• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontinuitas dan Perkembangan Tari Klasik Gaya Yogyakarta sebagai Legitimasi Warisan Budaya Bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kontinuitas dan Perkembangan Tari Klasik Gaya Yogyakarta sebagai Legitimasi Warisan Budaya Bangsa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Kontinuitas dan Perkembangan Tari Klasik Gaya Yogyakarta

sebagai Legitimasi Warisan Budaya Bangsa

Y. SUMANDIYO HADI

Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Indonesia E-mail : sumandiyohadi@yahoo.com

Tari klasik gaya Yogyakarta ini telah memiliki akar sejarah yang cukup kuat karena mendapat dukungan dari kelembagaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kelembagaan keraton Yogyakarta yang berdiri setelah peristiwa perjanjian Gianti tahun 1755, dianggap sebagai salah satu pusat seni budaya klasik yang sah, di samping kelembagaan istana yang lain di wilayah nusantara. Tari klasik tradisional gaya Yogyakarta yang hidup dan berkembang sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I sampai Sultan Hamengku Buwono X yang bertahta sekarang ini, merupakan kesenian yang memiliki patokan atau aturan-aturan baku yang berlaku ketat. Tari Klasik gaya Yogyakarta yang semula hanya sebagai legitimasi warisan budaya keraton Yogyakarta, sekarang ini telah berkembang dan diakui menjadi kekayaan warisan budaya bangsa yang perlu dilestarikan, dan dikembangkan. Beberapa jenis koreografi tari klasik gaya Yogyakarta itu telah mengalami pembinaan maupun perkembangan sesuai dengan era pemerintahannya. Secara garis besar seni pertunjukan itu dapat dibedakan sesuai dengan konteks fungsinya (function substantial context) yaitu berfungsi sebagai sarana yang berhubungan dengan kepercayaan adat yang disakralkan, dan berfungsi sebagai tontonan atau entertainment yang bersifat sekuler. Namun dalam perkembangannya beberapa koreografi yang semula bersifat sakral, bisa pula difungsikan sebagai tontonan atau hiburan.

The Continuity and Development of the Yogyakarta Style Classical Dance

as the Legitimacy of the National Cultural Heritage

The classical dance of Yogyakarta style has been historically rooted as it has been supported by the Ngayogyakarta Hadiningrat Palace ‘Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat’. The palace was established after the Gianti Agreement was declared in 1755. It has been considered the center of the legitimate classical cultural art. The other palaces all over the archipelago have been too. The Yogyakarta style traditional classical dance, which has been in existence and developing from the government of Sultan Humengku Buwono I to the government of the current Sultan Hamengku Buwono X is the dance with strict rules. It used only to be the legitimacy of the cultural heritage of the Yogyakarta palace, but now it has been recognized as the wealth of the national cultural heritage which needs to be maintained and developed. Several choreographies of the Yogyakarta style classical dance has been fostered and developed in accordance with the era of his government. Basically, the performing art can be classified depending on its functional context; it can function as a means associated with the sacred traditional belief as well as a secular entertainment. However, development has changed several sacred choreographies into ones used as entertainments.

(2)

Yogyakarta sebagai salah satu kota budaya, memiliki formalisme plural kesenian antara lain seni pertunjukan tari klasik gaya Yogyakarta, yang hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat pendukungnya. Tari klasik gaya Yogyakarta sebagai warisan budaya bangsa, memiliki akar sejarah yang cukup kuat karena mendapat dukungan dari kelembagaan keraton Yogyakarta Keraton

Ngayogyakarta di wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta. Kelembagaan Kasultanan Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat yang berdiri setelah

peristiwa perjanjian Gianti tahun 1755, dianggap sebagai salah satu pusat seni budaya klasik yang sah, di samping kelembagaan Kasunanan Keraton

Surakarta Hadiningrat. Peristiwa sejarah dari

perjanjian Gianti yang dilaksanakan tanggal 13 Pebruari 1755 di Desa Gianti wilayah bagian tenggara Surakarta itu, di samping sarat dengan perjanjian politik, tetapi secara tidak langsung juga mengandung “perjajian budaya”, dengan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan antara Sunan Paku Buwono III dengan pamannya yaitu Pangeran Mangkubumi, atau Sultan Hamengku Buwono I. Kesepakatan itu antara lain Sultan Hamengku Buwono I tetap melestarikan warisan tradisi budaya Mataram atau “Gaya Mataraman”, sementara Sunan Pakubuwono III berusaha mengembangkannya (Soedarsono, 2012: 1-12). Oleh karena itu muncul semacam “persaingan budaya”, yang ditengarai antara tari klasik gaya Yogyakarta dan tari klasik gaya Surakarta. Walaupun sama-sama mewarisi budaya Mataram, tetapi dalam perkembangannya keduanya memiliki ciri-ciri yang berbeda. Tari klasik gaya Yogyakarta lebih berciri “klasik”, sementara tari klasik gaya Surakarta lebih mengarah ke ciri “klasiko-romantik”.

“Klasik” maupun “klasiko-romantik” meminjam istilah perkembangan budaya Barat terutama sejarah Eropa. Gaya klasik dengan ciri-ciri lebih tegas, lurus-lurus, kokoh bersifat sederhana tidak banyak ornamen yang bersifat maskulin; sementara klasiko-romantik lebih banyak ornamen, lengkung-lengkung atau relung-relung indah dan rumit, sehingga agak bersifat feminin (Soedarsono, 2012: 6).

Semenjak itu tari klasik gaya Yogyakarta yang berkembang di dalam tembok istana, merupakan kesenian yang memiliki patokan atau aturan-aturan baku yang berlaku ketat. Tari klasik gaya

Yogyakarta mempertegas pembakuannya sebagai tarian adi luhung dengan munculnya falsafah atau ilmu yang disebut Kawruh Joged Mataram yang konon diciptakan sendiri oleh Sultan Hamengku Buwono I (Suryobrongto, 1981: 88-93). Joged Mataram itu terdiri dari empat unsur pokok yang disebut sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh. Istilah sawiji ialah konsentrasi total, namun tidak sampai menimbulkan ketegangan jiwa maupun lupa diri sebagai penari; greged diartikan sebagai dinamika atau semangat seolah api yang membara di dalam jiwa seorang penari yang harus dikekang untuk disalurkan kearah yang wajar agar tidak menimbulkan tindakan-tindakan yang kasar;

sengguh ialah percaya pada diri sendiri atau self-confident, tetapi jangan sampai mengarah ke

kesombongan; ora mingkuh berarti pantang mundur atau pantang menyerah, yaitu seorang penari harus mempunyai keberanian dalam menghadapi apa saja ketika sedang pentas.

Kontinyuitas dan perkembangan tari klasik gaya Yogyakarta yang telah ada sejak pertengahan abad XVIII hingga sekarang, telah diakui sebagai salah satu kekayaan dan dilegitimasikan sebagai warisan budaya bangsa. Penegasan yang pernah dikemuka-kan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa kebudayaan nasional atau bangsa terbentuk antara lain melalui “puncak-puncak kebudayaan daerah”, senantiasa terus dilestarikan, dan ditumbuhkembangkan sebagai identitas budaya lokal. Sehubungan dengan itu maka tidak dapat dipungkuri bahwa salah satu puncak-puncak kebudayaan itu antara lain seni pertunjukan tari tradisi klasik gaya Yogyakarta, yang sampai sekarang masih terus berkembang baik di dalam istana sendiri maupun di luar tembok istana atau lingkungan masyarakat penyangganya. Sebagai legitimasi warisan budaya bangsa, tradisi seni pertunjukan itu tidaklah stagnan atau mengalami kemandegan. Tradisi yang diwariskan dari generasi masa lalu ke generasi berikutnya itu, tidaklah dianggap sebagai sesuatu tonggak sejarah yang terpancang, dan tidak pernah beranjak, atau tidak diterima begitu saja, tetapi terus-menerus mengalami perjalanan secara berkelanjutan dan membuka ruang historis adanya revitalisasi. Revitalisasi tari klasik gaya Yogyakarta itu telah dilakukan oleh kelembagaan Keraton Yogyakarta sendiri maupun lingkungan masyarakat luas melalui berbagai cara dalam proses “pelestarian –

(3)

pengembangan - pembinaan”. Proses ini menjadi satu kesatuan yang dapat dipahami sebagai proses revitalisasi, yaitu suatu cara memperbaiki vitalitas atau memberi “kedidupan baru” terhadap seni tradisi itu.

KONTINYUITAS DAN PERKEMBANGANNYA TARI KLASIK GAYA YOGYAKARTA

Tari klasik gaya Yogyakarta sebagai legitimasi warisan budaya khususnya yang berkembang di lingkungan istana Yogyakarta, secara kontinyuitas telah berlangsung semenjak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I sampai Sultan Hamengku Buwono X sekarang ini. Selama kurun waktu dua setengah abad itu, keberlanjutan atau kontinyuitas dan perkembangannya, telah mengalami beberapa masa atau proses, seperti masa atau zaman ”pertumbuhan-pembentukan”, masa ”kesuraman”, masa ”per-kembangan-pemulihan”, masa ”perkembangan-mobilitas”, masa ”perkembangan-progres”, dan masa ”perkembangan-pembaharuan”.

Masa Pertumbuhan-Pembentukan

Masa atau proses pertumbuhan-pembentukan pelembagaan tari klasik gaya Yogyakarta, terjadi ketika era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Proses pertumbuhan-pembentukan, (1756 – 1792), pelembagaan tari klasik gaya Yogyakarta sedang tumbuh dan mulai dibentuk untuk disebut sebagai seni tari klasik gaya Yogyakarta. Bersama lahirnya kasultanan Yogyakarta itu, Sultan Hamengku Buwono I dianggap sebagai seniman besar yang sangat mencintai bentuk pertunjukan tari. Tari klasik gaya Yogyakarta yang ditumbuhkan, dibentuk atau dicipta oleh Sultan sendiri, sesuai dengan akarnya yaitu gaya Mataraman. Pelembagaan tari klasik gaya Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I tahun 1756, ketika itu masih dilatarbelakangi suasana pergolakan politik. Perjuangan Sultan (Pangeran Mangkubumi) melawan penjajah, nampaknya memberi inspirasi terhadap nilai penciptaan seni tari tersebut. Seperti misalnya penciptaan bentuk Wayang Wong, dan

Beksan Trunajaya atau Beksan Lawung Gagah,

di samping tujuan simbolis melegitimasikan dan mengkeramatkan kedudukan seorang raja, nampaknya dapat dipahami juga bahwa sifat-sifat jenis pertunjukan itu dapat menampung inspirasi

untuk membangkitkan semangat kepahlawanan para prajurit Mataram melawan penjajahan Belanda. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa latar belakang keberadaan tari klasik gaya Yogyakarta pada periode pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, ditengarai sebagai fase pertumbuhan atau pembentukan, karena ketika itu bersamaan dengan pembentukan Kasultanan Yogyakarta, antara lain atas perjuangan Pangeran Mangkubumi sendiri. Pertumbuhan-pembentukan pelembagaan tari klasik gaya Yogyakarta, tidak saja dilatarbelakangi demi kepentingan estetis-simbolis, tetapi juga terkait dengan fenomena sosial yang terjadi pada zamannya. Kondisi semacam itu sebagai kekuatan proses kesenian. Seluruh imajinasi dan perasaan manusia tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sosial, dan akan mempengaruhi pengalaman kreatif seseorang. Dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono I yang dikenal sebagai seniman besar, telah membentuk atau menciptakan beberapa tarian, antara lain Wayang Wong, Beksan Trunajaya,

Bedhaya - Serimpi, yang masih terus dipentaskan

dan dikembangkan, ternyata memiliki sifat-sifat tertentu, serta mengandung makna, nilai yang sangat dalam.

Masa Kesuraman

Pelembagaan tari klasik gaya Yogyakarta yang baru saja tumbuh dan dibentuk pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, setelah Sultan mangkat dan kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Hamengku Buwono II, nampaknya pelembagaan tari di istana Yogyakarta menjadi lesu dan mengalami kesuraman. Dalam catatan sejarah dapat dipahami, misalnya keadaan atau kondisi ekonomi yang buruk dirasakan bagi istana Yogyakarta, karena insentif atau bantuan keuangan dari pihak Belanda, antara lain untuk membantu kegiatan pelembagaan tari, oleh Gubernur Daendels dibekukan atau dihapuskan (Ricklefs, 1981: 108). Di samping itu peperangan yang terjadi di daratan Eropa, pengaruhnya sampai menimpa kondisi istana-istana di Jawa. Ketika kompeni tertekan dan kemudian Gubernur Daendels pergi, tak lama kemudian Jawa di bawah kekuasaan Inggris. Di bawah kekuasaan Raffles yang berkuasa di Jawa tahun 1811-1816 pernah menduduki istana Yogyakarta, dan menemukan berbagaimacam

(4)

manuskrip berupa surat-surat pribadi Sultan Hamengku Buwono II dengan Sunan Paku Buwono IV dari Kasunanan Surakarta. Hubungan kedua raja itu nampaknya tidak dikehendaki oleh Raffles, karena dianggap bisa merugikan atau membahayakan peranan kekuasaan pemerintahan Inggris di Jawa. Oleh karena itu Raffles berusaha memecah-belah hubungan kedua raja dengan cara mendekati mengadakan hubungan rahasia dan menghasut putra mahkota yang ketika itu masih bernama Gusti Raden Mas Surojo untuk melawan dan menolak hubungan antara ayahandanya dengan Sunan Paku Buwono IV. Dengan adanya pergolakan atau konflik keluarga di lingkungan istana sendiri, justru dimanfaatkan oleh pihak pemerintah Inggris (Raffles) untuk menyerbu ke wilayah Yogyakarta, dan merampas barang-barang berharga milik istana, termasuk naskah atau manuskrip yang berhubungan dengan seni pertunjukan tari.

Penyerangan Inggris ke wilayah keraton Yogyakarta itu, puncaknya adalah pencopotan tahta kedudukan raja, dan Sultan Hamengku Buwono II diasingkan ke Penang (1812-1826), kemudian Raffles mengangkat Sultan Hamengku Buwono III. Walaupun secara resmi Sultan Hamengku Buwono III telah memegang tapuk kekuasaan di istana Yogyakarta, tetapi sesungguhnya dalam suasana tekanan dari pihak Inggris maupun pihak keluarga sendiri, sehingga akhirnya hanya bertahta kurang lebih 2 tahun, karena pada tahun 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat.

Kondisi istana Yogyakarta ketika itu sangat terpukul dengan keadaan sosial, politik, dan terutama ekonomi-keuangan istana, sehingga tidak mampu lagi memperhatikan bidang lain seperti kegiatan seni pertunjukan tari. Akibatnya segala macam kegiatan termasuk berbagai macam upacara adat yang berkaitan dengan pelembagaan seni tari menjadi terlantar atau mengalami kemunduran dan kesuraman. Kevakuman segala jenis kegiatan seni di istana Yogyakarta dengan wafatnya Sultan Hamengku Buwono III masih dirasakan, karena ketika itu Sultan Hamengku Buwono IV berusia 10 tahun; sampai akhirnya Raffles (Inggris) mundur tahun 1816, tetapi Jawa masih dikuasai kembali oleh pihak Belanda.

Masa Perkembangan-Pemulihan

Setelah Sultan Hamengku Buwono III wafat, digantikan oleh putera mahkota, dan kemudian bergelar Sultan Hamengku IV. Ketika naik tahta pada tahun 1814, Sultan baru berusia kurang lebih 10 tahun. Dalam masa pemerintahannya yang hanya berlangsung cukup singkat, ternyata dapat memberikan angin segar untuk memulihkan kembali kegiatan seni pertunjukan tari di lingkungan istana Yogyakarta. Oleh karena itu pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV dan nantinya dilanjutkan oleh Sultan Hamengku Buwono V, dapat ditengarai sebagai masa pemulihan kembali. Hal ini karena masa sebelum nya (pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III) kegiatan seni pertunjukan tari dianggap mengalami kemunduran, kemandegan, bahkan mengalami kesuraman bila dibandingkan dengan masa sebelumnya (pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I dan II), sehingga ketika mulai ada kegiatannya kembali, maka seni pertunjukan tari di istana Yogyakarta dianggap mengalami kehidupan kembali atau pemulihan.

Peristiwa yang dapat dicatat misalnya pada waktu upacara pernikahan Sultan Hamengku Buwono IV sendiri yang berlangsung pada tahun 1816, beberapa jenis pertunjukan telah diselenggarakan untuk memeriahkan upacara pernikahan itu. Pertunjukan itu antara lain Wayang Kulit, Wayang

Gedhog, Wayang Krucil, Wayang Jemblung atau

perut besar dengan cerita Menak, Wayang Topeng,

Wayang Jenggi atau jenis tarian Topeng Cina, Wayang Gambyong atau wayang golek dari kayu

yang ditampilkan pada akhir pertunjukan Wayang

Kulit, dan tidak ketinggalan pertunjukan tari yaitu Wayang Wong, serta masih terdapat lagi 7 jenis

pertunjukan tari lainnya, diselenggarakan di dalam istana Yogyakarta.

Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV yang masih cukup muda ini, ternyata tidak lama karena berlangsung sekitar 9 tahun, ia wafat ketika baru berumur kurang lebih 19 tahun. Diceritakan, Sultan nampaknya gemar mengembara atau besiyar dengan naik kuda di luar keraton, sampai pada peristiwa meninggalnya konon berada dalam pengembaraan, sehingga ia dijuluki sebagai Ngarsadalem atau

Sinuhun Seda Besiyar (Mandoyokusumo, 1980).

Sesuai dengan adat tradisi keraton, sebagai penggantinya adalah anak laki-laki paling tua yang berasal dari istri permaisuri atau garwa padmi.

(5)

Oleh karena itu di antara putranya yang berhak meneruskan tahta kerajaan adalah bernama Gusti Raden Mas Gathot Menol, yang ketika itu masih berusia kurang lebih 3 tahun. Ketika ia dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono V oleh pihak keluarga, suasana sosial-politik di dalam istana semakin tidak menentu karena campur tangan pihak kolonial berkenaan dengan kehadiran seorang Sultan yang usianya masih tergolong kanak-kanak. Dalam suasana seperti itu maka dari pihak keraton memutuskan untuk mengangkat beberapa keluarga bangsawan keraton, bertindak sebagai perwalian atau wakil keberadaan Sultan. Wakil Sultan HB. V antara lain: Pangeran Martosono atau Pangeran Murdaningrat (putra Sultan HB. II), Pangeran Mangkubumi (putra Sultan HB, II), Pangeran Sutowijoyo atau Pangeran Hadiwinata II (putra Sultan HB. II), Pangeran Dipanegara (putra Sultan HB. III). Nampaknya keputusan seperti itu kurang disetujui oleh pihak Belanda, sehingga dalam masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V, selalu terjadi konflik karena pihak kolonial selalu saja ikut campur urusan intern keraton. Dengan kondisi seperti itu, sehingga mendorong lahirnya reaksi konflik keluarga, atau semacam gerakan-gerakan pembrontakan di kalangan kaum bangsawan istana sendiri, antara lain pembrontakan atau perang Dipanegara (salah satu wakil Sultan HB. V) yang berlansung pada tahun 1825-1830 (Kartodirdjo, 1975: 155-171).

Semenjak Sultan dinobatkan pada tahun 1823, dan sekitar tahun 1825-1830 banyak terjadi konflik, maka pemerintahan dalam lingkungan istana Yogyakarta, tidak memungkinkan untuk memikirkan bidang-bidang budaya seperti seni pertunjukan tari yang berkaitan dengan upacara-upacara adat. Oleh karena itu dapat dicatat pada dekade awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V ini, relatif hampir tidak dapat ditemukan bukti-bukti adanya kegiatan seni pertunjukan di dalam keraton. Baru setelah peperangan atau berbagai konflik agak reda, yaitu pada medio akhir pemerintahan Sultan dan sekaligus keadaan Sultan semakin dewasa, istana Yogyakarta mulai memperhatikan kembali kegiatan-kegiatan budaya yang berhubungan dengan seni pertunjukan tari.

Pada masa-masa sesudah tahun 1830-an dapat dikatakan bahwa seni pertunjukan tari mengalami perkembangan yang cukup menarik, yaitu

perkembangan seni pertunjukan tari yang unik dan khas, yang ternyata tidak dijumpai pada masa-masa pemerintahan Sultan yang lain. Keunikan atau kekhasan itu banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan kolektif para kerabat bangsawan istana sebagai perwalian Sultan, yang ikut andil dan membantu menjalankan roda pemerintahan keraton (Soedarsono, 2000: 15).

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V yang dicirikan dengan pengembangan keunikan atau kreativitas seni ini, pernah menciptakan perpaduan atau lolaborasi dengan musik-musik diatonis jenis tiup atau musik-musik untuk ”parade militer” seperti terompet, trombon, suling dan sebagainya, serta jenis drum atau tambur ke dalam karawitan Jawa. Beberapa gendhing yang dipadukan dengan musik diatonis itu antara lain jenis-jenis

gendhing untuk kapang-kapang maju dan mundur

dalam koreografi tari Bedhaya atau Serimpi, yaitu komposisi ketika masuk atau maju ke ruang tari (pendhapa). Kemudian jenis gendhing yang cukup terkenal yaitu Roning Tawang dan Bima Kurdha untuk iringan tari atau Beksan Lawung Gagah atau

Beksan Trunajaya. Jenis aransemen gendhing-gendhing karawitan Jawa itu memperlihatkan

sifat-sifat megah, berwibawa, serta ritme maupun tempo bunyi yang keras dan meriah. Tarian atau

Beksan Trunajaya yang diciptakan pertama kali

pada zaman Sultan Hamengku Buwono I ini, sering dipentaskan dan sangat digemari oleh Sultan Hamengku Buwono V. Kecintaannya terhadap tarian ini, konon Sultan sangat mengagumi kepahlawanan

Pangeran Trunajaya ketika melawan penjajah pada

zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, dan dihubungkan pula latar belakang kepahlawanan Pangeran Dipanegara dalam pembrontakan melawan Belanda yang terjadi sekitar tahun 1825-1830. Keunikan lain dari pertumbuhan kembali maupun pengembangan seni pertunjukan tari pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V, adalah pembentukan beberapa pelembagaan tari di istana yang disebut golongan Ringgit Gupermen, Ringgit

Encik, dan Ringgit Cina (Suryobrongto, 1981:

101-102). Sistem pelembagaan itu menunjukkan bahwa pada era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V, ternyata sangat banyak jumlah abdi dalem penari. Istilah penggolongan itu semata-mata tidak diartikan secara harfiah, tetapi ketika itu hanya untuk membedakan golongan tingkatan yang didasarkan atas kemampuan para penari. Ringgit Gupermen

(6)

untuk pengelompokan para penari pada tingkatan paling atas, dan tergolong penari-penari utama.

Ringgit Encik diartikan bahwa encik adalah sebutan

bagi orang-orang Arab atau India, maka golongan atau pengelompokan penari ini termasuk tingkatan nomor dua. Sementara golongan tingkatan yang terakhir adalah Ringgit Cina, yaitu penyebutan orang Cina; kelompok atau golongan ini sebagai penari pemula.

Dalam era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V ini juga masih terdapat lagi keunikan-keunikan dalam pelembagaan tari, yaitu membentuk kelompok atau golongan penari Bedhaya yang biasanya ditarikan oleh jenis kelamin wanita, digantikan oleh sekelompok penari laki-laki yang disebut kelompok Bedhaya Kakung (kakung = laki-laki). Kelompok ini terdiri dari para abdi dalem laki-laki yang postur tubuhnya kecil-kecil, ramping, mirip postur wanita; di samping menari Bedhaya juga menarikan tokoh-tokoh pewayangan wanita dalam pertunjukan Wayang Wong yang ketika itu belum menampilkan para penari wanita. Peran putri yang dibawakan oleh laki-laki atau disebut ”alih peran” (transvestism) seperti itu, dengan tujuan untuk menjunjung dan lebih mengutamakan nilai sakral yang dikaitkan dengan kepentingan ritual. Artinya, kesakralan dan ritual yang menuntut kesucian lebih menempatkan laki-laki untuk kepentingan tersebut dibandingkan dengan perempuan. Tari Bedhaya yang masih sering dipentaskan dan selalu ditarikan oleh penari laki-laki (abdi dalem Bedhaya Kakung) ketika itu, adalah Bedhaya Semang ciptaan Sultan Hamengku Buwono I, yang dianggap sebagai tarian sakral di lingkungan keraton Yogyakarta.

Masa Perkembangan-Mobilitas

Era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877), dan selanjutnya digantikan oleh Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921), atau selama kurang lebih 66 tahun, kelembagaan seni tari di lingkungan istana Yogyakarta dapat disebut sebagai masa perkembangan-mobilitas. Pengertian ini dimaksudkan bahwa seni pertunjukan tari di dalam keraton mengalami kontinyuitas, dan bahkan ditandai sebagai tonggak penyebarluasan atau mobilitas. Walaupun di dalam istana suasana perkembangan pelembagaan tari tidak begitu menonjol, tetapi dapat dicatat bahwa pada era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI ini,

mulai merintis perkembangan pelembagaan tari ke luar tembok istana. Dugaan ini didasarkan atas usaha yang dilakukan oleh salah satu menantu Sultan yaitu Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Purwadiningrat yang mempunyai ide tarian dengan posisi berlutut dan dikenal sebagai tarian atau joged jengkeng yang dikembangkan di luar istana. Pada mulanya inspirasi penciptaan tarian ”berlutut” atau jengkeng, berasal dari seni membaca kitab babad dengan cara ditembangkan, yang dilakukan oleh 2 orang saling bersahut-sahutan. Kemudian dari seni membaca itu dibarengi dengan gerakan-gerakan tari dan diiringi dengan gendhing-gendhing karawitan Jawa. Ide itu konon dapat sempurna berkat putra Sultan Hamengku Buwono VI yang bernama Pangeran Mangkubumi. Selanjutnya melalui Pangeran Mangkubumi inilah dikenal sebagai pemrakarsa penyempurnaan jenis tarian jengkeng atau berlutut (Suryobrongto, 1976: 26). Jenis pelembagaan beberapa tarian dengan teknik atau jengkeng itu manjadi satu ciri khas transformasi perkembangan di luar tembok istana. Ciri khas itu menunjukkan bahwa, konon ketika itu ada semacam aturan atau petunjuk bahwa tarian yang akan dikembangkan atau disebarkan di luar tembok istana, tidak diperbolehkan menyamai dengan yang ada di dalam istana. Oleh karena itu, walaupun tema ceritanya, iringannya, maupun kostum tarinya masih sama dengan tarian yang berkembang di dalam istana, tetapi bentuk garapan tarinya harus berbeda, sehingga dengan teknik ”berlutut” yaitu selama tarian itu berlangsung semua penari sambil

jengkeng, sehingga disebut joged jengkeng.

Setelah Sultan Hamengku Buwono VI wafat pada tahun 1877, dan kemudian digantikan Sultan Hamengku Buwono VII, perkembangan mobilitas seni tari itu masih terus dilakukan. Namun seperti era sebelumnya, sesungguhnya perkembangan pada era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII ini, juga tidak banyak dicatat kegiatan pelembagaan seni pertunjukan tari di dalam istana karena akibat keadaan sosial-politik intern di lingkungan keluarga istana.

Tahun 1883 di keraton terjadi peristiwa pemberontakan atau pergolakan yang dipimpin oleh salah satu keluarga keraton yaitu Pangeran

Suryengalaga atau Suryaningalaga, sehingga

peristiwa itu dikenal sebagai ”Pergolakan Suryaningalaga”. Pangeran Suryaningalaga adalah

(7)

putera Sultan Hamengku Buwono V, dari satu-satunya istri permaisuri bernama Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sehingga ia berhak menggantikan tahta kerajaan. Tetapi ia baru lahir 12 hari setelah Sultan Hamengku Buwono V meninggal 5 Juni 1855, sementara Pangeran Suryaningalaga lahir 17 Juni 1855), maka untuk mengisi kekosongan tahta kerajaan, mengangkat salah satu adik Sultan HB. V bernama Gusti Raden Mas Mustojo sebagai Sultan Hamengku Buwono VI. Ketika pengangkatan Sultan Hamengku Buwono VI (5 Juli 1855), Pangeran Suryengalaga baru berusia kurang lebih 18 hari. Adanya peristiwa konflik keluarga dan keikutsertaan pihak ketiga yaitu Belanda, mengakibatkan suasana sosial-politik di lingkungan istana pada era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII semakin kacau. Dengan peristiwa seperti itu berdampak pada keberlanjutan dan perkembangan seni pertunjukan di dalam istana. Sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI sampai Sultan Hamengku Buwono VII, khususnya di dalam istana tidak banyak melakukan kegiatan seni pertunjukan, karena pemerintahannya terlalu diperas pemikirannya untuk urusan konflik keluarga. Walaupun dengan adanya peristiwa konflik seperti di atas, pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII ini justru terdapat peristiwa mobilitas atau perkembangan seni tari yang sangat menarik. Di antara beberapa putra Sultan yaitu Pangeran Tejokusumo dan Pangeran Suryodiningrat, merasa terpanggil karena kegiatan seni pertunjukan di istana tidak dapat berkembang, maka ada ide untuk membawa atau menyebarluaskan kegiatan seni pertunjukan keluar cepuri keraton. Ide pengembangan atau mobilitas seni pertunjukan saat itu, banyak mendapat dukungan keberadaan pendidikan Tamansiswa pimpinan Ki Hajar Dewantoro, dan perkumpulan pergerakan pemuda yang disebut Yong Java. Gagasan itu mendapat persetujuan dari Sultan Hamengku VII, maka tepat-nya pada tanggal 17 Agustus 1918, dua bangsawan keraton itu berhasil mendirikan kelembagaan atau organisasi seni pertunjukan khususnya seni tari yang diberi nama Krida Beksa Wirama. Kegiaatan organisasi itu berlangsung di ndalem Tejokusuman Yogyakarta, yaitu rumah bangsawan berbentuk

pendhapa joglo yang sehari-harinya sebagai tempat

tinggal Pangeran Tejokusumo.

Masa Perkembangan-Progres

Setelah Sultan Hamengku Buwono VII digantikan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII tahun 1921, nampaknya suasana sosial-politik yang berkaitan dengan konflik keluarga di lingkungan istana semakin reda. Oleh karena itu pada era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, volume kegiatan seni pertunjukan di dalam istana semakin banyak, dan mengalami perkembangan yang pesat. Khususnya seni pertunjukan Wayang Wong yang ketika itu dianggap sebagai salah satu pertunjukan yang sangat penting, hampir setiap tahun selama pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII ini selalu diselenggarakan upacara ritual. Perhatian Sultan terhadap pertunjukan Wayang Wong ini sangat besar, sehingga Sultan dianggap sebagai pelindung utama atau the golden patron (Soedarsono, 1984: 96-109).

Selama pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), tidak kurang dari 11 kali penyelenggaraan pertunjukan Wayang Wong dengan menampilkan cerita lengkap, megah dan besar. Beberapa pertunjukan itu dikatakan lengkap, megah dan besar, karena penyelenggaraan dengan menampilkan satu episode cerita tertentu sering berlangsung sampai 4 hari berturut-turut, dan setiap harinya kurang lebih 12 jam, dimulai dari matahari terbit sampai sore hari; serta didukung oleh penari yang jumlahnya antara 300 sampai 400 orang. Selama pertunjukan berlangsung, keraton terbuka bagi seluruh masyarakat atau kawula-dalem yang ingin melihat langsung pertunjukan itu. Konon pernah diperkirakan selama pertunjukan yang berlangsung 4 hari berturut-turut itu, tidak kurang dari 30.000 penonton bergantian keluar-masuk keraton melihat pertunjukan Wayang Wong.

Pertunjukan Wayang Wong pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII dianggap sebagai ritus kenegaraan yang difungsikan sebagai pusaka kerajaan (lihat Soedarsono, 1984). Di samping itu pertunjukan Wayang Wong juga dianggap sebagai ritual kesuburan, kemakmuran, keselamatan atau

fertility bagi seluruh kawula-dalem. Oleh karena

itu ketika Wayang Wong dipertunjukan, dipercaya dapat memberi tuah percikan kekuatan yang akan menyebabkan kemakmuran, keselamatan maupun kesuburan bagi mereka yang menyaksikan. Menurut catatan Suryobrongto (1981), ketika pertunjukan

(8)

Wayang Wong berfungsi sebagai upacara atau ritus sakral di dalam istana, seluruh pemain, penonton, maupun pendukung lainnya yang terdiri dari orang kecil seperti abdi-dalem, pejabat menengah seperti para guru sekolah, sampai pejabat tinggi pemerintah kolonial, para bupati dari luar Yogyakarta, dan para sarjana Barat datang ikut terlibat dalam pertunjukan itu. Para penonton khususnya masyarakat kecil atau para kawula-dalem biasanya duduk lesehan di halaman atau plataran jero keraton sekitar

Tratag Bangsal Kencana atau Tratag Wetan tempat

pertunjukan Wayang Wong. Sementara para pejabat pemerintah disediakan duduk kursi. Para tamu maupun penonton umum juga mendapat suguhan hidangan minum dan makan dari keraton secara bebas.

Pada zaman Sultan Hamengku Buwono VIII ini terjadi suatu peristiwa yang menarik, yaitu meniadakan kelompok atau pelembagaan tari yang disebut abdi dalem Bedhaya Kakung yang biasanya menarikan Bedhaya-Serimpi (sistem alih-peran atau transvestism), dan sudah ada sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V. Semenjak itu tari Bedhaya-Serimpi sebagai jenis tarian putri mulai diperankan atau ditarikan oleh wanita sendiri. Tetapi sistem alih-peran atau laki-laki memerankan karakter atau tokoh putri itu, masih berlaku dalam pertunjukan Wayang Wong. Pada era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII ini juga dikenal sebagai masa pencetusan ide-ide kreatif terhadap perubahan motif-motif kostum tari

Wayang Wong, terutama pada bagian hiasan kepala

atau head dress. Pada zaman sebelum pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, jenis hiasan kepala atau disebut irah-irahan untuk tokoh-tokoh dalam

Wayang Wong, hanya menggunakan tutup kepala

berupa dhesthar tepen yaitu ikat kepala dari kain batik, dan jenis songkok. Sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII jenis hiasan atau tutup kepala itu dikembangkan corak atau motifnya menyerupai bentuk-bentuk yang ada pada Wayang

Kulit, seperti irah-irahan motif gelung, tropong,

dan sebagainya. Ide-ide kreatif semacam itu, Sultan sendiri ikut campur tangan, dan tak ketinggalan pula seniman handal dari keraton Yogyakarta seperti

Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jayadipura

yang dikenal sebagai seniman serba bisa, antara lain ahli pengrajin perlengkapan dan kostum tari.

Masa Perkembangan-Pembaharuan

Pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX, kemudian diteruskan Sultan Hamengku Buwono X sampai sekarang, pelembagaan seni pertunjukan tari di dalam istana telah mengalami pembabakan baru, dan dapat dikatakan terus berkembang dengan pembaharuan-pembaharuannya. Adanya perkembangan-pembaharuan ini tidak lepas dari sikap Sultan Hamengku Buwono IX sendiri sebagai seorang berpikiran progresif, dan pernah mengenyam pendidikan Barat, sehingga membuatnya menjadi bersikap demokratis, terbuka terhadap hal-hal yang baru dan gagasan pembaharuan (Atmakusumah, 1982: 63-64). Pemikiran Sultan dengan perkembangan-pembaharuan mengenai pemerintahan keraton, khususnya yang berkaitan dengan seni-budaya selama pemerintahannya yang berlangsung 47 tahun, dapat dibuat menjadi 3 periode. Periode pertama berlangsung (1940-1950), periode kedua (1950-1973), dan periode ketiga (1973-1987).

Periode pertama tahun 1940-1950. Pada dekade pertama pemerintahannya, masih cukup dirasakan adanya tekanan-tekanan dari pihak Belanda akibat warisan perjanjian politik ayahandanya (Sultan Hamengku Buwono VIII) yang merugikan pihak istana. Walaupun Sultan sudah memperbaharui perjanjian politik demi perbaikan-perbaikan keraton, namun karena akal licik yang dibuat oleh Belanda, mereka masih selalu menekan kedudukan Sultan di bawah kekuasaan kolonial. Tekanan yang cukup berat itu semakin dirasakan oleh keraton, karena berkaitan juga dengan pecahnya Perang Dunia II, dan pendudukan tentara Jepang di Jawa.

Sepeninggal Sultan Hamengku Buwono VIII, keadaan ekonomi keraton semakin terpuruk, sehingga Sultan Hamengku Buwono IX harus menanggung akibatnya. Ketika itu Sultan harus mengambil kebijakan untuk mengatasi masalah di dalam pemerintahannya. Untuk memperbaiki keadaan ekonomi yang dipandang sebagai bidang utama, Sultan tidak segan-segan memerintahkan agar jenis upacara ritus yang terlalu kompleks dan mahal, perlu lebih disederhanakan. Bidang kesenian termasuk seni pertunjukan tari juga mendapat sorotan Sultan, misalnya seni pertunjukan tari yang biasa dikaitkan dengan upacara-upacara ritus atau adat keraton yang kadang terlalu mewah, misalnya

(9)

diselenggarakan 2 sampi 4 hari berturut-turut dengan menampilkan pendukung yang cukup banyak, tidak lagi diselenggarakan.

Adanya kebijaksanaan tersebut di atas nampaknya seni tradisional, dan tradisi adat istana lainnya, terpukul oleh perubahan kekuasaan dan patronnya akibat sosial-ekonomi. Namun semua itu tidak berarti menuju suatu anarkisme. Para bangsawan dan kawula-dalem tetap menjunjung tinggi perintah Sultan, karena sadar bahwa kebijaksanaan itu tidak semata-mata akan meniadakan budaya tradisi dengan merubah makna-makna atau nilai-nilai esensialnya. Semenjak itu upacara-upacara adat, ritus, hanya dihadiri oleh pejabat maupun anggota keluarga keraton; para tamu dari pihak kolonial atau Belanda tidak terlalu banyak diundang. Kebijaksanaan Sultan untuk mengembangkan seni pertunjukan tari terus dilakukan, perkembangan-pembaharuan kreativitas tari pernah dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono IX sendiri yang terkenal juga sebagai seorang seniman. Sultan menciptakan bentuk tari Beksan Golek Menak pada tahun 1941. Untuk melaksanakan karya yang cukup unik itu, Sultan dibantu oleh seniman-seniman keraton terkenal seperti Kanjeng Raden Tumenggung Purbaningrat, serta para abdi-dalem penari seperti Raden Bekel Kawindrosusanto, Raden Bekel Sastrodarsono (Lihat Kawontenanipun Serat-serat

ingkang sami konjuk ing Ngarsa Dalem salebetipun tahun 1941, keratin, Widyabudaya, MS. E. 42).

Cirikhas tari tradisi Beksan Menak gaya keraton Yogyakarta itu terus dikembangkan, bahkan pada tahun 1987, yaitu satu tahun sebelum Sultan Hamengku Buwono IX wafat, jenis tarian itu mendapat perhatian khusus Sultan. Pada 18 Mei 1987, dan 29 - 30 Desember 1987, Yayasan Guntur Madu yaitu sebuah yayasan masyarakat Yogyakarta yang berdomisili di Jakarta, mengadakan sebuah sarasehan tentang Beksan Menak, dengan mendatangkan kelompok-kelompok tari dan memamerkan kreasi Beksan Menak yang banyak dikembangkan. Sampai sekarang pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X ini jenis Pethilan

Beksan Menak juga menjadi kebanggaan keraton

Yogyakarta, antara lain salah satunya adalah

Pethilan Beksan Menak Adaninggar – Kelaswara.

Tarian itu sering dipentaskan terutama untuk

pertunjukan yang sifatnya hiburan bagi masyarakat, maupun untuk jamuan atau sajian pertunjukan bagi tamu-tamu yang berkunjung di keraton. Tarian itu biasanya dengan naik burung garuda yang menjadi cirikhas keraton. Kostum karakter tokoh garuda ini sangat ”unik” yang diciptakan sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII.

Periode kedua (1950-1973). Periode yang cukup lama ini didasarkan atas kevakuman kegiatan kesenian terutama seni pertunjukan tari yang ada di dalam istana, karena akibat konsentrasi pemikiran Sultan yang banyak disita dalam bidang pemerintahan negara. Tugas-tugas negara itu semakin menjauhkan fungsi tradisi raja berdasarkan adat yang ada. Namun demikian, walaupun banyak menjalankan tugas dalam kebinet pemerintahan, Sultan masih merasa mempunyai tanggung-jawab yang besar terhadap budaya tradisi istana.

Untuk kelestarian seni budaya keraton, sejak tahun 1950 atas ijin Sultan, kegiatan seni pertunjukan tari dipindahkan keluar tembok istana, bertempat di rumah atau Dalem Purwadiningratan, yaitu rumah salah seorang menantu Sultan Hamengku Buwono VIII bernama KRT Purwodiningrat. Organisasi atau lembaga yang mengelola kesenian khususnya seni tari itu bernama Bebadan Hamong Beksa. Kelembagaan itu langsung mendapat pengawasan dari keraton, yang bernaung di bawah Kawedanan

Hageng Punakawan (KHP) Kridhamardawa.

Usaha Sultan Hamengku Buwono IX memindahkan kegiatan seni pertunjukan di luar tembok istana itu cukup berarti bagi masyarakat, karena mendapat kesempatan untuk ikut latihan memperdalam atau Gambar 1. Beksan Menak Putri Dewi Adaninggar (kiri) – Dewi Kelaswara (kanan) Menaiki Burung Garuda. Pertunjukan di Pagelaran tahun 2010 (Sumber: Foto Y. Sumandio Hadi).

(10)

ngangsu kawruh masalah seni pertunjukan baik

tari maupun karawitan gaya keraton, tidak harus melalui kelembagaan keabdidaleman seperti di dalam lingkungan keraton.

Gejala perkembangan-perubahan dalam era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX ini dapat dipahami misalnya dalam penyelenggaraan pertunjukan tari untuk keperluan ritual adat keraton Yogyakarta, memiliki tujuan-tujuan yang bersifat ganda. Di satu pihak masih dalam kerangka tatanan adat ritual dengan berbagai macam aturan dan kontrol atau perintah raja, tetapi di lain pihak mulai cenderung adanya proses profesional penawaran atau pemasaran produk seni. Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa bentuk produk pertunjukan seni tidak terlalu bersifat ritus adat semata, tetapi mulai disesuaikan demi satu kebutuhan pemasaran. Kelembagaan seperti itu dalam posisi transisi sehingga produknya bersifat psedo-ritual (Soedarsono, 1989/1990: 57-81).

Pada periode kedua ini penyebarluasan atau pemasyarakatan kesenian keraton tidak terbatas di lingkungan Yogyakarta saja, tetapi mulai ke kawasan nusantara, bahkan ke mancanegara. Seperti contohnya Sultan mengirim misi-misi kesenian ke luar negeri antara lain ke negara-negara Eropa seperti Belanda, Belgia, Jerman Barat, Italia, dan Inggris, selama kurang lebih 2 bulan dari bulan April sampai Juni 1971, kemudian pada bulan Juli 1973 mengirim misi kesenian ke negara Jepang, dan selama sebulan di negara Sakura itu, lebih kurang mengadakan pertunjukan 22 kali pentas.

Periode ketiga tahun (1973-1988). Setelah dua puluh tiga tahun (1950-1973) atau periode kedua pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX ini, di dalam keraton hampir dikatakan tidak ada kegiatan pertunjukan tari, maka atas perintah atau restu Sultan, pada 1973 mulai menggiatkan kembali latihan atau gladhi tari di dalam istana Yogyakarta. Semenjak itu otomatis Bebadan Among Beksa yang mengelola seni pertunjukan di luar cepuri keraton yaitu di Dalem Purwodiningratan, kembali kepada naungannya yaitu Kawedanan Hageng Punakawan

Kridhamardawa di dalam keraton. Semenjak 1973

kegiatan seni pertunjukan di dalam keraton digiatkan kembali, dan ditangani langsung oleh Kawedanan

Hageng Punakawan Kridhamardawa. Usaha keraton

untuk melestarikan, maupun mengembangkan tari klasik di pusatkan kembali di dalam keraton, tidak berarti hanya terbatas bagi kalangan kerabat istana atau abdi dalem saja, tetapi masih tetap terbuka bagi masyarakat umum, seperti keadaan ketika masih berkegiatan di luar keraton.

Sejak 1973 sampai sekarang (pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X), kegiatan latihan atau gladhi tari secara rutin diselenggarakan oleh Kawedanan

Hageng Punakawan Kridhamardawa keraton setiap

hari Minggu sekitar pukul 10.00-13.00 bertempat di

Bangsal Kasatriyan. Di samping latihan, hampir

setiap tahun menyelenggarakan pelembagaan pentas tari berkaitan dengan adat ritual seperti peringatan Ulang Tahun Sultan atau Tingalan Dalem,Ulang Tahun Kenaikan Tahta atau Jumenengan Dalem, Ulang Tahun Berdirinya Keraton atau Adeging

Negari Dalem, yang biasanya diseleggarakan di

lingkungan Pagelaran Keraton Yogyakarta. Jenis-jenis pertunjukan itu antara lain Wayang Wong,

Bedaya, dan lain sebagainya.

Gambar 2. Pertunjukan Wayang Wong dengan Cerita Cipataning Mintaraga. Pertunjukan di Pagelaran Keraton Yogyakarta, tahun 2006 (Sumber: Foto Y. Sumandio Hadi).

Gambar 3. Pertunjukan Bedaya Sumreg. Pertunjukan di Pagelaran Keraton Yogyakarta tahun 2006 (Sumber: Foto Y. Sumandio Hadi).

(11)

Kegiatan pelembagaan pertunjukan tari tidak hanya untuk keperluan adat atau upacara ritual saja, tetapi sekitar tahun 1977, keraton mulai membuka hubungan promosi dengan pihak-pihak lembaga kepariwisataan, menyelenggarakan pentas tari yang bersifat entertainment untuk menyertai jamuan makan bagi para wisatawan, atau ketika pihak keraton (Sultan) menjamu tamu resmi yang berkunjung ke keraton. Penyelenggaraan pertunjukan seperti itu biasanya diselenggarakan di dalam keraton, yaitu di

Bangsal atau Pendhapa Sri Manganti. Pelembagaan

pertunjukan semacam ini kadang terjadi suatu sistem pemesanan maupun penawaran seni yang diproduksikan, sehingga produknya mengarah ke bentuk kemasan atau kitsch. Garapan tari yang disajikan disesuaikan untuk kepentingan undangan atau tamu wisatawan, biasanya menginginkan waktu yang singkat, dan bentuk yang padat, namun masih tetap terjaga norma maupun nilai-nilai tari klasik gaya Yogyakarta yang hidup di lingkungan istana.

Semenjak keraton secara rutin menyelenggarakan kegiatan seni pertunjukan seperti di atas, memberi suasana secara khusus keraton sebagai pusat kebudayaan atau kesenian, sehingga banyak menarik wisatawan, terutama wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke keraton Yogyakarta. Seperti yang dikatakan Pangeran Suryobrongto, kegiatan pelembagaan seni pertunjukan tari di keraton, di samping mengandung tujuan untuk melestarikan kekayaan budaya Jawa, sekaligus juga sebagai promosi untuk menarik para wisatawan.

Setelah Sultan Hamengku Buwono IX wafat atau

surud dalem tahun 1988, kemudian digantikan

putera tertua bernama Bandara Raden Mas Herjuno Darpito, dan kemudian naik tahta bergelar Sultan Hamengku Buwono X. Pada waktu naik tahta atau

Jumenengan Dalem, Sultan Hamengku Buwono

X sebagai penerus dinasti keraton Yogyakarta ini, pernah menyampaikan semacam komitmen momentum peneguhan tekad berjudul: “Tahta Bagi Kesejahteraan Kehidupan Sosial Budaya Rakyat”. Tahta yang diwarisi oleh Sultan pada masa Negara Republik Indonesia yang sedang membangun ini, bermakna tidak hanya bagi kerabat atau sentana keraton saja, tetapi memberikan makna yang lebih luas. Setidak-tidaknya dalam memberikan isi bagi

peneguhan citra Yogyakarta sebagai kota budaya (lihat Pidato Sultan Hamengku Buwono X dalam penobatan raja, Kedaulatan Rakyat, 8 Maret 1989). Oleh karena itu kedudukan Sultan adalah suatu realita yang didasarkan atas tekadnya melestarikan nilai-nilai budaya bangsa. Sultan berusaha menjadikan keraton sebagai pusat kegiatan dan pengembangan kebudayaan dalam harmoni tradisi

adi luhung. Keraton sebagai salah satu pusat

kebudayaan yang hidup, diharapkan menjadi sumber acuan dinamis kebudayaan. Keraton Yogyakarta sudah lama terbuka bagi siapa saja yang berminat ikut melestarikan dan mengembangkan seni budaya

adi luhung itu.

Pernyataan Sultan di atas secara tidak langsung mengandung makna bahwa sesungguhnya nilai-nilai seni budaya termasuk pelembagaan tari klasik gaya Yogyakarta yang dimiliki dan dipelihara di lingkungan keraton, tidak hanya berkembang atau dimiliki oleh kerabat atau sentana keraton saja, tetapi perlu disebarluaskan, sehingga menjadi salah satu ciri khas Yogyakarta sebagai kota budaya. Keraton Yogyakarta sebagai pelestari dan pengontrol seni budaya tradisional yang sudah mantap, selalu berusaha mempertahankan keasliannya. Tari klasik gaya Yogyakarta yang sudah diakui sebagai khasanah seni budaya nasional khas Yogyakarta yang sering disebuat Gaya Mataraman ini, terus dimantapkan dan dikembangkan oleh keraton Yogyakarta. Pelembagaan pertunjukan tari terutama Wayang

Wong dalam rangka peringatan hari ulang tahun raja

atau tingalan dalem, memperingati kenaikan tahta atau jumenengan dalem, maupun memperingati berdirinya keraton atau adeging negari dalem, masih sering juga diselenggarakan di Pagelaran Keraton. Pelembagaan pertunjukan tari seperti di atas tidak terbatas untuk para penari maupun pengrawit yang berstatus abdi dalem atau seniman-seniman di lingkungan istana saja atau narakarya, tetapi keraton terbuka bagi siapa saja yang mampu mendukung pertunjukan itu. Keterbukaan keraton seperti itu pernah terjadi para pendukungnya dari warga keturunan Cina maupun warga negara asing yang kebetulan belajar di wilayah Yogyakarta. Peristiwa pertunjukan yang terdiri dari para pendukungnya yang beraneka macam suku, keturunan atau kewarganegaran itu, pernah dilakukan pada tahun 1997 dengan penampilkan

(12)

pertunjukan Wayang Wong cerita Parta Krama dan tari Serimpi Merak Kesimpir. Pertunjukan itu dalam rangka memperingati kenaikan tahta atau

Jumenegan Dalem yang ke 8 Sultan Hamengku

Buwono X bertempat di Pagelaran. Peristiwa pertunjukan itu dapat disebut sebagai pentas atau pertunjukan “pembauran” (Lihat Booklet Pahargyan

Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, Yogyakarta: KHP Kridhamardawa Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat, Tanggal 22 Maret 1997). Kepedulian maupun perhatian Sultan terhadap pelembagaan pertunjukan tari berkaitan dengan ritual seperti di atas sangat besar, dengan dibuktikannya bahwa setiap pementasan tari yang diselenggarakan di Pagelaran Keraton Yogyakarta itu, Sultan selalu hadir beserta permaisurinya Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.

Pada era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X ini, pernah terjadi peristiwa yang besar yaitu, kurang lebih baru setahun Sultan naik tahta, tepatnya pada 29 Agustus - 30 September 1990, Sultan memberanikan diri mengirim rombongan kesenian keraton yang cukup besar, dalam rangka pameran Kesenian Indonesia Amerika Serikat atau KIAS di USA, selama kurang lebih satu bulan berkeliling di negara-negara bagian Amerika seperti Los Angeles, Berkley, New York, Washington, dan Boston. Rombongan dari keraton itu terdiri kurang lebih 75 orang penari, pengrawit, maupun petugas lainnya. Pertunjukan tari yang dipentaskan antara lain Beksan Lawung Gagah, Bedaya, Beksan Menak, serta pertunjukan Wayang Kulit; dengan membawa perlengkapan seperangkat gamelan pusaka, serta satu kotak wayang kulit yang beberapa diantaranya ada yang dianggap keramat.

Pelembagaan pertunjukan di luar keraton selama pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X, penyebarannya cukup luas dan banyak diselenggarakan. Pada akhir tahun 2000 tepatnya pada Nopember, pertunjukan di Jakarta yaitu di Hotel Hilton, dan gedung Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki mempertunjukkan Beksan

Lawung Gagah, dan Bedaya Sang Amurwabumi,

dengan membawa seperangkat gamelan pusaka

Kyai Madumurti dan Kyai Madukusumo. Dua

bentuk pertunjukan tari itu menyertai Sultan dalam rangka menyampaikan orasi tentang budaya Jawa.

Pada awal tahun 2001, tepatnya pada pertengahan Januari, Sultan membawa rombongan kesenian berupa pelembagan pertunjukan tari Beksan

Lawung Gagah terutama bagian Lawung Jajar,

ke Negara Brunei Darussalam. Misi kesenian ini sebagai sajian dalam pertemuan delegasi Asean

Tourism Forum atau ATF, yaitu berupa lembaga

kerjasama pengembangan pariwisata se Asia yang diselenggarakan pada tanggal 13-16 Januari 2001. Nampaknya rombongan atau delegasi dengan kesenian dari keraton Yogyakarta itu, di samping atas nama Propinsi DIY, sekaligus juga mengatasnamakan misi pemerintah RI. Misi atau delegasi dari Yogyakarta sebagai wakil negara itu dipimpin langsung oleh Sultan sendiri.

Penyelenggaraan pentas di Brunei Darussalam dengan sajian kesenian dari keraton Yogyakarta itu disebut Java Night, Royal Welcome to Indonesia. Sajian tarian dari keraton itu telah mengalami perubahan atau pengembangan kreativitas karena menyesuaikan situasi tempat pertunjukan yang cukup luas. Lawung Jajar telah dirubah terdiri dari 12 penari, yaitu 8 penari Lawung Jajar (yang biasanya hanya 4 orang), 2 penari Botoh, dan 2 penari Salaotho, dan ketika masuk menuju tempat pertunjukan dengan prosesi diiringi musik

keprajuritan keraton. Bentuk tarian itu waktunya

dipadatkan hanya sekitar 20 menit, dengan berbagai pengembangan pola lantainya, serta hanya diiringi dengan gending rekaman yang selama ini belum pernah dilakukan oleh keraton Yogyakarta.

Keberadaan Sultan Hamengku Buwono X yang sekaligus juga menjabat sebagai Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mendorong kesempatan kesenian keraton selalu ikut berperan mewakili daerah Yogyakarta dalam misi-misi kesenian ke mancanegara. Seperti contohnya antara lain pada 2010, dalam rangka ulang tahun ke 25 sebagai “sister city” antara kota Kyoto dan Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 2011 tepatnya pada bulan Agustus, keraton juga mewakili Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mengikuti

International Edinburgh, Scotlandia Festival,yaitu

sebuah festival musik selama 3 hari. Peristiwa yang dapat dicatat lagi, yaitu pada bulan Nopember 2011, Sultan selaku Gubernur DIY, mengirim misi keseniaan keraton mewakili Yogyakarta mengikuti

(13)

diikuti oleh kesenian dari beberapa negara lain seperti Amerika, Rusia, Scotlandia, dan lain-lain. Peristiwa itu cukup menarik karena tempat pertunjukannya berada di sebuah Plaza yang penontonnya bersifat umum, sehingga kesenian dari istana itu harus menyesuaikan atau adaptasi terhadap tempat. Pada 27 Desember 2011, ketika Sultan Hamengku Buwono X mendapat gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang seni pertunjukan dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, ketika menyampaikan pidato pengukuhannya dengan judul Ajaran Sang Amurwabhumi: Sumber Acuan

Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Bangsa, Sultan

mendemonstrasikan langsung tari Bedhaya Sang

Amurwabhumi di kampus Institut Seni Indonesia

Yogyakarta.

Pada 16-18 Juli 2012, dalam rangka acara Gelar

Budaya Yogyakarta 2012, yang diselenggarakan

di SMKI Yogyakarta (di luar keraton), keraton Yogyakarta juga ikut tampil mementaskan tari klasik gaya Yogyakarta antara lain tarian jenis

pethilan Gatutkaca – Seteja, serta menyajikan Wayang Wong lengkap dengan cerita Ciptaning Mintaraga atau Harjunawiwaha. Cerita ini adalah

salah satu kebanggaan keraton Yogyakarta atau Sultan HB X sendiri. Dalam lakon itu menceritakan seorang ksatriya Pandawa bernama Harjuna ketika bertapa bernama Bhagawan Ciptaning Mintaraga, dan kemudian ia dimintai pertolongan mengalahkan musuh para dewa. Setelah Ciptaning Mintaraga atau

Harjuna dapat mengalahkan musuh dewa, Harjuna

diangkat atau diwiwaha sebagai keluarga dewa, dan diberi hadiah senjata, serta istri seorang dewi bernama Supraba.

Sesungguhnya masih cukup banyak peristiwa yang bisa dicatat berkenaan dengan kontinyuitas dan perkembangan seni pertunjukan tari keraton Yogyakarta selama pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X, tetapi beberapa contoh yang dikemukakan di atas, dianggap merupakan suatu peristiwa yang menarik dan cukup unik. Artinya, pertunjukan tari klasik yang dilakukan oleh keraton Yogyakarta, mau menyesuaikan atau mau beradaptasi terhadap situasi dan kondisi yang ada. Dalam hal ini, selama pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX, kemudian diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwono X, betul-betul mengalami masa “perkembangan dan pembaharuan”.

SIMPULAN

Tari klasik gaya Yogyakarta sebagai warisan budaya bangsa, memiliki akar sejarah yang cukup kuat, karena mendapat dukungan dari kelembagaan

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tari klasik

gaya Yogyakarta mempertegas pembakuannya sebagai tarian yang adi luhung dengan berpedoman pada dasar-dasar filosofi yang disebut Kawruh

Joged Mataram yaitu seni penjiwaan bagi seorang

penari yang terdiri dari empat unsur pokok yang disebut sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh, serta aturan secara praktis konsep estetis yang disebut wiraga, wirama, dan wirasa.

Beberapa jenis koreografi tari klasik gaya Yogyakarta yang berkembang di dalam istana, telah mengalami pembinaan, maupun perkembangan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Namun secara garis besar jenis koreografi itu dapat dibedakan sesuai dengan konteks fungsinya yaitu berfungsi sebagai sarana yang berhubungan dengan kepercayaan adat yang disakralkan, dan berfungsi sebagai tontonan yang bersifat sekuler. Namun dalam perkembangannya beberapa koreografi yang semula bersifat sakral, bisa pula difungsikan sebagai tontonan atau hiburan. Kontinyuitas dan perkembangan tari klasik gaya Yogyakarta yang telah ada sejak pertengahan abad XVIII hingga sekarang ini, telah diakui sebagai salah satu kekayaan dan dilegitimasikan sebagai warisan budaya bangsa. Sebagai legitimasi warisan budaya bangsa, tradisi seni pertunjukan tari itu tidaklah mengalami kemandegan. Tradisi yang diwariskan dari generasi masa lalu ke generasi berikutnya, tidaklah dianggap sebagai sesuatu tonggak sejarah yang terpancang, dan tidak pernah beranjak, atau tidak diterima begitu saja, tetapi terus-menerus mengalami perjalanan secara berkelanjutan dan membuka ruang historis adanya revitalisasi. Sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I hingga sekarang, yaitu pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X, kelembagaan tari di keraton Yogyakarta telah mengalami pasang-surut sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Masa ”pertumbuhan-pembentukan” pelembagaan tari klasik gaya Yogyakarta, terjadi ketika era pemerintahan Sultan Hamengku Wuwono I. Proses

(14)

pertumbuhan-pembentukan, yaitu 1756-1792, pe-lem bagaan tari klasik gaya Yogyakarta, sedang tumbuh dan mulai dibentuk untuk disebut sebagai seni tari klasik gaya Yogyakarta. Bersama lahirnya kasultanan Yogyakarta itu, Sultan Hamengku Buwono I dianggap sebagai seniman besar yang sangat mencintai bentuk pertunjukan tari. Tari klasik gaya Yogyakarta yang ditumbuhkan, dibentuk atau dicipta oleh Sultan sendiri, sesuai dengan akarnya yaitu gaya Mataraman.

DAFTAR RUJUKAN

Atmakusumah, ed. (1982), Tahta untuk Rakyat:

Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, P.T. Gramedia, Jakarta.

Kartodirdjo, Sartono, et al. (1975), Sejarah Nasional

Indonesia Jilid IV, Dep. P dan K. Jakarta.

Kawontenanipun Serat-serat ingkang sami konjuk ing Ngarsa Dalem salebetipun tahun 1941,

keraton: Widyabudaya, MS. E. 42. Isi serat-serat itu antara lain: Dhawuh saking Ngarsa Dalem, hawit ing

dinten Senin lan Rebo, karsadalem sakderengipun gladhi ringgit, kersa anggladhi lelangen beksan Golek Menak. Puniku 1. RB. Kawindrosusanto, 2. RB. Sastrodarsono, kakerssake sowan dados lelangen dalem beksan.

Mandoyokusumo, KRT. (1980), Serat Raja Putra

Ngayogyakarta Hadiningrat, Bebadan Museum

Keraton Yogyakarta, Yogyakarta.

Soedarsono. (1984), Wayang Wong: The State

Ritual Dance Drama in The Court of Yogyakarta,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

__________. (1989/1990), Seni Pertunjukan Jawa

Tradisional dan Pariwisata Di DIY, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.

__________. (2012), “Wayang Wong Mataraman dan Tantangan Masa Depan”, dalam Kuswarsantyo, dkk, Greged Joged Jogja, Kanwa Publisher, Yogyakarta.

Sudarsono, R.B, et, al. (2000), Misteri Serimpi, Tarawang Press, Yogyakarta.

Suryobrongto, BPH. (1976), Tari Klasik Gaya

Yogyakarta, Museum Keraton Yogyakarta,

Yogyakarta:

Suryobrongto, GBPH. (1981), “Penjiwaan dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta”, dalam Fred Wibowo, (Eds.), Mengenal Tari Klasik

Gaya Yogyakarta, Dewan Kesenian Prop. DIY,

Yogyakarta.

_________________. (1981) “Ragam Tari Klasik Gaya Yogyakarta”, dalam Fred Wibowo, (eds.) Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi DIY.

Gambar

Gambar 3. Pertunjukan Bedaya Sumreg. Pertunjukan  di  Pagelaran Keraton Yogyakarta tahun 2006 (Sumber: Foto  Y

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan kadar sari larut pada pelarut tertentu digunakan dengan tujuan untuk melihat kelarutan serbuk simplisia daun Kelor pada pelarut air dan etanol, sehingga

kurang menguasai konsep materi lingkaran, kurang menguasai materi prasyarat, kurang teliti dalam mengerjakan soal, tidak teliti pada saat membaca soal, dan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari BRI Unit

Kuntapäättäjät pohtivat itsehallinnollisten maakuntien tuomia mahdollisuuksia. Esimerkiksi kunnal- listen palveluiden tuottamis- ja toteuttamismahdollisuudet lisääntyisivät

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dipandang perlu untuk segera merubah Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 19 Tahun 2000 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan

Studi pendahuluan yang dilakukan di Kantor BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan Kota Tasikmalaya masih belum dirasakannya faktor gaya

Iako sama nije dosegla jeziĉnu kompetenciju koju je ţeljela, te je ĉesto pisala refleksije o svom lošem hrvatskom jeziku, Dragojla je ipak stekla status osobe

Beranjak dari hal tersebut diatas yang terpenting adalah di madarsah nizhamiyah ini telah melahirkan ahli dan sarjana-sarjana yang terkenal dengan sistem