• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Sistem Dunia dan People Centered D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Sistem Dunia dan People Centered D"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS TEORI PEMBANGUNAN

TEORI SISTEM DUNIA DAN PEMBANGUNAN

YANG BERPUSAT PADA MANUSIA

(PEOPLE CENTERED DEVELOPMENT)

OLEH :

M. FIKRI CAHYADI

NPP. 24. 0214

KELAS G-S1

(PRODI M. PEMBANGUNAN)

PEMBIMBING :

Ibu DWI INDAH KARTIKA, S.Pd, M.Si

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

( I P D N )

(2)

A. TEORI SISTEM DUNIA

Teori Sistem Dunia berpandangan bahwa prospek dan kondisi pembangunan suatu negara secara mendasar dibentuk oleh proses ekonomi dan pola hubungan antar negara dalam skala dunia. Teori ini menekankan bahwa merupakan hal yang sia-sia untuk menganalisis atau membentuk pembangunan dengan memusatkan pada tingkat negara-negara secara individual dimana tiap-tiap negara berakar dalam sebuah sistem dunia. Teori ini muncul saat Perang Dingin, akibat dari konflik Uni Soviet dengan Amerika Serikat yang memunculkan imajinasi geopolitik baru. Dan menurut para pakar bahwa teori sistem dunia mulai berkembang abad ke-14 ketika perdagangan internasional mulai berkembang dan ketika Eropa berkembang ke dalam jaman penemuan dan penjajahan. Teori ini didasari oleh pandangan Marxisme yang mana teori ini menekankan pada kelompok, negara,imperialisme dan kendali atas alat-alat produksi dan tenaga kerja. Namun teori sistem dunia tidak sependapat terkait teori developmentalisme dalam Marxisme yang berisi gagasan bahwa masyarakat secara bertahap bergerak dari paham feodalisme, kapitalisme dan sosialisme kepada paham komunisme yang dapat dianalisis dan ditransformasi secara individual dan terpisah dari sistem dunia.

Teori sistem dunia muncul sebagai kritik atas teori modernisasi dan teori dependensi. Immanuel Wallerstein memandang bahwa dunia adalah sebuah sistem kapitalis yang mencakup seluruh Negara di dunia tanpa kecuali. Sehingga, integrasi yang terjadi lebih banyak dikarenakan pasar (ekonomi) daripada kepentingan politik. Dimana ada dua atau lebih Negara interdependensi yang saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan seperti food, fuel, and protection. Juga, terdapat satu atau dua persaingan politik untuk mendominasi yang dilakukan untuk menghindari hanya ada satu Negara sentral yang muncul ke permukaan selamanya. Teori ini membagi dunia secara geografis menjadi tiga kelompok.

(3)

Kategori yang kedua adalah Semi Periperi (Kelompok Antara) dimana merupakan percampuran antara sifat-sifat dari negara-negara inti seperti perindustrian, kekuatan ekspor, kesejahteraan dan sifat kategori Periperi seperti kemiskinan, kerentanan terhadap pengaruh keputusan asing, kepercayaan pada produk pokok. Dalam kelompok ini adalah kelompok yang paling penuh pergolakan dimana anggotanya paling sering mengalami naik-turun dalam hirarki dunia.Negara- negar yang masuk ke dalam kategori ini antara lain Asia Timur, Amerika Latin, negara pecahan Uni Soviet.

Kelompok yang ketiga adalah Periperi (Kelompok Pinggiran) yang merupakan negara-negara yang terbelakang dalam sistem dunia. Kelompok ini hanya menyediakan bahan baku mentah bagi industri maju. Kelompok ini hidup dalam situasi kehidupan yang menyedihkan, kemiskinan dan prospek pembangunan masa depan yang suram. Negara- negar yang masuk ke dalam kategori ini antara lain mayoritas negara-negara di Afrika.

Perbedaan bagi ketiga jenis negara ini adalah kekuatan ekonomi dan politik dari masing-masing kelompok. Kelompok negara-negara kuat (pusat) mengambil keuntungan yang paling banyak, karena kelompok ini dapat memanipulasi sistem dunia sampai batas-batas tertentu dengan kekuatan dominasi yang dimilikinya. Kemudian negara setengah pinggiran mengambil keuntungan dari negara-negara pinggiran yang merupakan pihak yang paling dieksploitir.

Munculnya Negara semi pinggiran oleh Wallerstein dikarenakan pemikiran jika hanya terdapat 2 kutub di dunia yaitu Negara pusat dan pinggiran saja, maka disintegrasi akan muncul dengan mudah dalam sistem dunia itu. Sehingga, Negara semi pinggiran dinilai akan menghindari disintegrasi tersebut. Kemudian, Negara semi pinggiran juga dinilai bisa menjadi iklim ekonomi baru.

Indonesia pada awalnya masuk ke dalam kelompok Periperi tetapi dalam beberapa dekade belakangan ini Indonesia sudah masuk ke dalam Semi Periperi disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi berbasis pada ekspor industri, ekspor minyak, dan statusnya sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia.

(4)

pinggiran. Hal ini terbukti pada Perang Dunia II, Inggris dan Belanda yang sebelumnya menjadi Negara pusat turun kelas digantikan Amerika Serikat pasca kehancuran dahsyat di Eropa. Wallerstein merumuskan tiga strategi bagi terjadinya proses kenaikan kelas, yaitu:

Kenaikan kelas terjadi dengan merebut kesempatan yang datang. Sebagai misal negara pinggiran tidak lagi dapat mengimpor barang-barang industri oleh karena mahal sedangkan komiditi primer mereka murah sekali, maka negara pinggiran mengambil tindakan yang berani untuk melakukan industrialisasi substitusi impor. Dengan ini ada kemungkinan negara dapat naik kelas dari negara pinggiran menjadi negara setengah pinggiran. Naik dan turunnya kelas suatu Negara tergantung pada kesuksesan pembangunan, bantuan internasional dan gabungan, kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim yang sedang berkuasa.

Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan industri raksasa di negara-negara pusat perlu melakukan ekspansi ke luar dan kemudian lahir apa yang disebut dengan Multi National Corporate. Akibat dari perkembangan ini, maka muncullah industri-industri di negara-negara pinggiran yang diundang oleh oleh perusahaan-perusahaan Multi National Corporateuntuk bekerjasama. Melalui proses ini maka posisi negara pinggiran dapat meningkat menjadi setengah pinggiran.

Kenaikan kelas terjadi karena negara menjalankan kebijakan untuk memandirikan negaranya. Sebagai misal saat ini dilakukan oleh Peru dan Chile yang dengan berani melepaskan dirinya dari eksploitasi negara-negara yang lebih maju dengan cara menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing. Namun demikian, semuanya ini tergantung pada kondisi sistem dunia yang ada, apakah pada saat negara tersebut mencoba memandirikan dirinya, peluang dari sistem dunia memang ada. Jika tidak, mungkin dapat saja gagal.

Kritik terhadap Teori Sistem Dunia :

• Terlalu memberikan perhatian pada aspek ekonomi.

• Sistem dunia tidak cukup ketika digunakan pada budaya global yang mempunyai sistem-dunia yang terpisah.

(5)

Periode ekonomi yang utama untuk TSD adalah Siklus Kondratieff. Siklus ini terbagi dalam dua fase, yaitu fase A dan Fase B. fase A merupakan fase dimana terjadi kemajuan ekonomi, perluasan ekonomi, adanya kemampuan memperoleh keuntungan berbasis inovasi teknologi dan pembentukan suatu aturan-aturan. Kemudian fase A ini keadaan tersebut menyebabkan terjadinya inflasi yang kemudian menjadi penyebab munculnya fase B. dimana ekonomi menurun, terjadi deflasi, stagnasi ekonomi (ekonomi tidak berjalan) dan penurunan perolehan keuntungan. Tekanan untuk memperoleh keuntungan pada fase B ini memaksa para kapitalis dan pembuat kebijakan agar mencari jalan dan inovasi baru untuk mengumpulan capital (modal) untuk masa yang akan datang. Bekerjanya penanaman modal pada sektor-sektor ekonomi, keberhasilan diaturnya lingkungan, dan lokasi produksi, menciptakan kondisi untuk Siklus Kondratieff yang baru.

B. PEMBANGUNAN YANG BERPUSAT PADA MANUSIA

Sekalipun model pembangunan terakhir telah berhasil melontarkan pemikiran-pemikiran baru dan memperkenalkan perlunya reformasi-reformasi prioritas program pembangunan, keduanya ternyata hanya berhasil menawarkan suatu alternatif yang bersifat parsial terhadap model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan. Dilain pihak para ahli pembangunan seperti David Korten mengkritik model pembangunan tadi, karena kurang perhatian terhadap keterpusatan posisi umat manusia dalam pembangunan dan telah membuat lapisan penduduk miskin tergantung pada pelayanan dan program - program pembangunan pemerintah.

(6)

pertumbuhan self - sustaining capacity masyarakat menuju sustained development (Tjokrowinoto, 1987).

Perspektif baru pembangunan tersebut, memberikan peranan yang khusus kepada pemerintah yang jelas berbeda dengan peranan pemerintah pada model-model pembangunan terdahulu. Seperti dikatakan pada awal tulisan ini, peranan pemerintah dalam hal ini, adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan untuk berkembang, yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar. Penciptaan lingkungan sosial memerlukan sistem belajar mengorganisasi diri, yakni dengan mengorientasikan jaringan organisasi informal dan arus komunikasi pada kebutuhan dan variasi lokal sebagai pelengkap dari ststem komando yang lebih formal. Berfungsinya pengaturan struktural tersebut, sangat tergantung pada inisiatif rakyat untuk berkreasi pada sumber informasi yang tidak pernah kering, keduanya menentukan input -input sumber utama model tersebut.

Model pembangunan seperti ini, memberikan peranan warga masyarakat bukan hanya sebagai subyek melainkan lebih - lebih sebagai aktor yang menentukan tujuan-tujuannya sendiri, maenguasi sumberdaya - sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut, dan mengarahkan proses - proses yang mempengaruhi hidupnya. Meskipun pembangunan yang berpusat pada manusia, mengakui pentingnya pertumbuhan, namun penampilan dari suatu sistem pertumbuhan terutama tidak diukur berdasarkan nilai pertumbuhan yang dihasilkannya, melainkan lebih pada hubungannya dengan seberapa luas masyarakat terlibat didalamnya dan seberapa tinggi kualitas situasi kerja yang tersedia bagi mereka. Dalam hubungan itu, salah satu hal yang sangat penting yang membedakan model pembangunan yang berpusat pada manusia dengan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan/produksi adalah bahwa yang pertama mensubordinasikan kepentingan sistem produksi dibawah kepentingan manusia, sementara yang kedua menempatkan kepentingan manusia dibawah subordinasi kepentingan sistem produksi.

(7)

Dengan mengacu pada pemikiran Korten, kemungkinan untuk pencapaian model pembangunan yang baru, dapat dilaksanakan. Korten sendirimenyebut bahwa dalam model pembangunan yang berpusat pada manusia, harus ditekankan pada pendekatan pengelolaan sumber yang bertumpu pada komunitas, ciri - cirinya adalah : (1) Secara bertahap prakarsa dan proses pengambilan keputusan, untuk memenuhi kebutuhan harus diletakkan pada masyarakat sendiri; (2) Kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi sumber - sumber yang ada, harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka; (3) Memperhatikan variasi lokal, karena itu sifatnya amat fleksibel, menyesuaikan dengan kondisi lokal; (4) Menekankan social learning antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri pada saling belajar; (5) Membentuk jaringan (networking) antara birokrat dengan lembaga swadaya masyarakat maupun satuan - satuan organisasi tradisional yang mandiri. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara struktur -struktur pembangunan di tingkat lokal.

Kalau dalam model pembangunan yang berorientasi pada pemerataan diterapkan strategi Bottom- up planning yang didukung oleh service providerdari birokrasi, maka model pembangunan yang terpusat pada manusia membutuhkan, transactive planning yaitu menekankan perencanaan dalam rangka pembangunan masyarakat melalui kebijaksanaan yang

demokratis (democratic policy), disini birokrasi melaksanakan perencanaan bersama -sama masyarakat dan sifatnya sebagai enabler/facilitator.

Jenis perencanaan seperti ini lebih menekankan proses pengembangan pribadi dan organisasi dan bukan hanya sekedar pencapaian tujuan fungsional khusus. Proses tersebut berkenaan dengan tatap muka atau dialog interpersonal dengan masyarakat yang dipengaruhi oleh keputusan dan ditandai oleh suatu proses saling belajar. Rencana yang dihasilkan bukan dinilai dari sampai seberapa jauh sumbangan barang atau jasa yang diberikan kepada masyarakat, tetapi dari pengaruhnya terhadap martabat mereka, rasa keefektifan, nilai- nilai dan perilaku mereka, kemampuan mereka untuk berkembang melalui kerjasama dan semangat murah hati mereka (Hudson, 1979).

(8)

bersama masyarakat, belajar dari mereka, merencanakan dan bekerja bersama mereka, memulai dengan apa yang mereka ketahui, membangun dengan apa yang mereka miliki dan mengajar mereka dengan contoh - contoh serta belajar dengan berbuat.

Dengan demikian, pola tingkah laku birokrasi konvensional tidak cocok untuk diterapkan dalam model pembangunan seperti ini, ketidakcocokan ini secara empiris telah dibuktikan oleh Ngau dengan studi kasus Harambee di Kenya. Penelitiannya mengungkapkan bahwa pola tingkah laku birokrasi konvensional telah menimbulkan dispowerment dan departicipation.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah lembaga yang merupakan perujudan paling khas dari model pembangunan yang berpusat pada manusia. Dibandingkan dengan badan-badan pemerintahan, LSM mempunyai sifat sebagai berikut: (1) Skalanya kecil dan pendekatannya lebih menekankan proses daripada hasil. LSM lebih mampu dibandingkan dengan badan-badan pemerintah didalam menjangkau lapisan penduduk miskin; (2) Lebih mampu melibatkan partisipasi lapisan penduduk miskin didalam proses pengambilan keputusan daripada

lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah; (3) Tekanannya yang lebih mementingkan proses daripada hasil - hasil pembangunan juga lebih memungkinkan lapisan penduduk miskin belajar memperoleh kemampuan mengendalikan kehidupan mereka; (4) karena skalanya yang lebih dan tidak menjadi bagian dari birokrasi pemerintah, mereka pada umumnya lebih fleksibel dan eksperimental; (5) lebih mampu menyalurkan sumberdaya yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah ; (6) lebih mampu bekerja dengan lembaga- lembaga lokal dan (7) lebih mampu mencapai sasaran mereka dengan biaya yang lebih murah.

(9)

Pada dasarnya, ide dan gagasan tentang pembangunan yang berpusatkan pada manusia (people centered development), diawali dengan pemahaman tentang ekologi manusia, yang menjadi pusat perhatian pembangunan. Dengan demikian, pembangunan haruslah menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dan proses pembangunan harus menguntungkan semua pihak. Dalam konteks ini, masalah kemiskinan, kelompok rentan dan meningkatnya pengangguran perlu mendapat perhatian utama karena bisa menjadi penyebab instabilitas yang akan membawa pengaruh negatif, seperti longgarnya ikatan-ikatan sosial dan melemahnya nilai-nilai serta hubungan antar manusia.

Karena itu, komitmen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara-cara yang adil dan tanpa mengecualikan rakyat miskin, meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari hak azasi, nondiskriminasi dan memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung; merupakan hakekat dari paradigma pembangunan berpusatkan pada manusia.

Strategi pembangunan berpusat pada manusia memiliki tujuan akhir untuk memperbaiki kualitas hidup seluruh rakyat dengan aspirasi-aspirasi serta harapan individu dan kolektif dalam konsep tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang sedang berlaku. Tujuan objektif dalam strategi pembangunan berpusat pada manusia pada intinya adalah untuk memberantas kemiskinan absolut, realisasi keadilan distributif (distributif of justice), dan peningkatan partisipasi masyarakat secara nyata. Prioritas awal bagi people centered development harus diperuntukkan bagi daerah yang tidak menguntungkan dan kelompok-kelompok sosial yang rawan terpengaruh, termasuk wanita, anak-anak, generasi muda yang tidak mampu, lanjut usia, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

(10)

Secara sederhana, Korten menyatakan bahwa pembangunan yang berpusat pada produksi lebih memusatkan perhatian pada:[10] Industri dan bukan pertanian, padahal mayoritas penduduk dunia memperoleh mata pencaharian mereka dari pertanian; Daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan; Pemilikan aset produktif yang terpusat, dan bukan aset produktif yang luas; Investasi-investasi pembangunan lebih menguntungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang banyak; Penggunaan modal yang optimal dan bukan penggunaan sumber daya manusia yang optimal, sehingga sumber daya modal dimanfaatkan sedangkan sumber daya manusia tidak dimanfaatkan secara optimal; Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan untuk mencapai peningkatan kekayaan fisik jangka pendek tanpa pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil sumber daya, dengan menimbulkan kehancuran lingkungan dan penguasaan basis sumber daya alami secara cepat; Efisiensi satuan-satuan produksi skala besar yang saling tergantung dan didasarkan pada perbedaan keuntungan international, dengan meninggalkan keanekaragaman dan daya adaptasi dari satuan-satuan skala kecil yang diorganisasi guna mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkan perekonomian yang tidak efisien dalam hal enerji, kurangnya daya adaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius karena kerusakan atau manipulasi politik dalam suatu bagian sistem tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, model pembangunan yang berpusat pada manusia merupakan suatu alternatif baru untuk meningkatkan hasil produksi pembangunan guna memenuhi kebutuhan penduduk yang sangat banyak dan terus bertambah. Akan tetapi, peningkatan tersebut harus dicapai dengan cara-cara yang sesuai dengan asas-asas dasar partisipasi dan keadilan dan hasil-hasil itu harus dapat dilestarikan untuk kelangsungan hidup manusia di dunia ini.

Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia lebih menekankan kepada pemberdayaan, yaitu menekankan kenyataan pengalaman masyarakat dalam sejarah penjajahan dan posisinya dalam tata ekonomi internasional. Karena itu pendekatan ini berpendapat bahwa masyarakat harus menggugat struktur dan situasi keterbelakangan secara simultan dalam berbagai tahapan.

(11)

dianggap menentukan bagi konsep perencanaan pembangunan yang berpusat pada manusia, yaitu:[12]

• Penekanan akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menangani kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri;

• Kesadaran bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional, tetapi sektor tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagai besar rumah tangga miskin;

• Kebutuhan akan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan sumber-sumber daya lokal.

Manusia dan lingkungan merupakan variabel endogen yang utama, yaitu sebagai titik tolak bagi perencanaan pembangunan, sehingga perspektif dasar dan metode analisis dalam pendekatan pembangunan ini adalah Ekologi Manusia, yaitu kajian mengenai interaksi antara sistem manusia dan ekosistemnya. Pendekatan ini juga mempersoalkan dua asumsi yang terkandung dalam model-model pembangunan ekonomi; pertama, bahwa pembangunan dengan sendirinya membantu setiap orang, dan kedua, bahwa masyarakat ingin diintegrasikan dalam arus utama suatu pembangunan model barat, dimana mereka tidak punya pilihan untuk merumuskan jenis masyarakat yang bagaimanakah yang sebenarnya mereka inginkan.

(12)

berupaya membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menggugat subordinasi mereka melalui organisasi-organisasi lokal secara bottom-up. Oganisasi yang dianggap paling efektif adalah organisasi yang bermula dengan kebutuhan praktis masyarakat yang konkrit, yang berkaitan dengan persoalan kesehatan, ketenagakerjaan dan penyediaan pelayanan dasar, tetapi yang dapat memanfaatkan isu-isu tersebut sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan strategis masyarakat dalam suatu konteks sosial politik tertentu.

Dalam pembangunan yang berpusat pada manusia mengidentifikasikan kebutuhan praktis dan strategis melalui pemberdayaan atau penguatan diri masyarakat. Oleh karena itu, penting melakukan kategorisasi kebutuhan praktis dan strategis masyarakat untuk menghindari waktu sebagai determinan perubahan, karena perubahan jangka pendek belum menjamin transformasi jangka panjang, dan pemenuhan kebutuhan praktis masyarakat tidak secara otomatis berarti terpenuhinya kebutuhan strategis masyarakat.

Kebutuhan praktis yang dimaksud disini adalah berbagai kebutuhan dasar manusia. Sementara itu, kebutuhan strategis mencakup kemampuan dasar untuk mengakses fasilitas pelayanan sosial dan pemenuhan hak-hak individu, kelompok dan masyarakat dalam mencapai kualitas hidup dan kesejahteraan sosial. Usaha untuk memenuhi kebutuhan strategis tersebut adalah arena pekerjaan sosial yang selama ini diyakini sebagai suatu profesi yang memiliki kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat. Keadaan baru yang dibayangkan melalui pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia mensyaratkan pula untuk terjadinya transformasi struktur-struktur yang mensubordinasi dalam ekologi manusia, yang selama ini sedemikian rupa telah menindas masyarakat.

(13)

sebagai basis untuk membangun landasan yang kuat sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan strategis.

Pemberdayaan manusia tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, serta terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada manusia tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Kajian strategis pemberdayaan manusia, baik ekonomi, sosial, budaya dan politik menjadi penting sebagai input untuk reformulasi pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif.

Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat jika faktor-faktor determinan dikondisikan sedemikian rupa agar esensi pemberdayaan tidak menjadi terdistorsi. Prinsip pembangunan yang partisipatif menegaskan bahwa manusia harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Hal ini membutuhkan kajian strategis tentang restrukturisasi sistem sosial pada tingkat mikro, mezzo dan makro sehingga masyarakat lokal dapat mengembangkan potensinya tanpa adanya hambatan eksternal pada struktur mezzo dan makro. Struktur mezzo yang dimaksud dapat berupa struktur pemerintah regional setingkat Kabupaten/Kota dan Propinsi; sedangkan struktur makro dapat berupa struktur pemerintah pusat atau nasional. Pola kebijakan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia lebih dominan datang dari atas ke bawah (top down) daripada dari bawah ke atas (bottom up).

Kondisi tersebut mencerminkan perlu adanya pergeseran peran pemerintah, dari peran sebagai penyelenggara pelayanan sosial menjadi fasilitator, mediator, pemungkin, koordinator, pendidik, mobilisator, sistem pendukung dan peran-peran lain yang lebih mengarah pada pelayanan tidak langsung. Adapun peran organisasi lokal, organisasi sosial, LSM dan kelompok masyarakat lainnya seharusnya lebih dipacu sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana pelayanan sosial kepada kelompok rentan atau masyarakat pada umumnya. Dalam posisi sedemikian, maka permasalahan sosial ditangani oleh masyarakat atas fasilitasi dari pemerintah.

(14)

Menurut saya, sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, kemiskinan masyarakatnya tetap menjadi isu utama dalam proses pembangunan. Bergantinya rezim pemerintahan di Indonesia sampai sejauh ini belum memberikan dampak yang signifikan dalam upaya mengatasi kemiskinan manusia. Pengalaman Indonesia pada masa Orde Baru memang memperlihatkan penurunan angka kemiskinan. Namun kritik dapat diberikan dalam hal ini karena indikator makro ekonomi yang dipergunakan tidak memberikan gambaran realitas kemiskinan manusia yang sebenarnya.

Kemiskinan merupakan tanda bahwa pembangunan yang dilakukan gagal mencapai tujuan asasinya. Penduduk yang termasuk dalam kategori miskin dapat dipastikan mengalami kesulitan untuk memperoleh akses terhadap pangan, pendidikan, kesehatan, maupun papan. Kemiskinan juga terkait erat dengan pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan keadilan. Ketidakadilan menciptakan kemiskinan, dan kemiskinan semakin memperparah ketidakadilan. Oleh sebab itu perlu kebijakan-kebijakan yang bersifat pemihakan terhadap penduduk yang berada pada kelompok miskin, disamping kebijakan-kebijakan yang dapat menciptakan kondisi bagi efektivitas upaya-upaya pengurangan kemiskinan.

Saat ini, bagi kelompok penduduk miskin, akses terhadap kebutuhan dasar masih sangat sulit. Jumlah pangan yang dikonsumsi sering berada di bawah rekomendasi minimum yang diperlukan untuk kehidupan yang sehat dan produktif. Pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal yang layak merupakan kebutuhan dasar bagi kelompok ini. Kebutuhan dasar ini bagi keluarga miskin dan tidak mampu seharusnya ditanggung oleh negara. Hanya pembangunan yang mampu mengentaskan golongan miskin menuju ke kehidupan yang layak dan berkualitas yang dapat dikatakan sebagai implementasi pembangunan yang berhasil.

(15)

menumbuhkan kemandirian masyarakat yang pada akhirnya tidak akan mampu mewujudkan aspek keberlanjutan (sustainability) dari program-program penanggulangan kemiskinan tersebut.

Berbagai implementasi pembangunan dalam program kemiskinan terdahulu di Indonesia dalam kenyataannya sering menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan, misalnya salah sasaran, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial, dan melemahkan nilai-nilai kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, musyawarah, keswadayaan dll). Lemahnya nilai-nilai kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalan bangsa secara bersama-sama.

Kondisi kapital sosial serta perilaku masyarakat yang melemah serta memudar tersebut salah satunya disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola program kemiskinan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung tidak adil, tidak transparan dan tidak tanggung gugat (tidak pro-poor dan tidak good governance oriented). Sehingga menimbulkan kecurigaan, stereotype dan skeptisme di masyarakat. Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil tersebut biasanya terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang belum madani, dengan salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, yang tidak berorientasi pada keadilan, tidak dikelola dengan jujur dan tidak ikhlas berjuang bagi kepentingan masyarakat.

Kondisi kelembagaan masyarakat yang tidak mengakar, tidak representatif dan tidak dapat dipercaya tersebut pada umumnya tumbuh subur dalam situasi perilaku/sikap masyarakat yang belum berdaya. Ketidakberdayaan masyarakat dalam menyikapi dan menghadapi situasi yang ada di lingkungannya, yang pada akhirnya mendorong sikap masa bodoh, tidak peduli, tidak percaya diri, mengandalkan bantuan pihak luar untuk mengatasi masalahnya, tidak mandiri, serta memudarnya orientasi moral dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.

(16)

Penanganan terhadap pemahaman mengenai akar penyebab dari persoalan kemiskinan seperti di atas telah menyadarkan berbagai pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini di Indonesia perlu diperbaiki, yaitu ke arah perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat yang senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan dan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. Perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat ini merupakan pondasi yang kokoh bagi terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri, melalui pemberdayaan para pelaku-pelakunya, agar mampu bertindak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia luhur yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakatnya sehari-hari.

Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal agar lebih berorientasi ke masyarakat miskin (pro poor) dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance), baik ditinjau dari aspek ekonomi, lingkungan maupun sosial.

Karena, tujuan dari proses pembangunan adalah pemenuhan hak-hak dasar manusia (basic human rights) dengan memperluas pilihan-pilihannya. Maksud dari memperluas pilihan tersebut adalah dengan memperbesar akses manusia terhadap pengetahuan, pelayanan kesehatan, penghidupan yang layak, keamanan terhadap kejahatan dan kekerasan fisik, waktu luang yang menyenangkan, kebebasan politik dan kultural, serta partisipasi dalam aktivitas masyarakat.

(17)

Lebih lanjut menurut Sen,[14] pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Menurutnya, pembangunan adalah sesuatu yang “bersahabat”. Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy). Asumsi dari pemikiran Sen adalah bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.

Diakibatkan keterbatasan akses, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.

Di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. penyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tidak merata menyebabkan rakyat miskin tidak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tidak menguntungkan mereka.

(18)

sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).

Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tidak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat. Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ”kesalahan” besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah. Dengan demikian, masyarakat telah ”menyerahkan” kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ”melumpuhkan” diri sendiri.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Jhingan, M.L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Rajawali pers

Suwarsono & So, Alvin Y. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta : LP3ES

Weiner Myron. Ed. (1994).Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, (terj.). Yogyakarta: GajahMadaUniversityPress.

Fakih, Mansoer; 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisai. Yogyakarta, Insist Press.

https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_sistem_dunia

http://www.sridianti.com/teori-sistem-dunia-menurut-immanuel-wallerstein.html

http://arifudinfahmi.blogspot.co.id/2013/10/pembangunan-berpusat-pada-manusia.html

Referensi

Dokumen terkait

Faktor pendukung Kinerja Organisasi Dalam Pelayanan Publik Kecamatan Samarinda Ulu adalah sebagai organisasi pelayanan publik dilihat dari struktur organisasinya yang meliputi

Telah dilakukan penelitian tentang Uji daya hambat minyak atsiri yang diperoieh dari bahan segar dan bahan kering rimpang temu giring (Curcuma heyneanaYal. Zijp) terhadap

Penyusun dokumen Amdal juga menjelaskan batas waktu kajian yang akan digunakan dalam melakukan prakiraan dan evaluasi secara holistik terhadap setiap dampak penting hipotetik yang

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa masih terdapat responden yang mendapat dukungan baik kategori sikap kurang dalam pemberian ASI eksklusif sebanyak 1

Menurut pendapat Mulyadi (2005 : 122), pengertiannya yaitu : Metode full costing adalah metode perhitungan harga pokok produksi yang membebankan semua unsur

menyemangati dan perhatian sama saya. Seluruh Mahasiswa D3 Kebidanan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Pada responden yang telah bersedia menjadi subjek penelitian. Semoga

Menurut Bapak Suyono, Berdasarkan pengalaman selama bertahun-tahun merawat korban penyalahgunaan narkoba, efek dari penggunaan narkoba golongan ringan, ciri-cirinya

Wilayah Kecamatan Mranggen, khususnya Desa Kangkung, Desa Batursari, dan Desa Mranggen yang letaknya dekat dengan Kota Semarang merupakan sasaran bagi