• Tidak ada hasil yang ditemukan

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017

ISSN. 2442-9090

• Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan terhadap Kreditor

R. Kartikasari

ADHAPER

(2)

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau Sumatera Barat

Ali Amran ... 175–189 2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan

Perkawinan di Bawah Umur

Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari ... 191–203 3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)

Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand ... 205–226 4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan

Hidup

Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti ... 227–243 5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan

Perwakilan Kelompok (Class Action)

I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu

Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan ... 245–260 6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan

Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama

Moh. Ali ... 261–275 7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan

Ninis Nugraheni ... 277–293 8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum

Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan terhadap Kreditor

R. Kartikasari ... 295–316 9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial

dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada Perusahaan Pailit

Ronald Saija ... 317–329 10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup

Sri Laksmi Anindita ... 331–350

DAFTAR ISI

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER

(3)

v

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih

menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas

Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini

berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis

diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat

terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum

Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah

ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,

Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di

sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu

mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel

tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas

permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin

menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,

rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan

biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan

pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal

yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,

dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam

edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan

yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,

kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian

sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan

kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta

notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni

mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain

(4)

menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan

maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

(5)

295

KEPENTINGAN UMUM SEBAGAI SARANA PENYELESAIAN

UTANG PIUTANG DIHUBUNGKAN DENGAN

PERLINDUNGAN TERHADAP KREDITOR

R. Kartikasari*

ABSTRAK

Dalam melaksanakan atau mengembangkan kegiatan usahanya, para pelaku usaha memerlukan

modal dari pihak ketiga di luar perusahaan. Selama hubungan hukum tersebut berjalan dengan

baik, tidak akan timbul masalah hukum diantara para pihak, tetapi adakalanya pihak debitor

melakukan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, sehingga kreditor menjadi tidak terpenuhi

hak haknya. Lembaga kepailitan merupakan salah satu cara penyelesaian utang piutang dalam

sistem hukum Indonesia. Tujuan penulisan untuk menganalisis bagaimana kewenangan kejaksaan

dalam mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan kepentingan umum dan apakah kepailitan

atas permohonan kejaksaan sebagai sarana penyelesaian utang piutang dapat memberikan

perlindungan terhadap kreditor. Artikel ini merupakan hasil penelitian menggunakan pendekatan

yuridis normatif, obyek penelitian diutamakan pada data sekunder. Teknik Pengumpulan data

dilakukan studi dokumen, data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode yuridis

kualitatif. Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: (1) Berdasarkan UU Kepailitan

dan PKPU Kejaksaan memiliki kewenangan dalam mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan

kepentingan umum dan tidak perlu menggunakan jasa Advokat, tetapi tidak ada pengaturan lebih

lanjut tentang kewenangan Kejaksaan dalam proses dan tahapan kepailitan; (2) Kepailitan atas

permohonan kejaksaan sebagai sarana penyelesaian utang piutang belum memberikan perlindungan

terhadap kreditor. UU Kepailitan tidak mengatur kewenangan Kejaksaan dalam proses dan tahapan

kepailitan, sebaiknya dibuat Peraturan tentang kewenangan pihak pihak secara khusus mengajukan

kepailitan, yaitu Kejaksaan, OJK, Kementrian Keuangan, Bank Indonesia. Kejaksaan agar lebih

cermat apabila dalam masyarakat terdapat indikasi terjadinya kegiatan usaha yang tidak sehat dan

berpotensi merugikan masyarakat luas, sehingga apabila perlu segera dimohonkan kepailitan.

Kata kunci:Kepailitan, kepentingan umum, perlindungan, kreditor

LATAR BELAKANG

Untuk mencapai tujuan Nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang

Undang Dasar 1945, Bangsa Indosia melaksanakan pembangunan secara berkelanjutan,

(6)

termasuk pembangunan ekonomi. Kegiatan bisnis merupakan salah satu penunjang

pembangunan ekonomi, fungsi kegiatan bisnis adalah mengambil beraneka input dan memprosesnya menjadi output yang akan dibeli oleh konsumen. Input dapat berupa alat-alat, sumber daya manusia dan modal, sedangkan output yang dihasilkan dapat berupa baik barang maupun jasa.1 Sementara itu kegiatan bisnis pada umunya tidak dapat memproduksi barang

dan jasa tanpa sumber dana.2 Kebutuhan akan dana yang didapat dari pihak lain dapat berasal

dari pihak perbankan ataupun non-perbankan. Dana (modal) pinjaman yang diberikan kepada

peminjam dapat berupa kredit dari bank, surat-surat utang jangka pendek, surat-surat utang

jangka menengah, dan surat utang jangka panjang.3

Dalam kegiatan usaha banyak terjadi perikatan, pada umumnya didasari suatu perjanjian,

meskipun adakalanya perikatan terjadi berdasarkan Undang-undang baik yang sesuai dengan

hukum maupun karena perbuatan melawan hukum. Perikatan menimbulkan utang piutang

antara kreditor dan debitor, adakalanya tidak dapat diselesaikan secara musyawarah sehingga

menimbulkan sengketa. Salah satu kewajiban Debitor adalah membayar utang, apabila

kewajiban pengembalian utang tersebut berjalan lancar sesuai dengan perjanjian tentu tidak

menimbulkan masalah. Permasalahan akan timbul apabila Debitor mengalami kesulitan untuk

mengembalikan utangnya tersebut, dengan kata lain Debitor berhenti membayar utangnya,

baik karena tidak mampu membayar atau karena tidak mau membayar.4

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan sengketa yang terjadi

dalam dunia bisnis. Komar Kantaatmadja menyebutkan bahwa sengketa terjadi jika salah

satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat tetapi pihak lainnya

menolak berlaku demikian.5 Sengketa yang terjadi tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan

harus diselesaikan menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal di antara para pihak

yang bersengketa.6

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara litigasi dan non litigasi, sengketa

bisnis khususnya memiliki kecenderungan untuk memilih lembaga penyelesaian sengketa non

litigasi. Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis saat ini

telah menimbulkan implikasi terhadap lembaga pengadilan.Pengadilan yang secara konkret

1 Richrad J. Briston, 1981, Introduction to Accountancy and Finance, Institut of Cost and Management Accountants

Incorporated by Royal Charter (Southeast Asian Reprint), London, h. 319.

2 Ramesh K.S. Rao, 1992, Financial Management Concept and Aplication, Macmillan Publishing Commpany, New

York, h.3.

3 Sutan Remi Sjahdeni, 2002, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 6.

4 Man S. Sastrawidjaja, 2010, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, 2010, PT Alumni,

Bandung, h.1.

5 Otje Salman S., 2001, “Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses Penyelesaian Sengketa”. Dalam Hendarmin Djarab

dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 3.

(7)

mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa,

serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan, dianggap sebagai tempat menyelesaikan

sengketa yang tidak efektif dan efisien.7

Salah satu cara menyelesaikan utang piutang antara kreditor dan debitor adalah melalui

lembaga kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selajutnya ditulis UU Kepailitan

dan PKPU). Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan dan PKPU memberikan pengertian Kepailitan

sebagai berikut:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

diatur dalam undang-undang ini”.

Dalam penjelasan umum UUKepailitan dan PKPU dikemukakan beberapa alasan tentang

perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang,

yaitu:

1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa

kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;

2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut

haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan

debitor atau para kreditor lainnya;

3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang

kreditor atau debitor sendiri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU seorang debitor hanya

dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan apabila memiliki dua atau lebih kreditor

dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU diatas, penyelesaian sengketa melalui

kepailitan merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan, tetapi

memiliki beberapa ciri yang berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui peradilan umum,

antara lain terdapat batas waktu untuk beracara, putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu

(uitvoerbaar bij voorraad), pengurusan oleh Kurator dan terdapat hakim pengawas.

Dalam Pasal 300 ayat (1) UUK-PKPU disebutkan bahwa pengadilan yang memiliki

kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga.

(8)

Kewenangan Pengadilan Niaga tersebut adalah mutlak, artinya tidak ada badan atau lembaga

lain yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan selain Pengadilan Niaga.

Dengan demikian, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan permohonan pailit kepada selain

Pengadilan Niaga.8 Proses penyelesaian sengketa melalui lembaga kepailitan di pengadilan

niaga akan dilaksanakan apabila terdapat permohonan dari pihak yang berkepentingan atau

berwenang. Berdasarkan Pasal 2 UU Kepailitan dan PKPU kepailitan dapat dimohonkan oleh

Debitor, Kreditor, Kejaksaan, Menteri Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan.

Permohonan kepailitan oleh kejaksaan belum banyak dilakukan, antara lain disebabkan

UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur secara jelas bagaimana kedudukan kejaksaan

dalam proses kepailitan sehingga dapat memberikan perlindungan hukum terhadap kreditor

. Berkenaan dengan hal tersebut dapat dirumuskan pokok bahasan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana kewenangan kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan

kepentingan umum?

2. Bagaimana kepailitan atas permohonan kejaksaan sebagai sarana penyelesaian utang

piutang dihubungkan dengan perlindungan terhadap kreditor?

Penulisan artikel ini didahului dengan dengan penelitian, menggunakan pendekatan

yuridis normatif sehingga obyek utama penelitian adalah data sekunder yang terdiri dari bahan

hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen

kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitis.

PEMBAHASAN

Kewenangan kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan kepentingan umum

Jabatan jaksa sering diidentikkan dengan perkara pidana. Hal ini bisa jadi disebabkan

“melekatnya” fungsi Penuntutan9 oleh jaksa, yang mana fungsi tersebut berada dalam ranah

hukum pidana. Dalam perkara pidana, jaksa bertindak sebagai Penuntut Umum di persidangan,

yang bertugas melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Padahal, dengan

adanya pembagian bidang dalam Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia2,

yaitu melalui Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN), jaksa dapat bertindak baik

8 Sutan Remy Sjahdeini, 2010, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang

Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 144.

9 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

(9)

di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara, pemerintahan (instansi

pemerintah pusat/daerah, badan usahan milik Negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah

(BUMD)), bahkan perorangan dalam lingkungan selain hukum pidana. Seorang jaksa yang

mewakili negara dan pemerintahan dalam perkara DATUN biasa disebut Jaksa Pengacara

Negara (JPN).

UU Kejaksaan mengukuhkan beberapa fungsi dan tugas lembaga kejaksaan yang bersifat

represif maupun preventif yang berkenaan dengan ketertibandan ketenteraman umum,

antara lain meningkatkan kesadaran hukum masyarakat,mengamankan kebijakan penegakan

hukum, mengawasi peredaran barang cetakandan mengawasi aliran kepercayaan yang dapat

membahayakan masyarakat dan negara.

Fungsi lembaga kejaksaan dalam penegakan hukum pidana sudah lama dikenal, tetapi

fungsi kejaksaan di luar hukum pidana, termasuk penegakan hokum kepailitan nampaknya

masih kurang popular. Sebenarnya fungsi lembaga kejaksaan di luar hukum pidana sudah

dikenal sejak tahun 1922 dimana lembaga kejaksaan merupakan wakil negara dalam hukum,

yang selanjutnya dikenal dan ditegaskan lagisebagai Jaksa Pengacara Negara. Sebenarnya

fungsi jaksa sebagai pengacara Negara bukanlah hal yang baru, karena telah menjadi hukum

berdasarkan Koninklijk Besluittertanggal 27 April 1922 (Stb. 22 – 522). Selanjutnya di dalam UU No. 5 Tahun1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa pejabat

pemerintah manapun yang melakukan tindakan hukum melalui keputusan dan ketetapannya

harus menerapkan asas pemerintahan yang baik. Kalau hal tersebut tidak dilaksanakan, maka

hakim Tata Usaha Negara dapat membatalkan keputusan atau ketetapan tersebut. Dalam

rangka inilah kejaksaan dapat memiliki peranan yang penting sebagai pengacara negara untuk

membela dan memberikan nasihatnyakepada para pejabat pemerintah.

Berdasarkan perkembangan selanjutnya mengenai Jaksa Pengacara Negaradalam

bidang Perdata dan Tata Usaha Negara diatur di dalam KEPJA nomor: KEP-039/J.A/4/1993

tanggal 1 April 1993 tentang Administrasi Perkara DATUN dan surat edaran JAM DATUN

nomor: B-039/G/4/1993, tanggal 27 April 1993, tanggal 27 April 1993 tentang Sebutan Jaksa

Pengacara Negara bagi Jaksa yangmelaksanakan tugas DATUN, maka istilah resmi yang

digunakan para Jaksa dalam melaksanakan tugas serta fungsi DATUN adalah Jaksa Pengacara

Negara (JPN) dandiatur juga pada Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 tentang Lembaga

KejaksaanRepublik Indonesia dan sekarang diatur dalam Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004

Tentang Lembaga Kejaksaan Republik Inonesia

Secara lebih rinci tugas dan wewenang Kejaksaan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor

Kejaksaan 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi Tata Kerja Kejaksaan. Tugas JPN diatur dalam

(10)

Standar Operating Prosedur (SOP) Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Wewenang Perdata dan Tata

Usaha Negara. Menurut peraturan tersebut, tugas JPN meliputi bantuan hukum, pertimbangan

hukum, pelayan hukum, penegakan hukum, dan tindakan hukum lain:

1. Bantuan Hukum adalah tugas JPN dalam perkara perdata maupun tata peusaha negara

untuk mewakili lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah, BUMN/BUMD,

berdasarkan Surat Kuasa Khusus, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat yang

dilakukan secara litigasi maupun non litigasi.

2. Pertimbangan Hukum adalah tugas JPN untuk memberikan pendapat hukum (Legal Opinion) dan/atau pendampingan (Legal Assistance) di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara atas dasar permintaan dari lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah,

BUMN/BUMD, yang pelaksanaannya berdasarkan Surat Perintah JAM DATUN, Kepala

Kejaksaan Tinggi (KAJATI), Kepala Kejaksaan Negeri (KAJARI).

3. Pelayanan Hukum adalah tugas JPN untuk memberikan penjelasan tentang masalah

hukum perdata dan tata usaha negara kepada anggota masyarakat yang meminta.

4. Penegakan Hukum adalah tugas JPN untuk mengajukan gugatan atau permohonan

kepada pengadilan di bidang perdata sebagaimana ditetapkan oleh peraturan

perundang-undangan dalam rangka memelihara ketertiban hukum, kepastian hukum dan melindungi

kepentingan negara dan pemerintah serta hak-hak keperdataan masyarakat, antara lain:

pembatalan perkawinan, pembubaran Perseroan Terbatas (PT) dan pernyataan pailit.

5. Tindakan Hukum Lain adalah tugas JPN untuk bertindak sebagai mediator atau fasilitator

dalam hal terjadi sengketa atau perselisihan antarlembaga negara, instansi pemerintah di

pusat/daerah, BUMN/BUMD di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

Apabila dicermati lebih lanjut ada persamaan antara fungsi lembaga kejaksaan dalam

penegakan hukum pidana dengan fungsi lembaga kejaksaan dalam hukum perdata khususnya

dalam hukum kepailitan, dimana keduanya berasal dari peraturan perundang-undangan.

Pengertian kepentingan umum sering dijumpai sangat berbeda rumusannya satu dengan

yang lainnya.Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Berdasarkan

ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 tersebut, kepentingan umum harus memenuhi

syarat-syarat, yaitu:10

1. Produksi yang penting bagi negara.

2. Menguasai hajat hidup orang banyak.

10 Suhadibroto, 1994, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Jaksa Agung Muda

(11)

Kepentingan umum misalnya diatur dalam Pasal 35 (c) UU No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan RI dirumuskan, ”Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengenyampingkan

perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam Penjelasannya disebutkan ”Kepentingan

Umum” sebagai kepentingan bangsa/negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Penjelasan

tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari ”kepentingan

negara”, ”kepentingan bangsa”, atau ”kepentingan masyarakat secara luas” dimaksud, dengan

demikian mengundang penafsiran yang beragam, baik di kalangan praktisi hukum, akademisi

hukum, maupun masyarakat pada umumnya.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya ditulis UU Kepailitan dan PKPU) kejaksaan dapat

mengajukan permohonan pailit berdasarkan kepentingan umum. Kemudian dalam penjelasan

Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU, yang dimaksud dengan “kepentingan umum”

hanya dikatakan hanyalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat,

misalnya:

1. Debitor melarikan diri.

2. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.

3. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya

yang menghimpun dana dari masyarakat.

4. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas.

5. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah

utang-piutang yang telah jatuh tempo.

6. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU mengakomodasi apa yang telah

dicantumkan dalam penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 Tentang

Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum.

Berkenaan dengan contoh contoh kepentingan umum berdasarkan UU Kepailitan dan

PKPU penulis memberi catatan terhadap “debitor mempunya utang terhadap BUMN” dan

“debitor tidak kooperatif”, hal tersebut harus dilaksanakan secara selektif dan jangan dipahami

bahwa semua debitor yang memiliki utang kepada BUMN kepailitannya harus dimohonkan

oleh kejaksaan. Harus dilaksanakan secara selektif dan diperhatikan ketentuan ketentuan lain

yang mendasari timbulnya utang piutang antara kreditor dan debitor, agar tidak membebani

pihak kejaksaan.

Sebelum adanya UU Kepailitan dan PKPU, dalam Undang-Undang Kepailitan tidak

(12)

Penafsirannya diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan

bahwa kepentingan umum ada apabila tidak ada kepentingan perorangan, melainkan

alalsan-alasan yang bersifat umum .

Selain mengacu pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU kepailitan dan PKPU, Tolok ukur

untuk menentukan ada atau tidak adanya unsur kepentingan umum dalam hal Kejaksaan

mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitor diserahkan saja secara

kasuistis kepada hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa permohonan pernyataan pailit

itu. Hal ini sejalan semangat ketentuan Pasal 57 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum yang memberikan wewenang kepada Ketua Pengadilan untuk menentukan

bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum.

Berdasarkan penjabaran beberapa peraturan perundang-undangan diatas, jelas dilihat

bahwa tidak ada batasan yang baku mengenai apa yang dimaksudkan dengan “kepentingan

umum”. Apabila ada beberapa peraturan perundang-undangan yang telah memberikan batasan

mengenai apa yang dimaksudkan dengan “kepentingan umum”, batasan kepentingan umum

yang dimaksud oleh pengertian itu hanya untuk pengertian peraturan perundang-undangan

yang dimaksud itu saja. Pengertian itu tidak dapat dipakai untuk diterapkan bagi pengertian

kepentingan umum dalam undang-undang yang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa

kepentingan umum memiliki pengertian yang luas.

UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur secaralengkap tentang tentang permohonan dan

proses kepailitan oleh kejaksaan, salah satu kekhususan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (2)

UU Kepailitan dan PKPU permohonan kepailitan oleh kejaksaan tidak perlu menggunakan

jasa advokat. Keuntungan dari penyerahan permohonan kepailitan oleh kejaksaan adalah tidak

memberatkan dari sisi biaya, karena kejaksaan tidak mengenakan biaya kepengacaraan (lawyer fee), tetapi hanya memerlukan biaya biaya operasional dalam pengurusan harta. Biasanya advokat akan mengenakan biaya yang tinggi, karena walaupun prosedur kepailitan singkat,

akan tetapi kepailitan adalah suatu perkara hukum mendetail serta memerlukan pemahaman

teori dan praktik memadai, sehingga tidak semua advokat kuasai.11

Sampai saat ini tidak banyak permohonan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, antara

lain kepailitan PT. Qurnia Subur Alam Raya yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Sukabumi

berdasarkan amar putusan pidana dan Kepailitan PT Aneka Surya Agungyang diajukan oleh

Kejaksaan Lubuk Pakam. Dalam perkembangannya cukup banyak sengketa utang piutang

11 B.G.M. Widipradnyana Arjaya, “Wewenang Kejaksaan Sebagai Pemohon Pailit Untuk Kepentingan Negara

(13)

antara perusahaan baik yang berbentuk Koperasi maupun Perseroan Terbatas yang melibatkan

masyarakat banyak, terutama terkait usaha simpan pinjam, investasi seperti kasus Koperasi

Cipaganti, Koperasi Pandawa, Biro Jasa haji dan Umroh PT First Travel. Menurut penulis

seharusnya kejaksaan lebih cepat mengantisipasi kasus kasus tersebut dan memohonkan

kepailitan terhadapnya, karena sudah terpenuhi syarat yang tercantum dalam penjelasan Pasal

2 UU Kepailitan PKPU, tidak perlu menunggu pelaporan atau putusan perkara pidana.

Kepailitan atas permohonan kejaksaan sebagai sarana penyelesaian utang piutang

dihubungkan dengan perlindungan terhadap kreditor.

UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur sejauh mana peran kejaksaan dapat mewakili

kepentingan umum dalam proses kepailitan, misalnya dalam rapat verifikasi, perdamaian,

renvooi procedure (apabila ada), actio pauliana dan lain lain, beberapa hal tersebut yang menurut penulis cukup penting untuk tercapainya perlindungan hukum yang optimal bagi

kepentingan umum dan atau kreditor.

Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum untuk mewujudkan prinsip jaminan

dalam suatu perikatan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang undang

Hukum Perdata (selanjutnya ditulis KUHPerdata).

Pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

“Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.

Selanjutnya dalam yaitu Pasal 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para bepiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Kedua pasal tersebut merupakan dasar hukum bagi kreditor baik kreditor konkuren

maupun kreditor separatis untuk melakukan tuntutan kepada debitor, sehingga apabila

debitor tidak dapat membayar utang nya, maka harta bendanya baik benda tetap maupun

benda bergerak maupun yang sudah ada maupun yang barur aka nada menjadi jaminan bagi

pemenuhan hak hak kreditor. Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas, yaitu Pasal 1131 dan

1132 KUHPerdata, maka UU Kepailitan dan PKPU sebagai undang-undang yang mengatur

(14)

pengaturannya. Dapat dikatakan bahwa Kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1131 dan

1132 KUHPerdata.12

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan ketentuan tersebut di atas merupakan ketentuan

yang bersifat umum, artinya yang menjadi jaminan adalah semua harta benda milik debitor

baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, baik benda sudah ada maupun yang baru

akan ada, jaminan tersebut berlaku untuk semuat utang debitor dan berlaku untuk seluruh

kreditor.13 Jadi jaminan umum timbul dari undang-undang, tanpa ada perjanjian yang

diadakan oleh para pihak lebih dahulu, para kreditor konkuren semuanya secara

bersama-sama memperoleh jaminan umum tersebut, ditinjau dari sifat haknya, para kreditor konkuren

itu mempunyai hak yang bersifat perorangan, artinya hanya dapat dipertahankan terhadap

orang tertentu. Dalam bukunya yang lain Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan

bahwa undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditor dalam kedudukan yang

sama, atau di sini berlaku asa paritas creditorum, yang pembayaran atau pelunasan hutang kreditor dilakukan secara berimbang (ponds-ponds gewijjs). Dengan demikian para kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor yang bersaing dalam pemenuhan piutangnya kecuali

ada alasan yang memberikan kedudukan preferen (droit de orefernce).14

Seseorang (debitor) dapat dinyatakan pailit apabila memenuhi syarat sebagai berikut:15

“Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.

Berdarkan Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan dan PKPU yang dimaksud dengan utang,

adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam

mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan

timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang

dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor

untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

12 Siti Sumarti Hartono, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, 1993, Seksi Hukum

Dagang FH UGM, Yogyakarta, h. 3.

13 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1984, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan

Perorangan, Liberty, Yogyakarta, h. 45.

(15)

Berdasarkan Pasal 6 UU Kepailitan dan PKPU, permohonan pailit dilakukan sebagai

berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan.

2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang

bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang

ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal

pendaftaran.

3. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak

sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.

4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling

lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan

pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

6. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka

waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

7. Atas permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda

penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan paling

lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Permohonan kepailitan harus diajukan oleh seorang advokat, kecuali permohonan yang

diajukan sendiri oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal yang kini

digantikan oleh Otoritas Jasa Keuangan, dan Menteri Keuangan.

Setelah Hakim menjatuhkan putusan pailit, maka akan diangkat Kurator dan Hakim

Pengawas. Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk Pengadilan Niaga, dan tugas

utamanya adalah mengawasi pekerjaan Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta

kekayaan Debitor Pailit. Kepailitan menyebabkan seorang Debitor tidak dapat lagi mengurusi

harta kekayaannya, dan pengurusan harta kekayaannya tersebut dilakukan oleh Kurator.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU Kepailitan dan PKPU disebutkan bahwa:

1. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit

sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan

kasasi atau peninjauan kembali;

2. Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau

peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau

pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana

(16)

Dalam menjalankan wewnang dan tugasnya kurator harus memperhatikan kedudukan

masing masing Kreditor, dalam kepailitan kreditor terbagi dalam 3 kelompok, yaitu:

a. Kreditor Separatis, yaitu kreditor yang memiliki kedudukan istimewa karena memiliki

jaminan hak kebendaan, seperti gadai, hak tanggungan, hipotik atau fidusia.

b. Kreditor Preferent, yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa untuk didahulukan

pembayaran utangnya berdasarkan ketentuan undang-undang.

c. Kreditor Konkuren, yaitu kreditor adalah kreditor bersaing yang akan memperoleh

pembayarannya secara proporsional sesuai dengan besarannya piutang.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa putusan pailit bersifat dapat dilaksanakan

terlebih dahulu sekalipun terdapat upaya hukum (uitvoerbaar bij voorraad), oleh karena itu dengan dijatuhkannya vonnis Failit proses kepailitan serta merta memasuki fase Penitipan

(sequestrasi). Dalam fase Penitipan terdapat kegiatan yang sangat penting untuk proses kepailitan selanjutnya yaitu rapat pencocokan utang piutang (rapat verifikasi). Berdasarkan

hasil rapat verifikasi tersebut terdapat 3 jenis Kreditor, yaitu:

1. Kreditor yang diakui

2. Kreditor yang diakui sementara

3. Kreditor yang dibantah.

Pada proses kepailitan dikenal pula Panitia Kreditor, yaitu 3 orang yang dipilih dari

Kreditor yang dikenal memiliki keahlian tertentu yang dapat memberikan pendapat dan nasihat

kepada Kurator. Panitia Kreditor terdiri dari Panitia Kreditor Sementara yang dibentuk setelah

putusan pailit, dan Panitia Kreditor Tetap yang dibentuk setelah Rapat Pencocokan Piutang

selesai, dan wajib ditawarkan oleh Hakim Pengawas.

Dalam rapat verifikasi ada kemungkinan ditawarkan perdamaian (Accoord), yaitu merupakan penawaran Debitor Pailit untuk membayar sebagian utangnya dengan syarat

bahwa setelah melakukan pembayaran itu Debitor Pailit dibebaskan dari sisa uatangnya, dan

setelah Debitor Pailit membayar utang yang telah disepakati dalam perjanjian perdamaian,

maka Debitor Pailit tidak mempunyai utang lagi. Perdamaian yang diajukan dalam Kepailitan

diatur dalam Pasal 144 sampai dengan Pasal 177 UU Kepailitan dan PKPU. Dalam Pasal 144

UU Kepailitan dan PKPU disebutkan bahwa “Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu

perdamaian kepada semua Kreditor.

Isi rencana perdamaian kemungkinan utang akan dibayar sebagian, utang akan dibayar

dicicil, atau utang akan dibayar sebagian dan sisanya dicicil. Rencana perdamain ini wajib

dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya Rapat Pencocokan Piutang (Rapat

(17)

1. Apabila Debitor Pailit mengajukan rencana Perdamaian (Accoord), paling lambat 8 hari sebelum rapat pencocokan piutang menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan

agar dapat dilihat dengan Cuma-Cuma oleh setiap orang yang berkepentingan, rencana

perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya

pencocokan piutang, kecuali dalam hal yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 147 UU Kepailitan dan PKPU;

2. Bersamaan dengan penyediaan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) di Kepaniteraan Pengadilan maka salinannya wajib dikirim kepada masing-masing

anggota panitia kreditor sementara.

Terkait rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor pailit, Pasal 146 UU Kepailitan

dan PKPU menyebutkan bahwa Kurator dan Panitia Kreditor Sementara wajib memberikan

pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat pencocokan piutang. Biasanya isi

Perdamaian berupa penawaran debitor pailit untuk membayar sebagian dari utangnya, dengan

syarat bahwa setelah melakukan pembayaran tersebut debitor dibebaskan dari sisa utangnya,

sehingga setelah ia membayar utang yang telah diperjanjikan itu, ia tidak mempunyai utang

lagi.

Rencana Pedaian yang diajukan oleh Debitor pailit harus mendapat persetujuan dari para

Kreditor, oleh karena itu harus dilaksanakan Rapat para Kreditor.Pemungutan suara diatur

dalam Pasal 151 UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa:

“Rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam Rapat Kreditor oleh lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapatb tersebut”.

Selanjutnya Pasal 152 UU Kepailitan dan PKPU mengatur:

1. Apabila lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor yang hadir pada Rapat Kreditor dan mewakili paling sedikit ½ (satu perdua) dari jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian, maka dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan pemanggilan.

(18)

Perubahan yang terjadi kemudian, baik mengenai jumlah Kreditor maupun jumlah

piutang, tidak mempengaruhi sahnya penerimaan atau penolakan perdamaian (Pasal 153 UU

Kepailitan dan PKPU). Pemungutan suara ini ini diadakan untuk mencapai pengesahan. Berita

Acara Rapat memuat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 154 UU Kepailitan dan PKPU:

1. Isi perdamaian,

2. Nama Kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara dan menghadap,

3. Suara yang dikeluarkan,

4. Hasil pemungutan suara, dan

5. Segala sesuatu yang terjadi dalam rapat.

Setelah Perdamaian diterima, maka sebelum rapat ditutup Hakim Pengawas menetapkan

hari sidang dimana Pengadilan Pengadilan Niaga akan memutuskan tentang pengesahan

(homologatie) perdamaian tersebut. Sidang tersebut harus diadakan paling cepat 8 (delapan) hari, dan paling lambat 14 (empat belas) sesudah pemungutan suara tentang perdamaian.

Pengesahan perdamaian ini dilakukan sebagai berikut:

1. Pada hari sidang yang telah ditetapkan , hakim pengawas dalam sidang terbuka

memberikan laporan tertulis;

2. Tiap-tiap Kreditor, baik ia sendiri ataupun dengan perantaraan wakilnya, dapat

menjelaskan alasan-alasan yang menyebabkannya menghendaki pengesahan perdamaian

atau menolaknya;

3. Debitor berhak pula untuk mengajukan alasan-alasan untuk membela kepentingannya;

Perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua Kreditor yang tidak mempunyai hak

untuk didahulukan, dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam

kepailitan maupun tidak.

Dalam hal perdamaian atau pengesahan ditolak, Debitor Pailit tidak dapat menawarkan

kembali perdamaian dalam kepailitan tersebut. Perdamaian akan ditolak apabila:

1. Keuntungan budel jauh lebih tinggi dari jumlah yang diperjanjikan dalam Perdamaian.

2. Apabila pemenuhan Perdamaian tidak terjamin

3. Bilamana terjadi penipuan

Akibat hukum dari Perdamaian adalah: apabila Perdamaian diterima dan disahkan,

maka Pengesahan Perdamaian akan mengakhiri Kepailitan, sedangkan apabila pengesahan

perdamaian ditolak Kepailitan dibuka kembali dan proses kepailitan akan memasuki fase

Insolvensi atau fase pelelangan. Pada fase insovensi semua harta debitor failit dijual/dilelang

(19)

Kreditor. Kreditor Preferent akan didahulukan pelunasannya, Kreditor Konkuren akan

mendapatkan pembayaran secara proporsional/pari pasu/ponds ponds gewijs.

Tujuan kepailitan pada hakikatnya adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum

atas harta kekayaan si berutang, disita untuk kepentingan semua kreditornya.16 Lebih lanjut

kepailitan adalahmembagi-bagikan hasil penjualan harta pailit secara proporsionalkepada

para kreditor, prinsip yang demikian disebut concursus creditorium.17

Kedudukan istimewa atau privilege kreditor hanya dimilki oleh kreditor yang menerima jaminan kebendaan terhadap benda tertentu milik debitor, karena pemberian jaminan kebendaan

selalu berupaya menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang pemberi jaminan dan

menyediakan untuk pemenuhan (pembayaran) kewajiban (utang) debitor.18

Jaminan sangat bermanfaat untuk mempermudah pengembalian kredit, terutama apabila

proyek yang dibiayai kredit memiliki risiko tinggi. Penulis menyetujui pendapat Djuhaendah

Hasan, bahwa jaminan merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditor, yaitu kepastian

akan pelunasan utang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau penjamin

debitor.19

Jaminan yang dapat diberikan oleh pihak debitor terhadap perikatan yang dilakukannya

dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan adalah

jaminan berupa harta kekayaan baik benda bergerak maupun hak kebendaan lainnya yang

diberikan dengan cara pemisahan bagian harta kekayaan debitor atau pihak ketiga, guna

menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor kepada pihak kreditor apabila debitor

cedera janji.20

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan jaminan yang bersifat kebendaan ialah jaminan

yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan

langsung atas benda-benda tertentu dari debitor, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu

mengikuti benda (droit de suit), dan dapat diperalihkan.21

16 Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, PT Rineka Cipta,

Jakarta, h. 48.

17 Y. Yogar Simamora, “Catatan Terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan”, 2001, , Volume

16 No. 1, Majalah Yuridika, h. 16.

18 Subekti, 1989, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, h. 17. 19 Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam

Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 233.

20 Hasanuddin Rahman, 1995, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indoensia (Panduan Dasar:

Legal Officer), PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 180.

(20)

Selanjutnya Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa perjanjian jaminan kebendaan

merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan obyek jaminan untuk suatu

ketika dapat diuangkan bagi pelunasan atau pembayaran hutang apabila debitor melakukan

cidera janji atau ingkar janji. Selain itu kreditor pemegang jaminan mempunyai hak untuk

didahulukan terhadap pembagian hasil eksekusi dari benda-benda tertentu dari debitor. Hak

preferen yang dikandung dalam jaminan kebendaan memberikan kedudukan istimewa kepada

para kreditor lain dalam pengambilan pelunasan piutang dari obyek benda jaminan. Bahkan

apabila debitor pailit, para kreditor ini dapat bertindak terhadap obyek jaminan seolah-olah

tidak ada kepailitan, benda jaminan tidak dimasukkan kedalam harta kepailitan (boedel pailit). Kreditor preferen disini merupakan kreditor separatis.22

Bagi para Krediror pemegang jaminan pemenuhan piutang dan hak separatisnyaharus

memperhatikan ketentuan ketentuan dalam UU Kepailitan dan PKPU sebagai berikut:

Pasal 55

(1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia,

hak tanggungan, hipotek, atau hakagunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

(2) Dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 137 maka mereka hanya dapat berbuat demikian setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dan jumlah yang diakui dari penagihan tersebut.

Pasal 56

(1) Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. (2) Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap

tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak Kreditor untuk memperjumpakan utang.

(3) Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun

(21)

benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 57

(1) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).

(2) Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut.

(3) Apabila Kurator menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas.

(4) Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterima, wajib memerintahkan Kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, Kreditor dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk didengar pada siding pemeriksaan atas permohonan tersebut.

(5) Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Hakim Pengawas.

(6) Dalam memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Hakim Pengawas mempertimbangkan:

a. lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung; b. perlindungan kepentingan Kreditor dan pihak ketiga dimaksud; c. kemungkinan terjadinya perdamaian;

d. dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen usaha Debitor serta pemberesan harta pailit.

Pasal 58

(22)

lebih Kreditor, dan/atau menetapkan persyaratan tentang lamanya waktu penangguhan, dan/atau tentang satu atau beberapa agunan yang dapat dieksekusi oleh Kreditor.

(2) Apabila Hakim Pengawas menolak untuk mengangkat atau mengubah persyaratan penangguhan tersebut, Hakim Pengawas wajib memerintahkan agar Kurator memberikan perlindungan yang dianggap wajar untuk melindungi kepentingan pemohon.

(3) Terhadap penetapan Hakim Pengawas, Kreditor atau pihak ketiga yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) atau Kurator dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan diucapkan, dan Pengadilan wajib memutuskan perlawanan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perlawanan tersebut diterima.

(4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan upaya hukum apapun termasuk peninjauan kembali.

Pasal 59

(1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat(1).

(2) Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut. (3) Setiap waktu Kurator dapat membebaskan benda yang menjadi agunan dengan

membayar jumlah terkecil antara harga pasar benda agunan dan jumlah utang yang dijamin dengan benda agunan tersebut kepada Kreditor yang bersangkutan.

Pasal 60

(23)

hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya kepada Kurator.

(2) Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.

(3) Dalam hal hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang.

Kepailitan debitor tidak terjadi secara tiba tiba, pada umumnya diawali dengan proses

kesulitan keuangan atau bukan mungkin terjadi kebangkrutan perusahaan yang disengaja

untuk tujuan tujuan tertentu, sehingga UU Kepailitan menyediakan lembaga “Actio Pauliana” yang bertujuan untuk melindungi boedel pailit dan kepentingan para kreditor. Pasal 41 UU

Kepailitan dan PKPU mengatur sebagai berikut:

1. Untuk kepentingan harta pailit kepada pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala

perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan

kreditor yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan;

2. Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan apabila dapat

dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa

perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa

perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor;

3. Dikecualikan dari ketentuan tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

perbuatan hukum Debitor yang sifatnya wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau

karena Undang-undang.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pelaksaan kepailitan pasca

dijatuhkannya vonis pailit cukup rumit, memerlukan ketelitian, kehatia hatian serta pengawasan

baik dari pihak kurator, debitor dan kreditor, serta hakim pengawas. Dalam hal kejaksaan

mewakili kepentingan umum, seharusnya diberikan kewenangan untuk mengikuti tahap tahap

atau peristiwa hukum dalam pelaksanaan kepailitan, seperti rapat verivikasi, perdamaian,

eksekusi benda jaminan atau actio pauliana. UU Kepailitan tidak mengatur kewenangan

(24)

pihak pihak secara khusus mengajukan kepailitan, yaitu Kejaksaan, OJK, Kementrian

Keuangan, Bank Indonesia.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU, Kejaksaan memiliki kewenangan dalam

mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan kepentingan umum dan tidak perlu

menggunakan jasa Advokat, tetapi tidak ada pengaturan lebih lanjut tentang kewenangan

Kejaksaan dalam proses dan tahapan kepailitan. Kepailitan atas permohonan kejaksaan

sebagai sarana penyelesaian utang piutang belum memberikan perlindungan terhadap

kreditor, antara lain disebabkan tidak ada pengaturan kewenangan kejaksaan dalam proses

dan tahapan kepailitan, sehingga Kejaksaan sulit untuk mempertahankan kepentingan umum

yang diwakilinya.

Saran

1. UU Kepailitan tidak mengatur kewenangan Kejaksaan dalam proses dan tahapan kepailitan,

sebaiknya dibuat Peraturan tentang kewenangan pihak pihak secara khusus mengajukan

kepailitan, yaitu Kejaksaan, OJK, Kementrian Keuangan, Bank Indonesia.

2. Kejaksaan agar lebih cermat apabila dalam masyarakat terdapat indikasi terjadinya

kegiatan usaha yang tidak sehat dan berpotensi merugikan masyarakat luas, sehingga

apabila perlu segera dimohonkan kepailitan.

DAFTAR BACAAN

Buku:

Briston, Richrad J., 1981, Introduction to Accountancy and Finance, Institut of Cost and Management Accountants Incorporated by Royal Charter (Southeast Asian Reprint), London.

Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

(25)

Marmosudjono, Sukarton, 1989, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Penerbit Pustaka

Kartini, Jakarta.

Masjchoen Sofwan, Sri Soedewi, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, LibertyYogyakarta, Liberty.

---, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta.

Rahman, Hasanuddin, 1995, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indoensia

(Panduan Dasar: Legal Officer), PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Rao, Ramesh K.S, 1992, Financial Management Concept and Aplication, Macmillan Publishing Commpany, New York.

Remy Sjahdeni, Sutan, 2002, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Remy Sjahdeini, Sutan, 2010, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Sastrawidjaja, Man S, 2010, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung.

Salman S, Otje, 2001, “Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses Penyelesaian Sengketa”. Dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sumarti Hartono, Siti, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Seksi Hukum Dagang FH UGM, Yogyakarta

Suparman, Eman, 2012, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT Fikahati Aneska, Jakarta.

Subekti, 1989, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung.

Suhadibroto, 1994, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara,Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan:

(26)

Jurnal:

Widipradnyana Arjaya, B.G.M “Wewenang Kejaksaan Sebagai Pemohon Pailit Untuk

Kepentingan Negara Terhadap Utang Pajak Subyek Hukum Dari Negara Anggota ASEAN

Non Indonesia Pasca Berlakunya AEC”, 2004, Volume 3 Nomor 2, Rechtsvinding.

Simamora, Yogar, “Catatan Terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan”,

Referensi

Dokumen terkait

• Rekaman Pembicaraan Telepon sebagai Alat Bukti Perjanjian Bank dengan Nasabah pada Bancassurance..

Sharma menyatakan bahwa hukum kontrak adalah salah satu dasar dan institusi yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat yang dominasinya sangat luas dan kompleks meliputi

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang.

Pasal 125 ayat (1) HIR mengatur bahwa jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, lagipula tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, meskipun

melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau

Kedudukan hakim tunggal dalam gugatan sederhana ini bertujuan agar proses persidangan menjadi lebih cepat dan efisien yang mana hal ini mempresentasikan bahwa peradilan di Indonesia

dispensasi untuk melangsungkan perkawinan yang ditujukan melalui permohonan ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri sesuai dengan agama pemohon. Oleh karenanya

Disamping itu juga terjadi sengketa antar kaum dikarenakan batas sepadan tanah yang kurang jelas sehinga kaum yang satu menggarap milik kaum yang lain dengan cara memindahkan