• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN MAHKAMAH SYARâ IYAH SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA Rabu, 10 April :53

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN MAHKAMAH SYARâ IYAH SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA Rabu, 10 April :53"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

 

KEDUDUKAN MAHKAMAH SYAR’IYAH

SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA

ABSTRACT

Delfina Gusman, SH, MH[1]

Syar'iyah is a judicial institution established to implement Islamic law in Aceh as part of a national judicial system. Syar'iyah basically a religious court in another province in Indonesia, but with broader authority, ie the field ahwal al-syakhshiyah (family law), muamalah (civil law) and jinayah (criminal law) based on syiar 'on Islam . Syar'iyah as one of Indonesia's judicial bodies have confusion in terms of positioning and applicable law in particular, where there is a dualism of authority by the two courts, religious courts and general courts and legal dualism.

Keyword : Syar’iyah Court, , Judicial Authority

A. PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik.[2] Wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia tersusun atas provinsi-provinsi. Dimana provinsi tersebut dibagi lagi ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang dinamakan Kabupaten dan Kota. Selain itu juga terdapat daerah bersifat otonom dan ada pula daerah yang bersifat administratif belaka.

[3]

(2)

Dianutnya bentuk negara kesatuan dimaksudkan agar lebih menjamin adanya persatuan yang kokoh diantara para warga negara sampai ke seluruh pelosok wilayah Indonesia. Negara kesatuan Indonesia dikelola dengan sistem desentralisasi dengan menerapkan asas otonomi dan tugas pembantuan.[4]

Otonomi berarti “pemerintahan sendiri, (Auto=sendiri, nomes=pemerintahan), secara dogmatis pemerintahan disini dipakai dalam arti yang luas, sehingga otonomi mencakup :

[5]

a.       Membentuk perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving)

b.      Melaksanakan sendiri (zelffuitvoering)

c.       Melakukan peradilan sendiri (zelfrechtspraak)

 

Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan tiga hal, yaitu : pertama, harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.

[6]

Dalam konteks negara kesatuan, otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah tidaklah bersifat asli, melainkan pemberian dari pemerintah pusat, dengan kata lain status daerah otonom bersifat  dipinjamkan dan dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat jika pemerintah pusat berkehendak dan bersepakat untuk menarik kembali status daerah otonom yang dimiliki oleh pemerintah daerah.

[7]

Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang. Pada dasarnya, semua daerah

(3)

harus mendapatkan hak dan kewajiban yang sama untuk seluruh Indonesia. Hanya saja untuk daerah-daerah tertentu yang mempunyai latar belakang historis, politik dan ekonomi yang berbeda, dapat diterapkan kebijakan yang bersifat khusus, yang dapat menjamin persatuan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[8]

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakatnya yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi yang bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at islam yang melahirkan budaya islam yang kuat. [9]Kehidupan demikian, menghendaki adanya implementasi formal penegakan syari’at islam.

Setelah lahirnya Undang-Undang otonomi khusus di Nanggroe Aceh Darussalam untuk mengatur pelaksanaan syar’iat islam dibentuk Peradilan Syar’iat Islam. Peradilan Syar’iat Islam ini dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah.[10] Pembentukan

Mahkamah Syar’iyah menimbulkan  berbagai pendapat yang pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama aspek hukumnya. Ada beberapa pertanyaan yang muncul mengenai kedudukan Mahkamah Syar’iyah dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia dan  posisi Peradilan Agama di Nanggroe Aceh Darussalam.

Pertanyaan tersebut muncul, karena beberapa analisa dari peraturan perundangan yang mengatur kekuasaan kehakiman di Indonesia. Misalnya : pembentukan Mahkamah

Syar’iyah dilakukan melalui sebuah Keputusan Presiden dan diatur melalui sebuah qanun, sedangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa badan peradilan khusus harus dibentuk berdasarkan undang-undang.[11]

Selain itu, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 menyatakan bahwa Pengadilan Agama yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berganti nama

menjadi Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darusalam pada dasarnya merupakan Pengadilan Agama yang umum berlaku di Indonesia tetapi

ditambah dengan kewenangan lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar islam yang ditetapkan dalam qanun.[12] Jika dinyatakan demikian, maka kedudukan Mahkamah Syar’iyah sama dengan badan peradilan lainnya seperti Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

(4)

4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk di dalam salah satu lingkungan peradilan, sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum jika menyangkut pengadilan umum, dan merupakan pengkhususan dari Peradilan Agama jika menyangkut kewenangan pengadilan agama.

Padahal sebelumnya telah dinyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan, dengan kata lain terjadi dualisme peradilan.

Kerancuan-kerancuan terhadap kedudukan Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga peradilan di Indonesia tersebut yang melatar belakangi penulis untuk membahas lebih lanjut mengenai: Kedudukan Mahkamah Syar’iyah Sebagai Salah Satu Badan Peradilan Di

Indonesia.

B. PEMBAHASAN

1. Pengaturan Mahkamah Syar’iyah

Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam dulunya diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh. Sewaktu penjajahan Jepang, pengadilan bentukan Belanda dihapuskan dan diganti dengan Pengadilan Negeri. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, karena pada saat itu di Aceh pengaruh islam sangat kuat. Pada tanggal 1 Agustus 1946 atas tuntutan masyarakatnya dibentuklah Mahkamah Syar’iyah.

Pada tanggal 14 Januari 1951 berlakulah Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang didalam Pasal 1 membatalkan semua pengadilan yang ada terkecuali pengadilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan bagian tersendiri dari peradilan Swapraja yang selanjutnya pengadilan agama itu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sehingga pada akhirnya dibentuk Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Tetapi, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Syar’iyah dimasukkan sebagai bagian dari Peradilan Agama.

(5)

Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam kembali muncul di dalam

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Dimana dinyatakan bahwa Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

Mahkamah Syar’iyah ini muncul akibat pelaksanaan syari’at islam sebagai bentuk pelaksanaan kekhususan di bidang Agama. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 telah dicabut dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga Mahkamah Syar’iyah pada saat ini diatur pada Bab XVIII  dari Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006. Selain itu juga terdapat Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 yang mengatur tentang Mahkamah Syar’iyah dan

Mahkamah Syar’iyah, yang mana Keputusan Presiden inilah yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam. Didalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa Pengadilan Agama yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah.[13]

2. Kedudukan Mahkamah Syar’iyah dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia

Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan dari pengadilan agama. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan syari’at Islam dilaksanakan oleh Mahkamah

Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang ahwal-syakhshiyah, mua’malah dan jinayah. Mahkamah Syar’iyah Provinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat banding. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan syar’iat islam berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.

[14]

Selain bidang yudisial, Mahkamah Syar’iyah juga berwenang didalam bidang non yudisial meliputi pengawasan jalannya Mahkamah Syar’iyah, hisab dan rukyat, menyaksikan pengangkatan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta memberikan nasehat dan pertimbangan hukum bagi lembaga pemerintahan jika diminta.

(6)

Pada Mahkamah Syar’iyah dilakukan asas personalitas keislaman, sebagai berikut :[15]

a.       Pihak-pihak yang berperkara/bersengketa sama-sama memeluk agama islam

b.      Perkara hukum yang dipersengketakan dan/atau didakwakan perkara-perkara didalam bidang hukum ahwal-al syakhshiah, muamalah dan jinayah.

 

3. Dualisme Hukum Pada Mahkamah Syar’iyah

Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan bagi orang islam yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu kewenangan Mahkamah

Syar’iyah adalah memeriksa dan memutus perkara jinayah (pidana). Sedangkan bagi non islam di Aceh yang melakukan tindak pidana maka akan diadili di Pengadilan Negeri dan berlaku ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penempatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penerapan Syar’iat islam sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan tentu akan mempertajam dualisme hukum pidana yang dapat mengarah kepada kaburnya asas kepastian hukum, asas keadilan hukum (equality before the law).[16]

Agar tidak terjebak dalam dualisme hukum tersebut, maka ada beberapa hal antisipasi, diantaranya:[17]

a.       Penegasan hal-hal yang masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat

Hal-hal yang masih menjadi kewenangan pusat sebagaimana yang terdapat dalam UU Pemerintahan Daerah, seperti bidang pertahanan negara. Pemerintah Daerah Aceh tidak boleh melahirkan Qanun, apalagi Qanun yang sifatnya berbeda dengan kebijakan pemerintah

(7)

pusat.

b.      Qanun dapat mengeyampingkan peraturan yang berlaku umum

Qanun yang lahir sebagai peraturan lokal yang bersifat khusus untuk masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam memiliki perbedaan dengan ketentuan yang berlaku umum di Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tempat istimewa untuk diberlakukan bagi umat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Hal ini sejalan dengan Penjelasan Umum UU No 18 Tahun 2001, yang dinyatakan : “

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain

dengan mengikuti asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Meskipun ada adagium Lex Superiore Derogat Lex Inferiore

yaitu peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi. Untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam membuat Qanun, maka Mahkamah Agung berwenang menguji Qanun.

 

c.       Hukum Islam hanya diberlakukan bagi masyarakat islam

Apabila memperhatikan substansinya, Qanun yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam ada dua macam yaitu Qanun syar’iat dan Qanun non syar’iat. Khusus menyangkut Qanun syar’iat hanya diberlakukan bagi umat islam saja sedang untuk Qanun  non syar’iat akan  berlaku secara umum untuk masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam secara

keseluruhan.

d.      Pemberlakuan asas territorial

(8)

Asas territorial juga dijadikan pedoman dalam pemberlakuan Qanun, hanya tindak pidana yang dilakukan di Nanggroe Aceh Darussalam sajalah yang diberlakukan Qanun. Dengan kata lain, meskipun pelaku atau orangnya bukan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, asalkan tempat tindak pidana dilakukan di daerah tersebut, maka tidak menjadi persoalan lagi, Mahkamah Syar’iyah berwenang mengadilinya.

C. PENUTUP

Pemberlakuan Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam memberikan peluang bagi penyelenggaraan syar’iat islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk menegakan syar’iat islam maka diperlukanlah sebuah Peradilan Syar’iat, maka dibentuklah Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah pada hakikatnya merupakan Pengadilan Agama yang ada pada provinsi lainnya di Indonesia, tetapi dengan kewenangan yang lebih luas. Keberadaan Mahkamah Syar’iyah yang hanya dengan Keputusan Presiden juga dapat menjadi polemik nantinya, karena badan peradilan lain diatur berdasarkan

undang-undang serta adanya dualisme hukum. Maka untuk menjaga eksistensinya sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia diharapkan para pembentuk hukum segera

merealisasikan pembentukan undang-undang Mahkamah Syar’iyah, meskipun hal kewenangannya diatur dalam Qanun.

DAFTAR PUSTAKA

(9)

A. Buku

Amrah Muslimin, 1982, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni Bandung

Bambang Waluyo, 2002, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika

Cik Hasan Bisri, 2000, Peradilan Agama Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Jimly Asshidiqqie, 2007, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, J akarta: PT. Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia

Moh. Fauzi, 2008, Formalisasi Syar’iat Islam Di Indonesia, Semarang : Walisongo Pers

Wantjiek Saleh, 1977, Kehakiman dan Peradilan, Jakarta: Ghalia Indonesia

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(10)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syar’iat Islam

(11)

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Email : vivin_nissa@yahoo.co.id

[2] Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[3] Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT.Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Hal.287

[4] Lihat Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[5] Amrah Muslimin, 1982, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni Bandung, Hal.6

[6] Ibid

[7] Ibid, Hal.8

[8] Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok…Op cit. Hal.290

[9] Lihat Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

(12)

[10] Lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lembaran Negara Tahun 2001, Nomor 114

[11] Pasal 13 UU No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Badan-badan Peradilan Khusus disamping Badan-badan peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan undang-undang.

[12] Lihat Pasal 3 ayat (1) Keppres RI No.11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

[13] Lihat Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003

[14] Lihat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syar’iat Islam

[15] Ibid

[16] http://makmum-anshory.blogspot.com, Pagar, “Dualisme Hukum Pidana di Nanggroe

Aceh Darussalam”makalah dibawakan dalam A

nnual Conference

Kajian Islam, diakses tanggal 12 November 2009

[17] Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Diluar Proses Pembelajaran Banyak metode yang dapat dilakukan sebagai upaya pembentukan Budi Pekerti siswa, tidak hanya melalui materi dalam kelas saja, tetapi perlu adanya

Belum layak Pasien autoimun tidak dianjurkan untuk diberikan vaksinasi Covid sampai hasil penelitian yang lebih jelas telah dipublikasi... HIV Layak (dengan

Metode ini digunakan untuk memurnikan senyawa organik yang volatile, tidak bercampur dengan air, mempunyai tekanan uap yang tinggi pada 100⁰ C dan

Dosen Program Magister Ilmu Administrasi Negara Fisip Unmul Samarinda.. mutasi, promosi, pengawasan, Kondisi lingkungan, kerjasama, hubungan antar pegawai, dan ruang

Menurut Lupiyoadi dalam Hadiyati (2009), kualitas pelayanan adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya

Yaitu pada design circuit untuk dapat diterapkan, simulasi akan dijalankan sesuai program arduino yang diinginkan, dan setelah mendapatkan hasil yang baik dengan

dari garfik dapat dilihat bahwa kemampuan perusahaan dalam membayar bunga mengalami fluktuasi, yakni pada tahun 2009 kemampuan laba operasi dalam membayar beban bunga

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2009 bab 1 pasal 1 bagian ketentuan umum menjelaskan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan