• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEGISLASI HUKIM ISLAM DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LEGISLASI HUKIM ISLAM DI INDONESIA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh

Dosen pengampu: Hj. Fatma Amilia, S.Ag, M.Si.

Disusun oleh:

Dian Munawaroh M.R 13690050

Ragil Ristiyanti 13690051

Arizal Adi P. 13690052

Ayi Muthi Nahdiyanti 13690053

Fuad Wafa 13690055

Uswatun Khasanah 13690056

PENDIDIKAN FISIKA 2015/2016 FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

(2)
(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Legislasi hukum adalah pembentukan hukum tertulis melalui negara. Bagaimana pandangan tentang legislasi hukum Islam dan dalam konteks Indonesia, seberapa penting legaslasi hukum Islam itu dilakukan ?Menyorot legislasi hukum Islam, khususnya dalam konteks ke Indonesiaan serta pentingnya legislasi hukum Islam itu sendiri dapat kita lihat melalui pendekatan historis dan tinjauan terhadap esensi, eksistensi, pelembagaan, pembaharuan, pengembangan dan prospek penerapannya dalam konteks Indonesia.

Dalam perjalanan sejarah hukum islam, legislasi hukum islam berkembang dari masa ke masa. Mulai periode awal yaitu pada masa Rasulullah SAW (11 H. /632 M. ), masa khulafaurrosyidin, masa awal pertumbuhan hukum fiqih sampai penentuan hukum-hukum islam di Indonesia terus mengalami perkembangan.

Adapun tujuan legislasi hukum islam itu sendiri tidak lain adalah untuk memperjelas pengkodifikasian, pengelompokan atau pengklasifikasian hukum-hukum islam di Indonesia sehingga mempermudah dalam penentuan atau penetapan suatu hukum. Apalagi di Indonesia sendiri merupakan negara terbesar yang mayoritas penduduknya adalah muslim.

Oleh karena itu sangat penting untuk dibahas mengenai legislasi hukum-hukum islam yang diterapkan di negara kita Indonesia naik dari segi penentuan maupun pelaksanaannya, sehingga sebagai seorang Muslim dan seorang penduduk kita tidak buta akan hukum-hukum yang berlaku di negara sendiri.

B. Tujuan

(4)

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Legislasi Hukum Islam

Legislasi secara bahasa sering disebut juga dengan legalisasi. Legislasi merupakan cara yang digunakan untuk mengesahkan hukum di suatu negara. Tujuan dari legislasi adalah untuk mengemukakan hukum, bukan sebagaimana adanya saat ini atau dahulu tetapi sebagaimana seharusnya. Dengan demikian suatu prinsip baru yang digariskan oleh keputusan yudisial dapat dikatakan sebagai ketentuan legislasi, sedangkan tidak demikian halnya, sebab legislasi dalam artian yang luas adalah sumber hukum yang berupa deklarasi aturan-aturan hukum otoria yang berkompeten dari kekuasaan yang berdaulat di dalam negara yang tidak dapat dihapuskan atau digugurkan oleh otoria legislatif lain dari manapun. sedangkan dalam artian sempit legislsi adalah aturan yang berseumber dari suatu otoria yang lain daripada kekuasaan yang berdaulat selain itu eksistensi dan validitasnya bergantung pada suatu otoria yang tertinggi atauyang lebih tinggi. Legislasi dalam pengerian ini, dapat diklasifikasikan dalam legislasi tingkat tinggi dan legislasi tingkat rendah. Legislasi tingkat tinggi bersumber pada kekuasaan yang tertinggi dalam negara atau disebut (kehendak negara). Hukum Islam adalah kehendak Tuhan, dan fungsi negara adalah untuk memberlakukannya, bukan untuk menciptakannya. Hukum Islam berwatak etis muncul dari resep-resep Al-Qur’an bagi perilaku sosial. Negara membuat keterangan hukumnya daripadanya dan hanya sedikit mempunyai andil atau bagian dalam pembentukannya.

B. Teori Pemikiran dan Strategi Penerapan Hukum Islam Di Indonesia

a. Secara konseptual, sungguhnya telah banyak teori pemikiran mengenai penerapan hukum Islam (syari’at) di Indonesia, antara lain:

1. Teori pemikiran formalistik-legalistik.

(5)

berjalannya syari’at. karena itu formalisasi syari’at melalui konstitusi atau undang-undang harus diusahakan untuk menjaga subtansi syari’at agar agama bisa dijalankan secara baik. Oleh karena itu beliau tidak setuju memisahkan antara subtansi dan formal.

Menjadi keyakinan bahwa tidak akan ada kemuliaan kecuali dengan Islam; tidak ada Islam kecuali dengan syari’at; dan tidak ada syari’at kecuali dengan daulah (negara). Pemikiran ini disampaikan dengan mengemukakan suatu argumentasi berdasarkan fakta sejarah dan keyakinan bahwa aturan Allah pastilah yang terbaik. Hanya syari’at sajalah yang mampu menjawab segala persoalan yang tengah membelit umat Islam Indonesia baik di lapangan ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun pendidikan.

2. Teori Pemikiran Strukturalistik.

Pendekatan ini menekankan transformasi dalam tatanan sosial dan politik agar bercorak Islami. Transformasi melalui pendekatan struktural dimaksudkan dapat mempengaruhi transformasi perilaku sosial sehingga lebih Islami. Sebaliknya transformasi prilaku sosial diharapkan dapat mempengaruhi transformasi institusi-institusi sosial dan politik menjadi lebih Islami. Pendekatan struktural mensyaratkan pendekatan politik, lobi atau melalui sosialisasi ide-ide Islam, kemudian menjadi masukan bagi kebijakan umum.

Salah seorang pendukung utama pendekatan ini adalah Amin Rais, yang berpendapat sebagaimana dikutip oleh Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, bahwa transformasi nilai-nilai Islam melalui kegiatan dakwah harus mencakup segala dimensi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmiah, dan lainnya harus menjadi sarana untuk merealisasikan nilai-nilai Islam. Konsekuensi dari pandangan ini, Amin mendukung perumusan dan implementasi sistem sosial Islam termasuk melegislasi hukum Islam dalam tata hukum negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

3. Teori Pemikiran Kulturalistik.

(6)

sebagai sumber etika dan moral; sebagi sumber inspirasi dan motivasi dalam kehidupan bangsa bahkan dalam pembentukan struktur sosial. Pendukung utama pendekatan kultural ini adalah Abdurrahman Wahid. Beliau menyadari bahwa secara historis ekspresi ideologi Islam tidak berhasil. Menurutnya Islam harus bertindak sebagai faktor komplementer untuk mengembangkan sistem sosio-ekonomi dan politik, bukan sebagai faktor alternatif yang dapat membawa dampak disintegratif kehidupan bangsa secara keseluruhan. Menurut beliau, umat Islam telah dapat menerima falsafah negara, sementara pada saat yang bersamaan masih mempertahankan jalan hidup “Islamnya” dalam varian lokal dan individu. Oleh karena itu Beliau tidak menyetujui idealisme Islam dalam sebuah sistem sosial.

Mengenai legislasi hukum Islam, menurut Abdurrahman Wahid, bahwa tidak semua ajaran Islam dilegislasi oleh negara. Banyak hukum negara yang berlaku secara murni dalam bimbingn moral yang terimplementasikan dalam kesadaran penuh masyarakat. Kejayaan hukum agama tidak akan hilang dengan fungsinya sebagai sebuah sistem etika sosial. Kejayaannya bahkan akan tampak karena pengembangannya dapat terjadi tanpa dukungan dari negara. Karena alasan ini, Beliau lebih cenderung untuk menjadikan syariat’at Islam sebagai sebuah perintahmoral(moral injuction) daripada sebagai sebuah tatanan legalistik-formalistik. 4. Teori Pemikiran Subtantialistik-Aplikatif.

(7)

Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk; apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak putusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai daya tarik cukup besar.

Muhammad Daud Ali, Guru Besar Hukum Islam UI, menjelaskan bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia ada dua macam, yaitu secara normatif dan formal yuridis. Hukum Islam yang berlaku secara nomatif adalah bagian hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila norma-norma itu dilanggar. Kuat tidaknya sanksi kemasyarakatan tergantung pada kuat lemahnya kesadaran umat Islam akan norma-norma normatif itu. Hukum Islam yang bersifat normatif antara lain salat, puasa, zakat, dan haji. Menurut pendapatnya, hampir semua hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan bersifat normatif. dipatuhi tidaknya hukum Islam yang berlaku scara normatif itu tergantung dari kesadaran imannya.

Berkaitan dengan hukum Islam yang berlaku secara formal-yuridis, Daud Ali berkomentar bahwa hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda dengan masyarakat. Di dalam proses peralihannya menjadi hukum positif harus berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan dan perundang-undangan, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum wakaf yang telah dikompilasikan.

b. Strategi Legislasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional.

Hukum Islam memiliki cakupan lebih luas dari pada hukum nasional, maka sebagian ketentuannya tidak membutuhkan kekuasaan negara untuk penegakkannya. Hal ini bergantung pada situasi dan kondisi. Dengan demikian, tidak semua ketentuan hukum islam perlu dilegislasikan. Ketentuan hukum islam yang perlu dilegislasi adalah ketentuan hukum yang memiliki kategori :

(8)

Kekuasaan negara yang diperlukan untuk penegakan hukum islam adalah kekuasaan peradilan, misalnya dalam kasus perceraian, pewarisan, dan kekuasaan administrative (misalnya : pencatatan perkawinan dan pencatatan wakaf).

Untuk strategi dan upaya integrasi hukum islam bagi pembinaan hukum nasioanal, tergantung pada tiga komponen sebagai berikut :

1. Komponen Struktur

Struktur politik Indonesia yang di dalamnya terdapat mayoritas penganut Islam harus memiliki komitmen terhadap keberadaan (eksistensi) dan keefektifan berlakunya hukum Islam di Indonesia. Artinya pemahaman keagamaan tidak hanya berdasarkan teks-teks formal, tetapi juga melihat kondisi sosio-kultural masyarakat bangsa Indonesia serta filosofi ajaran Islam itu sendiri, yakni untuk kemaslahatan, keadilan, dan rahmat bagi umat manusia. Kondisi masyarakat yang perlu diperhatikan adalah kemajemukan, baik dari segi agama maupun tingkat penghayatan keagamaan, sementara tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat secara umum masih rendah. Tentu produk dari penafsiran seperti ini suatu saat bisa berubah jika kondisi sosio-kultural itu mengalami perubahan. 2. Komponen Subtansi

(9)

3. Komponen Kultur

Berfungsinya hukum Islam secara efektif dalam masyarakat harus melalui proses pelembagaan (institusionalization), agar hukum Islam menjadi bagian darisuatu lembaga sosial. Pelembagaan yakni suatu proses ketika norma-norma hukum Islam dapat diketahui, dipahami, dinilai, dihargai, dijiwai dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat. Masyarakat akan menghargai dan mentaati hukum Islam, apabila hukum tersebut benar-benar menjamin kemaslahatan hidup mereka di dunia dan di akhirat, ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan lahir dan batin, baik secara individu maupun sosial. 26 Dengan kata lain, hukum Islam harus mampu memfasilitasi manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sosok hukum Islam seperti ini juga sangat ditentukan oleh ”subtansinya,” karena itu untuk dapat memperoleh dukungan kultur, maka subtansinya perlu dibenahi lebih dahulu.

C. Sejarah Legislasi Hukum Islam Di Indonesia a. Hukum Islam Pada Era Pra-Penjajahan Belanda

(10)

tentu saja menerapkan hukumIslam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu sja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini telah dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulamanusantara pada sekitar abad 16 dan 17, dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

b. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:

1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.

(11)

Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942. Maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:

1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.

2. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.

c. Hukum Islam Pada Masa Pendudukan Jepang

(12)

Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.

2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.

3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.

5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.

6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,

Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.

(13)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya

(14)

e. Hukum Islam Pada Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli

Hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam.

Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.

(15)

semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono-lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini

Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia.

f. Hukum Islam Pada Masa Orde Baru

(16)

1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno-bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.

(17)

Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung.

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.

g. Hukum Islam Pada Masa Reformasi

Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional.

(18)

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut tidak berhasil. Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan suratkeputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.

Sementara itu berbagai organisasi terus menerus juga mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin menyelesaikan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989/ UU No 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

1. Dinamika Legislasi

Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung.

(19)

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas, ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu :

a) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, shadaqah, dan ekonomi syariah;

b) Diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya;

c) Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam d) penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama

diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal. 2. Karakteristik

(20)

politik di era reformasi, sehingga hal ini dapat disebut sebagai konfigurasi demokratis dengan beberapa indikator penting yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR, antara lain:

a) Partai politik dari badan perwakilan rakyat berperan aktif dan ikut serta dalam menentukan hukum negara atau politik nasional, khususnya dalam bidang reformasi;

b) Tumbuhnya supremasi rakyat diletakkan di atas kepentingan penguasa; c) Menjunjung tinggi pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama yang dijamin

dalam UUD 1945;

d) Peran eksekutif menghormati kehendak rakyat dan melaksanakan kebijakan yang pro rakyat.

Dari segi karakter produk hukumnya, maka UU ini dikategorikan pada produk hukum responsif yang lahir dari konfigurasi politik yang demokratis, karena UU ini dapat mencerminkan aspirasi sebagian besar umat Islam dan rasa keadilan. Selain itu, UU ini merupakan perwujudan pemenuhan atas harapan masyarakat, seperti adanya perluasan absolut kompetensi pengadilan agama di bidang ekonomi syariah.

c. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap terbaik. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengatur berbagai persoalan yang juga diatur oleh berbagai peraturan hukum yang bersifat umum. Kompilasi Hukum Islam Indonesia adalah juga Hukum Islam selain sebagai Hukum Islam. Oleh karena itu, masih menuntut pemahaman yang sejalan dengan konsep-konsep hukum Islam yang universal.

(21)

kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang otoritatif, al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan ketentuan-ketentuan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khazanah intelektual klasik Islam, dan pengalaman peradaban masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang lain.

Perumusan Kompilasi Hukum Islam secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum dimaksud, berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia[8][14]. Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras.

Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia.

(22)

KHI Pasal 11 Peminangan dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak menikah atau wakilnya yang dipercaya. KHI Pasal 12 Peminangan dilakukan terhadap seorang perempuan yang belum pernah menikah atau perempuan yang sudah pernah menikah yang iddahnya telah habis. Larangan peminangan KHI Pasal 12 ayat 2, Peminangan dilarang terhadap:

a) Perempuan yang masih berada dalam iddah, kecuali yang ditinggal mati suaminya dapat dipinang secara sendirian (ta’ridl);

b) Perempuan yang sedang dipinang laki‐laki lain selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan.

Adapun pencegahan dan pembatalan perkawinanMenurut UU No. 1/1974

a) Pasal 13 “Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

b) Pasal 14 “Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan”

E. Studi Kasus Dalam Penerapan Hukum Islam Di Indonesia

Salah satu contoh permasalahan yang timbul dalam penerapan hukum Islam di Indonesia diantaranya adalah penerapan syariat Islam di Aceh dalam UUPA nomor11/2006 sebagai bentuk otonomi dalam peraturan daerah menampakkan adanya anomali serta penerapan hukum kewarisan dan legislasinya di Indonesia.

(23)

qanun asalkan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Akan tetapi pada sisi lain, kewenangan jurisdiksi terbatas ini menghadapi persoalan besar manakala proses inkorporasi hukum Islam dalam qanun syariat Aceh juga harus dibangun dalam bingkai dan lingkup sisitem hukum nasional, sehingga sedikit banyak (qanun syariat itu nantinya) harus mengalami berbagagai penyesuaian dengan realitas hukum yang berlaku di Indonesia.

(24)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Legislasi hukum Islam di Indonesia adalah cara yang digunakan untuk mengesahkan hukum Islam di Indonesia sebagai suatu hukum yang sah secara keseluruhan. Tujuan dari legislasi tersebut adalah tujuan legislasi hukum Islam itu sendiri tidak lain adalah untuk memperjelas pengkodifikasian, pengelompokan atau pengklasifikasian hukum-hukum islam di Indonesia sehingga mempermudah dalam penentuan atau penetapan suatu hukum.

b. Sejarah legslasi hukum Islam di Indonesia di mulai dari, masa pra penjajahan Belanda, masa penjajahan Belanda, masa pendudukan Jepang, masa kemerdekaan, masa revolusi hingga keluarnya dekrit presiden 5 Juli, masa orde baru, hingga pada masa reformasi.

c. Teor-teori pemikiran dalam legislasi hukum Islam di Indonesia meliputi: teori pemikiran formalistik-legalistik, teori pemikiran strukturalistik, teori pemikiran kulturalistik, teori pemikiran subtantialistik-aplikatif. Sedangkan strategi penerapannya meliputi: komponen struktur, komponen subtansi, dan kompnen kultur.

(25)

dalam penerapan hukum-hukum tersebut diantaranya adalah permasalahan penerapan qanun syariat di Aceh dan permasalahan penerapan hukum kewarisan.

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Agama RI. 2012. Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.

Latief, Husni Mubarrak dan Bukhari Ali. 2012. Problematika Legislasi Qanun Jinayat di Aceh Pasca Implementasi Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), Laporan Penelitian. Banda Aceh: Lembaga Penelitian (Lemlit) IAIN Ar-Raniry.

Muslehuddin, Muhammad. 1985. Hukum Darurat Dalam Islam. Bandung : Salman Ia

Referensi

Dokumen terkait

Bila dibandingkan dengan keadaan Agustus 2007 yang memiliki struktur perbandingan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja 70,16 % dan 29,84 %, maka terlihat telah terjadi

E-PURCHASING PPK 18 Pada halaman Detail Paket - tab Riwayat Paket, PPK dapat melihat proses ePurchasing produk Barang/Jasa Pemerintah yang telah dilaksanakan mulai dari paket

Peralihan fungsi lahan pertanian di Indonesia dapat terjadi karena adanya pengadaan tanah pembangunan untuk kepentingan umum dan perubahan alih fungsi lahan pertanian menjadi non

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pada hipotesis pertama mengenai Pengaruh citra merek secara signifikan terhadap keputusan pembelian sepeda motor matic

Ku kituna ieu panalungtikan anu judulna “Pupujian nu aya di Pondok Pasantrén Al-Barokah Bandung Pikeun Bahan Pangajaran Ngaregepkeun di SMP Kelas VII (Ulikan Semiotik,

Berdasarkan uji coba aplikasi dengan beberapa jenis handphone serta beberapa jenis Sistem Operasi, aplikasi Device Monitoring Task ini dapat berjalan dengan baik