• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Penelitian"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

Kecamatan Tutur Nongkojajar yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Ke-camatan Nongkojajar, termasuk salah satu keKe-camatan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kecamatan Nongkojajar terletak di dataran tinggi sebelah barat Pegunungan Tengger dengan ketinggian antara 400-1.600 meter di atas permu-kaan laut. Disebabkan letak geografis di pegunungan, maka daerah ini beriklim sejuk dengan suhu udara rata-rata 16–25 derajat Celcius dan curah hujan 3.650 milimeter per tahun (Monografi Kecamatan Tutur, Nongkojajar, 2006).

Kecamatan Nongkojajar memiliki luas wilayah 94 Km2 dan terbagi men-jadi dua kelompok, yaitu: (1) desa berkembang yang terdiri dari Desa Wonosari, Gendro, Tlogosari, Blarang, Kayukebek, Andonosari, Pungging, Tutur, Kalipu-cang, dan Sumberpitu; dan (2) desa pengembangan, terdiri dari: Desa Ngembal, dan Ngadirejo. Kedua desa terakhir ini letaknya paling jauh dari pusat pemerin-tahan Kecamatan Nongkojajar dan kualitas jalannya masih sederhana.

Kecamatan Pangalengan memiliki 13 desa, 29 dusun, 189 RW, dan 895 RT. Luas wilayah ini adalah sebesar 25.552.305 Ha. Luas lahan kering adalah 7.710.660 Ha. Tanah perkebunan adalah seluas 6.992.908 Ha, yang terdiri atas tanah perkebunan negara seluas 5.016.060 Ha dan perkebunan swasta seluas 1.976.698 Ha.

Kecamatan Pangalengan mempunyai kondisi fisik yang sangat mengun-tungkan bagi peternakan sapi perah, karena memiliki ketinggian 1.000–1.420 meter di atas permukaan air laut, suhu udara antara 12-18 derajat Celcius, kelem-baban udara antara 60-70 persen dan pH tanah berkisar antara 5,4 sampai 6,2, serta curah hujan rata-rata 2.442,8 milimeter per tahun dari hari hujan rata-rata 260 hari per tahun (Monografi Kecamatan Pangalengan, 2006). Struktur fisik tanah adalah campuran pasir dan andosol. Kondisi alam tersebut merupakan persyaratan yang baik tumbuhnya rumput yang berkualitas seperti rumput gajah dan setaria, juga cocok untuk usaha perkebunan serta tanaman sayuran.

(2)

Sejarah Peternakan Sapi Perah di Lokasi Penelitian

Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Nongkojajar

Peternakan sapi perah di Kecamatan Nongkojajar sudah ada sejak tahun 1911, dilakukan oleh orang-orang Belanda yang berdomisili di daerah tersebut. Tujuan semula pemeliharaan sapi perah adalah untuk mencukupi kebutuhan susu segar bagi orang-orang Eropa yang banyak mempunyai villa di Nongkojajar.

Pada masa-masa selanjutnya di Nongkojajar berkembang perusahaan-perusahaan sapi perah milik orang-orang Belanda, seperti J. Kloppenberg, Van Rice, Van Maanen, Drent, Kooche, dan De Kley. Peternak menjual susu kepada penduduk Belanda di Nongkojajar, juga ke Surabaya dan kota-kota di sekitarnya. Pada tahun 1942 perusahaan-perusahaan sapi perah tersebut mengalami kerusakan total. Sebagian ternak habis dirampas Jepang untuk konsumsi perang, sedangkan sisanya berhasil diselamatkan penduduk ke hutan-hutan di daerah pe-dalaman. Sapi-sapi yang ada di tangan penduduk selanjutnya dipelihara dan di-kembangkan hingga sekarang. Sapi perah inilah yang sekarang dikenal sebagai sapi perah lokal yang merupakan keturunan jenis FH yang mempunyai sifat-sifat sapi perah yang sangat baik. Pada tahun 1950-an pemerintah Indonesia menda-tangkan sapi pejantan unggul dari Eropa untuk memperbaiki genetik sapi perah.

Tujuan awal pemeliharaan sapi perah yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Nongkojajar adalah: (1) sebagai tenaga kerja dalam pengolahan lahan perta-nian, (2) sebagai penghasil pupuk organik bagi lahan pertanian, (3) sebagai simpanan yang memiliki nilai tambah yang cukup baik, dan (4) untuk memper-oleh keturunan. Pemanfaatan produksi susu secara komersial baru dirintis sejak tahun 1959, dengan memasarkannya ke Lawang, Tretes dan Malang.

Mengingat sifat susu yang mudah rusak, peternak mengalami keterbatasan waktu dalam memasarkan hasil produksinya, dan peternakan sapi perah di Nong-kojajar umumnya merupakan usaha mix farming, sehingga tidak memungkinkan peternak untuk memasarkan susu secara sendiri-sendiri. Oleh karena itu, peternak membentuk wadah bersama untuk memasarkan susu segar ke konsumen.

(3)

Pada tahun 1962 terbentuk Koperasi Karya di Desa Wonosari yang ber-tujuan melayani kebutuhan peternak sapi perah. Dua tahun kemudian yaitu tahun 1964 di Desa Nongkojajar berdiri Koperasi Berdikari. Dengan berdirinya kedua koperasi tersebut maka peternak menjual susu ke koperasi tersebut dengan pem-bayaran tunai. Pengurus kedua koperasi tersebut belum memikirkan cara mema-sarkan susu yang baik. Kegiatan koperasi tidak lebih sebagai penampung susu sehingga banyak kekacauan terjadi termasuk dalam hal pembayaran. Bersamaan dengan meletusnya peristiwa PKI tahun 1965, kedua koperasi ini tidak beroparasi sama sekali.

Setelah keadaan cukup aman, pada tahun 1967 Koperasi Karya menyatu dengan Koperasi Berdikari. Koperasi-koperasi lain yang ada saat itu kemudian menginduk pada koperasi baru tersebut. Koperasi induk tersebut diberi nama Pusat Koperasi Lembu Perah Setia Kawan (PKLP Setia Kawan) yang berkedu-dukan di Desa Wonosari, dengan anggota-anggota koperasi primer:

(1) Koperasi primer Trisnojoyo di Desa Wonosari, (2) Koperasi primer Tirtorahayu di Desa Pungging, (3) Koperasi primer Mardisantoso di Desa Andonosari, (4) Koperasi primer Karunia di Desa Tutur,

(5) Koperasi primer Ngudiharjo di Desa Kayubebek, (6) Koperasi primer Mardi Rukun di Desa Gendro, (7) Koperasi primer Sido Rukun di Desa Tlogosari, dan (8) Koperasi primer Mardi Tresno di Desa Blarang.

Pada tanggal 31 Desember 1977 terjadi penyederhanaan struktur organi-sasi yaitu pengurus pusat dan primer dari desa-desa sepakat mengadakan pengga-bungan antara delapan primer menjadi satu dengan nama “Koperasi Peternakan Lembu Perah Setia Kawan.” Bertitik tolak dari pengalaman sulitnya melakukan pemasaran susu segar, koperasi dengan semua perangkatnya selalu berupaya mencari dan meningkatkan pemasaran susu segar, dan pada tanggal 16 Mei 1979 Koperasi ”Setia Kawan” dapat bekerja sama dengan P.T Nestle.

Pada tanggal 21 Februari 1990, “Koperasi Setia Kawan” mengubah status menjadi “KUD Setia Kawan” dengan akte perubahan disahkan oleh Depatemen

(4)

Koperasi dengan Badan Hukum Nomor: 4077A/BH/II/1978 dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan dan memperluas usaha. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tepatnya pada tanggal 18 Juli 1998, “KUD Setia Kawan” mengadakan perubahan mendasar sesuai dasar Usaha Anggota yaitu usaha sapi perah, maka menjadilah Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan oleh Depar-temen Koperasi dengan Nomor: 4077B/BH/II/1978 pada tanggal 24 Maret 2003.

Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan

Usaha peternakan sapi perah di Pangalengan telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda. Pada saat itu di Pangalengan telah berdiri empat peternakan sapi perah milik bangsa Belanda. Ke empat peternakan sapi perah itu adalah: De Friesche Terp, Almanak, van Der Els, dan Bigman. Hasil dari usaha peternakan sapi perah di atas semuanya dipasarkan oleh Bandungche Melk Centre (BMC).

Keempat peternakan di Pangalengan mengalami kemajuan pesat berkat pemasaran susu oleh BMC. Pada saat pendudukan Jepang peternakan tersebut mengalami kehancuran dan sebagian sapinya dipelihara oleh penduduk yang bertempat tinggal di sekitar peternakan. Berawal dari peristiwa inilah dimulainya peternakan sapi perah rakyat di Pangalengan.

Seiring dengan perkembangan waktu dan jaman maka peternakan rakyat yang berada di Pangalengan mengalami peningkatan, baik populasi maupun produksi. Bersamaan dengan hal itu para peternak bersepakat untuk mendirikan sebuah koperasi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas usaha dan pendapatan peternak. Pada bulan Nopember 1949 berdirilah sebuah koperasi yaitu Gabungan Peternak Sapi Perah Indonesia Pangalengan (GAPSPIP).

Keberadaan GAPSPIP sangat dirasakan manfaatnya oleh peternak sapi pe-rah pada saat itu. Tahun 1961 keadaan GAPSPIP mulai goyah bersamaan dengan keadaan ekonomi Indonesia yang labil. GAPSPIP tidak mampu berperan sebagai mitra usaha bagi peternak sapi perah, sehingga tata niaga susu di Pangalengan sepenuhnya dikuasai oleh kolektor (tengkulak). Hal ini menyebabkan peternak mengalami kerugian karena susu dibeli tengkulak dengan harga sangat rendah.

(5)

Kesulitan yang dialami peternak sapi perah menyebabkan beberapa peter-nak berinisiatif mengubah keadaan tersebut. Pada saat itu bersamaan pula dengan dimulainya Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), maka dengan pem-binaan dari pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung, bantuan dari gu-bernur Jawa Barat, Direktur Jenderal Peternakan dan UNICEF, pada tanggal 1 April 1969 berdirilah Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Panga-lengan. Peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Pangalengan termasuk dalam wilayah kerja KPBS. Selain Pangalengan, wilayah kerja KPBS adalah Kecamatan Kertasari dan Pacet.

Karakteristik Peternak Sapi Perah

Karakteristik yang diamati dalam penelitian ini adalah: pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah ternak sapi perah yang dipelihara, lama beternak, ke-mampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak mengembangkan usaha sapi perah (Tabel 11).

Tabel 11. Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik Kabupaten Pasuruan Kabupaten Bandung

Jumlah Prosentase (%) Jumlah Prosentase (%) Umur : • 15-30 tahun • 31-60 tahun • > 60 tahun 12 102 11 9,6 81,6 8,8 20 101 4 16 80,8 3,2 Pendidikan: • SD • SLTP • SLTA 111 8 6 88,8 6,4 4,8 44 81 10 35,2 64,8 8 Jumlah Tanggungan Keluarga (orang):

• 1- 3 • > 3 71 54 56,8 43,2 47 78 37,6 62,4 Jumlah Ternak Sapi yang Dipelihara (ST):

• < 4 • 4 – 10 • >10 76 46 3 60,8 36,8 2,4 78 45 2 62,4 36,0 1,6 Lama Beternak : • 1 – 5 tahun • 6 – 10 tahun • > 10 tahun 31 22 72 24,8 17,6 57,6 23 25 77 18,4 20,0 61,6 Status Usaha Pemeliharaan Sapi Perah

• Pokok • Sambilan 97 28 77.6 22,4 121 4 96,8 3,2

(6)

Tabel 11 (lanjutan)

Karakteristik Kabupaten Pasuruan Kabupaten Bandung Jumlah Prosentase (%) Jumlah Prosentase (%) Asal Ternak : • Warisan • Beli • Gaduh/maro • Kredit 12 59 28 26 9,6 47,2 22,4 20,8 9 83 24 9 7,2 66,4 19,2 7,2 Tenaga kerja dari luar keluarga:

• Ada • Tidak ada 18 107 14,4 85,6 7 118 5,6 94,4 Pemilikan Media :

• Televisi dan radio • Televisi dan koran • Televisi 40 1 125 32,0 0,8 100.00 42 2 125 33,6 1,6 100.00 Lama Mendedahkan Diri Pada Media Massa

• < 1 jam per hari • 1 – 2 jam per hari • 3 – 4 jam per hari • 4 jam per hari • Tidak tentu 2 2 6 2 113 1,6 1,6 4,8 1,6 90,4 1 3 4 1 116 0,8 2,4 3,2 0,8 92,8 Fungsi Media Massa

• Mengisi waktu luang • Mencari pengetahuan umum • Mencari pengetahuan peternak/pertanian • Hiburan 67 39 16 3 53,6 31,2 12,8 2,4 41 59 24 1 32,8 47,2 19,2 0.8 Kemampuan mengakses informasi

• Rendah • Sedang • Tinggi 22 85 18 17,6 68,0 14,4 1 72 52 0,8 57,6 41,6 Motivasi mengembangkan usaha ternak:

• Rendah • Sedang • Tinggi 0 92 33 0 73,6 26,4 0 16 109 0 12,8 87,2

Berdasarkan Tabel 11, berikut ini diuraikan satu persatu tentang karak-teristik peternak sapi perah pada kedua lokasi penelitian.

Pendidikan

Seluruh peternak sapi perah yang terpilih sebagai sampel penelitian di Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan maupun di Pangalengan, Kabupaten Bandung telah mengenyam pendidikan formal, meskipun mayoritas (89 persen) di

(7)

Kabu-paten Pasuruan dan 35 persen di KabuKabu-paten Bandung berpendidikan rendah (Sekolah Dasar). Alasan peternak tidak melanjutkan sekolah adalah keterbatasan biaya yang dipunyai. Alasan lain yang dikemukakan peternak adalah anak-anak yang telah lulus SD merupakan tenaga kerja potensial untuk membantu usaha orang tuanya karena peternakan sapi perah merupakan usaha yang membutuhkan banyak tenaga kerja yaitu: men-cari rumput, membersihkan kandang, memerah sapi, dan menyetorkan susu ke tempat penampungan susu.

Pada saat anak-anak membantu pekerjaan orang tuanya sebenarnya telah terjadi proses belajar tentang budidaya sapi perah. Pendidikan formal yang dimiliki peternak memang rendah tetapi proses belajar terus dilakukan oleh peter-nak melalui pendidikan informal menyebabkan apeter-nak-apeter-nak sebagai calon peterpeter-nak memiliki banyak pengalaman di bidang usaha sapi perah.

Tabel 11 memperlihatkan rata-rata pendidikan peternak di Kabupaten Ban-dung relatif sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan peternak di Ka-bupaten Pasuruan. Sebanyak 65 persen peternak sapi perah di KaKa-bupaten Bandung berpendidikan SLTP. Pendidikan formal peternak merupakan dasar untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan berdasarkan informasi yang diperoleh.

Jumlah Tanggungan Keluarga

Sebanyak 57 persen peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan memiliki tanggungan keluarga antara 1-3 orang, sedangkan peternak sapi perah di Kabu-paten Bandung 63 persen memiliki tanggungan keluarga lebih dari tiga orang. Alasan peternak memiliki keluarga kecil karena tanggungan keluarga yang banyak menyebabkan beban hidup semakin berat. Peternak yang memiliki tanggungan keluarga besar karena ada saudara yang ikut dalam keluarga tersebut. Anggota keluarga yang besar bagi masyarakat desa dapat dijadikan sumber tenaga kerja bagi usaha ternak. Peternak yang telah berhasil dalam menjalankan usahanya, berusaha mengembangkan usaha tersebut. Mengingat usaha peternakan sapi perah membutuhkan banyak tenaga kerja maka peternak meminta tolong kepada

(8)

saudaranya untuk menjadi tenaga kerja. Pada kesempatan itu terjadi tranfer pengetahuan dari peternak kepada pegawai secara tidak disadari.

Jumlah Ternak Sapi Perah yang Dipelihara

Modal, lahan, dan tenaga kerja terbatas yang dimiliki peternak menyebab-kan kepemilimenyebab-kan ternak sapi perah dari tahun ke tahun tidak berubah yaitu berki-sar 1- 4 ekor, meskipun sebanyak 78 persen peternak di Kabupaten Pasuruan dan 97 persen di Kabupaten Bandung mengaku bahwa usaha peternakan sapi perah merupakan usaha pokok. Usaha sapi perah dan usaha pertanian sebenarnya meru-pakan mix farming yang dilakukan peternak sapi perah yang saling mendukung. Pada saat harga produk pertanian tinggi dan hijauan pakan ternak sulit diperoleh maka peternak menjual sapi perahnya untuk modal bertani, sebaliknya bila hija-uan pakan ternak mudah diperoleh dan harga produk pertanian menurun maka peternak menyewakan tanah pertaniannya untuk membeli sapi perah.

Keterbatasan modal dan pemilikan lahan menyebabkan kapasitas kandang yang dipunyai peternak relatif terbatas (maksimal kapasitas kandang sebanyak 7– 10 ekor), sehingga apabila kepemilikan ternak melampaui kapasitas kandang, maka peternak menggaduhkan ternak sapi perah ke saudara atau tetangga yang di-percayainya. Peternak memilih menggaduhkan ternaknya dari pada mempeker-jakan tenaga kerja dari luar keluarga ataupun menambah kapasitas kandangnya karena alasan untuk membagi pekerjaan dan pendapatan dengan tetangga ataupun keluarga juga lebih menguntungkan karena penggaduh merasa memiliki ternak yang bersangkutan sehingga memelihara sapi perah secara baik. Kesulitan pe-nyediaan pakan hijauan bagi sapi perah pada musim kemarau juga menjadi per-timbangan peternak sebelum menambah atau mempertahankan jumlah ternaknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Yusdja pada tahun 2003 di Jawa Barat ditemukan hasil semakin tinggi skala usaha semakin tidak efisien pemeliharaan sapi perah. Hal ini disebabkan oleh manajemen yang dilakukan peternak masih buruk, sehingga semakin besar skala usaha maka semakin buruk pemeliharaan sapi perahnya. Kondisi ini kurang disadari oleh peternak karena peternak lebih

(9)

membutuhkan produksi susu. Skala usaha 1-2 ekor mempunyai efisiensi teknik terbaik sedangkan berdasarkan analisis B/C rasio yang terbaik adalah skala usaha 10–11 ekor. Menurut pergerakan biaya dan pendapatan jangka panjang maka skala usaha 27 ekor adalah yang terbaik. Berdasarkan penelitian tersebut dapat di-ketahui penyebab lain tentang alasan peternak enggan untuk menambah jumlah ternaknya, yaitu karena kompetensi yang dimiliki peternak terbatas dalam aspek teknis dan belum menguasai aspek manajerial sehingga belum mampu mengatur/ menangani usaha ternak dalam skala besar (Yusdja, 2003:6).

Lama Beternak

Peternak sapi perah telah mengenal budidaya sapi perah sejak anak-anak. Budidaya sapi perah dilakukan di pedesaan ataupun di pinggiran kota, dengan tujuan untuk memperkecil tingkat stres pada sapi perah. Selain itu, kotoran sapi merupakan limbah yang dapat mengganggu lingkungan sekitarnya.

Masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang erat dan mendalam sehingga melahirkan sifat gotong royong dan kebersamaan yang tiggi. Interaksi sosial di pedesaan bersifat terbuka pada semua lapisan masyarakat dan proses imitasi (peniruan) pada masyarakat dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan sering terjadi. Peternakan sapi perah pada awalnya diusahakan oleh beberapa orang pe-ternak. Melihat keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut maka masyarakat sekitar peternakanpun tertarik mencoba mengikuti jejak tetangganya yang telah terlebih dahulu memelihara sapi perah. Dengan demikian berkembanglah usaha sapi perah dalam sebuah masyarakat.

Di Kabupaten Pasuruan, sebanyak 58 persen peternak telah membudida-yakan sapi perah lebih dari sepuluh tahun, bahkan beberapa peternak ikut merintis terbentuknya koperasi. Peternak di Kabupaten Bandung sebanyak 62 persen telah membudidayakan sapi perah lebih dari sepuluh tahun. Usaha yang telah lama ditekuni menyebabkan peternak memiliki pengalaman dalam budidaya sapi perah.

Mayoritas peternak (47 persen di Kabupaten Pasuruan dan 66 persen di Kabupaten Bandung) membeli ternak sapi perah pada awal usahanya. Jumlah

(10)

peternak yang mendapatkan kredit dari koperasi pada awal usahanya sebesar 21 persen di Kabupaten Pasuruan dan tujuh persen di Kabupaten Bandung.

Pemilikan Media

Televisi merupakan media massa yang dipunyai oleh seluruh peternak, se-dangkan media massa lainnya seperti radio, koran, dan majalah dipunyai oleh sedikit peternak. Menurut Chan dan Sam (2006:160-161), televisi mempunyai keunggulan dibandingkan dengan media lain, yaitu:

(1) mudah diterima oleh pemirsa, sehingga mudah mempengaruhi perilakunya, (2) lebih menarik dari segi hiburan karena menggunakan teknologi canggih, (3) memiliki daya jangkau yang luas,

(4) dapat memberikan informasi yang aktual dalam tempo bersamaan dan cepat, (5) memiliki dunia bisnis,

(6) lebih murah dalam pembiayaan, dan lain-lain.

Pendidikan rendah dan kemampuan baca yang terbatas menyebabkan peternak sapi perah lebih memilih televisi sebagai media informasi karena tidak perlu membaca untuk mendapatkan informasi.

Menurut van den Ban dan Hawkins (2003:161-162), pada masyarakat ke-las menengah di negara berkembang telah menggunakan banyak waktu untuk menonton televisi, tetapi televisi belum merupakan media yang tepat bagi masya-rakat pedesaan. Pendapat ini sesuai dengan keadaan di lokasi penelitian, televisi merupakan media yang paling diminati peternak sapi perah karena televisi merupakan sarana hiburan yang murah dan mudah diperoleh. Namun, bagi peternak sapi perah, televisi belum dapat dipergunakan sebagai media pendidikan untuk menambah pengetahuan berkaitan dengan usaha ternaknya. Informasi tentang agribisnis sapi perah dirasakan oleh peternak masih sangat sedikit diperoleh dari media televisi.

(11)

Lama Terdedah Media Massa

Sebanyak 86 persen peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan 94 persen di Kabupaten Bandung, mengelola usaha ternaknya tanpa bantuan tenaga kerja dari luar keluarga. Pada pagi hari peternak telah disibukkan dengan peker-jaan membersihkan kandang, memandikan, memberi pakan, dan memerah sapi serta menyetorkan susu di tempat penampungan, tepat waktu. Setelah itu peternak mengambil atau mencari rumput hingga menjelang tengah hari. Sekitar pukul 14.00 peternak kembali bersiap-siap melakukan pemerahan yang kedua kalinya.

Kesibukan mengurus ternak sapi perah dan usahatani lainnya menyebab-kan peternak memiliki sedikit waktu untuk mendedahmenyebab-kan diri pada media. Acara-acara televisi yang didominasi Acara-acara hiburan menyebabkan peternak kurang ter-tarik untuk melihatnya. Peternak enggan membaca media cetak seperti koran, bu-ku atau majalah karena memerlukan tingkat literasi yang tinggi yang tidak dipu-nyai peternak. Sebanyak 90 persen peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan 93 persen peternak di Kabupaten Bandung tidak tetap dalam mendedahkan diri pada media massa.

Fungsi Media Massa

Media massa khususnya televisi yang dimiliki peternak lebih banyak digu-nakan untuk memanfaatkan waktu luang. Informasi yang diperoleh peternak dari media massa, khususnya televisi, merupakan informasi tentang pengetahuan umum. Peternak jarang memperoleh informasi yang berhubungan dengan usaha peternakan.

Di negara industri maju orang-orang terpelajar lebih memberi perhatian pada media cetak, khususnya majalah daripada televisi yang lebih diminati oleh orang-orang yang berpendidikan cukup dan kurang. Orang-orang menonton televisi, lebih banyak perhatiannya pada acara berita dan informasi dari pada acara hiburan. Dari media cetak audien mendapatkan informasi yang dicarinya. Media massa di negara Timur laut Asia seperti Jepang, Korea, dan Hongkong berfungsi sebagi mitra bagi audiennya, media massa dapat menambah pengetahuan dan

(12)

wawasan sehingga membentuk kemampuan dan keterampilan audiennya. Di ne-gara Asia Tengne-gara, media massa digunakan sebagai sarana hiburan (Prokopento, 1987:203). Bagi peternak di Kabupaten Pasuruan media massa lebih berfungsi untuk mengisi waktu luang (54 persen peternak), sedangkan bagi peternak di Ka-bupaten Bandung, fungsi media massa mayoritas untuk menambah pengetahuan umum (47 persen peternak).

Kemampuan Mengakses Informasi

Informasi, sarana, dan prasarana merupakan faktor pelancar usaha peter-nakan sapi perah. Keputusan yang sehat salah satunya didasari dengan tersedianya informasi yang cukup, akurat, dan berkualitas. Oleh karena itu, perolehan dan pencarian informasi sebanyak-banyaknya sangat diperlukan untuk mencapai harapan-harapan yang direncanakan sejak awal.

Informasi tentang manajemen usaha, kepemimpinan, kemampuan bermi-tra usaha, memberi nilai tambah bagi produk yang dihasilkan serta teknologi pem-buatan pakan konsentrat dengan memanfaatkan sumberdaya di sekitar peternak, memanfaatkan kotoran ternak sebagai komoditi yang memiliki manfaat dan nilai jual merupakan bentuk-bentuk pesan yang diperlukan untuk meningkatkan pro-duktivitas peternak, namun pada kenyataannya informasi tersebut belum banyak diterima peternak. Pakar pertanian mempertanyakan masalah seputar melambat-nya perkembangan teknologi pertanian. Ada pihak yang menilai bahwa melam-batnya perkembangan teknologi pertanian karena lembaga penelitian tidak meng-hasilkan terobosan teknologi yang nyata dalam peningkatan produksi, di pihak la-in mengklaim bahwa lembaga penelitian sesungguhnya telah banyak menghasil-kan teknologi, tetapi teknologi tersebut, walaupun telah sesuai dengan kebutuhan petani, belum juga diadopsi petani secara progresif, karena faktor internal petani seperti sikap kurang berani menanggung resiko terhadap perubahan, dan faktor eksternal seperti kurangnya dukungan infrastruktur dalam adopsi teknologi baru, bahkan yang lebih ironis adalah teknologi tersebut tidak tersedia di pasar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, 2003:III-17).

(13)

Pendidikan rendah dan media massa yang terbatas dimiliki serta sempitnya waktu yang dipunyai peternak sapi perah merupakan penyebab peternak sapi perah terbatas dalam mengakses informasi. Pada umumnya peternak mendapat-kan informasi dari penyuluhan yang diadamendapat-kan oleh pihak koperasi, dari tetangga sesama peternak sapi perah, dari ketua kelompok, ataupun dari tamu yang mela-kukan kunjungan ke daerah tersebut, seperti kunjungan mahasiswa yang sedang mela-kukan penelitian, Praktek Kerja Lapangan ataupun Kuliah Kerja Nyata.

Di Kabupaten Pasuruan, sebanyak 44 persen peternak memanfaatkan ketua kelompok sebagai sumber informasi, 28 persen memanfaatkan penyuluh sebagai sumber informasi, 19 persen menganggap tetangga atau teman sesama peternak sapi perah sebagai sumber informasi, enam persen merujuk pada jurnal seminar/penelitian ataupun bertanya pada tamu yang berkunjung ke daerahnya untuk mendapatkan informasi, dan tiga persen menganggap media massa sebagai sumber informasi. Di Kabupaten Bandung sebanyak 31 persen peternak sapi perah memanfaatkan penyuluh sebagai sumber informasi, 28 persen memanfaatkan ketua kelompok sebagai sumber informasi, 20 persen memanfaatkan tetangga atau teman sesama peternak sapi perah sebagai sumber informasi, 7 persen meman-faatkan media massa sebagai sumber informasi, dan 15 persen memanmeman-faatkan jurnal hasil penelitian seminar, atau tamu yang berkunjung di daerahnya sebagai sumber informasi. Bedasarkan data tersebut terdapat kecenderungan bahwa di Kabupaten Pasuruan, ketua kelompok merupakan sumber informasi yang banyak dirujuk oleh peternak sedangkan di Kabupaten Bandung, sumber informasi tidak merujuk pada salah satu kelompok.

Peternak berkonsultasi dengan sumber informasi yang dipercaya bukan saja dalam menyelesaikan kendala usaha yang sedang dihadapi tetapi juga apabila peternak mengambil keputusan dalam usahanya. Sebagai contoh di Kabupaten Pasuruan, pada saat peternak melakukan tukar tambah ternak sapi maka peternak melibatkan tetangga yang lebih berpengalaman atau ketua kelompok untuk memberikan pendapat tentang pemilihan bibit ternak yang sehat dan baik. Di Kabupaten Bandung, apabila peternak akan mengadopsi sebuah inovasi, misalnya tentang penggunaan karpet plastik untuk lantai kandang sapinya, maka peternak

(14)

meminta pertimbangan penyuluh atau orang-orang yang dipercaya (tetangga ataupun ketua kelompok).

Informasi yang beredar di kalangan peternak sapi perah cenderung tentang aspek teknik budidaya sapi perah. Sebenarnya peternak membutuhkan banyak in-formasi untuk menguatkan motif berprestasi. Inin-formasi tentang teknologi pembu-atan bio gas ataupun bio arang menyebabkan peternak menyadari manfaat kotoran sapi perah yang selama ini kurang termanfaatkan. Informasi kebutuhan susu penduduk Indonesia yang semakin meningkat mendorong peternak berfikir ulang untuk menjadikan usaha sapi perah menjadi usaha subsisten karena peluang pasar begitu besar. Informasi tentang manfaat recording sebagai upaya untuk mengha-silkan bibit sapi perah yang baik menyebabkan peternak rajin mencatat kinerja ternak sapi perahnya. Perilaku-perilaku positif tersebut menyebabkan produkti-vitas peternak meningkat karena kompetensi kewirausahaan yang dimilikinya.

Berinteraksi dengan orang lain memerlukan kemampuan berkomunikasi. Interaksi dengan orang-orang di luar komunitas peternak sapi perah yang terbatas menyebabkan 18 persen peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan memiliki kemampuan mengakses informasi rendah, 68 persen memiliki kemampuan sedang, dan 14 persen memiliki kemampuan tinggi. Di Kabupaten Bandung, satu persen peternak memiliki kemampuan mengakses informasi rendah, 58 persen memiliki kemampuan sedang, dan 42 persen memiliki kemampuan tinggi.

Motivasi Peternak Mengembangkan Usaha Peternakan Sapi Perah

Pendekatan sumberdaya manusia menganggap bahwa pekerjaan merupa-kan sumber utama kepuasan hati dan motivasi bagi seseorang. Kebutuhan-kebutuhan pribadi sangat mempengaruhi motivasi dan sikap seseorang terhadap pekerjaan (Kossen, 1993:11-12). Menjadi peternak maju dan dapat menjalankan usaha dengan baik memerlukan motivasi tinggi agar dapat mengembangkan kemampuan dasar yang dimilikinya. Di Kabupaten Pasuruan sebanyak 74 persen memiliki motivasi pada tingkat sedang dan 26 persen memiliki motivasi pada tingkat tinggi. Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung, 13 persen memiliki

(15)

motivasi pada tingkat sedang dan 87 persen memiliki motivasi pada tingkat tinggi. Hal ini disebabkan beternak sapi perah dapat menghasilkan uang setiap hari meskipun uang tersebut dibayarkan setiap 10–15 hari, tetapi disisi lain usaha sapi perah menuntut kerja keras, disiplin, dan ketelatenan.

Beternak sapi perah bagi peternak di Kabupaten Pasuruan merupakan usaha yang bertujuan untuk menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari (sebagai matapencaharian), selain bertani. Adanya pendapatan lain dari usaha tani seperti bertanam kopi, jeruk, dan apel menyebabkan peternak kurang termotivasi untuk mengembangkan usaha ternak sapi perah.

Biaya hidup yang cukup tinggi di Kabupaten Bandung dan usaha sapi pe-rah merupakan usaha pokok bagi peternak menyebabkan peternak bekerja keras mengembangkan usaha sapi perah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, jenis tanaman pertanian yang ditanam petani di Kabupaten Bandung selain memiliki masa panen yang relatif singkat (2-4 bulan) juga menghasilkan limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi perah. Kemudahan memperoleh hijauan pakan ternak menyebabkan peternak termotivasi memelihara sapi perah disesuaikan dengan modal dan kemampuan tenaga kerja keluarga.

Penetapan harga susu oleh KPBS berdasarkan kualitas susu menyebabkan peternak termotivasi untuk menghasilkan susu berkualitas. Susu yang berkualitas dapat dilihat dari kandungan berat jenis (BJ), total solid (TS), solid non fat (SNF), fat, dan total plate count (TPC) yaitu jumlah bakteri dalam susu. Peternak yang menghasilkan susu berkualitas mendapat bonus, sedangkan yang menghasilkan produk tidak berkualitas mendapat hukuman. Pemberian imbalan berupa bonus harga susu per liter dan hukuman yaitu berupa penolakan susu oleh pihak koperasi menumbuhkan motivasi peternak untuk menghasilkan susu yang berkualitas sehingga harga susupun semakin tinggi. Ini sesuai dengan teori kepuasan yaitu tentang sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang atau lingkungan orang itu yang menggiatkan dan mempertahankan perilaku orang itu. Teori tentang kepuasan atau kebutuhan menemukan bahwa kebutuhan dan motif dalam diri seseorang dapat menggerakkan, mengarahkan, melanjutkan dan memperhentikan perilaku orang itu. Teori-teori proses juga menunjukkan cara-cara untuk mengerahkan

(16)

orang lebih giat mencapai tujuan yang diinginkan. Skinner dan Pavlov merupa-kan pakar teori ini yang menyatamerupa-kan bahwa perilaku yang tidak memperoleh imbalan penghargaan, tidak terjadi lagi, sebaliknya yang memperoleh imbalan menyenangkan menyebabkan terjadinya perulangan perilaku (Hukum Dampak/ Law of Effect) (Zainun, 2004:51-52).

Kondisi Lingkungan Usaha Peternakan Sapi Perah di Lokasi Penelitian Informasi, Sarana, dan Prasarana

Syarat-syarat pertanian modern menurut Mosher (1974:17-18) ialah: (a) teknologi dan efisiensi usahatani yang terus menerus diperbaiki, (b) hasil bumi yang diproduksi terus menerus berubah sesuai dengan perubahan permintaan konsumen dan perubahan biaya produksi yang disebabkan oleh adanya perubahan teknologi, dan (c) perbandingan antara penggunaan tanah, tenaga kerja, dan modal pada usahatani terus berubah sesuai dengan adanya penduduk, perubahan dalam alternatif kesempatan kerja dan perubahan teknologi usahatani. Dengan kata lain, pertanian modern adalah pertanian yang sangat dinamis dan sangat fleksibel serta terus meningkat produktivitasnya. Oleh karena itu, penelitian tentang inovasi dan teknologi pertanian, ketersediaan sarana, prasarana dan informasi menjadi sangat penting keberadaannya.

Tabel 12. Tingkat Dukungan Lingkungan Usaha Peternakan Sapi Perah

Lingkungan Usaha Tingkat dukungan

Pasuruan Bandung

- Sarana, prasarana, dan informasi - Kelembagaan peternakan - Kelembagaan sosial - Kelembagaan Penyuluhan - Kebijakan pemerintah 1,49 1,65 1,79 1,59 1,53 2,05 2,24 1,64 1,93 1,74 Rata-rata dukungan 1,61 = kurang

mendukung

1,92 = mendukung

Keterangan: - > 2,34 – 3 = sangat mendukung; - > 1,67 - 2,34 = mendukung - 1 - 1,67 = kurang mendukung

(17)

Ketersediaan sarana, prasarana, dan informasi di Kabupaten Pasuruan ku-rang mendukung usaha peternakan sapi perah, sedangkan ketersediaan sarana, prasarana, dan informasi di Kabupaten Bandung, mendukung usaha peternakan sapi perah (Tabel 12). Di kedua lokasi penelitian, sarana produksi seperti pakan konsentrat dan peralatan pemerahan ataupun peralatan perkandangan telah dise-diakan oleh koperasi secara memadai. Prasarana produksi seperti jalan-jalan, penjual bensin, dan transportasi yang cukup memadai memudahkan peternak menyetorkan susu ke TPK/TPS, demikian juga dengan ketersediaan kendaraan pengangkut susu yang dimiliki koperasi cukup untuk mengangkut susu dari TPK/TPS ke koperasi. Namun, di Kecamatan Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan, belum ada Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Bensin dijual oleh perseorangan de-ngan harga di atas harga di Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Koperasi juga me-nyediakan informasi tentang budidaya sapi perah dan usaha simpan pinjam untuk mengembangkan usaha yang disampaikan dalam kegiatan penyuluhan.

Dalam hal pengadaan pakan konsentrat, peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan tidak mengalami kesulitan tetapi dalam penyediaan pakan hijauan, peternak mengalami kesulitan, khususnya pada musim kemarau. Untuk mengatasi kekurangan pakan hijauan pada musim kemarau, peternak membeli pakan hijauan dari tetangga desa. Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung tidak mengalami kesulitan dalam penyediaan pakan hijauan, karena banyak limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan ternak.

KPSP ”Setia Kawan” mempunyai beberapa unit penunjang seperti unit simpan pinjam, asuransi bagi peternak dan ternaknya, serta unit kendaraan sebagai sarana transportasi mengambil susu dari peternak sampai ke IPS. KPSP ”Setia Kawan” memiliki delapan unit tangki pengangkut susu dengan kapasitas empat ton, satu buah berkapasitas delapan ton, dan dua buah berkapasitas sepuluh ton.

Guna melayani kebutuhan anggotanya, KPSP ”Setia Kawan” memiliki sembilan orang inseminator, empat orang paramedis, dan tujuh orang petugas potong kuku. Masing-masing petugas dilengkapi fasilitas motor dan bensin dari koperasi. KPSP ”Setia Kawan” memiliki jumlah karyawan sebanyak 205 orang yang ditempatkan pada bagian organisasi sebanyak dua orang, divisi susu segar

(18)

sebanyak 150 orang, divisi perdagangan dan jasa sebanyak sepuluh orang, simpan pinjam sebanyak sepuluh orang, dan karyawan harian sebanyak 33 orang. Bila dikaitkan dengan jumlah peternak yang mendapat pelayanan koperasi sebanyak 4.730 orang maka satu karyawan koperasi melayani 23 orang peternak. Bagi peternak sapi perah, jumlah inseminator, paramedis, dan petugas potong kuku dirasakan kurang mencukupi untuk melayani seluruh wilayah kerja koperasi. Selain memberikan pelayanan kepada anggota, petugas-petugas tersebut juga bertugas sebagai tenaga penyuluh.

Koperasi berusaha memberi pelayanan yang cepat kepada anggotanya khususnya dalam hal pemasaran susu melalui cara membangun TPS di dekat lokasi peternakan sapi perah, hal ini mengingat sifat susu yang cepat rusak. Setiap TPS ditempatkan dua orang karyawan dibantu oleh ketua kelompok yang bertanggungjawab terhadap proses pengujian susu, pencatatan jumlah susu yang disetor peternak, pembayaran susu kepada peternak, pembagian konsentrat, dan masalah simpan pinjam peternak. Penanggungjawab TPS bertanggungjawab pada kualitas susu anggotanya, bila ada peternak yang menghasilkan susu dengan kualitas jelek maka tugas penanggungjawab TPS untuk memberikan bimbingan teknis kepada peternak yang bersangkutan.

Di Kabupaten Pasuruan, petugas TPS difungsikan juga sebagai penyuluh dan pendamping peternak dalam mengusahakan sapi perah. Keterbatasan tenaga pendamping menyebabkan belum seluruh peternak memiliki informasi yang sama. Informasi banyak dimiliki oleh peternak yang memiliki akses dengan penyuluh tetapi bagi peternak dengan kepemilikan ternak sedikit dan berdomisili jauh dengan ketua kelompok, memiliki informasi yang sangat terbatas. Padahal infor-masi sangat dibutuhkan peternak untuk memperbaiki kompetensi kewirausahaan.

KPBS mempunyai beberapa unit penunjang seperti unit simpan pinjam, asuransi bagi peternak dan ternaknya, serta unit kendaraan sebagai sarana trans-portasi mengambil susu dari peternak sampai ke IPS. KPBS memiliki kendaraan angkutan susu sebanyak 22 unit, terbagi dalam 13 unit sebagai kendaraan susu daerah dan sembilan unit kendaraan tangki susu ke pemasaran.

(19)

- Unit pelayanan susu/MT : 133 orang - Unit pelayanan barang dan pakan ternak : 3 orang - Unit pelayanan kesehatan Hewan : 34 orang - Unit pelayanan penyuluhan : 3 orang

Selain karyawan tersebut di atas, koperasi memiliki karyawan pada cabang-cabang usaha lain. Jumlah karyawan koperasi pada akhir tahun 2006 sebanyak 305 orang. Bila dikaitkan dengan jumlah peternak yang mendapat pelayanan ko-perasi sebanyak 4.701 orang maka satu karyawan koko-perasi melayani 15 orang pe-ternak. Jumlah karyawan koperasi yang sangat banyak menyebabkan pemborosan untuk upah karyawan. Menurut Yusdja (2005:262), karyawan koperasi cukup 4-5 orang.

Koperasi berusaha memberi pelayanan yang cepat kepada anggotanya khususnya dalam hal pemasaran susu melalui cara membangun TPK di dekat lokasi peternakan sapi perah, hal ini mengingat sifat susu yang cepat rusak. Setiap TPK ditempatkan dua orang karyawan dibantu oleh ketua kelompok yang ber-tanggungjawab terhadap proses pengujian susu, pencatatan jumlah susu yang disetor peternak, pembayaran susu kepada peternak, pembagian konsentrat, dan masalah simpan pinjam peternak. Penanggungjawab TPK juga bertanggung-jawab pada kualitas susu anggotanya, bila ada peternak yang menghasilkan susu dengan kualitas jelek maka tugas penanggungjawab TPK untuk memberikan bimbingan teknis kepada peternak yang bersangkutan. Sebaliknya, bila anggota memiliki kualitas susu baik maka penanggungjawab mendapatkan insentif dari koperasi yang diakumulasikan dengan gaji. Oleh karena itu, penanggungjawab TPK difungsikan juga sebagai penyuluh bagi anggota TPK.

Kedua penanggungjawab TPK di Kabupaten Bandung, selain bertang-gungjawab terhadap proses penyetoran susu juga sebagai petugas IB dan pelayan-an kesehatpelayan-an ternak. Petugas pelaypelayan-anpelayan-an kesehatpelayan-an ternak bertugas sebagai pengu-ji kualitas susu, dan petugas IB bertugas sebagai pencatat jumlah susu yang dise-tor peternak serta melakukan pembayaran. Setelah proses penyedise-toran susu sele-sai, penanggungjawab TPK bertugas melayani kebutuhan anggota sebagai

(20)

insemi-nator dan pemantau kesehatan ternak pada masing-masing TPK yang menjadi tanggung jawabnya.

Koperasi merupakan badan usaha yang salah satu kegiatannya adalah men-cari keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, informasi yang disediakan koperasi sesuai dengan kepentingan koperasi dan kurang berpihak pada kebutuhan peternak. Informasi yang diberikan kepada peternak lebih menekankan pada as-pek menjaga kualitas dan kuantitas susu. Informasi tentang manajemen usaha, meningkatkan kemampuan bermitra usaha ataupun diversifikasi usaha yang dapat dilakukan peternak sapi perah kurang mendapat perhatian dari pihak koperasi.

Kelembagaan Peternak

Kelembagaan peternak di Kabupaten Pasuruan kurang mendukung usaha sapi perah, sedangkan di Kabupaten Bandung, kelembagaan peternak mendukung usaha peternakan sapi perah. Kelembagaan Peternak dalam penelitian ini adalah koperasi dan kelompok peternak sapi perah. Kelompok peternak dan koperasi di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung dibentuk secara top down. Kelom-pok yang dibentuk dari atas menyebabkan anggota kurang merasa memiliki kelompok yang bersangkutan. Kelompok sapi perah di Kabupaten Pasuruan tidak pernah mengadakan pertemuan, sedangkan kelompok sapi perah di Kabupaten Bandung ada yang aktif mengadakan pertemuan tetapi ada juga yang tidak pernah mengadakan pertemuan. Kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok peternak sapi perah di Kabupaten Bandung adalah arisan.

Di Indonesia, koperasi merupakan lembaga yang berperan sebagai media-tor antara peternak dengan IPS, terutama dalam pemasaran susu. Peran koperasi meliputi pengembangan subsistem budidaya (on farm), subsistem hulu (input factor supplies), subsistem hilir (processing and marketing), dan pengembangan sumberdaya manusia, transfer teknologi, dan ketersediaan akses modal.

Peran kelompok dan koperasi bagi peternak sapi perah di Kabupaten Pa-suruan dan Bandung, lebih bersifat memudahkan koordinasi dalam hal penyediaan sarana produksi dan pemasaran susu. Peran lembaga peternakan kurang

(21)

memper-hatikan peningkatan kompetensi peternak sebagai pelaku usaha. Kelompok dan koperasi belum dimanfaatkan sebagai wahana untuk mengembangkan kompetensi diri petani peternak, sebagai ajang tukar informasi, dan belajar berorganisasi.

Penyuluhan yang dilaksanakan koperasi disebabkan oleh salah satu peran koperasi yaitu pengembangan sumberdaya manusia. Ada kewajiban pihak kope-rasi untuk mengembangkan SDM anggotanya, karena dengan berkembangnya SDM anggota koperasi maka kualitas produk yang dihasilkan peternak sapi perah anggota koperasi, meningkat pula. Dalam hal ini, koperasi juga mendapat keun-tungan. Materi penyuluhan yang dilaksanakan koperasi lebih menitikberatkan kepada masalah teknik untuk menghasilkan susu dengan kualitas dan kuantitas tinggi. Hal ini bertujuan agar koperasi dapat memenuhi kuota kesepakatan de-ngan IPS dan mendapatkan keuntude-ngan yang tinggi. Materi tentang upaya meng-hasilkan pedet secara teratur, memberi nilai tambah kepada produk susu, dan memanfaatkan kotoran atau limbah ternak kurang mendapat perhatian koperasi. Hal ini karena pedet, hasil olahan susu, maupun pemanfaatan limbah atau kotoran sapi perah tidak berkaitan dengan koperasi.

Pada awal pendiriannya KUD ”Setia Kawan” dan KPBS adalah koperasi tunggal usaha, yakni usaha di bidang persusuan. Kegiatan usaha ini diterapkan dengan pola usaha agribisnis yang meliputi tiga unit kegiatan yaitu: pra produksi, produksi, dan pasca produksi. Unit pra produksi meliputi kegiatan-kegiatan: pengadaan dan penyebaran bibit, penyediaan sarana produksi seperti pakan, obat-obatan dan vaksinasi, serta penyediaan peralatan kandang seperti karpet, dan slang plastik, juga perlengkapan pemerahan seperti vaseline, milk can, dan saringan. Unit produksi meliputi kegiatan-kegiatan: manajemen koperasi, penyuluhan untuk mengembangkan usaha sapi perah dan penerimaan susu dari peternak. Unit pasca produksi meliputi kegiatan-kegiatan: pemasaran susu ke Industri Pengolahan Susu (IPS) dan pemasaran susu langsung ke konsumen. Namun, pada saat ini usaha koperasi telah berkembang ke usaha lain seperti minimarket, jasa keuangan (BPR) dan wartel. Bagi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan, usaha minimarket dan wartel dirasakan kurang mendukung usaha sapi perah. Bagi peternak sapi

(22)

pe-rah di Kabupaten Bandung, wartel dirasakan cukup mendukung usaha sapi pepe-rah yaitu untuk berkomunikasi dan mencari informasi dengan sumber informasi.

Kelembagaan Sosial

Banyak budaya dan pengetahuan lokal dapat dimanfaatkan oleh petani peternak untuk menghasilkan produksi yang tinggi tanpa merusak struktur eko-logi. Aspek lain yang menarik dari pengetahuan lokal dalam sektor pertanian ada-lah bahwa sistem pertanian lokal mampu mengembangkan dirinya tanpa dukung-an input pertdukung-anidukung-an modern. Ketergdukung-antungdukung-an pada teknologi modern meskipun dapat menaikkan produksi namun diikuti dengan naiknya biaya produksi.

Kelembagaan sosial di Kabupaten Pasuruan mendukung usaha peternakan sapi perah, sedangkan kelembagaan sosial di Kabupaten Bandung kurang mendu-kung usaha peternakan sapi perah. Setiap upaya pembangunan pertanian harus sensitif terhadap budaya masyarakat pertanian dengan menjadikan pengetahuan dan budaya lokal sebagai peubah utama dalam proses pembangunan pertanian. Kebudayaan Jawa termasuk di Pasuruan cenderung bersifat agraris dan feodalis-tis, mobilitas penduduk cenderung rendah, kurang memiliki jiwa entrepreneur-ship, rendah tingkat disiplin, rendah semangat kerja keras, kurang suka menabung (investasi), kurangnya pandangan ke depan dan cenderung bersifat ”nrimo.” Ciri-ciri tersebut sangat bertentangan dengan Ciri-ciri wirausaha yang berani mengambil resiko, tetapi kegiatannya didorong oleh motif mendapatkan keuntungan. Namun, kebudayaan Jawa memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Dalam mengatasi kendala usaha, seperti bila ada ternak yang sakit maka peternak di Kabupaten Pasuruan bertanya kepada tetangga atau ketua kelompok, kemudian melaksanakan nasihat tersebut. Banyak pengetahuan lokal yang digunakan untuk mengobati ternak yang sakit, misalnya untuk mengatasi ternak yang terkena penyakit mastitis, selain peternak menambah frekuensi pemerahan juga memberi buah pepaya masak kepada sapi yang sakit.

Peternak di Kabupaten Bandung lebih memiliki sikap terbuka dan memi-liki tingkat kosmopolit yang cukup tinggi. Peternak lebih berani mencoba hal-hal

(23)

yang baru yang ditawarkan penyuluh, seperti penggunaan karpet plastik untuk alas kandang, dan pemanfaatan berbagai limbah pertanian untuk pakan sapi. Peternak sapi perah juga memberikan taoge (kecambah) sebanyak 3-5 kg/ekor/hari selama 5-7 hari sebagai upaya untuk mempercepat bihari pada sapi perah. Namun, ada kecenderungan pandangan masyarakat di Kabupaten Bandung yang masih meng-anggap bahwa usaha peternakan sapi perah merupakan usaha yang tidak terhormat karena berhubungan dengan ternak.

Dalam hal menambah pengetahuan melalui kegiatan penyuluhan, di kedua lokasi penelitian memperlihatkan tidak adanya batasan warga untuk memperoleh-nya, tetapi karena kegiatan penyuluhan dilaksanakan pada malam hari maka peserta yang datang lebih banyak adalah kaum lelaki. Penyuluhan yang diadakan di koperasi menyebabkan perempuan kurang berminat mendatanginya karena jarak yang jauh.

Tanggapan masyarakat maupun pemimpin informal terhadap pemeliharaan sapi perah yang dilakukan oleh masyarakatnya, merasa tidak keberatan malah sangat mendukung. Hal ini disebabkan dengan adanya budidaya sapi perah di daerahnya menjadikan sarana jalan raya menjadi baik. Koperasi memberi insentif kepada desa-desa yang membudidayakan ternak sapi perah sebesar Rp 5,00 untuk tiap liter susu yang dihasilkan warganya.

Kelembagaan Penyuluhan

Kelembagaan yang menangani penyuluhan untuk usaha sapi perah adalah koperasi. Hal ini karena salah satu fungsi koperasi adalah berperan secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.

Tenaga penyuluh yang melaksanakan penyuluhan dibagi dalam dua ke-lompok, bila materi penyuluhan berkaitan dengan teknis budidaya sapi perah maka penyuluhan disampaikan oleh penanggungjawab pada masing-masing TPK/ TPS tetapi bila materi yang disampaikan berkaitan dengan kebijakan koperasi ma-ka materi penyuluhan disampaima-kan oleh ma-karyawan atau pengurus koperasi. KPBS memiliki tiga orang karyawan yang mengatur pelaksanaan penyuluhan di seluruh

(24)

wilayah kerja koperasi, sedangkan KPSP ”Setia Kawan” Pasuruan belum memi-liki karyawan khusus yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penyuluhan. Pelaksanaan penyuluhan diatur oleh pengurus koperasi yaitu sekretaris koperasi.

Metode penyuluhan yang digunakan adalah ceramah dan diskusi dengan cara tatap muka. Kemampuan komunikasi dengan orang-orang di luar komunitas peternak yang terbatas dan sikap kurang percaya diri menyebabkan belum semua peserta penyuluhan terlibat aktif dalam diskusi maupun dalam proses pengambilan keputusan.

Media yang digunakan untuk membantu peternak memahami materi penyuluhan adalah media cetak seperti buku, majalah, leaflet, dan brosur. Keter-batasan dana bagi program penyuluhan menyebabkan buku, majalah, dan leaflet dibagikan kepada ketua dan beberapa peternak saja. Pelaksanaan demonstrasi sebagai tindak lanjut dari ceramah, jarang dilakukan. Demikian juga halnya dengan pelaksanaan magang, karyawisata ataupun anjangkarya ke peternak sapi perah yang berprestasi untuk meningkatkan motivasi peternak dan membuka akses informasi ataupun membuka jaringan kerja antar peternak, sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun mayoritas peternak membudida-yakan sapi dengan teknik dan manajemen yang sama. Orang-orang yang menga-lami kemajuan dalam teknik dan manajemen pada umumnya adalah ketua kelompok dan orang-orang yang dekat (secara emosional maupun tempat tinggal) dengan ketua kelompok. Hal ini terjadi karena intensitas komunikasi yang tinggi dengan sumber-sumber informasi.

Kebijakan Pemerintah dalam Persusuan Nasional

Campur tangan pada perkembangan peningkatan produksi sapi perah hingga tahun 1999 sangat besar baik dalam pengaturan pemasaran, tata niaga impor sapi perah, memaksa IPS membeli susu segar koperasi dengan cara meng-kaitkan ijin impor susu dengan penyerapan susu segar dari koperasi. Kebijakan tersebut selama hampir 30 tahun ternyata tidak menghasilkan peternakan yang tangguh malah sebaliknya membuat ketergantungan dalam diri pengelola usaha.

(25)

Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terhadap usaha persusuan di Indonesia lebih bersifat melindungi peternak sapi perah dibandingkan menum-buhkan kompetensi peternak. Secara normatif adanya kebijakan pemerintah terse-but bertujuan meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan produksi susu dalam negeri, dan meningkatan kesempatan berusaha. Namun, rendahnya kompe-tensi kewirausahaan peternak menyebabkan kebijakan pemerintah tersebut ditang-gapi dengan cara berupaya untuk menghasilkan susu sapi dalam jumlah banyak tetapi bukan dari ternak-ternak produktif melainkan dari populasi ternak yang banyak. Untuk menghasilkan susu yang tinggi, peternak memberi pakan sapi perah dengan pakan berkualitas yang dibeli dari koperasi. Uang yang diperoleh peternak dari penjualan susu sapi habis untuk membeli pakan konsentrat dan hijauan, sehingga dari tahun ke tahun belum ada perbaikan kesejahteraan peternak sapi perah. Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat pelaku usaha persusuan dalam menentukan kebijakan pemerintah menyebabkan sempitnya ruang gerak dan kreativitas masyarakat tani ternak. Peternak bagaikan robot yang bertugas sesuai instruksi yang diterima.

Kebijakan pemerintah maupun koperasi yang mengatur penyediaan sarana, prasarana, informasi serta pemasaran susu menyebabkan peternak memiliki ketergantungan kepada koperasi dan pemerintah. Sikap tidak mandiri pada peter-nak kurang menumbuhkan kompetensi kewirausahaan peterpeter-nak.

Menyadari sisi negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan sebelumnya maka pemerintah berusaha memperbaikinya. Berikut ini adalah rencana kerja dari Di-rektorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Perta-nian dalam upaya mendorong pemasaran produk susu pada peternakan rakyat, (Damardjati, 2008:7-9), yaitu:

(1) Memberikan dukungan nyata kepada peternak untuk meningkatkan produk-tivitas dan kualitas hasil ternak sapi perah melalui pemberian bantuan fasili-tas peralatan penanganan susu segar kepada Kelompok/Gapoknak.

(2) Meningkatkan kemampuan pengolahan susu pada tingkat peternak yang berbasis pada Kelompok/Gapoknak. Upaya ini dapat dilakukan melalui

(26)

penye-diaan bantuan teknik dan peralatan pengolahan susu di sentra produksi susu sapi perah.

(3) Meningkatkan kemampuan peternak/pelaku usaha penanganan, pengolahan dan pemasaran susu dalam mengembangkan usaha. Upaya yang dilakukan yakni melakukan kegiatan pendampingan usaha peternak/Kelompok/ Gapoknak dengan merekrut tenaga yang berkompeten baik dari Perguruan Tinggi maupun dari lembaga-lembaga lain yang relevan dengan hal tersebut. (4) Meningkatkan kemampuan penjualan langsung ke konsumen. Ini merupakan

tantangan yang dihadapi pemerintah karena minum susu belum merupakan budaya masyarakat, sehingga diperlukan suatu rencana aksi dengan membuat suatu kebiasaan minum susu yang kemudian kebiasaan itulah yang mem-bentuk budaya minum susu. Upaya ini dapat dilakukan melalui promosi minum susu segar atau susu murni bagi anak sekolah dan kelompok masya-rakat gizi buruk.

(5) Program diversifikasi pengolahan produk susu dilakukan melalui pengolahan susu tablet yang akan dilakukan di Kabupaten Sleman dan Kulon Progo pada tahun 2008.

(6) Model prototipe yang telah dilakukan dalam pengolahan susu pasteurisasi Golpara di Sukabumi ternyata dapat meningkatkan pengolahan susu dari 60 liter per hari menjadi 520 liter per hari yang berarti kesadaran untuk meraih nilai tambah melalui usaha pengolahan semakin baik di tingkat peternak. Hal ini telah direplikasikan pada daerah sentra produksi yang potensial seperti di Sinjai, Enrekang, Blitar dan sebagainya.

Untuk mewujudkan program aksi tersebut, kegiatan utama yang dilakukan antara lain: fasilitasi peralatan penanganan, pengolahan dan pemasaran susu segar, pendampingan pengembangan usaha, Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) serta kegiatan pemasaran susu dimasyarakat. Pada tahun 2007 telah dilakukan penyebaran bantuan alat pengolahan susu pasteurisasi yang diberikan di lima provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Bantuan alat tersebut diberikan melalui kelompok peternak sapi perah yang dalam operasionalnya bekerjasama dengan koperasi susu setempat.

(27)

Tujuan dari bantuan alat adalah apabila susu sapi perah peternak ditolak oleh koperasi (IPS) maka dapat diolah menjadi susu pasteurisasi yang dikemas dalam cup dan diberi label. Dalam proses pengolahan dan pengemasan disesuaikan dengan standar higienis yang berlaku agar konsumen yang meminum susu tidak sakit (bio safety). Untuk program bantuan peralatan tahun 2008 sedang dilakukan mapping pada daerah sentra produksi agar dapat diketahui secara pasti kebutuhan peralatan yang dibutuhkan karena masing-masing daerah peralatan yang diingin-kan tidak sama seperti milk can, pasteurisasi, mobil tank, dan lain-lain.

Program pemasaran yang dicanangkan untuk memasyarakatkan minum susu adalah melalui :

(1) Gerakan Minum Susu Bagi Anak Usia Sekolah (GERIMIS BAGUS) yang dilakukan di Kabupaten Sukabumi yaitu dengan membagikan susu kepada anak Sekolah Dasar secara rutin untuk membantu meningkatkan gizi anak-anak dengan target sebesar 5.000 anak-anak.

(2) Program Menu Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) melalui Dinas Pendidikan di Kabupaten Sinjai pada tahun 2007 telah menyalurkan susu anak sekolah sebanyak 14.000 liter dalam bentuk susu dalam gelas (cup), untuk tahun 2008 akan ditingkatkan menjadi 19.000 liter yang dibiayai melalui APBD.

(3) Program Desa Mandiri Pangan (PDMP) yaitu memberikan bantuan susu kepada ibu-ibu hamil melalui Puskesmas di Kabupaten Sinjai.

Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mempro-mosikan minum susu. Kegiatan-kegiatan tersebut sekaligus memberi harapan ke-pada peternak untuk mengembangkan produktivitas kerja sehingga mampu meng-hasilkan produk susu dan produk olahannya sesuai dengan permintaan pasar.

Kebijakan Pemerintah dalam Mencukupi Kebutuhan Susu

Hingga tahun 2007, peternakan sapi perah lokal mampu mencukupi kebu-tuhan susu penduduk Indonesia sebesar 26 persen, sisanya dipenuhi dari impor. Semakin bertambah jumlah penduduk dan kesadaran pentingnya gizi bagi pertumbuhan generasi muda menyebabkan kebutuhan susu semakin meningkat.

(28)

Bila solusi pemerintah selalu dengan mengimpor susu dari luar negeri maka harga susu pada tingkat konsumen semakin mahal sehingga tidak semua mayarakat mampu untuk membelinya. Kurangnya asupan pangan bergizi bagi generasi muda dapat menyebabkan terjadinya loss generation dan dapat memperburuk kualitas SDM generasi yang akan datang. Oleh karena itu, perlu upaya untuk mengatasi keadaan ini.

Pemerintah Indonesia melakukan impor susu dengan persyaratan yang cu-kup ketat. Hal ini mengingat sifat susu yang mudah tercemar bakteri dan mudah rusak. Selain itu, upaya ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari penyakit zoonosis, menjamin kelayakan pangan, dan memberi keamanan dan ketenteraman batin konsumen. Syarat-syarat susu atau produk susu yang di ekspor ke Indonesia harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Direktur Kesmavet Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, sebagai berikut:

(a) bahan baku susu harus berasal dari peternakan yang bebas ”brucellosis” dan ”tuberculosis” serta telah dibuktikan dengan sertifikat,

(b) telah dilakukan pengujian terhadap cemaran mikroba dan residu sekurang-kurangnya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan telah dibukti-kan dengan sertifikat,

(c) telah melalui proses inaktivasi selain menggunakan metode radiasi terhadap mikroorganisme patogen dan telah dibuktikan dengan sertifikat,

(d) tidak mengandung bahan pengawet, bahan tambahan dan bahan lain yang membahayakan kesehatan manusia yang dibuktikan dengan sertifikat, dan (e) setiap proses pembuatan susu dan produk susu harus telah menerapkan

Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) dan jaminan kehalalan. Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, membebaskan pajak bagi perdagangan susu oleh peternak sapi perah. Susu yang dimaksud adalah diperah, didinginkan, dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lain, dikemas bahan lainnya, dikemas atau tidak dikemas. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar tidak

(29)

membebani peternak sapi perah dalam pemasaran susu dan mendorong peternak sapi perah memproduksi susu dari sapi perahnya secara maksimal dan dijual langsung ke konsumen atau melalui koperasi dan selanjutnya koperasi menjualnya ke konsumen atau IPS.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kekurangan susu bagi penduduk Indonesia, selain mengimpor susu juga mengimpor bibit sapi perah. Pada periode 1979–1995 pemerintah mengimpor bibit sapi perah sebanyak 87.885 ekor dan bibit tersebut diberikan kepada peternak melalui koperasi dengan sistem kredit Pengembangan Usaha Sapi Perah (PUSP). Setelah program PUSP dijalan-kan maka secara drastis produksi susu meningkat secara tajam. Dengan mening-katnya produksi susu dalam negeri maka pada tahun 1983 Pemerintah mengelu-arkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan dan Koperasi yang isinya adalah Industri Pengolah Susu (IPS) diwajibkan menyerap susu segar dalam negeri sebagai pendamping dari susu impor untuk bahan baku industrinya. Namun, pada tahun 1998 dengan dikeluarkan Letter of Intents (LoI) dari IMF kebijakan tersebut sudah tidak berlaku lagi sehingga IPS dengan bebas dapat mengimpor susu dari luar negeri sampai sekarang.

Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 menyebabkan impor bibit sapi perah mengalami penurunan karena harga bibit sapi perah sangat mahal. Harga bibit sapi perah sebelum krisis sekitar Rp 2,2 juta (1000 US$), setelah krisis harga bibit sapi perah mencapai Rp 9-10 juta. Kondisi tersebut menyebabkan pemerin-tah melakukan upaya-upaya seperti mengimpor sapi-sapi induk yang berkualitas, kemudian sapi-sapi tersebut diternakkan oleh koperasi. Turunan dari sapi-sapi tersebut kemudian dikreditkan ke peternak. Selain itu, koperasi juga membeli bibit sapi perah dari lain daerah (dari Lembang, Baturraden, dan Boyolali) dengan tujuan menghindari terjadinya inbreeding ataupun meningkatkan kualitas sapi perah. Upaya lain adalah menghasilkan bibit sapi perah dengan memanfaatkan teknologi dari ahli pemuliabiakan ternak. Salah satunya adalah hasil penelitian aplikasi IB dengan teknologi sexing sperma yang dikembangkan oleh Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari sejak tahun 2004. Dengan teknik ini dapat

(30)

dihasilkan semen beku sexing dalam jumlah sangat besar dalam waktu singkat dengan jenis sex yang sesuai dengan keinginan peternak. Selain itu juga pemerin-tah melalui Direktorat Jenderal Peternakan bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor telah mengupayakan uji zuriat untuk menghasilkan pejantan-pejantan ber-kualitas. Diharapkan melalui upaya tersebut pemerintah dapat mengganti dan mencukupi kebutuhan bibit sapi perah yang mampu menghasilkan produk susu yang tinggi dan berkualitas dengan harga lebih murah dibandingkan dengan impor bibit sapi perah. Salah satu penyebab tidak optimumnya produksi susu sapi perah karena bibit sapi perah sudah tua.

Instansi pemerintah yang langsung terkait dalam mendukung kebijakan pengembangan sapi perah adalah: (a) Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang di Jawa Barat dan BBIB Singosari di Jawa Timur; (b) Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Baturraden di Jawa Tengah; dan (c) Balai Embrio Ternak (BET) di Cipelang Jawa Barat. Fungsi BIB adalah memproduksi dan mendistribusikan semen beku ke daerah-daerah yang memerlukan. Semen beku diperoleh dari pe-jantan unggul yang diperoleh dari impor dan Balai Embrio Ternak Cipelang. Sebagai penghasil bibit yang juga berperan dalam upaya peningkatan mutu gene-tik, BPTU Baturraden menggunakan sistem Breeding Centre yang dikombinasi-kan dengan sistem Village Breeding Centre. Dengan kegiatan seleksi dari sistem pembibitan yang ada diharapkan diperoleh pejantan-pejantan unggul untuk keper-luan BIB guna produksi semen, dan betina-betina unggul untuk donor di Balai Embrio Ternak. Fungsi BET antara lain memproduksi dan mendistribusikan embrio ternak, terutama untuk mendukung kegiatan produksi semen di BIB dan penangkaran bibit.

Musim panas yang berkepanjangan di Australia dan New Zealand saat ini berpengaruh terhadap penyediaan pakan hijauan dan butiran. Hal ini menyebab-kan meningkatnya harga pamenyebab-kan ternak yang berdampak pada meningkatnya harga susu. Disisi lain, dengan meningkatnya harga minyak dunia yang mencapai US$ 118/barrel secara otomatis meningkatkan biaya transportasi. Dengan demikian kemungkinan IPS banyak menyerap susu lokal karena meningkatnya biaya

(31)

produksi di negara eksportir dan ini merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh peternak sapi perah di Indonesia.

Peluang ini perlu ditanggapi secara serius oleh pemerintah dan pelaku usaha sapi perah. Pemerintah melakukan upaya promosi minum susu segar kepa-da masyarakat sehingga merangsang penjualan susu segar kepakepa-da konsumen langsung dan secara bertahap dapat mengurangi ketergantungan peternak dan koperasi terhadap IPS, serta mengurangi bahan baku susu impor. Konsumsi susu segar juga lebih meringankan konsumen karena harga susu lebih murah. Peternak perlu didorong untuk mengoptimalkan skala usaha yang menghasilkan keuntung-an maksimal. Selain itu, koperasi perlu melengkapi peralatkeuntung-an untuk pengawetkeuntung-an dan pengemasan dalam bentuk susu dalam botol, dalam kaleng atau dalam kotak untuk dijual langsung ke konsumen.

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Sapi Perah

Salah satu dukungan pemerintah daerah Kabupaten Pasuruan dan Bandung adalah dengan membangun prasarana produksi berupa pembangunan jalan raya sampai ke lorong-lorong tempat tinggal peternak. Namun, karena warga tidak dapat merawatnya maka banyak jalan raya yang rusak. Perbaikan jalan dilakukan oleh pemerintah daerah dan koperasi secara bertahap. Bentuk dukungan lain dari pemerintah daerah di Kabupaten Bandung adalah dengan akan ditandatanginya kerjasama antara Pemda dengan P.T. Teh Sosro pada tahun 2008, untuk pena-naman rumput di lahan P.T Teh Sosro seluas 800 Hektar di Perkebunan Cukul dengan sistem sewa.

Kompetensi Kewirausahaan

Peternakan sapi perah merupakan usaha yang memerlukan kompetensi kewirausahaan yang meliputi kompetensi teknis dan manajerial, sehingga meru-pakan hal yang kurang tepat apabila usaha peternakan sapi perah masih dikelola

(32)

sebagai usaha sambilan. Tingkat kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah rakyat di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.

Secara umum, peternak telah menguasai kompetensi teknis dengan tingkat tinggi, sedangkan kompetensi manajerial peternak sapi perah adalah sedang (Tabel 13), khususnya dalam hal memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi kendala usaha. Bargaining position yang lemah, kemampuan berinteraksi dengan komunitas di luar komunitas masyarakat sekitar, yang lemah, serta keterbatasan modal yang dimiliki menyebabkan peternak kurang berani mengambil keputusan yang memiliki resiko tinggi terhadap berkurang atau hilangnya aset yang dimiliki. Sikap ”nrimo” peternak juga turut memberi kontribusi terhadap rendahnya kompetensi.

Tabel 13. Tingkat Kompetensi Kewirausahaan Peterak Sapi Perah

Indikator Kec. Nongkojajar

Kabupaten Pasuruan

Kec. Pangalengan Kabupaten Bandung

Kec. Nongkojajar dan Kec Pangalengan Rataan Tingkat Kompetensi Rataan Tingkat Kompetensi Rataan Tingkat Kompetensi Kompetensi Teknis

Bibit Sapi Perah 58,64 sedang 72,24 tinggi 65,44 sedang Perkandangan 71,23 tinggi 84,32 tinggi 77,66 tinggi

Pakan 73,65 tinggi 85,69 tinggi 79,67 tinggi

Reproduksi 69,60 sedang 82,56 tinggi 76,08 tinggi Pemeliharaan 73,74 tinggi 90,88 tinggi 82,31 tinggi

Pemerahan 69,89 sedang 84,99 tinggi 72,44 tinggi

Produktivitas Ternak 73,18 tinggi 86,88 tinggi 80,03 tinggi

Recording 30,64 rendah 44,96 sedang 38,30 sedang

Penyakit 30,01 rendah 38,62 sedang 34,31 sedang

Rata-rata Kompetensi Teknis

61,18 sedang 74,57 tinggi 67,33 Kompetensi Manajerial

Perencanaan Usaha 30,93 rendah 37,71 sedang 34,32 sedan g Pengkoordinasian 30,64 rendah 37,08 sedang 33,86 rendah Pengawasan 30,08 rendah 37,57 sedang 31,95 rendah

Evaluasi 30,72 rendah 37,60 sedang 34,16 sedang

Komunikasi 36,84 sedang 46,37 sedang 41,61 sedang Bermitra Usaha 30,63 rendah 41,85 sedang 36,24 sedang Mengatasi kendala usaha 29,10 rendah 36,48 sedang 32,79 rendah Memanfaatkan peluang

usaha

30,68 rendah 34,72 sedang 32,70 rendah

Rata-rata Kompetensi Manajerial

31,20 rendah 38,67 sedang 34,94 sedang Rata-rata Tertimbang

Kompetensi Kewirausahaan

47,07 sedang 57,68 sedang 52,38 sedang

Keterangan: - 1-34 = rendah, >34-67 = sedang , >67–100 = tinggi

- Kabupaten Pasuruan, lokasi di Kecamatan Nongkojajar, Kabupaten Bandung, lokasi di Kecamatan Pangalengan.

(33)

Kompetensi Teknis

Kompetensi teknis yang diamati dalam penelitian ini adalah kompetensi peternak dalam hal bibit sapi perah, perkandangan, pakan, pemeliharaan, reproduksi, produktivitas ternak, pemerahan, recording, dan penyakit sapi perah. Rata-rata kompetensi teknis peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan adalah dalam tingkat sedang (61 persen), sedangkan di Kabupaten Bandung, kompetensi teknis peternak sapi perah adalah dalam tingkat tinggi (75 persen). Masalah teknis yang masih kurang dikuasai peternak sapi perah adalah recording dan deteksi penyakit serta pengobatannya. Pengalaman beternak yang telah cukup lama dan materi penyuluhan yang lebih menitikberatkan masalah teknis yang dilakukan pihak koperasi menyebabkan peternak menguasai teknik budidaya sapi perah secara baik. Namun, meskipun beternak sapi perah telah cukup lama ditekuni peternak, tetapi karena sifat kurang telaten dan tidak percaya diri menyebabkan peternak belum melakukan recording secara teratur dan kurang dapat mendeteksi penyakit secara baik.

Kompetensi Peternak tentang Bibit Sapi Perah

Sapi perah yang banyak dijumpai di lokasi penelitian adalah bangsa sapi Fries Holland (FH) dan Peranakan Fries Holland (PFH) yaitu hasil perkawinan sapi FH dengan sapi lokal. Peternak di Kabupaten Pasuruan maupun Bandung kurang mengetahui bangsa sapi perah yang dimilikinya. Peternak lebih mengenal negara asal ternak sapi perahnya, misalnya sapi perah dari Australia, dari Amerika, dan sebagainya.

Kompetensi peternak dalam masalah bibit sapi perah di Kabupaten Pasuruan pada tingkat sedang (59 persen), sedangkan di Kabupaten Bandung pada tingkat tinggi (72 persen). Pengalaman beternak yang dimiliki peternak sapi di Kabupaten Pasuruan dan Bandung telah cukup lama (lebih dari 10 tahun) sehingga peternak tidak kesulitan dalam hal memilih bibit. Bibit sapi diperoleh peternak dengan cara membesarkan sendiri, membeli, mendapat gaduhan (maro)

(34)

dari peternak lain, ataupun mendapat kredit dari koperasi. Secara umum, menurut peternak, sapi perah yang baik memiliki ciri-ciri: (a) perawakan atau bangun badan seimbang, dan memiliki berat badan sedang, (b) mata jernih dan bercahaya, (c) tanduk bagus, (d) ambing lembut, pada pangkalnya besar dan berkelok, (e) jumlah puting susu empat buah dan posisinya simetris, (f) bulu bersih dan mengkilap, (g) hidung basah, dan (h) alat kelamin bersih.

Seleksi sapi yang dijadikan bibit berdasarkan tampilan fisik ternak tanpa didukung recording ternak yang bersangkutan. Bibit sapi yang berasal dari peter-nakan sendiri dipilih berdasarkan penampilan fisiknya. Sapi yang memiliki penampilan fisik bagus sesuai dengan ciri-ciri ternak sehat dan berasal dari tetua produktif dipilih peternak sebagai bibit. Meskipun peternak tidak melakukan recording (pencatatan data) tetapi peternak cukup mengetahui prestasi sapi-sapi yang dimiliki.

Selain membesarkan sendiri, bibit sapi dapat diperoleh peternak dengan cara membeli dari teman, tetangga, di pasar hewan ataupun dari tengkulak yang mendatangi peternak. Pembelian bibit sapi oleh peternak pada umumnya dilaku-kan dengan cara tukar tambah. Sapi yang telah tua (berumur lebih dari sepuluh tahun) dan atau yang produksinya mulai berkurang dijual peternak kemudian diganti dengan ternak yang berumur lebih muda. Tukar tambah juga dilakukan dengan cara menukar pedet dengan sapi dara siap dikawinkan. Jual beli ternak sapi perah tidak dilengkapi dengan recording sapi yang bersangkutan. Pemilihan sapi berdasarkan tampilan fisik ternak dan wawancara dengan penjual. Keadaan demikian menyebabkan sering terjadi inbreeding pada sistem perkawinan meng-gunakan IB karena baik peternak maupun inseminator tidak mengetahui tetua sapi yang bersangkutan. Dampak inbreeding adalah menurunnya produktivitas ternak sapi perah. Menurut Sudono (1999:55), seleksi berdasarkan atas tampak luar (exterior) sebenarnya kurang tepat, karena ternak yang mempunyai bentuk badan yang baik, belum tentu menghasilkan produksi tinggi. Penelitian menghasilkan data bahwa korelasi genetik antara tipe sapi perah dengan produksi susu adalah rendah yaitu 0,10. Seleksi berdasarkan atas silsilah dilakukan untuk sapi-sapi yang masih muda, belum menghasilkan susu atau belum ada data yang menunjukkan

(35)

kinerja sapi-sapi tersebut. Seleksi yang paling tepat untuk memilih bibit yaitu dengan uji produksi individu ternak (individual merit testing) yaitu uji produksi susu tiap-tiap sapi, ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit dan uji zuriat (progeny test) yaitu pemilihan ternak berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya, cara ini umumnya dilakukan untuk ternak jantan karena ternak jantan mempunyai lebih banyak keturunan daripada ternak betina.

Kompetensi Peternak tentang Perkandangan

Fungsi kandang adalah melindungi ternak dari cuaca maupun dari gang-guan manusia atau ternak lainnya. Syarat kandang yang baik adalah sebaiknya dibuat berjauhan dengan rumah tempat tinggal peternak dan diusahakan menghadap ke arah matahari terbit; di dalam kandang dibuat aliran pembuangan agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar; kandang tidak perlu memiliki dinding luar agar ventilasi udara lancar; di daerah yang berangin kencang, dinding dapat diganti dengan menanam pepohonan di dekat kandang; lantai diusahakan dibuat dari semen dengan kondisi kedap air dan tidak licin; atap sebaiknya dibuat dari genting, dan kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum, serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi, sikat, dan ember.

Pada umumnya peternak telah menguasai tentang masalah perkandangan sapi perah. Hal ini terbukti dari kompetensi yang dimiliki peternak yaitu pada tingkat tinggi baik di Kabupaten Pasuruan (71 persen) maupun di Bandung (84 persen). Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan membangun kandang di samping rumahnya dibatasi oleh dinding. Kandang dibangun secara tertutup dengan tinggi dinding sekitar 2,0–2,5 meter, dengan alasan untuk keamanan ternak dari pencurian dan melindungi ternak dari udara luar sehingga ternak lebih hangat. Kapasitas kandang bervariasi antara 2–10 ekor.

Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung membangun kandang dekat ru-mahnya. Hal ini dilakukan dengan alasan menghindari pencurian. Alasan lainnya adalah karena lahan yang dipunyai peternak sempit sehingga tidak memungkinkan membangun kandang sapi berjauhan dari rumah peternak. Keterbatasan lahan

Gambar

Tabel 11. Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 12. Tingkat Dukungan Lingkungan Usaha Peternakan Sapi Perah
Tabel 14. Tingkat produktivitas peternak sapi perah  Indikator  Kabupaten
Tabel 15. Tingkat Produktivitas dalam komponen-komponennya
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Desain dan implementasi services provider untuk mendukung layanan web services push PDPT pada sistem informasi akademik Politeknik Negeri Lampung dapat

7) Apabila tidak ada peserta yang memenuhi persyaratan administrasi, maka seleksi dinyatakan gagal. Evaluasi teknis dilakukan terhadap peserta yang memenuhi persyaratan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas remediasi bentuk umpan balik menggunakan brosur untuk mengatasi kesulitan belajar siswa tentang gerak lurus

Berdasarkan analisa pada bab sebelumnya dan data hasil pengujian serta data – data yang didapat dari perhitungan, dapat diambil kesimpulan prosentase kadar emisi

Dari penelitian eksperimen ini didapatkan hasil terbaik reduksi emisi CO tertinggi pada kelompok eksperimen 3 menggunakan katalis dengan kandungan logam mangan 200 gr yaitu

Gambar 1 menunjukkan hasil biplot pengaruh interaksi model AMMI2 pada karakter produktivitas rimpang dan laju fotosintesis dari 20 genotipe temu hitam dan 3 varietas

Hermeneutika yang ditawarkan oleh Khaled, sebenarnya adalah dalam rangka untuk mengkritik perlakuan secara otoriter yang dilakukan oleh komisi fatwa hukum Islam di

Dalam penggalan percakapan tersebut menunjukkan adanya tuturan antara penjual yang menawarkan dagangannya kepada pembeli dengan menggunakan campur kode yang berupa perulangan