• Tidak ada hasil yang ditemukan

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017

ISSN. 2442-9090

• Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau Sumatera Barat

Ali Amran

J U R N A L

H U K U M

A C A R A

P E R D A T A

ADHAPER

(2)

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau Sumatera Barat

Ali Amran ... 175–189 2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan

Perkawinan di Bawah Umur

Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari ... 191–203 3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)

Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand ... 205–226 4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan

Hidup

Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti ... 227–243 5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan

Perwakilan Kelompok (Class Action)

I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu

Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan ... 245–260 6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan

Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama

Moh. Ali ... 261–275 7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan

Ninis Nugraheni ... 277–293 8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum

Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan terhadap Kreditor

R. Kartikasari ... 295–316 9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial

dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada Perusahaan Pailit

Ronald Saija ... 317–329 10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup

Sri Laksmi Anindita ... 331–350

Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090

DAFTAR ISI

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER

(3)

v

PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih

menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas

Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini

berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis

diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat

terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum

Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah

ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,

Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di

sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu

mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel

tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas

permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin

menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,

rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan

biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan

pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal

yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,

dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam

edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan

yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,

kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian

sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan

kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta

notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni

mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain

(4)

Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini

menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan

maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

(5)

175

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT MELALUI

LEMBAGA ADAT DI MINANGKABAU SUMATERA BARAT

Ali Amran*

ABSTRAK

Sengketa tanah ulayat di Minangkabau ditemukan dalam anggota paruik atau kaum akibat pembagian “gangam bauntuak” terhadap anggota kaum yang tidak merata oleh mamak kepala waris . Disamping itu juga terjadi sengketa antar kaum dikarenakan batas sepadan tanah yang kurang jelas sehinga kaum yang satu menggarap milik kaum yang lain dengan cara memindahkan batas tanah yang telah ditetapkan oleh mamak kepala kaum dan sengketa antar paruik dengan suku, sengketa tanah ulayat antar suku dan antar suku dengan nagari. Penyelesaian sengketa tanah ulayat di Minangkabau adalah “bajanjang naik batango turun”. Bajanjang naik maksudnya setiap persengketaan diselesaikan melalui proses lembaga adat pada tingkat yang paling rendah yaitu oleh mamak kaum. Apabila tidak memperoleh kesepakatan , maka penyelesaian sengketa diteruskan ke tingkat kampung yaitu oleh mamak dalam kampung. Begitu seterusnya hingga ke tingkat yang lebih tinggi yatu oleh kepala suku dan penghulu dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN). Batanggo Turun artinya hasil musyawarah atau atau hasil penyelesaian sengketa oleh ninik mamak atau orang yang dituakan dalam adat diharapkan akan dipatuhi oleh pihak-pihak yang berperkara. Teknik penyelesaian sengketa oleh lembaga adat yang ada di Minangkabau mulai dari lembaga yang lebi rendah yaitu oleh mamak separuik atau mamak kepala waris sampai ke tingkat yang lebih tinggi yatu oleh Kerapatan Adat Nagari adalah secara musyawarah dan mufakat serta mengutamakan rasa keadilan. Penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui lembaga adat jauh lebih efektif dibanding penyelesaiannya melalui pengadilan negeri. Hal ini dikarenakan anggota kaum lebih menghormati orang yang dituakan dalam kaumnya yaitu mamak pemimpin kaum atau mamak kepala waris.

Kata kunci: adat, sengketa, tanah ulayat

LATAR BELAKANG

Manusia dan tanah mempunyai hubungan yang erat. Menurut pngematan J.B.A.F Polak

bahwa hubungan manusia dengan tanah pada awalnya adalah pendudukan sebagai dasar

usaha untuk menjadi sumber penghidupannya.1 Penguasaan dan pemilikan tanah secara

yuridis memerlukan perlindungan hukum, sehingga mengandung implikasi harus terdapat

*Penulis adalahdosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, dapat dihubungi melalui email: aliamranshmh@yahoo.com

1 Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, eksistensi dalam Dinamika Pembangunan Hukum di Indonesia,

(6)

176 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

perlindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil

terhadap kepemilikan tanah tersebut. Untuk kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah

diperlukan pendaftaran tanah. Undang-Undang Pokok Agraria memerintahkan diselenggarakan

pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdapat di atasnya agar mudah

dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak.2

Di Minangkabau (Sumatera Barat) sebagian tanah yang ada merupakan tanah ulayat.

Pengurusan tanah ulayat harus berfungsi sosial dan asas kekeluargaan serta dipergunakan

untuk keperluan kaumnya. Tanah Ulayat diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang

atau dari pemberian karena sesuatu yang dilakukan.

Dengan penguasaan tanah tersebut, tanah ulayat di Minangkabau (Sumatera Barat)

sering menjadi masalah bagi pemilikannya oleh generasi berikutnya. Menurut hukum adat

tanah Ulayat tidak boleh diasingkan atau dibagi-bagi karena merupakan milik bersama dan

kepemilikannya tidak boleh dipecah-pecah atau dibagi dan dijadikan milik pribadi.

Keberadaan tanah Ulayat telah diakui oleh Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 3

menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari

masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa

sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan

bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan yang lebih tinggi.

Hal ini dipertegas oleh Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku

atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme

Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan

dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur

yang bersandar pada hukum agama.

Dalam masyarakat hukum adat Minangkabau (Sumatera Barat) dikenal tiga tipe dasar

penguasaan atas tanah yaitu; penguasaan secara kelompok atau nagari, secara komunal dan

secara perorangan atau pribadi. Penguasaan atas tanah dalam masyarakat Minangkabau

diatur dalam peraturan adat yang dipelihara dan ditaati serta dilaksanakan oleh masyarakat

secara turn-temurun dengan baik, sehingga apabila timbul pertentangan atau sengketa yang

disebabkan oleh tanah, mereka akan menyelesaikannya dengan peraturan adat yang ada dalam

masayarakat yang disebut sebagai “Hukum Acara Perdata Adat”. Ketentuan ini terungkap

2 Boedi Harsono,2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan

(7)

177

Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

dalam fatwa adat yang menyatakan ”Bulek aia karano pambuluah, bulek kato dek mufakat”

(bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Maksudnya lebih mengutamakan

pola musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan.

Hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah menciptakan suatu hak untuk

menggunakan, menguasai, dan sekaligus mempertahankan hak tersebut bagi kelompok

hukumnya atau kaumnya. Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu bagian dari sekian

banyak suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia, hidup dalam lingkungan hukum

adat dengan ciri-ciri yang spesifik dan sekaligus sebagai pembeda dengan masyarakat hukum

adat lainnya di Inbdonesia. Jika dilihat dari garis keturunan, maka masyarakat Minangkabau

menganut sistem matrilineal. Dalam sistem matrilineal penguasaan atas tanah pusaka(pusako)

termasuk tanah adalah oleh wanita atau bundo kandung, sedasngkan pihak laki-laki berfungsi

sebagai pengawas atau melindungi hak atas tanah tersebut dari hal-hal yang tidak diinginkan

yang dapat menyebabkan hilang dan berkurangnya harta pusaka.

Tanah dalam masyarakat Minangkabau merupakan harta kekayaan yang selalu

dipertahankan, karena wibawa suatu kaum akan sangat ditentukan oleh luasnya tanah yang

dimiliki, begitu juga halnya dalam menentukan asli tidaknya seseorang atau suatu kaum

berasal dari suatu daerah. Hal ini sesuai dengan fatwa adat yang menyatakan; ”bahwa asli

atau tidaknya seseorang atau suatu kaum berasal dari suatu daerah harus ditandai dengan:

Ado tapian tampek mandi, Ado basasok bajarami, Ado bapandan bapakubur.

Tanah ulayat di Minangkabau baik berupa komplek perumahan, sawah, lading, hutan

sungai maupun hasil tambang secara sederhana disebut dengan kata “Pusako“. Secara

grammatical pengertian pusako adalah pusaka. Kata pusako mengandung pemahaman

bahwa kekayaan yang ada akan diwariskan secara turun temurun oleh ahli waris dalam garis

keturunan ibu. Prinsip dasar pemilikan harta pusako adalah secara komunal yaitu secara

bersama-sama. Tidak ada seorangpun anggota komunitas masyarakat Minangkabau yang

dapat menunjukkan pemilikannya secara individu atas sebidang tanah ulayat. Tetapi untuk

memudahkan pengelolaan tanah ulayat tersebut, dibuatlah ketentuan-ketentuan yang terus

dilestarikan.

Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5

Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang

dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh

masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup

para wargaanya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam

(8)

178 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat

tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Menurut Van Vollenhoven; ciri-ciri hak ulayat ialah sebagai berikut:

1. Persekutuan hukum itu dan anggota–anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan

belukarnya dalam wilayahnya dengan batas-batas seperti membuka tanah, mendirikan

perkampungan, memungut hasil, berburu, mengembala ternak dan lain sebagainya.

2. Yang bukan anggota-anggota persekutuan hukum dapat pula mempergunakan tanah

itu, tetapi hanya atas pemberian izin dari persekutuan hukum itu, tanpa izin ia membuat

kesalahan.

3. Dalam mempergunakan tanah itu, bagi anggota hanya kadang-kadang tapi bagi yang

bukan anggota selalu harus membayar sesuatu (recognatie).

4. Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atas beberapa kejahatan tertentu yang

terjadi dalam lingkungan wilayahnya. Bilamana orang yang melakukan kejahatan itu

sendiri tidak dapat digugat atau dikenal.

5. Persekutuan hukum tidak boleh memindahkan haknya untuk selama-lamanya kepada

siapapun juga

6. Persekutuan hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah yang telah digarap

oleh anggota kaumnya seperti dalam pembagian pekarangan, dalam jual beli tanah dan

lain sebagainya.3

Ajaran tentang tanah ulayat di Minangkabau: “ainya boleh diminum, buahnya boleh dimakan, tanahnya tetap tinggal”. Tanah Ulayat tidak boleh dipindah tangankan kepada pihak lain; dijua indak dimakan jua, digadai indak dimakan sando. Atau dsebut juga tanah ulayat dijual mahal tidak dapat dibeli, murah tidak dapat diminta.4

Penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat Minangkabau diatur dalam Peraturan

Daerah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfa’atannya sebagai berikut;

a. Tanah Ulayat nagari adalah tanah Ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di

dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN)

dan dimanfa’atkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan

pemerintah nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfa’atannya.

b. Tanah Ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang

berada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu

yang penguasaan dan pemanfatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku.

3 Djamat Samosir, Op.Cit, h.106

4 Dt. Parapatiah Nan Tuo; Adat Basandi Syara, Syarak basansi Kitabulla, Pedoman hidup Banagari, Sako Batuah,

(9)

179

Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

c. Tanah Ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang

ada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari

jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfa’atannya diatur oleh mamak jurai/mamak

kepala waris.

d. Tanah Ulayat Rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang

ada di atas dan di dalamnya yang penguasaan dan pemanfa’atannya di atur oleh laki-laki

tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Propinsi

Sumatera Barat.

Tanah Ulayat nagari dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang bernaung dalam

kerapatan adat nagari. Tanah Ulayat nagari adalah milik bersama rakyat dalam nagari. Tanah

Ulayat nagari dapat berupa hutan-hutan, semak belukar maupun tanah-tanah yang berada dalam

lingkup dan pengelolaan nagari. Nagari merupakan gabungan dari koto, yang mempunyai

suku serta menempati suatu wilayah tertentu. Pada umumnya di dalam suatu nagari dijumpai

sedikitnya empat buah suku. Sebuah nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, Penggunaan

tanah ulayat nagari digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat umum, seperti

pembangunan mesjid, pembuatan balai adat dan untuk pasar atau kepentingan lainnya yang

dapat dimanfa’atkan untuk kepentingan bersama.

Tanah Ulayat suku, dipegang oleh para penghulu suku dan dikelola oleh anggota suku.

Suku adalah gabungan dari beberapa kaum, dimana pertalian darah yang mengikat suku adalah

pertalian darah menurut garis ibu.

Tanah Ulayat kaum adalah tanah-tanah yang dikelola oleh kaum secara bersama. Kaum

adalah gabungan dari pada paruik (seibu) yang berasal dari sutu nenek. Tanah Ulayat kaum

merupakan harta pusaka tinggi yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan

terutama untuk mmenuhi kebutuhan ekonominya. Tanah Ulayat kaum yang dimiliki secara

komunal merupakan harta yang diberikan haknya kepada anggota kaum untuk memungut

hasilnya.

Apabila terjedi sengketa tanah ulayat, maka penyelesaian yang harus ditempuh ialah

melalui lembaga adat yang ada dalam masyarakat Minangkabau, mulai dari tingkat yang lebih

rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 Peraturan

Daerah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yaitu: “Sengketa

tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh kerapatan Adat Nagari menurut ketentuan sepanjang

(10)

180 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

Penyelesaian sengketa tanah adat dalam keraptan adat dilaksanakan di Balai Adat oleh

suatu majelais hakim yang ditentukan oleh penghulu adat yang ada dalam Kerapatan Adat

Nagari. Dalam mengambil keputusan, pembuktian merupakan unsur yang sangat menentukan

dalam persidangan sehingga kepada para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti

berupa surat atau keterangan saksi dan bukti-bukti lain yang dapat membuktikan kebenaran

kepemilikan tanah tersebut.

PEMBAHASAN

Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat

Sebagaimana kita ketahui penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui proses ligitasi

dan non ligitasi. Penyelesaian sengketa melalui proses ligitasi adalah penyelesaian sengketa

melalui sidang pengadilan. Proses ligitasi menghasilakn keputusan yang bersifat advarsial

atau putusan yang belum merangkul kepentingan bersama, lama dalam penyelesaiannya,

membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan sering menimbulkan permusuhan antara

pihak yang berperkara.

Penyelesaian sengketa melalui proses non ligitasi adalah penyelesaian sengketa yang

dilakukan di luar sidang pengadilan. Penyelesaian sengketa ini dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution(ARD). Alternative Dispute Resolution adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang diseapakati para pihak yaitu penyelesaian

sengketa di luar pengadila dengan cara konsultasi, negsiasi, konsolidari, atau penilaian ahli.

Pasal 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, mengatur mengenai pilihan dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah para

pihak yang bersengketa.

Proses penyelesaian sengketa non ligitasi diantaranya:

1. Negosiasi

Negosiasi adalah suatu strategi penyelesaian sengketa, dimana para pihak setuju untuk

menyelesaikan persoalan mereka melalui proses musyawarah, perundingan atau ”urung rembuk”.5 Proses ini tidak mmelibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya berinisiatif sendiri menyelsaikan sengketa mereka. Para pihak l terlibat langsung dalam

dialog dan proses penyelesaiannya.

5 Syahsrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukumm Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana Prenada

(11)

181

Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

Agar negosiasi dapat berjalan dengan lancar, maka ketentraman komunikasi dan wawasan

para pihak sangat menentukan, terutama dalam menyampaikan kepentingan dan keinginan

dari para pihak serta mendengarkan tuntutan dan kepentingan pihak lain.6

2. Mediasi

Kata mediasi berasal dari bahasa Inggeris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa dengan cara

menengahi.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia , pengertian mediasi adalah suatu proses

pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.

Mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang bersengketa

itu.

Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terdapat unsur paksaan antara para

pihak dengan mediator karena para pihak secara suka rela meminta kepada mediator untuk membantu menyelesaikan konflik yang mereka hadapi. Oleh karena itu mediator berkedudukan sebagai pembantu, walaupun ada unsur intervensi dari pihak-pihak yang

sedang bersengketa. Dalam kondisi tersebut, mediator harus bersifat netral/tidak memihak

dan berpartisipasi aktif membantu para pihak untuk menemukan perbedaan persepsi/

pandangan. Pihak ketiga (mediator) atau penengah yang tugasnya membantu pihak-pihak

yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan

untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator

tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.

Pada dasarnya mediator berperan sebagai penengah/pihak ketiga yang tugasnya hanya

membantu pihak=pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak

mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Mediator hanya bertindak sebagai

fasilitator. Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami

pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalan-persoalan yang dianggap

penting bagi mereka. Mediator mepermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi

mengenai perbedaan–perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan

persoalan-persoalan yang disengketakan, serta mengatur pengungkapan emosi para

pihak.

3. Arbitrase

Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dimana

pihak yang bersengketa mengangkat pihak ketiga (arbiter) untuk menyelesaikan sengketa

mereka. Pengertian arbitrase dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,

(12)

182 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang

didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa.

Perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk kesepakatan berupa:

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjaan tertulis yang dibuat para pihak

sebelum timbul sengketa,

2. Perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Jenis arbitrase dalam penyelesaian sengketa ada 2 (dua) macam yaitu:

1. Arbitrase Ad hoc (arbitrase Volunteir)

Arbitrase Ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidentil dan jangka waktunya

tertentu sampai sengketa itu diputus. Para pihak yang bersengketa dapat memilih atau

menentukan arbitrasenya atau bisa pula meminta bantuan pengadilan untuk mengangkat

arbitrasenya yang bertugas memeriksa atau memutus sengketa yang bersangkutan.

2. Arbitrase Institusional

Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen yang sering disebut permanent arbitrase body”. Arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.

Arbitrase institusional ini menyediakan jasa administrasi arbitrase yang meliputi

pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan procedural sebagai pedoman bagi

para pihak dan pengangkatan arbiter.

Masalah tanan dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhanan

penyelesaiannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah bermula dari pengaduan satu

pihak(orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik

terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya.

Penyelesaian sengketa tanah ulayat di Minangkabau diselesaikan secara musyawarah dan

mufakat. Cara ini diungkapkan dalam fatwa adat yang berbunyi:”bulek aia dek pambuluhan, bulek kato dek mufakat.7

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa sengketa tanah ulayat yang terjadi dalam

masyarakat MinangKabau diselesaikan secara bajanjang naik batangga turun artinya terlebih dahulu diselesaikan melalui lembaga adat pada tingkat yang lebih rendah yaitu tingkat keluarga

(13)

183

Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

kemudian ke tingkat kampung dan terakhir tingkat nagari. Sedangkan batanggo turun berarti hasil penyelesaian sengketa pada masing-masing tingkat diharapkan akan dipatuhi oleh pihak

yang bersengketa sebab yang menyelesaikan itu adalah orang-orang yang telah dituakan

dalam kaum atau nagari sehingga pihak yang bersengketa tidak bisa menolaknya. Dalam hal

ini kalau terjadi sengketa dalam keluarga diselesaikan oleh mamak yang ada dalam keluarga.

Kalau tidak selesai pada tingkat keluarga, maka diselesaikan oleh penghulu paruik dalam

persekutuan. Apabila belum juga selesai, dilanjutkan ke Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Adapun bentu-bentuk sengketa tanah ulayat dan penyelesaiannya melalui lembaga adat

di Minangkabau adalah sebagai berikut:

1. Sengketa tanah ulayat anggota paruik (anggota kaum)

Sengketa tanah ulayat dalam anggota kaum atau saparuik terjadi kerena adanya

pembagian tanah ulayat oleh mamak kepala waris kepada anggota kaum dengan istilah

ganggam bauntuak maksudnya anggota kaum berhak memperoleh bagian harta pusaka tinggi atau tanah ulayat untuk dimanfa’atkan dan diusahakan dapat menghasilkan untuk

pembiayaan hidup anak-anaknya, akan tetapi pembagiannya tidak merata antara anggota

keluarga dalam suatu kaum. Selain itu sengketa dalam anggota kaum. Hal ini bisa terjadi

karena masalah batas sepadan tanah yang dimiliki oleh anggota kaum dengan anggota

kaum lainnya atau karena anggota kaum lainnya itu belum menggarap bagiannya lalu

anggota kaum yang menggarap memindahkan batas yang telah ditetapkan oleh mamak

kepala waris. Kemudian pada saat anggota kaum yang belum menggarap itu melihat

tanah bagiannya sudah digarap atau diambil oleh anggota kaum yang telah menggarap

dengan memindahkan batas yang telah ditetapkan oleh mamak kepala waris sehingga

terjadi pertengkaran atau sengketa antara angota kaum yang telah memperoleh ganggam bauntuak tersebut karena pihak yang telah mengarap dahuluan itu merasa memiliki tanah yang telah digarapnya. Masalah seperti ini diselesaikan oleh mamak kepala waris dengan

cara musyawarah anggota paruik baik yang bersengketa maupun yang tidak terlibat

dalam sengketa guna masing anggota paurik mengetahui batas bagian

masing-masing. Sebelum diadakan musyawarah dengan anggota paruik tersebut terlebih dahulu

mamak kepala waris melihat tanah yang disengketakan itu. Sebelum mamak kepala waris

menetapkan keputusan dilakukan upaya damai antara pihak yang bersengketa dengan

memanggil pihak yang bersengketa dan menawarkan apakah kedua belah pihak bersedia

berdamai dengan menyelesaikan berdua masalah yang disengketakan itu. Apabila tidak

mamak kepala waris memutuskan agar masing-masing yang menguasai atau menggarap

tanah yang telah diperoleh dengan batas yang telah ditentukan oleh mamak kepala waris,

(14)

184 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

biaya yang telah dikeluarkan oleh yang menggarap tanah anggota kaum yang lain.

Setelah putusan ditetapkan oleh mamak kepala waris masing-masing yang bersengketa

menanda tangani surat keputusan itu, sedangkan anggota lainnya ikut menandatangani

sebagai saksi.

2. Sengketa tanah ulayat antar anggota paruik (kaum)

Antar anggota paruik maksudnya ialah suku yang sama tetapi berlainan ibu pada nenek

yang sama. Sengketa antar anggota paruik itu terjadi karena anggota paruik tidak menjaga

tanah ulayat kaumnya tetapi anggota suku menggarapnya begitu lama sehingga anggota

suku itu merasa memilikinya, padahal tanah yang digarap itu seharusnya digarap oleh anggota paruik yang lain. Oleh karena itu anggota paruik yang tidak menggarap tersebut menuntut bagiannya untuk ikut menggarap tanah kaum itu. Penyelesaian sengketa antar

paruik ini dilaksanakan dengan cara musyawarah antar paruik yang dihadiri oleh mamak

kepala waris masing-masing paruik. Dalam hal ini mamak kepala waris masing-masing

paruik menjelaskan kedudukan tanah ulayat tersebut, kemudian menjelaskan peruntukan

masing-masing paruik secara musyawarah dan membaginya secara adil. Kalau anggota

paruik yang menggarap tanah ulayat anggota paruik lain harus mengembalikannya

kepada anggota paruik yang seharusnya menggarap tanah tersebut. Anggota paruik yang

menggarap tanah anggota paruik lain itu berhak menerima ganti rugi dari anggota paruik

yang akan menerima tanah tersebut sesuai dengan nilai tanaman yang ada di dalamanya.

Penentuan nilai tanaman yang ada pada tanah tersbut disepakati melalui musyawarah

anggota paruik dan dilaksanakan secara suka rela. Mamak kepala waris masing-masing

paruik menyetujui hasil musyawarah kedua belah pihak. Keputusan bersama antara dua

paruik atau lebih dituangkan dalam berita acara atau ditulis dalam sebuah surat dengan

ditanda tangani oleh angora paruik yang bersengketa dan diketahui oleh mamak kepala

waris masing-masing paruik.

3. Sengketa Tanah Ulayat antar Suku

Suku adalah warga dalam suatu nagarai yang terdiri dari kelonpok-kelompok dari anggota

kaum yang berbeda. Di Minangkabau saat ini dalam suatu nagari dihuni misal 4 (empat)

macam suku. Yaitu, Jambak, Caniago, Tanjung dan Melayu.

Tanah ulayat suku adalah tanah yang dimiliki secara bersama anggoata suku dan

dimanfa’atkan oleh anggota suku. Apabil terjadi sengketa tanah ulayat antar suku, maka

penyelesaiannya dilakukan oleh penghulu-penghulu suku mewakili semua anggota suku

sebagai pemilik tanah ulayat. Penyelesaiannya dilakukan secara mausyawarah antar

pengulu suku yang bersengketa dengan dihadiri oleh penghulu suku yang ada di nagari

(15)

185

Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

maka penyelesaiannya ditunda sampai penghulu-penghulu suku atau wakilnya yang

ada dalam nagari itu bisa menghadirinya. Musyawarah penghulu-penghulu suku itu

dilaksanakan di balai adat nagari. Dalam musyawarah penghulu-penghulu suku ini

msing-masing suku menjelaskan kronologis kepemilikan tanah ulayat yang dimiliki

oleh suku masing-masing dengan mengemukakan bukti-bukti kepemilikan yang mereka

miliki serta menjelaskan batas-batas tanah ulayat yang mereka miliki. Setelah kedua suku

yang bersengketa menyampaikan bukti-bukti kepemilikan masing masing, dimintakan

kepada penghulu suku yang lain yang mengetahui sejarah tanah ulayat tersebut terutama

penghulu suku yang berdekat dengan tanah ulayat yang disengketakan. Setelah mendengar

keterangan penghulu masing-masing pemilik tanah yang disengketakan dan penghulu

lain yang menjelaskan keberadaan tanah ulayat tersebut, dicarikan jalan keluar atau

solusi sengketa secara adil. Dalam hal ini peran wali nagari sangat menentukan. Sebelum

ditetapkan keputusan penyelesaian sengketa tanah ulayat ini wali nagari mencoba

menawarkan kepada pihak yang bersengketa untuk menerima pendapat penghulu yang

menjelaskan pemilik yang berhak memilikinya dengan batas-batas yang telah dijelaskan

dan diakui oleh penghulu-penghulu lain yang menghadiri pertemuan itu. Apabila kedua

suku yang bersengketa itu menerima tawaran yang disampaikan wali nagari, dibuatkan

surat keterangan wali nagari yang menjelaskan kepemilikan tanah yang disengketakan itu

dengan batas-batas sesuai dengan yang diusulkan dan disetujui oleh kedua belah pihak

dengan ditanda tangani oleh kedua suku yang bersengketa dan diketahui oleh

penghulu-penghulu suku yang hadir serta disahkan oleh wali nagari. Masing-masing penghulu-penghulu suku

meperoleh keputusan wali nagari tersebut untuk dijelaskan kepada anggota suku

masing-masing. Apabila kedua suku yang bersengketa menolak, maka sengketa itu diusulkan

penyenlesaiannya oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN).

4. Sengketa Tanah Ulayat antara Suku dengan Nagari

Sengketa tanah ulayat antara suku dengan nagari biasanya terjadi karena menurut anggota

suku tanah ulayat tersebut merupakan hak dari anggota suku mereka yang telah digunakan

oleh nagari tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu.

Penyelesaian sengketa antara suku dengan Nagari diselesaikan oleh Kerapatan Adat

Nagari (KAN). Dalam hal ini penghulu suku mengajukan permohonan kepada Kerapatan

Adat Nagari dengan menjelaskan persengketaan tersebut secara terperinci sekaligus bertuk

sengketanya. Kalau Nagari memanfa’atkan tanah suku untuk pembangunan Nagari,

pemohon menjelankan kronologis kejadiannya sampai tanah tersebut dikuasai oleh Naga.

Setelah permohonan itu diajukan oleh penghulu suku yang merasa dirugikan oleh Nagari,

(16)

186 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

Setelah kedua belah pihak didengarkan keterangannya, KAN mempertemukan kedua

belah pihak untuk membicarakan penyelesaian yang baik antara suku dengan Nagari.

Biasanya KAN menawarkan kepada suku untuk menerima ganti rugi dari Wali Nagari

atau Wali Nagari mengembalikan tanah tersebut kepada suku. KAN menyelesaikannya

secara musyawarah dan menegakkan keadilan terhadap suku yang merasa dirugikan

oleh Nagari. Kesepakatan kedua belah pihak merupakan keputusan yang paling sering

diambil oleh KAN supaya dikemudian hari tidak terjadi sengketa lagi. Setelah kedua

belah pihak setuju dengan apa yang telah disepakati, maka Wali Nagari membuat Surat

keputusan yang isinya sesuai dengan yang telah disepekati dan penghulu-penghulu suku

membubuhi tanda tangan sebagai saksi dan Wali Nagari menanda tangani surat keputusan

tersebut serta dibubuhi cap/stempel Nagari dan masing-masing pihak yang bersengketa

(suku dan Nagari) diberi satu rangkap untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

Semua sengketa yang telah diuraikan di atas bila tidak selesai atau tidak berhasil

didamaikan oleh mamak paruik, suku dan penghulu, maka perkaranya dilanjutkam

kepada lembaga adat tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN) sehingga ninik

mamak yang ada dalam KAN akan menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa

dalam Nagari. Hal ini telah diatur oleh Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983 bahwa

perkara yang ditimbulkan dari sako dan pusako adalah tanggung jawab Kerapatan Adat

Nagari untuk menyelesaikannya secara damai. Bahwa funsi-fungsi yang dilakukan

oleh KAN berdasarkan asas musyawarah dan mufakat, alur dan patut sepanjang tidak

bertentangan dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, kepentingan

ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat nagari

Di Minangkabai setiap nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN) yaitu lembaga yang

beranggotakan tungku tigo sjarangan, Tungku Tigo sajaranga merupakan perwkilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum Intelektual) dan ninik mamak

(penghulu suku). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan antara

wali nagari dengan tungku tigo sajarangan di balai adat atau balairung nagari.

Proses penyelesaian perkara di tingka Kerapatan Adat Magari adalah sebagai berikut:

1. Mendaftarkan perkara dengan surat permohonan yang ditanda tangani oleh

ninik mamak yang bersangkutan. Para pihak yang merasa dirugikan mengajukan

permohonan kepada Kerapatan adat Nagari untuk diselesaikan dengan menjelaskan

sengketa tanah ulayat yang tidak menerima penyelesaian oleh mamak kaum.

2. Memberikan tanda perkara yaitu berupa keris pusaka atau kain adat sebagai tanda

kebesaran seorang datuk yang memberikan mandat kepaada Kerapatan Adat Nagari

(17)

187

Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

3. KAN memanggil para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa yang

terjadi dan mendengarkan kesaksian dari masing-masing pihak.

4. KAN mendatangkan saksi netral yang tidak memihak kepada salah satu pihak yang

sedang bersengketa

5. Mengeluarkan tetetapan mengenai hasil yang diperoleh dari penyelesaian sengketa

yang dilakukan oleh Kerapatan Adat Nagari.

6. Membayar uang pendaftaran dua emas masing-masing pihak, sesuai dengan fatwa

adat limbago dituang adaik diisi, maksudnya harus ada pemasukan terhadap kas adat setelah selesai perkara yang diselesaikan oledh KAN.

Di Minangkabau penyelesaian sengketa tanah baik tanah pusaka tinggi maupun pusaka

rendah diselesaikan oleh lembaga adat yang ada di nagari dengan sistem bajanjang naik batango turun yaitu dari tingkat yang paling rendah oleh mamak kaum, mamak suku dan lembaga tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari(KAN) sebelum diajukan ke Pengadilan

negeri.

Penyelesaian perkara tanah ulayat di Minangkabau nampaknya lebih efektif diselesaikan

melalui lembaga adat nagari karena hubungan kekerabatan dalam kaum dan suku sangat erat

dan apa yang ditetapkan oleh mamak kepala waris atau Penghulu suku jarang ditolak oleh anak

kemenakan sehingga putusan yang ditetapkan oleh mamak atau penghulu diterima oleh anak

kemenakan sampai sat ini. Hal ini terbukti jarangnya sengketa tanah ulayat diselesaikan oleh

penegadilan negeri di Sumatera Barat bahkan ada perkara taanah ulayat yang telah diputuskan

oleh Pengadilan negeri yang telah mempunyai kekuatan tetap diselesaikan oleh Kerapatan

Adat Nagari (KAN), misalanya sengketa tanah ulayat antara kaum Dt. Simirajo suku Melayu

dengan Darmawan dan Angku Rajo Tuo yang juga sama-sama suku Melayu (Sengkera antara

Suku yang sama) berupa sebidang tanah ulayat yaitu tanah kering dan sawah di Nagari Magek

Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam. Semula perkara ini diselesaikan melalui rapat

anggota suku Melayu atau ninik mamak nan Bahindu. Ninik Mamak Yang Bahindu in setara

dengan penhulu yang paling tinggi dalam suku di nagari Magek Kecamatan Kamang Magek

Kabupaten Agam. Dalam perkaria ini belum menemukan kata sepakat, tetapi pihak yang

bersengketa langsung membawa sengketa ini ke Pengadilan Negeri Lubuk Basung untuk di

selesaikan sampai ke Mahkamah Agung.

Setelah keluar putusan Mahkamah Agung yang mempunyai kekuatan hukum tetap dimana

hak atas tanah ulayat yang disengketakan adalah angku rajo Tuo dan sedang menunggu proses

dilaksanakan eksekusi. Sebelum dieksekusi perkara ini kembali diselesaikan oleh ninik mamak

(18)

188 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

mamak dalam Kerapatan Adat Nagari diperoleh kesepakatan damai antara penggugat dengan tergugat dengan membatalkan putusan pengadilan dan membagi tanah tersebut berdasarkan

ketetapan Kerapatan Adat Nagari.8

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa tanah

ulayat dilakukan bajanjang naik batango turun yaitu penyelesaian sengketa dimulai dari tingkat lembaga yang paling rendah oleh mamak paruik, mamak suku dan penghulu suku,

apabila tidak memperoleh kata sepakat, dilanjutkan ke lembaga adat yang lebih tinggi yaitu

ke Kerapatan Adat Nagari(KAN). Proses penyelesaian tanah ulayat di Minangkabau dengan

urutannya sebagai berikut:

1. Sengketa anggota separuik (sekaum) diselesaikan oleh mamak separuik yang sering

disebut dengan mamak kepala waris

2. Sengketa tanah ulayat dalam suku diselesaikan oleh mamak suku atau penghulu suku

yang ada dalam suku atau penghulu antar suku

3. Sengketa tanah ulayat yang tidak dapat diselesaikan pada lembaga adat yang terendah,

diselesaikan oleh lembaga adat yang tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari di tiap-tiap

Nagari.

4. Penyelesai tanah ulayat melalui lembaga adat yang ada dalam nagari baik oleh lembaga

adat yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi cukup efektif keputusannya dibandingkan

dengan penyelesaian melalui pengadilan negeri karena putusan melalui lembaga adat

dilakukan secara musyawarah dan lebih mengutamakan prinsip keadilan terhadap

pihak-pihak yang berperkara,sedangkan putusan pengadilan lebih mengutamakan putusan

sepihak berdasrkan bukti-bukti formal yang ditemukan dalam sidang pengadilan

Saran

Mengingat putusan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat lebih efektif dibandingkan dengan putusan perngadilan negeri, maka sebaiknya masyarakat hukum adat memilih penyeleasaian perkara/sengketa tanah ulayat melalui lembaga adat yang ada dalam nagari dan sebelum diproses di Pengadilan Negeri sebaiknya lembaga peradilan menganjurkan supaya diselersaikan terlebih dahulu oleh lembaga adat nagari.

(19)

189

Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

Apabila lembaga adat nagari tidak berhasil menyelesaikannya baru diterima permohonan penyelesaiannya di pengadilan negeri. Hal ini bisa dibuat suatu aturan oleh pemerintah yaitu Mahkamah Agung berupa surat edaran atau aturan dalam tatacara penerimaan perkara/ sengketa tanah ulayat di pengadilan negeri di serluruh Indonesia.

DAFTAR BACAAN

Buku

Abbas, Syahrizal, 2000, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Abdurrasyid, Priyatna, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Fikahati Aneska, Jakarta.

Dt. Parpatiah Nan Tuo, et.al., 2002, Adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,Pedoman Hidup Bernagari, Sako Batuah, Padang.

Erwirr, 2006, Tanah Komunal Memudarkan Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Andalas University Pres, Padang.

Harsono, Boedi, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Ed.rev.,Cet.10., Djambatan, Jakarta.

Hasan, Firman, 1988, Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang.

Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat Indonesia, Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Cv, Nusa Aulia, Bandung.

Sumardjono, Maria S.W, Nurhasan, dan Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa(ADR) Bidang Pertahanan, Kompas, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan

Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 13 Tahun 1983 Tentang Nagari sebagai Kestuan

Referensi

Dokumen terkait

(perubahan kebijakan luar negeri, kebijakan ekonomi yang mampu mengangkat kembali reputasi AS di mata dunia), Obama berhasil menarik simpati banyak kaum kulit putih (pria,

Castle Wolfenstein ’s 1984 sequel, Beyond Castle Wolfenstein , released for the same platforms, kept most of the best play mechanics of the fi rst game, while dramatically

Ejaan Van Ophuysen merupakan ejaan yang pertama muncul,ejaan ini dimunculkan untuk menjawab permasalahan permasalahan pada masa itu,yaitu banyaknya muncul

Table 45: Missile Weapon Ranges Table 46: Armor Class Ratings Table 47: Character Encumbrance Table 48: Modified Movement Rates Table 49: Carrying Capacities of Animals Table

Saya sedang menghadapi ujian akhir, namun saya tidak bisa hadir dalam ujian tersebut karena sakit dan dosen saya tidak menawarkan untuk mengikuti ujian susulan.. Cuek saja toh

2.2 Fair and decent wages for Article 88 paragraph (1. labor has the right to earn

perak secara tunai atau booking atau beli emas jualan murah (fire sales) dalam seminar tersebut untuk berpeluang memenangi cabutan bertuah lagi. Jadi, untuk peluang cerah menang

memfokuskan memberikan pelajaran agama saja. Pada tahun ini juga ditetapkan.. keputusan presiden yang menyatakan bahwa semua Sekolah Dasar dan. dan Menengah harus