• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syuhada Subir Metodologi Tafsir Al Qur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Syuhada Subir Metodologi Tafsir Al Qur"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

(Kronologi Pewahyuan)

TESIS

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Pengkajian Islam

Oleh:

Muh. Syuhada Subir NIM: 06.2.00.1.14.08.0087

Pembimbing:

Dr. Mukhlis M. Hanafi, MA

KONSENTRASI ULÛM AL-QUR’ÂN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ب

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muh. Syuhada Subir

Nomor Induk Mahasiswa : 06.2.00.1.14.08.0087

Tempat/Tanggal Lahir : Rantebaru, 10 Mei 1980

Pekerjaan : Kepala Sekolah SMP al-Istiqamah, Yayasan

Pendidikan Faqih Sudja'

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya yang berjudul ”Metodologi Tafsir

Al-Qur`ân Muhammad Izzah Darwazah; Kajian tentang Penafsiran al-Al-Qur`ân Berdasarkan

Tartîb Nuzûli (Kronologi Pewahyuan)” adalah benar karya asli saya, kecuali yang saya

sebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari terdapat di dalamnya kesalahan dan

kekeliruan, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 05 Maret 2009

Yang Menyatakan

(3)

ج

Tesis dengan Judul: ”Metodologi Tafsir Al-Qur`ân Muhammad Izzah Darwazah; Kajian

tentang Penafsiran al-Qur`ân Berdasarkan Tartîb Nuzûli (Kronologi Pewahyuan)”,

yang ditulis oleh Muh. Syuhada Subir, dengan NIM: 06.2.00.1.14.08.0087, Mahasiswa

konsentrasi Ulûm al-Qur`ân telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan ke sidang Ujian

Tesis

Jakarta, 05 Maret 2009

Pembimbing

(4)

د

Tesis yang berjudul ”Metodologi Tafsir Al-Qur`ân Muhammad Izzah Darwazah;

Kajian tentang Penafsiran al-Qur`ân Berdasarkan Tartîb Nuzûli (Kronologi

Pewahyuan)”, yang ditulis oleh Muh. Syuhada Subir, Nomor Induk Mahasiswa

06.2.00.1.14.08.0087, konsentrasi Ulum al-Qur'an telah diujikan dalam Sidang

Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu, 18 Maret 2009, dan telah diperbaiki sesuai dengan

saran dan rekomendasi Tim Penguji.

TIM PENGUJI

1. Dr. Fuad Jabali, M.A 1. ...

Ketua Sidang/Penguji

2. Dr. Muchlis M. Hanafi, M.A 2. ... Pembimbing/Penguji

3. Prof. Dr. Rif'at Syauqi Nawawi, M.A 3. ... Penguji I

4. Dr. Abdul Chair, MA 4. ...

(5)

ه

A. Konsonan

B. Vokal

Vokal Tunggal :

ــَـــ

= a

ــِـــ

= i

ــُـــ

= u

Vokal Panjang :

ﺎـَـــ

= â

ْﻲـِــ

= î

ْﻮـُــ

= û

Vokal Rangkap :

ْﻲـَــ

= ai

ْﻮـ

َــ

= au

C. Lain-lain

- Transliterasi syaddah atau tasydîd ( ّ ) dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.

- Transliterasi ta` marbûthah ( ة ) adalah “h”, termasuk ketika ia diikuti oleh kata sandang “al” ( لا ).

ب

= b

ط

= t

ت

= t

ظ

= zh

ث

= ts

ع

= ‘

ج

= j

غ

= g

ح

= h

ف

= f

خ

= kh

ق

= q

د

= d

ك

= k

ذ

= z

ل

= l

ر

= r

م

= m

ز

= z

ن

= n

س

= s

و

= w

ش

= sy

ـھ

= h

ص

= s

ء

= `

(6)

و

- Transliterasi kata “ ﷲا ” yang tersambung dengan kata lain sebelumnya ditulis secara

terpisah. Contoh:

ِَ

ُب

ا

Kiâb Allâh, bukan kitâbullâh

(7)

ز

Muh. Syuhada Subir: ” Metodologi Tafsir Al-Qur`ân Muhammad Izzah Darwazah; Kajian tentang Penafsiran al-Qur`ân Berdasarkan Tartîb Nuzûli (Kronologi Pewahyuan)

Berdasarkan hasil penulusuran penelitian ini, tesis ini membuktiakn bahwa "model penafsiran berdasarkan kronologi pewahyuan al-Qur`ân (tartîb al-suwar hasba al-nuzûl)", memerlukan pertimbangan pada segi konteks historis (riwayat), gaya bahasa, tema, serta karakter ayat dalam surat al-Qur`ân, dan akan menghasilkan pemahaman terhadap pesan-pesan al-Qur`ân secara historis yang dapat membawa para pembaca dapat mengikuti kiprah berdakwah Nabi dalam sejumlah periode dan tenggelam dalam suasana pewahyuan.

Kesimpulan tesis ini pada dasarnya memaperkuat gagasan yang mengklasifikasikan periodisasi dan kronologi turunnya surat al-Qur`ân yang di dasarkan pada bukti tertulis berupa riwayat, gaya bahasa al-qur`ân dan kandungannya secara umum (al-Sa'îdi, Nazhm Fannî fî al-Qur`ân), disisi lain penelitian ini juga mendukung gagasan Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa untuk memahami bentangan ajaran al-Qur`an dan tujuan pewahyuannya penting kiranya memperhatikan karir dan perjuangan Nabi serta lingkungan dimana Nabi berkiprah dan berdakwah (Islamic Modernism 1970). Juga pandangan yang mengatakan bahwa konteks historis merupakan faktor eksternal yang perlu dipertimbangkan dalam memahami makna ayat al-Qur`ân, (Nasr Hâmid Abu Zaid dan Muhammad ‘Imârah).

Selain menguatkan pandangan di atas, tesis ini melemahkan pendapat yang mengklasifikasikan periodisasi dan kronologi turunnya surat al-Qur`ân yang lebih menekankan pada gaya bahasa al-Qur`ân disamping pendekatan sejarah (kondisi makro bangsa Arab) pada saat wahyu turun. Dan disisi yang sama kurang memperhatikan riwayat pewahyuan al-Qur`ân. Pendapat ini di dukung oleh Theodor Noldeke dalam bukunya Târîkh al-Qur`ân (2004) dan Schwally dalam Taufik Adnan Amal Rekontruksi Sejarah al-Qur`ân (2005). dan gagasan Hubert Grimme yang lebih menekankan tema-tema doktrinal dalam mengklasifikasikan periodisasi turunnya surat al-Qur`ân, (dikemukakan oleh W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur`an, 1970).

(8)

ح

Muh. Syuhada Subir: "Muhammad Izzah Darwazah’s Methodology of Qur’anic exegesis; A study on the Interpretation of al-Qur`an Based on the chronology of Qur’anic revelation"

This thesis proves that interpretation based on chronology of Qur’anic revelation (tartîb suwar hasba al-nuzûl) needs consideration into historical context (riwayah), Ianguage style, theme, and also verse character in surah of Qur`ân, and will yield the understanding to messages of al-Qur`ân historically able to bring readers to follow action missionized by the Prophet in a number of periods and to immerse in apocalipse atmosphere.

Basically, the conclusion of this thesis strengthens the view which classifies division of historical periods and chronology of Qur’anic revelation which is based on written evidences namely tales, Qur’anic language style, and its meaning generally (al-Sa'îdi, Nazhm Fannî fi al-Qur`ân). On other hand, this research also supports the view of Fazlur Rahman who stated that to widely understand Qur’anic teachings and purposes of revelation, interpreter needs to pay attention to the history of the Prophet’s career and struggle and also his sociological setting, namely environment in which he developed his teachings (Islamic Modernism 1970). It also supports the view that the historical context is the external factor that can be considered in understanding the meaning of Qur’anic verses (Nasr Hamid Abu Zaid and Muhammad 'Imârah).

In addition to proves the opinion that has been mentioned, this research also weakens opinion classifying division of historical periods and chronology of Qur’anic revelation emphasizing more at Qur’anic language style beside approach of history (macro condition of Arab nation) when the apocalipse was revealed. While at the same time it pays attention less to historical context of Qur'anic revelation. This opinion is supported by Theodor Noldeke in his book Târîkh al-Qur`ân ( 2004), and Schwally in Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-al-Qur`ân (2005), and Hubert Grimme's idea which emphasizes more at doctrinal themes in classifying division of Qur’anic surah revelation, (told by W. Montgomery Watt, Bell'S Introduction to The Qur`ân, 1970).

(9)
(10)

ي

Segala puji dan syukur tersanjungkan keharibaan Ilahi Rabbi, karena tatkala aku berada dalam kondisi sulit selalu saja ada kemudahan yang Dia berikan melalui orang-orang terpilih-Nya, sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Demikian juga shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan untuk Rasulullah Saw.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan tesis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa bimbingan, arahan, dan masukan lainnya guna melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam kajian tesis ini. Oleh karena itu penulis merasa wajib mengucapkan rasa terima kasih kepada Departemen Agama RI, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam; selaku pihak pemberi beasiswa program Tafsir/Ulum al-Qur`ân, Bapak Dr. Mukhlis M. Hanafi, MA; selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan tesis ini, kepada Dr. Fuad Djabali, MA yang telah memberikan araha pada penulis melalui work in progres, Dr. Yusuf Rahman, MA terima kasih telah banyak memberikan arahan dan perhatian selama menyelesaikan penulisan tesis ini, dan telah memberikan kami waktu tenggang dari batas waktu yang telah di tentukan. Terima kasih terhadap Rektor UIN Jakarta Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Direktur SPs UIN Jakarta Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, serta Deputi Direktur Pengembangan Kelembagaan Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. H. Udjang Thalib, MA, selaku Deputi Bidang Administrasi dan Kemahasiswaan, dan seluruh jajaran staff Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih juga kepada pengelola Perpustakaan SPs UIN Jakarta, Bapak Drs. Suali Fusd dan M. Syukron.

Tak terlupakan pula penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., yang telah memberikan saya kesempatan untuk bergabung dalam Progran Pendidikan Kader Mufassir (PKM), dan seluruh staff Yayasan Lentera Hati dan Pusat Studi al-Qur`ân (PSQ) Jakarta.

Sujud ta'zimku untuk Bapak dan Ibundaku, M. Subir dan Siti Hudayah. Bagiku mereka berdua adalah guru pertamaku yang dengan sangat sabar mengajari aku untuk mencintai ilmu pengetahuan dan tidak bosan menjadi pribadi yang baik, juga kepada Bapak dan Ibu mertuaku Drs. H. Imam Faqih Sudja', MSI dan Amin Suharmini yang dengan ikhlas memberikan semangat, perhatian dan dorongan baik moral maupun moril kepadaku. Untuk mereka semua, semoga Allah memberi karunia kesehatan dan umur panjang yang barakah. Kepada kakak-kakak kandungku, kak Sulhadanah Subir beserta suami dan kak Syahrul, terima kasih telah memberikan perhatian lebih kepada adik bungsumu.

(11)

ك

Fattakhi (Rosyad) dan Carisa Fida Amalia (Carisa). Atas pengertian, kesabaran dan pengorbanan mereka yang selalu ku tinggal selama studi dan penulisan tesis ini telah memungkinkan kuliahku dapat selesai. Kepada mereka, karya ilmiah ini aku dedikasikan.

Jazâkum Allah Ahsana al-Jazâ`.

Jakarta, 05 Maret 2009

(12)

ل

Kajian tentang Penafsiran al-Qur`ân Berdasarkan Tartîb Nuzûli (Kronologi Pewahyuan)

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan ... ii

Lembar Pengesahan Tim Penguji ... iii

Lembar Pernyataan ... iv

Abstrak Bahasa Indonesia ... v

Abstrak Bahasa Inggris... vi

Abstrak Bahasa Arab ... vii

Ungkapan Terima Kasih... viii

Pedoman Transliterasi ... x

Daftar Isi ... xii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 01

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 12

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan... 13

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 17

E. Manfaat Penelitian... 17

F. Landasan Teori ... 18

G. Metodologi Penelitian ... 19

(13)

م

B. Tren dan Perkembangan Metodologi Penafsiran... 31

C. Metodologi Tafsir dalam Perspektif Sarjana Tafsir Modern... 48

BAB III: MUHAMMAD IZZAH DARWAZAH DAN METODOLOGI PENAFSIRAN A. Sketsa Biografi Intelektual Izzah Darwazah ... 54

B. Kecenderungan dalam Kajian al-Qur`ân ... 58

C. Prinsip-prinsip Dasar Penafsiran Izzah Darwazah ... 64

D. Langkah-langkah dalam Menafsirkan al-Qur`ân ... 85

E. Sumber Penafsiran... 88

BAB IV: METODOLOGI TAFSIR MODERN ALA IZZAH DARWAZAH A. Penafsiran al-Qur`ân Berdasarkan Tartîb Suwar Hasba al-Nuzûl Perspektif Izzah Darwazah ... 94

B. Respon Akademik Terhadap Gagasan Tartîb Suwar Hasba al-Nuzûl... 109

C. Aplikasi Metodologi Izzah Darwah dalam Penafsiran Surat al-Fâtihah, al-Zalzalah, al-Ra'd, al-Rahmân, al-Insân, dan al-‘Alaq dan al-Nasr.... 133

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan... 161

B. Saran-saran ... 162

Daftar Pustaka... 164

Lampiran

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memasuki abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M, studi terhadap al-Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia.1 Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur`ân sebagai teks (nas) yang terbatas dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi oleh manusia sebagai konteks (waqâ’i’) yang terbatas. Muhammad Syahrur dalam bukunya al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu’âsirah, mengatakan bahwa “al-Qur`ân harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia”.2

Sebagai akibat dari semakin intensnya kontak Islam dengan kebudayaan-kebudayaan asing diakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini, muncullah dua madrasah terkenal yang bergerak dibidang penafsiran serta sosial keagamaan dengan tujuan untuk memberikan bimbingan keagamaan melalui penafsiran kembali al-Qur`ân yang sesuai dengan zaman yang mereka hadapi. dua madrasah tersebut adalah Madrasah Syaikh Muhammad Abduh dan madrasah Ikhwân al-Muslimîn yang didirikan oleh Hasan al-Banna.3 Kedua madrasah ini merupakan

1

Hal ini terjadi karena interaksi atau persentuhan umat Islam yang semakin intens dengan peradaban bangsa eropa yang telah maju baik dalam bidang keilmuan maupun dalam bidang teknologi, sehingga berakibat pada penjungkirbalikkan peta politik dimana kekuasaan Muslim telah diganti dengan sistem penjajahan, dari sisi agama, orang-orang tidak lagi bergaul dengan keimanan yang seragam akan tetapi justru menghadapi kecenderungan yang merusak dan menghantam inti agama itu sendiri. Dalam bidang sosial, struktur masyarakat Muslim yang tidak praktis dan kaku bertolak belakang dengan gaya hidup masyarakat barat yang aktif dan dinamis, sehingga problem ini menjadi sebuah gambaran yang kurang mengenakkan. Lihat J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 2

2

Muhammad Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`âh Mu’âsirah, (Damaskus: Ahâli Li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1992), h. 33

3

(15)

embrio munculnya tokoh-tokoh reformis muslim yang melakukan reinterpretasi terhadap al-Qur`ân dengan berbagai pendekatan dan metodologi penafsiran.

Salah satu wujud respon kreatif terhadap tantangan modern yang dihadapi, para perintis dan pembaharuan pemikiran Islam yang berinteraksi secara intens dengan diskursus al-Qur`ân berusaha untuk mengembangkan metode tafsir dengan paradigma baru yang di pandang bisa kompatibel dengan tuntutan zaman. Atas usaha kreatif dan sungguh-sungguh itu, maka lahirlah teori-teori atau metode-metode baru dalam ladang penafsiran al-Qur`ân dengan mengelaborasi dan mereaktualisasi ajaran-ajaran al-Qur`ân dengan tuntutan zaman, seperti: isu-isu ekonomi, sosial, moral, politik dan sebagainya.

Metode-metode tersebut seperti metode fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur`ân(hidâ`i) yang diprakarsai oleh trio reformis Islam, Jamâluddin al-Afghâni, Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho yang dikembangkan dalam tafsir al-Manar, metode literasi yang dibangun atas paradigma kesusastraan al-Qur`ân (al-Minhaj al-adabi al-ijtimâ`iy) yang diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan diterapkan oleh Bint al-Syâti’ dalam Al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm,

dan Ahmad Muhammad Khalafullah lewat Al-Fann Qashashi fî Qur`ân al-Karîm,4 teori kesatuan tema al-Qur`ân (nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan oleh Sa’id Hawwa melalui Asâs fî Al-Tafsîr dan teori hermeneutika yang diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman dengan double movement-nya,5 dan Darwazah dengan tartîb suwar hasba al-nuzûl-nya,6 yang merupakan objek kajian penelitian ini. Usaha-usaha tersebut dilakukan untuk menggali dan mengkaji ulang ajaran Islam, membela agama Islam dari penjajahan orang-orang barat,-baik dari sisi pemikiran maupun

4

Lihat Hamim Ilyas dalam kata pengantar, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. xii-xiii.

5

Lihat: A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 83

6

(16)

pemerintahan-menghilangkan paham ortodoks dalam Islam, ta’assub pada aliran atau madzab, dan membangkitkan semangat jihad dikalangan umat Islam agar giat melakukan pembaharuan serta membebaskan mereka dari penjajahan.7

Izzah Darwazah (1305 H/1888 M – 1321 H/1984 M)-yang selanjutnya disebut Darwazah-,adalah salah seorang pemikir dan tokoh intelektual muslim modern berkebangsaan Arab-Palestina. Lahir di Nablus-Palestina pada akhir abad ke-19. Sekalipun ketokohannya tidak sepopuler dengan pemikir dan tokoh intelektual sezamannya, akan tetapi terlahir sebagai anak zamannya, Darwazah memiliki kepedulian besar terhadap perubahan dan perkembangan sosial politik yang dialami oleh umat Islam. Kepeduliannya tersebut tercermin dari gagasan-gagasan yang diartikulasikannya dalam sejumlah buku8 dan artikel, mulai dari persoalan sosial politik, pendidikan, dan sejarah9 yang membutuhkan penafsiran baru terhadap kandungan al-Qur`ân. Dan jika ditelisik lebih jauh, Darwazah merupakan salah satu dari tokoh dan intelektual Muslim yang berafiliasi dengan

7

Ahmad Syurbasyi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim, terj. Zufran Rahman, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 243

8

Semisal ‘Asr Nabi wa Bî`atuhu Qabl Bi’tsah; Suwar Muqtabasah Min Qur`ân al-Karîm wa Dirâsât wa Tahlîlât Qur`âniyah, (Beirut, 1384/1964), ed. 2; Kemudian diikuti dengan karya selanjutnya Sîrah Rasûl Sallallahu ‘Alaihi Wasallam; Suwar Muqtabasah Min Qur`ân al-Karîm, (Beirut, Mansyûrât al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1384/1965), ed. 2; karya ketiganya adalah al-Dustûr al-Qur`âniyah wa al-Sunnah al-Nabawiyah fî Syu`ûn al-Hayât, (Kairo, 1386/1966), ed.2, karya ketiga ini diterbitkan pertama kali dengan judul Dustûr Qur`âniyah Li Syu`ûn Hayât; al-Sunnah al-Nabawiyah pada tahun 1956. al-Tafsîr al-Hadîts (Beirut, Dar al-Gharb al-Islâmi, 2000) cet. ke-2, dan dicetak pertama kali pada tahun 1961-1964; Al-Qur`ân al-Majîd, yang ditulisnya setelah merampungkan penulisan tafsirnya dan sekaligus kitab ini dijadikan sebagai muqaddimah tafsirnya yang memuat prinsip-prinsip dan metodologi tafsirnya, dll. Izzat Darwaza, Al-Qur`ân al-Majîd, Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islâmi, 2000) cet. ke-2, h. 141; lihat juga Ismail K. Poonawala, “Muhammad ‘Izzat Darwaza’s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur`ân, (London-New York: Routledge, 1993), p. 225-245

9

Tentang jumlah karya-karya Izzat Darwaza yang berkaitan dengan al-qur`ân, Islam, Politik, sejarah Arab, maupun gerakan perlawanan Arab, juga dapat dilihat dalam Tarjamah al-Mu`allif, dalam

al-Tafsîr al-Hadîts, (Kairo: Isa al-Bâbi al-Halabi wa Syurakâ`uh, 1964), cet. ke-2, Jilid VI, Juz XII, h. 282-286. Juga dalam Mûjaz Tarjamah al-Mu`allif Muhammad Izzat Darwaza wa Âtsâruhu al-‘Ilmy

(17)

-Madrasah Muhammad Abduh.10 Kebutuhan dan tantangan kehidupan modern yang semakin kompleks, mendorong dan mengharuskan Darwazah untuk menemukan sebuah metode penafsiran yang dapat relevan dengan spirit zaman.

Upaya untuk melakukan penafsiran ulang terhadap al-Qur`ân sebenarnya tidak hanya terjadi pada era modern-kontemporer, akan tetapi telah pula berlangsung sejak wafatnya Rasulullah saw. Disamping itu penafsiran ulang terhadap al-Qur`ân sangat diperlukan, sebagaimana yang dilansir oleh W. Mongomery Watt dan Richard Bell bahwa, “al-Qur`ân penuh dengan kiasan yang diperkirakan telah jelas pada saat diwahyukannya, tetapi tidak sangat jelas bagi generasi kemudian”.11 Lebih lanjut J.M.S. Baljon mengungkapkan tentang konteks penafsiran modern-kontemporer sebagai berikut: “Yang disebut sebagai tafsir al-Qur`ân modern adalah usaha untuk menyesuaikan ayat-ayat dengan tuntutan zaman, dan hal itu benar-benar telah menjadi suatu keharusan sejak wafatnya Nabi Muhammad, Ketika kekuasaan beralih dibawah kepemimpinan al-khulafâu al-râsyidîn yang situasinya berkembang kedalam kondisi yang berbeda dari zaman Nabi. Karena itu, berbagai dimensi pemikiran yang terkandung dalam al-Qur`ân, dirasakan membutuhkan penafsiran ulang”.12

Seperti halnya dengan para sahabat dan al-khulafâu al-râsyidîn, yang harus mengatasi persoalan yang muncul sebagai akibat dari persentuhan dengan peradaban wilayah yang ditaklukkan, Darwazah yang ditakdirkan hidup di era modern dimana umat Islam kala itu mengalami stagnasi dan kebodohan dalam waktu yang panjang, tergugah untuk melakukan penafsiran ulang terhadap pesan al-Qur`ân demi membangkitkan kembali spirit umat Islam dan dalam menghadapi tantangan kehidupan dan persoalan yang mengemuka sebagai implikasi dari

10

Selain Izzat Darwaza yang berafiliasi dengan Madrasah Abduh, terdapat pula tokoh dan cendekiawan lainnya seperti Jamaluddin al-Qasimi, Abdul Karim al-Khatib, dll, lihat Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, h. 563

11

W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur`an, (Leiden: Edinburgh University Press, 1970), h. 167

12

(18)

kemajuan ilmu dan tegnologi.13 Darwaza yakin al-Qur`ân merupakan satu-satunya dasar untuk melakukan pembaharuan dan pengembangan Agama Islam, sosial, pemikiran politik, dan al-Qur`ân merupakan satu-satunya sumber bagi reinterpretasi pemikiran Islam.14

Selain itu, ia juga mengamati bahwa selama ini hampir semua mufassir mengikuti pola konvensional dengan menafsirkan ayat demi ayat atau memahami kosa kata atau ayat diluar konteks dan penggunaannya dalam al-Qur`ân, sehingga karya-karya tafsir tersebut dikenal karena penjelasan linguistik dan gramatikalnya, atau eksplorasi yuridis dan teologisnya, atau tafsir naratifnya.15

Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa cendekiawan Muslim yang intens mengkaji al-Qur`ân, semisal Fazlur Rahman. Ia memandang bahwa pendekatan tafsir selama ini cenderung menginterpretasikan pesan al-Qur`ân secara terpisah-pisah dan sepotong-sepotong, sehingga mengakibatkan persoalan yang dihadapi bukannya terselesaikan, akan tetapi menimbulkan permasalahan yang baru. Sebenarnya para mufassir klasik dan abad pertengahan telah menerapkan ayat per ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf (mushaf Utsmani), dan terkadang merujuk pada ayat yang lain, namun sayangnya tidak dilakukan secara sistematis.16 Issa J. Boullata juga mengatakan bahwa tafsir-tafsir al-Qur`ân, mulai dari karya-karya paling awal yang ditulis pada abad ke-9 M hingga sebagian besar karya tafsir yang ditulis belakangan pada abad ke-20 M, kebanyakan mengikuti pola penafsiran al-Qur`ân secara tartil. Ayat diuraikan secara berurutan ayat demi ayat, dengan terlebih dahulu menyajikan ayat atau sebagian ayat, lalu diiringi penafsirannya. Metode yang memperlakukan al-Qur`ân secara atomistik dan penggunaan kata-katanya secara individual telah menyebabkan pesan al-Qur`ân terlepas dari konteks umumnya sebagai

13

Ismail K. Poonawala, “Muhammad ‘Izzat Darwaza’s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur’an, h. 236

14

Ismail K. Poonawala, “Muhammad ‘Izzat Darwaza’s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur’an, h. 245

15

Izzat Darwaza, Al-Qur’an al-Majid, fî Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, cet. ke-2, h. 203. 16

(19)

satukesatuan yang padu. Walaupun harus diakui, terdapat sebagian mufassir melakukan rujukan silang terhadap kata-kata al-Qur`ân yang lain dalam karya mereka.17

Sebagai respon kepeduliannya terhadap persoalan tersebut, ia mencoba mewujudkan idenya yang belum terealisasi untuk menulis sebuah tafsir modern yang diproyeksikannya sebagai tafsir yang relevan dengan spirit zaman yang ditulis dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami umat dari segala lapisan, yang kemudian dikenal dengan “al-Tafsîr al-Hadîts”.18

Hal senada juga diungkapkan oleh Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, bahwa selama (lebih) empat belas abad ini, warisan intelektual Islam telah diperkaya dengan berbagai bentuk perspektif dan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur`an. Namun demikian, terdapat kecenderungan umum untuk memahami al-Qur`ân secara ayat per ayat bahkan kata per kata. Selain itu, pemahaman terhadap al-Qur`ân tidak jarang didasarkan pada pendekatan filologis-gramatikal. Pendekatan ayat per ayat atau kata per kata tak diragukan lagi akan menghasilkan pemahaman yang parsial tentang pesan al-Qur`ân. Bahkan tidak jarang terjadi, penafsiran seperti ini secara semena-mena mengeliminasi ayat dari konteks dan sisi kesejarahannya demi mempertahankan perspektif tertentu. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam penafsiran filosofis, untuk menyebut satu contoh, sering terjadi internalisasi gagasan-gagasan asing

17

Issa J. Boullat, “Modern Qur’an exegesis: A Study of Bint al-Syati’s Method”in The Muslim Word, Vol. 64, 1974, h. 107.

18

Oleh J.J.G. Jansen, tafsir ini merupakan salah satu tafsir al-Qur`an modern baru yang terpenting di dunia Arab di luar Mesir. Diantara tafsir baru yang terpenting-selain tafsir karya Izzat Darwaza- di Arab di luar Mesir adalah: Tafsîr Juz Tabâraka karya ‘Abd al-Qadir al-Maghribi; Syria, tafsir ini mengikuti gaya Tafsîr Juz ‘Ammâ Abduh; dan Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, karya Muhammad at-Tahir ibn ‘Asyur. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J.Brill, 1974), h. 17; Pembahasan tentang penafsiran modernis atau tafsir modern dapat juga dilihat pada: J.M.S. Baljon, Modern Muslim Interpretation; S.A. Kamali, “Abul Kalam Azad’s commentary on The Qur’an”, in The Muslim World, Vol. 49, 1959, h. 5-18; I.J. Boullata,

(20)

terhadap al-Qur`ân tanpa mempedulikan konteks historis dan sastra-linguistiknya.19

Tafsir Darwazah ini ditulis di Turki dalam penahanan tentara Inggris dan setelah ia merampungkan tiga karya pertamanya yaitu:‘Asr al-Nabi wa Bî’atuhu Qabl al-Bi’tsah; Suwar al-Muqtabasah Min al-Qur`ân al-Karîm wa Dirâsât wa

Tahlîlât Qur`âniyah, Sîrah al-Rasûl Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam; Suwar al-Muqtabasah Min al-Qur`ân al-Karîm dan al-Dustûr al-Qur`âniyah wa al-Sunnah al-Nabawiyah fî Syu`ûn al-Hayât,Darwazah menamai ketiga bukunya ini dengan nama “Silsilah Qur`âniyah”. dinamakan demikian karena ketiga karya tersebut secara umum didasarkan pada al-Qur`ân.20

Salah satu faktor yang memotivasi Darwazah menulis tafsirnya tersebut dengan sebuah metode penafsiran yang baru adalah adanya kebutuhan generasi muda pada era modern yang semakin mendesak untuk memahami al-Qur`ân. Mereka mengeluhkan gaya penafsiran tradisional, dan yang telah meninggalkan tafsir-tafsir tradisional. Untuk objek pembaca yang dituju dari karya-karyanya tersebut, ia berkata:

“Dalam tafsir ini, kami ingin mengungkap rahasia wahyu, konsep fundamental al-Qur`ân, dan semua materinya dengan gaya dan susunan baru. Selain itu tafsir ini juga merespon kebutuhan mendesak generasi muda kita yang mengeluhkan model tafsir tradisional dan yang telah meninggalkan tafsir-tafsir tradisional, yang pada gilirannya menggiring mereka pada memutuskan hubungan dengan kitab suci agama mereka yang seharusnya diperhatikan dan dijaga.”21

Dalam penafsirannya, Darwazah menggunakan sebuah metode dimana ia menafsirkan atau mengomentari ayat atau surat yang disusun dalam unit-unit yang lebih kecil dan logis berdasarkan pertimbangan isi, konteks dan ritme, tanpa mengikuti susunan ayat demi ayat berdasarkan susunan tradisional atau susunan

19

Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur`ân: Sebuah Kerangka Konseptual, (Bandung: Mizan, 1994), cet. ke-6, h. 16 dan 19.

20

al-Tafsîr al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islâmi, 2000) cet. ke-2, h. 277 21

(21)

standar surat dalam mushaf Utsmâni, akan tetapi sesuai dengan kronologi turunnya wahyu (Tartîb al-Suwar Hasba al-Nuzûl).22 Menurut Darwazah, susan kronologis ini merupakan metodologi terbaik dalam memahami al-Qur`an. Selanjutnya Darwaza mengatakan: dengan kronologi ini, kita dapat-tidak hanya mengikuti Rasulullah dalam sejumlah periode-,tetapi juga dapat mengamati tahap-tahap pewahyuan secara lebih tepat dan jelas. Dengan hal tersebut juga lebih memungkinkan pembaca tenggelam dalam suasana seputar pewahyuan al-Qur`an, serta dalam makna dan cakupannya, yang pada gilirannya mengungkapkan kearifan wahyu pada pembaca.23

Dalam membangun penafsirannya ini, Darwaza berpegang pada sebelas prinsip atau dasar,24 yakni: (1) Relasi al-Qur`ân dan sejarah kenabian (sîrah al-Nabawiyah); (2) Relasi al-Qur`ân dan lingkungan Nabi (al-bî`ah al-Nabawiyah); (3) Bahasa al-Qur`ân; (4) al-Qur`ân; antara prinsip fundamental (usus) dan media atau instrumen (wasâ`il); (5) Kisah-kisah al-Qur`ân (al-qasas al-Qur`âniyah); (6) Malaikat dan Jin dalam Qur`ân; (7) Penomena dan hukum alam dalam al-Qur`ân; (8) Kehidupan akhirat dalam al-al-Qur`ân; (9) Esensi dan sifat Tuhan dalam

22

Susunan kronologis yang digunakan Darwaza didasarkan pada susunan surat cetakan al-Qur`an yang ditulis oleh kaligrafer Baqdar Oglî, dengan beberapa perubahan kecil, atas izin Kementrian Dalam Negeri Mesir dan Kantor Syaikh al-Azhar. Selanjutnya Darwaza menjastifikasi usahanya ini dengan meminta fatwa dari Mufti Aleppo Syaikh Abdul Fattah Abu Guddah dan Mufti Syria Syaikh Abu al-Yasar ‘Abidin. Sebelum Darwaza, Lihat: al-Tafsîr al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islâmi, 2000) cet. ke-2, h. 10-13. Terdapat pula yang menulis mushaf yang susunan suratnya sesuai dengan kronologi turunnya wahyu, diantaranya: Ali Bin Abi Thalib. Lihat: Jalâluddîn ‘Abdurrahmân al-Suyûti, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Juz I, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006), h. 65

Secara bervariasi, kronologis ayat dan surah seperti yang digunakan Darwaza dalam tafsirnya ini, juga ditawarkan oleh beberapa peneliti Barat seperti Theodore Noldeke, Ricard Bell, Gustaf Weil, Friedrich Scwally, dan Roger Blachere, dengan menggunakan kriteria berbeda. Lebih lanjut lihat W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur`an, h. 109-113 & lihat juga h. 175-177

23

al-Tafsîr al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islâmi, 2000) cet. ke-2, h. 9 24

(22)

Qur`ân (10) Susunan kronologi dan konteks Qur`ân; dan (11) Memahami al-Qur`ân dengan al-al-Qur`ân.25 Dan setelah menelaah kitab-kitab tafsir klasik dan modern, Darwaza belum menemukan satu tafsir pun yang mengikuti prinsip-prinsip-yang sekaligus mendasari metode yang diterapkan dalam tafsirnya-tersebut secara utuh atau metode tafsirnya-tersebut belum diterapkan secara serius dan sistematis dalam karya tafsir sebelumnya.26

Berpijak pada kesebelas prinsip tafsirnya itu juga, Darwaza memberikan kritikan terhadap beberapa karya tafsir klasik dan modern, yang penekanannya terhadap beberapa tema, seperti kisah-kisah dalam al-Qur’an, fenomena alam, jin dan malaikat, pemanfaatan sebagian kaum sektarian dan mazhab teolog atas tafsirnya sebagai pegangan yang menguntungkan bagi doktrin mereka, pengeksplorasian terhadap misteri (al-asrâr), dan simbol (al-rumûz) yang ada dalam al-Qur’an secara berlebihan, beberapa riwayat asbâb al-nuzûl dan riwayat tafsir yang lemah dan palsu yang disandarkan dan diidentikkan pada beberapa tafsir sahabat dan tabi’in, pengandalan beberapa mufassir atas riwayat-riwayat lemah, seperti riwayat yang menyatakan bahwa al-Qur’an turun sekaligus dari

lauh al-mahfûdz ke lapisan langit terendah kemudian diturunkan kepada Nabi secara bertahap, serta doktrin para teolog madzhab tentang apakah al-qur’an diciptakan (makhlûq) atau tidak (qadîm).27

Kajian ini semakin menarik karena metodologi penafsiran al-Qur`ân yang ditawarkan Darwazah dalam penafsirannya berbeda dengan metodologi yang dikenal dan diaplikasikan selama ini, atau paling tidak ada nuansa baru yang diperkenalkannya. Hal ini akan jelas, tatkala dilakukan penelusuran sejarah perkembangan metodologi tafsir al-Qur`ân semenjak awal al-Qur`ân diturunkan hingga dewasa ini. Dimana secara umum terdapat empat metode yang berkembang selama ini, yaitu: pertama, Metode tahlîli (analitis), kedua, metode

25

al-Qur`ân al-Majîd, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islâmi, 2000) cet. ke-2, h. 142-198 26

al-Qur`ân al-Majîd, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islâmi, 2000) cet. ke-2, h. 203 27

(23)

ijmâli (global), ketiga, metode muqâran (komparasi), dan keempat, metode

maudhû’i (tematik).28

Hal inilah yang menarik penulis untuk mengkaji lebih mendalam tentang metode tafsir Darwazah yang disusun sesuai dengan kronologis pewahyuan pada masa Rasulullah dan didasarkan pada sebelas poin yang telah disebutkan, yang sekaligus mendasari konstruksi penafsiran Darwazah serta membuktikan penerapannya dalam kitab al-Tafsîr al-Hadîts. Diantara alasan penulis memilih Darwazah dan tafsirnya sebagai objek kajian ini, yaitu:

Pertama; keberadaan metode yang disusun sesuai dengan kronologi pewahyuan al-Qur`ân yang dibangun atas kesebelas prinsip yang dikemukakan Darwazah di pandang baru dalam ranah tafsir. Penulis melihat Darwazah telah mampu menemukan sebuah metode yang baru dan praktis dengan argument yang rasional, logis dan meyakinkan. Hadirnya pemikiran Darwazah, merupakan reaksi kritis terhadap pemikiran ulama-ulama tafsir sebelumnya, tetapi di balik itu sesungguhnya Darwazah menawarkan pola pemikiran logis yang diramunya sedemikian rupa, sehingga dapat rasional untuk tuntutan zaman modern.

28

Abdul Hayy al-Farmawi, al-Bidâya fî al-Tafsîr al-Maudû`i: Dirâsah Manhajiyyah Maudû`iyyah, (Kairo: Maktabah al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977), cet. ke-2, h. 23. Untuk metode bentuk pertama (tahlili) baik yang berbentuk ma`tsûr (riwayat) maupun ra’yi (nalar), masing-masing dapat ditemukan penerapannya dalam tafsir Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl Âyi al-Qur`ân karya Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghwi (w. 516 H), Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azîm yang dikenal dengan Tafsîr Ibn Katsîr karya Ibn Katsir (w. 774 H), Dur Mantsûr fi Tafsîr bi al-Ma`tsûr karya al-Suyuthi (w. 911), Tafsîr al-Khâzin karya al-Khazin (w. 741 H), al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyari (w. 538), Anwâr al-Tanzîr wa Asrâr al-Ta`wîl karya al-Baydhâwi (w. 691 H), Arâis al-Bayân fi Haqâiq al-Qur`ân karya al-Syîrâzi (w. 606 H), al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Râzi (w. 606 H), al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur`ân karya Tanthawi Jauhari, Tafsir al-Manâr karya Muhammad Rasyîd Ridha (w. 1935 H), dan lain-lain. Metode yang kedua (ijmâli), dapat dilihat antara lain dalam Tafsîr Jalâlain karya bersama Jalâluddin al-Mahalli (w. 864/1459) dan Jalâluddin al-Suyûti (w. 911/1505), Tâj al-Tafâsîr karya Muhammad ‘Utsmân al-Mirghani, Kitab

(24)

Kedua; perbincangan tentang reinterpretation terhadap wacana al-Qur’an saat ini mendapat proporsi yang demikian penting sebagai upaya untuk mencari solusi cerdas dalam menjawab pelbagai persoalan kontemporer umat. Penulis melihat bahwa Darwazah telah menawarkan sebuah konsep rethinking of al-Qur’an, dengan berupaya menelaah kembali metode-metode tafsir yang selama ini sebenarnya sudah ada-akan tetapi belum diterapkan secara serius dan sistematis dalam tafsir-tafsir sebelumnya-untuk disesuaikan dengan esensi dari pesan al-Qur’an itu sendiri yang pada gilirannya diharapkan dapat menjadi sumber reinterpretationbagi pemikiran Islam yang didasarkan pada al-Qur`an.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

(25)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimanakah rumusan metode penafsiran yang ditawarkan oleh Darwazah ? 2. Bagaimana bentuk aplikasi metodologi tafsir Darwazah dalam penafsiran

?

3. Sejauh mana kontribusi metode penafsiran yang di tawarkan Darwazah terhadap perkembangan penafsiran al-Qur`an ?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dari review penulis terhadap beberapa studi terdahulu yang dianggap relefan dengan kajian antara lain adalah penelitian yang dilakukan Thameem Ushama “ Methodologies of The Qur’anic Exegesis”, telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Hasan Basri dengan judul “Metodologi Tafsir al Qur’an, Kajian Kritis, Obyektif Dan Komprehensif” (Jakarta, Riora Cipta 2000 M). Dalam buku ini dijelaskan beberapa kekeliruan madzhab-madzhab penafsiran di abad-abad awal Islam, dan keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam penafsiran al Qur’an serta syarat-syarat menafsirkan al Qur’an. disisi lain juga dibahas beberapa prinsip, ciri, dan metode tafsir. Meskipun buku ini membahas tentang prinsip, ciri, dan metode tafsir, tetapi penulis buku ini hanya menjelaskan secara umum, tanpa mengklasifikasikan prinsip-prinsip dan metode penafsiran secara terpisah dari setiap karya tafsir.

(26)

Manhaj al-Fakhr al-Râzî fî al-Tafsîr Baina Manâhij Ma’ashirîhi, dalam penelitiannya ini Ibrâhîm ‘Abdurrahmân membahas tentang persamaan dan perbedaan metode tafsir al-Râzî dengan mufassir-mufassir yang sezamannya, dengan memotret sumber penafsiran masing-masing mufassir, serta kedudukan mereka dalam beberapa disiplin ilmu seperti Qirâ`ât dan ‘Ulûm al-Qur`ân, Isrâ`iliyyât serta firaq al-Islâmiyah.

Adapun kajian tentang metodologi tafsir yang bersifat ilmiah seperti tesis dan disertasi antara lain adalah:

1. Ahmad Syukri menulis Disertasi dengan judul Metodologi Tafsir al-Qur`ân Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur Rahman, dan sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Sultan Taha Press bekerja sama dengan Gaung Persada Press Jakarta Disertasi ini sebagai syarat untuk meraih gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam dari Program Pascasarjana UIN Syarif hidayatullah Jakarta, tahun 2003. dalam disertasi tersebut penulis mengkaji tentang metode gerakan ganda yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman dan mekanisme penerapannya dalam menafsirkan al-Qur`ân.

2. Sahiron Samsuddin yang menulis tesis dengan judul An Examination of Bint al-Syâti’’s Method of Interpreting the Qur`ân, tesis tersebut merupakan syarat untuk meraih gelar Master dari the Faculty of Graduate Studies and Research in Partial fulfillment of the requirements pada Institute of Islamic Studies McGill University, tahun 1998. Dalam tesis tersebut penulis mencoba mengkaji kritikan Bint al-Syâti’ terhadap penafsiran tradisional serta teory penafsirannya, yang kemudian disusul dengan bentuk pengaplikasiannya dalam menafsirkan surat al-‘Asr.

3. Baharuddin Husin dengan judul Studi Perbandingan antara Metode Tafsir Maudu’iy Prof. DR. Muhammad al-Bahy dengan Metode Tafsir Maudu’iy

(27)

penulis mengkaji metode tafsir maudu’i yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut dengan melihatt sisi kekurangan dan kelebihan dari masing-masing metode tersebut, kemudian diperbandingkan melalui pengaplikasian dalam menafsirkan ayat 1-14 dari surat al-Nisa`.

4. Adang Kuswaya dengan judul Pemikiran Hermeneutika al-Qur`ân Hassan Hanafi; Studi Analisis atas Pemikiran Hassan Hanafi tentang Metodologi

Penafsiran al-Qur`ân, merupakan tesis Magister dalam bidang Ilmu Agama Islam dari Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1999. dalam tesisi ini penulis mengkaji tentang hermeneutika sebagai penafsiran kitab suci, metodologi filologi, sebagai ilmu pemahaman linguistic, sebagai dasar metodologi ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dan hermeneutika sebagai suatu sisitem interpretasi. Dan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai perkembangan hermeneutika al-Qur`ân sejak awal kelahirannya (al-Qur`ân diwahyukan) sampai pada era kontemporer. kemudian aplikasi metodologi penafsiran Hassan Hanafi dalam beberapa karyanya tentang status wanita menurut Islam dan Yahudi, pandangan Agama tentang tanah, dan harta dalam al-Qur`ân.

Sedangkan penelitian yang berkaitan dengan karya Darwazah adalah yang dilakukan oleh Devy Aisyah Aziz dengan judul “Metodologi Tafsir al-Qur`ân Karya Muhammad Darwazah; Kajian Penafsiran Kisah al-Qur`ân dalam Kitab

al-Tafsîr al-Hadîts”.29 Tulisan ini berupa artikel yang dimuat dalam Jurnal pemikiran Islam kontekstual Jauhar, Dalam tulisan tersebut, Devy Aisyah Aziz mengkaji metodologi Darwazah dalam menafsirkan ayat-ayat kisah. Meskipun artikel tersebut membicarakan tentang metodologi tafsir Darwazah, akan tetapi belum menjelaskan secara komprehensif dan integral tentang prinsip-prinsip yang mendasari metode Darwazah dan kritiknya terhadap metode tafsir sebelumnya yang kemudian diaplikasikan dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur`ân,

29

(28)

dan hanya menitik beratkan pada metode Darwaza dalam menafsirkan ayat-yat kisah.

Tulisan kedua berupa artikel juga yaitu artikel yang ditulis oleh Ismail K. Ponawala dalam Approaches To The Qur’an dengan judul “Muhammad ‘Darwazah’s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic

hermeneutics”, dan telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Farid F. Saenong30. Dalam artikel tersebut penulis sebatas memperkenalkan tafsir karya Darwazah dengan mengulas secara singkat prinsip-prinsip yang dijadikan pijakan oleh Darwazah dalam penafsirannya, yang dinilai sebagai sebuah kontribusi terhadap perkembangan metode hermeneutika komprehensif. Dan jika dilihat dari isi pembahasannya, artikel ini berupa ringkasan atau review dari kitab al-Qur`ân al-Majîd, yang ditulis sebagai muqaddimah tafsirnya.

Berdasarkan pengamatan penulis pada karya-karya diatas, kiranya perlu diteliti lebih jauh metodologi penafsiran berdasarkan kronorlogi pewahyuan al-Qur`ân (tartîb suwar hasba al-nuzûl) yang diusung dan diaplikasikan oleh Darwazah dalam tafsirnya secara utuh, spesifik dan komprehensif. Di posisi inilah kiranya letak kontribusi dari penelitian ini.

D. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Mendeskripsikan dan memberikan penjelasan secara mendetail mengenai rumusan metodologi penafsiran yang ditawarkan oleh Darwazah yang dipandang sebagai metodologi baru dalam dunia penafsiran.

b. Menjelaskan dan membuktikan secara pasti bentuk aplikasi metodologi tafsir Darwazah melalui penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qurr`ân.

30

(29)

c. Membuktikan Sejauh mana kontribusi metode penafsiran yang di tawarkan Darwazah terhadap perkembangan penafsiran al-Qur`an.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Adapun manfaat atau signifikansi yang terealisasi dari penelitian ini dapat dikelompokkan kedalam dua dataran, yaitu secra teoritis dan praktis.

a. Pada dataran teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemahaman terhadap analisis mengenai prinsip-prinsip dan metode penafsiran Darwazah sebagai bagian dari metodologi tafsir dengan harapan nantinya dapat dikembangkan dan dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

b. Dalam dataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan informasi dan kontribusi pemahaman yang lebih mendalam, dalam mengungkap satu sisi pemikiran Arab-Palestina dalam bidang tafsir yang belum banyak dikaji, dan secara umum diharapkan dapat bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, serta terhadap konsep-konsep aktual terutama mengenai masalah-masalah yang menyangkut sistem penafsiran al-Qur`ân.

F. Landasan Teori

(30)

tafsir termasuk salah satu ilmu yang belum matang (ghair al-nadlji), sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan.31

Kegiatan penafsiran merupakan upaya pengkajian al-Qur’an secara serius, sadar, dan penuh tanggung jawab oleh para ulama dan intelektual Muslim yang berinteraksi secara intens dengan studi al-Qur`ân. Dan secara metodologis, kajian terhadap al-Qur’an dapat dipetakan menjadi tiga wilayah kajian, yaitu: pertama,

kajian mengenai teks al-Qur’an sendiri; Kedua, kajian mengenai hasil penafsiran para tokoh terhadap al-Qur’an; dan ketiga, kajian tentang respon masyarakat terhadap al-Qur’an yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.32

Oleh sebab itu, kegiatan penafsiran dapat dikategorikan sebagai sebuah aktivitas ilmiah yang menuntut seorang mufassir untuk memperhatikan prinsip-prinsip yang tertuang dalam kerangka metodologi penafsiran tersebut.

Asumsi-asumsi inilah yang mendasari dan mendorong para ilmuwan dan cendekiawan yang berinteraksi secara intens dan memiliki perhatian besar terhadap studi al-Qur’an untuk selalu melakukan pembacaan ulang terhadap teks kitab suci tersebut dan dibarengi dengan upaya inovatif untuk merekonstruksi perangkat metodologisnya. Mereka berupaya mendekati teks-teks al-Qur’an dengan pendekatan dan paradigma masing-masing yang dianggap sesuai dan layak dengan kebutuhan, tuntutan zaman dimana mereka hidup, dan kemampuan mereka. Langkah ini di tempuh guna menjaga relevansi produk metodologi keilmuan dengan obyeknya, yang sangat berdampak pada tingkat validitas hasil temuan sebuah aktivitas ilmiah.

Hasil dari upaya kreatif tersebut dapat dibuktikan dengan hadirnya berbagai teori ataupun metodologi baru dalam penafsiran al-Qur’an, seperti yang ditawarkan oleh Darwazah. Darwaza berupaya mereformulasi konstruksi metodologi lama berdasarkan epistemology modern, guna merespon segala

31

Hamim Ilyas dalam kata pengantar, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. iii 32

(31)

permasalahan yang muncul sehingga memungkinkan tetap terjaganya dialektika harmonis antara teks dengan konteks.

G. Metode Penelitian

Sebagia suatu analisis yang difokuskan pada pemikiran seorang tokoh, yang dalam hal ini tokoh yang dikaji adalah Darwazah, seorang tokoh intelektual Muslim kebangsaan Arab-Palestina, sudah barang tentu studi ini tidak cukup hanya terpaku secara normatif tehadap gagasan-gagasannya saja, akan tetapi juga harus mengkaji bagaimana gagasan itu bisa muncul, apa yang melatarbelakangi, dan untuk apa dimunculkan serta aplikasi gagasan tersebut dalam sebuah karyanya.

Oleh karena itu, studi ini akan mengikuti prosedur dan alur penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library research), Karena penelitian ini termasuk kedalam kajian tokoh, maka ada dua metode yang fundamental untuk memperoleh pengetahuan tentang tokoh tersebut. Dan kedua-duanya digunakan secara bersamaan; pertama, adalah penelitian tentang pikiran dan keyakinan tokoh tersebut; dan yang kedua, adalah penelitian tentang biografi tokoh sejak dari permulaan sampai akhir hayatnya.33

Dan data yang ingin digali dalam penelitian ini adalah hal-hal yang terkait dengan prinsip-prinsip dan metode Darwazah dalam upaya penafsiran al-Qur’an dan analisis terhadap prinsip dan metode tersebut serta aplikasinya dalam penafsiran.

33

(32)

2. Sifat Penelitian

Ditinjau dari sifatnya, maka penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu suatu penelitian yang berupaya memberikan gambaran secara deskriptif sekaligus mengeksplorasi secara mendalam dan mendetail terhadap aspek yang berhubungan dengan permasalahan seputar metode dan prinsip-prinsip yang ditawarkan Darwazah untuk kemudian dianalisis agar memberikan pemahaman yang jelas tentang eksistensi dan pandangan Darwazah terhadap prinsip-prinsip dan metode tersebut serta aplikasinya dalam penafsiran al-Qur’an.

3. Sumber Data

Sumber data atau bahan primer dalam penelitian ini adalah karya tafsir Darwazah yang berjudul Al-Tafsîr al-Hadîts. Sedangkan karya-karya Darwazah lainnya, seperti al-Qur`ân al-Majîd, ‘Asr al-Nabi wa Bî’atuhu Qabl al-Bi’tsah; Suwar al-Muqtabasah Min al-Qur`ân al-Karîm wa Dirâsât wa Tahlîlât

Qur`âniyah, Sîrah al-Rasûl Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam; Suwar al-Muqtabasah

Min al-Qur`ân al-Karîm dan Dustûr Qur`âniyah wa Sunnah al-Nabawiyah fî Syu`ûn al-Hayât. Dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan pembahasan ini merupakan sumber data sekunder yang melengkapi kesempurnaan kajian dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

(33)

5. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan interpretasi (interpretative approach), yakni menyelami pemikiran seorang tokoh yang tertuang dalam karya-karyanya guna menangkap nuansa makna dan pengertian yang dimaksud secara khas hingga tercapai satu pemahaman yang benar,34 dengan menggunakan metode kualitatif sebagai metode analisis data.

Metode kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.35 Atau dengan ungkapan lain menguraikan dengan kata-kata dan menganalisis satu persatu hal-hal yang menyangkut pokok permasalahan. Penelitian ini juga menggunakan metode komparatif dengan tujuan untuk mengkomparasikan dengan pemikiran tokoh, ulama dan cendikiawan muslim lainnya.

Sedangkan dalam hal teknik penulisan, penulis mengacu kepada buku

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,36

H. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan merupakan pengaturan langkah-langkah penulisan penilitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara pembahasan pertama dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab-bab selanjutnya.

34

Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 63. Lihat juga: Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996), h. 42.

35

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Kaya, 2004), h. 4

36

(34)

Untuk mempermudah dalam memberikan pemahaman dan gambaran yang utuh dan jelas tentang isi penelitian ini, maka pembahasan dalam tesis ini akan disusun dalam sebuah sistematika pembahasan yang teratur, dimana tesis ini secara keseluruhan terdiri dari lima bab, sebuah bab pendahulu dan tiga bab isi, kemudian ditutup dengan sebuah bab penutup yang memuat kesimpulan penelitian ini.

Dalam penelitian ini penulis membuat sistematika pembahasan sebagaiberikut:

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan tentang latarbelakang munculnya permasalahan penelitian ini. Setelah itu permasalahan yang muncul dibatasi dan menetapkan permasalahan a yang menjadi masalah utama serta arti penting dan manfaat yang ini ingin dicapai dalam penelitian ini bagi studi Islam.

Karena penelitian ini bersifat ilmiah maka perlu diadakan tinjauan pustaka dengan tujuan untuk memposisikan studi ini diantara studi-studi terkait lainnya yang pernah dilakukan atau searah dengan penelitian ini, selanjutnya di jelaskan juga mengenai kekhususan penelitian ini. Setelah jelas posisi dan kekhususan penelitian ini kemudian diuraikan kerangka teori dan metode penelitian yang akan penulis pakai untuk menyelesaikan penelitian ini. Dan pada pembahasan terakhir dari bab pertama ini, penjelasan mengenai sistematika pembahasannya.

Selanjutnya hasil penelitian disajikan dalam tiga bab setelahnya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pada bab dua, akan dipaparkan tentang pengertian metodologi tafsir modern dan sebab munculnya metodologi tafsir modern, tren dan perkembangan metodologi penafsiran, dan diakhiri dengan perspektif sarjan tafsir modern terhadap metodologi tafsir yang berkembang.

(35)

dalam penafsiran, dan diakhir pembahasan bab tiga ini dengan sumber-sumber yang menjadi rujukan dalam penafsirannya.

(36)

BAB II

METODE TAFSIR AL-QUR`ÂN PADA MASA MODERN

Berbicara tentang penafsiran al-Qur`ân, pada dasarnya telah dimulai sejak diturunkannya al-Qur`ân kepada Rasulullah, yaitu oleh Rasulullah sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat,1 tabi’in dan generasi setelahnya secara berkesinambungan dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya hingga di zaman

modern dan kontemporer sekarang ini. Dari kegiatan penafsiran yang berkesinambungan dari generasi ke generasi lainnya, sudah barang tentu akan

menghasilkan penafsiran yang berbeda, karena sebuah hasil penafsiran tidak dapat terlepas dari kecenderungan sang mufassir, serta disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi pada zaman dimana tafsir itu lahir. Hal ini pula merupakan akibat dari munculnya berbagai macam metode dan pendekatan yang di gunakan dalam penafsiran.2 Dan pembahasan dalam bab ini menekankan pada tren dan metode penafsiran pada masa modern, dilanjutkan dengan perspektif para sarjana tafsir modern terhadap metode tafsir al-Qur`ân, namun sebelum masuk ke pembahasan yang dimaksud, penulis terlebih dahulu menjelaskan tentang pengertian dan sebab munculnya metode tafsir modern. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan gambaran utuh mengenai perkembangan penafsiran khususnya di masa modern, diaman pemikiran Darwazahh tentang tafsir dan metodologinya sebagai objek dalam kajian ini berada diera tersebut.

1

Pada masa Sahabat ini, terdapat tiga aliran penafsiran al-Qur`an yang diakui. Aliran pertama adalah aliran Makkah yang dipimpin oleh Abdullah bin Abbas (w. 224 H), aliran madinah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab (w. 117 H), dan aliran Iraq yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud. Lihat Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1983), h. 344

2

(37)

A. Metodologi Tafsir Modern; Pengertian dan Sebab Munculnya

Pada dasarnya, maksud dan tujuan dari metodologi3 tafsir4 modern5 secara

sekilas tidak terdapat perbedaan dengan metodologi tafsir klasik, keduanya ditujukan untuk menyelaraskan teks Kitab Suci agar dapat kompatibel dengan kondisi dimana mufassir hidup. Andrew Rippin, menyatakan bahwa tujuan dari penafsiran adalah untuk mengklarifikasi (maksud) sebuah teks. Dalam hal ini, tafsir menjadikan teks al-Qur`ân sebagai obyek awal dengan memberikan perhatian penuh terhadap teks tersebut sehingga jelas maknanya. Selain itu, tafsir juga berfungsi secara simultan mengadaptasikan teks pada situasi (konteks) yang

3

Istilah metodologi, merupakan terjemahan dari kata bahasa inggris methodologyyang berarti serangkaian praktek, prosedur, dan aturan yang digunakan dalam serangkaian disiplin ilmu atau penyelidikan, dan kata methodology sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu methodus dan logia, yang kemudian diserap kedalam bahasa Yunani menjadi methodos yang dirangkai dari kata meta dan hodos. Methodos mengandung arti cara atau jalan dan logos yang berarti kata atau pembicaraan. Lihat David A. Jost (ed.), The American Heritage College dictionary, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1993), h. 858 & 798. Jika ditarik kedalam pengertian luas, metodologi merujuk pada arti proses, prinsip dan prosedur yang diikuti dalam mendekati persoalan dan menemukan jawabannya. Lihat Robert Bogdan dan Steven J. Tailor, Introduction to Qualitative Research Method: Phnomenological Approach to The Social Sciences, (New York: John Wiley & Sons, 1975), h. 1

4

Istilah ini merupakan serapan dari bentuk taf’îl dari kata benda al-fasr dari kata kerja fassara yufassiru yang berarti keterangan yang memberikan penjelasan. Lihat Abu al-Fadl al-Dîn Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr, Lisan al-‘Arab, Jilid 5, (Beirut: Dâr al-Shâdir, 1990), h. 15, ada pula yang mengatikannya dengan pengertian menyingkap bagian yang tertutup, sedangkan makna al-tafsîr membuka sesuatu yang dimaksud oleh lafadz (teks) yang sukar dipahami, dalam arti memberi penjelasan dan keterangan. Lihat Muhammad bin Abû Bakar bin ‘Abd Qâdir Râzî, Mukhtâr al-Shihhâh, (Beirut: Dâr al-Jail, t.th), h. 503 sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kata tafsîr merupakan kata kerja terbalik dari kata kerja safara yang berarti menyinari, membuka dan menyingkap. Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Ed. J. Milton Cowan, (Ithaca, New York: Spoken Language Services, Inc., 1976), h. 412

5

(38)

sedang dihadapi oleh mufassir. Dengan kata lain bahwa kebanyakan hasil penafsiran tidaklah murni teoretis, akan tetapi ia mempunyai aspek praktis untuk

menjadikan teks dapat diaplikasikan dalam rangka memantapkan keimanan dan dijadikan sebagai pandangan hidup bagi orang mukmin.6

Kiranya faktor utama yang membedakan keduanya (metodologi tafsir klasik dan metodologi tafsir modern) adalah dampak ilmu pengetahuan yang menuntut terciptanya sebuah pemahaman baru terhadap teks Kitab Suci. Mayoritas kalangan modernis berargumen bahwa sebagian besar umat Islam tidak memahami pesan al-Qur`ân yang sesungguhnya, karena hilangnya sentuhan inti pengetahuan dan semangat rasional dari teks.7

Disamping dampak ilmu pengetahuan sebagai faktor pembedanya, terdapat pula dua karakteristik yang menonjol yang membedakannya dari metodologi tafsir kalsik, yaitu: pertama, metodologi tafsir modern menjadikan al-Qur`ân sebagai Kitab petunjuk, dengan meminjam istilah dari Amin al-Khûli (w. 1966 M) yaitu al-ihtidâ bi al-Qur`ân.8 Dan kedua, adanya kecenderungan penafsiran yang melihat kepada pesan yang ada di balik teks al-Qur`ân. Dengan kata lain, metodologi tafsir modern tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh al-Qur`ân secara literal, tetapi mencoba menelaah lebih jauh apa yang ingin dicapai ungkapan-ungkapan literal tersebut, yaitu ingin mencari ruh atau pesan moral yang terkandung dalam al-Qur`ân.9

Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa metode tafsir bermakna suatu prosedur sistematis yang diikuti dan digunakan dalam upaya memahami dan

menjelaskan maksud kandungan al-Qur`ân. Dalam hal ini Nashruddin Baidan mengemukakan metode tafsir merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam

6

Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), vol. 14, h. 237

7

Andrew Rippin, “Tafsir”, h. 242 8

Amin al-Khûlî, “al-Tafsîr”, dalam Dâ`irat al-Ma’ârif al-Islamiyah, Jilid 5, h. 365 9

(39)

menginterpretasikan pesan-pesan al-Qur`ân. Lanjutnya, adapun yang dimaksud dengan metodologi tafsir adalah analisis ilmiah mengenai metode-metode

penafsiran al-Qur`ân.10

Munculnya pembacaan baru terhadap sumber ajaran Islam (al-Qur`ân) ini dengan beberapa metode yang dianggap relevan dengan tuntutan zaman, paling tidak dapat di lacak dari kondisi umat Islam sejak awal abad ke-19 M, ketika itu umat Islam merasakan kebutuhan untuk melakukan transformasi dari Barat. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan dan tantangan kehidupan modern yang semakin kompleks yang merupakan konsekwensi logis dari adanya kontak Islam yang semakin intens dengan peradaban bangsa Eropa yang telah maju baik dalam bidang keilmuan maupun dalam bidang teknologi.11 Dikala itu umat Islam mengalami kemunduran, stagnasi dan kebodohan dalam waktu yang berkepanjangan, sehingga mereka mendapatkan kesulitan dalam memahami kitab-kitab tafsir karya mufassir terdahulu yang sedemikian banyaknya.

Sebagai ilustrasi kondisi masyarakat pada masa tersebut, Sayyid Qutub sebagaimana yang dilansir oleh Quraish Shihab menggambarkan kondisi masyarakat pada saat itu secara singkat dan tepat, yaitu “suatu masyarakat yang mengalami kemandegkan, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah dan meng-istinbat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya pendahulu

mereka, juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud), serta berlandaskan khurafat. Sementara itu, di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal,

khususnya setelah adanya penemuan-penemuan yang mengagumkan, ditambah dengan kejaman-kejaman tajam yang dilontarkan oleh para orientalis terhadap ajaran-ajaran Islam.12

10

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 2

11

J.M.S. Baljon, Modern Muslim Interpretation, h. 2 12

(40)

Untuk memulihkan keseimbangan antara kedua masyarakat tersebut, kaum modernis bepandangan bahwa perlu kiranya melakukan adaptasi dengan

praktik yang terkait dengan kekuatan Eropa yang didukung dengan keilmuan dan teknologi dengan cara mempelajari sains Eropa modern tentunya dengan sikap yang bijaksana.13 Asumsi kaum modernis demikian ini karena menurut mereka berkembangnya sains Eropa modern ini didasarkan pada pengetahuan Islam Klasik yang dibawah oleh Muslim Spanyol ke Eropa. Maka dari itu, jika kaum Muslim bersedia mempelajarinya, mereka akan memperoleh kembali warisan intelektual mereka sendiri.

Kondisi tersebut dirasakan oleh umat Islam tatkala Napoleon beserta pasukannya berhasil menaklukkan Mesir dengan sangat mudahnya, dan menjadikan bangsa-bangsa Muslim terperanjat luar biasa yang mempengaruhi kondisi psikologi mereka. Umat Islam baru menyadari secara amat terlambat bahwa terdapat bangsa lain yang benar-benar lebih unggul dari mereka, yaitu bangsa Eropa.

Nurcholis Madjid menyebutkan tiga poin yang menyebabkan keterpranjatan mereka, yaitu: (1) Hal-hal yang berkaitan dengan psikologis, dimana kaum Muslimin merasa sebagai kelompok manusia yang paling unggul selama ini, hal ini berimplikasi pada tidak adanya kesiapan mental untuk menerima kenyataan bahwa bangsa lain (Eropa) dapat lebih unggul dari mereka;

(2) sejarah interaksi bermusuhan yang berkepanjangan antara dunia Islam dan dunia Kristen (orang-orang Eropa tetap menyimpan dendam untuk penaklukan

Spanyol di barat dan negeri-negeri Balkan di timur, demikian pula dengan perang salib yang berkepanjangan yang berakhir dengan kekalahan tentara Kristen); dan (3) Letak geografis Dunia Islam yang berdampingan serta bersambungan dengan

13

(41)

Eropa, memiliki potensi kuat dalam memperbesar arti komplik sdebgaimana yang disebutkan dalam poin kedua.14

Keterperanjatan umat Islam atas jatuhnya Mesir ketangan Barat menginsafkan mereka akan kelemahannya dan menyadarkan mereka dengan munculnya peradaban baru yang lebih tinggi akan menjadi ancaman bagi Islam. Pada saat itu pula, muncul satu subtansi pengetahuan keislaman yang dikenal dengan modernisme Islam15.

Dalam kondisi demikian, para tokoh pembaru, modernis, mencetuskan sebuah gagasan utama, yaitu “kembali kepada al-Qur`ân dan al-hadîts”. Diantara tokoh yang dengan serius menyerukan dan mengajak untuk kembali kepada al-Qur`ân dan berpegang teguh dengannya, serta perlunya melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi)-dengan metode baru yang dianggap relevan16-terhadap ajaran-ajaran dasar Islam yang sesuai atau sejalan dengan perkembangan zaman adalah Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Selanjutnya ia (Muhammad ‘Abduh) mengeluarkan sologan “al-Islâm mahjûb bi al-Muslimîn” yang dimaksud oleh Muhammad Abduh dengan sologan tersebut, bahwa keindahan Islam hilang disebabkan oleh kemunduran umat Islam.

14

Lihat Nurcholis Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet. ke-3, h. 45-46

15

Modernisme Islam atau yang juga dipahami sebagai pembaharuan dalam Islam ini merupakan suatu upaya untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang timbul atau ditimbulkan oleh kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Atau modernisme Islam juga dapat diartikulasikan sebagai upaya pembaharuan dalam penafsiran, penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam al-Qur`ân dan hadits sesuai dan sejalan dengan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi. Lihat Mastuhu, dkk., Seminar IAIN Jakarta, (Jakrta: Lembaga Penelitian IAIN, 1987), h. 12

16

(42)

Selanjutnya ia memandang kemunduran yang dialami oleh umat Islam ini dikarenakan mereka tidak lagi menganut Islam dalam arti yang sebenarnya, dan

untuk mengetahui Islam dalam arti yang sebenarnya harus kembali kepada al-Qur`ân dan hadits.17

Agaknya pandang Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin al-Afghani, yang kemudian diikuti oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha ini, kurang lebih dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan renaissance yang terjadi dibarat saat itu, dimana gerakan ini melakukan pengkajian atau pemahaman ulang terhadap Kitab Suci mereka, sebagai akibat dari ketidak puasan terhadap keputusan gereja dan penindasan yang mereka alami dari para gerejani.

Dalam hal gerakan pembaharuan pada era modern ini, W.C. Smith dalam analisisnya mengemukakan bahwa krisis fundamental yang dihadapi Islam pada masa tersebut adalah adanya semacam perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan sejarah Islam. Sehingga problem mendasar yang dihadapi umat Islam era modern adalah bagaimana merehabilitasi sejarah tersebut dan dapat berjalan lagi dengan kekuatan yang maksimal, sehingga masyarakat Islam dapat maju sebagaimana majunya seuatu masyarakat yang terpimpin secara Ilahiah.18

Semakin intensnya kontak Islam dengan kebudayaan-kebudayaan barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, menyebabkan lahirnya dua madrasah terkenal yang bergerak dalam bidang penafsiran dan sosial keagamaan dan

sekaligus menjadi embrio munculnya tokoh-tokoh reformis muslim pasca Muhammad Abduh yang melakukan reinterpretasi terhadap al-Qur`ân dengan

berbagai pendekatan dan metode penafsiran.19 Diantara metode-metode tersebut antara lain metode literasi yang dibangun atas paradigma kesustraan al-Qur`ân

17

Harun Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. xiii

18

W.C. Smith, Islam in Modern History, (Princeton, New Jersey: Princeton Univ. Press, 1957), h. 41

19

Gambar

Tabel 3Aransemen Kronologis surat (versi Akademik Muslim)
Tabel 4Perbandingan aransemen kronologi surat periode Mekkah awal
Tabel 5Perbandingan aransemen kronologi surat periode Mekah tengah
Tabel 6Perbandingan aransemen kronologi surat periode Mekkah Akhir
+4

Referensi

Dokumen terkait

Ia ikut penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas seorang sufi Zindiq yang menyatakan Tuhan terdapat pada dirinya (hulul). ia berhasil