Mata Kuliah : Isu-Isu Komunikasi Terkini Nama : Herlina Kusumaningrum NIM : 13/350815/PSP/04649
Komunikasi, Demokrasi dan Kewarganegaraan
Internet Sebagai Kebangkitan Public Sphere Ke Arah Masyarakat Demokrasi Yang Lebih Baik, Benarkah?
Pendahuluan
Pasca Perang Dunia Ke-II bentuk negara demokrasi diadaptasi oleh banyak negara, penelitian UNESCO pada tahun 1949 menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan negara demokrasi dianggap sebagai bentuk sistem pemerintahan yang paling baik dan layak untuk diperjuangkan.1 Hingga memasuki abad 21, pandangan ini juga masih belum berubah. Secara sederhana konsep demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat atau lebih dikenal dengan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini adalah kebijakan pemerintah harus bersandar pada kehendak umum atau general will.
Konsep ini diperkenalkan oleh J.J. Rosseau dalam traktat yang ditulisnya, istilah ini seringkali dipertukarkannya dengan istilah L’opinion publique atau opini publik. Inti dari gagasan Rosseau adalah sebuah pemerintahan secara etis dianggap sah jika penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan atas kehendak umum. Oleh karena itu rakyat secara terus-menerus mengaktualisasikan kedaulatan rakyat dengan cara membangun relasi antara warganegara dengan pemerintah. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana pemerintah dapat menangkap kehendak umum tersebut?.
Dalam bentuk demokrasi langsung sangat dimungkinkan untuk menangkap kehendak umum. Yakni dengan cara langsung menanyakan satu-per satu apa yang menjadi kehendak rakyat, seperti pada praktek demokrasi langsung yang berkembang di negara kota (city state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM). Ketika itu demokrasi dapat dilakukan dengan efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana (wilayah yang terbatas, penduduk yang terbatas yakni sekitar 300.000 jiwa, serta hanya berlaku untuk warganegara yang resmi2). Dalam bentuk negara modern tentu saja hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Faktor luasnya wilayah serta banyaknya jumlah penduduk3membuat demokrasi secara langsung tidak mungkin untuk dilakukan.
Kemudian ditemukan inovasi untuk mewakili kelompok pemilih melalui partai politik. Partai politik adalah sekumpulan besar individu pemilih yang memiliki kepentingan serupa, terbentuk pada dua revolusi besar yakni revolusi industri di Inggris dan revolusi nasional di Prancis. Adanya lembaga ini menyelesaikan permasalahan dalam menangkap kehendak umum, lembaga ini memiliki kemampuan untuk mengekstrasi berbagai kepentingan kolektif masyarakat sehingga diketahui kehendak umum. Bentuk perwakilan seperti ini disebut juga sebagai demokrasi tidak langsung atau kita kenal dengan demokrasi perwakilan. Tetapi kemudian dalam kenyataannya partai politik sebagai perantara antara warganegara dengan pemerintah sering kali tidak menyampaikan kehendak umum yang murni dari warganegara. Partai politik cenderung hanya menyuarakan kepentingan segelintir orang.4
2 Hak memilih (bersuara) tidak diberikan kepada mayoritas budak belian serta pedagang asing.
3 Kita ambil contoh negara Indonesia. Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, jika setiap orang diberikan hak untuk mengutarakan suaranya maka bisa dibayangkan berapa ratus tahun yang dibutuhkan untuk memutuskan satu kebijakan saja.
Oleh karena itu dalam demokrasi perwakilan media massa dianggap memiliki fungsi yang amat penting, yakni sebagai kontrol sosial kepada pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan, sehingga media massa juga dikenal dengan sebutan the watch dog of public interest.5 Namun dalam perkembangannya media massa juga dianggap memiliki kekurangan karena hanya pendapat sedikit orang yang mampu tersalurkan (hanya pendapat tokoh masyarakat, elite politik), selain itu interaktivitas pada media massa juga rendah karena sifatnya yang satu arah.
Selanjutnya dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, internet muncul sebagai salah satu media baru yang dinilai memberikan kemudahan warganegara dalam berkomunikasi (aksesibilitas informasi) serta biaya penggunaan yang relatif rendah. Penggunaan internet diberbagai wilayah terus mengalami peningkatan. Hal ini tidak mengherankan karena internet menyimpan informasi sangat lengkap dan tidak terbatas yang mana kemampuan ini tidak dimiliki oleh media massa. Karena karakteristik internet yang demikian, banyak para akademisi mengaitkan internet dengan kebangkitan publik sphere.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini akan membahas asumsi mengenai janji internet sebagai bentuk kebangkitan public sphere yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang lebih demokratis, yakni melalui pendapat dan penelitian akademisi yang terkait dengan topik tersebut.
Internet
Internet berkembang dengan sangat pesat dan menjadi bagian penting dalam hidup kita. Berdasarkan data yang dilansir Gobal Web Index pada tahun 2013, pengguna Internet di dunia terus mengalami pertumbuhan dalam 5 tahun terakhir. Pertumbuhan yang sangat signifikan terutama terjadi di negara-negara berkembang, seperti Filipina yang mana mengalami pertumbuhan hingga 531 persen, di susul
Indonesia dengan pertumbuhan sebesar 430 persen, kemudian diikuti oleh Afrika Selatan, India dan negara-negara berkembang lainnya.6 Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) jumlah pengguna internet pada tahun 2013 mencapa 71,19 juta, meningkat 13 persen dibanding tahun 2012 yang mencapai sekitar 63 juta pengguna. Sesuai dengan MDGs (Millenium Development Goal) pada tahun 2015 setengah penduduk Indonesia yakni sekitar 139 juta ditargetkan telah memiliki akses terhadap internet.7
Secara definisi internet pada dasarnya merupakan sebuah jaringan antar-komputer yang saling berkaitan. Jaringan ini tersedia. Secara terus-menerus sebagai pesan-pesan elektronik, termasuk email, transmisi file, dan komunikasi dua arah antar-individu atau komputer. Demikian ketika individu mengakses internet sebenarnya dia mengakes sebuah jaringan bersar yang dibentuk interkoneksi jaringan komputer di seluruh dunia. Sehingga melalui media ini berbagai jenis interaksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok relatif mudah untuk dilakukan atau bahkan dapat dikatakan sangat mudah. Internet memiliki tiga fitur utama, diantaranya adalah :
1. Email. jutaan orang dapat berkomunikasi dengan pesan elektronik (email). Penggunaanpun relatif mudah.
2. Newsgroups dan mailing list. Merupakan sistem berbagi pesan secara elektronik yang memungkinkan seseorang untuk bertukar informasi dan opini antar sesama anggota kelompok.
6 Yasser Paragian, “Dalam 5 Tahun Terakhir Jumlah Pengguna Internet Indonesia Naik 430 Persen” http://id.techinasia.com/dalam-5-tahun-terakhir-jumlah-pengguna-internet-indonesia-naik-430-persen-grafik/.( Diakses pada taanggal 1 Juni 2014).
3. World Wide Web: dikenal juga dengan istilah www atau web, merupakan sebuah sistem inforrmasi yang dapat diakses melalui komputerr lain secara cepat dan tepat.8
Melalui tiga fitur utama ini pengguna internet mengalami revolusi dalam komunikasi, melalui email pengguna mampu berkirim pesan dengan pengguna lain yang berada di benua berbeda sekalipun, dalam hitungan detik, bahkan juga dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan banyak orang sekaligus, melalui mailing list. Melalui newsgroups dan mailing list pengguna dapat berbagi informasi dengan kelompok yang memiliki ketertarikan yang sama, saling berkomentar tanpa terhalang ruang dan waktu, melalui world wide web (web) setiap individu mampu untuk mengakses informasi (mencari data) hanya dengan mengetikan kata-kata kunci yang berhubungan dengan data yang akan dicari. Bahkan banyak orang mengatakan sebuah lelucon bahwa tidak ada hal di dunia ini yang tidak dapat dicari jawabannya pada fitur web.
Untuk dapat memahami bagaimana media internet itu bekerja, maka harus dipahami terlebih dahulu bagaimana sifat-sifat yang melekat pada internet. Jenkins (2006) mengidentifikasi delapan sifat media baru (dalam hal ini juga merupakan sifat yang dimiliki internet sebagai salah satu bentuk media baru). Delapan sifat tersebut diantaranya :9
Pertama, Inovative, Kita berada dalam era perubahan teknologi yang sangat panjang dan sangat luas. Media baru diciptakan, disebarkan, diadopsi dan diadaptasi serta menyerap kedalam budaya secara dramatis, dampaknya pada budaya tidak terprediksi karena setiap teknologi menyebabkan tingkatan pengguna yang berbeda dan respon yang berbeda pula. Hal ini seperti yang kita dapatkan dan disebarkan oleh
8 Werner J. severin, James W. Tankard, Jr. Teori Komunikasi Massa: Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa.(Jakarta: Kencana, 2011)
9 Nunung Prajanto, Mufti Nurlatifah, Fungsi, Malfungsi dan Disfungsi Media Baru
komunitas yang berbeda. Sehingga dalam hal ini makna individu dan kelompok menjadi penting.
Kedua, Convergent, Keberagaman dibentuk bottom-up oleh dorongan partisipasi dari konsumen, yang ingin memiliki kemampuan untuk mengontrol dan membentuk arus dari media kedalam hidup mereka. Konsumen yang seperti ini mengambil keuntungan dari adanya teknologi media baru untuk merespon, mencampur kembali dan memperbarui tujuan isi media, mereka menggunakkan web untuk berbicara kembali pada produsen media.
Ketiga, Everyday, teknologi media sudah tidak dapat lagi dipisahkan dalam kehidupaan interaksi keseharian kita. Dimanapun, kapanpun kita berada kita selalu membawa teknologi media. Sehingga teknologi media dapat mencabut diri kita dari lingkungan dan mengisolasi kita dari orang di sekeliling kita.
Keempat, Appropriative, Teknologi baru memberikan kemudahan manusia unttuk mengekspresikan diri melalui media, praktek (rewriting) karya tertentu semakin meningkat. Tetapi kemudian kita tidak memiliki kesadaran etika yang “pantas” dalam penulisannya. Sehingga kita tidak memiliki kemampuan untuk merefleksikan apa yang telah kita ciptakan.
Kelima, Networked, Teknologi media mrupakan media yang terinterkoneksi, arus pesan degan sangat mudah mengalir dari satu tempat ketempat lainnnya, dari satu orang ke orang yang lain. “Network” dianggap sebagai sebuah hal yang penting dan merupakan kemampuan profesional.
Keenam, Global, Konten media mengalir melintassi batasan negara, masyarakat menyebarkan jaringan komunikasi baru untuk berinteraksi dengan orang lain di luruh dunia. Media baru mengubah cara kita memandang diri kita dan tempat kita hidup di dunia.
Kedelapan, Unequal, budaya media baru harus didefinisikan sebagai “elective” yakni posisi sesuai dengan pilihan yang ditentukan, yang mensugestikan bahwa orang dapat memilih masuk atau pun keluar dalam level partisipasi yang berbeda. Akses terhadap cyerspace potensial menciptakan segmen publik baru sehingga penuh dengan partisipasi dalam budaya dan kehidupan warganegara, Namun teknologi eletronik ini juga memiliki untuk membuat seseorang tidak terlihat (yang tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi).
Demikian sifat-sifat yang melekat pada media internet tersebut, merupakan sebagai bahan diskusi utama mengenai asumsi bahwa internet menjanjikan kebangkitan public sphere.
Konsep Public Sphere Jurgen Habermas
Public Sphere merupakan konsep yang diperkenalkan Jurgen Habermas dalam karya habilitasinya yang berjudul Strukturwandel der Offentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Burgerlichen Gesellschaft
(Transformasi Struktural Ruang publik: Suatu Penyelidikan ke dalam Kategori Masyarakat Borjuis). Dalam karya tersebut secara garis besar terdapat dua pokok utama kajian Habermas yakni pertama mengenai sejarah kemunculan public sphere di pertengahan abad ke 17 dan mencapai puncaknya pada abad ke 18, serta kedua mengenai runtuhnya public sphere pada abad ke 20.
pemberitaan pers dengan lebih luas, bukan hanya masalah privat namun permasalahan umum. Periode ini juga banyak memunculkan jurnal politik yang berisi informasi pajak, harga komoditi, perang, perdagagan luar negeri dan sebagainya. Pada awal abad ke 18 jurnal tidak hanya berisi kepentingan ekonomi dan propaganda negara melainkan juga berisi kritik terbuka. Kritik rasional ini menyebar di Kedai Kopi (Belanda), Salon (sebelum Revolusi Prancis) dan masyarakat literasi di wilayah Eropa.
Ruang publik borjuis dibayangkan Habermas sebagai individu privat yang datang bersama sebagai sebuah publik, terbuka bagi semua individu untuk perpartisipasi (accessible) di dalamnya. Secara prinsip dibentuk oleh nilai dialog egalitarian. Sehingga kebenaran tidak tertutup, yang mana nilai dialog kritis berguna untuk mengikis dogmatisme. Demikian dengan adanya public sphere (yang ideal) membuat warganegara secara bebas mengutarakan pendapatnya sepanjang argumentasinya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Sehingga akan diperoleh kehendak umum (opini publik) yang tidak terdistorsi oleh kalangan elit politik (gereja, raja dan bangsawan) serta berlandaskan rasionalitas.
Selain itu Habermas menganalisa mengenai jatuhnya public sphere, pada abad ke 19 nasib ruang publik politik dibawah pengaturan kapitalisme memiliki karakter yang disebutnya sebagai proses “refeudalisation”, yakni ketika perbedaan antara wilayah ‘publik’ dan ‘privat’ sudah tidak ada lagi dalam praktek. Transisi akibat pengaturan yang dilakukan kapitalisme membuat keterpautan antara negara dan masyarakaat mengalami perubahan. Yakni munculnya kepentingan beragam antara civil society dan negara, pertalian civil society itu sendiri dalam perkembangannya tererosi sebagai pasar yang ’cacat’, menciptakan sebuah krisis. Wilayah aktifitas ini tidak dapat dibedakan lagi apakah itu wilayah privat atau publik, sesuatu urusan akan disebut sebagai ‘sektor publik’ hanya jika berelasi dengan
senggang (leisure) sebagai suatu untuk melepaskan diri dari paksaan hidup. Gaya urban dan suburban mengerosi integritas privasi dan publik, dan mengucilkan aktifitas membaca, kemampuan sosial dari debat publik, kedalam televisi yang mendominasi ruang tamu. Media massa dan industri budaya pada abad 20 diidentikkan dengan media provokatif dan tidak masuk akal. Kompleksitas produk budaya terus diminimalkan harganya, untuk membuatnya patut untuk dijual: Kesadaran dan refleksi individu tidak muncul dari level mereka sendiri untuk dapat memenuhi bekal budaya. Kaum intelektual, kritik dan avant-garde menjadi teralienasi dan menjauhkan diri dari massa yang terhomogenisasi.10
Internet, Public Sphere dan Masyarakat Demokratis
Pertumbuhan pengguna internet di dunia terus mengalami peningkatan, bahkan pertumbuhan lima tahun terakhir yang signifikan justru berada pada wilayah negara-negara berkembang seperti Filipina, Indonesia, India, Afrika Selatan dan sebagainya. Sehingga kedepan dapat diproyeksikan pengguna internet di dunia semakin bertambah jumlahnya. Internet dan beberapa aplikasi yang berbeda didalamnya seringkali dianggap memiliki potensi untuk memungkinkan individu untuk bersuara.
Demikian terdapat tiga aspek demokrasi yang dapat digunakan untuk melihat relasinya dengan perkembangan internet, ketiga aspek tersebut adalah pertama, aspek transparansi dan informasi, kedua, kualitas pembentukan opini publik serta ketiga, partisipasi politik dan pengambilan kebijakan.11 Adapun penjelasannya sebagai berikut:
10 Luke Goode. Jurgen habermas: Democracy and The Public Sphere (London:Pluto Press, 2005), hal. 3-24.
1. Aspek Transparansi dan Informasi
Keterbukaan informasi merupakan prekondisi adanya trasparansi. Informasi harus dapat dimengerti, mudah diakses dan cepat. Kemampuan untuk mengakses informasi merupakan hal yang penting dalam pemerintahan demikian juga untuk demokrasi. Beberapa pendapat akademisi memandang bahwa, informasi mengenai isu-isu politik dapat menambah pengetahuan politik. Sehingga dengan adanya pengetahuan politik yang dimiliki warganegara membuat evaluasi yang lebih baik terhadap isu-isu politik.12
Demikian dalam kondisi ini mengindikasikan bahwa subjek memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap media, yakni media dipandang sebagai pembawa pengetahuan (knowledge trasmitters). Sehingga bagaimanapun banyaknya informasi yang disuguhkan tanpa melibatkan warganegara ambil bagian pada proses politik, informasi tidak akan meningkatkan partisipasi warga negara.
Dengan adanya internet, informasi sangat mudah untuk didapatkan. Alasan kecepatan maupun kemudahan aksesnya secara teoritis mampu meningkatkan demokrasi. Di dalam media internet, warganegara dapat mengakses berbagai informasi yang menyangkut kepentingan publik dan kepentingan pribadi, seperti penelusuran mengenai kebijakan negara, kejadian-kejadian aktual mengenai politik, masuk kedalam forum diskusi dengan pilihan yang tak terbatas hanya dengan menuliskan kata kunci dalam
search engine yang tersedia. Selain itu melalui internet publikasi oleh kaum minoritas atau warganegara yang tidak memiliki akses dalam publik offline
dapat dilakukan.
Banyaknya informasi yang dapat diakses oleh warganegara atau dapat dikatakan memiliki akses informasi yang tak terbatas. Informasi dari satu tahun silam, dua tahun silam, tidaklah menjadi suatu persoalan. Dapat dibayangkan aliran informasi yang sangat banyak di pihak lain dapat
membuat warganegara banjir informasi ‘overload’. Akibatnya warganegara tidak mampu lagi untuk menampung begitu banyaknya informasi dan tengggelam di dalamnya.
Selain itu dalam kenyataannya meskipun biaya internet relatif murah, masih banyak masyarakat yang tidak memiliki akses terhadapnya (digital divide), entah itu karena persoalan faktor letak geografis, kemiskinan, pendidikan atau faktor yang lainnya.
2. Kualitas Pembentukan Opini Publik
Seperti yang dikemukakan pada bagian sebelumnya, akses terhadap informasi merupakan hal yang sangat penting untuk dapat melakukan klarifikasi alternatif (sebuah pemberitaan) dan pembentukan preferensi. Dalam kondisi yang ideal, pengambilan keputusan politik harus berdasarkan pada sebuah diskusi yang delibratif.13 Fungsi dari institusi demokrasi (negara) adalah menyediakan wadah pemecahan masalah kolektif pada kepentingan yang nyata melalui proses yang terbuka, diskusi delibratif tanpa kekerasaan. Konsep delibratif sangat berkaitan dengan konsep public sphere yang telah dikemukakan Habermas.
Demikian dia mengusulkan empat keadaan yang sangat esensial bagi demokrasi delibratif untuk dapat muncul yakni pertama, setiap orang harus mampu untuk mengutarakan gagasannya secara terbuka dan melakukan kritisi pada gagasan orang lain. Kedua, konsep dorongan dan kekuatan diasosiasikan dengan status sosial harus dihilangkan. Ketiga argumentasi berdasarkan dogma harus diarahkan (rasionalitas). Keempat, kebenaran harus dilihat dengan mengedepankan konsensus.14
13 Delibrasi adalah sebuah proses diskusi yang mengedepankan rasionalitas untuk menyelesaikan situasi yang problematis, yang mana masalah tersebut tidak bisa diputuskan tanpa adanya koordinasi dan kerjasama antar perseorangan (menyangkut orang banyak).
Dengan adanya diskusi delibratif tersebut, secara normatif melegitimasi pengambilan kebijakan politik dan menyatukan seluruh warga negara kedalam proses pengambilan kebijakan. Hal yang harus diperhatikan adalah fakta dari demokrasi dan aktor politik berasal dari masukan kelompok yang berbeda, tidak dibawa langsung oleh opinion leader dan pembuat keputusan tetapi harus terlebih dahulu ditransmisikan kepada aktor-aktor politik. Sehingga proses delibrasi memberikan kesempatan pada kaum minoritas untuk berdiskusi dan menyuarakan kepentingan mereka.
Proses politik didefinisikan sebagai “mutual deliberation and public political judgement”15 oleh warganegara pada demokrasi perwakilan fungsinya sama seperti pada demokrasi langsung. Dalam demokrasi perwakilan delibrasi sepertinya dipercayakan kepada wakil rakyat.
Bagi masyarakat modern media massa menjadi hal yag paling penting dalam pembentukan public sphere yakni menggantikan arena diskusi tradisional. Aktor pada masyarakat tergantung pada media massa untuk mempublikasikan kepentingan mereka. Yakni dengan cara mengeksploitasi media massa dengan cara yang tidak langsung.
Dengan berkembang internet memberikan kesempatan pada warganegara untuk menyuarakan opininya. Terdapat dua pandangan mengenai hal ini yakni pandangan kaum optimistik dan kritis. Bagi kelompok optimistik, memandang ruang cyberspace memuat new public sphere yang mana memungkinkan pertukaran melampaui geografi, sosial dan batasan budaya, yakni sebuah tempat tanpa adanya kontrol, sehingga setiap individu bebas untuk mengekspresikan pendapat dan pemikirannya.16Namun jika didasarkan pada pandangan kritis, internet menciptakan segmentasi publik
15 Mark Button, Kevin Matttson, “Delibrative Democracy in Pratice: Challenges and Prospects for Civic Delibrationn”, Palgrave Macmillan Journals Vol 31, Issue 4 (1999), hal.1.
yang berbeda (echo chambers), perbedaan segmentasi publik ini membuat kelompok yang berbeda mendiskusikan topik yang berbeda, sehingga internet tidak lagi dipandang sebagai ruang publik terbuka, yang memungkinkan setiap orang ambil bagian dalam sebuah diskusi.17
3. Partisipasi Politik dan Pengambilan Kebijakan
Partisipasi politik warganegara merupakan hal yang paling krusial dalam demokrasi. Karena hal ini menghasilkan keputusan yang mengikat dan melegitimasi struktur demokratis. Partisipasi politik terdiri dari penggumpulan informasi politik, diskusi relevan mengenai isu-isu politik, voting dan aktifitas seperti demonstrasi, partisipasi dalam kegiatan partai dan sebagainya. Partisipasi dalam proses politik bergantung sumber daya warganegara dan motivasi seperti halnya pada struktur politik (Pemilihan berkala terhadap wakil rakyat). Kompetensi politik, pendidikan dan kebebasan memperoleh informasi merupakan prekondisi yang dibutuhkan untuk terciptanya partisipasi politik yang efektif. 18
Namun kenyataan prilaku politik semakin menurun, yakni rendahnya voting merupakan sebuah bukti menyebarnya disafeksi institusi-institusi resmi demokrasi khususnya pada generasi muda dalam demokrasi dunia barat.19Adanya internet dalam hal ini mengurangi penghalang dalam memperoleh informasi sehingga memungkinkan diskusi dengan aktor politik yang berbeda. Web. 2.0 seperti facebook, twitter, wordpress, dan lain-lain menawarkan beragam kemungkinan untuk memfasilitasi partisipasi.
Namun beberapa studi mengenai hubungan internet dan partisipasi politik membuktikan bahwa tidak ada hubungan langsung di antara keduannya. Seperti studi mengenai hubungan internet dan partisipasi politik yang dilakukan oleh Polat pada tahun 2005. Studi tersebut menguji asumsi
17Ana Maria Moreira et. al, Op.Cit, hal.28.
18 S. Verba. 1967. Democratic Participation. The Annal of the American Academy of Political and Social Science and Political Vol. 37, Issue. 1
mengenai kemampuan internet dalam meningkatkan partisipasi politik. Dengan mengeksplorasi tiga dimensi di dalam internet yakni internet sebagai sumber informasi, sebagai media komunikasi dan sebagai virtual public sphere. Hasil penelitian terhadap tiga dimensi tersebut adalah pertama,
internet sebagai sumber informasi, internet memungkinkan warganegara untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah dengan mudah. Meski berkontribusi pada masyarakat sehingga lebih terinformasi. Namun dari sudut pandang politik hal ini tidak berkaitan langsung antara informasi dan Partisipasi. Kedua, internet sebagai media komunikasi, internet meningkatkan kapasitas komunikasi dengan cara yang tidak berrimbang karena terdapat beberapa bentuk komunikasi yang lebih didukung sedangkan yang lainnya tidak. Ketiga, Internet sebagai virtual Public sphere, internet memiliki potensi public sphere yang dibatasi karena distribusi yang tidak seimbang dan terfragmentasi dan juga meningkatkan komersialisasi. Namun dengan ‘design’ yang baik, kekurangan pada internet sebagai virtual publik sphere dapat terwujud.
Studi lain yang lebih spesifik melihat asumsi internet sebagi sebuah public sphere dilakukan Papacharissi, dalam jurnal yang di tulisnya dengan judul The Virtual Sphere: The Internet as A Public Sphere, berargumen bahwa daripada menciptakan sebuah new public sphere, internet dipandangnya masih dalam taraf penciptaan new public space, dua konsep ini memiliki perbedaan yang mendasar. Internet sebagai new public space memungkinkan terciptannya forum diskusi politik yang delibratif. sedangkan internet sebagai new public sphere memfasilitasi diskusi yang mendorong pertukaran ide dan opini yang demokratis. Atau dengan kata lain internet memungkinkan terjadinya diskusi politik tetapi tidak mencitpakan budaya
informasi tidak membuat warganegara lebih terinformasi dan memunculkan keinginan untuk berpartisipasi dalam diskusi politik.20
Demikian halnya studi yang dilakukan Jurgen Gerhards, bertujuan untuk menguji kebenaran asumsi bahwa internet menciptakan public sphere yang lebih baik, dengan mengkomparasi media lama (media cetak) dan media baru (web) di dua negara yakni Amerika dann Jerman dalam tiga level (syarat struktural, keterbukaan partisipasi dan pengaruhnya terhadap masyarakat yang lebih luas). Hasilnya, komunikasi melalui internet tidak berbeda secara signifikan pada debat offline yang terjadi di media cetak.21
Penutup
Perkembangan internet sebagai media baru memunculkan asumsi bahwa media ini merupakan kebangkitan public sphere (ideal), bahkan juga diasumsikan menyediakan public sphere yang lebih baik ketimbang media sebelumnya (media massa dan media penyiaran). Konsep public sphere sebagai ruang terbuka bagi individu untuk berpartisipasi yang mengedepankan kesamaan derajat di dalamnya, melandaskan diskusi dengan argumentasi rasional dan kritis pada akhirnya diasumsikan akan menciptakan masyarakat yang lebih demokratis karena opini publik (general will) berasal langsung dari warganegara.
Namun, berdasarkan tinjauan tiga aspek demokrasi dan relasinya dengan perkembangan internet serta beberapa studi mengenai hubungan internet dengan
20 Zizi Papacharissi ,The Virtual Sphere: The Internet As A Public Sphere,New Media & Society, February 2002; vol. 4, 1: pp. 9-27. http://nms.sagepub.com/content/4/11/9 (Diakses pada tanggal 1 Juni 2014).
public sphere dapat disimpulkan bahwa sejauh ini internet memang memungkinkan warganegara untuk dapat memperoleh informasi yang lebih luas mengenai isu-isu politik. Tetapi warganegara yang terinformasi tidak serta merta akan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Meminjam istilah yang digunakan Papacharisi untuk melihat internet, bahwa internet saat ini adalah sebuah public space yang berfungsi memungkinkan delibrasi politik, yang dalam posisinya belum sampai pada tahapan
public sphere yang mampu menciptakan masyarakat yang lebih demokratis.
Lebih dari itu, studi mengenai hubungan internet dan public sphere tetap memiliki potensi yang besar, mengingat pertumbuhan pengguna internet yang terus meningkat dari tahun ketahun. Serta belum ada pandangaan final mengenai internet sebagai sebuah public sphere. Sehingga studi dalam bidang ini bersifat dinamis dan nampaknya akan menjadi tren dalam abad ini.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Budiharjo, Miriam. (1977). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Graamedia.
Rachmadi, F. (1990). Perbandingn Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara. Jakarta: Gramedia.
Colemen, Stephen, & Jay G. Blumer. (2009). the Internet and Democratic Citizenship. Cambrige: Cambrige University Press.
J. Severin,Werner, & James W. Tankard, Jr. (2011). Teori Komunikasi Massa: Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.
Prajanto, Nunung, & Mufti Nurlatifah. (2012). Fungsi, Malfungsi dan Disfungsi Media Dalam Wisnu Martha Adipura (ed). Media Baru: Studi Teoritis & Telaah dari Perspektif Politik dan Sosiokultural. Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM. hal. 49-51.s
Jurnal
Moreira, et al. 2009. “E-Society and E-Democracy”, Makalah ini disampaikan dalam simposium e-Government di Berne, Swizerland. Diakses pada tanggal 1 April 2014, melalui http://science.amazee.com/edemocracy.pdf.
Ambardi, Dodi. 2010,“Opini Publik Teori Apliksi dan Kontroversi”, Makalah ini disampaikan dalam diskusi di yayasan Salihara, Jakarta, Mei, 2010. Diakses pada tanggal 1 Juni 2014, melalui http://www.scribd.com/doc/75698917/Opini -Publik-Teori-Aplikasi-dan-Kontroversi-oleh-Dodi Ambardi.
Breindl, Yana dan Pascal Francq. 2008. “Can Web 2.0 Applications Save e-Democracy? A Study of How Internet Applications May Enhance Citizen Participation in the Political Process online. International Journal of Electronic Democracy No. 1, Vol. 1.
Papacharissi, Zizi. 2002. “The Virtual Sphere: The Internet As A Public Sphere”, New Media & Society, February 2002; vol. 4, 1: pp. 9-27. Diakses pada tanggal 1 Juni 2014 melaui http://nms.sagepub.com/content/4/11/9
19, 2010. Diakses pada tanggal 27 Juni 2014 melalui http://nms.sagepub.com/content/5/10/7.
Internet
Yasser Paragian, Dalam 5 Tahun Terakhir Jumlah Pengguna Internet Indonesia Naik 430 Persen,
http://id.techinasia.com/dalam-5-tahun-terakhir-jumlah-pengguna-internet-indonesia-naik-430-persen-grafik/.Diakses pada taanggal 1 Juni 2014.
Toyke Sinaga, “Pengguna Internet di Indonesia terus meningkat”