• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Isi Kata Pengantar I Sebuah Imbauan A Sajak-Sajak i Pendirian, Pembangunan dan Perkembangan Ureca Kegiatan Organisasi Kemahasiswaan Ureca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Daftar Isi Kata Pengantar I Sebuah Imbauan A Sajak-Sajak i Pendirian, Pembangunan dan Perkembangan Ureca Kegiatan Organisasi Kemahasiswaan Ureca"

Copied!
264
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Kata Pengantar I

Sebuah Imbauan A

Sajak-Sajak i

Pendirian, Pembangunan dan Perkembangan Ureca

Siauw Tiong Djin: Baperki, Ureca Dan Siauw Giok Tjhan 1 Go Gien Tjwan: Riwayat Ureca 39 Dali Santun Naga: Pendidikan Dan Jiwa Ureca 64 Kegiatan Organisasi Kemahasiswaan Ureca

Sie Ban Hauw: Pendirian Dan Perkembangan Ureca 73 Benny Setiono: Ureca Mengubah Perjalanan Hidup Saya 94 Kwan Siu Hwa: Ureca & The Sense Of Belonging 115 Nancy Wijaya: Kenangan Manis Tour Kesenian Ureca 124 Liem Tjwan Gie: Resimen Mahajaya Ureca 131 Serba-serbi Kenangan dan Pengalaman berkuliah di Ureca Oey Jam Tjhioe: Pembangunan Fakultas Teknik Ureca 135 Tan Sien Tjhiang: Fakultas Sastra Ureca 143 Liem Heng Hong: Berkuliah Di Fakultas Hukum Ureca 149 Ang Hong Beng: Perkembangan Fakultas Teknik Ureca 159 Yap Tjay Hian: Ureca Yogyakarta 166 Muhammad Khairul: Kenangan Indah Di Ureca 169 George Tabaluyan: Fakultas Kedokteran Gigi Ureca 180 Liem Djie Gwan: Fakultas Teknik Dan Perkembangannya 186 Tony Setiabudhi: Fakultas Kedokteran Universitas Baperki 192 Liem Lun Tiong: Fakultas Hukum Ureca 200 Harry Singgih: Sebagai Mahasiswa Dan Milis Ureca 205 Adi Purnomo: Perpeloncoan Di Ureca 220

(3)

Tan Swie Ling: Mengapa Ureca Dibakar? 234 Jiwa Ureca tetap hidup: Reuni dan Milis Ureca

Liem Heng Hong: Reuni Meneruskan Jiwa Ureca 237 Siauw Tiong Tjing: Milis Ureca Berkiprah 244

(4)

Oktober 1965, sebuah universitas swasta yang bernama Universitas Res Publica (Ureca) dibakar oleh massa yang dikerahkan oleh sebuah rezim militer baru – di bawah pimpinan Jendral Suharto. Rezim Militer yang didukung oleh blok barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat.

Lahan dan fasilitas Ureca kemudian diambil-alih -- berdasarkan keputusan pemerintah yang dikontrol oleh Jendral Suharto -- oleh Yayasan Trisakti yang mengelola Universitas Trisakti. Persoalan kepemilikan lahan di mana Universitas Trisakti berada, kini dalam persengketaan antara Yayasan Trisakti dan pihak rektoriat.

Universitas Res Publica (Universitas untuk kepentingan umum), didirikan, diasuh dan dikembangkan oleh Baperki (Badan Permu-syawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Dalam waktu sangat singkat, sebelum akhir 1965, universitas ini berkembang sebagai sebuah universitas swasta yang terbesar di Indonesia, dengan mutu pendidikan setaraf dengan banyak perguruan tinggi nasional se perti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.

Pergantian politik drastik yang terjadi setelah peristiwa G30S – 1 Oktober 1965 mengubah peta politik Indonesia. Kekuatan politik yang bisa dikatakan berada di atas angin sebelumnya, dalam waktu sekejap dinyatakan sebagai golongan yang harus diga-nyang dan dihilangkan dari permukaan politik Indonesia. Kekuatan kelompok “kiri” ini bergabung dalam sebuah koalisi politik yang melibatkan PKI (Partai Komunis Indonesia), Presiden Sukarno dan beberapa partai dan ormas, termasuk Baperki.

Baperki adalah sebuah organisasi massa yang sebagian besar anggotanya terdiri dari komunitas Tionghoa. Sejarah menunjuk-kan bahwa kekuatan “kiri” yang di singgung di atas, terutama Presiden Sukarno adalah pendukung sekaligus pelindung Baperki yang tujuan utamanya mengajak semua orang Tionghoa di Indonesia – baik yang peranakan maupun yang totok – untuk menjadi patriot Indonesia, mencintai Indonesia sebagai tanah airnya dan memiliki status hukum sebagai warga negara Indonesia. Baperki menentang semua kebijakan rasis yang dikeluarkan pemerintah dan yang dirumuskan oleh banyak pimpinan partai politik yang bergabung di kelompok “kanan”. Itulah alasan utama mengapa Baperki masuk dalam kelompok “kiri” yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.

Keberadaan Baperki di kelompok “kiri” tersebut menyebabkan ia turut tergulir dan diganyang oleh kekuatan “kanan” yang dipimpin oleh Jendral Suharto. Kekuatan militer yang membunuh lebih dari satu juta orang yang kiri tidak bersalah dan melakukan persekusi masal, sehingga seratus ribu orang berada dalam tahanan berbelas

(5)

menikmati hak-hak wajar sebagai warga negara Indonesia. Langgam perjuangan Baperki bersifat membangun. Ia tidak me-lawan rasisme di berbagai bidang dengan slogan-slogan anti rasisme. Baperki melawan arus rasisme dengan merumuskan dan melaksanakan berbagai langkah konstruktif (membangun) se-bagai jalan keluar yang menyebabkan dampak rasisme berkurang atau hilang sama sekali.

Pendirian Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang dipimpin oleh ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan merupakan contoh kongkrit langgam perjuangan yang membangun ini. Dalam waktu singkat, yayasan yang didirikan pada tahun 1958 menjalan-kan ratusan sekolah di berbagai kota besar Indonesia. Dan pada akhir 1958, ia mendirikan pula sebuah Universitas Swasta. Tindakan membangun ini menyebabkan puluhan ribu pelajar Tionghoa tertampung, bisa terdidik dengan kurikulum nasional. Dan ribuan pemuda Tionghoa, baik yang berkewarganegaraan Indonesia atau berstatus asing memperoleh kesempatan belajar di perguruan tinggi. Tanpa Baperki, kemungkinan ini tidak akan ada, karena pada waktu itu jumlah perguruan tinggi sedikit dan jumlah Tionghoa berkewarganegaraan Indonesia yang masuk sangat dibatasi. Tionghoa yang berstatus asing lebih tidak berharapan. Pendirian dan pengembangan sekolah-sekolah dan universitas Baperki dilakukan dengan semangat gotong royong dan berdikari, melibatkan para simpatisan Baperki, komunitas pedagang Tionghoa baik yang besar maupun yang kecil, para cendekiawan , para orang tua dan para pelajar dan mahasiswa Baperki. Pembangunan beberapa gedung di berbagai kampus Ureca diba-ngun oleh para mahasiswa-nya sendiri. Ureca adalah satu-satunya universitas yang dibangun oleh mahasiswa-nya sendiri. Kebijakan pimpinan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mampu menarik para cendekiawan sebagai tim pengajar yang berkaliber tinggi, sehingga mutu akademik yang ditawarkan dihargai oleh masyarakat, baik Tionghoa maupun non Tionghoa. Oleh kekuasaan militer Ureca dianggap sebagai universitas komunis, sehingga ada dasar untuk dihancurkan. Tulisan-tulisan di buku ini membantah tuduhan itu. Tidak ada indoktrinasi komunisme di Ureca. Yang ada hanyalah dorongan untuk mengerti ideologi negara, untuk mencintai Indonesia dengan mengenal kebuda-yaan Indonesia, untuk meraih ilmu pengetahuan praktis supaya bisa cepat membaktikan pengetahuan demi pembangunan Indonesia. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang memberi bimbingan dan dorongan yang bersandar atas prinsip pembangunan nasion Indonesia.

(6)

belakang pendidikan Tionghoa-nya tidak mengenal Indonesia, berubah menjadi orang-orang Indonesia yang mengenal sejarah Indonesia, mengenal kebudayaan Indonesia dan karena itu, mencintai Indonesia. Setengah abad setelah Ureca terpaksa dihentikan, kecintaan terhadap Indonesia masih melekat di setiap alumni Ureca.

Karena situasi politik di luar kontrol Baperki, Ureca tidak sempat melahirkan ribuan sarjana. Akan tetapi sebagai institusi pendidikan, ia berhasil meng-Indonesiakan ribuan orang yang tadinya tidak mengenal Indonesia dan tidak menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Ia merupakan satu-satunya perguruan tinggi dengan prestasi ini. Ureca berperan dalam pembangunan nasion Indonesia, nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Buku ini disusun untuk menggambarkan sejarah pendirian, perkembangan Ureca dan bagaimana kecintaan para mahasiswanya terhadap Ureca. Juga dituturkan bagaimana jiwa mulia Ureca masih dipertahankan oleh para alumni Ureca hingga sekarang.

Generasi muda dan mendatang harus tahu tentang keberadaan Ureca yang diasuh dan dibina oleh Baperki dalam sejarah Indonesia.

Penyusunan buku ini diprakarsai oleh Liem Heng Hong, Tan Ping Ien, Jo Goan Lie (Dali Santun Naga), Sie Ban Hauw dan para teman lain.

Kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua penyumbang tulisan dan semua pihak yang telah banyak membantu sehingga penerbitan buku ini bisa dilakukan.

Beberapa tulisan yang kami terima telah disunting untuk penyesuaian bahasa termasuk ejaan baru. Semua kesalahan yang berkaitan dengan tindakan penyuntingan ini adalah tanggung jawab penyunting , Siauw Tiong Djin.

Panitia Penyusun Buku Ureca Maret 2014.

(7)

Sie Ban Hauw

Di reuni URECA ke 7 di Hotel Seruni , Cisarua 22-25 Mei 2012 yg lalu, banyak teman, termasuk bapak Prof. Ir. Jo Goan Lie, mendorong kami untuk menulis dan menerbitkan sebuah buku kenangan tentang riwayat Ureca yang kita cintai.

Ureca didirikan oleh Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang mewujudkan inspirasi dan angan-angan bapak Siauw Giok Tjhan. Karena Ureca dibangun dengan semangat gotong royong melibatkan para pengajar, para mahasiswa yang berkuliah di sana dan para penyumbang, terdapat banyak kenangan, sekaligus kebanggaan. Dari pihak luar, bangkit dan berkembang kekaguman, karena Ureca memiliki keunikan dan mencerminkan kekuatan gotong royong dan semangat berdikari.

Bapak Go Gien Tjwan dalam tulisannya-pun pernah menyatakan bahwa Ureca adalah universitas yang memiliki keunikan tersendiri, dan tidak ada yang menyamainya di Indonesia.

Atas dasar semangat gotong-royong, pimpinan yayasan didukung oleh masyarakat Tionghoa, masyarakat civitas academica, para pengusaha serta tokoh-tokoh pejuang angkatan 45 dan para mahasiswa Ureca telah mengembangkan sebuah universitas swasta terbesar dan bermutu di Indonesia. Mereka juga berhasil membangun berbagai gedung dan fasilitas dengan prinsip berdikari. Inilah ciri khas Ureca.

Para mahasiswa Ureca dan para dosennya, sebelum Ureca di serang pada tanggal 15 Oktober 1965, sedang dalam persiapan membangun gedung baru berlantai 3. Kami baru sampai tahap pengecoran fondasi. Pembangunan seyogyanya dilakukan sen-diri oleh para mahasiswa Ureca. Upaya agung itu tidak bisa dilanjutkan karena Ureca diserang, dibakar dan dirusak oleh kekuatan massa yang dikerahkan militer pada tanggal 15 Oktober 1965. Semua gedung Ureca di kedua kampus, kampus A dan Kampus B, termasuk asrama mahasiswa yang dibangun sendiri oleh para mahasiswa hancur.

Semangat kecintaan kepada Alma mater, kebersamaan saat kita belajar bersama, kegotong-royongan membangun asrama mahasiswa, kegiatan bersama membangun fondasi gedung baru, ke-setia-kawanan sesama Alma mater dan gemblengan para pengajar Ureca telah menempa kita semua, sehingga walaupun banyak di antara kita putus kuliah, kita semua mampu terjun

(8)

Kuliah Studium Generale yg diberikan oleh bapak Siauw Giok Tjhan tentang Nation and Character Building serta perjuangan para warga keturunan Tionghoa dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan – pun merupakan gemblengan yang sangat berguna dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup setelah tahun 1965.

Kami harapkan buku yang menggambarkan riwayat sebuah Universitas Unik -- Ureca -- , dan menunjukkan kegigihan semua civitas academica yang ikut serta memperjuangkan kebesaran, kemuliaan dan kekompakan dalam mencapai mutu pendidikan tinggi untuk semua warga negara Indonesia dalam membangun nasion Indonesia yang pluralis.

Generasi mendatang harus tahu bahwa di bumi ini ada lembaga pendidikan unik yang luar biasa dan berjasa untuk pembangunan Nasion Indonesia yang bernama Universitas Res Publica.

Diharap penuturan ini dijadikan sebuah contoh atau pedoman untuk semua pihak yang berhubungan dengan dunia pendidikan . Sie Ban Hauw

(9)

Aku dan Ureca

(oleh Harry Singgih)

akhir tahun enam puluh dua

Aku tiba di Ureca

Setahun kemudian

ku tinggalkan dia

karena aku pindah kuliah

ke mancanegara

apa yang tersisa

hanyalah pengenalan

sebatas selayang pandang

lewat setengah abad

tak kunyana, tak kusangka

berjumpa aku dengan Milis Ureca

serta-merta aku melihatnya

sebagai wahana

tingkatkan pengenalan

sebatas selayang pandang

jadi pershabatan

dilandasi kesetaraan & kebersamaan

tak kenal batas ras dan agama

(10)

(Oleh Anak Teratai)

S

andal jepit yang menopang kaki

I

tulah kesederhanaan panutan kami

A

jaran civic kebersamaan yang disampaikan

U

ntuk mengabdi bumi persada Indonesia

W

ahana inspirasi yang tak lentur oleh jaman

G

elombang pasang menerpa bumi kita berpijak

I

bu pertiwi dalam konflik kepentingan

O

lengan kapal melelahkan pengemudi

K

arno terhempas dari singgasana pengabidian

T

renyuh juga karena perang dingin

J

alinan persatuan terpecah belah

H

asutan kebencian merana tak berkunjung

A

ku putih engkau merah terpisahkan

N

andung kesedihan melantunkan irama duka

D

erita kesunyian berpagar tembok

A

sa dan harapan tak pernah meluntur

L

amunan sepi tentang bakti pertiwi

A

badi membara dalam tubuh yang renta

M

enguatkan tekad persatuan dalam kebhinnekaan

K

eberanian prinsip tetap tak berubah

E

jekan, fitnahan, cercaan terpatri

N

asib dipaksa berpisah meninggalkan Tanah Air

A

nggota keluarga porak poranda ke manca negara

N

iat cinta rayuan pulau kelapa tetap membahana

G

etaran kesetiaan tak punah dalam kematian

A

khir hayat tak akan membendung semangat

N

amamu senantiasa terkenang dalam hati

(11)
(12)

Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan Nasion Indonesia

Siauw Tiong Djin Pendahuluan

Keberadaan dan perkembangan Ureca – Universitas Res Publica -- tidak bisa dipisahkan dari kehadiran Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dalam kancah politik Indonesia. Perkembangan Baperki sangat tergantung pula atas dasar dan sikap perjuangan serta sepak terjang ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan dan para teman seperjuangannya. Sejak Siauw Giok Tjhan terjun dalam berbagai kegiatan sosial dan politik pada tahun 1932 di Surabaya, dunia pendidikan untuk komunitas Tionghoa sudah menjadi perhatiannya. Ini ternyata berupa salah satu komitmen perjuangan jangka panjangnya. Oleh karena itu untuk mengerti mengapa Ureca berkembang sebagai sebuah universitas yang unik, lain dari yang lain untuk ukuran Indonesia, bahkan internasional, kita perlu meneropong sejarah perjuangan Siauw.

Siauw masuk ke dalam gerakan politik pada usia muda di zaman penjajahan Belanda karena terpanggil untuk mencari jalan keluar untuk komunitas-nya, komunitas Tionghoa di Surabaya. Pada ketika itu jarang sekali pemuda Tionghoa, terutama dari kelas menengah atas seperti Siauw, yang memiliki kesadaran untuk ber-politik, apalagi terjun dalam kegiatan mendukung kemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko besar karena penjajah Belanda bersikap ganas terhadap para pejuang kemerdekaan.

Para guru politiknya, di antaranya Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, Liem Koen Hian dan Tan Ling Djie menanamkan kesadaran bahwa dalam menghadapi masalah, yang harus dilaksanakan adalah pencarian dan realisasi jalan keluar dari masalah yang dihadapi, bukan hanya sekedar menentang apa yang tidak berkenan dan merugikan golongan yang dibela. Sikap perjua-ngan membangun inilah yang menjadi langgam kerja Siauw sebagai seorang politikus dan pemimpin organisasi massa.

Sejak zaman penjajahan ia menyadari bahwa penyelesaian masalah Tionghoa merupakan bagian pembangunan bangsa – nasion – Indonesia. Kemerdekaan mutlak dan pembangunan masyarakat adil dan makmur merupakan penyelesaian yang

(13)

menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas Tionghoa di Indonesia.

Sejak awal kemerdekaan Siauw dipilih mewakili komunitas Tionghoa di badan-badan legislatif, turut membuahkan berbagai undang-undang yang dianggapnya conducive untuk Indonesia secara keseluruhan dan Tionghoa khususnya. Landasan perjuangannya adalah Manifesto Politik 1945 yang berjanji me-ngajak semua warga negara Indonesia keturunan asing untuk menjadi patriot Indonesia sejati, membangun nasion Indonesia.

Baperki lahir sebagai respons positif terhadap berkembangnya rasisme dan keinginan sebagian tokoh politik untuk meng-asing-kan sebanyak mungkin orang Tionghoa di Indonesia. Baperki mencanangkan berbagai jalan keluar politik dan sosial untuk mengikis habis rasisme yang menurutnya adalah warisan kolonialisme.

Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang mengasuh dan membina ratusan sekolah dan universitas Baperki yang kemudian dinamakan Universitas Res Publica (Ureca), pun lahir sebagai respons positif terhadap diskriminasi rasial dalam bidang pendidikan. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki menampung puluhan ribu siswa Tionghoa yang tidak bisa ditampung untuk mengejar ilmu sebagai bekal hidupnya.

Kegiatan Politik Siauw Giok Tjhan hingga terbentuknya Baperki Pada tahun 1932, Siauw menjadi yatim piatu pada waktu berusia 18 tahun. Ketika ia masih duduk di tingkat terakhir pendidikan Belanda elite – HBS – di Surabaya, di sekolah mana, beberapa tokoh nasionalis Indonesia juga bersekolah, antara lain Bung Karno dan Ruslan Abdulgani.

Sebenarnya setelah menjadi yatim piatu, Siauw tidak lagi mampu menyelesaikan pendidikan HBS yang uang sekolahnya tinggi. Karena prestasi akademik-nya, kepala sekolah dan beberapa guru HBS bersepakat memberi Siauw beasiswa selama kurang lebih enam bulan, sehingga ia bisa menyelesaikan HBS.

Setelah lulus HBS, mengingat pengalamannya sebagai seorang yang hampir terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena tidak memiliki biaya, ia terdorong untuk membantu sebanyak mungkin teman-teman Tionghoa sebaya di daerah Kapasan -- di mana ia lahir dan tumbuh besar – yang tidak berkesempatan untuk sekolah. Dengan gotong royong, ia berhasil mendirikan “sekolah” – tingkat sekolah menengah -- cuma-cuma untuk

(14)

mereka yang tidak bisa memperoleh pendidikan. Siauw sendiri turut mengajar dan berfungsi sebagai “kepala sekolah”. Terbentur oleh berbagai masalah praktis, Siauw kemudian mengubah program pendidikan sekolahnya, menuju ke arah ketrampilan. Usaha selama setahun ini tidak berjalan baik, karena sepenuhnya tergantung atas tenaga guru yang sukarela. Kesibukan dan kebutuhan untuk mengongkosi penghidupan para guru sukarela terpaksa menghentikan “sekolah” tersebut. Ternyata komitmen dalam bidang pendidikan ini tetap melekat di benak Siauw dan menjadi bagian perjuangan politiknya. Sebagai yatim piatu, ruang lingkup persahabatan Siauw pun berubah. Ia lebih banyak berkumpul dengan mereka yang tidak mampu. Dan ia lalu terdorong untuk masuk study clubs yang dipimpin oleh Dr. Sutomo. Dan di sinilah ia berkenalan dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh Tionghoa, yang menanamkan ke-Indonesia-an dalam benak Siauw, dasar perjuangan politik yang ia pegang teguh hingga akhir hayatnya 50 tahun kemudian. Liem Koen Hian mengajaknya bekerja sebagai wartawan. Permulaan di harian Sin Tit Po yang ia pimpin. Kemudian ia mengenalkan Siauw dengan Kwee Hing Tjiat yang dimodali Oei Tjong Houw, putra Oei Tiong Ham – seorang Raja Gula terkenal di Hindia Belanda -- untuk memulai sebuah harian di Semarang. Harian Matahari, yang dipimpin oleh Kwee mulai terbit di awal 1934. Siauw pindah dari Sin Tit Po Surabaya ke Matahari di Semarang pada tahun 1934.

Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932. Program politiknya menghebohkan komunitas Tionghoa. Ia mengajak komunitas Tionghoa untuk menganggap Indonesia sebagai tanah airnya, menolak arus harian Sin Po yang mengajak komunitas Tionghoa untuk tetap menerima Tiongkok sebagai negara leluhur. Sekaligus menolak aliran Chung Hua Hui yang mengajak komunitas Tionghoa untuk membela kehadiran penjajah Belanda di Indonesia. Siauw, yang sudah berkenalan dengan Liem dan menjadi salah seorang pendukungnya, di usia 18 tahun, menjadi salah satu pendiri PTI termuda.

Kwee Hing Tjiat adalah salah satu pendukung Liem. Ia-pun bersependapat bahwa komunitas Tionghoa, terutama peranakannya, lahir, besar dan meninggal di Indonesia. Tiongkok bukan tempat yang cocok untuk Tionghoa Indonesia. Penjajahan Belanda bukan jalan keluar jangka panjang yang menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas Indonesia. Satu-satunya jalur selamat untuk Tionghoa Indonesia adalah mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Indonesia

(15)

yang merdeka adalah tempat abadi untuk komunitas Tionghoa. Sikap dan kebijakan PTI ternyata ditentang oleh sebagian besar komunitas Tionghoa yang memiliki kesadaran politik. Ini wajar. Pada waktu itu tidak terbayang bahwa Indonesia bisa mencapai kemerdekaan. Kekuatan penjajah Belanda dianggap absolut. Tiongkok dianggap negara besar yang cukup kuat, apalagi kebijakan kewarganegaraannya adalah: setiap orang yang lahir sebagai Tionghoa tetap warga negara Tiongkok.

Melalui terompet media PTI, Sin Tit Po dan Matahari, ide mene-rima Indonesia sebagai tanah air dan mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia disebar luaskan ke komunitas Tionghoa peranakan. Ketika Liem Koen Hian pindah ke Jakarta pada tahun 1935, pimpinan harian Sin Tit Po pindah ke tangan Tan Ling Djie, yang baru kembali dari negeri Belanda. Tan bersama Tjoa Sik Ien, mendirikan SPTI – Serikat Persatuan Tionghoa Indonesia di Belanda, yang mencerminkan sikap PTI. Tjoa, yang kemudian menjadi pemilik percetakan Sin Tit Po pun kembali ke Surabaya dari negeri Belanda sekitar tahun 1935. Ke-empat tokoh Tionghoa ini, Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien menjadi guru-guru politik Siauw Giok Tjhan.

Kwee tidak berumur panjang. Pada tahun 1939 ia meninggal dunia. Siauw menggantikannya sebagai Pemimpin Redaksi ha-rian Matahari. Posisi inilah yang memungkinkan Siauw kerap berhubungan dengan para tokoh nasionalis baik yang sedang diasingkan di luar pulau Jawa atau yang berada di pulau Jawa, antara lain Sukarno, Hatta, Moh. Yamin, Tjipto Mangunkusumo, Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Achmad Subardjo dll. Tulisan-tulisan me-reka dimuat dalam harian Matahari.

Di zaman pendudukan Jepang, kegiatan mereka sebagai wartawan terhenti. Karena sikap anti Jepang, mereka menjadi buronan Jepang. Liem tetap bermukim di Jakarta. Tan bersembunyi di Sukabumi. Siauw menetap di Malang, menjadi pemilik toko kelontong kecil sambil menyusun kekuatan politik dan berhubungan dengan laskar-laskar pemuda nasionalis di Jawa Timur.

Menjelang kemerdekaan di awal 1945, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie , Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu di Surabaya untuk merumuskan kepentingan Tionghoa dalam negara kemerdekaan yang akan dibentuk. Liem Koen Hian adalah anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk oleh Jepang dan diketuai oleh Sukarno. Formulasi ke empat tokoh Tionghoa ini tercermin dalam pidato Liem di

(16)

Badan tersebut.

Di samping itu, dibicarakan juga program politik yang harus ditempuh komunitas Tionghoa di alam kemerdekaan. Mereka sepenuhnya bersepakat bahwa komunitas Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari nasion Indonesia yang akan mengisi kemerdekaan. Harus pula diperjuangkan keberadaan Tionghoa sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan semua suku yang bergabung dalam nasion Indonesia.

Oleh karena itu diputuskan untuk tidak membentuk PTI lagi. Kegiatan politik harus dilaksanakan melalui partai-partai politik nasional. Inilah yang menyebabkan Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan pada tahun 1945 masuk dalam Partai Sosialis. Tan Ling Djie menjadi Sekretaris Jendral yang sangat berpengaruh di partai yang diketuai oleh Amir Sjarifuddin. Siauw, Tjoa dan Oei Gee Hwat (salah satu anggota pengurus PTI lainnya) dan Go Gien Tjwan, kawan dekat Siauw dari Malang, menduduki posisi-posisi yang berpengaruh dalam dewan pimpinan partai tersebut. Tan dan Siauw mewakili Partai Sosialis dalam KNIP dan Badan Pekerja KNIP.

Kehadiran mereka dalam kancah nasional dan KNIP – Komite Nasional Indonesia Pusat, lembaga legislatif di awal kemerdekaan, berhasil memperjuangkan keluarnya UU Kewarganegaraan 1946, yang sesuai dengan apa yang diperjuangkan PTI sejak ia berdiri, yaitu semua orang yang lahir di Indonesia, termasuk keturunan Tionghoa, Arab, India, Eropa dll, menjadi warga negara Indonesia, kecuali mereka menolak kewarganegaraan Indonesia.

Partai Sosialis adalah partai yang paling berpengaruh di awal kemerdekaan Indonesia. Persatuan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin di partai tersebut mendominasi pemerintahan RI dari 1945 hingga 1948. Siauw menjadi menteri negara di kabinet Amir Sjarifu-ddin dengan tugas khusus menangani masalah minoritas, yang di awal kemerdekaan merupakan senjata politik pihak Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.

Akan tetapi, sebagian besar komunitas Tionghoa, yang menjadi korban ekses-ekses revolusi kemerdekaan yang mengandung rasisme – sebagai warisan penjajahan kolonialisme yang senantiasa melaksanakan kebijakan divide and rule – tetap menolak ajakan para tokoh Tionghoa di Partai Sosialis untuk mendukung RI. Mereka menganggap lebih aman mendukung kembalinya penjajahan Belanda atau tetap menjadi warga

(17)

negara Tiongkok, yang setelah Perang Dunia II berakhir menjadi salah satu Big Five di PBB.

Setelah peristiwa Madiun pada tahun 1948, Partai Sosialis yang menjelma menjadi FDR - Front Demokrasi Rakyat dibawah pim pinan Amir Sjarifuddin bubar. Ketika kelompok-kelompok yang tadinya bergabung dalam FDR berhaluan kiri berkesempatan membentuk partai-partai politik pada tahun 1949, Siauw mengambil keputusan untuk tidak berpartai. Dengan demikian kehadirannya di badan legislatif – parlemen (DPR) sebagai wakil minoritas yang tidak berpartai. Bertentangan dengan tuduhan para lawan politiknya, Siauw tetap tidak berpartai hingga ia ditahan oleh rezim Suharto pada tanggal 4 November 1965. Sikap ini diambil karena ia merasakan kepentingan partai politik nasional kerap berbeda dengan kepentingan minoritas Tionghoa yang ia perjuangkan. Disiplin partai membatasi ruang lingkupnya sebagai wakil minoritas Tionghoa di Parlemen.

Walaupun komunitas yang ia wakili dan perjuangkan kepentingannya kerap menolak ajakannya, ia tetap teguh dengan pendiriannya bahwa Indonesia adalah tanah air komunitas Tionghoa dan penyelesaian masalah minoritas adalah bagian dari pembangunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Ia tetap berjuang di parlemen mengukuhkan berbagai UU dan Peraturan Pemerintah (PP) yang menguntungkan Indonesia secara keseluruhan dan dengan gigih menentang berbagai bentuk kebijakan rasis.

Sikap politik ini menyebabkannya diterima oleh sebagian besar politikus nasional. Ia berhasil membentuk sebuah Fraksi di Parlemen yang cukup berpengaruh, dinamakan Fraksi Nasional Progresif (Naspro) beranggotakan partai-partai nasionalis kecil, seperti Murba, PIR, PRN, Acoma, SKI dan tokoh-tokoh tidak berpartai seperti Iwa Kusuma Sumantri dan Mohamad Yamin. Selama zaman Demokrasi Parlementer (1949-1959), Naspro dipimpin oleh Siauw. Beberapa anggota fraksi ini menjadi menteri-menteri di berbagai kabinet pemerintah di zaman itu. Lahirnya dan Berkembangnya Baperki

Demokrasi Parlementer, setelah berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata membuahkan pergantian kabinet secara berturut-turut. Hampir setiap tahun kabinet jatuh. Kabinet - kabinet dibentuk atas dasar kekuatan partai politik yang mampu memperoleh dukungan berbagai partai politik di parlemen. Kekuasaan bersandar atas dana partai dan kekuatan ekonomi

(18)

para donatur partai.

Ini mendorong keinginan para tokoh politik untuk berdagang dengan dalih mengumpulkan dana untuk partai-nya atau memberi berbagai fasilitas kepada mereka yang memiliki kekuasaan politik. Akibatnya timbullah keinginan mengambil alih posisi para pedagang Tionghoa yang sudah sejak zaman penjajahan Belanda menguasai beberapa bidang perdagangan terutama transportasi, penggilingan padi, distribusi, ekspor dan impor.

Keluarlah berbagai kebijakan rasis yang ditujukan memperkecil ruang lingkup pedagang Tionghoa. Siauw berhasil memperoleh dukungan Fraksi Nasional Progresif yang ia pimpin dan beberapa partai lainnya di parlemen untuk melawan arus rasisme ini, dengan dalih para pedagang Tionghoa adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan me-reka yang dinamakan “asli” atau “pribumi”.

Ironisnya, keberhasilan Siauw dan para pendukungnya ini melahirkan arus baru, yaitu kebijakan meng-asing-kan semua Tionghoa, sehingga berbagai izin perdagangan tidak berlaku lagi untuk para pedagang Tionghoa. Keluarlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan pada tahun 1953 de-ngan tujuan membatalkan UU Kewarganegaraan 1946 yang bersandar atas stelsel pasif (semua yang lahir di Indonesia menjadi WNI kecuali bila menolak) dan mengubahnya dengan stelsel aktif (semua keturunan Tionghoa dianggap asing kecuali menyatakan ingin menjadi WNI dengan syarat ia memiliki bukti bahwa ia dan ayahnya lahir di Indonesia).

Lagi-lagi, Siauw memperoleh dukungan Fraksi Naspro dan para anggota parlemen lainnya sehingga berhasil memaksa peme-rintah menarik kembali RUU kewarganegaraan tersebut. UU kewarganegaraan 46 tetap berlaku.

Pada waktu yang bersamaan PDTI – Partai Demokrat Tionghoa Indonesia yang dipimpin oleh Thio Thiam Tjong beranggapan partai-nya tidak efektif membela kepentingan komunitas Tionghoa. Pimpinan PDTI, termasuk Oei Tjoe Tat, ingin mendirikan sebuah organisasi massa Tionghoa yang bisa memperoleh dukungan luas sehingga mampu melawan arus rasisme di berbagai bidang, terutama melawan arus politik yang ingin meng-asing-kan WNI keturunan Tionghoa. Terbentuklah panitia pembentukan Baperwatt – Badan Permusyawaratan Warga Negara turunan Tionghoa pada awal Maret tahun 1954.

(19)

terutama mereka yang duduk di Parlemen berpartisipasi di dalamnya. Mereka melihat keunggulan dan keberhasilan Siauw di Parlemen. Oleh karenanya para anggota panitia pembentukan Baperwatt mencalonkan Siauw sebagai ketua umumnya.

Sampai saat itu Siauw selalu menolak ajakan masuk ke dalam berbagai organisasi Tionghoa atau mendirikan organisasi Tionghoa baru. Ia tetap memegang janji yang dibuat bersama de-ngan ketiga tokoh Tionghoa lainnya, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien di Surabaya pada tahun 1945 untuk tidak lagi mendirikan organisasi berdasarkan etnisitas Tionghoa. Akan tetapi Siauw merasakan perjuangannya di Parlemen tidak memperoleh dukungan kongkrit komunitas Tionghoa yang ia wakili dan bela. Ia tidak memiliki jalur untuk mempengaruhi sebagian besar komunitas Tionghoa. Ia merasa menjadi pejuang yang terpisah dari massanya. Oleh karenanya, ketika undangan panitia pembentukan Baperwatt tiba, ia bersama Go Gien Tjwan yang juga diundang, menyatakan bersedia datang. Tetapi mereka berdua memiliki agenda lain.

Pada rapat pembentukan Baperwatt tanggal 12 dan 13 Maret itulah, Siauw berhasil meyakinkan para peserta untuk membatalkan rencana membentuk Baperwatt tetapi mendirikan Baperki – Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Argumentasi Siauw diterima: Komunitas Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia. Penyelesaian masalah Tionghoa adalah bagian dari upaya membangun nasion Indonesia. Masalah Kewarganegaraan Indonesia hanya bisa diselesaikan melalui perjuangan politik yang membutuhkan dukungan partai-partai politik Indonesia. Rasisme hanya bisa dikikis habis bilamana warisan kolonialisme dihancurkan dan sikap mayoritas Indonesia diubah melalui perjuangan dan pendidikan politik. Untuk meraih keberhasilan yang diinginkan, Siauw berargumentasi, Baperki harus berbentuk organisasi nasional, bukan organisasi Tionghoa. Rapat pembentukan tidak mengikutsertakan tokoh-tokoh nasional. Akibatnya semua anggota pengurus Baperki yang dike-tuai oleh Siauw Giok Tjhan tidak bisa tidak adalah tokoh-tokoh Tionghoa yang hadir dalam rapat pembentukan. Siauw ingin mengubah persepsi masyarakat bahwa Baperki adalah organisasi Tionghoa. Keesokan harinya ketika cabang Jakarta Raya dibentuk, Siauw mendorong kedua teman akrab-nya, tokoh-tokoh nasional, Sudarjo Tjokrosisworo - ketua Persatuan Wartawan Indonesia - dan DS Diapari – pimpinan SKI, anggota Fraksi Naspro - untuk menjadi ketua dan wakil ketua.

(20)

Pembentukan cabang-cabang Baperki di berbagai tempat juga mengikutsertakan beberapa tokoh nasional dan etnis keturunan asing lainnya. Akan tetapi animo besar pembentukan dan partisipasi dalam kepengurusan Baperki hanya datang dari komunitas Tionghoa. Akhirnya Baperki lahir dan berkembang sebagai organisasi massa Tionghoa. Dalam hal ini Siauw gagal membentuk organisasi nasional. Walaupun nama organisasi dan program politik-nya mencerminkan sifat nasional Indonesia, sebagian terbesar pe-ngurus dan anggotanya adalah Tionghoa. Dan Baperki tercatat dalam sejarah sebagai organisasi massa Tionghoa.

Keberadaan Baperki menanggulangi masalah yang sebelumnya dihadapi Siauw yaitu kegiatan dan aspirasi politik Siauw di parlemen sering kali tidak berhubungan dengan Komunitas Tionghoa. Sebagian besar komunitas Tionghoa tidak mengerti apa dan dampak yang diperjuangkan Siauw. Baperki sebagai organisasi massa merupakan aparat dan alat yang ampuh untuk mengubah ini.

Ketika Pemilu pertama pada tahun 1955 direncanakan, Siauw didukung pimpinan Baperki memutuskan untuk ikut, mewakili komunitas Tionghoa. Kali ini Siauw tidak lagi memaksakan posisi Baperki sebagai organisasi Nasional -non Tionghoa. Tjoa Sik Ien yang tadinya masuk dan mendukung Baperki menentang keputusan ini. Perdebatan antara Tjoa dan pimpinan Baperki menyebabkan Tjoa pada tahun 1955 menyatakan tidak aktif di Baperki. Ia baru aktif kembali pada tahun 1964, memimpin Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki Jawa Timur. Baperki ikut pemilu berdasarkan pertimbangan praktis. Siauw beranggapan bilamana perwakilan minoritas diserahkan sepenuhnya ke partai-partai politik, aspirasi komunitas Tionghoa tidak akan sepenuhnya disuarakan di Parlemen. Program partai-partai politik tidak selamanya sama dengan kepentingan minoritas. Ikutnya Baperki dalam pemilu, menurutnya, menghilangkan korupsi perwakilan semacam itu.

Ikutlah Baperki dalam pemilu pertama dan berhasil memperoleh satu kursi untuk Parlemen (diisi oleh Siauw sendiri) dan dua kursi di Konstituante (Siauw dan Oei Tjoe Tat). Akan tetapi setelah Siauw mengajukan interplasi di parlemen, lagi-lagi didukung oleh Fraksi Naspro dan para anggota parlemen lainnya, Baperki berhasil mendapat tambahan perwakilan, dua kursi di parlemen dan sembilan kursi di Konstituante.

(21)

para tokoh Baperki lainnya untuk memperkenalkan Baperki dan mendidik komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan menjadi warga negara Indonesia. kesempatan yang tidak dimilikinya sebelum Baperki berdiri. Kampanye bisa dikatakan berhasil karena sebagian besar penduduk Tionghoa yang berhak berpartisipasi dalam pemilu memilih Baperki.

Keberadaan Baperki yang kemudian didukung oleh Berita Baperki dan Harian Republik sebagai terompet-nya mempercepat proses peng-Indonesia-an komunitas Tionghoa dengan konsep integrasi, yaitu berpartisipasi dalam semua kegiatan pembangunan nasion Indonesia tanpa menanggalkan ke - Tionghoa-an baik itu berupa nama, kultur maupun ciri-ciri biologis.

Dan perjuangan Siauw dan para rekannya di Parlemen dan Konstituante kini lebih banyak diikuti dan didukung oleh massa Tionghoa. Pelaksanaan kebijakan rasis di daerah-daerah lebih cepat diperdebatkan di Parlemen. Dan peraturan-peraturan baru yang berdampak terhadap usaha dagang maupun keberadaan komunitas Tionghoa di berbagai lokasi-pun lebih mudah untuk disampaikan.

Dengan perwakilan di Parlemen dan dukungan Fraksi Nasional Progresif yang tetap dipimpin Siauw, Baperki berkembang se-bagai organisasi yang efektif, memiliki kekuatan politik melawan arus rasisme dan memiliki program politik yang didukung partai-partai berpengaruh, terutama PKI, terkadang PNI dan NU.

Penyelesaian masalah Dwi Kewarganegaraan dengan RRT dan perdebatan yang melahirkan UU Kewarganegaraan 1958 tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Baperki, akan tetapi tanpa kehadiran dan perjuangan Baperki, dampaknya akan jauh lebih merugikan posisi komunitas Tionghoa, dalam pengertian, sebagian besar Tionghoa di Indonesia akan menjadi warga negara asing. Inilah warisan perjuangan Baperki dan Siauw untuk generasi muda Tionghoa di masa kini – Kewarganegaraan Indonesia.

Yang menarik adalah sikap pragmatis Siauw dalam membela kepentingan komunitas Tionghoa. Pidato-pidato dan tulisan-tulisannya senantiasa menekankan skala nasional. Akan tetapi ia tidak segan membela kepentingan Tionghoa dengan berbagai argumentasi yang terkadang bertentangan dengan prinsip politiknya.

(22)
(23)

tahun 50-an, pengertian sosialisme dan komunisme menentang dipertahankannya modal-modal kapitalis. Dalam hal ini Siauw mencanangkan konsep perkawinan kapitalis dan sosialis yang baru tahun 80-an mulai dilaksanakan oleh RRT dan dampaknya terasa pada akhir abad ke 20. Ia bertentangan dengan fraksi PKI. Argumentasinya, modal domestik yang berada di tangan pedagang Tionghoa seharusnya dilindungi dan dibantu untuk berkembang. Kapitalis domestik sekaliber para pedagang Tionghoa ini, menurutnya dibutuhkan untuk membangun ekonomi Indonesia. Ir. Sakirman dari fraksi PKI menginginkan kepemilikan usaha transportasi dialihkan dari tangan pedagang Tionghoa ke tangan negara.

Siauw sangat mendukung nilai-nilai demokrasi. Dalam ber-bagai perdebatan di Konstituante yang bertugas melahirkan UUD baru – menggantikan UUDS 1950, Siauw cenderung mempertahankan UUDS-50 dengan berbagai perubahan. Ia tidak menginginkan bentuk UUD 45. Akan tetapi di masa akhir Konstituante, ia mengajak fraksi Baperki di Konstituante untuk mendukung anjuran Bung Karno untuk kembali ke UUD 45. Dasar keputusan ini-pun pragmatis. Bilamana Baperki menentang UUD 45, Baperki masuk dalam kelompok partai-partai politik yang justru memilki kebijakan rasis terhadap Tionghoa. Dan ia melihat Bung Karno sebagai kekuatan yang bisa diandalkan untuk penyelesaian masalah Tionghoa. Dalam konteks inilah ia bertentangan dengan Yap Thiam Hien, salah satu wakil Baperki di Konstituante. Yap beranggapan bahwa UUD 45 tidak mendukung nilai demokrasi.

Pengembangan konsep Demokrasi Terpimpin–pun Siauw dukung dan dijadikan salah satu dasar kebijakan Baperki. Lagi-lagi keputusan ini berdasarkan keinginan memprioritaskan posisi komunitas Tionghoa. Dekat dengan Sukarno dan partai-partai yang mendukungnya secara politis lebih bijaksana ketimbang melawannya.

Siauw seperti banyak pimpinan partai politik lainnya menjadikan Sukarno sandaran politik utama. Timbal balik dukungan ini adalah diturut-sertakannya Siauw dalam kelompok “inner-circle” Sukarno. Selain mempertahankan kedudukannya di DPR dan MPRS, ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dan berbagai kebijakan dan program politik yang dicanangkan Siauw dan Baperki, terutama yang berkaitan dengan perlindungan modal domestik masuk dalam berbagai Garis Besar Haluan Negara – GBHN MPRS pada tahun 1964. Demikian juga konsep integrasi yang bertentangan de-ngan paham asimilasi yang diajukan LPKB – Lembaga Pembina

(24)

Kesatuan Bangsa - yang didukung Angkatan Darat, didukung pula oleh Sukarno.

Polarisasi politik yang meruncing setelah tahun 1963 ternyata mendorong Sukarno membawa Indonesia ke kiri. Ini menyebabkan Siauw membawa Baperki ke kamp kiri pula. Pilihannya bukan sekedar berada di kamp kiri, tetapi berada di satu perahu para pendukung Sukarno dan didukung oleh Sukarno. Kiranya Siauw tidak memiliki pilihan lain. Mendukung Sukarno adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Selain itu, sebagai pengagum Sukarno, berbagai konsep politik Sukarno tidak jauh berbeda dengan keyakinan dan prinsip politiknya. Demi-kianlah, Baperki secara organisasi masuk dalam kelompok kiri, yang dipimpin oleh Sukarno.

Pilihan ini memiliki dampak politik yang besar sekaligus fatal. Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jendral Suharto yang didukung oleh kekuatan kanan dan kemenangan ini didukung oleh Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1965, Semua kekuatan kiri diganyang. Baperki dan semua institusi pendidikannya, turut menjadi korban. Sukarno sendiri akhirnya lengser pada tahun 1967 sebagai keberhasilan kudeta bertahap yang secara trampil dilaksanakan oleh Jendral Suharto.

Kehancuran Baperki disebabkan sikap dan pilihan politik yang dipilih para pimpinannya, terutama Siauw Giok Tjhan.

Akan tetapi bangkit dan berkembangnya kebijakan anti Tionghoa di Indonesia, tidak bisa dikaitkan dengan sikap dan pilihan politik Baperki dan Siauw. Kebijakan anti Tionghoa ini lahir se-bagai manifestasi keinginan rezim Suharto mengikuti Amerika Serikat yang pada waktu itu getol mengembangkan dan melaksanakan China Containment Policy – kebijakan anti Tiongkok - di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara.

Keterlibatan Baperki dalam bidang Pendidikan

Sebelum Perang Dunia II sebagian besar siswa Tionghoa belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya dijalankan oleh Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya sebagian kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan siswa-siswa Tionghoa tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, semua siswa Tionghoa tidak ada pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa.

(25)

Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan di beberapa kota besar mulai mengorganisasi sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum Belanda. Sekolah-sekolah ini mengakomodasi ribuan siswa yang ingin meneruskan pelajaran dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka ini ingin meneruskan studi-nya di negeri Belanda.

Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang dibentuk oleh Siauw Giok Tjhan dan dipimpin oleh adiknya, Siauw Giok Bie, di Malang pada tahun 1945, juga mendirikan sekolah yang menampung ratusan siswa Tionghoa yang ingin meneruskan pendidikan Belanda. Sekolah AMT berlangsung hingga tahun 1948.

Setelah kemerdekaan, hingga akhir tahun 50-an, sebagian besar komunitas Tionghoa masih mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Tionghoa. Bukan karena mereka tidak menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Indonesia, tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri terbatas dan mereka merasa mutu pendidikan yang anak-anaknya peroleh di sekolah-sekolah Tionghoa memenuhi harapannya.

Adanya kenyataan bahwa banyak siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa pada tahun 50-an menimbulkan sebuah kontroversi. Pada awal tahun 1954, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama dan anggota DPRD Jakarta mewakili PSI, mengajukan mosi di DPRD menuntut dikeluarkannya 200.000 siswa Tionghoa WNI dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa yang dijalankan oleh organisasi-organisasi Tionghoa asing. Mosi-nya juga menuntut diubahnya sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah-sekolah-sekolah nasional, kalau jumlah WNI yang belajar di sana melebihi 25%. Walaupun Takdir mengakui bahwa jumlah sekolah nasional tidak cukup untuk menampung siswa-siswa WNI yang pada waktu itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun sekolah-sekolah yang ber-kurikulum nasional untuk anak-anaknya.

Siauw Giok Tjhan mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat dalam beberapa surat kabar pada bulan Juli 1954, Siauw mengatakan bahwa sampai pemerintah menyediakan sekolah-sekolah yang bisa menampung semua warga negaranya, siswa-siswa Tionghoa WNI harus diberi kebebasan memilih tempat di sekolah-sekolah yang bisa menampungnya. Banyaknya siswa Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan mereka tidak bersedia mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional. Mereka

(26)

terpaksa berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional tidak bisa menampungnya.

Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir Alisjahbana untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki lainnya. Pertemuan ini diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954. Walaupun pertemuan itu tidak melahirkan sebuah kesimpulan kongkrit, ia berhasil mematahkan upaya sementara tokoh politik yang berkeinginan mengeluarkan peraturan melarang siswa-siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.

Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa Sekolah Rakyat Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI. Siauw menganggap konsep ini mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang meng kotak-kotakan masyarakat.

Sesuai dengan langgam kerja Siauw untuk melahirkan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, pada bulan Mei 1955, Baperki menyelenggarakan sebuah konperensi tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini menentang program Sekolah Rak-yat Percobaan. Konperensi ini menyepakati Baperki mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum nasional, yang terbuka untuk semua WNI.

Akan tetapi karena kesibukan Baperki dalam kampanye Pemilihan Umum 1955, dan fokus perjuangan yang berkaitan dengan masalah Kewarganegaraan Indonesia menangguhkan rencana pendirian sekolah-sekolah Baperki.

Walaupun demikian beberapa cabang Baperki di daerah mendirikan sekolah-sekolah dasar pada tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut, Tanggerang, Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan Siapiapi di Sumatra.

Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki

Masalah kehadiran siswa-siswa Tionghoa WNI di sekolah-sekolah Tionghoa diangkat ke permukaan lagi pada tahun 1957. Setelah Keadaan darurat (SOB) diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di berbagai daerah, terdorong oleh perasaan anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa asing dan melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.

Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua sekolah Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan, penguasa militer di kota-kota lainnya melakukan hal yang sama. Pada bulan November 1957, kebijakan ini dilaksanakan

(27)

di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah Tionghoa ditutup, jumlah yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit. Peraturan

dikeluarkan untuk mempertegas definisi sekolah nasional.

Sekolah-sekolah nasional harus dipimpin oleh kepala sekolah yang WNI dan guru-guru yang mengajar-pun harus WNI.

Pada tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala sekolah dan guru dari sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian bahasa Indonesia (tertulis dan lisan). Jumlah guru yang berstatus asing harus dibatasi.

Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000 hingga 850 dan jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa turun dari 425.000 hingga 150.000. Sebagian besar dari 250.000 yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah Tionghoa adalah siswa-siswa Tionghoa WNI.

Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk mendirikan lebih banyak sekolah yang bisa menampung para siswa yang kehilangan tempat sekolah.

Pada 8 Pebruari 1958 Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan, yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Yaya-san ini ditugaskan untuk membangun, mengasuh dan mengontrol jalannya sekolah-sekolah Baperki.

Baperki bergerak cepat. Atas bantuan para kawan dekat Siauw yang menjadi pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang, Go Gak Cho, Kho Nai Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki bekerja sama dengan para pengelola sekolah-sekolah Tionghoa. Dalam waktu singkat, Baperki bisa memiliki gedung-gedung sekolah menampung ribuan siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada tahun 1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki adalah 96, sebagian besar darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan menengah.

Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tiong-hoa yang ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua. Murid-murid WNI ditampung oleh sekolah Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar, maka bagian Baperki lebih besar pula.

Penyerah-terimaan sekolah-sekolah ke tangan Baperki dilaksanakan secara cuma-cuma. Baperki berhasil meyakinkan pimpinan Chiao Chung dan para pengelola sekolah Tionghoa bahwa mereka-pun harus turut berpartisipasi membantu komunitas Tionghoa WNI.

(28)

Baperki berhasil pula mendorong sumbangan besar para pedagang Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, sekolah-sekolah Baperki ini berjalan lancar dan dapat menjamin kualitas pendidikannya.

Keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan dan pemilikan sekolah-sekolah sempat menjadi topik perdebatan dalam sebuah rapat pimpinan Baperki. Yap Thiam Hien khawatir ke-giatan Baperki dalam bidang pendidikan akan memperlemah upayanya mengatasi masalah kewarganegaraan dan arus rasisme. Yap juga khawatir bahwa Baperki tidak akan mampu menjalankan sekolah-sekolah dengan baik karena masalah dana.

Akan tetapi Siauw berhasil meyakinkan Yap bahwa keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan secara langsung menanggulangi masalah kongkrit yang dihadapi komunitas Tionghoa dan ini memperbesar dukungan komunitas Tionghoa. Siauw yakin bahwa dana untuk pengelolaan institusi pendidikan akan terus mengalir.

Ternyata dugaan Siauw tidak meleset. Semasa hidupnya, Baperki tidak pernah mengalami kesulitan dana untuk kegiatan dalam bidang pendidikan. Sebagian besar kebutuhan dana tertutup oleh uang sekolah. Orang tua yang mampu diimbau untuk memberi sumbangan besar sedangkan yang tidak mampu diberi tarif murah, bahkan cuma-cuma. Untuk pembangunan gedung dan fasilitas baru, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa yang pada umumnya selalu bersedia menyumbang. Jumlah sekolah Baperki meningkat pesat sejak pendirian Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki pada tahun 1958. Pada tahun 1961, jumlah sekolah yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1 di Bali dan 2 di Sulawesi. Pada tahun 1965, jumlah ini meningkat melebihi 170. Di kota-kota besar, mutu pendidikan sekolah Baperki dianggap tinggi dan tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal. Banyak guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal ini juga mengajar di sekolah-sekolah Baperki. Lahirya Universitas Baperki

Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Baperki menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat di universitas-universitas negara, yang pada umumnya memberi

(29)

pembatasan untuk siswa Tionghoa. Jumlah siswa Tionghoa tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah total siswa yang diterima.

Pada tahun 1958, beberapa siswa Tionghoa yang lulus SMA dengan angka gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas Indonesia. Walaupun tidak ada penjelasan dari pihak universitas, para siswa ini mengetahui bahwa kegagalannya untuk masuk Universitas Indonesia disebabkan oleh ke-Tionghoa-annya. Situasi ini mendorong pimpinan Baperki untuk mendirikan universitas Baperki.

Yang pertama didirikan adalah Akademi Fisika dan Matematika dengan tujuan mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah Baperki mendapatkan dana yang lebih besar, Baperki mulai mewujudkan pendirian Universitas Baperki yang disingkat UBA. Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi didirikan. Pada bulan November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang mencakup teknik mesin, elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra diresmikan.

Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak menengok pada keberhasilan RRT mencapai kemajuan pesat dalam waktu yang singkat. Menurutnya, kemajuan pesat itu dicapai karena adanya pengembangan bidang teknologi. Oleh karenanya, dalam berbagai rapat Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, ia menitik beratkan pendidikan teknologi dengan penekanan teknologi praktis. Dalam konteks ini, Siauw menganjurkan para dekan Universitas Baperki untuk mengembangkan program pendidikan yang mengawinkan teori dan praktek, sehingga lulusan-lulusan universitas Baperki bisa dengan cekatan mengetrapkan pengetahuannya dalam masyarakat.

Siauw gagal menarik banyak tokoh politik “asli” untuk aktif dalam Baperki. Akan tetapi ia cukup berhasil menarik banyak akademikus non-Tionghoa untuk membantu pengembangan universitas Baperki, diantaranya Pudjono Hardjo Prakoso se-bagai Dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sese-bagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum.

Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen, Ferdinand Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter Batak yang pernah menjadi menteri di dalam beberapa kabinet di zaman Demokrasi Parlementer. Pada waktu Tobing dikukuhkan sebagai rektor, Siauw menyatakan bahwa dipilihnya Tobing sebagai Rektor mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dasar perjuangan Baperki.

(30)

Beberapa bulan setelah Universitas Baperki didirikan, Tan Kah Kee, pemimpin Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal Siauw sejak zaman pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw untuk mengambil tanah miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk digunakan sebagai lahan universitas Baperki, cuma-cuma. Setelah ditinjau, tanah ini memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya diputuskan untuk membangun gedung-gedung universitas di tanah yang disediakan untuk Baperki oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, di Grogol.

Pada tahun 1962 Baperki mendirikan kampus di Surabaya dengan fakultas-fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini dipimpin Profesor Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga.

Jumlah mahasiswa pada tahun ini meningkat tinggi. Jumlah mahasiswa yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta dan 592 di Surabaya.

Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1963, Siauw menunjuk Nyonya Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Suryadarma, untuk menggantikannya. Ia menjadi Rektor perempuan pertama di Indonesia.

Pada tahun yang sama, Siauw menganjurkan pengubahan nama universitas Baperki menjadi Universitas Res Publica, diambil dari pidato Soekarno, yang diucapkan di Konstituante pada tahun 1959 berjudul: “Res Publica, sekali lagi Res Publica”. Siauw menganggap nama Res Publica mencerminkan semangat dan jiwa Baperki dalam dunia pendidikan. Res Publica berarti untuk kepentingan umum. Universitas Baperki didirikan sebagai respons positif terhadap adanya diskriminasi rasial. Universitas Baperki menentang diskriminasi yang merusak pembangunan bangsa. Sejak saat itu universitas ini lebih dikenal sebagai Ureca.

Demikianlah Ureca berkembang maju. Daftar dosen yang me-ngajar di Ureca sangat mengesankan. Banyak dosen ternama yang mengajar di UI dan ITB, mengajar pula di Ureca. Banyak pula tokoh teknorat yang ternama memperkuat tim pengajar Ureca.

Pada tahun 1964, departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan) menyamakan lulusan sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi, ekonomi dan hukum dari Ureca dengan lulusan sarjana muda para universitas negara. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran gigi Ureca juga diakui sebagai sarjana penuh.

(31)
(32)

Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Ureca tercatat 4000, 300 darinya adalah sarjana muda yang diakui sah oleh negara. Pada tahun 1965, sebelum pergantian politik pada bulan Oktober, jumlah mahasiswa yang terdaftar melebihi 6000.

Ureca menjalankan program orientasi yang unik. Perpeloncoan untuk mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa baru ditugaskan untuk membersihkan jalan-jalan di daerah kota sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh para pe-dagang Tionghoa.

Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif rendah. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun oleh para mahasiswanya.

Sesuai dengan prinsip Res Publica yang digambarkan di atas, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengeluarkan kebijakan untuk tidak melaksanakan diskriminasi atas dasar ras, agama, aliran politik maupun status kewarganegaraan. Oleh karena itu yang diterima benar-benar mewakili aneka ragam latar belakang. Ada yang berhaluan kiri, ada yang berha- luan kanan, banyak yang beragama Buddha dan Kong Hu Cu, cu-kup banyak yang beragama Katolik dan Kristen. Ada pula pribumi, walaupun merupakan minoritas.

Sebagian besar yang masuk adalah Tionghoa. Dan cukup banyak adalah Tionghoa totok yang berstatus asing. Banyak pula yang masuk dari sekolah-sekolah Tionghoa.

Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa walaupun mereka berstatus asing, mereka tetap penduduk Indonesia yang bisa menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Di samping itu, Siauw menegaskan bahwa salah satu tugas Baperki adalah mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menjadi WNI. Kebijakan ini mendorong lebih banyak lagi orang Tionghoa totok memberikan sumbangan-sumbangan dalam jumlah besar.

Karena reputasi Ureca baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi, cukup banyak mahasiswa “asli” yang tertarik untuk masuk. Beberapa rekan Siauw di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak mereka bisa diterima di Ureca.

(33)

Untuk mendorong masuknya mahasiswa-mahasiswa “asli”, Baperki mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki memberi beasiswa pada beberapa mahasiswa Taman Siswa yang berprestasi untuk belajar di Ureca.

Menjelang Mei 1965, Ureca mempunyai cabang-cabang di beberapa kota besar lainnya termasuk Medan (Fakultas Ekonomi dan Pendidikan), Semarang (Fakultas Kedokteran), Yogjakarta (Fakultas Ekonomi). Sebelum peristiwa G30S, pembangunan gedung-gedung Ureca di Malang, Solo, Cirebon, Bandung juga sudah dimulai.

Upaya yang berkembang dengan pesat ini buyar dalam sekejap mata, karena pergantian politik pada bulan Oktober 1965. Bisa dibayangkan bagaimana besar dan positif dampak kehadiran cabang-cabang Ureca di berbagai pelosok Indonesia. Institusi-institusi pendidikan yang akan menghasilkan banyak ahli membangun Indonesia.

Kegiatan Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan Ureca

Siauw menggunakan institusi pendidikan Baperki memperdalam pengertian kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan dari SD hingga tingkat universitas adalah sarana efektif mendidik komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan mengajaknya untuk berpartisipasi membangun nasion Indonesia.

Siauw menyenangi penggunaan definisi-definisi yang sederhana

untuk memperbesar animo orang berpartisipasi dalam ber bagai kegiatan politik dan sosial. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki didorong untuk memahami Panca-Cinta:

a.

Cinta tanah air dan bangsa Indonesia

b.

Cinta kemanusiaan dan perdamaian

c.

Cinta pengetahuan dan kebudayaan

a.

Cinta bekerja

a.

Cinta orang tua

Mata pelajaran wajib Civic di Ureca dibina dan dikelola oleh Siauw sendiri. Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan partisipasi golongan Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan.

(34)

Siauw Giok Tjhan bersama para mahasiswa Ureca

Siauw diapit oleh Prof. Pudjono Hadjo Prakoso dan Ir. Tan Hing Bwan

(35)

Masalah Nation Building dan pengintegrasian suku Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi inti pendidikan politik di Ureca.

Diktat-diktat kuliah Siauw dijadikan bahan bacaan untuk semua mahasiswa. Bahan-bahan inilah juga dipergunakan oleh ba-nyak guru-guru civic di sekolah-sekolah Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya. Penekanan untuk menjadi orang Indonesia yang baik dan menerima manipol sebagai pedoman politik, menyebabkan institusi pendidikan Baperki unik. Di situlah pemuda pemudi Indonesia melalui sebuah proses peng-Indonesia-an yang efektif, proses pembangunan nasion Indonesia yang bernuansa politik.

Bahan pendidikan yang digunakan sekolah-sekolah Tionghoa yang berhaluan kiri diperoleh dari Tiongkok. Kurikulum pendidikannya didasari atas kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya bisa meneruskan studi-nya di universitas-universitas Tiongkok. Bahan pendidikan yang berkaitan dengan sejarah dan politik memiliki penekanan nasionalisme Tiongkok dan penuturan sejarah perjuangan Mao Ze Dong dalam memenangkan revolusi Tiongkok. Oleh karena itu bahan-bahan yang mendekatkan para siswa dengan kebudayaan Indonesia dan politik Indonesia sangat terbatas.

Di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca, yang digunakan adalah kurikulum nasional. Hubungan pelajar dengan sejarah, kebudayaan dan politik Indonesia dipererat. Para siswa Baperki didorong untuk mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia. Pendidikan menanamkan pengertian bahwa Tiongkok bukan tanah air para siswa Baperki. Indonesia-lah tanah air mereka. Dengan demikian, melalui program pendidikan semacam ini, Baperki secara sistimatik meng-Indonesia-kan para siswa-nya, baik yang peranakan maupun yang totok.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar pimpinan organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca berasal dari kelompok totok. Mereka lebih militan dan mempunyai kesungguhan dalam keaktifan di bidang politik. Ini disebabkan latar belakangnya. Pendidikan sekolah-sekolah Tionghoa memperkenalkan mereka tentang kisah-kisah militan revolusi Tiongkok. Mereka lebih siap terjun dalam kegiatan politik dibandingkan para siswa yang berasal dari kelompok peranakan.

Pada tahun 1959, Siauw mendorong dibentuknya PPI (Permu-syawaratan Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya

(36)

Kunjungan Ibu Hartini Sukarno ke Ureca - 1963 Drg. Be Wie Tjoen berdiri di sampingnya

(37)

mencakup pelajar dan pemuda. Banyak pelajar sekolah-sekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa Ureca menjadi anggotanya. Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-luaskan program-program Baperki dan mempromosikan kebudayaan Indonesia.

Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk menguasai tarian-tarian Indonesia. Para anggota PPI inilah yang mendorong terbentuknya Tim Kesenian Ureca. Acara-acara kesenian yang diselenggarakan di kampus URECA senantiasa menonjolkan kebudayaan Indonesia. Baperki sering menyatakan bahwa ke-Indonesia-an para pemuda Baperki tercermin dari kemampuannya mementaskan kebudayaan Indonesia de gan baik. Kualitas tarian dan kemampuan para penari pemuda pemudi Baperki menyebabkan Sukarno beberapa kali memintanya melakukan pertunjukan di acara-acara resmi pemerintah.

Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang didirikan di setiap sekolah Baperki, dinamakan Ikatan Pelajar. Anggota-anggota Ikatan Pelajar ini dilatih untuk berorganisasi, melakukan diskusi-diskusi politik dan mengeluarkan majalah-majalah berkala.

Kegiatan agrikultur dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu Sukarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun 63, tanah-tanah kosong di setiap sekolah Baperki diubah menjadi perkebunan jagung. Para mahasiswa teknik Ureca didorong untuk belajar membuat alat-alat pertanian. Pada tahun 1965, program kerja sama antara Ureca dan BTI (Barisan Tani Indonesia) disetujui. Ini dijadikan landasan usaha penelitian Ureca untuk menghasilkan produk yang bisa digunakan oleh para petani. Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca lebih menonjol setelah tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964 menyetujui usul agar para pelajar sekolah-sekolah Baperki masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Tidak lama setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar Baperki menjadi anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar sekolah Baperki menjadi pimpinan IPPI. Menjelang akhir 1965, Siauw dan Goei Hok Gie, ketua umum Perhimi mempersiapkan persetujuan

di mana Perhimi dijadikan afiliasi organisasi mahasiwa Baperki.

Persetujuan belum sampai diresmikan ketika peristiwa G30S meletus.

Mahasiswa Ureca, seperti para siswa di sekolah-sekolah Baperki dianjurkan untuk belajar berorganisasi. Setiap Fakultas memiliki

(38)
(39)

Senat Mahasiswa yang mengkoordinasi berbagai kegiatan organisasi ke-mahasiswaan di fakultas tersebut. Ketua dan wakil ketua setiap Senat bergabung di dalam sebuah wadah yang dinamakan Dewan Mahasiswa.

Melalui pimpinan Dewan Mahasiswa inilah berbagai kebijakan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama garis perjuangan Baperki disebar luaskan ke para mahasiswa.

Mulanya kegiatan politik di kampus-kampus Ureca terbatas pada inisiatif yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun 1962, kegiatan politik di kampus-kampus didominasi oleh Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang di pada tahun 50-an bernama Ta Hshue Hsue Seng Hui). Disamping Perhimi, aktif juga PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).

Siauw sendiri kurang menyetujui arus ke kiri yang berkembang di Ureca. Ia memang cenderung meletakkan posisi Baperki dan semua institusi pendidikannya di posisi netral. Polarisasi politik yang mengarah ke kiri setelah tahun 1963 ternyata sulit diben-dung. Pengaruh PKI di berbagai lapisan menanjak. Siauw mengkhawatirkan para mahasiswa Ureca akan disalah gunakan.

Kegiatan politik di kampus Ureca-pun mencerminkan polarisasi politik. CGMI yang kiri cukup sering bertentangan dengan PMKRI yang kanan. Akan tetapi pertentangan ini tidak mencapai sifat destruktif. Semangat bekerja sama dan kesetiakawanan masih terpupuk baik.

Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa Ureca masuk Pemuda Rakyat dan CGMI, kedua-duanya

berafiliasi dengan PKI. Pada acara-acara perayaan

organisasi-organisasi ini, sumbangan tenaga dan materi para mahasiswa Baperki sangat diharapkan.

Inilah yang menyebabkan banyak yang menjadi korban keganasan rezim Orde Baru. Cukup banyak pimpinan Dewan Mahasiswa yang ditahan, bahkan ada yang dibuang ke pulau Buru.

Berakhirnya Ureca

Peristiwa G30S sekejap mengubah politik Indonesia secara dramatik. Kekuatan kiri yang tampak berada di atas angin sebelum 1 Oktober 1965, dalam sekejap berubah menjadi buronan dan kekuatan yang dipersekusi. Dalam waktu singkat

(40)

setelah 1 Oktober 1965, Jendral Suharto berhasil memobilisasi Angkatan Darat dan sebagian besar kekuatan politik kanan yang sebelum 1 Oktober berada di posisi yang terpojok, melakukan pembantaian yang luar biasa kejamnya. Sekitar dua juta orang yang dianggap berkaitan dengan PKI dan para ormasnya dibantai. 500 ribu orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara. 100 ribu diantaranya, termasuk Siauw Giok Tjhan dan banyak pimpinan Baperki lainnya, harus meringkuk dalam penjara tanpa proses pengadilan apa-pun selama belasan tahun.

Teror kejam ini dilakukan oleh negara dan aparat militer yang seharusnya melindungi rakyat dan menegakkan hukum.

Tuduhannya adalah G30S didalangi oleh PKI. Padahal jelas PKI dan para ormasnya tidak siap dan tidak tahu menahu tentang G30S.

PKI dan seluruh ormas yang berafiliasi dengannya dibubarkan.

Gedung-gedung milik mereka diserang dan dibakar. Semua terjadi tanpa perlawanan apapun. Semua organisasi dan partai yang berada dalam kamp kiri menjadi sasaran. Dengan demikian Baperki-pun turut menjadi sasaran.

Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca diserbu massa yang jelas didukung dan dikoordinasi oleh kekuatan militer. Kampus A atau Kampus Timur Ureca yang menjadi tempat perkuliahan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Hukum, Ekonomi dan Sastra diserang ribuan orang. Berbeda dengan gedung-gedung PKI dan ormas-ormas-nya, Gedung-gedung Ureca dijaga dan dikawal oleh ratusan mahasiswa Ureca dengan jiwa militansi yang besar.

Seminggu sebelum serangan tersebut, ratusan mahasiswa ini sudah ber-jaga-jaga dan menginap di gedung-gedung Ureca. Ancaman bahwa tindakan demikian akan membahayakan keselamatan mereka sendiri tidak dihirau. Mereka rela berkorban demi mempertahankan gedung-gedungnya. Mereka benar-benar merasa bahwa gedung-gedung beserta isinya adalah milik pribadi mereka.

Ketika serangan yang mengikutsertakan ribuan orang itu tiba, dengan gagah berani para mahasiswa Ureca melawannya. Jumlah penyerang jauh lebih banyak dan satu jam kemudian para mahasiswa Ureca terpaksa mundur dan menyaksikan kampus yang dicintainya itu dihancurkan dan dibakar.

Pada waktu bersamaan kelompok penyerang lain menyerang kampus Timur atau Kampus B, di mana perkuliahan Fakultas

(41)

Teknik diadakan. Terjadi pula pembakaran beberapa gedung. Siauw memperoleh peringatan akan adanya penyerangan ketika ia berada di gedung DPR. Ia segera menuju ke istana menghadap Sukarno meminta bantuan. Bantuan yang diharapkan tidak bisa dipenuhi. Sukarno hanya bisa mengajak Siauw untuk menyaksikan penyerangan dan pembakaran itu dari helicopter.

Siangnya ia bergegas ke kampus Ureca. Dengan air mata berlinang, di hadapan ratusan Mahasiswa Ureca yang berkumpul untuk mempertahankan gedung-gedung Ureca, ia berjanji untuk membangun kembali Ureca. Janji yang tidak pernah bisa ia penuhi karena ia sendiri ditahan selama 12 tahun oleh rezim yang mengkoordinasi pengrusakan dan pembakaran Ureca. Dan sikon politik tidak memungkinkan berdiri kembalinya Ureca. Akan tetapi Siauw tetap berupaya. Bersama dengan Rektor Ureca, nyonya Utami Suryadarma, ia pergi menemui Sukarno pada minggu terakhir Oktober 1965. Sukarno berjanji akan meme-rintahkan pembukaan dan pembangunan Ureca. Pertemuan itu kemudian dilanjuti oleh Siauw dan Go Gien Tjwan dengan menteri pendidikan Syarif Thayeb. Sadar akan kelemahan posisi politik mereka, Siauw dan Go berkeinginan untuk menyerahkan manajemen Ureca ke tangan pemerintah, dengan harapan perkuliahan bisa segera dimulai untuk semua mahasiswa Ureca. Bukan Ureca yang dibuka dan dibangun kembali, melainkan Universitas Trisakti dibawah asuhan musuh politik Baperki, LPKB.

Sebelum pengambil alihan tersebut dan sebelum Siauw masuk penjara, ia masih sempat bertemu dengan Ferry Sonneville yang ditugaskan LPKB untuk menangani pembangunan Universitas Trisakti. Permintaan Siauw kepada Ferry Sonneville pada awal bulan November 1965 adalah: lanjutkanlah upaya Baperki memberi peluang sebaik mungkin untuk para mahasiswa Ureca dan mereka yang tidak bisa diterima di perguruan tinggi.

Akan tetapi yang berkembang berbeda dengan harapan Baperki dan para mahasiswa Ureca. Sebagian besar mahasiswa Ureca di awal hidup Universitas Trisakti tidak diizinkan masuk sebagai mahasiswa. Diadakan screening. Mereka yang menjadi anggota CGMI dan Perhimi tidak diizinkan masuk. Ini yang menyebabkan ribuan mahasiswa putus sekolah. Siauw dan banyak pimpinan Baperki lainnya hanya bisa menerima kenyataan ini dengan sedih di penjara. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa.

(42)

Dosen-dosen yang dianggap berhaluan kiri pun kena persekusi. Mereka ditangkap atau tidak diizinkan mengajar di Universitas Trisakti.

Program pendidikan Ureca yang besandar atas prinsip “Pendidikan Bukan Barang Dagangan” tidak dilanjutkan. Universitas Trisakti berkembang sebagai universitas swasta untuk mereka yang mampu membayar. Yang tidak mampu walaupun memiliki prestasi pendidikan baik harus menggigit jari, tidak bisa masuk.

Akan tetapi Upaya meng-Indonesiakan komunitas Tionghoa di dalam tubuh Baperki dan institusi pendidikannya jelas nampak. Sejarah tidak akan bisa menyangkal peran yang dimainkan URECA dalam pembangunan nasion Indonesia. 50 tahun setelah Ureca dibakar, para mahasiswa yang sempat melalui pendidikan politik di Ureca menunjukkan bahwa kecintaan me-reka terhadap Indonesia tidak luntur.

Walaupun dalam bidang akademik upaya Baperki melahirkan ribuan sarjana gagal, tetapi pendidikan politik-nya berhasil meng-Indonesia-kan ribuan mahasiswa Tionghoa, berhasil me-ngubah mind-set mereka untuk mencintai kebudayaan Indonesia, menerima Indonesia sebagai tanah airnya.

Hal yang serupa bisa dikatakan untuk puluhan ribu pelajar yang sempat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah Baperki dan mereka yang masuk dalam PPI.

Dalam hal ini, upaya Baperki dan impian Siauw yang terbentuk sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sejak tahun 1932, bisa dikatakan sebagian terwujud.

Kesimpulan

Keputusan Siauw Giok Tjhan untuk mengajak Baperki dan ma-ssa-nya mendukung kebijakan Sukarno pada tahun 1959 dan mendukung Demokrasi Terpimpin yang bersandar atas kekuatan Angkatan Darat memang bisa dikatakan kontroversial bilamana diteropong dengan kaca mata sekarang.

Demokrasi Terpimpin dan Dwi Fungsi ABRI yang lahir karena Sukarno memerlukan Jendral Nasution mendukungnya sebagai sebuah kekuatan kongkrit sebenarnya merupakan “racun” politik yang membunuh demokrasi dan akhirnya kekuatan kiri. Ironis-nya justru inilah yang sepenuhnya didukung oleh kekuatan kiri, termasuk Siauw Giok Tjhan dan Baperki.

Gambar

Foto Jadoel - Mahasiswa Ureca

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengumpulan data tentang kinerja guru melalui penggunaan model pembelajaran Student Team Achievement Divisions pada pelajaran Matematika dilakukan dengan

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

Pada hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada pegawai di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Banjarmasin, masalah yang dihadapi oleh Dinas Perdagangan dan

Pada multifragmentary complex fracture tidak terdapat kontak antara fragmen proksimal dan distal setelah dilakukan reposisi. Complex spiral fracture terdapat dua atau

Papan partikel adalah istilah umum untuk panel yang dibuat dari bahan berlignoselulosa (biasanya kayu), dalam bentuk tertentu (partikel) yang dikombinasikan dengan resin

Untuk itu kita memberikan alternatif cara yang unik untuk mengkonsumsi buah dengan cara dibuat cemilan yang renyah serta gurih dan tidak lupa kandungan yang

Dalam penulisan karya ilmiah ini akan membahas tentang beberapa permasalahan yaitu (1) untuk mengetahui adanya hubungan yang positif antara motivasi belajar dan persepsi siswa

Nama Obyek : Perakitan sepeda