PENGEMBANGAN PROSES COAL DRYING AND BRIQUETTING (CDB)
Tim CDB
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara 2011
KATA PENGANTAR
Teknologi upgrading batubara merupakan salah satu pilihan untuk pemanfaatan batubara peringkat rendah dengan jalan menurunkan kandungan air dan menaikkan nilai kalori batubara tersebut. Dengan diaplikasikannya teknologi upgrading batubara maka pemanfaatan LRC akan semakin bertambah besar, sehingga industri pertambangan batubara di Indonesia dapat berperan sebagai pemasok energi dalam negeri dan ekspor dimasa mendatang. Dalam rangka menciptakan teknologi upgrading yang terjangkau serta efisien, maka dilakukan penelitian peningkatan nilai kalor batubara melalui proses pengeringan yang diberi nama Coal Drying and Briquetting (CDB). Diharapkan penelitian ini akan menghasilkan teknologi upgrading batubara yang merupakan hasil karya sendiri.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga kegiatan Tim Pengembangan Teknologi Proses Upgrading Batubara Peringkat Rendah (Coal Drying and Briquetting) Tahun Anggaran 2011 dapat berjalan dengan baik. Mudah-mudahan kegiatan ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bandung, Desember 2011
Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara ”tekMIRA”
Ir. Hadi Nursarya, M. Sc. NIP. 19540306 197803 1 001
SARI
Teknologi upgrading batubara merupakan salah satu pilihan untuk pemanfaatan batubara peringkat rendah. Penelitian penurunan kandungan air batubara melalui proses pengeringan dan pembriketan yang diberi nama Coal Drying and Briquetting (CDB) telah dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA sejak tahun 2010, yaitu penelitian skala laboratorium dan percobaan menggunakan peralatan rotary dryer di pilot plant UBC. Kegiatan pengembangan CDB pada tahun ini adalah menyiapkan peralatan pulverized coal burner (tungku pembakaran batubara bubuk) dan rotary dryer sebagai bagian dari peralat pilot plant CDB yang akan dibangun secara bertahap sampai tahun 2013.
Pulverized coal burner dan rotary dryer telah tersedia di sentra pengolahan dan pemanfaatan batubara, Puslitbang tekMIRA di Palimanan, Cirebon. Modifikasi peralatan tersebut telah selesai dikerjakan untuk digunakan sebagai bagian dari pilot plant CDB. Pulverized coal burner telah dimodifikasi dan ditambah dengan ruang pengencer gas buang agar cocok digunakan sebagai media pengeringan batubara basah. Rotary dryer juga sudah dimodifikasi menjadi tipe aliran co-current yang cocok digunakan untuk proses pengeringan batubara. Bahan bakar untuk proses pengeringan juga sudah diganti menggunakan batubara yang diperoleh dari produk batubara hasil pengeringan.
Pengeringan batubara menggunakan rangkaian alat Pulverized coal burner dan rotary dryer telah dilakukan dengan kesimpulan bahwa Pulverized coal burner dapat beroperasi dengan baik saat dioperasikan secara terpisah dari ruang pengencer gas dan rotary dryer, sedangkan jika dioperasikan secara bersamaan menimbulkan tekanan balik gas ke pulverized coal burner. Hal ini menyebabkan suhu di rotary dryer tidak mencapai sebagaimana diharapkan (400oC). Modifikasi perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tekanan balik dengan memperbesar sambungan antara pulverized coal burner dan ruang pengencer gas panas dan sambungan antara ruang pengencer gas panas dan rotary dryer yang terlalu kecil.
DAFTAR ISI Kata Pengantar ……….. ii Sari ………..……….. iii Daftar Isi ………. iv Daftar Tabel ……….. vi Daftar Gambar ………. vi I. Pendahuluan ……… 1 1.1 Latar belakang ……… 1
1.2 Ruang lingkup kegiatan……… 3
1.3 Tujuan ………. 4
1.4 Sasaran ……… 4
1.5 Lokasi kegiatan ……… 4
II. Kajian Status Teknologi Pengeringan Batubara ……… 5
2.1 Karakteristik Proses Pengeringan Batubara ...……… 5
2.1.1 Wujud air dalam batubara ...… 7
2.1.2 Pelepasan air /Pengeringan /up-grading batubara ...……….. 8
2.1.3 Penyerapan kembali moisture setelah pengeringan ... 9
2.2 Resiko Pengeringan batubara ... 12
2.2.1 Pembakaran spontan (Spontaneous Combustion) ... 12
2.2.2 Resiko Ledakan Debu Batubara (Coal Dust Explosion Risk) ... 15
2.2.3 Manfaat Pengeringan Batubara untuk bahan bakar PLTU ... 19
2.3 Status Beberapa Teknologi Upgrading ... 21
2.3.1 Evaporative Drying ... 21
2.3.2 Pengeringan Non-Evaporative ... 35
2.4 Evaluasi Keekonomian Pengeringan Batubara dibandingkan dengan Pencampuran Batubara (Blending) ... 38
III. Tahapan Kegiatan Pengembangan Teknologi Pengeringan Batubara Coal Drying And Briquetting (CDB) ………... 43
3.1 Tahapan persiapan ……… 43
3.2 Modifikasi/Fabrikasi dan konstruksi peralatan ……….. 43
3.3 Tahapan percobaan pengeringan batubara …….……… 44
3.4 Tahapan penulisan laporan ……… 44
IV. Hasil Kegiatan Pengembangan Teknologi Pengeringan Batubara Coal Drying And Briquetting (CDB) ... 45
4.1. Perhitungan Neraca Massa dan Neraca Panas ……….. 45
4.2. Modifikasi/Fabrikasi dan Konstruksi Peralatan Tungku Pembakaran Batubara Bubuk (Pulverized Coal Burner) ……… 46
4.3. Modifikasi/Fabrikasi dan Konstruksi Peralatan Rotary Dryer ……… 49
4.4. Uji Coba Pengeringan Batubara ……… 51
V. Penutup ...……….. 53
5.1 Kesimpulan ...………. 53
5.2 Saran ...………… 53
5.3 Modifikasi/Fabrikasi dan Konstruksi Rotary Dryer ………. 19
Daftar Pustaka ……… 54
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Road map kegiatan CDB ……….………. 3
Tabel 2.1 Pengaruh suhu pengeringan pada gugus fungsi batubara……… 11 Tabel 2.2 Total penghematan biaya (avoided cost) oleh adanya penggantian batubara basah menjadi batubara kering pada PLTU kapasitas
572 MW ... 21 Tabel 2.3 Kondisi operasi pengering putar PT. Titan ... 24 Tabel 2.4 Kharakteristik batubara sebelum dan sesudah dilakukan pengeringan BCB ... 27 Tabel 2.5 Kharakteristik pembakaran batubara sebelum dan sesudah dilakukan pengeringan BCB ... 27 Tabel 2.6 Hasil proses upgrading beberapa batubara menggunakan
Pilot Plant UBC ... 33 Tabel 2.7 Spesifikasi Kualitas Batubara yang Disyaratkan oleh PLTU Aceh ... 38 Tabel 2.8 Perbandingan Skema Pemanfaatan Batubara lokal Untuk
Pembangkit Listrik di PLTU ... 39 Tabel 2.9 Cash Flow Incremental Pemilihan Skema Pemanfaatan Batubara lokal Untuk Pembangkit Listrik di PLTU (dalam USD) ... 42 Tabel 4.1. Neraca massa proses CDB ... 45 Tabel 4.2. Kalibrasi Force Burner Batubara ... 48
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Road map kegiatan CDB ………. 2 Gambar 2.1 Kurva Pengeringan Batubara ………. 9 Gambar 2.2 Kurva pelepasan air dan penyerapan kembali air pada proses
pengeringan batubara Kaltim ………. 11 Gambar 2.3 Pengaruh peringkat batubara pada penyerapan air kembali setelah proses pengeringan……… 11 Gambar 2.4 Degradasi ukuran batubara setelah diletakkan di udara terbuka pada suhu ruangan ……… 14
Gambar 2.6 Hubungan antara suhu penyalaan dan kandungan zat terbang .... 17
Gambar 2.7 Pengering Putar (Rotary Dryer) ... 22
Gambar 2.8 Kondisi dan hasil percobaan pengeringan batubara menggunakan steam tube rotary dryer ... 24
Gambar 2.9 Sketsa Peralatan Flash Dryer ... 25
Gambar 2.10 Photo pabrik BCB di Tabang, Kalimantan Timur ... 26
Gambar 2.11 Sketsa peralatan pengeringan batubara dengan reaktor fluidized bed ... 29
Gambar 2.12 Skema peralatan di pembangkit listrik setelah penambahan peralatan pengeringan batubara (warna hijau)... 30
Gambar 2.13 Performance tungku fluidized bed untuk pengeringan batubara dengan energi dari waste heat ... 31
Gambar 2.14 Diagram alir proses UBC ... 32
Gambar 2.15 Pengeringan batubara teknologi coldry ... 35
Gambar 2.16 Diagram Alir Proses CHTD ... 36
Gambar 2.17 Skema proses MTE ... 37
Gambar 4.1 Diagram T – Q proses pengeringan batubara ... 46
Gambar 4.2 Peralatan tungku pembakaran batubara bubuk ... 47
Gambar 4.3 Kalibrasi laju alir batubara pada screw feeder ... 48
Gambar4.4 Pembakaran batubara dalam ruang bakar ... 49
Gambar 4.5 Rotary dryer tipe aliran co-current ... 50
Gambar 4.6 Penentuan kapasitas rotary dryer dan waktu tinggal batubara ... 51 Gambar 4.7 Hubungan suhu rotary dryer terhadap skala putaran screw feeder 52
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai cadangan batubara peringkat rendah yang cukup besar. Batubara jenis ini kurang diminati di pasaran karena mempunyai kadar air yang tinggi. Kegiatan pengembangan teknologi Coal Drying and Briquetting ini disusun berdasarkan pedoman pada beberapa ketentuan yang tercantum pada Peraturan Perundangan :
• UU no. 30/2007, tentang Energi
• UU No. 4/2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
• UU No. 4/2009, pasal 102 – 103, tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara
• PP No. 23/2010, tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba • Inpres No. 2 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang
dicairkan sebagai Bahan Bakar Lain
• Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
• Permen ESDM no 4 tahun 2010, tanggal 7 Januari 2010 tentang Renstra ESDM 2010-2014, a.l memuat peningkatan nilai tambah pertambangan
• Kepmen Ristek No. 193/M/Kp/IV/2010 tgl. 30 April 2010 tentang Agenda Ristek Nasional 2010-2014
Disamping peraturan tersebut di atas, terdapat pula beberapa tugas yang sedang dilaksanakan berkaitan dengan pemecahan masalah strategis berupa :
• Peningkatan Nilai Tambah • Kelangsungan pasokan energi
• Kelangsungan pasokan bahan baku industri (gas sintesis untuk industri kimia)
Puslitbang tekMIRA bekerjasama dengan JCOAL dan Kobe Steel Jepang telah sukses mengembangkan teknologi upgrading batubara yaitu teknologi UBC. Berbekal pengalaman dalam pengembangan UBC, maka akan dilakukan pengembangan proses upgrading baru yang sesuai untuk diaplikasikan pada perusahaan tambang berskala menengah kebawah. Proses baru ini diberi nama Coal Drying and Briquetting (CDB). Proses CDB direncanakan menggunakan reaktor rotary dryer suatu reaktor yang berkapasitas besar tetapi murah, dengan energi pemanasan berasal dari gas hasil
pembakaran batubara atau uap air. Proses CDB diharapkan mempunyai biaya investasi lebih kecil karena tidak menggunakan residu dan media minyak tanah. Walaupun demikian proses CDB diharapkan menghasilkan briket batubara yang lebih kuat karena kadar airnya masih tinggi dan tahan terhadap spontaneous combustion.
Dengan dikembangkannya proses CDB diharapkan adanya teknologi upgrading yang dapat dijadikan alternatif bagi perusahaan-perusahaan batubara di Indonesia terutama yang mempunyai cadangan batubara peringkat rendah dengan kandungan air lebih dari 45%. Selain itu, sudah waktunya Balitbang ESDM mengembangkan kemampuan penelitinya untuk menghasilkan karya yang mandiri dan nyata untuk mendukung program diversifikasi energi.
Pada tahun 2010 proses CDB telah di uji coba menggunakan peralatan pada pilot plant UBC milik JCOAL Jepang. Hasil uji coba menunjukkan bahwa batubara Indonesia dapat di keringkan sampai kandungan air 7% tanpa terjadi moisture reabsorption dan menghasilkan briket yang kuat. Mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 akan dibangun pilot plant proses CDB dengan kapasitas 2 ton batubara umpan perhari. Akhir tahun 2013 disamping dihasilkan pilot plant akan dihasilkan juga desain pabrik CDB kapasitas 20-100 ton/hari, atau dalam hal ini akan dihasilkan desain peralatan dengan scale- up ratio 10 sampai dengan 50 kali lipat kapasitas peralatan pilot plant. Tahapan kegiatan pengembangan proses CDB setiap tahun dapat dilihat pada gambar 1 dan Tabel 1.
Pada tahun 2011 akan dilakukan desain/fabrikasi/konstruksi/modifikasi pulverized burner dan rotary dryer. Komponen alat pulverized burner terdiri dari screew feeder, blower, ruang pembakaran dan ruang pengenceran gas buang. Ruang pengenceran gas buang diperlukan untuk menurunkan suhu gas buang dari pulverized burner yang semula diperkirakan lebih tinggi dari 900oC menjadi sekitar 500oC. Gas buang dengan suhu ini diperkirakan cukup rendah untuk dipakai sebagai energi pengeringan batubara.
1.2 Ruang Lingkup Kegiatan
Kegiatan pada tahun anggaran 2011 meliputi kegiatan modifikasi peralatan pulverized burner dan rotary dryer dan studi literatur teknologi pengeringan batubara.
Tabel 1.1. Road map kegiatan CDB
Tahun 2010 2011 2012 2013
Target Mendapatkan data teknis proses CDB
Beroperasinya peralatan pulverized burner, dan rotary dryer kapasitas 2 ton/hari.
Beroperasinya peralatan siklon dan wet scrubber untuk mendukung pilot plant CDB kapasitas 2 ton/hari.
Beroperasinya pilot plant CDB kapasitas 2 ton/hari secara kontinyu (2X24 Jam) Kegiatan Uji coba proses CDB
dengan rotary dryer
Pembuatan pulverized burner dan rotary dryer untuk mendukung pilot plant CDB kapasitas 2 ton/hari
Pembuatan siklon dan wet scrubber untuk mendukung pilot plant
CDB kapasitas 2
ton/hari.
Optimasi proses CDB dan Pengumpulan data teknis dalam rangka scale-up peralatan
Rincian kegiatan
Uji laboratorium untuk
pengeringan batubara Percobaan pengeringan batubara Evaluasi hasil percobaan Desain pulverized
burner, dan rotary dryer
Fabrikasi pulverized
burner, dan rotary dryer
Konstruksi pulverized
burner, dan rotary dryer
Uji coba operasi
pulverized burner, dan rotary dryer
Desain siklon dan wet
scrubber
Fabrikasi siklon dan
wet scrubber
Konstruksi siklon dan
wet scrubber
Uji coba operasi siklon
dan wet scrubber
Ujicoba peralatan pilot
plant CDB
Uji coba pengeringan
batubar
Karakterisasi produk
upgrading
Uji emisi dan limbah pilot
plant CDB
Indikator
keberhasilan Dihasilkannya batubara kering yang stabil terhadap moisture readsorption dan dapat dibuat briket yang kuat
Beroperasinya peralatan pulverized burner, dan rotary dryer kapasitas 2 ton/hari secara kontinyu selama minimal 2 x 24 jam
Beroperasinya
peralatan siklon dan wet scrubber kapasitas 2 ton/hari secara kontinyu selama minimal 2 x 24 jam -Beroperasinya seluruh
peralatan pilot plant kapasitas 2 ton/hari secara kontinyu selama minimal 2 x 24 jam -Didapatkan produk
pengeringan batubara yang stabil dan memenuhi spesikasi batubara untuk PLTU I
1.3 Tujuan
Tujuan jangka panjang kegiatan CDB adalah menghasilkan teknologi pengeringan batubara dalam negeri yang efisien, murah dan ramah lingkungan yang sesuai dengan karakteristik batubara Indonesia.
1.4 Sasaran
Tujuan kegiatan CDB pada tahun anggaran 2011 adalah membuat/modifikasi peralatan pembakar batubara bubuk (pulverized coal burner) yang dilengkapi ruangan pengenceran gas buang dan membuat/memodifikasi alat pengering rotary dryer dalam rangka pembuatan pilot plant proses CDB kapasitas 2 ton batubara/hari.
1.5 Lokasi Kegiatan Kegiatan akan dilakukan di: a. Puslibang tekMIRA Bandung
II. KAJIAN STATUS TEKNOLOGI PENGERINGAN BATUBARA
Batubara memainkan peran sentral dalam mendukung pembangunan ekonomi global, mengurangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan energi dunia. Batubara saat ini memasok 27% dari kebutuhan energi primer dunia dan 41% energi listrik dunia. Pada beberapa negara prosentase pembangkit listrik berbahan bakar batubara jauh lebih tinggi misalnya di Polandia lebih dari 94%, Afrika Selatan 92%, China selama 77%, dan Australia 76%. Dalam beberapa tahun terakhir, batubara telah menjadi sumber energi paling cepat berkembang di dunia melebihi pertumbuhan permintaan akan gas, minyak, hydro nuklir, dan energi terbarukan.
Berbeda dengan harga minyak, harga batubara relatif tidak dipengaruhi oleh kondisi politik negara produsen karena sumber daya batubara di dunia berada dalam kondisi lebih tersebar. Cadangan batubara tersedia di sekitar 70 negara di dunia sedangkan minyak dan gas alam hanya terdapat pada negara-negara dalam jumlah yang terbatas. Lebih dari 62% minyak dan 64% cadangan gas yang terkonsentrasi di Timur Tengah dan Rusia. Pada tingkat produksi saat ini, cadangan terbukti (proven reserve) batubara dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi dunia sampai 119 tahun sementara itu cadangan terbukti minyak dan gas hanya akan berumur sampai 46 dan 63 tahun.
Produksi batubara peringkat tinggi (hard coal) meningkat terus setiap tahun, pada tahun 2003 produksi batubara adalah 4 milyar 231 juta ton dan pada tahun 2009 adalah 5 milyar 990 juta ton atau terjadi peningkatan rata-rata antara 5 sampai dengan 6% per tahun. Kebutuhan batubara terutama untuk tenaga listrik diprediksi akan terus meningkat karena lebih dari 1,6 miliar orang (25% dari populasi dunia) tidak memiliki energi listrik. Ketersediaan energi listrik dengan harga terjangkau, aman dan handal akan meningkatkan pembangunan ekonomi untuk pengentasan kemiskinan. Dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2030, diperkirakan akan terjadi peningkatan konsumsi batubara dunia sekitar 53%. Sebagian besar (97%) peningkatan konsumsi batubara akan terjadi di negara-negara berkembang terutama untuk memenuhi kebutuhan listrik (http://www.worldcoal.org)
Pada tahun 2009 produksi batubara peringkat rendah/brown coal/lignit hanya sekitar 900 juta ton tetapi tingkat produksi ini diprediksi akan meningkat pada dekade mendatang karena adanya pertumbuhan akan permintaan energi dunia dan adanya teknologi pengeringan batubara yang andal dan cukup ekonomis untuk diterapkan. Batubara
peringkat rendah cukup mudah untuk ditambang dan umumnya mempunyai stripping ratio rendah (< 3) tetapi mempunyai kadar air tinggi (>40%) sehingga memerlukan ongkos transportasi persatuan energi yang mahal dan melepas emisi CO2 lebih banyak. Rata-rata emisi CO2 batubara peringkat rendah adalah 1300 kg per megawatt-hour sementara itu rata-rata emisi CO2 batubara bituminous (hard coal) adalah hanya 900 kg per megawatt-hour. Teknologi pengeringan batubara yang handal, murah dan dapat mengurangi emisi CO2 akan menjadi kebutuhan pada era mendatang.
Teknologi pengeringan telah dikembangkan sejak tahun 1920-an. Pada tahun tersebut di Austria dikembangkan proses Fleissner untuk menurunkan kandungan air batubara peringkat rendah menggunakan media dan energi dari uap air superheated. Di Indonesia teknologi pengeringan batubara juga sedang dikembangkan misalnya teknologi UBC di tambang batubara Arutmin, Kalimantan Selatan, teknologi BCB di tambang batubara PT. Bayan Resources dan teknologi rotary dryer di Tambang Batubara PT. Titan Mining, Jambi. Meskipun teknologi pengeringan batubara sudah berumur 90 tahun dan beberapa teknologi telah dikembangkan ke skala besar tapi sampai saat ini belum ada teknologi yang andal dan komersial.
Kajian ini dibuat dengan tujuan mengetahui hambatan-hambatan teknis yang menyebabkan penerapan teknologi pengeringan batubara di Indonesia masih belum komersial dan memberikan usulan tentang upaya yang harus dilakukan untuk mempercepat komersialisasi teknologi tersebut. Pada kajian ini akan dibahas peluang penerapan teknologi pengeringan batubara di Indonesia, karakteristik proses pengeringan batubara, teknologi pengeringan batubara yang ada di dunia dan keekonomian aplikasi teknologi pengeringan batubara. Kata Batubara Peringkat Rendah (BPR) dan kata lignit dalam laporan ini mempunyai arti yang sama dan sering dipakai bergantian. Upgrading batubara sejatinya meliputi pengertian antara lain peningkatan kualitas batubara dengan cara menghilangkan pengotor batubara (abu, natrium dan belerang) dan dengan cara menurunkan kandungan air. Pada laporan ini yang dimaksud dengan upgrading batubara penghilangan kadar air batubara.
2.1 Karakteristik Proses Pengeringan Batubara
Air dalam batubara atau kelembaban batubara mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia batubara dan pemilihan teknologi pemanfaatannya. Reaksi pembakaran batubara, reaksi gasifikasi, reaksi pengeringan, reaksi pirolisis, evolusi zat terbang, degradasi ukuran batubara, keekonomian transportasi dan titik nyala batubara dipengaruhi oleh kandungan air yang ada dalam batubara. Pada reaksi pembakaran, air dalam batubara menghambat laju pemanasan batubara dan menghalangi kontak batubara dengan oksigen. Kandungan air batubara juga mengurangi jumlah energi panas yang dapat dimanfaatkan karena sebagian energiy panas dipakai untuk menguapkan air batubara yang endothermik.
Karakteristik pengeringan batubara perlu diketahui sebelum dilakukan desain reaktor pengeringan. Jumlah dan wujud air dalam batubara, suhu pengeringan dan penyerapan kembali oleh batubara mempengaruhi jumlah kandungan air dalam batubara kering yang dihasilkan. Batubara kering dengan ukuran halus sangat rentan pada terjadinya spontaneous combustion dan ledakan debu batubara (coal dust explosion), oleh sebab itu perlu kehati-hatian dalam menangani batubara kering halus produk pengeringan/upgrading batubara. Pada bab ini akan dibahas mengenai wujud air dalam batubara, pelepasan air dari batubara, penyerapan kembali air ke dalam batubara, spontaneous combustion dan coal dust explosion.
2.1.1 Wujud air dalam batubara
Air dalam batubara sebagian terikat di permukaan batubara, dalam pori-pori batubara (pori mikro dan pori makro) dan sisanya terikat oleh gugus fungsi hiydroksil dan karboksil. Setelah proses pengeringan batubara, air dapat kembali ke dalam batubara bila pori-pori batubara tidak rusak atau tidak terjadi pemutusan ikatan air dengan gugus fungsi yang ada.
Umumnya air di dalam batubara di klasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu air bebas (free moisture) dan air terikat (bound water/inherent moisture). Free moisture berada pada permukaan batubara, didalam celah-celah batubara dan didalam pori-pori yang besar. Free moisture mempunyai sifat seperti air pada umumnya yaitu dalam kondisi normal akan menguap ke atmosfir. Inherent moisture adalah air yang terdapat dalam pori-pori batubara yang berukuran lebih kecil dan mempunyai tekanan uap lebih rendah sehingga dalam kondisi normal tidak menguap ke atmosfir.
Status air dalam batubara dapat diketahui dengan mengamati panas desorpsinya. Sekitar 80% air dalam batubara adalah dalam bentuk bebas dan panas yang dibutuhkan untuk desorpsi adalah sama dengan panas latent penguapan. Dua puluh persen (20%) sisanya adalah air yang terikat lebih kuat dalam lignit. Air ini biasanya terdapat dalam pori-pori
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
batubara ukuran kecil (micropores). Dalam proses pengeringan batubara, variasi kekuatan ikatan air dalam batubara akan menghasilkan perilaku penguapan yang berbeda.
Volume pori dalam batubara bituminous hampir sama dengan volume pori dalam lignit yaitu sekitar 0,1 ml/gram. Walaupun demikian, ikatan air dalam lignit berbeda dengan ikatan air dalam batubara bituminous. Sebagian besar pori dalam lignit adalah pori-pori ukuran besar (macro pores) dan sebagian besar air, berada dalam macro pores tersebut. Air dalam pori-pori makro relatif mudah untuk dilepaskan dengan cara pemanasan sebaliknya air dalam pori-pori mikro agak sulit dilepaskan karena ikatan dengan permukaan batubara dan karena adanya gaya kapiler.
2.1.2 Pelepasan air/Pengeringan/up-grading batubara
Kecepatan pelepasan air dari batubara dan suhu pengeringan berpengaruh pada struktur pori, sifat fisik dan sifat kimia batubara hasil pengeringan. Sebagian besar siystem peralatan pengeringan batubara yang ada saat ini adalah pengering dengan siystem pertukaran panas langsung. Pada siystem ini sebagian besar panas di transfer ke batubara melalui mekanisme konveksi. Dalam pengering, batubara basah dicampur dengan gas panas yang dihasilkan dalam ruang bakar terpisah. Gas yang digunakan untuk pengeringan terutama umumnya adalah udara yang tercampur beberapa gas lain produk dari proses pembakaran. Panas akan ditransfer dari gas pengeringan ke batubara basah sehingga air yang terkandung dalam batubara menguap.
Setiap batubara mempunyai kharakteristik prilaku sendiri dalam proses pengeringannya. Prilaku ini biasanya digambarkan dalam sebuah kurva yang menghubungkan antara suhu/kecepatan gas/kondisi tekanan dengan waktu pengeringan. Kurva ini disebut sebagai kurva pengeringan. Gambar 3.1 menampilkan contoh kurva pengeringan batubara.
Berdasarkan kurva pengeringan pada Gambar 2.1, proses pengeringan batubara dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama (initial period) adalah tahap penghilangan air bebas (free moisture). Pada tahap ini laju pengeringan bertambah dengan berjalannya waktu. Pada tahap kedua (constant rate period), pengeringan batubara berlangsung pada laju yang konstan dan suhu batubara hanya sedikit meningkat. Pada tahap ini, energi panas yang ditransfer dari gas pengeringan adalah sama dengan panas yang dipakai untuk penguapan air pada permukaan batubara. Lebih kurang dibutuhkan 610 kkal panas untuk menguapkan 1 kg air dari dalam batubara.
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Gambar 2.1 Kurva Pengeringan Batubara
Laju pengeringan batubara ditentukan oleh sejumlah faktor, yaitu: • Lluas permukaan pPartikel
• Selisih suhu batubara dan udara pengeringan
• Selisih tekanan uap pada permukaan batubara dan tekanan parsial uap air di atmosfer • Volume dan kecepatan aliran gas pengeringan
• Tebal dan bulk density lapisan batubara
Pengeringan tahap ketiga dimulai setelah permukaan batubara paling luar sudah hampir kering. Pada tahap ini pengeringan berlangsung dengan laju yang semakin lambat karena jumlah permukaan batubara basah yang dapat kontak langsung dengan gas panas semakin lama semakin sedikit. Uap air pada tahap ini berasal dari bagian dalam batubara dan bergerak keluar batubara dengan menembus pori-pori yang ada. Oleh sebab itu pengeringan batubara pada tahap ini sangat dipengaruhi oleh kharakterisktik masing-masing batubara.
2.1.3 Penyerapan kembali moisture setelah pengeringan
Air dapat masuk kembali ke dalam batubara setelah proses pengeringan. Seberapa besar air dapat masuk kembali ke batubara dan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat masuknya air ke dalam batubara harus diketahui untuk mendapatkan produk batubara kering sesuai yang diinginkan.
Gambar 2.2 menunjukkan hubungan antara waktu dan kadar air batubara dalam proses pengeringan batubara pada suhu yang berbeda (75 °C, 100 °C dan 150°C) yang dilanjutkan dengan kurva penyerapan kembali air (moisture) dalam suhu kamar (27oC) dan kelembaban 80%. Semakin tinggi suhu semakin cepat waktu pengeringan. Kadar air batubara kering meningkat dari 0% menjadi sekitar 10 - 13% setelah penyerapan kembali moisture dalam jangka waktu sekitar 2 sampai 4 hari. Kadar air batubara kering dapat diatur menjadi diatas 13% dengan mengatur waktu dan suhu pengeringan. Pengurangan kadar air batubara kering dibawah 10% agak sulit dilakukan tanpa memutus ikatan air dengan gugus fungsi yang ada dalam batubara.
Gambar 2.2 Kurva pelepasan air dan penyerapan kembali air pada proses pengeringan batubara Kaltim (Karthikeyan, 2007)
Pengaruh peringkat batubara pada tingkat penyerapan air dilihat pada Gambar 2.3. Sumbu Y pada Gambar 2.3 adalah rasio antara air yang masuk ke dalam batubara setelah pengeringan dengan air yang dilepas saat pengeringan. Pada batubara Bituminous semua air yang dilepas saat pengeringan 100% kembali lagi ke dalam batubara sementara itu pada batubara lignit hanya 30% dari air yang kembali ke batubara. Diperkirakan pori-pori dalam batubara bituminous berada dalam struktur yang sangat kuat oleh sebab proses pembatubaraan (coalification) di alam sehingga pori-pori batubara bituminous tidak rusak selama proses pengeringan dan air dapat kembali lagi ke dalam pori setelah proses pengeringan.
Pengeringan batubara dapat menghasilkan produk dengan kadar air dibawah 10% bila dilakukan pada suhu lebih tinggi sehingga gugus fungsi karboksil yang ada dalam batubara
Formatted: Font: 12 pt, Italic
terlepas. Tabel 2.1 menampilkan hubungan antara suhu pengeringan dengan kandungan air dan kandungan gugus karboksil.
Gambar 2.3 Pengaruh peringkat batubara pada penyerapan air kembali setelah proses pengeringan (Gorbarty, 1994).
Tabel 2.1 Pengaruh suhu pengeringan pada gugus fungsi batubara (Mukherjee, 2004)
Suhu oC Moisture (%) Abu (%) OCOOH (%) OOH (%) Moisture (%) (60% RH) 200 7,1 3,6 3,9 5,1 12,3 250 6,3 3,7 3,6 4,9 11,2 275 5,6 3,8 2,3 5,0 10,4 300 4,5 3,7 1,9 5,8 9,4 325 4,5 3,9 1,4 6,4 7,5 350 3,4 3,8 1,3 6,9 7,6
Dengan meningkatkan suhu pengeringan batubara dari 200oC ke 350oC jumlah gugus karboksil dapat diturunkan dari 3,9% menjadi 1,3% sementara itu kadar air batubara setelah penyerapan kembali air pada kelembapan relatif 60% (moisture at 60% RH) adalah menurun dari 12,3% menjadi 7,6%.
Walaupun suhu pengeringan menentukan jumlah moisture pada batubara kering tetapi dalam prakteknya suhu pengeringan batubara diusahakan setinggi mungkin tetapi dalam batas-batas aman. Dengan menggunakan suhu tinggi, volume gas pengeringan yang dibutuhkan menjadi semakin sedikit, yang pada gilirannya mengurangi kebutuhan bahan bakar, listrik dan jumlah debu yang dihasilkan oleh pengering. Efisiensi termal juga semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu pengeringan. Faktor lain yang paling berpengaruh pada proses pengeringan batubara adalah waktu pengeringan. Tetapi sayangnya data mengenai waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan ini akan sesuai kalau data tersebut diperoleh dari hasil percobaan skala pilot atau sumber empiris lainnya.
Dari fakctor-faktor yang dipertimbangkan di atas dapat disimpulkan bahwa fitur yang diinginkan pengering termal adalah:
Harus ada pasokan gas panas pada suhu sedikit di atas suhu kritis bahan yang akan dikeringkan.
Harus ada metode sehingga terjadi kontak yang baik antara gas panas dengan material yang sedang dikeringkan.
Waktu tinggal bahan dalam pengering secepat mungkin tetapi dengan penguapan air yang memadai. Peralatan pengering batubara harus memiliki kemampuan untuk mengeringkan berbagai macam ukuran bahan tetapi tanpa menimbulkan kondisi pengeringan yang berlebihan atau sebailknya.
Peralatan pengering batubara harus mempunyai kapasitas yang besar.
Peralatan pengering batubara harus mampu mempertahankan temperatur gas buang pada tingkat yang cukup tinggi untuk mencegah kondensasi dalam sistem.
Peralatan pengering batubara harus mempunyai desain yang sederhana, mudah dioperasikan dan mudah diperbaiki bila terjadi kerusakan.2.2 Resiko Pengeringan batubara
2.2.1 Pembakaran spontan (Spontaneous Combustion)
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya spontaneous combustion tetapi yang paling utama adalah oksidasi batubara (karbon) pada suhu kamar. Oksidasi batubara, seperti halnya semua reaksi oksidasi, adalah rekaksi eksotermik yang menghasilkan panas. Mekanisme sebenarnya tentang bagaimana pembakaran spontan dapat terjadi sampai saat ini masih belum dapat dipahami, tetapi para imuwan sepakat bahwa interaksi antara batubara dengan oksigen pada suhu rendah pada awalnya adalah dalam bentuk adsorpsi fisika yang dilanjutkan dengan adsorpsi kimia.
Tingkat konsumsi oksigen oleh batubara sangat tinggi selama beberapa hari pertama (terutama beberapa jam pertama) batubara diletakkan di udara terbuka. Tingkat konsumsi oksigen kemudian menurun dan menjadi sangat lambat bila tidak terjadi peningkatan suhu pada batubara dan lingkungannya. Bila panas terakumulasi dan terdapat aliran oksigen yang cukup maka proses oksidasi dapat berjalan lebih cepat dan suhu batubara semakin meningkat. Naiknya suhu menyebabkan proses oksidasi terus berlanjut menghasilkan ikatan karbon dan oksigen yang lebih stabil di permukaan batubara. Setelah suhu batubara mencapai suhu kritis maka terjadilah Spontaneous Combustion.
Mekanisme spontaneous combustion sulit dipahami karena banyak facktor yang bisa meng-inisiasi meningkatnya suhu batubara dan mempengaruhi peningkatan suhu selanjutnya sampai terjadinya spontaneous combustion. Faktor-faktor yang dapat meng-inisiasi dan mengembangkan fenomena spontaneous combustion antara lain sebagai berikut:
Kandungan pyrite dalam batubara dapat mempercepat terjadinya peristiwa spontaneous combustion.
Perubahan kadar air, yaitu penyerapan air oleh batubara kering
Degradasi ukuran batubara meningkatkan luas permukaan yang terbuka luas sehingga memudahkan reaksi oksidasi batubara. Batubara peringkat rendah mudah pecah menjadi ukuran lebih kecil (Gambar 2.4 ). Ukuran batubara menjadi sangat kecil setelah proses pengeringan sehingga menjadi seperti debu (Gambar 2.5)
Kandungan abu batubara umumnya menghambat terjadinya spontaneous combustion tetapi beberapa komponen abu, seperti kapur, soda dan senyawa besi, mungkin dapat mempercepat reksi oksidasi sebaliknya alumina dan silika, menghambat rekasi oksidasi.
Laju aliran udara bisa menghambat atau mempercepat reaksi oksidasi batubara. Pada laju alir yang tinggi, panas reaksi oksidasi batubara terbawa udara sehingga permukaan batubara menjadi lebih dingin. Laju alir udara akan mempercepat reaksi oksidasi bila pada tingkat alaju aliran tersebut kebutuhan oksigen bisa tercukupi tetapi panas oksidasi tidak terbawa oleh udara meninggalkan batubara.
Gambar 2.4 Degradasi ukuran batubara setelah diletakkan di udara terbuka pada suhu ruangan
Gambar 2.5 Foto Debu Batubara
2.2.2 Resiko Ledakan Debu Batubara (Coal Dust Explosion Risk)
Pabrik pengeringan batubara mempunyai resiko untuk terjadinya ledakan debu batubara. Pengeringan batubara menghasilkan produk sampingan berupa partikel halus yang panas yang bisa menyebabkan terjadinya ledakan, oleh sebab itu keamanan pabrik ini perlu mendapat perhatian.
Kecelakaan tambang terburuk dalam sejarah umumnya disebabkan oleh ledakan debu batu bara. Pada tahun 1913 terjadi ledakan debu batubara di Senghenydd di South Wales yang menelan korban jiwa 439 penambang meninggal. Pada tahun 1962 ledakan debu batubara di tambang Courrières Prancis Utara menewaskan 1099 penambang dan di tambang batubara Luisenthal Mine Jerman merenggut 299 nyawa.Ledakan debu batubara terburuk adalah yang terjadi pada tahun 1942 di Benxihu Colliery, Cina, yang menewaskan 1.549 orang (sumber: Wikipedia).
Ledakan debu batubara dapat terjadi dalam kondisi sebagai berikut yaitu adanya batubara ukuran halus, oksigen, energiy panas dan terbentuknya suspensi dalam suatu ruangan tertutup. Berikut adalah penjelasan fakctor-faktor terjadinya ledakan tersebut.
a. Peringkat Batubara
Kharakteristik masing-masing batubara (kandungan zat terbang, ukuran partikel batubara dan konsentrasi partikel batubara) mempengaruhi pada kecenderungan terjadinya ledakan debu batubara.
Batubara peringkat rendah selalu mempunyai titik nyala yang lebih rendah (lebih mudah) dibandingkan anthracite karena batubara peringkat rendah mempunyai jumlah zat terbang yang lebih banyak (Gambar 2.6). Kondisi ini juga berlaku pada fenomena terjadinya ledakan debu batubara. Semakin tinggi kandungan zat terbang dalam batubara semakin mudah untuk terjadinya ledakan partikel halus. Rasio zat terbang (volatile ratio) yang didefinisikan sebagai rasio kandungan zat terbang dengan total kandungan karbon tertambat dan kandungan zat terbang juga dapat dipakai sebagai parameter kecenderungan terhadap ledakan batubara. Batubara dengan volatile ratio diatas 12% mempunyai kecenderungan untuk terjadinya ledakan batubara.
b. Ukuran partikel batubara
Batubara dengan ukuran partikel lebih kecil membutuhkan energi yang lebih rendah untuk penyalaan (ignition) dibandingkan energi yang dibutuhkan untuk penyalaan batubara dengan ukuran lebih besar. Batubara dengan ukuran lebih besar dari 800 mikron kurang beresiko untuk menimbulkan ledakan debu batubara. Sebaliknya, partikel batubara dengan ukuran lebih kecil dari 800 mikron mempunyai kecenderungan untuk terjadinya ledakan debu batubara dan semakin kecil ukuran batubara semakin besar kecenderungannya untuk terjadinya ledakan debu batubara. Energi untuk penyalaan tersebut semakin kecil lagi bila batubara berukuran kecil tersebut mempunyai kandungan zat terbang yang besar.
c. Konsentrasi batubara
Debu batubara yang terbang di udara dapat terbakar bila ada energiy yang cukup untuk menyalakannya. Tetapi kebakaran tersebut tidak akan menjalar (propagation) kemana-mana kalau konsentrasi debu batubara tersebut adalah rendah. Pada konsentrasi debu rendah, ada jarak antar partikel yang cukup jauh sehingga terbakarnya satu partikel tidak menyebabkan terbakarnya partikel lainnya. Sebaliknya pada konsentrasi debu batubara yang tinggi, partikel batubara berada dalam kondisi saling berdekatan sehingga partikel yang terbakar akan mampu menyalakan partikel lainnya. Konsentrasi minimum suspensi
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
debu batubara yang memungkinkan terjadinya ledakan debu batubara dinamakan Minimum Explosive cConsentration (MEC).
MEC ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti kandungan zat terbang dari batubara, ukuran distribusi partikel batubara dan juga keberadaan gas yang mudah terbakar seperti gas metan dalam suspensi batubara. Nilai MEC untuk batubara medium volatile bituminous adalah 40-50 gram per meter kubik. Nilai MEC akan menurun bila jumlah zat terbang naik, ukuran partikel lebih kecil dan konsentrasi gas methan naik.
d. Keberadaan sumber panas (heat)
Partikel debu batubara dapat terbakar bila terdapat energi yang cukup untuk menyalakannya. Sumber energi panas ini dapat berasal dari udara panas di dalam mesin pengering atau percikan api. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk menyalakan debu batubara adalah sekitar 60 mili joules.
Penyalaan gas membutuhkan energi yang lebih sedikit dibanding batubara. Bila debu batubara bercampur gas seperti methan maka metan akan menyala lebih dulu dari batubara. Energi dari pembakaran gas metane ini yang selanjutnya akan menyalakan debu batubara dan menimbulkan ledakan.
Gambar 2.6 Hubungan antara suhu penyalaan dan kandungan zat terbang
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Debu batubara ter-suspensi umumnya membutuhkan suhu yang relatif tinggi (>500oC) untuk proses penyalaannya. Tetapi, debu batubara yang sama, ketika berada dalam bentuk lapisan di lantai atau di atas peralatan memerlukan temperatur yang lebih rendah (> 170 oC) untuk terbakar dan membara. Hubungan antara suhu penyalaan (ignition temperature) dan jumlah zat terbang yang terdapat dalam ditunjukkan pada Gambar 3.6.
e. Keberadaan Oksigen
Untuk terjadinya kebakaran dan ledakan diperlukan oksigen yang cukup. Berdasarkan data-data percobaan resiko terjadinya kebakaran dan ledakan akan lebih rendah bila kandungan ooksigen dalam gas kurang dari 12%.
f. Suspensi
Debu Batubara akan meledak hanya jika debu tersuspensi di udara. Jika debu berada dalam bentuk lapisan diatas lantai atau diatas zat padat lainnya, debu tersebut hanya bisa terbakar dan membara. Walaupun demikian ledakan debu batubara dapat menghasilkan tekanan yang bisa mengangkat partikel batubara dalam lapisan menjadi dalam bentuk suspense yang pada gilirannya akan meningkatkan intensitas ledakan.
g. Confinement (kurungan)
Partikel debu batubara bisa menimbulkan ledakan bila partikel-partikel tersebut terkurung dalam suatu wadah sehingga jarak antar partikel menjadi lebih dekat yang memungkinkan api menjalar dari satu partikel ke partikel lainnya. Pada pabrik pengeringan batubara kondisi ini bisa terjadi dalam siklon dan bag house. Dalam bag house misalnya, partikel debu berada dalam ruangan tertutup yang memungkinkan membentuk konsentrasi debu yang sangat tinggi melebihi nilai MEC. Ledakan dalam suatu alat dapat menyebabkan rusaknya peralatan tersebut, oleh sebab itu peralatan yang beresiko tinggi menimbulkan ledakan perlu di lengkapi dengan safety valve yang dapat terbuka pada tekanan yang rendah.
Untuk meminimalkan resiko akan terjadinya ledakan debu batu bara dalam sebuah pabrik pengeringan batubara dapat dilakukan tindakan-tindakan pencegahan sebagai berikut: Konsentrasi debu dalam udara (suspense) harus serendah mungkin.
Kadar air produk atau dalam batubara kering hendaknya tidak terlalu rendah untuk mengurangi jumlah partikel halus.
Suhu pengeringan sebaiknya tidak terlalu tinggi tetapi cukup untuk menguapkan air dalam batubara.
Produk pengeringan terlebih dulu diturunkan suhunya sampai suhu aman sebelum
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Kandungan oksigen dari gas pengering harus dikontrol pada tingkat di bawah 12% misalnya dengan cara mensirkulasidua-pertiga gas buang ke generator gas panas. Selalu memonitor dan mengontrol konsentrasi dari suspense debu batubara dalam
setiap peralatan.
2.2.3 Manfaat Pengeringan Batubara untuk bahan bakar PLTU
Uraian manfaat pengeringan batubara untuk bahan bakar PLTU berikut ini di hitung menggunakan asumsi bahwa pabrik pengeringan batubara terintegrasi dengan PLTU dan menggunakan energi untuk pengeringan yang berasal dari condenser dan gas buang (flue gas) di PLTU. PLTU mempunyai kapasitas 572 MW menggunakan bahan bakar lignit dengan kadar air 38%.
Pengeringan batubara untuk PLTU akan memberikan penghematan biaya antara lain sebagai berikut:
Pengurangan biaya pembelian batubara Pengurangan biaya pembuangan abu batubara Pengurangan biaya penangkapan pollutan.
Mengurangi biaya perawatan alat penggerus batubara (mill cost) dan Memperpanjang umur pemakaian alat penggerus.
Berkurangnya kandungan moisture dalam batubara mengurangi volume gas buang dan menurunkan suhu gas buang sehingga meningkatkan efisiensi boiler. Pengurangan kadar air batubara dari 40% menjadi 20% meningkatkan efisiensi boiler antara 3% sampai dengan 5%. Berkurangnya volume gas buang juga mengurangi energi yang diperlukan oleh ID Fan sehingga menurunkan kebutuhan energi untuk pemakaian sendiri (service power) pada PLTU. Meningkatnya efisiensi boiler dan berkurangnya service power akan memperbaiki nilai heat rate dari pembangkit listrik. Pengurangan 20% moisture dalam batubara dapat memperbaiki nilai heat reate sampai 3,3%. Perbaikan nilai heat rate akan mengurangi konsumsi batubara, biaya pembuangan abu batubara dan biaya penangkapan pollutan.
Kebutuhan energi untuk penggerusan batubara (grinding) sebanding dengan jumlah moisture yang ada dalam batubara. Kebutuhan energi tersebut menurun dengan berkurangnya jumlah air (moisture) dalam batubara. Batubara dengan kandungan moisture 20% memerlukan energi 2/3 dari kebutuhan energi untuk penggerusan batubara dengan kadar air 40%. Pengurangan energi ini disebabkan karena berkurangnya jumlah batubara yang harus digerus untuk menghasilkan produksi listrik yang sama. Penurunan kebutuhan energi untuk penggerusan ini akan mengurangi jumlah service power yang dibutuhkan. Untuk pembangkit listrik kapasitas 572 MW, pengeringan batubara dengan kandungan air
40% menjadi batubara dengan kandungan air 20% dapat menghemat service power sekitar 17 MW.
Batubara kering juga mengurangi biaya perawatan dan memperpanjang waktu pemakaian alat penggerus (Mill Maintenance and Availability). Frekuensi perawatan alat penggerus ditentukan oleh volume umpan, mineral dalam batubara dan karakteristik ketergerusan batubara. Ketiga parameter diatas mempengaruhi tingkat keausan dinding alat penggerus dan komponen-komponen alat penggerus seperti gear box dan poros (shaft).
Pada pembangkit listrik kapasitas 572 MW dengan bahan bakar batubara berkadar air 40% akan dibutuhkan enam (6) alat penggerus. Bila batubara yang digunakan adalah batubara kering dengan kadar air 20% maka hanya dibutuhkan lima (5) alat penggerus. Bila diasumsikan setiap alat penggerus biasanya memerlukan perawatan (maintenance) dua kali setahun dengan biaya maintenance untuk suku cadang dan tenaga kerja adalah US$ 25.000 setiap maintenance. Alat penggerus yang beroperasi secara normal juga memerlukan overhaul sekali dalam dua tahun dengan biaya rata-rata per overhaul untuk suku cadang dan tenaga kerja adalah US$ 235.000. Menggunakan asumsi tersebut diatas maka penggunaan batubara kering atau tidak dioperasikannya satu alat penggerus akan memberikan pengehematan baiaya perawatan dan overhaule sebesar US$ 167.500 per tahun.
PLTU juga kadang mengalami penurunan jumlah listrik yang dibangkitkan (derate) karena rusaknya alat penggerus batubara. Pada PLTU kapasitas 572 MW dengan enam alat penggerus batubara maka kerusakan sebuah alat penggerus akan mengakibatkan penurunan jumlah listrik yang dibangkitkan sebesar 1/6 x 572 MW. Bila perbaikan alat penggerus memerlukan waktu dua (2) hari dan harga listrik adalah US$ 0,05/kW-hr maka biaya yang harus dibayar karena derating tersebut adalah 1/6 x 572 MW x 2 x 24 jam x US$ 0,05 x 1000 per mW-hr = US$ 228 000. Biaya ini dapat dihindari pada pemanfaatan batubara kering untuk PLTU karena hanya 5 alat penggerus yang dipakai sehingga satu alat penggerus batubara dapat stand by untuk menggantikan sewaktu-waktu penggerus yang sedang beroperasi mengalami kerusakan.
Total penghematan per tahun oleh adanya penggantian bahan bakar dari batubara basah ke batubara kering ditampilkan pada Tabel 2.2. Untuk pembangkit listrik kapasitas 572 MW akan didapatkan penghematan dengan nilai antara US$ 4,3 juta sampai dengan US$ 6,6 juta. Semakin rendah kandungan kadar air batubara kering semakin besar nilai penghematan. Penghematan terbesar diperoleh dari penghematan biaya pembelian batubara diikuti oleh penghematan biaya penangkapan SO2, penangkapan NOx, penghematan biaya perawatan alat penggerus dan penghematan biaya pembuangan abu.
Tabel 2.2 Total penghematan biaya (avoided cost) oleh adanya penggantian batubara basah menjadi batubara kering
pada PLTU kapasitas 572 MW (Levy, 2006)
Persentase pengurangan kadar air
Penghematan (US$)
minimum rata-rata maksimum
9,6 2.485.383 3.090.488 3.810.587
10,8 2.623.751 3.256.960 4.009.568
16,0 3.857.868 4.782.453 5.870.501
19,0 4.346.333 5.392.732 6.620.220
2.3 Status Beberapa Teknologi Upgrading
Berdasarkan fasa air yang keluar saat proses, teknologi upgrading batubara dikelompokkan menjadi proses evaporative dan non-evaporative. Pada proses evaporative, air dikeluarkan dalam batubara dalam fasa gas/uap sedangkan pada proses non-evaporative karena tekanannya proses yang tinggi maka air keluar dari batubara dalam bentuk fasa cair. Sebagian besar teknologi pengeringan batubara adalah masuk ke dalam jenis teknologi evaporative drying seperti contoh teknologi UBC (upgraded brown coal), BCB (binderless coal briquetting) dan lain-lain. Teknologi yang termasuk kedalam jenis non-evaporative drying adalah technology hydrothermal dan mechanical thermal expression (MTE).
Peralatan utama yang digunakan pada evaporative drying antara lain adalah pengering putar (rotary dryer), flash dryer, fluidized bed dryer, slurry evaporator sedangkan peralatan utama pada non-evaporative drying adalah autoclave dan hydraulic press. Berikut adalah penjelasan dari teknologi-teknologi tersebut.
2.3.1 Evaporative Drying
Pengeringan evaporative dapat dilakukan pada beberapa rentang suhu yaitu antara suhu 40oC-100oC, 100oC-200oC dan 200oC-400oC. Pengeringan dibawah suhu penguapan air (< 100oC) dilakukan dengan menggunakan udara kering (udara dengan tingkat kelembapan rendah). Contoh proses ini adalah cold dry process dan teknologi-teknologi pengeringan yang memanfaatkan waste heat (panas terbuang) dari pembangkit listrik yang dikembangkan oleh RWE dan WTA. Proses pengeringan diatas suhu 200oC dapat
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
menghasilkan gas-gas CO/CO2, gas hydrocarbon dan tar. Pengeringan pada suhu tinggi memerlukan intalasi pengolahan limbah cair karena air dari batubara mengandung tar. Berikut adalah pengelompokan teknologi pengeringan evaporative berdasarkan peralatan utama yang digunakan:
a. Pengering putar/Rotary dryer (PT. Titan Mining, Muara Kilis Jambi dan Puslitbag tekMIRA)
Pengering putar adalah pengering bahan padat yang paling umum digunakan dalam industri. Pengering ini terbuat dari kerangka/cangkang/shell berbentuk silinder. Gambar 2.7 menampilkan sketsa peralatan pengering putar. Komponen peralatan pengering putar terdiri atas peratan seperti coal burner untuk menghasilkan gas panas, pengumpan batubara (coal feeder) dan siklon. Gas panas harus disesuaikan suhunya sebelum dimasukkan ke dalam pengering putar dengan menambahkan udara (quench air). Posisi pengering sedikit miring terhadap bidang horizontal agar padatan dapat mengalir dari ujung satu ke ujung lainnya. Dalam siystem pemanasan langsung, gas panas dialirkan pada bagian dalam pengering putar sehingga bersentuhan dengan zat padat yang akan dikeringkan.
Gambar 2.7 Pengering Putar (Rotary Dryer)
Untuk meningkatkan intensitas interaksi antara fasa gas dan fasa padat, pada permukaan silinder pengering putar bagian dalam dipasang plat-plat besi sejajar (flight) yang berfungsi mengangkat zat padat kebagian atas dan menjatuhkannya kebagian bawah pada saat pengering sedang berputar.
Pengering putar biasanya dapat digunakan untuk mengeringkan semua jenis partikel padat tetapi tidak dapat digunakan mengeringkan slurry dan pasta. Partikel padat tersebut bisa dalam bentuk bubuk (powder), butiran (granules) dan agglomerate. Ukuran partikel
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
tinggal partikel dalam pengering putar adalah antara beberapa menit sampai dengan satu jam, tergantung pada jenis material yang akan dikeringkan dan jumlah kadar air dalam umpan dan dalam produk. Waktu tinggal dapat diatur dengan memvariasikan kecepatan putaran dan kemiringan dari pengering putar. Volume zat padat dalam pengering putar adalah antara 7% sampai 25% dari volume pengering. Pengering putar cukup kuat (robust), mempunyai kapasitas tinggi dan harganya murah. Kelemahan pengering putar adalah bila menggunakan umpan dengan ukuran besar mengeluarkan suara berisik, umpan mudah pecah, dan memerlukan biaya perawatan yang tinggi.
Salah satu contoh perusahaan yang menggunakan pengering putar untuk up grading batubara adalah PT. Titan Mining di Muara Kilis, Kabupaten Tebo, Propinsi Jambi. Di daerah tersebut, perusahaan ini mempunyai cadangan batubara sekitar 199 juta ton dengan kualitas sebagai berikut:
Nila Kalor (ar) : 2.900-3.300 kkal/kg Total Moisture (ar) : 30-48%
Inherent Moisture (adb) : 16-18,5%
Abu (adb) : 4,2-5,8%
Zat terbang (adb) : 40-43%
Fixed Carbon (adb) : 34-36% Belerang total (adb) : 0,2-0,35%
HGI : 60-80
PT. Titan Mining telah mendapat kontrak pembelian batubara sebesar 3,45 juta ton/tahun dari PLN untuk memenuhi kebutuhan batubara pada PLTU Suralaya, Labuan, Pelabuhan Ratu, Rembang dan Parit Baru Kalimantan Barat dengan spesikasi batubara yaitu nilai kalor =4200 kkal/kg dan kadar air total (Total Moisture/TM) maksimum 30%.
PT. Titan menggunakan pengering putar untuk mengurangi kadar air dalam batubara sehingga memenuhi spesifikasi PLN. Energi panas pengering putar berasal dari pembakaran batubara. Kapasitas pengering putar ditentukan oleh kandungan air dalam batubara umpan dan kandungan air dalam batubara kering yang diinginkan. Semakin rendah kadar air produk semakin sedikit jumlah batubara umpan tetapi semakin banyak kebutuhan batubara untuk bahan bakar. Tabel 2.3 menampilkan kondisi umum (typical condition) pada pengering putar di PT. Titan (Kresnawahjuesa, 2010).
Tabel 2.3 Kondisi operasi pengering putar PT. Titan Kapasitas desain (ton/jam) TM batubara umpan (%) TM batubara yang diinginkan (%) Kapasitas actual (ton/jam) Kebutuhan bakar (ton/jam) 100 50 20 62,5 12,5 100 50 25 66,67 11,11 100 50 30 71,43 9,52 100 50 35 76,92 7,69
Gambar 2.8 Kondisi dan hasil percobaan pengeringan batubara menggunakan steam tube rotary dryer (Rizwan, 2010)
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) Kementerian ESDM telah melakukan percobaan pengeringan batubara menggunakan steam tube rotary dryer. Suhu steam masuk adalah 170oC. Alat ini dapat digunakan dengan kapasitas yang bervariasi antara 10 kg sampai dengan 40 kg per jam. Suhu alat dijaga konstan dengan menambahkan atau mengurangi jumlah steam yang masuk ke pengering putar. Batubara yang digunakan adalah batubara Pendopo Sumatera Selatan dengan kandungan air (Total Moisture/TM)= 60%. Kondisi dan hasil percobaan ditampilkan pada Gambar 2.8. Pada laju alir umpan batubara 40 kg/jam dan aliran steam adalah sekitar 33 kg/jam maka dihasilkan batubara kering dengan kandungan air sekitar 15%. Kandungan air batubara kering dapat diturunkan lagi menjadi dibawah 10% bila umpan batubara dikurangi menjadi sekitar 20 kg/jam. Pengering putar dapat digunakan untuk mengeringkan batubara sampai total
moisture yang di inginkan dengan mengatur laju umpan, waktu tinggal dan ukuran batubara dan suhu pengering putar.
b. Flash dryer (PT. Bayan Resources/Binderless Coal Briquettes dan PT Bhakti Energi Persada/Coal Up grading Briquettes)
Pada flash dryer atau sering disebut pneumatic dryer, gas panas mengangkut sekaligus mengeringkan batubara. Laju gas panas dibuat cepat agar partikel batubara dapat terbawa oleh gas. Sementara itu suhu gas panas dibuat tinggi (> 400oC) agar air dalam batubara dapat dikeluarkan dalam waktu yang cukup singkat. Kecepatan gas panas dalam flash dryer sekitar 10-30 m/det atau 10 kali lebih cepat dibandingkan kecepatan gas dalam fluidized bed atau rotary dryer. Kata “flash” dipakai disini untuk menggambarkan betapa cepatnya proses pengeringan yaitu mulai dari mili detik sampai beberapa detik. Ukuran partikel batubara input maksimum adalah 1-2 mm. Karena proses pengeringan berlangsung singkat, flash dryer berukuran relative kecil tetapi mempunyai kapasitas besar. Gambar 2.9 adalah sketsa peralatan flash dryer.
Gambar 2.9 Sketsa Peralatan Flash Dryer
Satu unit peralatan flash driyer biasanya terdiri dari blower (ID fan), pemanas gas, pengumpan lignite, pipa pemanas, drying duct, siklon, bag filter dan mesin briket. Pengumpan lignite kadang dilengkapi dengan disintegrator untuk memecah gumpalan lignite yang keluar dari screw feeder. Proses pengeringan terjadi di riser, duct dan siklon.
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Bila produk kurang kering, sebagian underflow cyclone dapat dirisaikel (recycled) lagi dengan cara mencampur lagi ke dalam umpan.
Sebagian besar peralatan pengeringan berkapasitas besar di dunia adalah flash dryer. Satu unit flash dryer mampu menguapkan air sampai dengan 20 ton/jam. Capital cost flash dryer kapasitas 60 ton batubara/jam adalah antara US$ 2,2 juta dan US$ 4,4 juta dengan biaya operasi US$ 1,5/ton dan US$ 3/ton (Sumber: Allardice).
PT. Kaltim Supacoal (KSC), perusahaan joint venture antara White Energy Australia dengan PT. Bayan Resources tbk, telah membangun pabrik pengeringan batubara kapasitas 1 juta ton per tahun di Tabang, Kalimantan Timur dengan biaya US$ 68 juta. Rencananya akan dibangun lagi pabrik tambahan sehingga bisa mencapai kapasitas 5 juta ton/tahun. Teknologi ini dinamakan Binderless coal briquetting (BCB) dengan peralatan utama adalah flash dryer dan mesin briket.
BCB pertama dikembangkan sejak 1992 oleh Commonwealth Scientific Industrial Research Organisation (CSIRO) bekerjasama dengan TraDet Inc, K.R. Komarek Inc dan The Griffin Coal Mining Company Pty Ltd. Pilot Plant dan Development Plant teknologi BCB telah dibangun pada tahun 1994 dan 2002. Pada tahun 2008 mulai dibangun demo plant kapasitas 1 ton per tahun di Kalimantan. Gambar 2.10 menampilkan photo pabrik pengeringan batubara BCB di Tabang, Kalimantan Timur.
Gambar 2.10 Photo pabrik BCB di Tabang, Kalimantan Timur (Coaltrans, 2010)
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Teknologi BCB telah dicoba untuk mengeringkan beberapa jenis batubara Indonesia dengan kandungan air total antara 25-40% menghasilkan produk batubara kering dengan kandungan air antara 4-10% (Tabel 4.2). Pengembang teknologi BCB mengklaim bahwa proses BCB mampu menghasilkan batubara kering dengan HGI tinggi (>80) dan density tinggi yaitu 2,8 gram/ml.
Hasil uji pembakaran produk proses BCB ditampilkan pada Tabel 2.5. Upgrading batubara sub-bituminous/lignit dengan teknologi akan meningkatkan efisiensi pembangkit listrik, mengurangi emisi SOx dan NOx serta mengurangi jumlah abu yang dihasilkan.
Tabel 2.4 Kharakteristik batubara sebelum dan sesudah dilakukan pengeringan BCB
Indonesian Mines A B C D E F
Raw coal moisture (%) 37.6 32.3 26.0 53.6 24.5 39.6 Moisture of BCB product, (%) 5.9 7.8 4.6 9.9 4.2 7.8
Percent moisture reduction 84 76 82 82 83 80
Energy as Received (kcal/kg) 4,094 4,468 5,159 2,656 4,980 3,817 Energy of BCB product
(kcal/kg)
6,095 6,117 6,623 5,234 6,325 5,788
Percent energy increase 49 37 28 97 27 52
Drop Shatter (% > 12.5mm) 93.9 94.1 95.1 95.6 96.6 92.2
Tabel 2.5 Kharakteristik pembakaran batubara sebelum dan sesudah dilakukan pengeringan BCB
Parameter Australian 14%
ash
Raw Sub-bit BCB Upgraded Sub-bit Boiler efficiency (%) 89.5% 85.3% 89.4% Parasitic load (%) 5.9% 6.4% 5.7% Overall efficiency (%) 36.1% 34.1% 36.3% NOx (mg/Nm3) 454 284 280 SOx (mg/Nm3) 1404 223 169 Ash generation (kg/MWh) 57.6 21.3 17.3
Walaupun teknologi BCB telah dikembangkan cukup lama tetapi scale-up teknologi ini masih menghadapi kendala-kendala teknis. Pabrik BCB telah selesai dibangun pada 27 april 2009 tetapi sampai dengan april 2010 pabrik ini hanya beroperasi sekitar 30% dari kapasitas desainnya. Pada 25 juni 2010, setelah dilakukan perbaikan pada siystem injeksi batubara dan peralatan-peralatan penangkapan partikel halus batubara, pabrik ini baru mampu beroperasi 50% diatas kapasitas desainnya (KSC press release, 25 Juni 2010).
PT. Bhakti Energi Persada (PT. BEP) sebuah holding company yang membawahi 7 perusahaan batubara berencana membangun pabrik pengeringan batubara menggunakan flash dryer dari Alstom. Perusahaan ini bekerjasama dengan PT. Advance Technology Indonesia telah membuat design pabrik dan telah menguji kharakteristik pengeringan batubara PT. BEP dalam flash dryer tetapi tidak diketahui kapan perusahaan ini akan mulai membangun pabrik pengeringan batubara.
c. Fluidised-bed dryer
Pada pengeringan batubara dalam unggun terfluidakan (fluidized bed), gas panas dengan kecepatan tertentu dilewatkan dalam tumpukan partikel batubara sehingga partikel tersebut dapat terangkat tetapi tidak terbang meninggalkan reakctor dan juga tidak jatuh ke lantai reakctor. Campuran gas panas dan batubara ini dapat begerak laksana fluida sehingga keadaan demikian dinamakan sebagai kondisi terfluidisasi. Bagian bawah reaktor dinamakan plenum chamber/wind box. Diatas plenum chamber terdapat gas distributor biasanya terdiri dari plat logam berlubang. Gas panas dimasukkan ke dalam wind box/plenum chamber selanjutnya keluar melalui distributor menuju unggun (bed) batubara. Jumlah dan ukuran lubang dalam distributor diatur/dihitung sehingga gas dapat terdistribusi merata dan mempunyai kecepatan yang cukup untuk mencegah masuknya partikel ke dalam plenum chamber. Dalam unggun batubara yang terfluidisasi ada persentuhan yang baik antara gas panas dengan partikel batubara yang dikeringkan dan antara partikel satu dengan partikel lainnya sehingga transfer panas berjalan sangat baik. Gambar 2.11 menampilkan diagram siystem pengeringan menggunakan pengering fluidized bed.
Pengeringan dengan fluidized bed dapat juga dilakukan menggunakan energi yang berasal dari kondensasi steam (uap air) hasil proses pengeringan batubara sebagai tambahan energi proses pengeringan. Teknologi ini pertama ditemukan oleh Potter dari Universitas Monash pada tahun 1985 dan dikembangkan pada skala besar oleh Lurgi. Batubara dipanaskan menggunakan uap air superheated (superheated steam). Uap air berfungsi untuk membuat batubara terfluidisasi dan sebagai sumber panas pengeringan batubara. Pada proses ini uap air sisa proses di tingkatkan tekanannya untuk direcycle dan dimanfaatkan energiy-nya
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic Formatted: Font: 12 pt, Italic
dalam proses pengeringan. Uap air akan naik suhunya bila tekanannya di naikkan. Pada teknologi terdapat alat tukar panas (heat exchanger) dimasukkan ke dalam unggun batubara. Setelah energinya dipakai untuk proses pengeringan, sebagian uap air mengembun dalam alat tukar panas. Karena energiy yang digunakan adalah berasal dari uap air yang diberi tekanan dan air keluar dari siystem dalam fasa cair bukan dalam fasa gas maka proses ini diharapkan akan mempunyai efisiensi tinggi.
Gambar 2.11 Sketsa peralatan pengeringan batubara dengan reaktor fluidized bed
Pabrik pengeringan menggunakan teknologi ini telah dibangun di Loy Yang, Australia dengan kapasitas 150.000 ton batubara kering/tahun. Batubara kering ukuran halus dari pabrik ini dipakai di pembangkit listrik yang jaraknya 3 km dari pabrik pengeringan. Meskipun teknologi pengeringan ini secara teknis cukup handal, tetapi produk yang dihasilkan masih dianggap cukup mahal sehingga tidak ada pembangkit listrik lainnya yang membeli produk pengeringan ini. Pabrik pengeringan batubara menggunakan reaktor fluidized bed di Loy Yang ini saat ini telah berhenti beroperasi.
Pengembangan teknologi fluidized bed untuk pengeringan batubara menggeliat kembali setelah munculnya isu emisi CO2 yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Penggunaan lignit banyak ditentang karena lignit mengeluarkan emisi CO2 yang lebih banyak dibandingkan energiy yang dipakai saat ini. Dalam 100 liter minyak solar yang dibuat dari lignit akan dikeluarkan emisi CO2 sebanyak 5,8 ton sementara itu minyak solar yang dibuat dari minyak mentah (Petroleum crude oil) hanya menghasilkan 3,1 ton CO2. Penggunaan lignit baik sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik maupun sebagai bahan baku pada industri pencairan batubara (coal to liquids) atau sebagai bahan baku
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic