar-benar harus menunggu. Setiap orang mungkin akan stres ketika lingkungan kerja menghendaki kinerja yang cepat dan tangkas tanpa penantian.

b. Menunggu kadang kala melemahkan semangat seseorang

Setiap orang merasa sakit bila harus menunggu terlalu lama. Kuatkanlah mental ketika harus berhadapan dengan pengalaman ini dan jangan terjebak dalam keluhan-keluhan panjang yang hanya akan mengendurkan semangat untuk sukses.

(3)

c. Menunggu sering kali menjadikan seseorang terombang-ambing dalam ketidakpastian

d. Menunggu kadang kala merusak rasa percaya diri

e. Menunggu membuat seseorang berfikir bahwa kesempatan akan cepat berlalu

f. Menunggu bisa menjadi pelatihan diri untuk memperoleh kesabaran

Saat menunggu adalah saat melatih kesabaran diri seseoarang. Ingatlah bahwa kesabaran akan hilang ketika tidak rajin mengolah potensi dirinya. Salah satu cara mengolahnya adalah dengan berlatih. Seorang bisa memulai latihan itu dengan langsung bersentuhan dengan pengalaman sehari-hari. Hadapilah setiap mengasah kepekaan sehingga jalan kesuksesan semakin mudah dilewati.

g. Menunggu suatu kepastian bisa menjadikan diri lebih bijak dalam menyikapi keadaan

Ada saatnya seseorang harus menunggu untuk memanggil kembali energi positifnya. Dengan demikian, hatinya akan kembali cerah setelah menunggu sejenak, mengambil nafas dan menghembuskannya dalam berbagai karya. Tantangan dan harapan pun menjadi suatu yang menggairahkan. Setiap orang akan senantiasa berkarier karena tantangan dan harapan itu menginspirasi untuk tetap menunggu dengan bijak.

h. Menunggu bisa dijadikan siasat untuk kemudian menyerang pesaing Menunggu bukan berarti mati ide dan inovasi, bahkan saat menunggu bisa dijadikan sebagai waktu terbaik untuk belajar dan mengamati kekuatan dan kelemahan pesaing.

(4)

i. Menunggu sering kali bisa menjadi perhentian sejenak sebelum melanjutkan perjalanan dalam karier

Jangan biarkan diri kita dikuburkan oleh jenuhnya rasa menunggu, karena didalam saat menunggu itulah dengan iringan doa dan harapan bisa membuat seseorang menjadi kreatif dan inovatif. Di dalam saat menunggu inilah bisa menciptakan ide-ide baru agar jalan karier tidak monoton. Setiap orang bisa mengawalinya dengan langkah sederhana dan yakinlah bahwa dalam saat menunggu itu, seseorang bisa melakukan hal-hal terhebat (Prasetyo, 2005).

3. Menaksir Waktu Penyelesaian Suatu Pekerjaan

Menurut Pardede (2010), penaksiran waktu dapat dilakukan berdasarkan pengalaman, penelaahan, pekerjaan, dan sebagainya. Pada umumnya ada tiga taksiran waktu yang digunakan di dalam menaksir waktu penyelesaian suatu pekerjaan, yaitu :

a. Waktu Paling Singkat (Most Optimistic Time)

Waktu paling singkat menunjukkan jumlah waktu terpendek, atau masa pengerjaan tercepat, didalam menyelesaikan suatu pekerjaan dengan harapan bahwa segala sesuatunya berjalan dengan sebaik-baiknya. Pada umumnya waktu paling singkat ini adalah waktu penyelesaian kegiatan dimana dari seluruh hambatan yang mungkin terjadi tidak satupun diantaranya terjadi. Peluang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam waktu paling singkat biasanya hanya sebesar 1%.

b. Waktu Paling Mungkin (Most Likely Time)

Waktu paling mungkin menunjukkan taksiran terbaik atas jumlah waktu rata-rata yang dibuuhkan untuk menyelasaikan suatu pekerjaan. Taksiran ini diperoleh dengan, jika mungkin melaksanakan pekerjaan secara berulang-ulang beberapa kali dalam suasana yang benar-benar sama, tanpa faktor belajar (learning factor), dan kemudian menghitung jumlah waktu

(5)

rata-rata yang digunakan. Di dalam menaksir waktu paling mungkin harus dianggap bahwa seluruh sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan akan tersedia pada waktu dan tempat dimana sumber daya itu dibutuhkan.

c. Waktu Paling Panjang (Most Pessimistic Time)

Waktu paling panjang menunjukkan jumlah waktu terpanjang atau jangka waktu terlama, yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Waktu paling panjang ini adalah waktu penyelesaian suatu kegiatan dimana dari seluruh kesalahan yang mungkin terjadi, seluruhnya benar-benar terjadi. Pada umumnya peluang untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu paling panjang biasanya hanya sebesar 1%.

4. Prinsip Mengenai Waktu Tunggu Pelayanan

Berdasarkan hasil riset David Maister yang dikutip oleh Tjiptono (2011), yang merumuskan delapan prinsip mengenai waktu menunggu, yaitu :

a. Waktu yang tidak diisi (Unoccupied Time) akan terasa lebih lama dibandingkan waktu yang terisi

Bila kita hanya duduk bengong tanpa berbuat apa-apa, waktu akan terasa berjalan sangat lambat. Tantangan bagi organisasi jasa adalah memberikan aktivitas atau mengalihkan perhatian pelanggan sewaktu mereka sedang mengantri jasa. Oleh karena itu, banyak ruang praktik dokter umum dan dokter gigi yang menyediakan bacaan bagi para pasien yang sedang menunggu giliran (walaupun seringnya majalah yang disedikan sudah kelamaan edisinya). Bahkan ada pula tempat praktik dokter yang menyediakan buku cerita dan mainan anak-anak di ruang tunggunya.

(6)

b. Menunggu disaat sebelum proses (Pre-Process) terasa lebih lama dibandingkan menunggu pada saat proses layanan dilakukan (In-Process) Dokter umum langganan salah seorang penulis buku ini punya 2 kamar periksa. Sementara yang satu dipakai untuk memeriksa pasien, pasien berikutnya diminta masuk ke kamar lainnya. Dengan cara ini, persepsi para pasien yang sudah masuk ke kamar periksa terhadap waktu menunggu akan berkurang, karena ia sudah bisa mulai mempersiapkan diri untuk diperiksa dokter, menimbang berat badan, atau melakukan aktivitas lainnya.

c. Menunggu yang tak pasti (Uncertain Waits) terasa lebih lama daripada menunggu yang telah pasti

Meskipun menunggu biasanya membuat frustasi, pada umumnya orang bisa beradaptasi secara mental untuk menunggu selama periode waktu tertentu yang diketahui. Artinya, kalau seseorang tahu bahwa ia harus menunggu selama 15 menit, maka secara mental ia bisa tenang dan menyesuaikan jadwalnya. Bayangkan kalau sedang berada distasiun kereta dan ada keterlambatan dalam jadwal keberangkatan, namun tidak diberitahu tentang lamanya keterlambatan. Anda bimbang apakah tersedia cukup waktu bila ingin ke kamar kecil ataukah harus tetap duduk menunggu pemberitahuan keberangkatan.

d. Menunggu tanpa kejelasan (Unexplained Waits) terasa lebih lama dibandingkan menunggu dengan kejelasan

Pernahkah anda berada dalam lift yang tiba-tiba macet tanpa ada yang memberitahu apa yang sedang terjadi? Bukan hanya ada ketidakpastian menyangkut lamanya menunggu, tapi ada juga kekhawatiran tambahan menyangkut penyebab kejadian. Apakah barusan terjadi kecelakaan? Apakah liftnya rusak? Berapa lama harus terperangkap dalam lift bersama orang-orang asing yang tak dikenal?

(7)

e. Kegelisahan (Anxiety) menyebabkan menunggu terasa lebih lama

Ketika sedang mengantri membeli tiket pemutaran perdana film Harry Potter terbaru, penonton yang merasa cemas karena takut kehabisan tiket akan merasa waktu menunggunya lebih lama dari sesungguhnya.

f. Menunggu yang tidak adil (Unfair Waits) terasa lebih lama dibandingkan menunggu yang wajar/adil

Umumnya orang bakal kesal bila ada yang mengantri dibelakangnya tapi dilayani terlebih dahulu tanpa alasan yang jelas.

g. Semakin bernilai sebuah jasa, semakin lama orang akan bersedia menunggu

Fans fanatik grup musik atau klub olahraga tertentu rela mengantri tiket masuk konser atau pertandingan dalam kondisi apapun, bahkan sekalipun harus bermalam di depan loket penjualan tiket. Sewaktu buku biografi mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton diluncurkan, ribuan orang antri untuk mendapatkan tanda tangannya di buku yang dibeli.

h. Menunggu sendirian terasa lebih lama dibandingkan menunggu bersama kelompok

Menunggu bersama teman setidaknya bisa membuat waktu terasa berjalan lebih cepat, karena bisa bersenda gurau.

5. Tehnik Mengelola Waktu Tunggu

Menurut Whiting dan Donthu (2009), ada dua teknik mengelola waktu tunggu, yaitu pengelolaan operasional dan pengelolan persepsi, pengelolan operasional melibatkan level staff dan strategi antrian, sedangkan pengelolan persepsi melibatkan perubahan persepsi pelanggan terhadap menunggu dan tidak mengurangi waktu tunggu aktual tetapi mengurangi pengaruh persepsi terhadapmenunggu sangat penting karena waktu tunggu aktual tidak selalu

(8)

dapat dikendalikan dan karena pelayanan yang dipersepsikan sebagai pengganti pelayanan aktual berpengaruh pada kepuasan pelanggan. Bila berfokus pada manajemen persepsi, penting untuk membedakan antara waktu tunggu yang dipersepsikan dan waktu tunggu sesungguhnya.

Waktu tunggu yang dipersepsi adalah keyakinan pelanggan mengenai berapa

lama akan menunggu.Waktu tunggu aktual atau

waktutunggusesungguhnyaadalahketepatanwaktu sesungguhnya yang digunakan oleh pelanggan untuk menunggu. Semakin tinggi waktu tunggu yang dipersepsikan, maka evaluasi kualitas pelayanan semakin rendah dan kepuasan pelanggan semakin rendah.

6. Faktor-Faktor Yang berhubungan Dengan Waktu Tunggu Pasien

Berikut ini merupakan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi waktu tunggu pasien, yaitu :

a. Arietta (2012) yang mengutip hasil penelitian Fetter

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi waktu tunggu yaitu variasi appointment interval, waktu pelayanan yang panjang, pola kedatangan pasien, pasien tidak datang pada waktu perjanjian (no show

rate), jumlah pasien yang datang tanpa perjanjian, pola kedatangan dokter,

terputusnya pelayanan pasien karena keinginan dokter untuk berhenti sebentar selama jam praktek.

b. Hasil penelitian Grinia (2012)

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap waktu tunggu pasien dalam penelitiannya yaitu lama penyediaan dokumen rekam medis, lama pemeriksaan pasien, keterlambatan dokter dan jumlah antrian. Hal ini sejalan dengan penelitian Zhu yang berjudul “Analysis of Faktors Causing

Long Patient Waiting Time and Clinic Overtime in Outpatient Clinics”

(9)

antrian, dan kelebihan beban pelayanan merupakan faktor-faktor yang menyebabkan lamanya waktu tunggu pasien.

c. Hasil penelitian Meliani (2011)

Faktor-faktor yang berhubungan dengan waktu tunggu pasien rawat jalanberdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat lima faktor yang berhubungan dengan waktu tunggu pasien rawat jalan, yaitu keterlambatan dokter, lama penyediaan dokumen rekam medis, jenis poliklinik, dan jenis pembayaran.

B. Kepuasan Pasien

1. Pengertian Kepuasan

Menurut Kotler yang dikutip oleh Syafrudin(2011), mendefenisikan kepuasan sebagai tingkat keadaan yang dirasakan seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan atau outcome produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan harapan seseorang.

Menurut Oliver yang dikutip oleh Supranto(2006), mendefinisikan kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan sangat kecewa. Bila kinerja sesuai harapan, maka pelanggan akan sangat puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan pelanggan akan sangat puas harapan pelanggan dapat dibentuk oleh pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi dari berbagai media. Pelanggan yang puas akan setia lebih lama, kurang sensitive terhadap harga dan memberi komentar yang baik tentang perusahaan tersebut.

Kepuasan pasien adalah merupakan nilai subjektif terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Walaupun subjektif tetap ada dasar objektifnya, artinya walaupun penilaian itu dilandasi oleh pengalaman masa lalu, pendidikan,

(10)

situasi psikis waktu itu, dan pengaruh lingkungan waktu itu. Tetap akan didasari oleh kebenaran dan kenyataan objektif yang ada, tidak semata-mata menilai buruk kalau memang tiak ada pengalaman yang menjengkelkan, tidak semata-mata bilang baik bila memang tak ada suasana yang menyenangkan yang dialami (Sabarguna, 2008).

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pasien merupakan nilai subyektif pasien terhadap pelayanan yang diberikan setelah membandingkan dari hasil pelayanan yang diberikan dengan harapannya. Pasien akan merasa puas jika pelayanan yang diberikan sesuai harapan pasien atau bahkan lebih dari apa yang diharapkan pasien.

2. Pentingnya Penilaian Kepuasan

Menurut Sabarguna (2008), penilaian kepuasan pasien penting diketahui karena :

a. Kepuasan pasien merupakan bagian dari mutu pelayanan, karena upaya pelayanan haruslah dapat memberikan kepuasan, tidak semata-mata kesembuhan belaka.

b. Berhubungan dengan prioritas peningkatan pelayanan dalam dana yang terbatas, peningkatan pelayanan harus efektif dan sesuai dengan kebutuhan pasien.

c. Berhubungan dengan pemasaran rumah sakit

1) Pasien yang puas akan memberi tahu pada teman, keluarga dan tetangganya.

2) Pasien yang puas akan datang lagi kontrol, atau membutuhkan pelayanan yang lain.

(11)

d. Analisis kuantitatif

Dengan bukti hasil survai berarti tanggapan tersebut dapat diperhitungkan dengan angka kuantitatif tidak perkiraan atau perasaan belaka, dengan angka kuantitatif memberikan kesempatan pada berbagai pihak untuk diskusi.

3. Indikator Untuk Mengukur Kepuasan Pasien

Menurut Parasuramanyang dikutip oleh Syafrudin (2011), terdapat 10 indikator untuk mengukur kepuasan pelanggan. Dalam perkembangan selanjutnya kesepuluh dimensi tersebut dirangkum menjadi lima dimensi yang biasa dikenal dengan istilah kualitas layanan “RATER” (responsiveness, assurance,

tangible, empathy, dan reliability). Lebih jelasnya dapat diuraikan mengenai

bentuk-bentuk aplikasinya sebagai berikut : a. Daya tanggap (responsiveness)

Daya tanggap adalah elemen yang berkaitan dengan kesediaan karyawan dalam membantu dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien, petugas dapat memberikan informasi yang jelas, petugas memberikan pelayanan dengan segera dan tepat waktu, petugas memberi pelayanan yang baik. Menurut Margaretha yang dikutip oleh Nursalam (2013), mendefenisikan daya tanggap adalah suatu bentuk pelayanan dalam memberikan penjelasan, agar orang yang diberi pelayanan tanggap dan menanggapi pelayanan yang diterima, sehingga diperlukan adanya unsur daya tanggap sebagai berikut :

1) Memberikan penjelasan secara bijaksana sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan yang dihadapinya. Sehingga individu yang mendapat pelayanan mampu mengerti dan menyetujui segala bentuk pelayanan yang diterima.

2) Memberikan penjelasan yang mendetail yaitu penjelasan yang bersifat jelas, transparan, singkat dan dapat dipertanggungjawabkan.

3) Memberikan pembinaan atas bentuk pelayanan yang dianggap kurang atau belum sesuai dengan prosedur pelayanan yang ditunjukkan.

(12)

4) Mengarahkan setiap bentuk pelayanan dari individu yang dilayani untuk menyiapkan, melaksanakan dan mengikuti ketentuan yang harus dipenuhi.

5) Membujuk orang yang dilayani apabila menghadapi suatu permasalahan yang dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.

b. Jaminan (assurance)

Hal ini terutama mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya dari petugas. Selain itu, bebas dari bahaya saat pelayanan merupakan jaminan juga. Menurut Margaretha yang dikutip oleh Nursalam (2013), mengemukakan bahwa suatu organisasi kerja sangat memerlukan adanya kepercayaan yang diyakini sesuai dengan kenyataan bahwa organisasi tersebut dapat memberikan kualitas pelayanan yang dapat dijamin sesuai dengan :

1) Mampu memberikan kepuasan dalam pelayanan yaitu memberikan pelayanan yang cepat, tepat, mudah, lancar, dan berkualitas.

2) Mampu menunjukkan komitmen kerja yang tinggi sesuai dengan bentuk-bentuk integritas kerja, etos kerja, dan budaya kerja yang sesuai dengan visi, misi suatu organisasi dalam memberikan pelayanan.

3) Mampu memberikan kepastian atas pelayanan sesuai dengan prilaku yang ditunjukkan, agar orang yakin sesuai dengan prilaku yang dilihatnya.

c. Bukti fisik (tangible)

Bukti fisik adalah segala sesuatu yang tampak seperti fasilitas, peralatan, kenyamanan ruangan, dan penampilan petugas. Tinjauan Gibson et.allyang dikutip oleh Nursalam (2013), yang melihat dinamika dunia kerja sekarang ini yang mengedepankan pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat.

(13)

Kualitas layanan fisik (tangible) dapat tercermin dari aplikasi lingkungan kerja berupa :

1) Kemampuan menunjukkan prestasi kerja pelayanan dalam menggunakan alat dan perlengkapan kerja secara efisien dan efektif. 2) Kemampuan menunjukkan penguasaan teknologi dalam berbagai

akses data sesuai dinamika dan perkembangan dunia kerja yang dihadapinya.

3) Kemampuan menunjukkan integritas diri sesuai dengan penampilan yang menunjukkan kecakapan, kewibawaan, dan dedikasi kerja.

d. Empati (empathy)

Meliputi perhatian pribadi dalam memahami kebutuhan para pasien. Menurut Nursalam (2013), empati dalam suatu pelayanan adalah adanya suatu perhatian, keseriusan, simpatik, pengertian dan keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelayanan untuk mengembangkan dan melakukan aktivitas pelayanan sesuai tingkat pengertian dan pemahaman dari masing-masing pihak.

Menurut Margaretha yang dikutip oleh Nursalam (2013), bahwa suatu bentuk kualitas layanan dari empati orang-orang pemberi pelayanan terhadap yang mendapatkan pelayanan harus diwujudkan dalam lima hal, yaitu :

1) Mampu memberikan perhatian terhadap bentuk pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani merasa menjadi orang yang penting. 2) Mampu memberikan keseriusan atas aktivitas kerja pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani mempunyai kesan bahwa pemberi pelayanan menyikapi pelayanan yang diinginkan.

3) Mampu menunjukkan rasa simpatik atas pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani merasa memiliki wibawa atas pelayanan yang dilakukan.

(14)

4) Mampu menunjukkan pengertian yang mendalam atas berbagai hal yang diungkapkan, sehingga yang dilayani menjadi lega dalam menghadapi bentuk-bentuk pelayanan yang dirasakan.

5) Mampu menunjukkan keterlibatannya dalam memberikan pelayanan yang dilakukan, sehingga yang dilayani menjadi tertolong menghadapi berbagai bentuk kesulitan pelayanan.

e. Keandalan (reliability)

Keandalan adalah kemampuan untuk mewujudkan pelayanan yang dapat diandalkan. Artinya dalam memberikan pelayanan setiap pegawai diharapkan memiliki kemampuan dalam pengetahuan, keahlian, kemandirian, penguasaan, dan profesionalisme kerja yang tinggi sehingga aktivitas kerja yang dikerjakan menghasilkan bentuk pelayanan yang memuaskan, tanpa ada keluhan dan kesan yang berlebihan atas pelayanan yang diterima oleh masyarakat (Syafrudin, 2011).

Menurut Sunyoto yang dikutip oleh Nursalam (2013), bahwa kehandalan dari pegawai yang berprestasi, dapat dilihat dari :

1) Kehandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat pengetahuan terhadap uraian kerjanya.

2) Kehandalan dalam memberikan pelayanan yang terampil sesuai dengan tingkat keterampilan kerja dalam menjalankan aktivitas pelayanan yang efektif dan efisien.

3) Kehandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan pengalaman kerja yang dimilikinya. Sehingga penguasaan tentang uraian kerja dapat dilakukan secara cepat, tepat, mudah, dan berkualitas sesuai dengan pengalamannya.

4) Kehandalan dalam mengaplikasikan penguasaan teknologi untuk memperoleh pelayanan yang akurat dan memuaskan sesuai hasil output penggunaan teknologi yang ditunjukkan.

(15)

4. Metode Mengukur Kepuasan Pasien

Untuk mengetahui tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan atau penerima pelayanan maka perlu dilakukan pengukuran. Pengukuran tingkat kepuasan dimulai dari penentuan pelanggan, kemudian dimonitor dari tingkat kualitas yang diinginkan dan akhirnya merumuskan strategi. Lebih lanjut juga dikemukakan bahwa harapan pelanggan dapat terbentuk dari pengalaman masa lalu, komentar dari kerabat serta janji dan informasi dari penyedia jasa dan pesaing (Supranto, 2006).

Kotler, et al. yang dikutip oleh Tjiptono (2011), mengidentifikasi 4 metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu :

a. Sistem keluhan dan saran

Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer oriented) perlu menyediakan kesempatan dan akses yang mudah san nyaman bagi para pelanggannya guna menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran yang ditempatkan di lokasi-lokasi strategis (yang mudah dijangkau atau sering dilewati), kartu komentar (yang bisa diisi langsing atau dikirim via pos kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas pulsa, website dan lain-lain. Tidak semua pelanggan yang tidak puas menyampaikan keluhannya. Patut diingat pula bahwa kotak saran/keluhan yang kosong tidak bisa lantas diinterpretasikan bahwa semua pelanggan telah puas.

b. Ghost shopping (mystery shopping)

Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk berperan atau berpura-pura sebagai pelanggan potensial produk perusahan dan pesaing. Mereka diminta berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan menggunakan produk/jasa perusahaan. Berdasarkan pengalamannya tersebut, mereka kemudian diminta melaporkan temuan-temuannya

(16)

berkenaan dengan kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing. Biasanya para ghost shopper diminta mengamati secara seksama dan menilai cara perusahaan dan pesaingnya melayani permintaan spesifik pelanggan, menjawab petanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan.

c. Lost customer analysis

Sedapat mungkin perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan/penyempurnaan selanjutnya. Hanya saja kesulitan penerapan metode ini adalah pada mengidentifikasi dan mengkontak mantan pelanggan yang bersedia memberikan masukan dan evaluasi terhadap kinerja perusahaan.

d. Survey kepuasan pelanggan

Sebagian besar riset kepuasan pelanggan menggunaka metode survey, baik survey melalui pos, telepon, e-mail, websites dan wawancara langsung. Melalui survey perusahaan akan memperoleh tanggapan dan balikan secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan kesan positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya :

1) Dyrectly reported satisfaction, pengukuran dilakukan dengan

menggunakan item-item spesifik yang menanyakan langsung tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan.

2) Derived satisfaction, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama yaitu : (1) tingkat harapan atau ekspektasi pelanggan terhadap kinerja produk atau perusahaan pada atribut-atribut relevan, dan (2) persepsi pelanggan terhadap kinerja aktual produk atau perusahaan bersangkutan.

(17)

3) Problem analysis, dalam tehnik ini, responden diminta mengungkapkan masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan produk atau jasa perusahaan dan saran-saran perbaikan. Kemudian perusahaan akan melakukan analisis tehadap semua masalah dan saran perbaikan.

4) Importance-performance analysis, dalam tehnik ini, responden

diminta untuk menilai tingkat kepentingan berbagai atribut relevan dan tingkat kinerja perusahaan pada masing-masing atribut tersebut. Perbaikan kinerja ini bisa berdampak besar pada kepuasan pelanggan total.

5. Strategi Kepuasan Pasien

Menurut Mudie dan Cottam yang dikutip oleh Rangkuti(2013), menyatakan bahwa upaya mewujudkan kepuasan pasien sepenuhnya bukanlah hal yang mudah. Kepuasan pasien sepenuhnya tidak mungkin tercapai, sekalipun hanya untuk sementara waktu. Namun upaya perbaikan atau penyempurnaan kepuasan dapat dilakukan dengan berbagai strategi.

Tjiptono (2011), menyebutkan bahwa ada beberapa strategi yang dapat dipadukan untuk meraih dan meningkatkan kepuasan pasien, diantaranya : a. Strategi relationship marketing

Dalam strategi ini perusahaan (puskesmas) menjalin suatu kemitraan dengan pasien secara terus menerus yang pada akhirnya akan menimbulkan kesetiaan pasien sehingga terjadi bisnis ulang. Agar

relationship marketing dapat diimplementasikan perlu dibentuk database

pasien, yaitu daftar nama pasien untuk terus membina hubungan yang baik dalam jangka panjang. Dengan tersedianya informasi mengenai nama pasien, frekuensi kunjungan, puskesmas diharapkan dapat memuaskan pelanggannya yang pada gilirannya dapat menumbuhkan loyalitas pasien.

(18)

Pasien yang loyal belum tentu puas, tetapi sebaliknya pasien yang puas cenderung untuk menjadi pasien yang loyal.

b. Strategi unconditional guarantees

Strategi ini memberikan garansi atau jaminan istimewa secara mutlak yang dirancang untuk meringankan resiko atau kerugian di pihak pelanggan. Garansi tersebut menjanjikan kualitas prima dan kepuasan pasien yang optimal sehingga dapat menciptakan loyalitas pasien yang tinggi.

c. Strategi superior customer service

Ini adalah strategi menawarkan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh pesaing. Untuk mewujudkannya diperlukan dana yang besar, kemampuan sumber daya manusia, dan usaha yang gigih diperlukan agar perusahaan dapat menciptakan standart pelayanan yang lebih tinggi pada jasa yang ditawarkan.

d. Strategi penanganan keluhan yang efektif

Penanganan keluhan yang baik berpeluang mengubah seorang pelanggan yang tidak puas menjadi pelanggan yang puas. Ini adalah strategi menangani keluhan pelanggan dengan cepat dan tepat, dimana perusahaan harus menunjukkan perhatian, keprihatinan, dan penyesalannya atas kekecewaan pelanggan agar pelanggan tersebut dapat kembali menggunakan produk/jasa perusahaan tersebut. Proses penanganan keluhan pelanggan yang efektif dimulai dari identifikasi dan penentuan sumber masalah menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengeluh.

e. Strategi peningkatan kinerja pelayanan

Puskesmas menerapkan strategi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan secara berkesinambungan, memberikan pendidikan dan

(19)

kemampuan memuaskan pelanggan ke dalam sistem penilaian prestasi kerja karyawan (Rangkuti, 2013).

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan

Syafrudin(2011) menyatakan bahwa kepuasan pasien dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain yang bersangkutan dengan :

a. Pendekatan dan prilaku petugas, perasaan pasien, terutama saat pertama kali datang

b. Mutu informasi yang diterima, seperti apa yang dikerjakan, apa yang dapat diharap

c. Prosedur perjanjian d. Waktu tunggu

e. Fasilitas umum yang tersedia

f. Fasilitas perhotelan untuk pasien, seperti mutu makanan, privacy, dan pengaturan kunjungan

g. Outcome terapi dan perawatan yang diterima

Pohan (2007) menyatakan bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan pasien antara lain, yaitu :

a. Kesembuhan b. Kebersihan

c. Informasi yang lengkap tentang penyakit

d. Memberi jawaban yang dimengerti, memberi kesempatan untuk bertanya e. Ketersediaan obat

f. Privasi atau keleluasaan pribadi dalam kamar periksa g. Waktu tunggu

h. Kesinambungan layanan oleh petugas yang sama i. Tersedianya toilet dan tempat duduk di ruang tunggu j. Biaya layanan kesehatan

(20)

Lupiyoadi yang dikutip oleh Rangkuti (2013), menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat kepuasan, terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Kualitas pelayanan

Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan.

b. Emosional

Pasien akan merasa bangga dan mendapat keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadapnya bila keamanannya dijamin oleh asuransi yang mempunyai tingkat kepuasan lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial yang membuat pasien menjadi puas terhadap asuransi.

c. Harga

Harga merupakan aspek penting. Produk yang mempunyai kualitas sama tetapi menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggannya.

d. Biaya

Pelanggan dalam hal ini pasien tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa, cenderung puas terhadap produk/jasa itu.

e. Waktu tunggu

Lamanya waktu tunggu pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya akan berpengaruh terhadap kepuasan pasien. Petugas yang terlalu lama/kurang cepat dalam memberikan pelayanan baik pelayanan karcis maupun pelayanan medis dan obat-obatan akan membuat

(21)

C. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep ini berdasarkan tujuan penelitian untuk memperlihatkan hubungan lama waktu tunggu pelayanan dengan kepuasan pasien rawat jalan di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014.

Skema 2.1.

Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independent Variabel Dependent

D. Hipotesis

Adanya hubungan lama waktu tunggu pelayanan dengan kepuasan pasien rawat jalan di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014.

Kepuasan pasien rawat jalan Lama waktu tunggu pelayanan

Referensi

Dokumen terkait

Sistem ekskresi manusia adalah materi pokok Biologi di SMA/MA kelas XI yang dikembangkan media pembelajarannya berupa media berbasis android dengan aplikasi

Mencermati beberapa pengaturan organisasi sayap oleh partai politik seperti partai Golkar, Partai PKS, dan partai NasDem dalam anggaran dasarnya dapat ditarik

Having good knowledge in Personal Computer troubleshoot and Technical Support Capable with various programming languange such as C#, C++, Vb.net, ASP.net, Java

Informasi yang lebih rinci untuk masing-masing fungsi tersedia pada bab lain dalam panduan ini, atau di layar HP Image Zone Help [Bantuan HP Image Zone] yang menyertai perangkat

• Pembayaran terkait operasional kantor (antara lain: honor terkait operasional kantor, bahan makanan, penambah daya tahan tubuh (hanya diberikan kepada pegawai yang bekerja di

Abstrak Pada kasus-kasus aktual di lapangan, penelitian mengenai kondisi air tanah adalah sulit untuk dilakukan, sehingga untuk mempelajari lebih lanjut mengenai tinggi muka air

KPU Provinsi/KIP Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota/KIP Kabupaten/Kota yang sedang melaksanakan proses pengadaan yang bersangkutan dengan pemutakhiran data pemilih dan

Seperti yang dikutip dari Kotler and Lee, Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab perusahaan adalah komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat