• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAIDAH HALAL DALAM USHUL FIQH DAN EKONOM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAIDAH HALAL DALAM USHUL FIQH DAN EKONOM"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

oleh Aluzar Azhar

Kaidah Kulliyah yang Bukan Kaidah Kubra

Secara historis, ilmu ushul fiqh sepadan dengan historis-interpretasi dalam mengolah hukum Islam seperti dengan adanya hukum nasikh-mansukh, asbab al-nuzul, asbab al-wurud, dan status makkiyah atau madaniyah dari ayat-ayat Quran, semua ini adalah untuk memperjelas proses terbentuknya suatu hukum dan latar belakang sejarah yang mendorong kehadiran hukum tersebut.1

Hukum-hukum yang terdapat dalam buku-buku fiqh yang banyak dibaca oleh umat Islam sekarang ini, termasuk para ulama, itu adalah produk-produk jadi dari ijtihad para mujtahidin sebelum kita, yang mereka rumuskan untuk zaman mereka masing-masing dan bagi masyarakat mereka masing-masing, yang belum tentu sama dengan situasi dan kondisi dari zaman dan masyarakat kita sekarang ini. Sedikit dari kita yang berusaha mengetahui minhaj atau metode yang dulu dipergunakan oleh para mujtahidin untuk sampai kepada produk-produk jadi itu. Cabang ilmu yang membahas tentang metode tersebut dinamakan Ushuulul Fiqh atau Prinsip-prinsip Yurisprudensi Islam.2

Sementara itu, menurut A. Hanafie, hukum-hukum tersebut ada sumbernya (dalilnya), yaitu Quran, hadis, ijma‟, dan qiyas, maka yang dimaksud „Ushul Fiqh‟ ialah sumber-sumber (dalil-dalil) tersebut dan bagaimana cara menunjukkannya kepada sesuatu hukum dengan secara ijmal (garis besar). Karena itu, Ushul Fiqh tidak membicarakan satu-persatu persoalan, tetapi hanya membicarakan dalil-dalilnya saja, apa syarat sahnya dalil-dalil tersebut dan bagaimana cara menetapkannya. Kemudian dari sudut perkataannya, bagaimana bentuk (shighat) perkataan itu, mafhum-nya, salurannya, dan apa yang dapat dipikirkan dari kata-kata itu (qiyas).3

Abdul Wahhab Khallaf memperjelas alinea di atas dengan uraian berikut:

Quran adalah dalil syar‟i yang pertama bagi setiap hukum. Artinya nash-nash syar‟iyyah tidak terumuskan dalam satu bentuk (shighat) saja. Bahkan di antaranya ada yang terumuskan dengan bentuk perintah („amr), ada pula dengan bentuk larangan (nahi), dan ada pula dengan bentuk umum atau mutlak. Maka semua shighat tersebut adalah „macam keumuman‟ (kulliyah) yang diambil dari macam-macam dalil syar‟i yang umum pula („am), yaitu Quran. Jadi, seorang ushuly membahas setiap macam dari cabang-cabang tersebut supaya bisa menghasilkan macam-macam hukum yang umum (kully), yang bisa menunjukkan kepada macam shighat tersebut dengan menggunakan metode penelitian mengenai asas bahasa Arab dan mengenai tata-cara hukum syariat Islam. Apabila dia bisa mengambil kesimpulan bahwa shighat „amr itu memberikan pengertian wajib, atau shighat nahi itu memberikan pengertian haram, atau shighat umum itu memberikan pengertian tercakupnya semua unsur-unsur dalam dalil „am secara pasti, dan atau shighat ithlaq

1 Ali Yafie, “Konsep-konsep Hukum” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin

Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 90.

(2)

(mutlak) itu memberikan pengertian tetapnya hukum secara mutlak, maka dengan itu disusunlah kaidah-kaidah seperti berikut:

1. Perintah berarti wajib (

ـجيا أا

) 2. Larangan berarti keharaman (

ي ح ى ا

)

3. Lafazh yang umum berarti mencakup semua unsur di dalamnya secara pasti (

ـ ا

ـفطق ا فأ ي ج

ي

)

4. Lafazh yang mutlak berarti keumuman tanpa batas (

ـيق يغ ء ـش ا ف ا ى ي ق ط ا

)

Kaidah-kaidah umum (kulliyah) dan lainnya itu sebagai hasil susunan ulama Ushul yang dijadikan pedoman oleh ulama Fikih sebagai kaidah yang bisa diterima (rasional, logis) dan dijadikan pedoman dalam menerapkan bagian-bagian dalil umum, agar dengan itu bisa menghasilkan hukum syariat Islam yang bersifat amali, yakni hal perbuatan manusia secara terinci...

Ulama Ushul tidak akan membahas mengenai dalil-dalil juz‟iyah. Tidak pula mengenai hukum juz‟iyah, akan tetapi hanya membahas dalil-dalil kulli dam hukum-hukum yang kulli pula. Dan dengan itu disusunlah kaidah-kaidah kulliyah sebagai indikasi dalil, agar ulama Fikih bisa menerapkannya terhadap juz‟iyah dalil untuk menghasilkan ketetapan hukum secara terinci yang diperoleh darinya. Dan ulama Fikih tidaklah membahas dalil yang kulli. Tidak pula hukum-hukum yang kulli, akan tetapi hanya membahas dalil-dalil yang juz‟i dan hukum-hukum yang juz‟i pula.4

Dari prasaran di atas secara implisit terdapat perbedaan antara kaidah ushuliyah dengan kaidah fiqhiyah. Kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya, baik Quran maupun Sunnah dengan menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat kepada hikmah dan rahasia-rahasia tasyri‟. Namun kedua kaidah ini merupakan patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan, dalam sasarannya menetapkan hukun Islam terhadap mukallaf. Sebagai contoh:

يزْ ْ ا ْح ا ْي ْ ا ْي ْ

ح…

Diharamkan bagimu memakan mayat, darah, daging babi... (QS al-Maidah 3).

Kata hurrimat pada ayat di atas menunjukkan tentang keharaman memakan bangkai, darah, daging babi. Dalam kaidah ushuliyah disebutkan bahwa:

ي ح ي ا ىف صاا

(asal pada larangan adalah haram). Mengenai hal ini kaidah fiqhiyah menjelaskan:

ي ح ا

ي ح ح

(yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilinginya).

4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Terjemah: Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah

(3)

Kaitan kaidah fiqh di atas dengan kaidah sebelumnya adalah sebagaimana diharamkan memakan bangkai, darah, daging babi, maka diharamkan pula untuk memperjualbelikannya, atau memanfaatkannya. Apabila bangkai, darah, dan daging babi tersebut diperjualbelikan, maka harga dari jual beli tersebut haram hukumnya. Begitu juga apabila gemuk bangkai dijadikan minyak lalu minyak itu dijual kepada orang lain, maka jual beli tersebut menjadi haram hukumnya. Hal ini didasarkan pada kaidah fiqh di atas bahwa pada hakikatnya yang dikelilingi adalah keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, sedangkan yang mengelilinginya adalah menjual dan memanfaatkannya, hal ini diharamkan karena hukum asalnya adalah haram.5

Berdasarkan kutipan terakhir di atas, maksud tulisan ini adalah menguraikan persoalan kaidah-kaidah kulliyah dalam perspektif Ilmu Qawa‟id al-Ahkam. Jadi, tidak mempersoalkan apakah kaidah-kaidah kulliyah itu objek kajian Ushul atau Fiqh sebagaimana dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf bahwa Fiqh membahas perbuatan orang dewasa (mukallaf), sedangkan Ushul membahas dalil syar‟i yang umum dipandang dari ketetapan-ketetapan hukum yang umum pula.6 Tulisan ini hanya mengangkat kaidah-kaidah kulliyah yang menjadi kaidah hukum beserta contohnya. Dari studi pendahuluan ditemukan bahwa terdapat klasifikasi pada kaidah-kaidah kulliyah itu, yaitu: kubra (

ْ ـك

) atau utama dan bukan kubra.7

Kaidah Kulliyah

Kaidah kulliyah berarti peraturan umum dalam hal ini adalah melaksanakan ketentuan syara‟ kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti memakan mayat, darah, dan daging babi dalam keadaan terpaksa. Sedangkan hukum asal dari memakan mayat, darah, dan daging babi itu adalah haram.8

Terdapat dua pendapat yang berbeda perihal Kaidah Kulliyah ini. Pertama, bagian dari Kaidah Ushuliyah dari pengertian ashal (

صا

), yakni: (1) Kaidah Kulliyah (peraturan umum), (2) Rajih (terkuat), (3) Mustashhab (ketetapan), (4) Maqis „alaih (tempat mengkiaskan), dan (5) Dalil (alasan);9 serta kedua, bagian dari Kaidah Fiqhiyyah.10 Pada pendapat kedua atau terakhir inilah, Kaidah Kulliyah akan diuraikan.

Menurut Dja‟far Amir, Qaidah-qaidah Fiqhiyyah atau al-Qawaidul Fiqhiyyah adalah qaidah-qaidah yang berlaku bagi hukum-hukum Fiqih, kemudian dapat dicari persamaan hukum dari berpuluh-puluh masalah yang sama hukumnya. Qaidah-qaidah Fiqhiyyah ini dibagi dalam dua bagian, yaitu: (1) Qaidah-qaidah Pokok (Lima Qaidah Pokok); dan (2) Qaidah-qaidah Kulliyah.

Qaidah-qaidah Pokok adalah lima qaidah yang disebutkan para ulama bahwa sesungguhnya semua masalah fiqih itu kembali kepada lima qaidah pokok ini. Kelima qaidah pokok ini adalah:

5 Ahmad Rajafi, “Qawaid al

-Ushuliyyah dan al-Fiqhiyyah”, Sumber: http://ahmadrajafi.wordpress.com, akses: 06/03/2014.

6 Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., h. 3.

7 Lihat misalnya Mohd. Asri Silahuddin, “Kaedah-kaedah Kulliyah yang bukan Utama”, Sumber:

www.scribd.com, akses: 06/03/2014.

8

Ahmad Rajafi, lo.cit.

9 Ibid.

(4)

ْأا

ص ق ْ

Segala perkara tergantung pada maksud/niatnya.

كش ا ازيا ْيقي ا

Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.

ْيسْي ا ْج قش ْ ا

Kesulitan menarik/mendatangkan kemudahan.

ازي ا

ا

Madharat (bahaya) harus dihilangkan.

ْح ـ ْ ا

Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum.

Masih menurut Dja‟far Amir, dari kelima qaidah pokok ini lahirlah berpuluh-puluh hukum, bahkan beratus-ratus hukum yang semuanya itu melindung pada qaidah pokok tersebut.

Selain kelima qaidah pokok, pada bukunya, Qidah-qaidah Fiqih, Dja‟far Amir hanya mencantumkan 12 (dua belas) qaidah kulliyah, sedangkan Mohd. Asri Silahuddin hanya 8 (delapan) qaidah kulliyah.11 Dengan demikian, definisi operasional dari Lima Qaidah Pokok adalah Kaidah Kulliyah yang Kubro, dan Dua Belas Qaidah Kulliyah adalah Kaidah Kulliyah yang Bukan Kubro.

Kaidah Kulliyah yang Bukan Kaidah Kubra

Kaidah Kulliyah adalah kaidah-kaidah yang meliputi sebagai pokok yang daripadanya bersumber contoh-contoh beberapa masalah yang tak terhingga banyaknya sebagai cabangnya.12 Kedua Belas Qaidah Kulliyah atau Kaidah Kulliyah yang Bukan Kubro yang dimaksud Dja‟far Amir adalah:

Kaidah I:

ـ ْج ْا ضقْ يا ـ ْج ْاا

Ijtihad seseorang yang telah lalu tidak rusak (tidak batal) karena ada ijtihad yang datang kemudian, sekalipun keduanya berbeda.

Contoh: Apabila seseorang bingung dan ragu dalam soal qiblat-shalat, kemudia ia shalat dengan menghadap ke barat, menurut ijtihadnya barat inilah qiblat yang sebenarnya (misalnya shalat zhuhur). Sesudah itu akan melakukan shalat „ashar, tetapi kini berubah ijtihadnya, sehingga ia shalat „ashar menghadap ke arah selatan menurut ijtihadnya yang sekarang dikiranya selatan inilah qiblat yang sebenarnya. Maka shalatnya yang pertama (zhuhur) itu tidak batal, yakni tetap sah juga.

(5)

Kaidah II:

ا حْ ا غ ا حْ ا احْ ا ْجاا ا

Apabila sesuatu yang halal bercampur aduk dengan yang haram, maka yang haram haruslah dimenangkan, yakni kita harus menetapkan hukumnya ialah haram.

Contoh: Jika seseorang yang sedang junub (dalam hadats besar) membaca ayat Quran dengan maksud sengaja membaca Quran dan juga dengan maksud sengaja membaca dzikir, ingin supaya tercapai maksud kedua-duanya itu bersama-sama, maka Haram hukumnya karena orang yang sedang junub Haram membaca Quran. Jadi dalam hal ini, kita menangkan yang „Haram‟ daripada yang „Mubah‟.

Kaidah III:

ْ ْح ـ ْيغ ىف ْ ْ ْ قْ ـ ْي ْاا

Mendahulukan kepada orang lain daripada dirinya sendiri dalam urusan makruh (tidak disukai oleh syara‟). Adapun dalam urusan lainnya, ibadat, mendahulukan kepada orang lain itu disukai oleh syara‟ (utama sekali).

Contoh: Orang yang sudah berada di shaf pertama, dalam shalat berjamaah, kemudian ia mundur ke belakang untuk memberi kesempatan kepada orang lain supaya maju ke shaf pertama tersebut (ini makruh).

Kaidah IV:

ْاا ف ص

ح ْص ْ ْ ي ا ا ى

Menguasainya Imam atas rakyat haruslah disesuaikan dengan kemaslahatan umum.

Contoh: Apabila Imam membagi zakat kepada macam-macam golongan yang berhak menerima, maka haram baginya melebihkan segolongan yang lain, sedangkan hajat mereka sama terhadap zakat itu (sama-sama membutuhkan). Sebab yang demikian akan menimbulkan iri hati, sentimen dan dengki, ada yang merasa dibeda-bedakan dan lain sebagainya, padahal Imam harus dapat memelihara kemaslahatan umum.

Kaidah V:

ـ ش قْس ْ حْ ا

Hukuman Had itu runtuh (dibebaskan) apabila perkaranya itu masih syubhat, belum terang dan masih samar.

(6)

Kaidah VI:

ح ْس فا ْ ا ْ ْ ا

Mencari jalan keluar dari masalah yang diperselisihkan antara ulama itu adalah utama sekali.

Contoh: Diutamakan menjauhi arah qiblat dan menjauhi membelakanginya di waktu buang air besar, sekalipun sudah memakai tabir atau di tempat yang tertutup, karena hal ini diperselisihkan ulama. Imam Ats-Tsaury mewajibkan menjauhi qiblat sekalipun sudah memakai tabir atau di tempat yang tertutup, sedangkan imam-imam yang lain tidak mewajibkan menjauhi arah qiblat, bila tempat sudah tertutup. Oleh karena itu, sekalipun WC itu sudah tertutup, terkunci misalnya lebih baik kita jangan menghadap qiblat di dalamnya bilamana kita membuang air besar. Inilah jalan keluar dari ikhtilaf ulama.

Kaidah VII:

ىص ـ ْ ـ ا صخ ا

Rukhshah (kemudahan) itu tidak dapat diperoleh dengan disertai perilaku maksiat. Contoh: Orang yang berpergian jauh (lebih 84 km) dengan tujuan maksiat, misalnya pergi untuk merampok, maka ia tidak mendapat kemudahan atau kemurahan (rukhshah) seperti meringkas dan menjamak shalat atau tidak puasa.

Kaidah VIII:

كش ـ ا صخ ا

Rukhshah (kemudahan) itu tidak dapat diperoleh dengan disertai keragu-raguan. Contoh: Wajib menyempurnakan shalat, yakni tidak qashar (meringkas) shalat bila ia ragu-ragu tentang diperbolehkannya qashar dalam bepergian jauh.

Kaidah IX:

اْ ف ـْكا ك اْ ف ـْكا ك

Sesuatu yang lebih banyak dalam mengerjakannya, tentu lebih banyak pula keutamaannya.

Contoh: Shalat sunnat dengan duduk itu pahalanya separo shalat sunnat dengan berdiri (dengan berdiri lebih utama daripada duduk).

Kaidah X:

ؤ ـطْ ا ح ـْخا ح

Sesuatu yang haram diperolehnya maka haram pula memberikannya kepada orang lain.

(7)

Kaidah XI:

ْ ح قْ ا ا ْ ق جْ ْسا

Barang siapa tergesa-gesa menjalankan sesuatu sebelum masanya, ia akan mendapat hukuman, terhalang dari apa yang dimaksudkannya.

Contoh: Orang yang membunuh ahli waris, ia menjadi terhalang mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya karena menyegerakan meninggalnya orang yang akan diwaris hartanya.

Kaidah XII:

ْ سْ ْ قْسيا ْ سْي ْ ا

Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak boleh diruntuhkan (dibebaskan) karena adanya perbuatan lainnya yang sukar dijalankan.

Contoh: Orang yang hanya mampu membaca sebagian surat al-Fatihah, ia wajib membaca al-Fatihah menurut kadar kemampuannya tadi (tidak dibebaskan dari kewajiban membaca al-Fatihah) ketika ia melakukan shalat.13

Demikian uraian Kedua Belas Kaidah Kulliyah yang bukan Kubra. Sebagaimana dijelaskan Dja‟far Amir, sesungguhnya Kaidah Kulliyah ini bukan hanya dua belas, akan tetapi bisa berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus hukum yang semuanya kembali mengacu kepada Lima Kaidah Kubra (Pokok).

Yang menjadi catatan di sini adalah tujuan syar‟i dalam pembentukan hukumnya, yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (

ي ْ ض

) dan memenuhi kebutuhan sekunder (

يج ـح

) serta kebutuhan pelengkap (

ي يسْح

) mereka.14 Dan seperti amanat Dja‟far Amir, ke-5 dan ke-12 kaidah pokok tersebut penting untuk diketahui untuk memperdalam pengertian kita tentang fikih, karena itu beliau menganjurkan kita untuk menghafal kaidah-kaidah tersebut.

Kaidah Hukum Ekonomi Islam

Ushul fiqh (

قف ا صأ

) adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.15 Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang dijadikan

13Lihat uraian Dja‟far Amir, op.cit., h. 47-65. 14 Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., h. 329.

15 Taha Jabir al-Alwani, Ushul al-Fiqh dikutip dari id.wikipedia.org/wiki/Ushul_fiqih, akses: 30/12/2013;

(8)

pedoman dalam menetapkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, di mana kaidah itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas. Atau, himpunan kaidah-kaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, di mana kaidah-kaidah itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas.16

Adapun „ekonomi‟ adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan, perindustrian, dan perdagangan).17 Masalah-masalah pokok ekonomi mencakup pilihan-pilihan yang berkaitan dengan konsumsi, produksi, distribusi, dan pertumbuhan sepanjang waktu. Semua satuan ekonomi baik individu maupun negara selalu menghadapi masalah-masalah tersebut.18 Sedangkan ekonomi (

ص قإ

) Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.19

Relevansi antara ushul fiqh dan ekonomi tersebut bermuara pada kajian „fiqh muamalah‟ dalam arti sempit, menurut Hendi Suhendi, yakni aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.20 Selanjutnya, dengan ushul fiqh, menurut Rachmat Syafe‟i, seseorang atau mujtahid dapat mengetahui hukum syara‟ yang bersifat furu‟ (persoalan ekonomi) dan menggunakan metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar.21

Prasaran di atas mengantarkan tulisan sederhana yang berjudul: “Kaidah Hukum Ekonomi Islam” ini dengan target mengidentifikasi beberapa kaidah atau prinsip ekonomi dalam perspektif (doktrin dan peradaban) Islam.

Ekonomi Islam

Telah disebutkan di atas bahwa „ekonomi Islam‟ merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.22 Sedangkan menurut H. Halide, Doktor Ilmu Ekonomi yang menjadi Kepala Pusat Pengelolaan Data Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, „ekonomi Islam‟ adalah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Quran dan Sunnah yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi melalui pendekatan, antara lain: (1) konsumsi manusia dibatasi sampai pada tingkat yang perlu dan bermanfaat saja bagi kehidupan manusia; (2) alat pemuasan dan kebutuhan manusia, seimbang; (3) dalam pengaturan distribusi dan sirkulasi barang dan jasa, nilai-nilai moral harus harus diterapkan; dan (4) pemerataan pendapatan dilakukan dengan mengingat sumber kekayaan seseorang yang diperoleh dari usaha yang halal di mana sarana

16 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Terjemah: Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah

Mansoer, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 3.

17 Lukman Ali dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 251. 18 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomia n Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 67.

19 Rasyid Rizani, “D

asar-dasar Ekonomi Islam”, Sumber: http://konsultasi-hukum-online.com, akses: 06/03/2014.

20 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Bandung: Gunung Djati Press, 1997), h. 2.

21Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ushul Fiqh Perbandingan (Bandung: PIARA, 1994), h. 26.

22

(9)

zakat sebagai distribusi pendapatan dan peningkatan taraf hidup golongan miskin yang ampuh.23

Istilah lain ekonomi Islam ialah „ekonomi syariah‟ yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistem ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi dalam etika dan moral.24

Krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah sistem ekonomi konvensional, yang mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen profitnya. Berbeda dengan apa yang ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen profitnya, yaitu sistem bagi hasil atau laba.

Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrem, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh ditransaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.25

Dengan demikian terdapat perbedaan asasi antara ekonomi Islam atau syariah dengan ekonomi konvensional. Sebagai contoh dalam sistem dan instrumen bank. Di bank konvensional terdapat produk bunga (riba), yakni yang menyimpan uang diberi bunga (bonus) dan yang meminjam uang diberi bunga (denda).26 Sedangkan di bank Islam/syariah, kedua belah pihak, yakni penyimpan dan peminjam sama-sama menanggung baik kerugian maupun keuntungan yang dikenal dengan sistem bagi hasil (profit sharing). Sistem dan instrumen bank berupa bunga atau riba ini jelas diharamkan Quran (lihat QS al-Baqarah: 275).

Secara historis, fungsi bank di zaman Rasulullah sudah berjalan, yakni orang-orang baik muslim maupun kafir menyimpan uangnya di Rasulullah karena beliau al-Amin (orang yang amat dipercaya). Kemudian di zaman para sahabat sudah melakukan mudharabah (kerja sama), musyarakah (kemitraan), dan wakalah (transfer atau menitipkan uang dari Makkah ke Syam). Jadi, meski secara institusional belum berdiri, namun secara fungsional, bank sudah ada pada saat itu, yaitu dilakukan secara sendiri-sendiri oleh Rasulullah dan para sahabat.27

Di Indonesia, transformasi bank konvensioanl ke bank syariah terkesan abu-abu sekaligus malu-malu. Secara praktis, terdapat sinyalemen bahwa sistem „margin‟ dalam bagi hasil justru lebih „jahat‟ daripada sistem bunga. Namun secara mayoritas, terdapat

23 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), h. 3-5. 24Anonim, “Ekonomi Syariah”, Sumber: http://id.wikipedia.org, akses: 06/03/2014.

25 Ibid. 26

Lihat misalnya pendapat A. Chotib, Bank dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1962), h. 9.

27 Abu Muhammad Dwiono Koesen al-Jambi, Selamat Tinggal Bank Konvensional: Haramnya Bank

(10)

kesepakatan bahwa bank konvensional merupakan kondisi darurat (sementara) sebelum bank syariah tersosialisasi dan membumi di Indonesia.28

Untuk memperjelas teori bagi hasil, penulis kutipkan pendapat Muhamad, dosen Islamic Business School STIS Yogyakarta:

Pada mekanisme lembaga keuangan syariah atau bagi hasil, pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk produk-produk penyertaan, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagian-sebagian, atau bentuk bisnis korporasi (kerja sama). Pihak-pihak yang terlibat dalam kepentingan bisnis yang disebutkan tadi, harus melakukan transparansi dan kemitraan secara baik dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang berkaitan dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang menjalankan projek.

Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shahibul maal dengan mudharib. Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shahibul maal dan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba (keuntungan) sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shahibul maal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai pembagian keuntungan di muka.29

Kaidah Hukum Ekonomi Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, „kaidah‟ didefinisikan sebagai rumusan asas-asas yang menjadi; aturan yang sudah pasti; patokan; atau dalil.30 Sedangkan „hukum-hukum ekonomi‟, menurut Seligman dalam karyanya Principles of Economics, pada hakikatnya bersifat hipotetis (kesimpulan sementara). Semua hukum ekonomi memuat isi anak kalimat bersyarat sebagai „hal-hal lain diasumsikan sama keadaannya (ceteris paribus)‟, yakni anggapan bahwa dari seperangkat fakta-fakta tertentu, akan menyusul kesimpulan-kesimpulan tertentu jika tidak terjadi perubahan pada faktor-faktor lain pada waktu yang bersamaan. Hal ini berbeda dengan hukum pada ilmu eksak yang bisa dilakukan eksperimen tanpa perlu membuat suatu asumsi. Ilmu ekonomi, tidak seperti cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya, mempunyai pengukur bersama dari motif-motif manusia dalam bentuk uang.31 „Hukum ekonomi Islam‟ pun merupakan produk-produk jadi dari ijtihad para mujtahidin sebelum kita yang mereka rumuskan untuk zaman mereka masing-masing dan bagi masyarakat mereka masing-masing, yang belum tentu sama dengan situasi dan kondisi dari zaman dan masyarakat kita sekarang ini.32

Dengan demikian maksud „kaidah hukum ekonomi Islam‟ dalam tulisan ini adalah asas-asas atau prinsip-prinsip perilaku ekonomi berdasarkan sumber hukum Islam yang diupayakan sesuai dengan tuntutan zaman menurut para mujtahid kontemporer.

Ada berbagai metode pengambilan hukum (istinbath) dalam Islam, yang secara garis besar dibagi atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih menjadi perbedaan

28 Ibid., h. 24-25.

29 Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 23-24. 30

Lukman Ali dkk, op.cit., h. 430.

(11)

pendapat, di mana secara khusus hal ini dapat dipelajari dalam disiplin ilmu ushul fiqh. Metode pengambilan hukum atas suatu permasalahan dalam Islam ada bermacam-macam metode, namun dalam tulisan ini hanya akan dijelaskan metode pengambilan hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, terdiri atas Quran, sunnah, ijma‟ (konsensus), dan qiyas (analogi).33

Keempat dalil atau sumber hukum ekonomi Islam tersebut, menurut Ahmad M. Saifuddin, mengilhami tiga asas filsafat ekonomi Islam, yaitu (1) semua yang di alam semesta; langit, bumi serta sumber-sumber alam yang ada padanya, bahkan harta kekayaan yang dikuasai oleh manusia adalah milik Allah karena Dialah yang menciptakannya. Semua ciptaan Allah itu tunduk pada kehendak dan ketentuan-Nya (QS 20:6 dan 5:120); (2) Allah itu Maha Esa yang menciptakan manusia sehingga manusia yang berasal dari substansi yang sama, wajib saling bantu-membantu dan bekerja sama terutama dalam kegiatan ekonomi untuk memenuhi keperluannya berdasarkan persamaan dan persaudaraan (QS 31:20, 16:10-16, 35:27-28, dan 39-21); serta (3) beriman kepada hari kiamat dan kepada hari pengadilan akan mengendalikan perilaku ekonomi manusia karena akan dimintai pertanggungjawabannya kelak oleh Allah. Ketiga asas filsafat ekonomi Islam ini melahirkan nilai-nilai dasar sistem ekonomi Islam, yaitu: (1) pemilikan; (2) keseimbangan; dan (3) keadilan.34

Meskipun tidak banyak yang dikemukakan dalam Quran, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Namun karena alasan-alasan yang sangat tepat, Quran dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen, dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam uraian di atas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain: (1) kesatuan (unity); (2) keseimbangan (equilibrium); (3) kebebasan (free will); dan (4) tanggung jawab (responsibility).35

Selanjutnya sistem ekonomi Islam berdasarkan tujuan dan motif ekonomi tidak berbeda dengan sistem ekonomi lain, yaitu bekerja atas (1) tujuan yang sama mencari pemuasan berbagai kebutuhan hidup; dan (2) motif yang sama mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan tenaga dan ongkos yang sekecil-kecilnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun secara prinsip berdasarkan nilai-nilai dasar, sistem ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi yang terjadi setelah prinsip ekonomi yang menjadi pedoman kerjanya, dipengaruhi atau dibatasi oleh ajaran-ajaran Islam.36

Pendapat lain menyebutkan bahwa ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai pada tujuan agama (falah). Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas oleh ekonomi, sosial, budaya dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam mampu menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam perjalanannya tanpa meninggalkan sumber hukum teori ekonomi Islam, bisa berubah.37

33 Fauzi Gerrard, loc.cit.; lihat pula Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, h. 2; dan Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam

(Jakarta: Attahiriyah, 1976), h. XIX.

34 Mohammad Daud Ali, op.cit, h. 5-9. 35Anonim, “Ekonomi Syariah”,

loc.cit.

(12)

Karena itu, secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar, yaitu: (1) berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau anugerah dari Allah SWT kepada manusia; (2) Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu; (3) kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama; (4) ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja; (5) ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang; (6) seorang muslim harus takut kepada Allah SWT dan hari penentuan di akhirat nanti; (7) zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab); dan (8) Islam melarang riba dalam segala bentuk.38

Kemudian Abul A‟la al-Maududi melansir larangan Quran dalam memperoleh kekayaan dengan cara-cara berikut: (1) mengambil milik orang lain tanpa izin atau tanpa imbalan, atau dengan izin dan dengan memberikan imbalan tetapi hal itu dilakukan dengan paksaan atau tipuan; (2) menyuap; (3) dengan cara memaksa; (4) menggelapkan, baik kekayaan milik pribadi atau masyarakat; (5) pencurian; (6) menyelewengkan milik anak yatim; (7) menimbang tau mengukur dengan curang; (8) jual beli yang membantu kemungkaran; (9) pelacuran dan upahnya; (10) pembuatan, pembelian, penjualan, dan pengedaran minuman keras; (11) judi dan sejenisnya seperti pemindahan kekayaan kepada orang lain hanya berdasarkan nasib (kebetulan); (12) membuat, membeli, dan menjual patung-patung, dan memlihara candi-candi yang di dalamnya patung-patung disimpan dan disembah-sembah; (13) pendapatan yang diperoleh dari bisnis astrologi (nujum), peramalan nasib dan sebagainya; serta (14) riba.39

Senada dengan di atas, menurut Yusuf Qardhawi, kaidah umum dalam mencari nafkah adalah bahwa Islam tidak memperbolehkan para penganutnya mendapatkan harta dengan cara semaunya. Islam menegaskan bahwa ada cara-cara usaha yang sesuai dengan syariat, ada pula yang tidak sesuai dengannya, seiring dengan tegaknya kemashlahatan bersama. Perbedaan ini mengacu kepada prinsip umum yang mengatakan bahwa segala cara untuk mendapatkan harta yang hanya akan mendatangkan manfaat untuk diri sendiri dengan merugikan orang lain adalah ghair masyru‟ (tidak sesuai dengan syariat). Sedangkan cara yang antar-individu saling merelakan dan sama-sama mendapatkan manfaat dan keadilan („an taraadlin), ia adalah masyru‟. Pendapat Qardhawi ini berdasarkan firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS an-Nisa: 29-30).

38 Rasyid Rizani, loc.cit.; lihat pula kompilasi ajaran-ajaran Quran tentang ekonomi yang dihimpun Abul

A‟la al-Maududi dalam MM Syarif (ed.), “Advent of Islam: Fundamental Teaching of the Qur‟an”, Buku Dua, History of Muslim Philosophy, Penerjemah: Ahmad Muslim, Esensi Al-Quran: Filsafat, Politik, Ekonomi, dan Etika (Bandung: Mizan, 1990), h. 69-83.

(13)

Ayat tersebut menegaskan dua syarat perniagaan yang masyru‟ (sesuai dengan syariat), yaitu: (1) perniagaan berlangsung atas dasar suka sama suka; dan (2) manfaat satu pihak tidak boleh didasarkan kepada kerugian pihak lain; di sinilah, menurut Yusuf Qardhawi, maksud Dan janganlah kamu membunuh dirimu salah satu maknanya adalah merugikan pihak lain.40

Selanjutnya Yusuf Qardhawi mengkompilasi ajaran Islam perihal interaksi ekonomi sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW yang secara historis ketika Nabi diutus, bangsa Arab telah memiliki aneka bentuk transaksi jual beli dan barter. Nabi pun menetapkan sebagiannya, yang tidak bertolak belakang dengan prinsip-prinsip syariah, dan melarang sebagian lain yang tidak sesuai dengan tujuan dan misinya. Larangan ini berkisar pada beberapa hal, yang antara lain: membantu perbuatan maksiat, penipuan, eksploitasi, dan merugikan salah satu pihak yang bertransaksi.

Selain itu, Yusuf Qardhawi membahas hal-hal berikut: (1) menjual sesuatu yang haram adalah haram; (2) jual beli yang tidak transparan adalah haram; (3) mempermainkan harga adalah zhalim; (4) para penimbun itu terlaknat; (5) intervensi yang mempengaruhi kebebasan pasar seperti sistem ijon dilarang; (6) praktik makelar boleh hukumnya; (7) eksploitasi dan penipuan dalam bisnis, haram; (8) banyak bersumpah, haram; (9) curang dalam menakar dan menimbang, haram; (10) membeli barang rampasan dan curian, haram; (11) riba, haram; (12) hati-hati dalam soal utang; (13) menjual dengan kredit dan dengan tambahan harga, boleh; (14) inden (aqad salam), boleh dan haram apabila terkandung unsur pemerasan dari penjual; (15) kerja sama dan modal (muzara‟ah), boleh dan haram jika tidak adil; (16) kerja sama antar-pemilik modal (patungan), boleh; (17) asuransi (ta‟min), boleh atas nama keadilan atau kerelaan dan diubah ke bentuk transaksi „sumbangan untuk mendapatkan ganti‟; (18) eksploitasi tanah pertanian dengan digarap sendiri atau diserahkan kepada orang lain (mukhabarah), boleh asal tanah tidak nganggur dan rusak; serta (19) menyewakan tanah dengan uang, boleh dan haram berdasarkan qiyas (analogi) dengan gadai binatang yang bisa dikendarai atau diperah susunya; qiyas ini diilhami hadis yang diriwayatkan oleh dua tokoh ahlul Badr serta oleh Rafi‟ bin Khudaij, Jabir, Abu Said, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar.41

Interaksi ekonomi menurut Islam lainnya dan lebih lengkap tentunya perlu pembahasan lebih mendalam terhadap buku-buku fiqh muamalah.

Uraian kaidah hukum ekonomi Islam di atas merupakan beberapa prinsip yang global dalam interaksi ekonomi menurut Islam. Konsepsi Islam yang berkaitan dengan penciptaan keadilan sosio-ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan adalah ditempuh dengan built-in program melalui zakat, dan sejumlah cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia. Dengan demikian, ini merupakan hal penting bahwa sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter dirancang semuanya itu pada akhirnya saling kait-mengkait ke dalam pakaian nilai-nilai Islam dan memberikan sumbangan secara positif untuk mengurangi ketidakadilan daripada sebaliknya.42

Dua kata kunci yang menjadi pedoman dalam interaksi ekonomi Islam dan menjadi kesimpulan tulisan ini adalah: (1) adil dan (2) tanggung jawab yang berdimensi duniawi dan ukhrawi.

40 Yusuf Qardhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam, Penerjemah: Wahid Ahmadi dkk, Halal dan Haram dalam

Islam (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 210-211.

(14)

Kesimpulan

Benang merah yang ditarik dari uraian “Kaidah Kulliyah yang Bukan Kaidah Kubra” dan “Kaidah Hukum Ekonomi Islam” kaitannya dengan “Produk Halal” di atas, secara implisit, terkandung relevansi filsafat etika dan estetika dengan ilmu akhlak dan syari‟ah dalam ilmu hukum Islam; dengan pengertian: Pertama, berdasarkan pertimbangan etika (baik-jahat) dan estetika (indah-buruk), individu akan berbuat; kedua, tingkah laku atau perbuatan individu yang etis-tidak etis dan estetis-tidak estetis dinilai oleh akhlak; serta ketiga, akhlak individu itu dinilai oleh syari‟ah (boleh atau dilarang). Ketiga asumsi ini menjadi acuan ilmu hukum Islam (Ushul Fiqh), khususnya dalam menentukan hukum halal atau haramnya suatu perbuatan, sebagaimana dilansir Yusuf Qardhawi bahwa prinsip-prinsip Islam tentang hukum halal dan haram adalah: (1) pada dasarnya, segala sesuatu boleh hukumnya, (2) penghalalan dan pengharaman hanyalah wewenang Allah SWT, (3) mengharamkan yang halal dan menghahalkan yang haram itu termasuk perilaku syirik kepada Allah SWT, (4) sesuatu diharamkan karena ia buruk dan berbahaya, (5) pada sesuatu yang halal terdapat sesuatu yang dengannya tidak lagi membutuhkan yang haram, (6) sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram maka haram pula hukumnya, (7) menyiasati yang haram, haram hukumnya, (8) niat baik tidak menghapuskan hukum haram, (9) hati-hati terhadap yang syubhat agar tidak jatuh ke dalam yang haram, (10) yang haram adalah haram untuk semua, dan (11) darurat mengakibatkan yang terlarang menjadi boleh.43

Secara eksplisit-praktis, produk halal itu harus disertifikasi yang di Indonesia di bawah koordinasi MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Siginifikansi sertifikasi halal ini karena „halal‟, menurut Dr. Dwi Purnomo, STP, MT, dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad, adalah konsepsi mutu tertinggi dibandingkan dengan konsepsi mutu lainnya, terlebih Indonesia merupakan pangsa produk halal terbesar di dunia. Kalau kita beli produk yang halal, maka sudah dipastikan mutunya paling tinggi. Sertifikasi halal dalam suatu produk sangatlah penting. Hal tersebut terkait dengan jaminan mutu dalam suatu produk, juga sebagai jaminan kepercayaan bagi para konsumennya. Seiring dengan perkembangan zaman, konsumen akan cenderung memilih produk yang telah bersertifikasi halal berdasarkan keyakinan bahwa produk halal sudah pasti memiliki mutu yang baik.44

Wa Allaah a‟lam.

Daftar Pustaka

Ali dkk, Lukman. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ali, Mohammad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press. Amir, Dja‟far. 1969. Qidah-qaidah Fiqih . Semarang: Ramadhani.

Chotib, A. 1962. Bank dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani. Hanafie, A. 1989. Usul Fiqh. Jakarta: Widjaya.

43

Yusuf Qardhawi, op.cit., h. 33; lihat pula Dja‟far Amir, op.cit., yang memuat 5 qaidah pokok dan 12 qaidah kulliyah dalam Fikih.

(15)

Jambi, Abu Muhammad Dwiono Koesen al-. 2009. Selamat Tinggal Bank Konvensional: Haramnya Bank Konvensional dan Halalnya Bank Syariah. Jakarta: Tifa Publishing House.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1991. Ilmu Ushulul Fiqh. Terjemah: Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Muhamad. 2001. Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press. Qardhawi, Yusuf. 2003. Al-Halal wal Haram fil Islam. Penerjemah: Wahid Ahmadi dkk.

Halal dan Haram dalam Islam. Solo: Era Intermedia. Rasjid, Sulaiman. 1976. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah.

Shiddqiey, TM Hasbi Ash-. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.

Sjadzali, Munawir. 1997. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina. Suhendi, Hendi. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung: Gunung Djati Press.

Syafe‟i, Rachmat. 1994. Pengantar Ushul Fiqh Perbandingan. Bandung: PIARA.

Syarif (ed.), MM. 1990. “Advent of Islam: Fundamental Teaching of the Qur‟an”. Buku Dua. History of Muslim Philosophy. Penerjemah: Ahmad Muslim. Esensi Al-Quran: Filsafat, Politik, Ekonomi, dan Etika. Bandung: Mizan.

Yafie, Ali. 1994. “Konsep-konsep Hukum”. Editor: Budhy Munawar-Rachman. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.

Pustaka Online

Alwani, Taha Jabir al-. 2013. Ushul al-Fiqh dalam id.wikipedia.org/wiki/Ushul_fiqih, akses: 30/12/2013.

Anonim. “Ekonomi Syariah”. Sumber: http://id.wikipedia.org, akses: 06/03/2014. Anonim. “Ushul Fiqih”. Sumber: http://id.wikipedia.org. Akses: 30/12/2013.

Budiati, Ria. “Kaidah-kaidah Fiqh”. Sumber: http://riabudiati.blogspot.com. Akses: 06/03/2014.

Gerrard, Fauzi. “Hukum Ekonomi Islam”. Sumber: http://fauzigerrard.blogspot.com, akses: 06/03/2014.

Maulana, “Dr. Dwi Purnomo STP., MT., „Halal adalah Konsepsi Mutu Tertinggi‟”, Sumber: http://news.unpad.ac.id/?p= 63611, Akses: 31/3/2016.

Rajafi, Ahmad. “Qawaid al-Ushuliyyah dan al-Fiqhiyyah”. Sumber: http://ahmadrajafi.wordpress.com. Akses: 06/03/2014.

Rizani, Rasyid. “Dasar-dasar Ekonomi Islam”. Sumber: http://konsultasi-hukum-online.com, akses: 06/03/2014.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian diperoleh 19 individu terpilih pada turunan F 4 yang berumur genjah dan berproduksi tinggi dan Nilai duga heritabilitas pada generasi F 4

Campuran minyak cengkeh dan ekstrak biji mimba dengan perbandingan 60/40 (v/v) merupakan campuran efektif untuk mengendalian penyakit karat pada kedelai dapat menekan

KAI (Persero) tidak dapat dihindari terjadinya ketidaksesuaian antara realisasi dengan anggaran yang telah direncanakan seperti anggaran biaya operasional pada tahun

Sedikitnya jumlah kader aktif pasca LK1 Ini disebabkan oleh kebingungan yang disebabkan karena minimnya saluran organisasi yang tersedia di HMI Cabang Jakarta

Hasil penelusuran data terhadap terbitan berkala yang diterbitkan di Indonesia menggunakan Virtua (sistem yang digunakan untuk melaporkan penggunaan ISSN dari Pusat

Yang dipanggil untuk menerima Anugerah Swara Kencana Award tahun 2011 adalah utusan pemenang (juara) pertama dari masing-masing jenis kompetisi dengan biaya

Dana penguatan modal adalah dana bergulir yang disediakan kepada orang pribadi, kelompok, koperasi, atau usaha mikro dan kecil, unit pengelola kegiatan program

Pinjaman Pegawai 99 Flowchart 12 Prosedur Pengeluaran Uang Kelebiahan Lelang 102 Flowchart 13 Prosedur Pengeluaran Lain-Lain 105 Flowchart 14 Prosedur Pengeluaran