• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ashadi Siregar Cintaku Di Kampus Biru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ashadi Siregar Cintaku Di Kampus Biru"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Novel Cint aku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar ini merupakan kisah pembuka dari “ t ri-logi” Cint aku di Kampus Biru, Kugapai Cint amu dan T erminal Cint a T erakhir . Cint aku di Kampus Biru merupakan kisah kehidupan anak muda khas mahasiswa yang segar dan penuh warna. Set t ing t empat bergulirnya cerit a ini adalah kampus Universit as Gaj ah Mada (UGM) Jogyakart a t ahun 80-an. Semenj ak t erbit nya novel ini kampus UGM Bulaksumur kemudian memperoleh predikat “ Kampus Biru” . UGM sendiri memang merupakan icon yang melekat pada kot a pelaj ar Jogyakart a.

Bagi pembaca yang sudah melewat i usia 30 t ahun kisah ini sungguh akan membangkit kan kembali kenangan masa muda, masa kuliah. Kisah ini memang mengekspose lika-liku kehidupan mahasiswa yang t ak biasa, di masa it u kehidupan mahasiswa ident ik dengan “ buku, pest a dan cint a” . Namun Ant on berbeda, t okoh dalam kisah ini adalah seorang akt ivis yang cerdas, krit is dan t ampan.

Dalam novel ini kit a bisa melihat bet apa cermat nya Ashadi Siregar “ memot ret ” kehidupan mahasiswa. Mulai dari rumah pondokan, ruang kuliah hingga hat i dosen yang kering mendambakan cint a. Maklum Ashadi Siregar adalah bagian dari lingkungan dimana kisah ini bermula. Dia adalah alumni Fakult as Ilmu Sosial dan Polit ik UGM, kemudian bahkan dia menj adi salah seorang dosen disana.

Selamat menikmat i.

(4)

Cintaku Di Kampus Biru

GERUMBULAN semak it u bergerak-gerak. Bunga-bunga put ih dan merah di uj ung rant ing ikut bergoyang. Dit erpa angin. Dua pasang kaki menj ulur dari balik semak it u. Sepasang berbet is put ih, j enj ang, dan mungil. Sandalnya berwarna kuning. Sepasang yang lain dibalut celana j ean biru. Bersandal j epit .

Aroma segar dedaunan dit ambah lagi harum bunga, menandakan bet apa nyamannya t empat it u. Angin membuat pucuk-pucuk cemara meliuk pelahan. Pohon-pohon f lamboyan berbunga. Gedung Induk Kampus Gadj ah Mada t ert egak sepi. Jalan menuj u gedung bert ingkat t iga it u dipanggang mat ahari. Tet api, di pinggir j alan, sej uk. Mat ahari t ak bisa menembus dedaunan yang melindungi t anah. Dari balik semak t erdengar suara lelaki, "Aku mau pulang. ”

Kaki lelaki it u ancang-ancang akan berdiri, t et api kaki j enj ang bersandal kuning menekan kaki lelaki it u.

“ Nant i. ”

Lelaki it u berusaha melepaskan kakinya dari t indihan. Semak-semak bergoyang. Di balik semak it u t erj adi pergumulan.

"Bah, kau mau memperkosa aku! " kat a lelaki it u.

"Brengsek! Diamlah! " kala si perempuan. Lalu t erdengar suara mulut yang t erdekap, "Hmmm…. . " Tet api, 'hmmm' it u t erput us, digant i suara lelaki dalam napas t ersengal, "Cukup. Aku malas. Awas kakimu. Aku mau pergi. "

"Ah, ssshhh. . . . "

"Tidak mau. Jangan t indih aku. Ke sana kau! "

"Bah! "

"Hari ini t iada cint a, " kala lelaki it u.

"Hmmm, gaya Mot inggo, t api kurang erot is! " Perempuan it u mengej ek.

Gerumbulan semak bergoyang lagi.

"Ah, j angan! Aku mau pulang, " kala lelaki it u.

"Alaaa, sok kau. "

"Sudah kubilang, hari ini t iada cint a. Kepalaku pusing memikirkan uj ian, uang kuliah yang belum dibayar, pemilihan Dewan Mahasiswa, resolusi unt uk dosen brengsek…. "

"Kau yang brengsek! Sok j adi orang pent ing! "

"Bah! "

"Bah! " ej ek perempuan it u.

"Pokoknya aku mau pulang. Membaca di dekat mu, hilang konsent rasiku. "

"Dasar! "

(5)

"Dasar lelaki! Dulu menguber-uber, sekarang berlagak! "

"O, perempuan! Dulu j ual mahal, sekarang menggerogot i wakt uku yang berharga. "

"Dulu kenapa kau t idak merasa digerogot i? Malah membuang wakt u berhari-hari unt uk mengej ar-ngej ar! "

"Lain Bengkulu lain Semarang. Sekarang, sudahlah. Pokoknya, aku cint a padamu. Tet api, kit a harus bercint a sedikit met odologis. Pakai logika. Jangan sent iment il. "

"Dasar lelaki! " kala perempuan it u.

"Ya, dasar. Sudah? Nah, geser kakimu. Aku mau berdiri. "

"Kau dat ang t idak nant i malam?" Ada nada ancaman dalam suara perempuan it u.

“ Bah, perkosaan. ”

"Bah, bah, bah! Mau dat ang at au t idak? Kalau t idak, j angan lagi pij ak rumahku. "

“ Aku t idak suka di-f ait accomply. Cint a t ak boleh her-f ait accomply. Kayak kawin Hansip saj a. "

"Mau dat ang at au t idak?"

Tak ada j awaban. Semak-semak t ersibak. Ant on keluar dari gerumbulan semak it u. Dia mengibaskan rumput di celananya. Lalu bersiul meninggalkan t empat it u.

Semak t ersibak lagi. Marini membersihkan rumput -rumput yang melekat di roknya yang mini. Dan, kemudian merapikan rambut nya.

"Baj ingan! " kat anya ke arah punggung Ant on yang kian menj auh.

Ant on t ak bereaksi. Marini memungut bat u kerikil, dan melemparkannya ke arah lelaki it u.

"Baj ingan! " serunya. Lemparannya t ak mengenai sasaran. Ant on cuma melengos sedikit , dan melangkah lebih bergegas.

Gadis it u mengawasi punggung lelaki it u. Dia melangkah mengikut inya. Tet api, t iba-t iba dia t eringat sesuat u. Lalu dia kembali masuk ke gerumbul semak, mengambil buku-bukunya. Sembari berj alan, dia menggerundel berkepanj angan, "Dasar lelaki! Tak t ahu diri! Dulu bukan main cumbuannya. Sekarang, berlagak alim. Dasar! "

Marini melompat i parit , dan keluar dari areal rerumput an. Kini dia berj alan di Bulaksumur Boulevard, j alan besar beraspal yang membelah kampus it u. Dia berj alan ke selat an, menj auhi Gedung Induk Universit as Gadj ah Mada. Berpunggungan dengan Ant on yang berj alan ke ut ara.

"It u cuma gej ala. " Suara t ak t erdengar berput ar an di kepala Marini. "Past i dia memang sedang mencari-cari alasan unt uk memut uskan hubungan. Past i dia sudah bosan. Baj ingan it u, past i sedang mengej ar-ngej ar gadis lain. Tapi, siapa sasaran barunya? Baik, akan kuselidiki. Jangan dia kira aku akan pasrah saj a. Jangan dia kira dia bisa seenaknya merayu, lalu meninggalkan set elah bosan. Jangan dia kira wanit a bisa diperlakukan sebiadab it u. Aku akan bert indak kalau bet ul dia mencint ai gadis lain. Ah, si playboy it u! "

(6)

Marini mengalihkan t at apannya dari kaki pindah ke buku-bukunya. Lalu ke dadanya. Dia menghela napas panj ang. Mengeluh t anpa bisa didengar. Dia menat ap dadanya yang t erlalu membusung.

"Barangkali dia sekarang sedang mengej ar- ngej ar bom seks, " kat anya dalam hat i. "Makanya mulai dingin. Kalau dia memang mencint aiku, t ent unya dia akan senang bercumbu di semak-semak. Toh dia yang mengaj ak pert ama kali ke semak it u. Dia yang menamakan t empat it u 'Semak Cint a'. Love grass. Semak Cint a. Hmmm, memang cint anya bersemak berangkali. "

Gadis it u melewat i Rumah Sakit Pant i Rapih. Orang-orang yang akan bezuk menunggu j am dibukanya pint u. Di dekat pagar, seorang lelaki muda mengawasi Marini. Marini mendongkol melihat mat a lapar lelaki it u.

"Baj ingan! " kut uknya. "Past i dia akan bezuk ist rinya. Ist rinya mungkin melahirkan. Tapi, masih sempat j uga melot ot melihat perempuan lain. Dasar lelaki! "

Marini t ak j adi menawar becak di t empat it u. Tat apan lelaki-lelaki di halaman rumah sakit it u membuat nya risi. Kakinya yang j enj ang semakin t elanj ang rasanya. Marini melangkah t erus menyelat ani j alan. Tak mempedulikan dering-dering becak. Hat inya rusuh. Benci, gondok, mangkel, dan semua yang senada it u berbauran di dadanya.

"Aku t elah t ahu gej alanya. Telah kelihat an gej alanya. Dia semakin t ak acuh. Membuat gara-gara agar aku marah. Tapi, akan kulihat . Sampai berapa lama dia mat i membuat int imidasi begit u. Aku akan bersabar. Pokoknya aku akan menj aga diriku sebagai perempuan set ia, bukan yang gampang memut us cint a. "

Marini t erkaget lant aran ada suara klakson mot or di sampingnya. Dan, gadis it u menyumpahi Jepang yang t elah memproduksi mot or-mot or yang merusuhi ket ent raman it u.

"Kalaupun put us, biarlah t eman-t eman t ahu bahwa yang berkhianat dia, bukan aku. Aku akan menj aga nama baikku. Orang akan bersimpat i pada nasibku. Korban kesekian playboy it u. "

"Mariniii! Daaag! "

Pembicaraan dengan dirinya t erput us. Marini t erpaksa membalas lambaian gadis yang dibonceng lelaki bermot or. Dia berusaha menimpali senyum, t et api t erasa sempil. Tapi, t ak apalah. Teman t adi t elah lewat .

"Int rospeksi. Ya, int rospeksi. Aku t elah mengint rospeksi diriku. Apa salahku? Aku berusaha menyenangkan hat inya. Dulu dia set engah mat i berusaha menciumku. Sekarang, t ak perlu set engah mat i. Inisiat if dat ang dariku. Toh aku bukan pemalu lagi sekarang. Aku t elah berinisiat if sebab wanit a pun harus menunj ukkan dirinya sej aj ar dengan lelaki. Apa salahnya aku agresif ? Ya, aku harus agresif . Sebab, usiaku memaksa aku harus secepat nya mengikat dia. Enam bulan berhubungan, enam bulan pacaran. Aku harus berhasil mengikat dia. Dia t ak boleh lepas. Tapi, Baj ingan it u nampak-nampaknya berusaha melepaskan diri. "

Marini memanggil becak.

***

Sement ara it u, di aula perpust akaan universit as, Ant on sedang menarik-narik rambut nya yang kusut . Rambut it u sebagian menut up j idat nya. Kuduknya yang t elah t ert ut up rambut t erasa panas. Gat al. Perlu shampoo. Tapi, baru kemarin dikeramas. Kalau begit u, gat al ini bukan gat al f isik. Ini gat al psikis. Boleh j adi psikosomat is. Gangguan-gangguan j iwa yang menggej ala ke f isiko Kalau begit u perlu konsult asi pada psikiat er. Ah, kenapa harus konsult asi segala? Kenapa t idak berusaha menyembuhkan diri sendiri?

Ant on t ermangu menat ap buku yang t erkembang di hadapannya. Ruangan perpust akaan it u hening. Mahasiswa-mahasiswa menekuni bacaan mereka. Dan, Ant on kembali ke bukunya. Deret an huruf yang dilihat nya cuma sekej ap punya makna baginya. Kemudian bergant i garis hit am kabur.

(7)

keringat an t anpa adanya gerakan t ubuh, dan banyak lagi t anda gangguan psikologis. Pacaran t ak menolong lagi. Bahkan boleh j adi pacaran it u penyebabnya. Nah, kalau begit u, gugurlah sat u t eori. Selama ini ada t eori di kalangan mahasiswa: kegelisahan, f rust rasi, dan semacamnya akan hilang kalau diat asi dengan j alan pacaran. Tet api, dengan pengalaman ini, Ant on t elah merasakan bahwa pacaran it ulah yang merusuhi hat i-nya. Perempuan memang sumber malapet aka.

Cat ast rophe!

Sebelum dia didapat , dia harus dikej ar. Berhari-hari, berminggu-minggu menguber hanya unt uk bisa memeluknya, menciumnya, dan bilang, "Aku cint a padamu. " Dan, set elah it u, dia berbalik mengej ar. Membuat gugup lelaki. Pant ang melihat mat a melenceng. Kecemburuannya meluap-luap. Wah, wah, wah, it u baru pacaran. Bagaimana kalau sudah kawin? Barangkali dia akan merant ai kaki suaminya. Membat asi gerak suaminya. Past i lelaki akan kehilangan kebebasannya. Past i si ist ri akan membuat dimensi ruang dan wakt u suaminya dengan sangat ket at nya.

Ant on menghirup udara sepenuh dada. Dan, rambut nya yang gondrong t erasa gat al lagi. Dia menggaruk. Panas. Ah, kulit kepalanya sampai perih. Dia menghent ikan garukannya, t et api t it ik kepuasan belum t ercapai. Rasa gat al masih mengambang. Dia j engkel. Cuma, kepada siapa kej engkelan it u harus diarahkan?

Dia menat ap berkeliling. Gadis berbaj u merah di sampingnya, rupa-rupanya sej ak t adi mengawasinya. Gadis it u berbisik kepada t emannya. Lalu kedua gadis it u mengikik.

"Primat es[ 1], " kat a gadis berbaj u merah.

"Ya?" kat a t emannya. "Golongan apa? Ant hr opomor phae[2] at au Cercopit hecidae[ 3]?"

Keduanya mengikik lagi. Waj ah Ant on merahpadam. Biarpun bukan bidangnya, t et api dia t ahu ist ilah-ist ilah it u. Namun, delikannya t ak digubris kedua gadis it u.

"Hiii, seram. Lihat mat anya yang melot ot , lebih memper car nivora[ 4] , " kat a gadis baj u merah.

"Bisik-bisik, cium-cium, raba-raba. Aih, dunia yang gawat , kenapa kau ment olerir lesbianisme di muka bumi ini? Bukankah ada aku, lelaki yang nganggur?" kat a Ant on seolah membaca dari bukunya.

Cekikikan dan bisik-bisik t erput us. Kepala kedua gadis it u merenggang. Mereka melot ot ke arah Ant on.

Ant on t ak acuh. Dia membalik-balik halaman bukunya. Lalu pura-pura menemukan t ulisan yang dicarinya. Dan, sepert i membaca dia berkat a, "Seorang wanit a akan bert ingkah kalau dia merasa dirinya cant ik. Sebab, dia t ahu dia menj adi pusat perhat ian. Tapi, seorang wanit a akan bert ingkah j uga walau dia t ahu

dirinya j elek kayak macacus irus[ 5]. Tent unya agar menarik perhat ian orang banyak. "

Kedua gadis it u saling pandang. Lalu, "Cih! " kala gadis baj u merah.

"Cih! " kat a t emannya.

“ Hmmm, ” gumam Ant on.

Kedua gadis it u saling pandangan lagi. Lalu, sepert i sudah bersepakat sebelumnya, keduanya berdiri dan mengemasi buku-bukunya.

"Kit a pindah saj a, " kat a gadis baj u merah. "Ya, dekat carnivora it u busuk baunya. "

"Hei, j angan menghina ya?" bent ak Ant on.

(8)

"Uf , galaknya. "

Kedua gadis it u beranj ak.

"Ya Tuhan, t erima kasih at as keadilan-Mu sebab gadis it u bukan pacarku, " kat a Ant on.

"Siapa yang sudi j adi pacarmu? Brengsek! " Gadis baj u merah membalik dan membent ak.

Ant on t ermangu.

"Telah t erj adi perubahan radikal rupanya. Gadis-gadis t ak lagi sepenakut dulu. Kemaj uan at au kemunduran? Biasanya gadis-gadis Yogya t erkenal pemalu. Tak suka berbant ah. Tapi, yang kuhadapi ini, bet ul-bet ul radikal. Galak. Uf , uf , uf , perubahan kult uril. Barangkali ide-ide woman's lib sudah masuk ke Gadj ah Mada ini. Berabe. "

Kedua gadis it u duduk di sudut ruangan.

"Sampai mana t adi? Ah, apa pun belum ada yang kubaca. Sudah berapa j am aku memegang buku ini? Time is knowledge. Tapi, bagaimana kalau pikiran but ek?" gerut u Ant on. "Oh, ya, pakai met ode Dale Carnegie. Barangkali kesulit an bisa diat asi. "

Lalu Ant on mengeluarkan kert as, dan bolpoin. Dia menulis angka sat u, t api t ak t ert ulis. Dia corat -coret kan bolpoin it u, t int a t et ap t ak keluar.

"Sialan! langkah pert ama saj a sudah macet , bagaimana bisa mengkalkulasi seluruh kesulit an?" Ant on memperhat ikan sekeliling. Mahasiswa-mahasisiwa sedang asyik membuat cat at an bagi buku yang mereka baca. Siapa yang sedang t idak menggunakan f ulpen? Ah, semua sedang menulis. Oh, t idak. it u di sudut , mereka sedang membaca. Fulpennya past i nganggur. Cuma, bagaimana mendekat inya? Tadi sudah konf lik.

Tapi, dicoba saj a. Ant on bangkit . Dia berj alan mendekat i kedua gadis it u. Mereka menget ahui kedat angan lelaki ini. Sudah barang t ent u mereka memperlihat kan sikap acuh.

Deheman Ant on sesungguhnya hampir membuat kedua gadis it u mengangkat kepala. Namun, mereka bert ahan t erus menekuni buku mereka.

"Maaf , Dik, " kat a Ant on akhirnya.

Gadis baj u merah mengangkat kepal a, dan mengangkat alisnya. Sepert i melihat makhluk aneh dari planet lain dia mengawasi Ant on, dari kaki hingga uj ung rambut . Berkali-kali.

"Boleh pinj am f ulpennya?"

Gadis baj u merah menat ap t emannya.

"Apa kat anya?"

"Tauk. Bahasanya kurang komunikat if . " Ant on berdiri menahan kedongkolan yang merayap-rayap.

"Kalau f ulpennya t ak dipakai, boleh saya pinj am?" kat anya.

Gadis baj u merah melirik sekej ap.

"Hmmm, " gumamnya.

"Dia perlu f ulpen?" kat a t emannya.

(9)

"Coba kit a pikir. "

"Boleh nggak?" kat a Ant on.

"Eh, memaksa pula, " uj ar si Baj u Merah.

"Agak biadab ya?" Temannya menimpali.

"Kok sombong banget ?"

"Kasih enggak ya?" kat a si Baj u Merah.

"Kasihlah, Ika, " kala t emannya.

"Nih. "

"Terima kasih lebih dulu. "

"Tak usah t erima kasih. Asal cepat mengembalikannya saj a. "

Ant on berbalik kembali ke mej anya. Dia ingin menulis kesulit an-kesulit annya sekarang. Tet api, aneh. Di sit ulah kesulit annya. Dia t idak bisa merumuskannya dalam kalimat yang ringkas dan j elas. Dia pandangi angka sat u yang baru saj a dit ulisnya. Kenapa belum bisa dirumuskan kesulit an yang t erasa belakangan ini? Aneh, malah pemilik f ulpen ini yang membayang. Kesulit an baru.

Fulpen berwama kuning emas it u berkilat . Dan, membayang waj ah pemiliknya. Waj ah kuning, bermat a galak. Bibir yang sepert i mengulum ej ekan. Ha, past i dia seorang yang senang bercanda. Mat anya yang bersinar-sinar t ak hent i-hent inya t ert awa. Alisnya yang lebat menandakan bahwa dia bukan pesol ek. Alisnya t erat ur t anpa bekas cukuran. Dan, hidungnya akan menimbulkan rasa iba kalau dia t erserang pilek. Hidung yang indah. Ha, sepert i hidung Gina Lollobrigida.

Ant on t ercengang lant aran di kert asnya t ergambar sket sa waj ah gadis it u.

"Edan! " rut uknya. Dan, dia berusaha lagi merenungkan kesulit annya. Memikirkan f akt or-f akt or yang menyebabkan kerusuhan hat inya belakangar. ini, dia menuliskan:

1. Jangka wakt u st udi sudah mepet . Orang t ua hanya mau membiayai selama enam bulan lagi. 2. Rongrongan Marini yang kebelet kawin, mengganggu konsent rasi.

3. Vak dat i Bu Yusnit a sudah enam kali dit empuh, belum lulus j uga. 4. Urusan-urusan organisasi mahasiswa int ra-universit as.

Ant on masih mencari kesulit an lainnya, t et api cuma it u yang t erumus. Cuma ini? Dia t ak percaya. Kenapa begini sedikit ? Padahal gangguan t erhadap pikirannya hampir-hampir t ak t ert anggungkan. Kalau memang benar cuma ada empat persoalan, t ent unya t idak t erlalu sulit menanggulanginya. Soal biaya dari orang t ua yang t elah t erbat as, nant i bisa dipikirkan. Jangan sekarang. Kalau orang t ua bet ul- bet ul mau menghent ikan set elah j angka wakt u st udi genap lima t ahun, apa mau dikat a? Dilihat saj a nant i kelanj ut annya. Siapa t ahu masih bisa mu/ ur sedikit lagi. Kalau t idak, ya bagaimana baiknyalah. Jadi, ult imat um dari kampung it u bolehlah dikesampingkan. Que sera sera, yang mau t erj adi, t erj adilah.

(10)

menant ang, dan past ilah bet ul-bet ul menghayat i emansipasi. Bukan sepert i Marini yang sent iment il. Pemalu di depan orang, t et api agresif di t empat t ersembunyi.

Lant as akan diapakan dia? Andainya dia percaya pada dirinya, t ak perlu mendesakku t erus-menerus. Toh aku mencint ainya. Aku belum ada niat meninggalkannya. Rongrongannya bet ul-bet ul membuat aku t akut menghadapinya. Apakah dia akan begit u set elah menj adi seorang ist ri? Mungkin malah lebih ekst rem. Ah, ah, ah, dia membuat ku t akut kawin. Jika kawin cuma membuat lelaki t erkurung di rumah, nerakalah it u! Aku t ak mau memikirkan it u. Tak mau, t ak mau, t ak mau!

Lalu Bu Yusnit a. Ah, dosen yang pemarah it u! Gadis yang sebenarnya cant ik, t et api st at usnya membuat nya harus seangker mungkin. Bagaimana harus menghadapinya? Aku t elah bosan uj ian dari vak dia lagi. Lit erat ur waj ibnya sudah kulalap, t et api kenapa t ak j uga lulus? Barangkali bet ul yang dibilang Pungky, Edu, Nasar, at au siapa lagi. Ini bukan lagi uj ian int elej ensia. Past i ada dendam t ak kenal ampun. Makanya dia t ak mau meluluskan aku dari vaknya. Apa kesalahanku? Kapan aku menyinggung perasaannya! Ah, ah, ah, sulit menghadapi gadis usia t igapuluhan. Biar cant ik, biar prof ilnya mirip Liz Taylor, kalau dadanya makin kerepes, ya t ent ulah ada gangguan j iwa j uga. Dia t ak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Ilmu psikologinya t ak bisa dia gunakan.

Akan kuhadapi dosen yang masih gadis it u. Akan kut anya bermuka-muka di mana kekuranganku. Kalau perlu, akan kut unt ut agar aku uj ian lisan di depan panit ia yang sengaj a dibent uk. Ya, kalau perlu kugerakkan Dewan Mahasiswa unt uk membuat resolusi. Perset an! Aku t ak bisa lagi bersabar. Gara-gara vaknya maka kenaikan t ingkat ku t ert unda t erus. Perl u dihadapi dengan t ekat keras. Soalnya kesempat an uj ian kali ini menent ukan nasibku di hari mendat ang.

Tent ang urusan organisasi mahasiswa int ra? Tent ulah belum bisa dit inggalkan. Aku masih membut uhkan kursi di Dewan Mahasiswa. Aku memerlukan posisi yang kuat . Siapa t ahu aku harus menghadapi kekuat an-kekuat an yang t idak menyukaiku. Sepert i dosen-dosen yang mempersukar uj ianku misalnya. Bukan hanya unt uk kepent ingan pribadiku saj a. Teman-t eman mahasiswa j uga membut uhkan pahlawan yang akan memperj uangkan kepent ingan mereka. Cukup banyak dosen ot orit er di kampus ini.

Jadi, begit ulah persoalannya. Tak perlu lagi rusuh. 'Kan begit u, Ant on? Kau harus menyayangi dirimu. Dirimu adalah orang yang harus paling kaucint ai, melebihi cint a kepada siapa pun. Jangan rusuh. Jangan gelisah.

Lalu Ant on kembali menekuni bukunya. Kembali t erbenam dalam keasyikan.

***

Di sudut ruangan, gadis berbaj u merah it u t elah memandang berkali-kali ke arah Ant on. Dia gelisah. Mat ahari t elah t ergelincir ke barat . Di luar mulai kelam. Lampu-lampu di ruangan baca it u t elah menyala sej ak t adi.

Gadis baj u merah it u menunggu f ulpennya kembali. Dia mau pulang, t et api Ant on belum mengembalikan f ulpen it u. T erkut uk! Padahal dia t idak lagi menul is. Kenapa belum j uga mengembalikan f ulpen it u? Si Baj u Merah menarik napas dalam-dalam, berusaha membenamkan dalam-dalam kej engkelannya yang merayap-rayap. Temannya t elah memasukkan buku-bukunya ke dalam t as.

"Bagaimana, Erika?" kat a t emannya.

"Baj ingan it u pula-pula t ak t ahu, " kat a Erika, si Baj u merah.

"Sambil keluar nant i kit a mint a. "

"Ih! "

"Jadi?"

(11)

"Aduh, aku lapar, Ika. "

"Aku j uga. "

"Kit a bisa sakit maag nant i. "

"Alaaa, ini j uga belum wakt unya makan, " kat a Erika.

"Tapi, kit a perlu snack. "

"Ya, ya. Nant i aku t rakt ir. "

"Ayolah. "

"Kau nant i yang mint a?" t anya Erika.

"Lha, t api f ulpenmu. Kau yang beri t adi. "

" Ya, ya, ya. ”

"Kenapa dia masih menahan f ulpenmu it u? Toh dia t idak menulis lagi. "

"Laki-laki memang banyak akal bulusnya. "

"Kit a mint a saj a. Kit a bent ak dia unt uk ke-ndableg-annya it u. "

"Kau berani?" Erika menat ap t emannya.

"Ya? Eh, kau?"

"Ent ahlah. Aku t akut . "

"Lucu ya? Tadi kit a berani mengej ek-ej eknya. Sekarang, kenapa kit a t akut ? Aku j uga t akut mendekat inya. "

"Kalau dia serius, ngeri melihat nya. Tampangnya angker. Kalau sedang menggaruk-garuk sepert i t adi, dia memang t ak beda dengan anak-anak muda gondrong lainnya.

Tapi, dengan t ampang berpikir kayak f ilosof it u, aku t ak berani mendekat inya, " uj ar Erika.

Kedua gadis it u saling pandang. Dan, kemudian mereka mengalihkan pandangan pada lelaki muda yang asyik membaca it u.

"Baiknya bagaimana?"

"Coba, kau pergi mint a, Ret no. Aku t unggu di sini, " kat a Erika.

"Kok aku? Kau yang beri t adi, " kat a Ret no.

"Ah! "

"Kenapa sih dia t ak mengembalikan f ulpenmu it u? Barangkali dia pura-pura lupa. Fulpenmu bagus, Ika. Mungkin dia sengaj a diam-diam, berharap kau pun lupa. "

"Seburuk it u ment alnya, kaukira?"

"Siapa t ahu? Apa merk f ulpenmu it u? Parker, pilot , sheaf f er?"

(12)

"Aku t akut . Sudah kubilang, dia mengerikan. Tadi saj a dia memelot ot i kit a. Coba, apa ada lelaki yang pemah melot ot marah kepadamu, Ika? Coba, apakah kau pemah ket emu sama lelaki-lelaki yang mendeliki kau?"

Erika menarik napas dalam-dalam lagi. Berkali-kali dia melirik Ant on. Yang dilirik t et ap t idak menyadari. Dia t erbenam dalam huruf -huruf yang dihadapinya.

"At au kit a t inggal saj a?" kat a Erika kemudian.

"Ha? Dit inggal? Fulpen samahal it u? Edan kau, Erika! "

"Lant as, apa lagi?"

"Kok j adi aneh kit a ini. Selama ini kit a berusaha menj adi perempuan yang menempat kan diri sej aj ar dengan lelaki. Tapi sekarang, baru menghadapi lelaki begit u saj a kit a j adi canggung. "

"Kult ur kebebasan it u t ernyat a belum benar-benar mengalir dalam seluruh kehidupan kit a. "

"Baru soal f ulpen dan menghadapi lelaki galak, kit a sudah t erbent ur. Belum lagi menghadapi soal-soal yang lebih prinsipil, " kala Ret no.

"Bukan soal f ulpen, Ret no. Aku malu pada diriku sendiri. Wakt u kit a mengej eknya dengan ist ilah Lat in t adi, kukira dia cuma mahasiswa j urusan sosial. Ini kulihat dari buku yang sedang dibacanya. Tapi, rupanya dia mengert i ist ilah Lat in it u. Aku malu. Sebagai wanit a, begit u kasar j iwaku. Berlagak hanya karena penget ahuanku yang secuil. "

Ret no mengawasi lelaki it u. Ant on mengangkat kakinya ke kursi di depannya. Dan, dengan duduk berselonj or dia membaca.

"Kau kenal dia, Ret no ?"

"Tidak. Tapi, kalau Mapram dia sering kelihat an. "

" Fakult as…. ?"

"Nggak t ahu. Mungkin ekonomi, psikologi, at au f ilsaf at . Pokoknya kuliahnya di Gedung Induk Bulaksumur. "

"Buku yang dibacanya t adi…. Ha, dia dari psikologi. "

"Kau sempat memperhat ikannya?"

"Kulihat selint as. "

"Hmmm, " gumam Ret no. Dia melayangkan pandangannya lagi ke arah Ant on.

"Mukanya mirip Dust in Hof f man. Kau ingat f ilm The Graduat e dan John and Mary, Ika ?"

Erika mengangguk. Dia ikut memperhat ikan lebih t elit i waj ah lelaki it u.

"Ya, mirip, " kat anya.

"Kau naksir?"

"Ai, aku bisa dikut uk dia yang sedang di Jerman, " kat a Erika diiringi t awa.

(13)

"Paling cepat t ahun depan. "

Ret no berdecak.

"Membut uhkan kesabaran yang bukan main, " kat anya. Erika mengangkat bahu.

Beberapa orang mahasiswa menambah j umlah pembaca di perpust akaan it u.

"Bagaimana? Kit a pulang?" Ret no mengayun-ayun t asnya.

"Oke. "

"Fulpen it u?"

"Kau yang mint a. "

" Alaaa, kok aku. . . . "

"Aku t ak boleh dekat -dekat lelaki lain, Ret no. Aku harus set ia pada Usman. "

"Lho, apa mint a f ulpen it u t erlarang? Apa it u penyelewengan ?"

"Lelaki it u berbahaya. "

"Jadi. . . ? Bagiku t idak berbahaya?"

"Pacarmu ada di kot a ini, Ret no. Tak akan ada persoalan.

"Kalau kau memang mencint ai Usman, lelaki it u t ent unya t ak akan ada art inya buat kau. "

"Mest inya begit u. Cuma, unt uk si Gondrong it u, aku t ak mengert i. Aku t akut dipelot ot inya. Kau t ahu, aku menant angnya t adi karena aku berusaha mengalahkan ket aj aman mat anya. Bet ul-bet ul aku gugup. Terus t erang, Ret no, Usman sendiri t ak bisa membuat ku gugup. Tapi, pelot ot an lelaki it u membuat aku merasa bersalah. "

"Kok lucu? Aku cuma merasa t akut . Tampangnya wakt u marah mengerikan. "

"Lebih dari it u, Ret no. Mat anya yang beringas it u mengingat kanku pada kakakku yang. gugur di Irian Barat . Wakt u aku kecil, kalau aku salah, kakakku memelot ot iku, membuat aku t ert unduk. Aku t akut , aku membencinya sebab menganggapnya kasar, kej am, dan j ahat . Tet api, set elah aku dewasa, aku merasa bahwa kemarahannya ket ika it u sebenarnya unt uk kepent inganku. Hal ini membuat aku berdisiplin. '"

Erika menat ap lampu-lampu yang bergant ungan.

"Wah, wah, wah, mat amu j adi basah. Sudahlah, Ika, kit a pulang saj a. Biar aku yang memint a f ulpen Usmanmu it u. " Ret no berdiri dan memasukkan kursinya rapat ke mej a.

Erika pun berdiri dan berbuat serupa dengan t emannya. Lebih pelahan sehingga t ak menimbulkan suara.

Mereka beranj ak ke pint u. Melewat i mej a Ant on, mereka berhent i. Tanpa suara. Teguran Ret no membuat Ant on t erkej ut .

"Fulpennya sudah selesai?"

Ant on bangun dari posisi selonj ornya dengan t ergesa hingga menimbulkan suara kursi berisik.

(14)

"Kami mau pulang. " Ret no menerima f ulpen dari Ant on. Lalu dia serahkan kepada Erika.

"Terima kasih. Sangat t erima kasih, " kat a Ant on.

"Kembali, " kat a Erika pelan.

"Mau pulang? Kit a sama-sama saj a ya? Aku j uga mau pulang, " kat a Ant on.

Kedua gadis it u t ak menj awab. Ant on meraup bukunya dan melangkah menj ej eri gadis-gadis it u.

"Kalian serumah?" t anya Ant on.

"Tidak. Bert et angga. " Ret no yang menj awab.

"Di mana?"

"Di sini, dekat . "

" Aku t inggal di Bint aran. "

Kedua gadis it u seolah t ak mendengar. Mereka t iba di j alan beraspal. Lampu-Iampu di j alan menerangi t empat -t empat yang t ak t erlindung kerimbunan pohon asam yang berj ej er. Erika menat ap gedung perpust akaan universit as it u. Gedung yang senyap. Dan, lampu-lampu t ak mampu mengusir kesan suram di dinding gedung yang kukuh it u. Dari luar, nampak pat ung dua orang pembaca t erpacak diam di t engah aula it u. Sepanj ang j alan mereka membisu.

Erika melirik lelaki yang berj alan di sampingnya. Rambut lelaki it u melambai-lambai. Tubuhnya yang j angkung berj alan gont ai. Sepert i t ak acuh.

Jalan Jenderal Sudirman melint ang di hadapan mereka.

"Kami ke selat an, " kat a Ret no.

"Berani berdua?" Ant on mencoba melihat waj ah gadis berbaj u merah. Tet api, gadis it u sej ak t adi menunduk.

"Apa yang dit akut kan? Baru j am t uj uh, " kat a Ret no.

"Soalnya, gelap dan t erang lain akibat nya bagi gadis-gadis. "

"Begit u?" kat a Ret no.

"Sudah pengalaman rupanya. " Ret no t ersenyum.

"Selamat malam, " kat a Erika. Tak ada senyum. Dan, mereka membelok ke selat an.

Ant on melangkah pelahan. Sesekali dia masih menoleh, melihat kedua gadis it u semakin renggang j araknya, sampai kemudian kelamnya senj a memisahkan mereka.

"Mereka t inggal di Daerah Kot abaru it u, " kat a hat i Ant on.

Erika menggenggam f ulpennya erat -erat , berusaha merasakan kehangat an t angan Usman lewat f ulpen it u. Tet api, t ak t erasa hangat . Fulpen Lady Sheaf f er it u t et ap merupakan sebat ang logam dingin. Kendat i halus, t et api mat i.

(15)

Select a? Violet a? Varia? Flamboyan? Ah, ent ah di mana. Yang j elas bukan di Horison at au Budayaj aya.

Dan, Erika ingat malam it u dia t idak punya bacaan pengant ar t idur. Apa yang akan dikerj akannya nant i? Tent u t idak akan membaca dikt at at au let erat ur lagi . Ah, andai Usman ada di sini, t ent ulah t ak perlu memikirkan soal it u. Usman selamanya ada di rumah. Berbincang-bincang set elah membaca bahan kuliah, bukan main! Remasan- remasan t angan di poj ok ruangan sembari menont on t eve, bukan main! Tapi, apakah begit u! ? Sebegit u hangat kah Usman? Mahasisw a kut u buku it u t erlalu ambisius unt uk menj adi scient ist .

"Singgah dulu?" Suara Ret no mengej ut kan. Er ika t ersent ak dari lamunan t ent ang Usman-nya.

"Ah, sudah malam. Aku t erus saj a. "

Ret no t egak di mulut pagar rumahnya.

"Sej ak t adi kau diam saj a. Mikirin apa?" t anyanya.

“ Tak apa-apa. "

"Tet api kau melamun t erus sej ak keluar dari perpust akaaan t adi. "

"Kau j uga diam. "

"Karena kulihat kau melamun. Aku t ak mau mengganggu. "

"Aku j uga. Karena kulihat kau diam, aku pun diam. "

"Ah, t ak percaya. "

"Tak percaya ya sudah. "

"Kau mikirin si Gondrong it u past i! " Tuduhan Het no membuat Erika gelagapan.

"Ah, kau mengada-ada, " j awab Erika.

Ret no t ert awa, dan melihat bayangan pohon di j alan. Bukan bayangan yang t imbul dari lampu, melainkan dari bulan.

Ret no menat ap angkasa.

"Terang bulan, " kat anya.

"Ya, t erang bulan. Apa kit a di rumah saj a malam ini?" kat a Erika. Waj ahnya dit impa sinar bulan.

"Iya, ya. Di Prambanan ada Ramayana. " "Tapi t ak mungkin ke sana. "

"Kenapa t idak? Kit a ke sana ya?"

"Tidak, ah! Aku t ak mau mengganggu acaramu. ”

"Siapa yang t erganggu? Kit a ke Prambanan ya? Aku akan t elepon Bondan. Bondan akan senang sekali. Sej ak kerj a di t ravel biro it u, beberapa kali dia mengaj ak aku ke Prambanan. "

"Aku mau di rumah saj a. Pergilah kau. Besok cerit akan padaku. "

"Ah, it u t idak set ia kawan namanya. "

(16)

"Kami belum pacaran kok, " uj ar Ret no. "Aku masih mengulur wakt u. Belum kasih kepast ian. Jadi, belum ada apa-apa. "

"Tapi ada et ik, kalau dua pihak dalam proses, t idak boleh pihak ket iga mengganggu. "

"Sudah kubilang, aku t idak t erganggu. Aku t elepon dia ya? Ini malah kesempat an buat menguj i dia. Apakah dia st and-by selamanya memenuhi permint aanku. Kalau dia sungguh-sungguh, t ent u dia akan pont ang-pant ing mengurus t iket dan kendaraan. "

"Ah, it u menyiksa namanya. "

"Set iap uj ian 'kan memang siksaan?"

"Aku t ak suka begit u. Lebih baik waj ar-waj ar saj a. Kalau kau mau nont on, beri dia kesempat an menyesuaikan wakt unya. Siapa t ahu dia punya kesibukan lain. "

"Kalau sudah begit u, bukan uj ian namanya. Aku kepingin meiihat sampai dimana pengorbanannya. ”

"Pengorbanan t idak bisa dilihat dari dadakan begit u. "

"Kenapa t idak? Malah akan lebih spont an. "

"Wah, agak berbeda konsepsi kit a, " kat a Erika diiringi t awa renyah. "Biasanya, kalau seorang lelaki merasa t erlalu t ersiksa unt uk mendapat kan seorang gadis, set elah memperolehnya maka dia akan t ak acuh. "

" Ah, t eori dari mana it u ?"

"Iya, lelaki it u inginnya membalas siksaan yang dialaminya dulu. ”

"Malah kupikir dia akan lebih mencint ai gadisnya. "

Erika t ak menanggapi. Dia memperhat ikan awan yang bergerak.

"Jadi, kau t ak mau ke Prambanan?" t anya Ret no.

"Aku di rumah saj a. "

"Kalau begit u, aku j uga di rumah. "

" Jangan lant aran aku t ak mau lant as kau membat alkan niat mu. "

"Kalau aku pergi pacaran, sedang aku t ahu kau kesepian di rumahmu, it u 'kan biadab namanya. " Ret no menat ap rambut Erika. Rambut yang t ergerai sampai bahu it u, di bawah cahaya bulan nampak legam mengkilat . “ Besok kit a kuliah ya? Aku mau ngeset -kan rambut mu ke salon. Kau ada kerj a, besok?” kat a Ret no.

“ Tidak. Akan kut emani kau besok. Tunggu saj a di sini. Aku dat ang besok. ”

***

Ant on mengawasi perempuan yang duduk di depannya. t et api, Bu Yusnit a t et ap t ak acuh. Ruangan dosen it u sepi. Mej a-mej a besar mengkilat berwarna cokl at . Siapa pun duduk di seberang mej a it u akan kelihat an angker. Apalagi kalau yang duduk di sit u dosen yang sedang menghadapi mahasiswa yang akan uj ian. Jika dia dosen lelaki, dasi yang mencekik leher it u akan menambah perasaannya sebagai orang pent ing.

(17)

it u, t api aksi it u memang diperlukan unt uk menj adikan dirinya semakin disegani.

Hampir lima menit Ant on dibiarkan di seberang mej a it u. Bu Yusnit a masih menulis. Ingin sekali Ant on melirik apa yang dit ulis dosen wanit a it u. Tet api, et ika mahasiswa melarangnya usil menget ahui kerj a dosennya. Lalu dia kembali menelit i ruangan it u. Di dinding t ergant ung pot ret -pot ret ukuran kabinet . Pot ret bekas dekan-dekan f akult as it u. Pada pot ret yang t ergant ung nomor t iga dari kiri, Ant on lama memberhent ikan t at apan mat anya. Dia menat ap penuh hormat karena ingat kebaikan-kebaikan dekan it u.

Kembali dia menat ap Bu Yusnit a. Ah, gadis t ua ini. Berlagak j adi orang pent ing. Apa sih yang sedang dikerj akannya? Ant on mengusap-usap dagunya. Kenapa harus j engkel menghadapi lagak orang pent ing ini? Kenapa t ak menikmat i sit uasi ini? Kecant ikan, di mana pun t empat nya, harus dinikmat i.

Dagu dosen wanit a ini bagus j uga. Runcing dan halus. Bagaimana seandainya dielus? Siapa lelaki yang pernah mengelusnya? Dan, bibirnya agak pucat . Ah, sayang. Kepucat an ini past i lant aran t ak ada yang mengulumnya. Padahal bent uk bibir it u cukup mengandung magnit . Lekukannya menunj ukkan past i pemiliknya manj a kalau mengeluh dalam kecupan. Ah, ah, ah, l ehernya yang j enj ang. Leher perempuan kurus. Tet api, past ilah dia menggial kalau leher it u dicium. Apalagi kalau digosok dengan dagu yang masih ada sisa j enggot dari cukuran. Ya, lehernya ini, bukan main! Dari bent uk leher ini bisa diket ahui bahwa pemiliknya seorang melankolis. Int rovert . Karena it u akan lunak sekali set elah t erkena selahnya. Perempuan ini sekat egori dengan Marini. Dingin sebelum dekat , t et api menggebu-gebu kal au sudah kena. Coba, kalau perempuan ini dikucel-kucel, dia past i cuma t ergial- gial dan mengeluh, "Aduh, Ant on…. . "

"Well, apa keperluan Saudara?" Suara Bu Yusnit a menyent ak di t engah ruangan yang sepi it u, dan menyergah masuk ke dalam lamunan Ant on.

Tergagap Ant on menarik t at apannya yang melekat pada waj ah perempuan it u.

"Ya?"

"Soal uj ian Saudara?"

Ant on cuma mengangguk.

Bu Yusnit a meliriknya sekej ap, lalu dia membuka mapnya.

"Nomor uj ian Saudara?"

Ant on mengej a angka-angka.

"Nilai Saudara t ak mencapai angka minimal. Harus uj ian lagi. "

"Semua vak saya sudah lulus. Tinggal vak Ibu. "

"Lalu?" Suara Bu Yusnit a t ambah dingin.

"Dan saya sudah menempuh vak Ibu enam kali. ”

"Ya?"

"Saya berharap Ibu punya kebij aksanaan dalam menilai. "

Mat a Bu Yusnit a mengkilat .

"Maksud Saudara, saya harus meluluskan Saudara karena dosen-dosen lain sudah melulus kan?"

"Bukan begit u. Saya ingin t ahu di mana kelemahan saya, " kat a Ant on.

(18)

"Saya sudah belaj ar. Saya berusaha menj awab semaksimal uj ian Ibu. Dan, seingat saya, saya bisa mengerj akan semua soal. "

"It u menurut pendapat Saudara. Tapi, siapa yang memberikan penilaian? Saya at au Saudara?"

Ant on t erdiam. Dia melihat kemarahan di mat a perempuan it u, dan mendengar sinisme pada suaranya. Tet api, Ant on j uga marah sebab diperlakukan sekasar it u oleh seorang perempuan.

"Kalau begit u saya ingin diuj i lisan. "

"Baik. Permint aan Saudara saya penuhi. "

"Dan dihadapkan saksi-saksi. "

Bu Yusnit a mengat upkan bibir dan membant ing buku.

"Jadi, Saudara anggap penilaian saya selama ini t idak obyekt if ?"

Ant on t ak menj awab. Dia cuma berusaha menent ang mat a perempuan it u.

"Saya t ahu Saudara akt ivis mahasiswa. Saya t ahu banyak dosen segan kepada Saudara. Tapi, j angan kira saya pun akan t akut . Akan saya bukt ikan bahwa obyekt ivit as ilmu bisa dit egakkan di f akult as ini! " uj ar Bu Yusnit a.

“ Karena it u saya mint a saksi-saksi unt uk uj ian lisan saya. "

"Saya punya ot orit as penuh unt uk menilai. Tak perlu saksi-saksi. "

"Saya t ak percaya obyekt ivit as selama ini. "

"Saudara menghina ot orit as saya ?"

"Jangankan seorang dosen, pemerint ah pun akan saya gugat kalau t ak berj alan pada keadilan dan kebenaran. "

Bu Yusnit a menggigil.

"Keluar! " kat anya keras.

"Saya ingin kepast ian. Kapan saya diuj i, dan siapa saksi-saksinya. "

"Tidak akan ada pembicaraan t ent ang uj ian Saudara! Selama saya memegang vak it u, hak unt uk menguj i ada pada saya. Dan, saya berhak menet apkan siapa yang akan saya uj i dan siapa yang t idak! "

"Saya peringat kan Bu Yusnit a. Tindakan-t indakan ot orit as di universit as ini bisa menghadapi kemarahan mahasiswa nant i. "

"Kerahkan mahasiswa-mahasiswa it u. Kerahkan! Jangan kira lant aran punya pengaruh di kalangan mahasiswa lant as Saudara menekan saya! " Waj ah Bu Yunsnit a merah. Kemarahan it u malah membangkit kan kecant ikan yang selama ini t idur di balik kulit waj ahnya. Tet api, Ant on t ak menyadari it u. Dia pun dibakar kemarahan. Ant ara ket akut an pada masa depan dengan sikap kepala bat u dosen it u membuat nya put us asa.

(19)

"Saudara mengancam?" geram Bu Yusnit a.

"Bukan mengancam. . Tapi, mengingat kan bahwa akibat vak Ibu saya t ak berhak menyusun skripsi saya. Karena sat u vak saya t ak pernah mencapai kesarj anaan saya. "

Bu Yusnit a membuang pandang ke luar ruangan. Dia merapikan mapnya.

"Silakan keluar , " kat anya t awar. "Saya harus mengurus persoalan lain. Unt uk uj ian Saudara, t unggu saj a pengumuman dari t at a usaha. "

Ant on berdiri. Gerahamnya gemeret ak saking marahnya. Dia merasakan darahnya membilas-bilas hingga napasnya sesak. Jika dosen it u lelaki, sudah pant as dit ant ang duel. Namun, Bu Yusnit a t ak acuh melihat t angan yang mengepal-ngepal di seberang mej anya.

Bu Yusnit a mengangkat kepalanya. Pandang mat a mereka bent rok. Sesungguhnya dosen wanit a ini bergidik melihat mat a beringas di depannya, t et api dia bisa mempert ahankan diri agar t idak memperlihat kan ket akut annya.

Akhirnya Ant onlah yang berbalik dan meninggalkan t empat it u. Di dekat pint u, seorang pegawai t at a usaha menat ap mencuri-curi ke waj ah Ant on. Diam-diam pegawai t at a usaha it u membenarkan j ulukan bagi dosen wanit a it u: Killer! Bahkan t okoh mahasiswa pun dibant ingnya. Bukan main!

***

Ant on menuruni t angga dengan hanya mengandalkan perasaan pada pegangan di pinggir. Sepanj ang t angga t iga t ingkat it u, t ak lagi menarik unt uk memperhat i kan waj ah-waj ah sumringah gadis-gadis yang berj alan berlawanan arah. Tak lagi menarik unt uk mengawasi pinggul gadis yang bergoyang-goyang di depannya. Semuanya kelabu. Sebab, ludahnya t erasa pahit .

Mat ahari yang membakar Kampus Gadj ah Mada t erasa lebih panas dari hari-hari biasanya. Jauh lebih panas dibanding mat ahari ket ika dia t ak lulus uj ian. Tak lulus uj ian, walau badan t erasa loyo, masih t erhibur oleh opt imisme. Persoalan sekarang ini, bert engkar dengan dosen, dengan penguasa ilmu, bet ul-bet ul membuat mat a melihat uap di permu kaan aspal lebih kuning. Selera pat ah, sepert i pat ahnya selera makan ket ika menghadapi t ahi kucing!

Maka peyek dalam t of les kaf et aria it u nampak sepert i j erawat seorang banci yang bergenit -genit . Menj engkelkan! Dan, kicau gadis-gadis t erdengar bising di t elinga. Lebih-Iebih karena ada seorang gadis yang waj ahnya mengkilat karena berlebihan ber-make-up. Semakin t ebal make-up-nya, semakin bising suaranya.

Ant on ingin membayangkan Bu Yusnit a sebagai salah seorang gadis yang ber-make-up t ebal di warung it u. Ya, agar dia bisa membencinya sepenuh hat i. Tet api, bagaimana bisa? Waj ah Bu Yusnit a hampir t ak ber-make-up. Kulit nya yang kuning t ak membut uhkan polesan bedak. Jadi, sulit memindahkan waj ah it u ke waj ah gadis cerewet it u.

Ant on menghembuskan napas panas. Andai waj ah Bu Yusnit a agak memper waj ah gadis it u, t ent u mengundang kesenangan unt uk membent uknya. Ya, sekadar pelampiasan kedongkolan yang t ersekap. Ah, proses apa pula ini! Ident if ikasi at au proyeksi? Freud menyelidiki soal ini. Pelampiasan hasrat -hasrat t ersembunyi lewat sasaran-sasaran penggant i. Ah, barangkali Bu Yusnit a mot if nya j uga sepert i ini. Barangkali dia membenci seseorang yang mirip denganku. Barangkali aku j adi sasaran penggant i unt uk melampiaskan kebencian it u. Ya, ya, ya, mungki n sekali. Barangkali dulu dia punya pacar yang mengecewakannya. Dan, pacar it ulah yang membuat nya t ak kawin-kawin sampai sekarang. Ant on t ermangu-mangu.

(20)

Universit as Gadj ah Mada. Dia bersamplokan dengan dekan f akult asnya. Dekan it u memberi isyarat dengan j arinya.

Ant on mendekat . "Dat ang ke rumah nant i sore. Ada yang mau saya bicarakan, " kat a dekan it u sebelum masuk ke mobilnya.

"Baik. Ke rumahnya nant i sore. Tapi, soal apa?" kat a hat i Ant on.

***

"Ant on. " Terdengar suara di uj ung t angga pint u menuj u lant ai alas bagian selat an. Marini. Ah, mat anya sepert i mat a kucing sakit . Murung.

Ant on berhent i. Gadis it u menj ej erinya. Marini lahap memandang muka Ant on. Ant on t ak berani menimpalinya mengingat mat a yang murung it u. Dia berpura-pura memperhat ikan mahasiswa-mahasiswa yang sedang menuruni t angga.

Kemudian gadis it u berkat a, "Kau mau pulang, Ant on?"

"Ya. ”

Lalu langkah mereka beranj ak.

"Kau sangat berubah sekarang, " kat a Marini hampir t ak t erdengar.

Ant on memang pura-pura t idak mendengar. Dia melambai ke arah rekan-rekannya.

“ Ant on. ”

Ant on memalingkan waj ahnya ke arah gadis it u.

"Kit a perlu bicara bermuka-muka. " Suara gadis it u pelan.

"Siang ini?"

"Ya, siang ini, " kat a Marini t egas.

"Siang sepanas ini? Ah, lain kali saj a, Rin. Hari ini ot akku j udeg. Aku perlu ist irahat . Nant i sore aku harus menghadap Dekan. "

"Kit a ke Kaliurang. Udara sej uk di sana akan menyegarkan kau. "

"Sungguh mat i, Rin, aku mau t idur siang ini. Kepalaku mumet . Bet ul-bet ul mumet . "

Kit a harus membicarakan ini, Ant on. Aku kira ini soal paling serius dalam hidupku. "

"Seharian ini aku memikirkan soal paling serius. Sore nant i pun aku kira begit u. Berilah aku wakt u ist irahat . "

Aspal yang dit impa mat ahari menguapkan hawa panas. Dan, hawa panas yang sej ak pagi berput aran di kepala Ant on, kini menyengat -nyengat bat ok kepalanya. Kepala menj adi pening dan ludah t erasa pahit . Mungkin, keadaan ini masih t ert olong oleh rambut nya yang gondrong, yang t ent unya menolong memelihara isi kepala dari adukan bakaran mat ahari sert a hawa yang menyengat it u. Saat ini memang musim kemarau t erkering menurut cat at an Fakult as Geograf i.

(21)

"Berilah aku wakt u ist irahat , Rini, " ulang Ant on.

"Di Kaliurang kau bisa ist irahat . Aku ingin membicar akan soal ini. Serius. Janganlah menghindar t erus-t erusan. "

"Kapan aku menghindar dari kau?"

"Ayolah, kit a bicarakan di sana. "

"Soal apa?"

"Soal kit a, " kat a Marini sembari memperbaiki sangkut an t as di bahunya.

"Aku kira di ant ara kit a t ak ada soal. "

"Tak bisa cuma dengan kira-kira saj a. Pokoknya, realit anya di ant ara kit a ada soal. "

"Ya, ya, ya, ada at au t idak ada soal, pokoknya j angan siang ini. Beri aku wakt u unt uk ist irahat . Sore nant i aku harus menghadap Dekan. "

"Kalau kau t ak mau ke Kaliurang, kit a ke mana saj a. At au ke Gembiraloka? Ke mana saj a aku bersedia. . Yang pent ing kit a bisa bicara dengan t enang. ”

"Jangan mendesak begit u, Rin, " kat a Ant on dalam napas yang. sesak.

"Aku t idak mendesak. Cuma, aku ingin t ahu apakah kau mau menempat kan soal kit a di at as soal apa pun yang lain. "

"Ya, Tuhan, " keluh hat i Ant on. "Bagaimana aku bisa menahan rongrongan semacam ini? Belum lagi kawin, dia sudah berusaha menguasai aku. Ya, Tuhan, bagaimana bisa perempuan yang dulu kelihat an lembut ini sekarang j adi begini? Kalau dia j adi ist riku, dia akan t idak peduli pada kesulit an-kesulit an yang kuhadapi. Dia cuma peduli pada kesulit an-kesulit annya. "

Ant on t ak berani menat ap gadis it u. Dia khawat ir, j angan-j angan kepanikan yang mulai merayap-rayap di kepalanya membias lewat mat anya. Dia cuma mengerut kan kening, menyipit kan mat a, dan berpura-pura memperhat ikan rerumput an yang kering. Dan, dia sangat menyesal lupa membawa kaca mat a hit amnya.

"Kit a ke Gembiraloka? Kupanggil becak it u. Cak! "

Tukang becak yang kebet ulan melint as memingsirkan becaknya ke dekat mereka.

"Tolonglah, Rin, aku bet ul-bet ul mau ist irahat siang ini. Kepalaku pening. "

"Sej ak t adi sudah kaubilang, t et api aku berhak meragukannya. Kau memang biasa membuat -buat alasan. ”

“ Sungguh mat i, Rin. Sore nant i aku harus menghadap Dekan. ”

"Sebelum j am empat kit a pulang. " Marini berpaling ke arah t ukang becak. "Gembiraloka pint en , Pak?"

Ant on menggigil dalam sungkupan udara panas it u.

"Tidak! Dengar, Rin! Kit a t idak ke Gembiraloka. "

"Jadi, ke mana?"

(22)

Tukang becak menat ap mereka bergant i-gant i.

"Pulang, " kat a Ant on. "Cemoroj aj ar, Pak, " lanj ut nya. Marini berumah di Jalan Cemoroj aj ar. "Siang ini aku t ak mau ke mana pun, " uj ar lelaki it u lagi.

"Sekalipun unt uk persoalan kit a?" kat a Marini meraj uk.

"Persoalan hant u belang pun aku t ak peduli! " Jawab Ant on sambil memij it -mij it kepalanya yang memang mulai berdenyut an.

Marini memat ung menat apnya.

"Besok, besok, kalau aku t ak sibuk, persoalan apa pun akan kit a pecahkan bersama. "

Marini t et ap membisu. Cuma, binar-binar mat anya mulai t ersaput mengacanya air.

Denyut an di kepala Ant on agak mengendur. Dia ingat , bet apa perasanya gadis it u, gadis melankolis it u.

"Pulanglah, Rini. Percayalah bahwa di ant ara kit a t ak ada soal. Aku t et ap sepert i dulu. "

"Bukan sekadar percaya at au t idak, Ant on. " Suara Marini hampir dibalut isak. "Aku ingin pembicaraan yang past i. Pembicaraan yang menent ukan, yang akan membuang kesangsian. "

"Ya, ya, ya, aku mengert i. Tapi, j angan siang ini. Naiklah ke becak it u. Aku akan membelok ke kiri ini. " Tanpa menunggu reaksi gadis it u, Ant on membelok ke j alan berbat u, unt uk memint as lewat gang-gang kecil di belakang Asrama Syant ikara. Dia t ak berani menat ap gadis it u, t ak berani melihat kemurungan gadis berwaj ah sayu it u. Dalam t ersenyum pun mat a yang beralis lent ik it u akan t erlihat sendu, apalagi dalam berkaca air mat a!

Maka lelaki it u t ak melihat Marini merent ak duduk di becak. Tukang becak menggenj ot pedal, dan becak pun meluncur di aspal yang panas. Sesekali t ukang becak menat ap punggung lelaki yang berj alan di bawah t erik mat ahari'it u. Sement ara it u, Marini mengawasi punggung Ant on dengan pandangan lekat , t et api t et ap berusaha menahan air mat a yang akan merembes.

***

"Begini, Ant on. Bu Yusnit a t adi memint a dewan dosen bersidang unt uk membicarakan soal kau. Kat anya kau menghinanya. Aku ingin mendengar ket eranganmu sendiri. "

Ant on t erperanj at di dalam kursi empuk yang didudukinya, dan mat anya t ak berkedip mengawasi dekan f akult asnya. Lelaki separo t ua berkaca ma t a put ih it u j uga mengawasinya.

"Ah, sampai begit u?" kat a Ant on t erbat a-bat a.

"Ya. Bu Yusnit a ingin agar soal ini dimasukkan ke dalam agenda rapat bulanan dewan dosen. Nampak-nampaknya dia sangat t ersinggung. Kalau aku t ak salah t angkap, dia mengaj ukan alt er nat if : kau dikeluarkan, at au dia yang keluar . "

"Ah, sampai bagit u?" ulang Ant on.

"Ya, begit u, " kat a dekan it u. "Dan, sepert i kauket ahui, dalam alt ernat if semacam it u, belum pernah ada kej adian dosen yang keluar. Kau mengert i maksudku?"

"Ya, Pak, " desah Ant on.

(23)

Ant on masih t ermangu-mangu.

"Cerit akanlah dari awal seluruh persoalan yang menyebabkan konf likmu dengan Bu Yusnit a, " kat a dekan it u lunak.

"Saya sendiri t ak t ahu apa yang menyebabkan ini. Saya t ak pernah merasa menyinggung perasaan Bu Yusnit a. Jadi, kalau f akt or perasaan yang dij adikan pert imbangan, saya agak heran. "

“ Jadi, persoalannya?”

"Gelap. Saya t ak mengert i apa yang menyebabkan saya t ak bisa lulus dari vaknya. "

"Kau sudah berusaha?"

"Saya kira ya. "

"Jangan kira-kira. , Apakah kau merasa hasil- hasil uj ianmu baik?"

"Saya t ak berani memast ikan. Tet api, Bapak t oh bisa membandingkan dengan vak-vak yang lain. Unt uk vak yang Bapak asuh misalnya. Apakah saya t ergolong mahasiswa yang bodoh?"

Dekan it u mengelus-elus dagunya.

"Dan, dari vak dosen yang lain saya mendapat nilai yang memuaskan. Bahkan dari Pak Murt ej o, Pak Gunawan, Pak Harmoko, saya mendapat nilai t inggi. Beberapa paper saya ada yang mendapat puj ian, dan disingkat unt uk dimuat dalam maj alah ilmiah f akult as. Walau bukan unt uk bersombong, apakah ini t ak bisa dij adikan bukt i kualit as saya?"

Dekan it u t ambah kuat mengelus dagunya, merasakan j enggot nya yang kurang bersih t ercukur.

"Lant as, kenapa kau t ak lulus dari vaknya?" uj arnya.

"lt ulah sebabnya saya mint a saksi-saksi unt uk uj ian saya! "

"Di sit ulah kesulit annya. Kalangan dosen biasanya saling t enggang rasa, t ak mau menyinggung perasaan koleganya. "

"Kenapa harus mempersoalkan t enggang rasa kalau ukuran-ukuran penilaian adalah st andard ilmu?"

"Ada banyak f akt or lain yang harus diperhit ungkan, Ant on. Fakt or psikologis, kult uril, dan sebagainya. It u semua mempengaruhi t indakan seseorang. ”

"Tapi kit a berada di dunia ilmu. "

"Ilmu cuma alat , sedang pelaksananya adalah manusia. Manusia yang t ak lepas dari segala macam f akt or yang kubilang t adi. "

"Lalu, apakah Bapak membiarkan cara-cara yang non-ilmiah begit u di f akult as kit a?"

"Tent u saj a t idak. Tapi, kau harus mengert i posisiku, Ant on. Selama ini kau banyak membant u di f akult as kit a. Sekarang pun kuharap begit u. Aku ingin kau t idak menambah keruwet an persoalan ini. ”

"Maksud Bapak?"

(24)

"Apakah it u berart i saya harus menerima keadaan saya?"

"Tent u saj a t idak. Kuharap kau menunggu redanya suasana. Nant i pelan-pelan dij ernihkan persoalannya. "

"Saya sudah dua t ahun t erlambat di vak Bu Yusnit a. Beberapa lama lagi saya harus bersabar?"

"Daripada sama sekali out ?"

"Apakah Bapak ment olerir t indakan-t indakan semacam it u? Kalau begit u, apakah gunanya prinsip-prinsip kebenaran, prinsip-prinsip ilmiah yang kit a agung-agungkan selama ini?" Ant on t erengah menahan perasaannya yang bergej olak. Put us asa mengharubiru.

"Aku t idak ment olerir t indakan-t indakan yang melanggar prinsip-prinsip kebenaran ilmiah. Tapi, persoalannya t idak sesederhana menegakkan kebenaran it u. Kit a menghadapi realit a yang kompleks. Dan, yang t erpent ing, aku t idak menghendaki st abilit as di f akult as kit a t erganggu, selama aku menj adi dekan, " kat a dekan it u.

Ant on t ert unduk.

"Walaupun unt uk it u harus melanggar prinsip-prinsip kebenaran ?" uj arnya pelan.

"Ah, berpikirlah sedikit pragmat is, Ant on. Jangan t unt ut yang berlebihan pada masa sekarang. Dalam keadaan yang ada, kit a cuma mengusahakan st abilit as agar t ercipt a iklim kerj a yang baik. It u saj a. "

Tangan Ant on menggigil ket ika menyalakan rokoknya yang padam selama t adi.

"Ya, harus pragmat is. " Suaranya t ersekap. Dekan it u melihat kepahit an yang menyaput i waj ah lelaki muda di depannya.

"Lalu, apa yang harus saya lakukan?" t anya Ant on lesu.

"Tidak ada. "

Ant on mengerut kan kening.

"Maksudku, kau harus t idak melakukan apa- apa. Usahakan meng-clear-kan persoalanmu ini. Dan, aku akan mengusahakan agar persoalan ini t idak meluas ke rapat dewan dosen , " kat a dekan it u.

"Berapa lama saya harus menunggu?"

"Tergant ung pendekat an psikologismu pada Bu Yusnit a. Sampai dia menet ralisir kemarahannya dan kau bisa uj ian secara waj ar. "

"Kalau dia t et ap menj at uhkan saya?"

“ Usahakan t erus. Usahakan t erus. "

"Sampai kapan ?"

"Sampai dia meluluskan kau. "

"Ah. "

"Kenapa 'ah'? Aku akan bant u melunakkan hat inya. Tapi, t ent unya harus pelan-pelan. Maklumlah menghadapi perempuan. "

(25)

"Tidak akan lama lagi, Ant on. Perasaan perempuan sebegit u gampang dipengaruhi rasa marah, sebegit u gampang pula berubah. Kau harus sabar. "

"Bukan sekadar soal kesabaran, Pak. Ini persoalan wakt u, Pak. Kit a t erikat pada ruang dan wakt u yang t erbat as. Dan, unt uk j angka wakt u st udi saya, hanya t erbat as pada enam bulan mendat ang. Set elah it u, selesai at au t idak, saya harus mencari naf kah sendiri. "

Dekan it u t erpaku.

"Kalau t ak t erhambat -hambat dari Bu Yusnit a, set ahun yang lalu saya sudah menyelesaikan skripsi saya, " kat a Ant on.

Dekan it u t ak bersuara. Dia sedang mengenang masa kuliahnya dulu. Dia t erkenang ancaman biaya st udi yang t erbat as dari orang t uanya. Orang t uanya, seorang asist en wedana di kot a t erpencil di Jawa Tengah, mengej ar t erus dengan pert anyaan, "Kapan, kapan selesai? Adik-adikmu j uga ingin bersekolah. Biaya unt uk meraka j uga harus dipikirkan. "

Sekelebat an bayangan Bu Yusnit a menyelip. Ket ika Bu Yusnit a kuliah, dekan it u sudah menj adi dosen di sit u. Bu Yusnit a adalah bunga yang dipuj a oleh siapa saj a. Tet api, dia t ak pernah peduli. Dia berj alan begaikan merak dalam pakaian indahnya. Kenapa dia harus memalingkan kepala ke arah mahasiswa-mahasiswa yang memuj anya, sedangkan waj ahnya yang cant ik dan ot aknya yang brilian t ak memerlukan bant uan siapa pun. Ayahnya seorang dokt er dan kiriman lewat bank set iap bulannya t ent unya melebih gaj i dosen. Dia punya buku-buku lengkap, dan dibacanya hanya unt uk mencibir dalam menghadapi kebodohan rekan-rekannya.

Dekan it u t et ap merasa dadanya menyenak ket ika Ant on bersiap keluar dari ruangan it u. Hat i dekan it u rusuh melihat kepahit an pada lekukan bibir lelaki muda it u. Sebab, dia merasa bahwa dirinya ikut menghancurkan kepercayaan mahasiswa it u.

Di pint u, dekan it u berkat a, " Apa pun yang t erj adi, Ant on, percayalah bahwa bukan prinsip-prinsip kebenaran it u yang lenyap, melainkan keadaanlah yang memaksa kit a harus bert indak lain. "

"Ya, Pak, " kat a Ant on t anpa semangat .

" Jangan sampai kehilangan kepercayaan pada prinsip-prinsip kebenaran. "

"Ya, saya akan t et ap menghormat i prinsip-prinsip kebenaran. Hanya saj a, saya sadar bahwa t empat nya bukan di dunia ini sekarang. Dia hanya bisa berada di masa lalu dan masa dat ang. "

Kerongkongan dekan yang mengaj arkan Filsaf at Psikologi it u t ersekat .

"Saya akan berpikir seprakt is-prakt isnya. Saya akan pragmat is dalam segala hal. Idealisme dalam soal apa pun cuma menyusahkan saj a. " Mat a lelaki muda it u buram dalam keremangan senj a.

Dekan it u t ercenung di mulut pint u. Dia bahkan t ak bisa bersuara ket ika Ant on mengucap, "Terima kasih, Pak. Selamat sore Pak. "

Apakah yang dit erimakasihkannya? Apakah yang t elah kuberikan kepadanya? Apakah yang kuaj arkan selama ini? Dust a, kebohongan, at au cuma mimpi-mimpi? Sement ara it u, dalam realit a, aku mengaj arkan sesuat u yang samasekali mengent ut i aj aran-aj aran di mimbar kuliah. .

Dekan it u mengerj ap-ngerj apkan mat anya, memaksakan diri agar bisa menat ap kepergian lelaki muda it u. Tet api, Ant on kian lenyap dit elan kelamnya malam yang menggeser senj a.

Bibit yang bernas t elah hilang, pikir dekan it u. Jika seorang muda t elah kehilangan kepercayaan pada kebenaran, siapa lagi yang bisa di harapka memelihara prinsip-prinsip suci it u?

(26)

***

Ada perasaan t akut dalam hat i Ant on manakala dia memikirkan Marini. Makanya dia berusaha unt uk t idak bert emu dengan gadis it u. Mernbayangkan Marini, sama halnya membayangkan seorang ist ri yang berani menyuruh suaminya menceboki anaknya. Begit u selalu yang membayangi pikiran Ant on. Boleh j adi ini berlebihan. Tet api, sungguh-sungguh hal ini membuat nya t akut pada gadis it u.

Dia t ak bisa menent ukan kapan image Marini berubah sepert i it u. Dulu, Marini baginya adalah gadis yang lembut , perasa, dan melankolis. Tet api, sekarang dia t elah menj adi perongrong. Keset iaannya adalah bent uk keset iaan primit if . Mengikat . Ulur-mengulur yang sangat indah dalam suat u percint aan bagai t ak dimilikinya lagi. Nampak-nampaknya, cint a baginya hanya semacam sarana unt uk rnencapai perkawinan. Perkawinan menj adi t uj uan, dan cint ailah sarana unt uk mencapainya. Padahal bagi Ant on j ust ru cint alah yang menj adi t uj uan, dan perkawinan hanya sebagai sarana.

Serupakah pacaran dengan cint a? Dan, haruskah menuj u perkawinan? Ant on kian t akut pada perkawinan. Apalagi perkawinan yang t erlalu diagung-agungkan, yang menyebabkan manusia harus t erikat pada lembaga yang bernama perkawinan it u. Tak peduli bagaimana kualit as perkawinan, t et api kedua pihak dipaksa unt uk memeliharanya. Sekalipun unt uk it u harus mengorbankan nilai pribadi masing-masing. Lalu, biasanya, karena saling t ak mau dirugikan nilai mereka, masing- masing berusaha menguasai lawan. Jika berhasil, salah sat u pihak akan kehilangan nilainya dan j at uh dalam penguasaan pihak lain. Dalam bent uk penguasaan ini, perkawinan akan t erj aga. Tet api, t idak berart i ada cint a di dalamnya. Dalam hubungan yang bersif at penguasaan, cint a akan kehi langan hakikat nya. Cint a hanyalah pemulas.

Cint a hanya ada pada dua kut ub yang set araf . Dua kut ub yang sama-sama sadar akan nilai pihaknya dan nilai pihak pasangannya. Bukan dua kut ub yang ingin saling memiliki. Sebab, pemilikan akan hakekat sama halnya penguasaan!

Jadi, Ant on t idak ingin memiliki Marini sebagaimana dia t idak ingin dimiliki gadis it u. Oleh karena it u, sebelum t erbenam lebih dalam, Ant on ingin keluar dari gambaran cint a primit if Marini. Dia ingin saling mengert i dengan Marini. Saling memahami nilai t iap-t iap individu. Oleh sebab menyadari bahwa set iap pihak memiliki nilai yang khas, maka pengabungan akan rnenyebabkan suat u kehidupan yang menyempurnakan keduanya.

Boleh j adi nilai it u ada pada Marini. Ya, boleh j adi. Tet api, melihat kenyat aan yang ada, t ernyat a pribadi gadis it u sangat rapuh. Cuma, sering t erj adi pribadi semacam it u berbalik dalam kompensasi ingin menguasai pasangannya. Sebenarnya, pilihan unt uk Marini adalah lelaki yang mau menguasainya, at au bersedia dikuasai! Dan, Ant on t ak menyukai kedua macam keadaan it u.

lt ulah sebabnya maka dia menyalangkan mat a memperhat ikan gadis-gadis. Dia ingin melepaskan diri dari libat an Marini. Libat an penguasaan gadis it u membuat napasnya sesak. Dia ingin berpacaran dengan gadis sebanyak mungkin, dan bercint a sepuas mungkin.

Lebih-Iebih selama menunggu uj ian dari Bu Yusnit a. Dia t idak ingin menyusahkan diri memikirkan it u lagi. Dia berusaha menj adi seprakt is-prakt isnya. Oleh karena t ak ada yang bisa dilakukannya, dia punya banyak wakt u unt uk memikirkan gadis-gadis. Kampus Gadj ah Mada menyimpan rat usan gadis cant ik. Bahkan ribuan. T et api, Ant on lebih t eringat pada gadis berbaj u merah yang pernah menant angnya di aula perpust akaan t empo hari. Mat anya yang galak t ernyat a bisa j uga malu-malu. Cukup menarik unt uk dikenang. Di mana kuliahnya? Tent u lebih gampang kalau diint ai dari perpust akaan. Tet api, di sini ada bahayanya. Siapa t ahu bert emu dengan Marini. Kalau t ak salah, gadis it u t inggal di Kot abaru. Cuma, di bagian mana? Oh, ya. Ant on t eringat punya t eman kuliah t inggal di Kot abaru. Bisa dit anyakan lewat t emannya ini.

"Ya? Bagaimana cirinya?" t anya Handoko.

"Dagu kayak punya Liz Taylor wakt u muda, mat a kayak punya Gina Lollo. "

(27)

“ Iya, t api ini punya kelebihan. "

"Dadanya Iebih?"

"Dadanya biasa saj a. Mat anya. Siapa gadis di sini yang bermat a galak?"

"Wah, gadis-gadis di sini sopan-sopan semua. "

"Ini serius, Koko. "

"Ya. Aku j uga serius. Bagaimana aku bisa t ahu gadis yang kaumaksud? Aku memang hampir j adi Ket ua Rukun Kampung di sini. Jadi, kau dat ang ke alamat yang t epat . Semua penduduk aku kenal. Tapi, unt uk mencari gadis yang kaumaksudkan it u, sorry saj a. Lebih gampang mencari gadis sumbing daripada gadis cant ik di kawasan ini. "

Ant on t erdiam.

"Marini bagaimana?" t anya Handoko kemudian.

"Biasa. ”

"Tapi, aku agak curiga. Kenapa kau t anya- t anya gadis lain?"

"Apa salahnya?" Ant on pura-pura memperha t ikan daun pohon mahoni yang dit erbangkan angin. Teras t empat meraka duduk dinaungi pohon mahoni dari pinggir j alan.

"Bet ul-bet ul namanya sama sekali t ak kauket ahui?" Handoko mengusik.

"Ada kudengar dibilang t emannya, t api wakt u it u aku belum punya perhat ian. "

"Lalu, kenapa sekarang beperhat ian?"

"Aku pun t ak t ahu kenapa. "

"Andaikan kau t ahu di mana kuliahnya. "

“ Ya, andainya, " kat a Ant on.

Beberapa saat t eras it u sepi. Keduanya menat ap beberapa gadis yang lewat di j alan.

"Nah, it ulah gadis-gadis kampung sini. Cant ik- cant ik, 'kan?" kat a Handoko.

Ant on t ak menj awab. Dia menelit i gadis-gadis it u sat u persat u. Mereka melambai ke arah Handoko. Tak t erdapat gadis yang dicari Ant on.

"Tapi, t unggu dulu! " kat a Handoko. "Aku punya pot ret -pot ret mahasiswa yang t inggal di sekit ar sini. " Handoko masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian keluar lagi dengan membawa album. "Kami pemah mengadakan pest a. Mungkin dia ada di ant aranya, " kat anya.

"Ada f ot o t elanj ang?" t anya Ant on.

"It u album baik-baik. "

Ant on membuka album lembar demi lembar, dan memperhat ikan orang-orang dalam pot ret .

(28)

"Wah, gawat , " kat anya.

"Apanya yang gawat "?"

"Dia memang rat u di sini. "

"Nah, kalau begit u mat aku masih cukup sehat . Siapa namanya?"

"Erika. "

"Hmmm, nama yang bagus. Tanggal lahirnya?"

"Bagaimana aku t ahu?"

"Apa t ak pernah dia pest a ulang t ahun?"

"Ya, pernah. Tapi, bagaimana aku ingat ? Ulang t ahun pacarku pun aku sering lupa. "

"Kit a harus t ahu t anggal lahirnya, biar t ahu apa bint angnya. "

"Ah, ast rologi among kosong! "

"Bukan among kosong. Aku menggabungkan analisa psikologi dengan ramalan ast rologi. " Ant on membuka t erus halaman album it u unt uk mencari pot ret -pot ret lain gadis it u. "Bukan main! Dia memang pandai berpose. Dia bisa menandingi Lenn y Marlina. "

Handoko cuma mengawasi.

Tanpa mengalihkan mat anya dari album, Ant on bert anya, "Sudah punya pacar?"

“ Bukan Cuma pacar. ”

"Ya?"

"Dia sudah bert unangan. Aku malah hadir wakt u pest a peresmiannya, " uj ar Handoko.

Ant on menut up album it u.

"Mahasiswa mana t unangannya?"

"Dulu indekos di rumahnya. Lulus Fakult as Tehnik. Sekarang di Jerman. " "Wah. "

"Memang 'wah', " kat a Handoko sambil senyum.

Ant on pun t ersenyum, t et api sumbang. "Sudah berapa lama dia dit inggal?"

"Ent ah berapa lama. Pokoknya lamaaa sekali. "

"Siiip. Kalau begit u, dia sedang kesepian. "

“ Kau mau menerobos?”

"Apa salahnya?"

"Tent u saj a salah. Biadab namanya kalau kau sudah t ahu dia punya t unangan, t api masih kauganggu. ”

(29)

"Kalau bet ul-bet ul cint a?"

"Tent u saj a aku t ersingkir. Logis t oh?"

"Kalau kau dit erima?"

“ Go ahead. ”

"Kau serius nih?"

Ant on mengangguk.

"Kalau aku j adi kau, " kat a Handoko, "kenyat aan bagaimanapun akan t idak menyenangkan bagiku. Kalau keras cint anya pada t unangannya, aku akan kecewa. Kalau dia menerima cint aku, aku pun kecewa sebab mendapat gadis yang sebenarnya berhat i lemah. "

"Logikamu ngawur. " Ant on mengangkat bahu.

Dia mengedikkan kepala unt uk mengembalikan rambut ke belakang. "Sekarang, ant ar aku ke rumahnya, " lanj ut nya t ak acuh.

"Ya, ampun. Jangan aku. "

"Kenapa ?"

"Kalau pert unangan mereka put us karena kau, bagaimana pert anggungj awabanku kepada t unangannya, Usman? Sebelum berangkat dulu, dia t it ip pesan padaku agar aku melihat -lihat Erika. "

"Ha, kalau begit u, kau opt imis aku akan mendapat kan gadis it u. Siapa nama t unangannya? Usman? Ha, Usman. Bagus. Tent unya t emperamennya berbeda dengan aku. Apa bint angnya?"

"Ent ahlah, " kala Handoko lesu.

"Ayolah, sore ini j uga kit a harus mengunj unginya. Napoleon bilang, serangan yang cemerlang biasanya dilakukan dengan mendadak. "

"Sorry, Ant on. Aku t ak mau t erlibat . "

"Alaaa, gampang. Nant i kukasih surat t idak t erlibat perist iwa ini. "

"Bet ul-bet ul, Ant on, aku dulu sempat berj anj i pada t unangannya unt uk melihat -lihat . "

"Melihat -lihat , apa pula berat nya? Nant i pun kau bisa melihat dia. Lihat bagaimana sikapnya di depanku. Bandingkan keadaannya dengan sewakt u di depan t unangannya dulu. "

"Aku merasa berdosa kalau membawa seseorang yang akan mengganggu pert unangan mereka. ”

"Wah, sucinya kau. Set elah j adi Ket ua Rukun Kampung, kau bisa j adi Sant o. "

Handoko t ak menj awab. "Bet ul-bet ul kau t ak mau membant u?"

"Mint alah yang lain, Ant on. Jangan soal yang menyangkut gadis it u. Ibu Erika t ahu pesan Usman t empo hari. Apa dia bilang kalau melihat aku membawamu pula ke sit u?"

"Toh bisa kau karang cerit a. Aku t eman kuliah anaknya. Dat ang unt uk t ent ir kek, pinj am buku kek. Pokoknya banyak alasan. Toh kau sudah pengalaman mengakali ibu-ibu asrama selama ini. "

Referensi

Dokumen terkait

Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak

39 Ta- hun 2004 antara lain bahwa tenaga kerja mempunyai hak yang sama untuk bekerja baik di dalam maupun di luar negeri, bahwa TKI di luar negeri sering menjadi

Kalimat yang telah diuji pada aplikasi ini adalah kalimat tunggal yang dimana kebanyakan kata yang digunakan bukan kata khusus dan hanya memiliki satu arti pada

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Studi Motivasi, Persepsi Dan Konsumsi Minuman Energi Serbuk Di Kalangan Karyawan Bagian Produksi PT Kurnia Adijaya Mandiri

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas berkat rahmat dan karunia-Nya, laporan tesis berjudul ”Aplikasi Gelombang Kinematis dan Dinamis pada Model

Mengingat bahwa secara rata-rata tingkat efisiensi teknis yang dicapai oleh para pembudidaya ikan kerapu telah cukup tinggi dan didukung oleh kenyataan dari hasil

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja media komunikasi yang digunakan PKPA, pesan apa yang disampaikan melalui media komunikasi PKPA, penggunaan

Hasil wawancara, observasi dan dokumentasi yang dialakukan peneliti dalam mengetahui tentang kompetensi kerja siswa jurusan teknik sepeda motor memperoleh data sebagai