• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gereja dan Pembaharuan Sosial kyai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gereja dan Pembaharuan Sosial kyai "

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Transformasi 10/1 (Juni 2014)

GEREJA DAN PERUBAHAN SOSIAL:

Perspektif Perjanjian Baru

Chandra Gunawan

Abstrak

Perjanjian Baru adalah firman Allah yang berotoritas dimana ajaran di dalamnya bersifat tidak terikat waktu (berlaku sepanjang zaman). Di sisi yang lain, ajaran Perjanjian Baru disampaikan dalam situasi dan kondisi tertentu yang menjadi konteks atau bingkai sejarah dari pesan/ajaran yang bersifat kekal tersebut; jika kita mengabaikan konteks atau bingkai sejarah yang membungkus pesan/ajaran dari Perjanjian Baru, kita dapat salah memahami ajaran dalamnya. Itulah sebabnya penting bagi kita untuk memahami pergumulan sosial masyarakat abad pertama masehi yang menjadi konteks dari ajaran Perjanjian Baru, dan kita akan melihat bahwa Perjanjian Baru bukan sekedar kumpulan rumusan ajaran, namun rumusan ajaran yang diimplementasikan dalam konteks pergumulan sosial zamannya.

Kata Kunci: Pergumulan sosial, ketegangan hubungan Yahudi dan non-Yahudi, keterlibatan kaum perempuan, kemiskinan

(2)

namun − menurut penulis − orang-orang Kristen, khususnya di Indonesia, lebih banyak memandang PB “sebagai” firman Allah; orang-orang Kristen memang dapat berbeda pandangan dalam

mengartikan istilah “sebagai” pada saat membicarakan mengenai

hubungan Alkitab/PB dengan firman Allah, namun kebanyakan orang Kristen percaya bahwa Alkitab/PB bukanlah sekedar dokumen sejarah, namun tulisan yang berotoritas (firman Allah).

Tulisan-tulisan PB, walaupun diyakini sebagai firman Allah sebab tulisan tersebut diilhami oleh Roh Kudus (lih. 2 Tim 3:16; 2 Pet. 1:20-21), dituliskan dalam konteks tertentu; tulisan-tulisan tersebut dituliskan dalam kebudayaan dan kehidupan sosial dari masyarakat Yahudi, Yunani serta Romawi pada abad pertama masehi. Green (2010:1-14) mengingatkan bahwa teks kitab suci--termasuk PB--memiliki konteks yang mempengaruhi baik penulis, teks, maupun pembacanya. Itulah sebabnya, mengabaikan konteks baik dari penulis, dari apa yang teks nyatakan, dan konteks dari pembacanya dapat membuat kita salah dalam memahami pesan yang ingin disampaikan Tuhan kepada kita.

(3)

Pendekatan sosial memberikan kontribusi yang penting dan berharga dalam memahami tulisan PB. Pendekatan ini memberikan kontribusi dalam melihat kaitan antara tulisan-tulisan PB dengan pergumulan sosial masyarakat zamannya. Dalam tulisan ini, penulis akan menelaah mengenai kaitan pergumulan sosial dari masyarakat Yahudi serta Yunani-Romawi era abad pertama masehi; hal ini penting sebab hal tersebut akan menolong kita untuk melihat beberapa konteks ril dari pergumulan gereja abad pertama masehi yang menjadi penerima/pembaca tulisan PB; dan dengan mengetahui adanya pengaruh dari pergumulan sosial dari gereja mula-mula dalam tulisan PB, kita akan dibawa kepada pemahaman untuk melihat kitab suci bukan hanya sebagai kumpulan rumusan ajaran, namun me-mahami rumusan ajaran tersebut dalam konteksnya yakni pergumulan jemaat; pemahaman ini akan memberikan kontribusi bagi orang-orang Kristen masa kini untuk membangun teologi dalam konteks.

Pergumulan sosial yang dialami oleh masyarakat Yahudi dan Yunani-Romawi yang hidup di era abad pertama masehi tentunya bersifat kompleks; terdapat beragam isu sosial--termasuk dalamnya isu politik, hubungan antara anggota masyarakat, pajak, dst--yang muncul pada waktu itu (lih. Jeffers 1999). Itulah sebabnya, kita perlu menyempitkan pembahasan kita pada beberapa isu sosial yang secara khusus dibicarakan/terindikasi dalam tulisan PB. Dalam artikel ini, aspek pergumulan sosial yang dibicarakan akan terfokus pada (i) hubungan Yahudi dan non-Yahudi/Gentile, (ii) sikap terhadap kaum perempuan, dan (iii) sikap terhadap orang-orang miskin.

Pergumulan Sosial Masyarakat Abad Pertama Masehi

a. Hubungan Yahudi dan non-Yahudi abad pertama masehi

(4)

non-Yahudi dapat terlihat dalam Letter of Aristeas 139 yang ditulis sekitar abad ke-3 SM-1 M (lih.Shutt 1985: 22):1

in his wisdom the legislator, in a comprehensive survey of each particular part, and being endowed by God for the knowledge of universal truth, surrounded us with unbroken palisades and iron walls to prevent our mixing with any of the other people in any matter, being thus kept pure in body and soul…

McKnight (1991:27) melihat bahwa alasan utama penolakan orang-orang Yahudi terhadap kelompok non-Yahudi bukanlah disebabkan (i) mereka memiliki nasionalisme yang ekstrem terhadap identitas diri mereka, dan juga bukan karena (2) kebencian rasial terhadap kelompok non-Yahudi, namun karena cara hidup kelompok non-Yahudi yang dipandang berdosa oleh orang-orang Yahudi. Donaldson (1997:52-54) juga menjelaskan bahwa sikap yang tertutup dari orang-orang Yahudi tidak berarti mereka benar-benar tidak

memberi “pintu masuk” bagi kelompok non-Yahudi sebab ada tempat yang disediakan bagi mereka yang bertobat (bdk McKnight, 1991:12; Boccaccini, 1991:252-256);2 ketertutupan sikap orang-orang Yahudi

1 Penolakan terhadap orang-orang bukan Yahudi juga nampak dalam Jubilees (ps.

15:26), Qumran (IQS 2.4-9), Testament of Moses (ps. 1.12-13) dan IV Ezra (lih.Donaldson1997:52-54). Hayes (2002:73-81) menjelaskan bahwa dalam kitab Jubilees, penulis kitab tersebut memiliki sikap yang ekstrem terhadap kelompok non-Yahudi, bagi mereka kalaupun orang-orang bukan Yahudi dapat diterima dalam komunitas Israel, namun orang Yahudi dilarang untuk menikah dengan mereka.

2 Literatur Joseph and Aseneth 15:3-4, Antiquities 20.2.3-4, Yudit 14:5-10,

memperlihatkan adanya keterbukaan orang Yahudi terhadap orang-orang non-Yahudi. (Lih.Donaldson 1997:54-55);McKnight (1991:12-19) menjelaskan setidaknya ada 8 aspek yang membuat orang-orang Yahudi terbuka dengan orang-orang bukan Yahudi yakni: (i) Universalism, (ii) Friendliness, (iii) Gentiles participation in the Jewish religion, (iv) Citizenship and official recognition, (v) Hellenistic education, (vi) Intermarriage, (vii) Assimilation, (viii) Apostacy. Donaldson (1997:54-55) melihat keterbukaan orang-orang Yahudi terhadap orang non-Yahudi, berakar dalam tradisi PL mengenai penerimaan orang-orang non-Yahudi dalam masyarakat Yahudi,

(5)

mengekspresikan rasa pesimis mereka terhadap pertobatan kelompok non-Yahudi. Di sisi yang lain, kita juga menemukan bahwa ada keterbukaan terhadap kaum non-Yahudi; hal tersebut dapat kita lihat salah satunya dalam Sir.18:13 (ditulis sekitar abad ke-2 SM) “Belas kasihan manusia hanya merangkum sesamanya, sedangkan belas kasihan Tuhan melingkungi segala makhluk. Tuhan menegur, menyiasati serta mengajar manusia, dan membawa kembali seperti

seorang gembala kepada kawanannya.”

Walaupun kita dapat menemukan adanya indikasi keterbukaan dalam komunitas Yahudi terhadap kelompok non-Yahudi dimana hal ini terlihat salah satunya melalui adanya tempat tertentu yang

diberikan kepada kelompok orang yang disebut sebagai “orang yang takut akan Allah,” (Lih. Collins 2000: 264-270) namun secara umum orang-orang Yahudi bersikap tertutup kepada bangsa bukan Yahudi

kecuali mereka yang menjadi seorang “proselyte” (bdk. Gunawan

2011:83-107). Dalam literatur PB, kita menemukan berbagai indikasi yang memperlihatkan tertutupnya orang-orang Yahudi terhadap orang non-Yahudi; hal ini dapat kita lihat salah satunya dalam insiden di Antiokhia yang dibicarakan Paulus dalam Galatia 2:11-14 (bdk. Gunawan 2009:233-258); dan sikap yang tertutup ini menimbulkan masalah dalam gereja mula-mula.

Sikap yang tertutup bahkan bermusuhan pada dasarnya juga dimiliki oleh orang-orang non-Yahudi terhadap orang-orang Yahudi. Berbagai kesulitan yang dialami oleh orang-orang Yahudi baik sebelum maupun pada abad pertama masehi memperlihatkan adanya sikap yang tertutup bahkan bermusuhan dari orang-orang non-Yahudi terhadap orang-orang Yahudi; salah satu contoh dari kesulitan yang harus dihadapi oleh orang-orang Yahudi dari orang-orang non-Yahudi adalah pengusiran orang-orang Yahudi dari Kota Roma (lih. Feldman and Reinhold 1996: 313-314).

(6)

adanya usaha dari penulisnya--kemungkinan besar Paulus--untuk mendamaikan relasi yang rusak antara kelompok orang Yahudi dan non-Yahudi (Bdk. Carson & Moo 2005:479-497).

b. Sikap terhadap kaum perempuan dalam masyarakat abad pertama masehi

Witherington III(1988:6-7) menjelaskan bahwa dalam masyarakat Yunani, selain kaum perempuan yang menjadi pelacur dan budak,

kaum perempuan terbagi tiga kategori yakni “anthenians citizen, concubines, and companions or foreign woman.”3 Pada umumnya

kaum perempuan Yunani dianggap lebih rendah statusnya dari kaum pria, namun tidak semua kaum perempuan mengalami perendahan status; ada kaum perempuan tertentu yang memiliki status sosial yang tinggi dan dihormati dalam masyarakat (bdk.Oerke, 1968:777; Evans, 1983:39).4 Pembatasan-pembatasan yang diberikan kepada kaum

perempuan Yunani dapat terlihat dalam perlakukan mereka dimana mereka terkadang tidak boleh ke pasar, tidak boleh bertemu sanak familinya dan cenderung terisolir dalam rumahnya (lih.Keener 1992:23); bahkan untuk seorang perempuan yang menjadi warga Athena sekalipun, mereka dibatasi haknya dengan tidak boleh menjadi saksi di pengadilan, kecuali untuk kasus bunuh diri (bdk.Witherington III 1988:8-9). Dalam hal keagamaan, kita sulit untuk melihat sikap masyarakat Yunani terhadap kaum perempuan (bdk Conzelman 1975:184-185); kita memang melihat bahwa dalam ritual keagamaan

3 Yang dimaksudkan dengan “concubines” adalah kaum perempuan yang terikat dengan seorang warga Yunani yang berperan sebagai “pelayan” yang mengurusi

kebutuhan pria berkewargaan Yunani tersebut, khususnya dalam hal kebutuhan seksual. Sedangkan yang dimaksudkan dengan “companions” atau “foreign woman: adalah kaum perempuan yang memiliki hak-hak yang sangat terbatas, mereka berada di atas budak namun lebih rendah dari “concubines,” misalnya saja: mereka tidak boleh menikah dengan seorang pria warga Yunani.

4 Masyarakat Yunani pada mulanya memiliki sikap yang lebih baik terhadap kaum

(7)

mereka ditemukan indikasi adanya keterlibatan kaum perempuan, namun peran mereka adalah sebagai pelacur bakti (bdk.Stambauch & Balch 1997:194-195).

Masyarakat Romawi memandang kaum perempuan lebih baik dari pada orang-orang Yahudi maupun Yunani sebab mereka memandang kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki (bdk.Oerke 1968:779). Dalam budaya Romawi, kaum perempuan memiliki hak-hak dalam ekonomi, politik, keagamaan dan dalam perceraian (bdk. Oerke 1968:780; Evans 1983:39).5 Dalam hal

keagamaan kaum perempuan Romawi dipandang sederajat dengan kaum laki-laki, hal ini nampak dalam salah satu ukiran batu di Museo yang memperlihatkan adanya kaum perempuan dengan tudung di kepalanya sedang membawa persembahan (lih.Witherington III 1995: 233; Keener 1993: 585).

Dalam masyarakat Yahudi, kaum perempuan seperti halnya dalam masyarakat Yunani dipandang lebih rendah dari kaum laki-laki (bdk.Oerke1968:761; Jewett 1975:93). Yosefus mengatakan bahwa kaum perempuan dalam segala hal lebih inferior dibandingkan laki-laki (Lih.Evans 1983:33). Warisan tradisi yang diterima oleh orang-orang Yahudi bahwa seseorang-orang harus berbahagia karena tidak dilahirkan sebagai perempuan memperlihatkan cara pandang yang negatif terhadap kaum perempuan (Jewett1975:92). Dalam hal ibadah, kaum perempuan juga menempati posisi kedua; hal ini nampak misalnya saja dalam hal pemberian Taurat yang hanya diberikan kepada kaum laki-laki, perempuan tidak diijinkan untuk menjadi saksi, dan tempat kaum perempuan dipisahkan dari kaum laki-laki (lih.Oerke 1968:775-778; Banks 1988: 128). Meskipun secara umum, pandangan orang Yahudi terhahap perempuan adalah negatif, namun ada juga yang memandang sebaliknya; sebagai contoh dalam literatur Yudith, kita menemukan perspektif yang berbeda dari cara pandang umum masyarakat Yahudi, tokoh yang kemudian diperlihatkan

5 Dalam masyarakat Romawi, kaum perempuan berhak menuntut cerai sama seperti

(8)

sebagai pahlawan justru adalah kaum perempuan (bdk deSilva 2002:105-106).

Isu mengenai kaum perempuan yang diperlakukan lebih rendah dari laki-laki memang tidak menjadi isu sepenting masalah ketegangan hubungan orang Yahudi dan non-Yahudi; meskipun demikian, isu ini turut, khususnya mengenai keterlibatan kaum perempuan dalam pertemuan ibadah, menjadi persoalan dalam komunitas gereja mula-mula. Dalam 1 Korintus 11:2-16; 14:34-40 kita menemukan adanya indikasi persoalan dalam jemaat yang muncul karena isu keterlibatan kaum perempuan dalam ibadah; isu ini jelas merupakan bagian dari isu sosial dari masyarakat Yahudi, Yunani-Romawi pada abad pertama masehi (bdk. Gunawan 2013:199-225).

c. Persoalan kemiskinan dalam masyarakat abad pertama masehi

Jeffers (1999: 180-189) memperlihatkan bahwa kelompok masyarakat terbanyak di era abad pertama masehi (era pemerintahan Romawi) adalah kelompok orang miskin. Kelompok orang miskin dalam masyarakat abad pertama masehi terbagi ke dalam dua kategori yakni kelompok orang-orang miskin yang bekerja setiap hari hanya untuk memenuhkan kebutuhan harian mereka; dengan kata lain, mereka adalah kelompok orang yang memiliki penghasilan, namun penghasilan mereka tidak besar; kelompok kedua adalah orang-orang yang tidak bekerja yang hidupnya bergantung pada sumbangan dari orang lain, contohnya adalah para janda, anak yatim dan orang-orang sakit (Jeffers 1999:188-189).

Kehidupan masyarakat abad pertama masehi juga membentuk bukan hanya status sosial yang berbeda, namun juga membentuk

“ordo” sosial yang berbeda. Status sosial tertutama terkait dengan

kedudukan seseorang dalam masyarakat yang sifatnya bisa berubah, misalnya saja perubahan status sosial dari seorang budak menjadi

orang merdeka; di sisi yang lain “ordo” sosial terutama terkait dengan

(9)

181-182). Isu mengenai kemiskinan terkait dengan baik persoalan

status maupun “ordo sosial seseorang”; walaupun secara “ordo”

seseorang sulit untuk berubah, namun karena status sosial seseorang dapat berubah, maka kepemilikan harta dan pendidikan menjadi hal yang dipandang penting oleh masyarakat.

Dalam tulisan PB, kita melihat bahwa kemiskinan merupakan bagian dari pergumulan masyarakat Yahudi maupun komunitas Kristen. Pelayanan yang Yesus lakukan terhadap orang-orang sakit, dan perhatian dari gereja mula-mula terhadap kaum janda, pada dasarnya memperlihatkan respons dari baik Yesus maupun gereja mula-mula terhadap kelompok orang yang bukan hanya miskin,

namun kelompok orang yang “tidak berdaya” yang hidupnya

bergantung pada sumbangan atau sokongan orang lain. Ucapan

“berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Allah,” pastilah disampaikan Yesus dalam konteks kemiskinan seperti yang dialami oleh para janda, anak yatim dan orang sakit, dimana mereka bukan hanya miskin dalam hal materi, namun mereka adalah kelompok orang yang tidak berdaya.

Sikap Gereja Terhadap Pergumulan Sosial Abad Pertama Masehi

a. Respons gereja mula-mula terhadap isu ketegangan hubungan antar Yahudi dan non-Yahudi

(10)

non-Yahudi; kita melihat bahwa komunitas Matius nampaknya menolak sikap yang eksklusif dari orang Yahudi dan menuntut sikap yang terbuka dari komunitas Matius terhadap orang-orang non-Yahudi. Injil Matius diawali (contohnya dalam bagian silsilah Yesus dan kunjungan dari orang-orang Majus) dan diakhiri (lih. matius 28:18-20) dengan penekanan yang sama bahwa bangsa bukan Yahudi mendapatkan tempat dalam komunitas umat Tuhan (bdk. McKnight 1992:261-262), dan hal ini mengindikasikan respons dari gereja mula-mula yang membuka dirinya terhadap kehadiran kelompok non-Yahudi dalam komunitas mereka. Dilihat dari konteks sosiologisnya, jelas komunitas Matius sebagai bagian dari orang-orang Yahudi bergumul dengan kehadiran dari orang-orang non-Yahudi dalam komunitas mereka, namun mereka merespons pergumulan sosiologis tersebut bukan dengan menutup diri terhadap orang-orang bukan Yahudi, malah membuka pintu komunitas mereka bagi kehadiran orang-orang non-Yahudi; alasan mereka melakukan hal ini pastilah

karena mereka mewarisi tradisi/ajaran mengenai “sejarah keselamatan”

yang menekankan bahwa kehancuran bait Allah merupakan fase baru bagi dibukanya pintu keselamatan bagi bangsa bukan Yahudi (lih. McKnight 1992:262).

Selain dari Matius dan komunitasnya, kita juga dapat melihat respons Paulus dalam menyelesaikan persoalan hubungan Yahudi dan bukan Yahudi. Paulus memiliki sikap yang berbeda terhadap kaum

(11)

dalam Kristus baik Yahudi maupun bukan Yahudi adalah satu (lih.Gal. 3:28-29) menegaskan penolakan Paulus terhadap eksklusifisme keyahudian dan keterbukaannya terhadap kaum non-Yahudi (bdk.Dunn 1993:205-206); dengan demikian kita melihat bahwa ajaran Paulus mengenai pembenaran disampaikan justru untuk menjawab persoalan status orang non-Yahudi yang sudah percaya kepada Tuhan dalam komunitas Kristen Yahudi.Surat Efesus (lih. ps. 2:11-22) adalah surat yang dituliskan sekitar tahun 60-an masehi dipertengahan pelayanan Paulus (bdk. Carson & Moo 2005:486-487); dalam surat ini pun kita menemukan adanya indikasi yang sangat jelas bagaimana Paulus mengimplementasikan ajaran mengenai pendamaian dengan isu sosiologis dari jemaat penerima surat tersebut yakni mengenai kesatuan relasi dari orang-orang Kristen Yahudi dan non-Yahudi (bdk. Bruce 1984:295-301).

b. Sikap gereja terhadap kaum perempuan

(12)

mula-mula untuk terlibat aktif dalam pelayanan di gereja.6 Apa yang

Lukas lakukan tentunya bertentangan dengan budaya Yahudi dan Yunani sebab dalam kehidupan orang Yahudi, kesaksian kaum perempuan tidak dapat diterima dan dalam kebudayaan Yahudi serta Yunani, kaum perempuan tidaklah memiliki kebebasan dalam pelayanan keagamaan; itulah sebabnya jika Lukas kemudian menuliskan kisah mengenai kaum perempuan yang dilibatkan dalam pelayanan sekaligus diberikan tugas untuk menjadi saksi kebangkitan Kristus seperti halnya kaum laki-laki, maka hal ini jelas menunjukkan sikap yang berbeda dari Lukas, seperti halnya Yesus, dari komunitas zamannya yang cenderung merendahkan kaum perempuan, dalam memandang status serta kedudukan kaum perempuan dalam pekerjaan Tuhan.

Injil Matius dituliskan dalam kerangka berpikir yang bersifat Yahudi; dan sebagai orang-orang Yahudi mereka terbentuk dengan pemikiran dan kebiasaan yang menempatkan kaum perempuan sebagai kaum yang dipandang berbeda bahkan lebih rendah dari kaum laki-laki. Meskipun demikian, dalam injil Matius, kita menemukan indikasi bahwa Matius dan komunitas yang dilayaninya menolak tradisi dan kebiasaan orang Yahudi tersebut; dalam kisah silsilah Tuhan Yesus, Matius memperlihatkan para wanita yang kemudian dimasukkan dalam silsilah Yesus (Mat. 1:3,5-6); dalam peristiwa pengadilan Yesus, Matius menyebutkan mengenai istri dari Pontius Pilatus yang menasehati suaminya untuk tidak terlibat dalam pembunuhan Yesus; dalam injil Matius kita juga menemukan kaum wanita yang dijadikan murid oleh Yesus (Mat 12:49-50).

6 Scholer (1992:885-886) menjelaskan bahwa dibandingkan dengan injil yang lain, injil

(13)

Sikap Paulus terhadap kaum perempuan pada dasarnya bersifat positif, hanya saja dalam tulisannya sikap Paulus terlihat seolah-olah tidak konsisten. Dalam 1 Kor. 11:2-16 Paulus mengijinkan perempuan untuk terlibat aktif dalam pelayanan baik untuk berdoa bahkan untuk menyampaikan nubuat; namun dalam 1 Kor. 14: 34-40 seperti halnya dalam 1 Tim. 2:12 Paulus menolak perempuan untuk berbicara dalam pertemuan ibadah. Untuk memahami sikap Paulus terhadap perempuan, kita harus memulainya dari Gal. 3:28 dimana Paulus mempararelkan antara hubungan Yahudi dan non-Yahudi dalam Tuhan dengan hubungan laki-laki dan perempuan; sama seperti dalam konteks hubungan Yahudi dan bukan Yahudi bahwa mereka adalah sederajat, demikianlah kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Tuhan (bdk. Dunn 1993:204-208). Dengan demikian kita melihat bahwa walaupun dilihat dari konteks sosial zamannya, kaum perempuan tidaklah dinilai dan diperlakukan sama seperti halnya kaum laki-laki, namun Paulus jelas menolak hal tersebut. Meskipun demikian, kita masih berhadapan dengan pertanyaan “mengapa Paulus kemudian melarang perempuan untuk berbicara dalam pertemuan

(14)

c. Sikap gereja mula-mula terhadap orang-orang miskin

Sikap dan ajaran Yesus terhadap isu mengenai kemiskinan terbagi kedalam dua kategori yakni sikap dan ajaran Yesus mengenai kekayaan dan sikap dan ajaran Yesus mengenai orang-orang miskin; Davids (1992:704-708) membagi ajaran Yesus mengenai kemiskinan kedalam beberapa aspek yakni (i) bahaya dari kekayaan; (ii) penggunaan kekayaan yang benar adalah melalui melayani orang-orang miskin; (iii) Allah memperhatikan orang-orang miskin; (iv) perhatian bagi orang-orang miskin akan mendatangkan upah di sorga; (v) iman yang total kepada Allah adalah kunci untuk dapat menyerahkan harta kekayaan; (vi) praktek utama dari hidup yang tidak terikat dengan harta ada dalam komunitas gereja.

Seperti halnya Yesus, Paulus memandang bahwa orang-orang miskin perlu untuk diperhatikan oleh gereja. Namun, berbeda dengan Yesus, Paulus jarang membicarakan mengenai isu kekayaan ataupun kemiskinan; hal ini tentu terjadi bukan karena jemaat Kristen tidak mengalami kesulitan ekonomi; sebab terdapat berbagai indikasi bahwa orang-orang Kristen abad pertama masehi mengalami kesulitan secara ekonomi. Sayangnya, kita tidak mengetahui dengan jelas alasan Paulus terkait dengan sikapnya tersebut, apakah mungkin karena isu mengenai kekayaan dan kemiskinan merupakan isu yang sangat sensitif untuk dituliskan sehingga Paulus memilih untuk membicarakannya secara langsung, atau apakah sikap Paulus merupakan representasi dari pemikirannya yang memandang bahwa baik kekayaan ataupun kemiskinan bukanlah sebagai hal yang utama sehingga ia tidak mau membicarakan hal tersebut secara panjang lebar, kita sulit untuk memastikannya (bdk. Schmidt 1993:826-827). Meskipun Paulus tidak membicarakan secara khusus mengenai kemiskinan, namun Paulus sebenarnya berbicara mengenai hal tersebut dalam bahasa yang berbeda. Dihampir semua suratnya Paulus banyak berbicara mengenai kasih terhadap sesama yang menjadi ukuran dari kedewasaan rohani jemaat; sebagai contoh, dalam 1 Tesalonika 1:2-4 Paulus menyebutkan bahwa jemaat tersebut memiliki

“pekerjaan iman, usaha kasih, dan ketekunan pengharapan” yang

(15)

Wanamaker (1990:76) menjelaskan bahwa istilah usaha kasih/pekerjaan kasih digunakan Paulus untuk menegaskan bahwa kasih itu selalu menghasilkan perbuatan/karya tertentu; kasih kepada Allah, bagi Paulus, tidaklah terpisahkan dari kasih kepada sesama manusia dan harus nyata dalam kehidupan berjemaat. Itulah sebabnya, ajaran mengenai kasih pada dasarnya meliputi nasehat kepada orang-orang Kristen untuk memperhatikan kekurangan dari sesama jemaat Tuhan. Di sisi yang lainnya, Paulus juga memberikan nasehat supaya seseorang yang bertobat mereka memperhatikan orang-orang yang miskin; dalam Efesus 4:28 ia menasehatkan bahwa seseorang perlu menjalankan usaha yang bersih dalam bekerja dan kemudian ia bukan saja menikmati hasil usahanya sendiri, namun ia hendaknya juga membaginya dengan orang-orang miskin; dalam 1 Timotius 5:3-16, Paulus menghimbau supaya janda yang benar-benar membutuhkan bantuan, mereka diperhatikan oleh gereja.

Selain Yesus dan Paulus, kita pun dapat melihat perhatian yang sama juga diberikan oleh para penulis PB lainnya baik itu Yohanes (contohnya dalam 1 Yoh. 3:11-18), Yakobus (contohnya dalam Yak. 5:1-11), dst. Dalam Kisah Para Rasul (contohnya dalam ps. 6:1-7), kita mendapatkan kesaksian bagaimana gereja mula-mula menjadikan pelayanan terhadap orang-orang miskin sebagai hal yang utama. Perhatian dari gereja mula-mula terhadap orang-orang miskin di zamannya memperlihatkan perhatian yang besar dari orang-orang Kristen terhadap pergumulan sosial masyarakat zaman mereka.

Kesimpulan & Aplikasi

(16)

mengintegrasikan dan mengimplementasikan ajaran yang benar dengan konteks pergumulan ril jemaat yang salah satunya adalah pergumulan sosial mereka.

Yesus, para rasul dan gereja mula-mula memberikan teladan mengenai bagaimana kita perlu untuk mengintegrasikan dan mengimplementasikan ajaran Alkitab dengan pergumulan ril jemaat yang hidup di zaman sekarang termasuk dalam pergumulan sosial masa kini. Di Asia, kita berhadapan dengan berbagai isu sosial yang penting; selain berhadapan dengan isu mengenai pluralisme agama, kita berhadapan dengan masalah fragmentasi sosial dan kemiskinan (bdk. Aloysius Pieris 1996). Fragmentasi sosial yang terjadi melibatkan berbagai aspek termasuk dalam gender dan suku dan hal ini bahkan terjadi dalam gereja. Kaum perempuan belum sepenuhnya diberi kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam pelayanan gereja; perlakukan terhadap pendeta perempuan sering kali berbeda dari pendeta laki-laki; unsur suku juga sering menjadi persoalan/hambatan dalam pemilihan majelis gereja. Di sisi yang lain, kita berhadapan dengan realitas bahwa Indonesia adalah negara yang terkategori miskin; jemaat pun banyak yang hidup dalam kemiskinan; kemiskinan bahkan bukan hanya menyentuh aspek materi, namun juga menyentuh aspek utama lainnya yakni kesehatan, pendidikan bahkan moralitas. Di sinilah gereja terpanggil untuk mengintegrasikan ajaran Alkitab yang kita yakini sebagai jawaban dari pergumulan manusia dengan situasi dan kondisi ril zaman kita.

Daftar Pustaka

Barton, Stephen C.

2010 “Historical Criticism and Social-Scientific Perspectives in New Testament Studies.”Hearing the New Testament: Strategies for

Interpretation.2nd.ed. Grand Rapids: Eerdmans.

Boccaccini, Gabriele.

1991 Midle Judaism: Jewish Thought, 300 B.C.E to 200 C.E.

(17)

Brooks, Stephenson H.

1987 Matthew‟s Community: The Evidance of His Speacial

Sayings Material. JSNTSS 16.Sheffield: Sheffield Academic Press.

Bruce, F. F.

1984 The Epistles to the Colossians To Philemon And To The Ephesians. NICNT. Grand Rapids: Eerdmans.

Collins, John J.

2000 Between Athens and Jerusalem: Jewish Identity in Hellenistic Diaspora. 2nd.ed. Grand Rapids: Eerdmans.

Conzelmann, Hanz.

1975 1 Corinthians.Hermeneia. Philadelphia: Fortress.

Davids, P. H.

1992 “Rich and Poor,”Dictionary of Jesus and the

Gospels.Illinois: IVP.

DeMaris, Richard E.

1994 The Colossian Controversy: Wisdom in Dispute at Colossae.JSNTSS 96. Sheffield: Sheffield Academic Press.

desilva, David.

2002 A. Introducing the Apocrypha. Grand Rapids: Baker.

Donaldson, Terence L.

1997 Paul and the Gentile: Remapping the Apostle‟s Convictional World. Minneapolis: Fortress.

Dunn, James D. G., James P. Mackey.

1987 New Testament Theology in Dialogue: Christology & Ministry. Philadelphia: Westminster.

Dunn, James D. G.

(18)

Evans, Marry J.

1983 Woman in the Bible. Exerter: Paternoster.

Feldmann, Louis H. & Meyer Reinhold

1996 Jewish Life And Thought Among Greeks and Romans.

Edinburg: T & T Clark.

Green, Joel B.

2010 “The Challenge of Hearing the New Testament,”

Hearing the New Testament: Strategies for Interpretation.2nd.ed. Grand Rapids: Eerdmans.

Grudem, Wayne

2000 The Gift of Prophecy in the New Testament and Today.

Rev.ed. Illinois: Crossway.

Gunawan, Chandra.

2009 “Rekonstruksi Terhadap Insiden Galatia Dan Aplikasinya Bagi Pergumulan Gereja Masa Kini Mengenai Perbedaan

Etnis.”Stulos 8.2 (September): 233-258. Gunawan, Chandra.

2011 “Ketegangan Hubungan Yahudi Dan Bukan Yahudi Dalam Yudaisme Bait Allah Kedua Dan Dalam Surat Galatia.”Veritas 12.1 (April): 83-107.

Gunawan, Chandra

2011 “Sunat Sebagai έργω ου: Studi Galatia 2:16.” Te Deum 1.1 (Juli-Desember): 1-26.

Gunawan, Chandra

(19)

Gunawan, Chandra.

2013 “Kaum Perempuan Dalam Keluarga dan Gereja: Etika Paulus Tentang Perempuan Dalam 1 Korintus 11:2-16.” Te Deum 2.2 (Januari-Juli): 199-225.

Hayes, Christin E.

2002 Gentile Impurities and Jewish Identities. Oxford: Oxford University Press.

Jeffers, James S.

1999 The Greco-roman World of the New Testament Era: Exploring the Background of Early Christianity. Illinois: IVP.

Jewett, Paul K.

1975 Man as Male and Female: A Study of Sexual Relationship from a Theological Point of View. Grand Rapids: Eerdmans.

Keener, Craig S.

1992 Paul, Woman and Wife. Peabody: Hendrickson.

Keener, Craig S.

1993 Bible Bacground Commentary. Illinois: IVP.

Keener, Craig S.

2000 “Adultery, Divorce,” Dictionary of New Testament Background.Illionois: IVP.

Kroeger, C. C.

1993 “head.”Dictionary of Paul and His Letter.Illinois: IVP.

Marshall, I. Howard

1978 The Gospel of Luke. NIGTC. Grand Rapids: Eerdmans.

McKnight, Scott.

(20)

McKnight, Scott.

1991 A Light among the Gentiles. Minneapolis: Fortress.

McKnight, Scott

1992 “Gentiles.”Dictionary of Jesus and the Gospels.Illinois: IVP.

Mach, Michael.

1998 “Conservative Revolution?The Intolerant Innovations

of Qumran,” Tolerance and Intolerance in Early Judaism and Christianity.Cambridge: Cambridge University Press.

Oerke, A.

1968 “γ η” in TDNT.Grand Rapids: Eerdmans.

Pieris, Aloysius.

1996 Berteologi Dalam Konteks Asia.Terj. Yogyakarta: Kanisius.

Scholer, D. M.

1992 “Woman.”Dictionary of Jesus and the Gospels.Illinois: IVP.

Schreiner, Thomas.

1990 Interpreting the Pauline Epistles. Grand Rapids: Baker.

Scwartz, Daniel R.

1998 “The Other in 1 and 2 Maccabees” in Tolerance and Intolerance in Early Judaism and Christianity. Cambridge: Cambridge University Press.

Shutt, R. J. H.

1985 “Letter of Aristeas” The Old Testament Pseudepigrapha

Vol 2: Expansions of the „Old Testament‟ and Legends, Wisdom and

(21)

Stambauch, John.,& David Balch.

1997 Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula.Terj. Jakarta: BPK, 1997

VanderKam, James C.

2002 An Introduction to Early Judaism. Grand Rapids: Eerdmans.

Wanamaker, Charles A.

1990 The Epistles to the Thessalonians.NIGTC. Grand Rapids: Eerdmans.

Witherington III, Ben.

1988 Woman in the Earliest Church. Cambridge: Cambridge University.

Witherington III, Ben.

1995 Conflic and Community in Corinthians: A Socio-Rhetorical Commentary 1 and 2 Corinthians. Grand Rapids: Eerdmans.

Wright, N. T

Referensi

Dokumen terkait

Sari Bumi Raya Kudus, yang dapat memberikan informasi yang cepat, tepat, dan akurat sehingga kinerja pada perusahaan tersebut dapat berjalan dengan maksimal.. 1.3

Model Stimulasi Kecerdasan Visual Spasial Dan Kecerdasan Kinestetik Anak Usia Dini Melalui Metode Kindergarten Watching Siaga Bencana Gempa Bumi Di Paud

(1) Perhitungan formasi dan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 disusun berdasarkan analisis kebutuhan jabatan dengan menghitung rasio keseimbangan antara Beban Kerja

Oleh karena itu fokus penelitian ini akan melihat bagaimana strategi komunikasi yang dilakukan oleh Siberkreasi dalam meningkatkan literasi digital sehingga menarik

1 Ekonomi Moneter Indikator Moneter Pelemahan Nilai Tukar Rupiah 35.689 2 Ekonomi Moneter Indikator Moneter Tingkat Inflasi Relatif Rendah 29.665 3 Ekonomi Moneter Indikator

Mengingat kelas kesesuaian untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung di perairan zona pemanfaatan Teluk Kupang berada pada taraf cukup sesuai

Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dapat melakukan intervensi, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam setiap pelanggaran

Kegiatan dan tugas pokok yang harus dilaksanakan Korlap pada tahapan ini adalah melakukan pemeriksaan umum dan pemeriksaan kelengkapan seluruh dokumen dan peralatan survei yang akan