• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Dan Posisi Media Dalam Pemeberanta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Dan Posisi Media Dalam Pemeberanta"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Dan Posisi Media

Dalam Pemeberantasan Terorisme

Meka Ediyanto Asymmetric Warfare Indonesian Defense University Jl. Salemba Raya, No.14. Jakarta Pusat

faeyza151008@yahoo.com

Abstract : Media to be one of the means that can influence policy, strategy, and tactics in counter-terrorism program. State actors and non-state actors is dependent upon the function of the media in achieving their own interests. For terrorists, the media is one important factor in supporting the implementation of its actions, while the use of the media by the government is used to gain legitimacy, mobilize support, disseminate information about the measures taken; and means of communication between the leaders of the country.

Keywords : Media, Information, Counter-Terrorism.

1. Pendahuluan

Terorisme tidak selalu menentang globalisasi, namun, terorisme juga memanfaatkan globalisasi untuk kepentingannya. Jaringan terorisme memanfaatkan teknologi dan komunikasi untuk menyebarkan ideologi dan aksinya. Penyampaian pesan dan pemberitaan dapat dengan cepat terkirim ke masyarakat global maupun kelompoknya melalui media massa, baik media elektronika maupun media cetak. Salah satu tujuan dari kelompok teroris dalam pemanfaatan media massa adalah dampak secara luas dalam penyebaran pesan atas rasa takut, ancaman, ideologi, perekrutan dan mengembangkan sel-sel terornya.

(2)

kebijakan publik. Persepsi dan nilai-nilai yang disampaikan oleh media massa sering kali dianggap sebagai persepsi masyarakat keseluruhan. Semakin sering berita tersebut munculkan, maka akan semakin besar pengaruh yang akan didapatkan. Melalui berita-berita yang disiarkan, secara tidak langsung telah memberikan referensi kepada masyarakat untuk mempengaruhi keputusan politik, termasuk dalam hal pemberantasan terorisme.

Tulisan ini akan membahas dan menganalisis bagaimana peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme. Tujuan penulisan ini adalah menganalisis peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme. Pembahasan dalam tulisan ini terfokus pada; (1) Pengertian; (2) Landasan

Teori; (3) Peran media dalam aktivitas terorisme; dan (4) Peran dan Posisi media dalam pemeberantasan terorisme di Amerika Serikat (bahan perbandingan) ; serta (5) Peran dan Posisi media dalam pemeberantasan terorisme.

2. Pembahasan

Mengatasi akar terorisme yang bermotif ideologis, doktrinal, serta penyebarannya yang bervariasi, memerlukan berbagai macam cara dengan melibatkan banyak peran dari berbagai pihak elemen kekuatan nasional terkait. Elemen-Elemen kekuatan nasional itu, harus saling bersinergi dalam menginterpretasikan teks-teks, percetakan, penerbit, media, baik cetak maupun online dan lain-lain. Masing-masing bergerak di medan ahlinya sehingga terbentuk kekuatan integral secara komprehensif, tanpa hal tersebut, maka, pemberantasan terorisme baik dari dalam maupun dari luar negeri sulit terwujud dalam konsep peperangan asismetris 1 , seperti penggunaan kekuatan media. Oleh karena itu, dalam menganalisis bagaimana peran dan posisi media dalam pemberantasan teroris, maka perlu

1

(3)

memahami bagaimana peran dan posisi media bagi aktivitas teroris itu sendiri dan perbandingannya dengan negara lain.

2.1 Pengertian

Berikut penulis menguraikan beberapa pengertian terkait peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme, yaitu terorisme, media massa, dan informasi.

2.1.1 Terorisme

Defenisi tentang terorisme yang diungkapkan oleh A.M. Hendropriyono

terkait tentang kecemasan yang ekstrim di masyarakat yang pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional suatu bangsa2. Hendropriyono3 menambahkan bahwa dalam pengembangan jejaringnya yang menggunakan pendekatan network theory of organization (teori jaringan organisasi) teroris berfokus pada interaksi links, nodes, key nodes dan cluster sebagaimana diuraikan di atas, yang memiliki pondasi kuat pada bahasa perlokusi, modernisasi dan sekularisasi dalam konsep pencerahan, dinamika organizationally networked yang lebih berorientasi pada goal oriented dari pada role oriented, tidak selalu top down dalam pengambilan keputusan, dan keleluasaan pada jaringan.

2.1.2 Media Massa

Media massa merupakan elemen integral dan penting dari masyarakat lokal, nasional, regional, maupun global untuk menyediakan berbagai kebutuhan informasi bagi masyarakat dan merupakan hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi oleh semua bangsa. Dalam mengantisipasi ancaman asimetris yang dilancarkan melalui media massa dapat mengacu kepada bahasan mengenai Kebijakan Strategis Penyelenggaraan Pertahanan

2

Hendropriyono A.M.Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Hal 341. 2009.

3

(4)

Negara khususnya pada sub bahasan menghadapi ancaman nirmiliter berdimensi Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Teknologi dan Informasi, serta Keselamatan Umum. Hal dimaksud menuntut adanya sinergitas antara Lembaga Pemerintah, Dewan media, dan Media Nasional serta masyarakat dalam rangka pertahanan dan keamanan negara.

2.1.3 Informasi

Menurut Kementerian Pertahanan RI, Informasi adalah suatu atau sekumpulan data, termasuk namun tidak terbatas pada angka, huruf, tanda, rancangan, sketsa, gambar, tulisan, kode, kode akses, simbol, peta, foto, pertukaran data elektronik (electronic data interchange), surat electronik (electronic mail), pesan text (texting messages), telegram teleks, telecopy dan

yang sejenisnya, suara, video, atau perforasi yang telah diolah, sehingga memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya, baik dalam wujud elektronik maupun non elektronik.4 Sedangkan keberadaan Informasi itu sendiri dapat menjadi sasaran ancaman berdasarkan lingkungan Informasi.5

Arus informasi ini menyebabkan sistem informasi dapat mempengaruhi situasi dalam pengambilan keputusan, dan kemampuan ini dapat dimanfaatkan dan digunakan secara agresif. Ledakan informasi dan kecepatan sistem komunikasi yang dapat, menyimpan, memodifikasi, dan menyebarkannya dapat mempengaruhi berbagai bidang. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mengontrol, memanfaatkan dan menggunakan kemampuan sistem informasi dengan baik didalam bentuk pemberantasan terorisme. Informasi yang lengkap, akurat, dan cepat menjadi dasar pembuatan kebijakan atau untuk menyusun strategi dan taktik dalam pemberantasan terorisme.

4

Kemenhan RI. Kajian Organisasi Pertahanan Siber. Jakarta : Dirjen Pothan. 2013. 5

(5)

2.2 Landasan Teori

Berdasarkan resolusi majelis umum PBB6 mengungkapkan bahwa penanggulangan terorisme dilakukan dengan berbagai strategi antara lain adalah pencegahan kondisi kondusif dalam penyebaran terorisme, langkah-langkah mencegah dan memberantas terorisme, pengembangan kapasitas negara dan memperkuat peran sistem pertahanan dalam mencegah serta pemberantasan terorisme. Penjelasan dimaksud diatas dapat dijadikan pedoman bagaimana upaya pemberantasan terorisme dilakukan melalui peran dan posisi media. Sejalan dengan hal tersebut, Counter Terrorism Implementation Task Force (CTITF) menyatakan bahwa tindakan (dapat

berupa kebijakan dan program) yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kondisi yang dapat mendorong beberapa orang ke jalan dengan terorisme. Hal tersebut berarti membutuhkan adanya program secara nasional tentang upaya counter terrorism.

Pepatah terkenal Alvin Toffler mengatakan barang siapa menguasai informasi maka akan menguasai dunia dengan faktor mind (pikiran, pengetahuan) dalam terra incognita (daerah yang tidak dikenal). Pepatah tersebut diperkuat oleh kemajuan teknologi yang semakin krusial dan berdampak luas serta digunakan sebagai kekuatan.7 Mengamati pentingnya informasi, seperti melalui media, Lorenzo Vidino dan James Brandon terkait pemberantasan terorisme mengungkapkan upaya pencegahannya, sebagai berikut: (1) melaksanakan pencegahan secara umum pada masyarakat terhadap ide-ide dan pengaruh teroris, mempromosikan prinsip-prinsip toleran, moderat dan demokratis, serta mencegah meningkatnya kerawanan radikalisme. (2) mengintervensi individu yang telah mengadopsi ideologi teroris, atau yang sudah melakukan aksi terorisme.

Dalam konteks Indonesia, pembahasan media massa terkait

(6)

pemberantasan terorisme dapat digunakan beberapa Undang-Undang Republik Indonesia sebagai dasar, antara lain adalah UUD 1945 Pasal 27 ayat (3) yang menyatakan kewajiban warga negara dalam upaya bela negara, dan pasal 30 ayat 1 tentang kewajiban warga negara dalam upaya pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, juga terdapat pada Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28 (F) tentang hak warga negara, Undang-Undang No.34 tentang TNI, Pasal 7 ayat (1) dan (2), Undang-Undang No.11 tentang ITE Pasal 2, dan Peraturan Dewan Media Nomor 6 Tahun 2008 Pasal 3 dan 6, UU No. 40 Tahun 1999 pasal 15 ayat (2c) dan (2d), Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat (1-5), UU No 32 Pasal 5 (i), dan Pasal 36 (4)

serta UU No. 11 Pasal 28 Ayat (1) dan Pasal 38 Ayat (2). Beberapa penjelasan diatas dapat dijadikan landasan dalam menganalisis peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme.

2.3 Peran Media Dalam Aktivitas Terorisme

Perlu diingat bahwa bagaimana teroris mampu bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pemanfaatan netwar atau jaringan perang sebagai strategi yang tepat dan melalui rekrutmen yang mampu meningkatkan kemampuan teknologi informasi dan potensi radikal. Media bagi teroris adalah simbiosis-mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan antara dua

organisme).8 Media massa dan teroris memiliki kepentingan yang sama, teroris menyusun dan memanfaatkan strategi media mereka, sementara di lain pihak, media menempatkan kepentingannya pada aktivitas kelompok teroris. Hubungan teroris dan media merupakan bagian dari konsepsi umum operasi informasi yang meliputi : agitasi, propaganda, Indoktrinasi, dan fokus secara internal maupun eksternal operasi informasi teroris. Melalui penjelasan diatas, maka, penulis menganalisa peran media dalam aktivitas terorisme

8

(7)

terkait bidang informasi, sumber daya manusia, pendanaan (financing), politik, diplomasi, dan legitimasi, serta militer.

2.3.1 Informasi

Kelompok teroris menyadari bahwa peran media terkait informasi sangat penting dalam perjuangannya melawan hegemoni dan universalisasi.9 Oleh karena, banyak hal yang dapat dilakukan melalui media, antara lain tindakan atau gangguan atau serangan yang mampu merusak atau segala sesuatu yang merugikan, sehingga mengancam kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity) dan ketersedian (availability) sistem dan informasi10 melalui propaganda dan bentuk lainnya. Propaganda melalui media massa telah disadari sebagai kekuatan yang efektif dan dapat dimanfaatkan oleh kelompok teroris sebagai kekuatan dalam menyebarkan pesan paham perjuangan politiknya.

Muwaffaq Al-Jamal, Kepala Pusat Informasi Hizbullah mengatakan bahwa informasi adalah salah satu senjata yang paling penting dan bagian tidak terpisahkan dari setiap perang atau pertempuran dengan musuh. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Abd. Al-Rahman Al-Rasyid, Juru Bicara Al-qaeda bahwa kelompoknya telah berhasil menyebarluaskan makna penting dari kejadian serangan 911 kesluruh dunia. Alasan kuat pemanfaatan media massa dalam mencapai tujuan dan kepentingan bagi kelompok teroris adalah mengelola penafsiran serangan mereka, makna, dan simbolisme, baik dalam menyebarkan informasi, pemberitaan tentang kebijakan dan strategi, maupun langkah-langkah yang diambil oleh pimpinan kelompok teroris serta memperkenalkan tujuan dan motif yang mereka lakukan.

Strategi dan taktik yang digunakan oleh teroris melalui peran media digunakan untuk menyampaikan pesan ketidakadilan dan ancaman psikologis dalam penyebaran ketakutan kepada masyarakat secara luas. Dalam

9

A. Safril Mubah, “Teroris Versus Globalisasi, Perlawanan Jaringan Jamaah Islamiyah

terhadap Hegemoni Amerika”, (Surabaya: PT. Revka Petra Media), 9. 2012. 10

(8)

menyebarkan pesan radikal orang-orang yang dipilih tidak harus meninggalkan negara asal mereka, namun dapat dilakukan dengan bantuan orang lain yang telah bepergian ke luar negeri untuk melaksanakan pelatihan dan indoktrinasi. Disamping itu, media juga merupakan salah satu sarana komunikasi antara pimpinan kelompok teoris yang tersebar diberbagai daerah atau negara dilakukan melalui media massa.11

Peranan yang sangat vital didalam menjalankan organisasi terorisme yang bekerja pada tataran psikologi untuk menghasilkan pengaruh yang bersifat negatif terhadap pihak lawan dalam skala strategis. Oleh karena itu, kelompok teroris sangat berhati-hati dan sangat selektif dalam menentukan

siapa yang akan memegang kepercayaaan penting sebagai Juru Bicara. Dalam hal ini, terdapat beberapa alasan dan pertimbangan dalam memilih Juru bicaranya secara sangat selektif, sebagai contoh dilakukan oleh kelompok Al-qaeda pimpinan Osama bin Laden, sebagai berikut ; (1) Sebagai jabatan strategis dan sebagian besar pernah hidup dan besar di negara yang menjadi target serangan serta mengetahui dan memahami wilayah sasaran yang akan dituju; (2) Sebagai jabatan penting dan biasanya dipilih dari kerabat atau teman dekat Osama bin Laden untuk menjadikan media massa sebagai ajang propoganda ideologi dan politik mereka; (3) Sebagai jabatan yang krusial dan diseleksi dengan ketat dengan memilih orang-orang tertentu dengan tingkat pendidikan dan intelijensia yang tinggi, ahli dalam hal komunikasi massa yang bertujuan untuk menjadi salah satu tokoh yang mengatur strategi perang media.

2.3.2 Sumber Daya Manusia

Dalam perkembangan sejarah terorisme dipahami adanya sponsorship untuk melancarkan dan mengatasi keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh organisasi teror seiring dengan keinginannya untuk tetap eksis melaksanakan aksinya. Mickolus mengatakan bahwa secara teori dukungan

11

(9)

eksternal diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup sebuah organisasi teroris karena keterbatasan sumberdaya yang dihasilkannya12, termasuk sumber daya manusia. Salah satu cara mengatasi keterbatasan sumber daya manusia dimaksud, organisasi teroris memanfaatkan media massa dalam pemenuhan kebutuhan bagi organisasi teroris, termasuk dalam hal perektrutan anggota.

Kesadaran kelompok teroris akan strategi penggunaan media massa sangat menentukan keberhasilannya didalam melaksanakan misi, selain untuk meningkatkan moral dalam kelompok, juga merupakan strategi dalam berbagai tingkatan untuk menangani dan mendapatkan khalayak multi-audiance secara bersamaan dengan tujuan merektut anggota.

Perekrutan anggota teroris diarahkan pada simpatisan dan potensi radikalisme melalui proses indoktrinasi dan juga dilakukan terhadap ahli-ahli IT (Information Technology) 13 yang berperan dalam cyberterrorism14 , hacktivism, dan propaganda untuk mengantisipasi dan menangkal ancaman dan serangan informasi. Propaganda yang dilakukan oleh teroris melalui media massa membuahkan hasil, terbukti munculnya paham-paham radikalisme yang sentimen terhadap kebijakan-kebijakan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya diseluruh dunia. Pengikut-pengikut teroris terus tumbuh dan berkembang, yang membuat perlawanan terus berlansung pasca serangan WTC, maka dari itu, dapat dikatakan bahwa kelompok teroris dimaksud dapat mewakili tren baru dalam privatisasi terorisme dengan adanya media massa.

12 David B. Carter, “

A Blessing or a Curse? State Support for Terrorist Groups”, (Princenton:

Department of Politics Princeton University, 2011), 5.

13

Dorothy E. Denning. Activism, Hactivism, And Cyberterrorim : The Internet AS A Tool For

Influencing Foreign Poplicy. 2001.

14

(10)

2.3.3 Pendanaan (Financing)

Keuntungan bagi teroris dalam memanfatkan media adalah karena biaya yang rendah, risiko yang rendah dan mempermudah promosi dalam menunjukkan diri dan gerakan mereka, serta tujuan mereka dalam hal pendanaan. Penekanan terhadap sumber dana teroris telah memunculkan pemikiran teroris akan sumber pendanaan yang baru di era globalisasi yang menciptidakan peluang bagi kegiatan terlarang mereka. PBB mengatakan bahwa teroris memiliki pendapatan tahunan sampai triliunan dollar dari berbagai kegiatan kriminal15, termasuk melalui media massa.

Dalam konteks Indonesia, persoalan pendanaan terorisme seperti

pembelian senjata, pelatihan militer, dan lain-lain kelompok teroris juga dilakukan dengan salah satu metode melalui media massa, yaitu media internet yang dikenal dengan cyber fa’i (perampokan melalui dunia maya) dengan meretas situs investasi online speedline yang berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 7 Miliar16 oleh salah satu anggota kelompok terorisme yang bernama Rizki untuk kepentingan kelompok teroris yang ada di Poso, meskipun berhasil di gagalkan oleh aparat keamanan. Hal ini, membuktikan bahwa dalam pendanaan terorisme, kelompok teroris juga sangat tergantung pada media.

2.3.4 Politik, Diplomasi, dan Legitimasi

Berdasarkan kajian psikologi, norma dan pengaruh interpersonal memberikan pengaruh terhadap sikap seseorang.17 Oleh karena itu, banyak aktor politik radikal yang memanfaatkan peluang media untuk melakukan propaganda kepada masyarakat untuk mempromosikan dan mengaktifkan terorrisme. Strategi penggunaan media massa oleh teroris dimaksudkan untuk

15

David Larivee. 2005. Bulletin Intelijen. Asosiasi Professor Ekonomi Amerika Serikat. USA ; Akademi Angkatan Udara.

16

Mbai, Ansyaad. Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia. 2014.

17

Walter Reich (editor), “Origins of Terrorism, Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi dan Sikap

(11)

mencari perhatian internasional dan membangkitkan kesadaran lingkungan masyarakat yang menjadi target maupun yang bukan target mereka serta mengintimidasi komunitas yang menjadi target. Hal ini, juga telah memperbesar dampak isolasi tindakan kekerasan politik pada sekelompok kecil orang pasca perang dingin18 yang bertujuan memperoleh pengakuan, legitimasi, dukungan politik dalam kelompok mereka. Dari luar kelompok teroris, media dapat memberikan pengaruh dan Implikasi bagi kekuasaan, menggalang dukungan dari berbagai pihak, dan menarik simpati dan respek, baik simpatisan maupun masyarakat yang mendukung aksi yang mereka lakukan.

2.3.5 Militer

Teroris sangat mengandalkan militansi dari anggota kelompoknya dalam melakukan setiap aksinya. Pendidikan, pelatihan, dan pembinaan terus dilakukan di berbagai wilayah belahan dunia, termasuk di berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Dengan hadirnya media sebagai alat dan ruang yang mempermudah berbagai kelompok orang di dunia dalam melakukan aktivitasnya, maka kelompok terorispun memanfaatkan fasilitas ini dalam memenuhi kepentingannya. Hal tersebut, mempermudah kelompok teroris dalam mendapatkan dan mengadopsi strategi asimetris di bidang konflik militer dalam pelaksanaan tingkat lapangan. Disamping itu, teroris berkepentingan untuk memberikan pelatihan militansi dari kelompoknya melalui media massa dengan memberikan informasi tentang pelatihan, pendidikan, dan pembinaan bagi kelompoknya. Pemahaman hal dimaksud berdampak pada pola serangan berbasis teknologi yang sedang dipersiapkan sebagai strategi baru dalam mengatasi pola keamanan yang semakin ketat bagi kelompok teroris baik dilingkungan nasional maupun dikawasan.

Dari penjelasan diatas tentang peran media dalam aktivitas terorisme terkait bidang informasi, sumber daya manusia, pendanaan (financing), politik,

18

(12)

diplomasi, dan legitimasi, serta militer, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan bahwa peran media bagi teroris dapat dijabarkan, sebagai berikut ;

a. Penciptaan kondisi terorganisir sebagai publikasi kekuatan dan kemampuan kelompok teroris untuk memperbesar dampak isolasi tindakan kekerasan politik pasca perang dingin.

b. Salah satu senjata yang paling penting dan bagian tidak terpisahkan dari setiap perang untuk mendapatkan dan mengadopsi strategi asimetris di bidang konflik militer dalam pelaksanaan tingkat lapangan.

c. Media merupakan peluang baru bagi aktor politik radikal untuk mempromosikan dan mengaktifkan terorrisme.

d. Keuntungan bagi teroris dalam memanfatkan media adalah karena biaya yang rendah, risiko yang rendah, dan dapat mengelola penafsiran serangan mereka, makna, simbolisme.

e. Sebagai strategi informasi untuk menangani khalayak yang berbeda dan mendapatkan tingkat multi-audiance secara bersamaan, serta mempermudah promosi dalam menunjukkan diri dan gerakan mereka.

f. Menarik simpatisan, perekrutan, meningkatkan moral, mendapatkan legitimasi atau dukungan politik dalam kelompok dan menggalang dukungan dari berbagai pihak di luar, serta memberikan pengaruh dan Implikasi bagi kekuasaan.

g. Menyebarkan informasi dan pemberitaan tentang kebijakan, strategi, langkah-langkah dan salah satu sarana komunikasi antara pimpinan

(13)

2.4 Peran dan Posisi Media Dalam Pemeberantasan Terorisme di

Amerika Serikat (Bahan Perbandingan).

Terjadinya serangan terhadap gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat (AS) pada tanggal 11 September 2001 yang dikenal dengan tragedi 911, merupakan keberhasilan misi kelompok teroris melalui strategi media, mampu merubah pandangan dunia mengenai Strategi Keamanan Nasional. Hal ini, telah membuka pemikiran berbagai negara atas pentingnya melakukan upaya pemberantasan terorisme. Hampir setiap negara memiliki kebijakan, strategi, dan taktik dalam upaya pemberantasan terorisme, termasuk unsur pelibatan media sesuai dengan regulasi yang

berlaku, baik secara internasional, regional, maupin nasional. Serangan-serangan melalui media yang telah dilakukan terhadap AS juga telah membuka pemikiran tentang sebuah paradigma sistem pertahanan bagi AS. Kebijakan AS melalui The U.S. by the Code of Federal Regulations19, terkait peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme dapat dimbil beberapa intisari, sebagai berikut ;

(1) Mencari simpati dunia internasional dalam kampanye pemberantasan jaringan terorisme dalm program global war on terror.

(2) Melindungi dan menciptakan rasa aman seluruh warga dan kepentingan di dalam dan di luar negeri sesuai politik luar negeri AS.

(3) Mengantisipasi keamanan di dunia media terkait serangan yang berdampak pada ancaman besar teradap core value security AS.

19

The U.S. by the Code of Federal Regulations. 2011. Definition of Terrorism, http://www.

(14)

(4) Memanfaatkan media massa sebagai sarana dan unsur sumber daya nasional untuk melakukan perang informasi dalam program pemberantasan terorisme.

(5) Menjadikan media sebagai komunikasi strategis dalam Struktur Dewan Keamanan Nasional dan sebagai elemen kekuatan nasional.

(6) Kerjasama pemerintah federal dan organisasi media dalam melakukan seminar pelatihan, keterampilan teknis, meningkatkan pemahaman langkah-langkah dan kesiapan atas serangan teroris.

(7) Meningkatkan kerjasama antara media dan manajemen darurat internal dengan mengintegrasikan perwakilan media dengan keamanan dalam negeri untuk meningkatkan kesiapan respon keamanan.

(8) Memperbaiki sistem operasi informasi yang ada dengan mengalami adaptasi terhadap perkembangan lingkungan yang terjadi.

(9) Mendirikan Badan Informasi Amerika Serikat (USIA) dan diperkuat oleh organisasi yang terfokus pada komunikasi publik di bawah Departemen Luar Negeri untuk melakukan dan melancarkan program pemberantasan terorisme.

(10) Departemen Pertahanan AS membentuk Komando Cyber Amerika Serikat20 untuk mengantisipasi ancaman melalui dunia maya.

Pengaruh media dalam kebijakan, seperti yang dideskripsikan diatas dapat digolongkan, sebagai berikut ; (1) Pada tingkat kebijakan, media massa dapat

20

International Strategy For Cyberspace. Prosperity, Security, And Openness In a Networked

(15)

mempengaruhi agenda nasional. ; (2) Media memiliki kekuatan untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan warga dan pemerintah. Sedangkan, pendekatan yang digunakan AS terkait ancaman terhadap sistem teknologi informasi menjadi dua hal, yaitu; (1) Unintentional threats, dan (2) Intentional threats. Penjelasan diatas membuktikan bahwa AS sebagai salah satu negara korban terorisme internasional yang sangat reaksioner dan cepat merespon dalam sikapnya dalam pemberantasan. Upaya-upaya yang dilakukan menggambarkan bahwa AS memiliki perhatian yang besar terhadap kemajuan teknologi informasi beserta dampaknya yang disesuaikan dengan kepentingan nasional AS. Hal ini menjadikan apresiasi tersendiri bagi AS

terkait keseriusan dan intensitas perhatian AS dalam mengelola operasi informasi terkait media melalui kebijakan yang diambil secara nasional dalam hal pemberantasan terorisme.

2.5 Peran dan Posisi Media Dalam Pemeberantasan Terorisme.

Pemberantasan terorisme merupakan salah satu ujian yang harus dilalui oleh masyarakat dan negara saat ini baik di skala nasional maupun internasional dengan sebuah komitmen dalam kerangka berbangsa dan

bernegara, seperti yang diungkapkan oleh O’Connor :

It is during our most challenging and uncertain moments that our nation’s commitment to due process is most severely tested; and it is in those times that we must preserve our

commitment at home to the principles for which we fight abroad (Hal yang paling

menantang kita dan saat ketidakpastian adalah proses komitmen bangsa kita yang

sedang diuji dan disaat kita harus mempertahankan komitmen kita dirumah dengan

prinsip-prinsip kita melawan di luar negeri)." Justice Sandra Day O’Connor, Hamdi v.

Rumsfeld, 2004)

(16)

suatu permasalahan. Permasalahn yang muncul di tengah-tengah masyarakat tersebut akan menguji soliditas masyarakat didalam kerangka bernegara dan berbangsa dihadapkan diantara kepentingan pribadi dan kepentingan nasional dalam pemberantasan terorisme. Pemberantasan terrorisme bukanlah merupakan hal yang mudah, akan tetapi terdapat beberapa pilihan didalam upaya pemberantasan terorisme. Salah satu upaya tersebut adalah bagaimana membentuk dan menguatkan ketahanan publik terhadap potensi ancaman terorisme melalui media massa, karena media sebagai komponen penting bagi keamanan nasional dalam sistem infrastruktur informasi nasional modern yang efisien dan juga menciptakan kerentanan baru.

Pemerintah dan civil society sudah seharusnya menciptakan lingkungan

yang kondusif dan berperan penting untuk berkontribusi terhadap media massa dan transformasi sosial yang berorientasi pada kepentingan publik. Dengan kata lain, media massa juga harus mampu menjalankan fungsi penyebaran informasi yang objektif dan berimbang di tengah tekanan yang diterima. Hal tersebut, dilakukan juga untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bentuk ancaman asimetris yang berdampak pada terbentuknya opini publik yang mengarah kepada sentimen negatif, seperti yang dilakukan oleh kelompok teroris, sehingga dapat melunturkan atau menghancurkan legitimasi pemerintah dan dapat mengganggu stabilitas nasional.

Perlu dinamisasi kekuatan dan kemampuan teknologi nasional untuk mengimbangi tekanan pihak lain yang dapat melemahkan daya tangkal bangsa dengan menggunakan faktor teknologi. Media sudah teruji dan memiliki peran sangat strategis dalam pengawasan semua tahapan dan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat termasuk didalam pemberantasan terorisme. Kemampuan dalam mengemas pemberitaan, media bersama pemerintah dapat mengambil langkah-langkah aktif untuk membangun pertahanan dan keamanan nasional dengan komunikasi yang efektif bagi semua stidakeholders terkait pemberantasan terorisme.

(17)

merespon tuntutan, mengedukasi, dan mendapatkan dukungan masyarakat atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah.

Melihat besarnya peran media yang dapat dilakukan terhadap reaksi masyarakat dan berbagai elemen negara lainnya, maka kolaborasi yang baik antar pemerintah dan media dalam pemberantasan terorisme dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang berlaku. Dari berbagai literasi yang ada, maka, peran media dalam pemberantasan terorisme, dapat diuraikan sebagai berikut ;

a. Mempengaruhi kebijakan, pada tingkat kebijakan, pemberitaan

media dapat mempengaruhi agenda nasional. Hal tersebut, dapat dilihat pada kesiapan Amerika Serikat dalam 911 yang membuat media di AS terkonsentrasi pada ancaman dari teroris, seperti memperketat keamanan seluruh bandara yang ada di AS. Hal ini, membuktikan bahwa media memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan, karena cakupan media memiliki dampak langsung terhadap risiko yang ada.

b. Alat Terorisme, serangan teroris untuk mempengaruhi pihak lain memerlukan partisipasi aktif dari pemberitaan media dalam membuat keberhasilan strategi yang di terapkan. Mantan Presiden AS, Bush mengatakan bawa media adalah oksigen bagi terorisme, hal ini menjadi alasan utama Pejabat AS mengeluarkan seruan untuk menahan diri dalam pernyataan pasca serangan 911.

(18)

berita tidak riil) terencana dapat mendorong reaksi spontan, menaikan tingkat darurat, mendorong potensi untuk membunuh, dan dapat menyelamatkan nyawa.

d. Alat untuk otoritas kemanan, media bukan hanya dapat menimbulkan kepanikan, akan tetapi juga berfungsi dalam hal pencegahan dan pemulihan dengan memberikan informasi secara luas dan cepat bagi warga dan pemerintah terkait terorisme. Peringatan dan informasi melalui media yang diperoleh dapat dijadikan informasi penting sebagai alat bagi otoritas kemanan untuk mengetaui pemberitaan terkait

aktivitas terorisme. Hal tersebut, mempermudah respon otoritas keamanan dalam mengambil langkah-langkah, meningkatkan kesiapan, dan tindakan yang dilakukan dalam mengantisipasi kejadian dan pemulihan keadaan.

2.5.1 Peran dan Posisi Media dengan Tokoh Agama, Tokoh

Masyarakat, dan Tokoh Politik Dalam Pemberantasan Terorisme.

Dalam pemberantasan terorisme pihak media saja tidak cukup untuk menyeimbangkan dan memurnikan media dari paham radikalisme. Sinergitas peran dengan berbagai pihak juga sangat diperlukan, termasuk tokoh masyarakat, tokoh politik, dan tokoh ulama. Peran ulama sangat dibutuhkan dalam pemberantasan terorisme, yakni untuk menghambat arus radikalisme agar tidak terlalu deras mengalir ke media, seperti contoh melalui fatwa kolektif yang dikeluarkan oleh para tokoh agama. Namun, upaya para ulama tidak akan berdampak signifikan tanpa bantuan media, karena tanpa media fatwa dan pemikiran moderat dan toleran dimaksud akan terisolasi dan terbatas. Media sebagai alat penyampaian pesan bagi para ulama dalam menyebarkan dan menyampaikan fatwa-fatwa yang ada. Media dimaksud tidak hanya terbatas pada media online, televisi, atau radio saja, akan tetapi

(19)

salah satu jalur utama yang dilintasi paham radikalisme untuk mencari korbannya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka harus terdapat sinergitas antara pihak-pihak terkait dan menghimpun seluruh ulama untuk menggelar konferensi bersekala internasional atau nasional.

Khusus untuk konteks Indonesia, harus melibatkan semua pihak mulai dari pelosok desa hingga kota, baik dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), FPI (Front Pembela Islam) dan lainnya. Sedangkan terkait dengan bagaimana teknis penghimpunan dan mekanisme konferensinya dapat dikonsultasikan dengan para pakarnya secara akademisi, analis, pengamat,

tokoh politik BNPT, POLRI, BIN, Lemsaneg, dan TNI dalam kerangka bernegara. Dengan menghimpun ulama secara holistik maka kesepakatan atau fatwa yang diputuskan bersama memiliki kekuatan super dahsyat untuk menggempur radikalisme, terorisme dan kroni-kroni dari akarnya.

Pada hakikatnya fatwa-fatwa kolektif tersebut harus diimplementasikan sesuai realitas yang lebih kongkrit. Oleh sebab itu, harus ada tim sukses yang akan membantu untuk mengimplementasikanya dengan menggunakan peran media, seperti tokoh masyarakat dan tokoh politik. Dapat dikatakan bahwa mereka yang terlibat sebagai tim pelaksana di lapangan atau sebagai alat penyuara yang digunakan oleh para ulama. Dengan demikian implementasi dari hal dimaksud diatas yang harus dilakukan pihak media di antaranya adalah ; (1) Menggelar konferensi media; (2) Mempublikasikan secara holistik; dan (3) Mengimbangi arus radikalisme dan terorisme dengan pemberitaan.

2.5.2 Peran dan Posisi Media dengan Pemerintah dan Aparat

Keamanan Dalam Pemberantasan Terorisme.

Peran media didalam pemberantasan terorisme memiliki dua pengaruh yang saling bertolak belakang yaitu keberhasilan dan kegagalan didalam pemberantasan terorisme. Informasi positif dapat membuahkan keberhasilan

(20)

pengakuan keberhasilan kemampuan negara dalam pemberantasan terorisme oleh masyarakat regional dan internasional. Sedangkan, informasi yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan, persepsi negatif regional dan internasional serta berkembangnya situasi yang tidak kondusif yang berdampak terhadap stabilitas nasional. Selain itu, sifat dual-use dunia media, dapat memberikan keuntungan maupun kerugian baik dari pihak aparat kemanan maupun pihak lawan. Sifat ini, juga dapat mencegah ancaman propaganda, disinformasi, dan pemberitaan tidak berimbang dengan menggunakan white propaganda dalam pemberantasan terorisme. Dengan penguasaan informasi potensial dapat meninggikan moril dan kewaspadaan

aparat keamanan serta melemahkan moril kelompok teroris.

(21)

sistem pertahanan dan keamanan21 dalam pemberantasan teroris. Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, agar tidak mengganggu program pemberantasan terorisme, sebagai berikut ; (1) Infrastruktur pertahanan; (2) Perencanaan, komando dan kendali; dan (3) Sistem persenjataan.

3. Penutup

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang di bahas dalam penulisan sebelumnya, maka penulis mengambil beberapa intisari dalam menganalisa tentang peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme, yaitu peran media bagi pemerintah menjadi sebuah sarana dan alat yang dapat digunakan untuk memperoleh keuntungan di dalam program pemberantasan terorisme, seperti dalam beberapa hal sebagai berikut ; (1) Memperoleh pengakuan atau legitimasi dalam program pemberantasan; (2) Menggalang dukungan dari berbagai pihak melalui media massa di berbagai wilayah dibelahan dunia; (3) Menyebarkan informasi dan pemberitaan tentang kebijakan dan strategi serta langkah-langkah yang diambil; dan (4) Sebagai sarana komunikasi antara pemimpin negara yang tersebar diberbagai daerah melalui media massa.

3.2 Saran

Dimasa yang akan datang, dalam konteks Indonesia, dalam penulisan ini terdapat beberapa saran tentang beberapa hal yang dapat kita bangun terkait peran dan posisi media dalam pemberantasan terorisme yang di bahas diatas, sebagai berikut ; (1) Menyesuaikan doktrin pertahanan dan kemanan terhadap ancaman melalui media informasi; (2) Merubah persepsi dan paradigma bangsa terhadap ancaman terorisme terkait pemberantasan terorisme; (3)

21

(22)
(23)

DAFTAR PUSTAKA :

Arreguin-Toft, Ivan. 2001. How the Weak Win Wars, dalam Jurnal International Security. Vol.26, No 1.

Buku Doktrin Pertahanan Negara tahun 2008.

Dorothy E. Denning. 2001. Activism, Hactivism, And Cyberterrorim : The Internet AS A Tool For Influencing Foreign Poplicy.

Gabriel Weimann. Cyberterrorism. 2004. How Real Is the Threat?. Wasingon, DC.

Grant Wardlaw. 1986. Political Terrorism, New York: Cambridge University Press. Hal. 14-15.

Hendropriyono, A.M. 2009. Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara. Hal 218, 341.

International Strategy For Cyberspace. 2011. Prosperity, Security, And Openness In a Networked World. Washington, DC.

Jeffrey Carr. 2012. Inside Cyber Warfare. Amerika Serikat : O’Reilly Media Inc. Hal 264.

Kemenhan RI. 2013. Kajian Organisasi Pertahanan Siber. Jakarta : Dirjen Pothan Kemhan RI.

Mbai, Ansyaad. 2014. Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia.

Resolusi majelis umum PBB No.60/288 tahun 2008 tentang Global Counter Terrorisme Strategy.

Rod Thornton. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press. Hal. 1.

Sumari, Arwin. 2006. Konsep Pengembangan Organisasi TNI AU Dalam Era Perang Informasi Ditinjau Dari Perspektif Operasi Informasi.

Referensi

Dokumen terkait

Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan menggunakan aktiva lancar yang dimilikinya.Rasio ini menunjukkan faktor dari

“Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat), variabel bebasnya dalam penelitian ini

Mengenai aspek 4 sampai dengan 8 dalam Tabel 1, hasil penelitlan Turner (2009:89) menunjukkan bahwa kombtnasi antara aspek-e spek tersebut, vait u nllel reahsme

Langkah-langkah yang harus kita lakukan untuk menyajikan informasi yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dapat disebut sebagai

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sekaligus tugas

Essential oil of Temu lawak tuber at concentration equal or lower than 0.5% v/v and 3% v/v respectively, will be studied in order to assess their potential ability for stimulate Ig

PERAN PEMIMPIN STRATEGIS: Memberikan arahan utk organisasi secara keseluruhan; Pemikiran strategis dan perencanaan strategis; Membuat semua itu terjadi; Menghubungkan bagian-2

Puncak-puncak kromatogram yang dihasilkan dengan intesitas puncak yang relatif tinggi dilakukan analisis fragmentasi massa dan fragmen-fragmen massa yang dihasilkan