• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Sistem Filsafat Pancasila (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Sistem Filsafat Pancasila (1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam kehidupan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Lima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr. Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.

(2)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pokok-Pokok Sila Pancasila (isi arti pancasila)

Secara arti kata pancasila mengandung arti, panca yang berarti “Lima” dan sila yang berarti “Dasar”. Dengan demikian, pancasila artinya lima dasar. Tetapi disini pengertian pancasila berdasarkan sejarah pancasila itu sendiri.

Apabila kita ingin benar-benar melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuan, maka kita tidak saja harus melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal dari Batang Tubuh (the body of the konstitutin) atau lebih dikenal isi dari UUD 1945 itu, tetapi juga ketentuan-ketentuan pokok yang termaksud dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena pembukaan UUD 1945 (walaupun tidak tercantum dalam satu dokumen dengan Batang Tubuh UUD 1945, seperti konstitusi (RIS) atau UUDS 1950) misalnya adalah bagian mutlak yang tidak dipisahkan dari Konstitusi Republuk Indonesia Tahun 1945; pembukaan dan Batang Tubuh kedua-duanya telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustua 1945.

Apabila kita berbicara tentang UUD 1945. maka yang dimaksud ialah Konstitusi (UUD) yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut pada tanggal 18 Agustus 1945 yang diumumkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun 1946 No.7 halaman 45-48, yang terdiri atas :

1. Pembukaan (Preambule) yang meliputi 4 alinea ; 2. Batang Tubuh atau isi UUD 1945, yang meliputi; 3. Penjelasan

(3)

suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Dalam penjelasan resmi arti pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung empat pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

 Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasar atas Persatuan;

 Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

 Negara Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan;

 Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Khusus bagian/alinea ke-4 dari pembukaan UUD 1945 adalah merupakan asas pokok Pembentukan pemerintah Negara Indonesia. Isi bagian ke-4 dari Pembukaan UUD 1945 itu dibagi ke dalam 4 hal:

1. Tentang hal tujuan Negara Indonesia, tercantum dalam kalimat “Kemudian daripada itu dan seluruh tumpah darah indonesia, yang

 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;  Memajukan kesejahteraan rakyat;

 Mencerdaskan kehidupan bangsa;

 Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

2. Tentang hal ketentuan diadakannya Undang-Undang Dasar tercantum dalam kalimat yang berbunyi: “maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”;

3. Tentang hal bentuk Negara dalam kalimat: yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat;

4. Tentang hal Dasar Falsafah Negara Pancasila.

(4)

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, naskah politik yang bersejarah itu dijadikan Rancangan Pembukaan UUD sebagai bahan pokok dan utama bagi penyusunan/penetapan Pembukaan (Preambule) UUD yang akan ditetapkan itu.

Naskah politik yang bersejarah yang disusun pada tanggal 22 Agustus 1945 itu, dikemudian hari oleh Mr.Muhamad Yamin dalam pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK) pada tanggal 11 Juni 1945 dinamakan “Piagam Jakarta” dan baru beberapa tahun kemudian dimuat dalam bukunya yang berjudul Proklamasi dan Konstitusi pada tahun 1951.

Dalam naskah politik yang disebut dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 inilah untuk pertama kali dasar falsafah Negara pancasila ini dicantumkan secara tertulis, setelah diusulkan oleh Ir.Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Adapun panitia perumus yang beranggotakan 9 orang yang telah menyusun Piagam Jakarta itu adalah salah satu panitia kecil dari Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945.

Di atas telah dijelaskan tentang pentingnya Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun besar arti pentingnya Pembukaan Undang-Undang Dasar itu ialah karena pada aline ke 4 itu tercantum ketentuan pokok yang bersifat fundamental, yaitu dasar falsafah Negara Republik Indonesia yang dirumuskan dalam kata-kata berikut: ….”maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:

1. Ketuhanan Mang Maha Esa,

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia,

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

(5)

atau dasar tersebut adalah pancasila, kita harus menafsirkan sejarah (maupun penafsiran sistematika) yakni menghubungkannya dengan sejarah lahirnya pancasila itu sendiri pada tanggal 1 Juni 1945, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

Berkenaan dengan perkataan pancasila, menurut Prof.Mr.Muhamad Yamin (Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia) pada halaman 437 antara lain sebagai berikut “Perkataan Pancasila” yang kini telah menjadi istilah hukum, mula-mula ditempa dan dipakai oleh Ir.Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 untuk menamai paduan sila yang lima. Perkataan itu diambil dari peradaban Indonesia lama sebelum abad XIV. Kata kembar itu keduanya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu panca dan sila yang memiliki arti yang berbeda. Pancasila dengan huruf i biasanya memiliki arti berbatu sendi yang lima (consisting of 5 rocks; aus fund Felsen bestehend). Pancasila dengan huruf i yang panjang bermakna “5 peraturan tingkah laku yang penting”.

Kata sila juga hidup dalam kata kesusilaan dan kadang-kadang juga berarti etika. Dalam bahasa Indonesia kedua pengertian diatas dirasakan sudah menjadi satu paduan antara sendi yang lima dengan lima tingkah laku yang senonoh.

Dari uraian diatas, bahwa pancasila sebagai istilah perkataan Sansekerta yang sudah dikenal di tanah air kita sejak abad XIV. Sedangkan pancasila dalam bentuk formalnya sebagai dasar Falsafah Negara Republik Indonesia baru diusulkan pada tanggal 1 Juni 1945.

B. Pengertian Sistem

 Pengertian sistem menurut Wikipedia Indonesia adalah sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat.

(6)

 Pengertian Sistem Menurut Para Ahli

Istilah sistem merupakan istilah dari bahasa yunani “system” yang artinya adalah himpunan bagian atau unsur yang saling berhubungan secara teratur untuk mencapai tujuan bersama.

Pengertian sistem menurut sejumlah para ahli :

1. L. James Havery

Menurutnya sistem adalah prosedur logis dan rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

2. John Mc Manama

Menurutnya sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien.

3. C.W. Churchman.

Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang dikoordinasikan untuk melaksanakan seperangkat tujuan.

4. J.C. Hinggins

Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang saling berhubungan.

5. Edgar F Huse dan James L. Bowdict

Menurutnya sistem adalah suatu seri atau rangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan dan bergantung sedemikian rupa sehingga interaksi dan saling pengaruh dari satu bagian akan mempengaruhi keseluruhan.

C. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat 1. Tahu Dan Pengetahuan, Ilmu dan Filsafat

a. Tahu dan Pengetahuan

(7)

tahu, maka ilmu dan filsafat tidak mungkin akan didapat. Berbagai hasil dari tahu yang ia telah miliki maka manusia mempunyai pengetahuan, berbagai tahu tentang bercocok tanam, maka ia mempunyai pengetahuan bercocok tanam. Lalu apakah tahu itu? Dan bagaimana mendapatkannya? Tahu didapat karena manusia kontak dengan objek atau benda-benda diluar dirinya atau juga dengan dirinya sendiri dan proses kontaknya itu dalam kesadaran (yang artinya manusia memahami apa yang dialaminya) dan kemudian tersimpan dalam pikiran (ingatan/memori) dan mengendap (save). Selama tersimpan (memori) itulah manusia mempunyai tahu, dan tahu yang banyak tentang sesuatu hal yang sama disebut mempunyai pengetahuan. Misalnya tahu banyak tentang memasak maka ia mempunyai pengetahuan memasak, tetapi memiliki pengetahuan yang sesuatu belum tentu telah mempunyai ilmu tentang sesuatu tersebut, karena ilmu memerlukan syarat-syarat lebuh lanjut.

Cara mendapatkan pengetahuan ada dua cara, yaitu pertama usaha sendiri dengan cara pengamatan atau tangkapan sendiri, dengan melihat dan merasakan sendiri atau secara lebih luas lagi dengan pengalaman indera sendiri, dari jenis ini pengetahuan bersifat sangat subjektif. Dan yang kedua melalui perantaraan orang lain, yang ini ada dua macam, yang pertama secara langsung misalnya diberitahukan secara individu, atau melalui forum informasi umum (khalayak), sedang yang kedua secara tidak langsung, atau melalui media informasi, baik melalui media informasi elektronik, maupun media cetak. Dari berbagai cara tersebut manusia dapat memperoleh pengetahuan sesuai yang ia terima dan inginkan.

2. Sumber Timbulnya Pengetahuan

Ada tiga pandangan/aliran tentang sumber timbulnya pengetahuan, yaitu :

a) Aliran Emperisme; mengatakan bahwa semua pengetahuan awalnya diperoleh dari hasil tangkapan indera manusia. Tokoh aliran ini adalah John Locke (1632-1704) dengan teorinya “tabula rasa”, yang artinya bahwa anak yang baru lahir diibaratkan sebagai kertas putih yang masih kosong belum terisi pengetahuan.

b) Aliran Rationalisme; mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah pada “akal manusua”. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1660) dengan metode keraguannya “cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir maka saya ada”.

(8)

I. Aspek Ontologis

Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila menurut Notonagoro(1971), hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia. Mengapa? Karena manusia merupakan subjek hukum pokok dari sila-sila Pancasila.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakikatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).

Dengan demikian, secara ontologis hakikat dasar keberadaan dari sila-sila Pancasila adalah manusia. Untuk hal ini, Notonagoro(1971) lebih lanjut mengemukakan bahwa manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak. Yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, serta jasmani dan rohani. Selain itu, sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, secara hierarkis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila pancasila (Kaelan, 2005).

Selanjutnya, Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan, serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri, sekaligus sebagai makhluk Tuhan Konsekuensinya, segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat manusia monodualis tersebut.

Kemudian, seluruh nilai-nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai-nilai Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, tugas/kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum negara, moral negara serta segala aspek penyelenggaraan negara lainnya.

II. Aspek Epistemologi

(9)

ontologisnya. Oleh karena itu, dasar epistemologi Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.

Menurut Titus (1984;20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu :

a. Tentang sumber pengetahuan manusia

b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; serta c. Tentang watak pengetahuan manusia.

Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek kajian pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Adapun tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia itu sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa materialis Pancasila.

Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan berbentuk piramida, yaitu :

a. Sila pertama pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya;

b. Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kelima;

c. Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima;

d. Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima, serta

e. Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.

Demikianlah, susunan pancasila memiliki sistem logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut kualitas ataupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Kedudukan dan kodrat manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, sesuai dengan sila pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.

(10)

untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi. Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

Sebagai suatu paham epistemologi, Pancasila memandang bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia itulah sebabnya Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.

III. Aspek Aksiologi

Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologi, maka nilai-nilai yang terkandung dalamnya pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Selanjutnya, aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness), dan kata kerja yang artinya sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena; 229).

Di dalam Dictionary of Sociology’ an Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Dengan demikian, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, sesuatu itu mengandung nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang melekat padanya, misalnya bunga itu indah, perbuatan itu baik, indah dan baik adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Jadi, nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.

(11)

pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai, yaitu manusia. Hal ini bersifat subjektit, tetapi juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya nilai sesuatu itu melekat pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.

Notonagoro(1971) merinci tentang nilai, ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini, manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda bergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada yang mendasarkan pada orientasi nilai material, tetapi ada pula yang sebaliknya, yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Nilai material relatif lebih mudah diukur menggunakan panca indera ataupun alat pengukur. Akan tetapi, nilai yang bersifat rohaniah sulit diukur, tetapi dapat juga dilakukan dengan hati nurani manusia sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, serta karsa dan keyakinan manusia (Kaelan, 2005).

Menurut Notonagoro(1971), nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai-nilai kerohanian itu juga mengandung nilai-nilai-nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, seperti nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, ataupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistemik-hierarkis. Sehubungan dengan ini sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari semua sila-sila Pancasila (Darmodihardjo: 1978).

Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia.

D. Hierarkhi/Jenjang Pengetahuan

Pengetahuan manusia dapat dikelompokkan dalam 3 jenjang atau tingkatan, yaitu : a) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge)

Pengetahuan biasa disebut juga pengetahuan sehari-hari yang dimiliki setiap orang, pengetahuan praktis yang berguna bagi kehidupan orang. Pengetahuan ini bersifat individual, subjektif dan terpecah-pecah (pragmatis) yang umumnya diperoleh melalui kebiasaan, yaitu pengalaman yang berulang-ulang.

(12)

Pengetahuan adalah syarat bagi manusia untuk memperoleh ilmu/ilmu pengetahuan. Pengetahuan mempunyai kedudukan dan kualifikasi sebagai ilmu pengetahuan apabila mengandung empat syarat yaitu ada objek, ada metode, ada system dan berlaku umum.

b.1 Ada objeknya, yaitu yang merupakan sasaran penyelidikan, hal ini ada dua macam : objek material dan objek formal. Objek material adalah benda-benda atau hal yang menjadi sasaran, sedang objek formal adalah aspek dari sasaran yang ingin dikaji. b.2 Ada metodenya, yaitu suatu cara pendekatan, bahwa suatu ilmu memerlukan cara-cara pendekatan yang khas tertentu untuk mendapatkannya.

b.3 Ada sistemnya, yaitu suatu kebulatan keutuhan tersendiri bahwa setiap ilmu mempunyai kebulatan dan keutuhan sendriri terpisah dengan ilmu lain diluarnya. b.4 Harus berlaku umum, maksudnya adalah bahwa pengetahuan yang telah didapat harus dapat dipresentasikan dan diterima serta dibenarkan oleh orang banyak terutama oleh pakar dibidangnya. Selama tidak demikian maka pengetahuan tersebut menjadi pengetahuan subjektif yang hanya dimiliki dan dibenarkan oleh yang bersangkutan. c) Pengetahuan Filsafat (philosophic knowledge)

Syarat-syarat pengetahuan filsafat sama sebagaimana pengetahuan ilmiah, yaitu berobjek, bermetode, bersistem, dan berlaku umum, yang berbeda dari segi kedalaman dan keluasannya.

Selain dari segi metode dan sistem yang pada dasarnya sama, maka dari segi objek dan sifat umumnya yang dimiliki mempunyai perbedaan-perbedaan yang tegas. Dari segi objek, objek material filsafat adalah meliputi segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, sedangkan objek formal dari filsafat adalah mengkaji hakikat atau esensi dari segala sesuatu (objek material) tersebut, dan hakikat inilah ciri khas yang dicari filsafat sehingga lazim dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu mencari hakikat. Selanjutnya dari segi sifat umum, filsafat mempunyai sifat yang lebih umum lagi, yaitu seumum-umumnya atau universal (tidak terikat pada ruang dan waktu). Lalu timbul pertanyaan “ apa hakikat itu?”. Hakikat adalah unsur-unsur (dasar) yang terdalam dari sesuatu hal (benda) yang mempunyai sifat abstrak, mutlak, tetapi tidak berubah.

E. Pemahaman Arti Filsafat

Pemahaman tentang arti filsafat dibedakan kedalam tiga macam menurut pendekatannya atau tinjauan, yaitu pertama arti menurut pendekatan etimologis, kedua arti menurut pendekatan terminologis, dan arti dari tinjauan kandungan isinya.

1) Arti Etimologis

(13)

keinginannya yang besar maka orang lalu berusaha untuk menggapai keinginannya itu. Sofia artinya kearifan/kebijaksanaan bisa juga kebenaran. Bijaksana juga kata asing yang artinya adalah pandai atau tahu yang mendalam. Dengan demikian, arti filsafat adalah cinta atau keinginan yang besar untuk mendapatkan kearifan, kebijaksanaan dan kebenaran pengetahuan.

2) Arti dari tinjauan Terminologis/Histories

Arti terminology berkaitan dengan penggunaan istilah itu sendiri. Kata filsafat bermula lahir dari penggunaan kata dasar dari sofis, yang artinya bijaksana, serta tahu, serba benar yang mewarnai kehidupan orang-orang Yunani pada zamannya. Sehingga lahirlah aliran sofisme yang berkembang pada masyarakat Yunani pada abad ke 4 SM. Aliran sofisme yang umumnya berkembang dalam lembaga-lembaga pendidikan, mereka menyatakan bahwa apa yang mereka ajarkan kepada anak didik adalah yang paling benar, paling baik, paling bijak, dan dengan slogan ini sebagai upaya menarik kaum muda belajar pada lembaga pendidikan yang dikelolanya, dan ternyata banyak kawula muda masuk pada lembaga-lembaga ini walaupun dengan biaya cukup tinggi. Pada masa aliran sofisme tumbuh subur ini berdiri juga suatu perguruan yang dipimpin oleh seorang filosof terkenal yang bernama Socrates (469-399 SM). Lembaganya juga memberi pengajaran yang diikuti berbagai kalangan dari mulai orang tak punya hingga keturunan bangsawan, semuanya tidak ditarik bayaran. Lebih dari itu lembaganya tidak mau salah masuk aliran sofisme, karena menurut Socrates, tidak pantas memberi nama sofisme (bijaksana) karena nama itu hanya milik Tuhan yang menciptakan alam ini, sedang ia hanya ingin mendekatinya saja. Ia ingin, cinta kepada kebijaksanaan, cinta kepada sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan, Allah pencipta alam semesta ini. Dengan kajiannya yang tekun Socrates telah menemukan kebenaran, paling umum dan objektif dibanding dengan ajaran ajaran kaum sofis lainnya dan bahkan telah menemukan kebenaran Tuhannya, itulah sebabnya dia tidak mau menggunakan istilah sofis, akan tetapi menggunakan istilah filosofis. Namun dengan pendiriannya ini kemudian melahirkan masalah bagi dirinya terhadap kaum sofis dan negaranya, yang akhirnya harus menerima hukuman mati karena konsistensi pendiriannya itu.

3) Arti Filsafat ditinjau dari isi makna kandungannya

(14)

yang bersifat mutlak, tetap dan tidak berubah, dan unsur itu hanya ada dalam alam pikir (ratio) manusia, jadi bersifat abstrak. Unsur-unsur ini lazim disebut dengan nama hakikat, atau essensi dari segala sesuatu objek materialnya.

F. Filsafat Pancasila Dalam Konteks Pendidikan Kewarganegaraan

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental, dan menyeluruh. Untuk itu, sila-sila Pancasila merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan utuh, hierarkis, dan sistematis. Dalam pengertian inilah, sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila tidak terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, tetapi memiliki esensi serta makna yang utuh.

Pancasila sebagai sistem filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan harus berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan yang merupakan masyarakat hukum (legal society).

Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga negara, yaitu sebgai bagian persekutuan hidup yang mendudukkan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya atau makhluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup, manusia harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu konsekuensinya, hidup kenegaraan itu haruslah didasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka itu, negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama, dalam hidup kenegaraan harus diwujudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warga. Dengan demikian, untuk mewujudkan tujuan, seluruh warga negara harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama (hakikat sila kelima).

G. Fungsi Dan Tujuan Filsafat Pancasila

(15)

a) Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia

b) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia

c) Pancasila sebagai sumber hukum dasar bangsa Indonesia

 Tujuan filsafat pancasila sebagai berikut:

a. Untuk membentuk kepribadian yang seimbang yaitu keseimbangan dengan unsur intelektual jasmani dan rohani.

b. Untuk membentuk manusia yang berjiwa pancasila sejati yang taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung keadilan, memiliki kejujuran serta bertanggung jawab. c. Untuk menumbuhkan wawasan berfikir integralistik, menjunjung tinggi nilai filosofis

(16)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sedangkan Pancasila sebagai sistem filsafat adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama antara sila yang satu dengan sila yang lain untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh yang mempunyai beberapa inti sila, nilai dan landasan yang mendasar.

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.

 Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:

1. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.

2. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut:

 Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;

 Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4 dan 5;  Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5;  Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan menjiwai sila 5;  Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.

 Inti sila-sila Pancasila meliputi:  Tuhan, yaitu sebagai kausa prima.

 Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial.  Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri.

 Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong.

(17)

B. Saran

Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Tim Dosen Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Hasanuddin. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. UPT MKU UNHAS: Makassar.

Darmodiharjo, Darji. 1996. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Fukuyama, F. 1989. The End of History, dalam National Interest, No.16. Dikutip dari Modernity and Its Future. Polity Press: Cambridge.

Kaelan. 2005. Filsafat Pancasila sebagai Filsafat Bangsa Negara Indonesia. Makalah pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan: Jakarta.

Notonagoro. 1971. Pengertian Dasar bagi Implementasi Pancasila untuk ABR1. Departemen Pertahanan dan Keamanan: Jakarta.

Poespowardoyo, Soeryanto. 1989. Filsafat Pancasila. Gramedia: Jakarta.

Pranarka, A.W.M. 1985. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. CSIS: Jakarta.

Suseno, Franz, Magnis. 1987. Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Modern. PT Gramedia: Jakarta.

Titus Harold, Marilyn S., Smith, and Richard T. Nolan. 1984. Living Issues Philosophy, diterjemahkan oleh Rasyidi. Penerbit Bulan Bintang: Jakarta.

http://www.sarjanaku.com/2011/05/pengertian-pancasila.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem

http://liavietri.blogspot.com/2010/02/pengertian-sistem.html

http://sahabatriswanto.blogspot.com/2011/01/tujuan-filsafat-pancasila.html

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mendapat penjelasan dari penelitian tentang “ Pengetahuan dan Sikap ibu Hamil Trimester III terhadap Pencegahan Anemia Defisinesi Zat Besi di Klinik Cahaya Kecamatan

al, paradigm pendidikan Islam upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.75-80.. Pembelajaran merupakan suatu kombinasi

“Dalam perencanaan mema ng semuanya harus jelas, karena di RPP itukan menyangkut apa-apa yang akan kami lakukan dalam pembelajaran, walaupun nantinya dalam proses tidak

Based on the results and discussion that has been obtained, it can be concluded that: The process of application of learning models of children learning in

metode. Pertama, peneliti menerapkan triagulasi dengan sumber, peneliti membandingkan dan mengecek balik informasi yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data

[r]

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui varian konsentrasi elektrolit lumpur aktif manakah yang menghasilkan beda potensial terbesar

Bahan ajar dirancang dengan memperhatikan keterhubungan representasi kimia antara level maksroskopik, submikroskopik dan simbolik di dukung dengan adanya mode