• Tidak ada hasil yang ditemukan

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017

ISSN. 2442-9090

• Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan

Hidup

Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti

J U R N A L

H U K U M

A C A R A

P E R D A T A

ADHAPER

(2)

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau Sumatera Barat

Ali Amran ... 175–189 2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan

Perkawinan di Bawah Umur

Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari ... 191–203 3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)

Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand ... 205–226 4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan

Hidup

Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti ... 227–243 5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan

Perwakilan Kelompok (Class Action)

I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu

Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan ... 245–260 6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan

Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama

Moh. Ali ... 261–275 7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan

Ninis Nugraheni ... 277–293 8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum

Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan terhadap Kreditor

R. Kartikasari ... 295–316 9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial

dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada Perusahaan Pailit

Ronald Saija ... 317–329 10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup

Sri Laksmi Anindita ... 331–350

DAFTAR ISI

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER

(3)

v

PENGANTAR REDAKSI

Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih

menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas

Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini

berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis

diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat

terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum

Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah

ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui,

Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di

sana.

Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu

mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel

tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas

permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin

menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,

rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan

biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan

pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal

yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,

dan biaya ringan.

Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam

edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan

yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,

kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian

sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan

kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta

notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni

mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain

(4)

menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan

maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!

(5)

227

MEKANISME PENENTUAN GANTI KERUGIAN TERHADAP

KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti*

ABSTRAK

Perusakan lingkungan hidup merupakan tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung

atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui

kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan

hidup adalah timbulnya ancaman terhadap kesehatan, kerugian ekonomi, menurunnya nilai

estetika dan terganggunya sistem alami. Pertumbuhan dan berkembangnya industri berdampak

positif yaitu membuka lapangan kerja baru dan selanjutnya dapat meningkatkan perekonomian,

tetapi pertumbuhan industri juga dapat menumbulkan dampak negatif berupa pencemaran dan

atau perusakan lingkungan hidup. Kewajiban membayar ganti kerugian bagi mereka yang terbukti

mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pencemar membayar

yang dikembangkan dalam Hukum Lingkungan. Salah satu cara penegakan hukum terhadap

pelaku perusakan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan gugatan perdata berdasarkan konsep

Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan

hidup, sebagaiana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 87 UUPPPLH. Bentuk sanksi

hukum yang dapat dimintakan dalam gugatan adalah ganti kerugian dan atau melakukan tindakan

tertentu. Kerugian dalam konsep PMH adalah kerugian yang nyata dan terukur nilainya yang dialami

oleh korbannya. Konsep PMH ini akan menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap pelaku

pencemaran atau perusakan lingkunga hidup, terutama dalam penentuan besaran kerugian atas

kerusakan lingkungan hidup, jika Pengugat dituntut untuk pembuktian bentuk dan besaran nilai

kerugian yang nyata seperti dalam konsep kerugian dalam PMH, karena kerugian tidak langsung

tehadap kerusakan lingkungan tidak selalu dapat diukur.

Kata kunci: ganti rugi, kerusakan lingkungan hidup, pencemaran

LATAR BELAKANG

Salah satu alasan pihak Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan adalah menuntut

ganti rugi. Dalam gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur pada Pasal 1365 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata) disebutkan

tentang ganti rugi, tetapi tidak ditemukan pengaturan tentang apa yang menjadi acuan yang

(6)

dipakai untuk mengukur apa yang dinamakan ganti rugi, sehingga praktisi hukum seolah

menganalogikan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum seperti ganti rugi dalam Bab I

Buku III KUH Perdata. Pola pikir demikian tidaklah tepat, karena pada Bab I Buku III KUH

Perdata mengatur tentang hubungan perikatan yang lahir dari perjanjian, pengaturan ganti

rugi juga mengatur tentang ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian. Sehingga parameter

ganti rugi dalam perkara perbuatan melawan hukum tidak dapat disamakan dengan ganti rugi

dalam hubungan perjanjian.

Perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam artikel ini adalah perbuatan melawan

hukum dalam bidang keperdataan. Istilah perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda

disebut dengan istilah onrechmatige daad atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

tort. Arti kata tort adalah kesalahan. Penafsiran terhadap kesalahan dalam bidang hukum berkembang sedemikian rupa sehingga kesalahan dalam hukum perdata bukan hanya berasal

hubungan kontraktual (wanprestasi).1

Ganti rugi dapat diajukan karena dua sebab, yaitu ganti rugi karena wanprestasi atau

perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi

yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara

kreditur dan debitur. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III KUH Perdata dari

Pasal 1243 sampai Pasal 1252, sedangkan ganti Rugi karena perbuatan melawan hukum adalah

suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah melakukan kesalahan yang

menimbulkan kerugian pada pihak lain (Pasal 1365 KUH Perdata). Ganti rugi perbuatan

melawan hukum timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian. Untuk

Pasal 1365 KUH Perdata sebagian Sarjana Hukum menganggapnya sebagai pasal keranjang

sampah karena apabila tidak menemukan ketentuan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar

menuntut hak, maka Penggugat akan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut.

Perbuatan melawan hukum tidak hanya dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan (hukum positif) saja. Sejak tahun 1919 di Belanda

terjadi perkembangan pernafsiran terhadap perbuatan melawan hukum yang hingga saat ini

diikuti pula oleh hakim di Indonesia. Perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar

hukum positif semata, tetapi juga meliputi setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau

kepantasan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sejak putusan Hoge raad 31 Januari 1919

perkara antara Lindenbaum melawan Cohen, onrechmatige daad tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran terhadap hukum positif, tetapi juga diartikan secara luas.

1 Munir Fuadi, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Cetakan ke-2, PT. Citra Aditya Bakti,

(7)

229

Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian

Beberapa tuntutan ganti rugi dalam gugatan perbuatan melawan hukum, pihak penggugat

menuntut ganti rugi secara materiil dan immateriil. Prinsip hukum dalam menuntut ganti rugi

adalah adanya kerugian langsung yang diderita oleh Penggugat akibat dari kesalahan Tergugat,

sehingga nilai ganti rugi yang diminta oleh pengugat harus terperinci dan dapat dibuktikan

nilai kerugian tersebut. Tujuan dari permintaan ganti rugi adalah untuk mengembalikan kondisi

penggugat seperti semula sebelum tergugat melakukan perbuatan (kesalahan) yang merugikan

penggugat. Hal yang berbeda ketika mengkaji perkara perbuatan melawan hukum dibidang

hukum lingkungan. Penerapan asas “Pencemar Membayar” dalam Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009 tentang Perlingdungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penilaian terhadap

kerugian dalam perkara lingkungan hidup, tergugat dalam perkara lingkungan hidup tidak

hanya dibebankan membayar ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan yang dilakukannya,

tetapi juga dapat diberikan sanksi lain berupa perintah untuk melakukan sesuatu tindakan

untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan.

Gugatan Perbuatan melawan hukum dalam perkara perdata pada umumnya dan gugatan

perbuatan melawan hukum pada perkara lingkungan hidup memiliki cara dan konsep yang

berbeda dalam menilai tanggung jawab tergugat. Sehingga penulis tertarik menguraikan

mekanisme dalam menilai kerugian yang timbul dari perkara lingkungan hidup.

PEMBAHASAN

Perbuatan Melawan Hukum

Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi:

“Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan

kerugian tersebut” Maka perbuatan melawan hukum mengandung unsur:

a. Adanya suatu perbuatan;

b. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum;

c. Adanya kesalahan dari pelaku;

d. Ada kerugian bagi korban;

e. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian.

Penjabaran dari tiap-tiap unsur tersebut sebagai berikut:

a. Ada suatu perbuatan:

Perbuatan yang dimaksud dalam unsur ini adalah ada perbuatan aktif dari pelaku yaitu

(8)

(dalam artian pasif) namun hal tersebut bertentangan dengan kewajiban hukumnya.

Perbuatan tertentu atau perbuatan tidak melakukan sesuatu yang dimaksud dalam hal

ini adalah perbuatan yang tidak diperjanjikan terlebih dahulu diantara para pihaknya.

b. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum:

Sejak Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 telah terjadi perluasan makna tentang perbuatan melawan hukum. yang mencakup salah satunya perbuatan sebagai berikut:

1) Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain;

2) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;

3) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;

4) Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan

hidup dalam pergaulan masyarakat yang baik.2

Perbuatan yang bertentang hak orang lain masih memiliki makna yang luas, sehingga hak

pribadi orang lain, hak atas kekayaan, hak atas kebebasan ataupun hak atas kehormatan

dan nama baik merupakan bagian dari hak yang dilindungi oleh hukum. Perbuatan yang

berakibat kerugian terhadap pribadi orang lain dapat dikategorikan sebagai melawan

hukum.

Katergori melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban

hukum. Kewajiban hukum ini adalah kewajiban yang diberikan oleh hukum kepada

pelaku untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang bersumber dari hukum yang

tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Menilai apakah seseorang telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum yang diatur hukum yang tertulis

relatif lebih mudah, dibandingkan dengan menilai apakah seseorang telah melanggar

kewajiban hukum yang diatur dalam hukum yang tidak tertulis. Peran anggota masyarakat

(adat/kebiasaan) sangat berperan dalam memberikan penilaian ini. Suatu sistim nilai

positif tidak diciptakan secara bebas oleh individu tersendiri, tetapi merupakan hasil

saling mempengaruhi antar individu dalam suatu kelompok. Setiap sistim moral dan

ide keadilan merupakan produk masyarakat dan berbeda-beda tergantung pada kondisi

masyarakatnya. Faktanya terdapat nilai-nilai yang secara umum diterima oleh masyarakat

tertentu tidak bertentangan dengan karakter subjektif dan relatif dari pembenaran nilai.

Demikian pula halnya banyak persetujuan individu terhadap pembenaran tersebut tidak

membuktikan bahwa pembenaran tersebut adalah benar.3 Sehingga norma-norma sosial

yang hidup di dalam masyarakat merupakan hukum yang memiliki sanksi hukum bagi

2 Ibid, h.6.

3 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

(9)

231

Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian

pihak yang melanggarnya dan dapat ditegakan melalui prosedur formal (pengadilan).

Tanggungjawab dalam konteks perbuatan melawan hukum bukan hanya atau tidak hanya

diartikan sebagai sebuah bentuk ganti rugi yang berkonotasi dengan kepentingan pribadi,

melainkan harus dimaknai sebagai sebuah konsekuensi hukum dalam penegakan hukum

yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

c. Adanya kesalahan dari pelaku:

Tanggung jawab perdata dalam terminologi perbuatan melawan hukum berasal dari

prinsip atas dasar kesalahan yang dilekatkan pada suatu perbuatan sebagai suatu kesalahan

apabila terdapat pelaku yang dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban secara hukum

atas perbuatannya tersebut. Indonesia menganut prinsip ini dan termaktub dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tentang perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad).4 Kesalahan diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan baik

itu karena kesengajaan maupun karena kelalaian, sehingga tanggungjawab akan kesalahan

tersebut tidak hanya secara moral (moral liability) melainkan secara hukum pula (legal liability).5 Perbuatan melawan hukum karena didasarkan pertanggungjawaban untuk

terpenuhinya salah satu unsurnya yang merupakan unsur kesalahan, dalam hukum modern,

pertanggungjawaban terhadap aktivitas yang disinyalir termasuk akitivitas berbahaya

ditentukan sesuai dengan kerangka umum dari sistem pertanggungjawaban yang

berdasarkan adanya delik. Hal ini berarti terdapat suatu keharusan untuk menunjukkan

benar-benar terdapatnya unsur kesalahan dalam aktivitas tersebut.6 Tanggung jawab

hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan

yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih

luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya

mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi

jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan

ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari

perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi

kepada pihak yang dirugikan.7

Ruang lingkup yang luas terhadap tanggungjawab perdata memberikan gambaran akan

fleksibelitas prinsip ini yang dapat diterapkan pada setiap peristiwa hukum, terutama

yang berkaitan dengan wilayah keperdataan. Cakupannya dapat dikenakan terhadap

4 Endang Saefullah Wiradipraja, 1996,Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara, Balai Pustaka, Jakarta, h. 9. 5 Endang Saefullah Wiradipradja, 2008, Hukum Transportasi Udara: dari Warsawa 1929 ke Monteral 1999, Kiblat

Utama, Bandung, h. 172.

6 Loura Hardjaloka, “Ketetapan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle Sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus

Gunung Mandalawangi, Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004”, Agustus 2012, Volume 5, No. 2, Jurnal Yudisial, h. 137.

(10)

manusia sebagai naturelijk persoon maupun terhadap badan hukum atau rechtpersoon. Konsekeunsi yang lahir dari perluasaan ini setiap subjek hukum dapat dimintai

pertanggungjawaban atas setiap kesalahan yang dilakukannya dengan catatan adanya

kerugian yang timbul akibat kesalahan tersebut. Prinsip ini dikenal dengan teori Corrective Justice, yang mengajarkan bahwa setiap orang harus melindungi hak-haknya dan harus dipulihkan keadaannya agar ada keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum yang

merupakan tujuan hukum.8 Perluasan itu muncul karena adanya tiga Arrest Hoge Raad

yang memiliki nilai historis yangmenggambarkan terhadap pemahaman istilah “melawan

hukum”. Arrest pertama adalah Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer

Naaimachine.Arrest kedua adalah Arrest Hoge Raad 10 Juni 1910 dalam perkara kasus

Zutphenese Juffrouw. Arrest ketiga adalah Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara

Lindenbaum vs. Cohen.9

d. Ada kerugian bagi korban:

Adanya kerugian yang dialami korban (penggugat) menjadi salah satu unsur Pasal 1365

KUH Perdata. Berbeda dengan kerugian dalam waprestasi hanya mengenal kerugian

materiil, kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum dapat berupa

kerugian materiil dan immateriil. Pasal 1371 dan 1372 KUH Perdata tersirat memberikan

pengaturan tentang tuntutan ganti rugi immateriil dalam gugatan perbuatan melawan

hukum. Immateriil sering diartikan kerugian yang tidak berwujud sehingga sulit untuk

menguraikan bentuk dan mengukur jumlah kerugian immateriil. Bentuk kerugian

immateriil dapat berupa kerugian atau hilangnya manfaat yang terjadi dikemudian hari.

Penggugat dalam menuntut gantirugi immateriil tetap wajib menguraikan dalam bentuk

apa kerugian tersebut, mengapa muncul kerugian tersebut, perincian jumlah kerugian

dan yang paling penting adalah kerugian immateriil tersebut harus dapat dibuktikan.

Beberapa yurisprudensi telah memberikan contoh tentang bagaimana hakim dalam

mempertimbangkan tuntutan gantirugi immateriil, yaitu:

• Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 28 Mei 1984 Nomor

588 K/Sip/1983, yang diantaranya berbunyi: ”Bahwa tentang tuntutan Penggugat asal sub 5 yaitu mengenai tuntutan ganti rugi karena tidak disertai bukti-bukti maka harus ditolak”.

• Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 31 September 1983

Nomor 19 K/Sip/1983, yang diantaranya berbunyi: ”Menimbang, bahwa oleh karena

8 Ahmad Sudiro, Konsep Keadilan John Rawls, Juli 2012, Volume 19, Nomor 3, Jurnal Legislasi Indonesia, h. 446. 9 Nia Putriyana dan Shinta Dwi Puspita, “Tanggungjawab Hukum Dalam Konteks Perbuatan Melawan Hukum

(11)

233

Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian

gugatan ganti rugi tersebut tidak diperinci dan lagi pula belum diperiksa oleh judex factie , maka gugatan ganti rugi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.”.

• Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 8 Mei 1980

Nomor 550 K/Sip/1979, yang diantaranya berbunyi: ”Bahwa petitum ke 4 s/d 6 dari Penggugat asal tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena kerugian - kerugian yang diminta tidak diadakan perincian. ”.

• Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 28 Mei 1984 Nomor

588 K/Sip/1983, yang diantaranya berbunyi: ”Setiap tuntutan ganti rugi harus disertai perincian kerugian dalam bentuk apa yang menjadi dasar tuntutannya. Tanpa perincian dimaksud maka tuntutan ganti rugi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima karena tuntutan tersebut tidak jelas/tidak sempurna”.10

e. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian.

Hubungan kausaitas (sebab akibat) antara perbuatan dengan kerugian yang terjadi juga

merupakan syarat suatu perbuatan melawan hukum. Dalam menilai hubungan sebab

akibat, ada 2 (dua) teori yaitu: teori hubungan faktual (causation in fact) dan teori penyebab kira-kira (procxime cause).11 Hubungan sebab akibat secara faktual (causation

in fact) hanya merupakan masalah fakta atau apa yang telah terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual,

asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam

hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan

hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Sedangkan konsep hubungan sebab akibat kira-kira (procxime cause) merupakan penyebab langsung berasal dari hukum perdata, khususnya dalam hukum asuransi. Asuransi memberikan jaminan terhadap

kerugian yang disebabkan oleh risiko-risiko tertentu yang dipertanggungkan, namun

sering ditemui kesulitan dalam menentukan sebab-sebab yang menimbulkan kerugian,

karena penyebabnya bisa lebih dari satu yang mungkin merupakan sederetan peristiwa

atau beberapa peristiwa yang terjadi secara bersamaan. Sehingga proximate cause itu dapat digunakan untuk menentukan penyebab kerugian.12

10 Hanis Tirtadjaja melawan Meilisa Nurmawan, Hj. Ratu Dhenok Herawaty, MARI-Pengadilan Negeri Jakarta Utara

Nomor 134/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Ut. h. 22-23. Diakses melalui: http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/8e6015f5ccd7 063880abbfff58df6baa tanggal 25 Agustus 2017.

11 Munir Fuadi, Op. Cit. h. 13-14.

12 Ferryal Basbeth, Penulisan “Proximate Cause dan “but for test sebagai Sebab Kematian Dalam Sertifikat Kematian,

(12)

Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perkara Lingkungan Hidup

Industri merupakan bagian penting dalam menopang ekonomi, namun seiring berjalannya

waktu, kegiatan industri mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Indonesia memahami

urgensi kebutuhan memulihkan kualitas lingkungan guna mempertahankan kehidupan

dan tanpa membahayakan segi lingkungan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah

diterbitkan untuk menghadapi berbagai mana ancaman kerusakan lingkungan. Pasal 87 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (selanjutnya disingkat UU PPLH)13 mengatur bahwa setiap penanggung jawab usaha

yang melakukan “perbuatan melawan hukum” berupa pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup bertunggung jawab untuk membayar ganti rugi dan atau melakukan tindakan

tertentu.

UU PPLH mengatakan bahwa perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup

merupakan bentuk “perbuatan melawan hukum”, sehingga selalu ditemukan Pasal 1365 KUH

Perdata dalam putusan pengadilan yang mengadili perkara lingkungan hidup. Perbedaan

mencolok dengan perkara perbuatan melawan hukum salah satunya adalah dalam menilai

bentuk dan jenis kerugian yang menjadi tangung jawab pihak yang bersalah (tergugat). Dalam

UU PPLH pelaku pencemaran dan atau perusakan dapat dihukum untuk membayar ganti

rugi dan atau tindakan tertentu yang bertujuan untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan

hidup.

Salah satu unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang

memiliki penerapan berbeda dalam perkara lingkungan adalah terkait dengan unsur kesalahan.

Pertanggung jawaban terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan

dengan tanggung jawab mutlak (strict liability). Konsep tanggung jawab mutlak menurut Lummert diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya

kerusakan. Salah satu ciri utamanya yaitu tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya

kesalahan.14 Menurut James E. Krier hal ini merupakan bantuan yang sangat besar dalam

peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan yang menimbulkan

kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan berbahaya untuk mana

diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan.15 Asas “tanggung jawab mutlak” atau strict

liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang

13 Pasal 87 ayat (1) UU PPLH: “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan

melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

(13)

235

Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian

perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan

terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai

batas tertentu.

Pelaku usaha yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan tidak dapat

melepaskan tanggung jawabnya. Dengan asas kehati-hatian bahwa ketidakpastian mengenai

dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan

dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau

menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Penyelesaian perkara lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar

pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan, diajukan melalui

gugatan perdata biasa oleh pihak yang merasa dirugikan, baik orang perorangan, kelompok

masyarakat, lembaga swadaya masyarakat ataupun pemerintah/pemerintah daerah. Salah satu

hal penting yang seringkali menjadi permasalahan adalah teknik atau metode penghitungan

kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Untuk

penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan diperlukan

bukti-bukti telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Data atau bukti

ini harus merupakan hasil penelitian, pengamatan lapangan, atau data lain berupa pendapat

para ahli yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Beberapa hal yang perlu dianalisis

antara lain menyangkut:

a. apakah benar telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. siapa yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup;

c. siapa yang mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup;

d. bagaimana status kepemilikan lahan yang tercemar atau rusak;

e. apa jenis kerugian (langsung atau tidak langgsung);

f. berapa besaran kerugian;

g. berapa lama terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

h. apa saja jenis media lingkungan hidup yang terkena dampak (air, tanah, udara);

i. nilai ekosistem baik yang dapat maupun yang tidak dapat dinilai secara ekonomi, dan

lain-lain.16

16 Lapiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup R.I. Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup

(14)

Penghitungan kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup merupakan pemberian nilai moneter terhadap dampak pencemaran dan/

atau kerusakan lingkungan hidup. Besaran nilai moneter kerugian ekonomi lingkungan hidup

sekaligus merupakan nilai ekonomi kerugian lingkungan hidup yang harus dibayarkan kepada

pihak yang dirugikan oleh pihak yang melakukan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup.

Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tidak terjadi dengan tiba-tiba,

melainkan melalui suatu proses dan memerlukan waktu sejak zat-zat pencemar keluar dari

proses produksi, dibuang ke media lingkungan hidup, kemudian mengalami perubahan

(menjadi lebih berbahaya) di dalam media lingkungan hidup (udara,air dan tanah), dan terakhir

terpapar ke dalam lingkungan hidup dan menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup.

UU PPLH menentukan environmental responsibility mencakup masalah ganti rugi kepada orang perorangan (private compensation) maupu biaya pemulihan lingkungan. Dengan demikian, environmental liability bisa bersifat privat dan sekaligus bersifat publik, maka apabila pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan hidup telah memenuhi tanggung jawab

kepada perseorangan yang menjadi korban pencemaran atau perusakan lingkungan hidup,

namun tenggung jawab belum dinyatakan selesai karena bisa saja pelaku dihadapkan pada

tanggung jawab yang berhubungan dengan urusan publik berupa kewajiban pemulihan atas

lingkungan hidup sebagai aset publik.17

Salah satu contoh gugatan perbuatan melawan hukum dibidang lingkungan hidup

adalah perkara perusakan hutan yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam perkara

Nomor: 460 K/PDT/2016. Mahkamah Agung di tingkat Kasasi telah membatalkan Putusan

Pengadilan Negeri Pekanbaru dan Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru, dengan mengabulkan

gugatan Pemohon Kasasi (dahulu Penggugat) untuk menghukum tergugat membayar ganti

rugi lingkungan hidup sejumlah Rp16.244.574.805.000,00 (enam belas triliun dua ratus

empat puluh empat miliar lima ratus tujuh puluh empat juta delapan ratus lima ribu rupiah).18

Mahkamah Agung menimbang bahwa perkara perdata lingkungan hidup memiliki peraturan

yang bersifat lex specialis mengenai bentuk tanggung jawab pelaku pencemar atau perusak lingkungan hidup tidak hanya bertanggung jawab secara privat tetapi juga tanggung jawab

secara publik. Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan kerugian atas kerusakan

17 N.H.T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta, h. 308. 18 Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia (Dahulu Kementerian Lingkungan Hidup

(15)

237

Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian

lingkungan hidup berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun

2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.19

Meskipun peraturan menteri tersebut dibuat oleh Penggugat (kementerian lingkungan hidup)

sendiri, tetapi karena Penggugat adalah lembaga kementerian yang berwenang membuat

kebijakan lingkungan hidup dan instrumen kebijakan lingkungan hidup dengan melibatkan

para ahli lingkungan hidup, maka menghitungan ganti kerugian peraturan menteri tersebut

menurut Mahkamah Agung dapat dibenarkan.

Nilai ganti rugi yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung merupakan jumlah yang sangat

besar untuk sebuah perkara perdata. Namun mengingat kerugian yang ditumbulkan, maka

nlai tersebut merupakan nilai wajar untuk merehabilitasi lingkungan yang rusak. Berdasarkan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang

Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup,

Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akan menimbulkan berbagai jenis kerugian

yang dapat digolongkan menjadi:20

a. Kerugian karena dilampauinya Baku Mutu Lingkungan Hidup sebagai akibat tidak

dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi, dan/atau

pengelolaan limbah B3. Pencemaran atau rusaknya lingkungan dapat terjadi karena tidak

patuhnya usaha dan/atau kegiatan perorangan terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan untuk mengolah limbah dan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Oleh

karena itu mereka dituntut untuk merealisasikan kewajibannya dengan membangun

IPAL, IPU dan instalasi lainnya dan mengoperasionalkan secara maksimal sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan. Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak

melaksanakan kewajiban tersebut akan menimbulkan kerugian pada lingkungan hidup

dan masyarakat. Nilai kerugian dalam hal ini minimal sebesar biaya pembangunan dan

pengoperasian instalasi tersebut.

b. Kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Lingkungan

Hidup, meliputi biaya: verifikasi lapangan, analisa laboratorium, ahli dan pengawasan

pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup. Dalam banyak hal, sering terjadi

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian

lingkungan hidup maupun kerugian masyarakat sebagai akibat kecelakaan, kelalaian,

19 Pada saat perkara tersebut diadili masih berlaku Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang

Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup ,saat ini telah dicabut oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/ atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

20 Lampiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian

(16)

maupun kesengajaan. Kepastian terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup tersebut memerlukan peran aktif pemerintah untuk melakukan verifikasi pengaduan,

inventarisasi sengketa lingkungan hidup dan pengawasan pembayaran kerugian lingkungan

hidup dan/atau pelaksanaan tindakan tertentu. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan biaya

yang harus diganti oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

c. Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup.

1) Biaya Penanggulangan

Pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, suatu tindakan

seketika perlu diambil untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup yang terjadi agar pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup dapat dihentikan dan tidak menjadi semakin parah. Tindakan ini dapat

dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan, dan/atau oleh pemerintah. Hanya

pada pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tertentu yang diakibatkan

oleh kecelakaan dan memerlukan penanganan segera misalnya: pada kasus terjadi

tumpahan minyak dari kapal dan kebakaran hutan. Apabila pemerintah yang

melakukan tindakan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup dan telah mengeluarkan biaya untuk tindakan tersebut, jumlah seluruh biaya

tersebut harus diganti oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan yang menyeb abkan

terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

2) Biaya Pemulihan

Lingkungan hidup yang tercemar dan/atau rusak harus dipulihkan dan sedapat

mungkin kembali seperti keadaan semula, sebelum terjadi pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan lingkungan hidup ini berlaku

bagi lingkungan hidup publik yang menjadi hak dan wewenang pemerintah serta

lingkungan masyarakat yang mencakup hak dan wewenang perorangan maupun

kelompok orang, namun tidak semua lingkungan hidup dapat dikembalikan pada

kondisi seperti sebelum terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,

walaupun demikian pihak penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan/atau

perorangan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup

wajib melakukan pemulihan kondisi lingkungan hidup. Dengan pemulihan kondisi

lingkungan hidup diharapkan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang ada sebelum

terjadi kerusakan dapat kembali seperti semula. Tetapi perlu disadari bahwa terdapat

berbagai macam ekosistem, dan setiap ekosistem memiliki manfaat dan fungsi yang

(17)

239

Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian

pula. Usaha pemulihan kondisi dan fungsi lingkungan hidup menuntut adanya biaya

pemulihan lingkungan hidup.

Apabila pihak penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan/atau perorangan

yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup merasa tidak

mampu melaksanakan kewajiban pemulihan lingkungan hidup, sehingga wajib

untuk membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada pemerintah dengan

ketentuan bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah yang akan melaksanakan tugas

pemulihan kondisi lingkungan hidup menjadi seperti keadaan semula sebelum terjadi

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

3) Kerugian ekosistem.

Pada saat lingkungan hidup menjadi tercemar dan/atau rusak, akan muncul berbagai

dampak sebagai akibat dari tercemarnya dan/atau rusaknya ekosistem. Tercemarnya

dan/atau rusaknya lingkungan hidup ini meliputi lingkungan publik (pemerintah).

Semua dampak pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tersebut harus

dihitung nilai ekonominya, sehingga diperoleh nilai kerugian lingkungan hidup secara

lengkap. Sebagai contoh jika terjadi kebocoran minyak dari kapal tanker, ekosistem

laut menjadi tercemar. Dampak selanjutnya dapat terjadi kerusakan terumbu karang,

kerusakan hutan mangrove atau kerusakan padang lamun, sehingga produktivitas

semua jenis ekosistem tersebut dalam menghasilkan ikan berkurang.

Kemampuan hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak juga

berkurang, kapasitas hutan sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan ikan menurun,

serapan karbon oleh hutan mangrove juga berkurang. Demikian pula apabila hutan

alam rusak atau ditebang akan timbul berbagai dampak lingkungan hidup dalam

bentuk hilangnya kapasitas hutan dalam menampung air dan memberikan tata

air, hilangnya kemampuan menahan erosi dan banjir, hilangnya kapasitas hutan

dalam mencegah sedimentasi, hilangnya kapasitas hutan dalam menyerap karbon,

hilangnya habitat untuk keanekaragaman hayati, dan bahkan hutan yang ditebang

dengan teknik bakar dapat menambah emisi gas rumah kaca (CO2). Terkait dengan

kerugian lingkungan hidup masyarakat secara perorangan atau kelompok dapat

menuntut dipulihkanya kualitas lingkungan hidup. Contohnya adalah tercemarnya

lingkungan tambak di mana masyarakat perorangan beraktivitas membudidayakan

pertambakan bandeng harus dipulihkan keberadaanya. Dengan adanya pencemaran

lingkungan tidak hanya berdampak negatif pada usaha budi daya bandeng, tetapi

ekosistem atau lingkungan tambak termasuk kualitas tanah dan kualitas perairan

(18)

Kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di atas harus dihitung nilainya sesuai

dengan derajat kerusakannya serta lamanya semua kerusakan itu berlangsung.

Kemudian nilai kerusakan ini ditambahkan pada biaya kewajiban. Biaya verifikasi

pendugaan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, biaya penanggulangan

dan/atau pemulihan lingkungan dan ditambah lagi dengan nilai kerugian masyarakat

yang timbul akibat rusaknya sebuah ekosistem.

4) Kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat sebagai individu atau

perorangan dan masyarakat sebagai kelompok orang-orang. Pencemaran dan/

atau kerusakan lingkungan hidup seperti diuraikan di atas akan menimbulkan

dampak berupa kerugian masyarakat akibat rusaknya aset seperti peralatan tangkap

ikan, rusaknya perkebunan dan pertanian, rusaknya tambak ikan, serta hilangnya

penghasilan masyarakat, dan sebagainya. Akibat kerusakan peralatan tangkap

ikan dan tambak ikan berarti bahwa sebagian atau seluruh sumber penghasilan

masyarakat di bidang perikanan terganggu sebagian atau seluruhnya. Demikian pula

bila ada pertanian atau perkebunan atau peternakan yang rusak sehingga benar-benar

merugikan petani dan peternak, semua kerugian tersebut harus dihitung dan layak

untuk dimintakan ganti ruginya.

Dalam menghitung kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup sebagai

akibat tidak dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi

dan/atau pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, metode penghitungan berdasar

akumulasi nilai unit pencemaran dengan memperhatikan keanekaragaman industri dengan

jenis dan jumlah parameter limbah yang berbeda-beda, pendekatan penghitungan kerugian

lingkungan hidup didasarkan pada akumulasi nilai unit pencemaran setiap parameter.

Nilai unit pencemaran setiap parameter limbah dan basis biaya per unit pencemaran

ditetapkan berdasarkan besaran dampak pencemaran pada lingkungan hidup dan kesehatan.

Metode penghitungan kerugian lingkungan hidup ini menggunakan biaya operasional per

m3 limbah yang diolah dengan baik dan memenuhi baku mutu pada suatu industri sebagai

pembanding bagi industri lain yang sejenis.

Penggugat dalam menghitung kerusakan lingkungan hidup memerlukan bukti yang

diajukan di persidangan. Salah satu bukti yang digunakan adalah keterangan ahli yang

menganalisa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dokumen laporan hasil analisa

yang dibuat ahli dan keterangan ahli lah yang dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

(19)

241

Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian

alat bukti dalam Hukum Acara Perdata. Tugas yang dilakukan oleh ahli pasti memerukan

biaya, sehingga Kerugian untuk pengganti biaya verifikasi sengketa lingkungan, analisa

laboratorium, ahli dan biaya pengawasan pembayaran kerugian lingkungan hidup merupakan

biaya yang dapat dibebankan kepada pelaku perusak dan/pencemar lingkungan hidup. Hal ini

berbeda dengan perkara perdata biasa, biaya untuk memperjuangkan hak (jasa advokat, biaya

menghadirkan saksi, dan ahli) tidak dapat dibebankan kepada pihak lawannya.

Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup, meliputi Biaya penanggulangan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Biaya penanggulangan pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghentikan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang sedang berjalan. Setelah menghentikan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, dilakukan tindakan pemulihan lingkungan

hidup. Biaya pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran lingkungan hidup adalah biaya

yang dikeluarkan untuk memulihkan kondisi lingkungan hidup kembali seperti sebelum

terjadinya pencemaran.

Variabel terahir yang menjadi tanggung jawab pelaku pencemar dan/atau perusak

lingkungan hidup adalah biaya kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup. Kerugian masyarakat akibat terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran

lingkungan dapat berupa rusaknya properti aset milik masyarakat atau bahkan hilangnya

penghasilan masyarakat yang menggantungkan pekerjaannya pada lingkungkungan hidup

tersebut. sebagai contoh, pencemaran laut membuat para nelayan tidak dapat mencari ikan

atau harus berlayar lebih jauh untuk mencari ikan, sehingga hilang potensi pendapatan nelayan

atau para nelayan memerlukan dana operasional yang lebih besar dari kondisi sebelum terjadi

pencemaran.

PENUTUP

Penyelesaian Sengketa lingkungan hidup dapat dilakukan melalui pengadilan dengan cara

mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 87 UU PPLH dan Pasal 1365 KUH Perdata tentang

perbuatan melawan hukum, namun dalam memperhitungkan kerugian atas pencemaran dan/

atau kerusakan lingkungan hidup, diperhitungkan seluruh aspek privat maupun aspek publik

(20)

DAFTAR BACAAN

Buku

Asshiddiqie, Jimly, dan Safa’at, Ali, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Fuadi, Munir, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Cetakan ke-2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hardjasoemantri, Koesnadi, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah mada University Press, Yogyakarta.

Komariah, 2001, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang.

Saefullah Wiradipraja, Endang, 1996,Tanggungjawab Pengangkut dalam Hukum Udara, Balai Pustaka, Jakarta.

______, 2008, Hukum Transportasi Udara: dari Warsawa 1929 ke Monteral 1999, Kiblat Utama, Bandung.

Siahaan, NHT, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta.

Jurnal

Basbeth, Ferry, “Proximate Cause” dan “but for test” sebagai Sebab Kematian Dalam Sertifikat

Kematian, Ferbruari 2012, Volume 2 Nomor 1, Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. Diakses melalui: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ijlfs/article/view/3250 tanggal 26 Agustus 2017.

Hardjaloka, Loura,Ketetapan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle Sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi, Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004”

Agustus 2012, Volume 5, No. 2, Jurnal Yudisial.

Sudiro, Ahmad, Konsep Keadilan John Rawls, Juli 2012, Volume 19, No. 3 Jurnal Legislasi Indonesia.

Putriyana, Nia, dan Dwi Puspita, Shinta, “Tanggungjawab Hukum Dalam Konteks Perbuatan

Melawan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi, Desember 2014, Volume 7, Nomor 3,

(21)

243

Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian

Putusan Pengadilan:

Hanis Tirtadjaja melawan Meilisa Nurmawan, Hj. Ratu Dhenok Herawaty, MARI-Pengadilan

Negeri Jakarta Utara Nomor 134/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Ut. Diakses melalui: http://putusan.

mahkamahagung.go.id/putusan/8e6015f5ccd7063880abbfff58df6baa tanggal 25 Agustus

2017.

Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia (Dahulu Kementerian

Lingkungan Hidup Republik Indonesia) melawan PT. Merbau Pelalawan Lestari, MARI

Nomor: 460 K/PDT/2016. Diakses melalui: https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/

Referensi

Dokumen terkait

(perubahan kebijakan luar negeri, kebijakan ekonomi yang mampu mengangkat kembali reputasi AS di mata dunia), Obama berhasil menarik simpati banyak kaum kulit putih (pria,

Castle Wolfenstein ’s 1984 sequel, Beyond Castle Wolfenstein , released for the same platforms, kept most of the best play mechanics of the fi rst game, while dramatically

Ejaan Van Ophuysen merupakan ejaan yang pertama muncul,ejaan ini dimunculkan untuk menjawab permasalahan permasalahan pada masa itu,yaitu banyaknya muncul

Table 45: Missile Weapon Ranges Table 46: Armor Class Ratings Table 47: Character Encumbrance Table 48: Modified Movement Rates Table 49: Carrying Capacities of Animals Table

Saya sedang menghadapi ujian akhir, namun saya tidak bisa hadir dalam ujian tersebut karena sakit dan dosen saya tidak menawarkan untuk mengikuti ujian susulan.. Cuek saja toh

2.2 Fair and decent wages for Article 88 paragraph (1. labor has the right to earn

perak secara tunai atau booking atau beli emas jualan murah (fire sales) dalam seminar tersebut untuk berpeluang memenangi cabutan bertuah lagi. Jadi, untuk peluang cerah menang

memfokuskan memberikan pelajaran agama saja. Pada tahun ini juga ditetapkan.. keputusan presiden yang menyatakan bahwa semua Sekolah Dasar dan. dan Menengah harus