• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Anak 2.1.1. Pengertian anak - Faktor Dominan Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan di Kota Binjai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Anak 2.1.1. Pengertian anak - Faktor Dominan Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan di Kota Binjai"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Anak 2.1.1. Pengertian anak

Terdapat berbagai definisi yang menjelaskan mengenai pengertian tentang

anak, definisi anak mengacu pada Konvensi Hak Anak (KHA) yaitu: “Setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun.” Sedangkan menurut ketentuan Undang

-undang RI tentang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 pasal 1, yaitu: “Setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun termasuk janin dalam kandungan”.

Berdasarkan standar internasional dan nasional disepakati bahwa anak adalah

seseorang yang usianya belum mencapai 18 tahun (PKPA, 2011:4).

Pengertian anak berdasarkan umur sampai saat ini belum ada

keseragaman, terutama tentang usia bagi anak. Soedijar 1989 (dalam Nurhadjamo,

1999:6), dalam The Minimum age Convention on The Right of The Child (1989) anak adalah mereka yang berumur 18 tahun kebawah. Untuk Indonesia, menurut

Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, anak adalah mereka yang berusia dibawah

21 tahun. Departemen Sosial membatasi anak pada usia 7-15 tahun sebagai

ukuran anak.

Sedangkan menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973, pengertian tentang anak adalah seorang yang berusia 15 tahun kebawah.

(2)

disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah (Huraerah,

2006:19).

2.1.2. Hak-Hak Anak

Hak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang wajib dijamin dan

dimiliki oleh seluruh manusia tidak terkecuali dengan anak, anak juga memiliki

hak - hak yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,

masyarakat, pemerintah, dan negara. Hak-hak asasi anak tersebut meliputi:

a. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

b. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan satus kewarganegaraan

c. Hak untuk beribadah, berfikir, dan berekspresi.

d. Hak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya

sendiri.

e. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh

kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut

diasuh atau diangkat sebagai anak asuh oleh orang sesuai dengan peraturan

yang berlaku.

f. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.

g. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan

pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan bakatnya.

h. Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang cacat

dan hak mendapatkan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki

(3)

i. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya.

j. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan

anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi.

k. Hak untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf

kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat (Herlina, 2003:23).

Selain hak-hak anak di atas, anak juga berhak dilindungi dari perlakuan

sebagai berikut:

a. Diskriminasi, yakni perlakuan yang membeda-bedakan jenis kelamin, ras,

agama, dan status hukum anak.

b. Eksploitasi, yakni tindakan memperalat, dan memeras anak.

c. Penelantaran, yakni dengan sengaja mengabaikan perawatan dan pengurus

anak.

d. Kekejaman, yakni tindakan yang keji, bengis, dan tidak menaruh belas

kasihan anak.

e. Kekerasan dan penganiayaan, yakni perbuatan mencederai, melukai baik

fisik maupun mental

f. Perlakuan salah lainnya, yakni perbuatan cabul terhadap anak (Herlina,

2003:24).

2.1.3. Kesejahteraan Anak

Terdapat berbagai penjelasan mengenai kesejahteraan anak, menurut

(4)

merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. Secara umum,

kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak

yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik

secara rohani, jasmani maupun sosial.

Berdasarkan prinsip non-diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak setiap

anak tanpa terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak, baik anak dalam

keadaan normal maupun anak yang sedang bermasalah tetap mendapatkan

prioritas yang sama dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh

kesejahteraan tersebut (Windari, 2010:36).

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita

perjuangan bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan

nasional. Disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang 1945 bahwa fakir

miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan

sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang

lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara

bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas

pelayanan umum yang layak.

Adanya jaminan dalam Undang-undang Dasar 1945 tersebut dapat

diartikan bahwa anak dianggap belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri

baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Oleh karena itu menjadi kewajiban

bagi orang dewasa, baik orang tua, keluarga, masyarakat maupun bangsa untuk

memberikan jaminan, memelihara dan mengamankan kepentingan anak serta

(5)

Kesejahteraan Anak menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1979 adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang

dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara

rohani, jasmani maupun sosial. Dari definisi - definisi tentang kesejahteraan anak

tersebut, dapat ditarik pengertian bahwa kesejahteraan anak merupakan hak asasi

bagi masing-masing anak dan pengadaan kesejahteraan anak merupakan

kewajiban asasi setiap anggota masyarakat dan negara.

2.1.4. Perlindungan Hukum Anak

Anak sebagai manusia dan sebagai warga negara pada hakikatnya harus

memiliki perlindungan hukum yang dapat menjamin kehidupan mereka, dalam

pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

“penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia”. Negara memberikan perlindungan kepada anak jalanan yang

tertuang dalam pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945 yaitu “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Kemudian pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945 dinyatakan bahwa:

a. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

b. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah

wajib membiayainya.

c. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem

(6)

akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur

dengan undang-undang.

d. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua

puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari

anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional.

e. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai agam dan persatuan bangsa untuk kemajuan

peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Perlindungan hukum untuk anak juga tertuang dalam undang-undang

perlindungan anak yaitu:

a. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua berkewajiban dan

bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (pasal

20).

b. Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak

dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelnggaraan

perlindungan anak (pasal25).

c. Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak

terlantar, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga (pasal 55).

Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi hak-hak anak agar tetap hidup, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

(7)

2.2. Anak Jalanan

2.2.1. Pengertian Anak Jalanan

Banyak terdapat penjelasan yang menjelaskan mengenai pengertian anak

jalanan, istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan atau

Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup dijalanan yang

umumnya sudah tidak memiliki hubungan dengan keluarganya (PKPA, 2011:4).

Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang

mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun

masih memilki hubungan dengan keluarganya.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Anak-jalanan. Diakses pada 11:30 WIB. 5 Maret 2015).

UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu: Street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life, yang artinya bahwa anak jalaan merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun

yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat

terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah dijalan raya.

Sedangkan menurut Departemen Sosial RI, anak jalanan adalah anak yang

sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran

dijalanan atau tempat-tempat umum lainnya. (Herdiana, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

berkerjasama dengan Balatbangsos Departemen Sosial RI, mendeskripsikan anak

jalanan sebagai anak yang sebagian besar waktunya berada dijalanan atau di

tempat-tempat umum yang memiliki ciri-ciri yakni berusia antara 5 sampai

(8)

yang kebanyakan kusam dan tidak terurus, serta mobilitasnya tinggi

(http://tkskponorogo.blogspot.com/2010/03/peta-masalah-anak-jalanan-dan.html.

Diakses pada 12.30 WIB. 5 Maret 2015).

Dalam buku “Intervensi Psikososial”, anak jalanan adalah anak yang

sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaraan

dijalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Definis tersebut memberikan empat

faktor penting yang saling terkait, yaitu:

a. Anak-anak

b. Menghabiskan sebagian waktunya

c. Mencari nafkah atau berkeliaraan

d. Jalanan dan tempat-tempat umum lainnya (Astuti, 2004:15).

Untuk mempermudah pemahaman atas konsep anak jalanan, berikut tabel

karakteristik anak jalanan:

Faktor Pembeda Hidup Dijalanan Bekerja di Jalanan

Putus hubungan Tidak teratur

pulang Ke rumah

Masih tinggal

bersama orang tua

Tempat tinggal Di jalanan Mengontrak

(Bersama-sama)

Bersama keluarga

Pendidikan Tidak sekolah Tidak sekolah Masih sekolah

Sumber: PKPA 2011

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), anak jalanan adalah anak

(9)

atau beraktifitas lain. Anak jalanan tinggal dijalanan karena dicampakkan atau

tercampak dari keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena

kemiskinan dan kehancuran keluarganya.

2.2.2. Kategori Anak Jalanan

Terdapat berbagai penjelasan yang menjelaskan mengenai kategori anak

jalanan. Dalam (PKPA, 2011:5) pada mulanya terdapat dua kategori anak jalanan,

yaitu children on the street dan children of the street. Namun pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu children in the street atau sering disebut juga children from families of the street.

Pengertian untuk children on the street adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi dijalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada

dua kategori kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang

tinggal bersama dan senantiasa pulang ke setiap keluarganya, dan anak-anak yang

melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal dijalanan namun masih

mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang, baik berkala

ataupun dengan yang tidak rutin.

Children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia

memutuskan hubungan dengan orang tua atau keluarganya. Biasanya anak jalanan

kategori ini hidup mengelandang dijalanan seharian penuh tanpa harus kembali

(10)

anak jalanan seperti ini disebut juga anak jalanan yang berasal dari keluarga yang

hidup di jalanan.

Berdasarkan kajian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Lembaga

Pengkajian Sosial (YLPS) HUMANA tahun 2004, mengenai anak jalanan di

Indonesia, pengkategorian anak jalanan juga didasari oleh interaksi anak di ruang

publik perkotaan, sebagai tempat hidup atau sekedar untuk bekerja (kegiatan

produktif). Interaksi anak diruang publik perkotaan ada yang dilakukan sendiri

juga ada yang dilakukan bersama keluarga.

Anak yang memperlakukan ruang publik sebagai tempat hidup melahirkan

kategori sebagai berikut:

a. Anak dalam keluarga gelandangan

b. Anak yang hidup sendiri di jalanan

Sementara, mereka yang menganggap jalanan hanya sekedar tempat

mencari uang melahirkan kategori:

a. Anak jalanan pulang berkala

b. Anak jalanan pulang setiap hari atau anak kerja di jalan (YLPS

HUMANA, 2004:11-12).

Kemudian, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia 1999 (dalam Siregar,

Dkk., 2006:24-25) telah membedakan anak jalanan menjadi empat kelompok,

yaitu:

1. Anak-anak yang tidak lagi berhubungan dengan orang tua (children of the street) mereka ini telah mempergunakan fasilitas jalanan sebagai ruang lingkupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok ini

(11)

kekerasan, penolakan, penyiksaan, dan perceraian orang tua. Umumnya

mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan anak jalanan dan

solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.

2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya. Mereka

adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka sering kali di identifikasikan sebagai pekerja migrant kota yang pulang tidak

teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja

dari pagi sampai sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen,

tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka

dilingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasib.

3. Anak-anak yang berhubungan langsung dengan orang tua. Mereka tinggal

dengan orang tuanya, bebrapa jam di jalanan karena ajakan dari teman,

belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh oleh orang tua. Aktivitas

mereka yang paling menyolok adalah berjualan koran.

4. Anak-anak jalanan yang berusia diatas 16 tahun. Mereka berada di jalanan

untuk mencari kerja. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang

lulus SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa

(orang tua maupun saudara) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci

bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul),

pengasong, pengamen, pengemis, dan pemulung.

2.2.3. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Anak Jalanan

Pada awal kajian tentang anak jalanan, persoalan kemiskinan ekonomi

(12)

Belakangan statement ini mulai diperdebatkan, karena tidak semua keluarga

miskin menghasilkan anak jalanan. Kemiskinan kemudian dipandang sebagai

salah satu faktor beresiko yang memunculkan anak jalanan tetapi bukan satu

-satunya. Ada variabel lain yang saling merajut, seperti kekerasan dalam rumah

tangga, perpecahan dalam keluarga, atau pengaruh lingkungan (YLPS HUMANA,

2004:14).

Hubungan kemiskinan dengan faktor-faktor lain yang membuat anak-anak

beresiko turun ke jalan dapat dijelaskan sebagai berikut: tekanan ekonomi akibat

kemiskinan membuat orang tua mengharuskan anak-anak mereka turut

menanggung beban keluarga. Atau, anak-anak yang menyadari kondisi sosial

keluarganya miskin, kemudian ikut membantu memenuhi kebutuhan keluarga

dengan cara bekerja, baik di jalanan atau tempat lainnya. Ada pula anak-anak dari

keluarga miskin tersebut yang turun ke jalan setelah mendapat kekerasan dari

orang tua atau karena masalah lain seperti perceraian orang tua. Selain itu, faktor

lingkungan sosial seperti diajak teman atau ikut dengan teman menajdi pendorong

munculnya fenomena anak jalanan. Maka dapatlah disimpulkan bahwa

faktor-faktor yang membuat anak beresiko menjadi anak jalanan antara lain: Faktor

keluarga dan faktor lingkungan yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Faktor keluarga

Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting didalam masyarakat.

Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan

wanita, perhubungan dimana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan

(13)

kesatuan sosial yang terdiri dari suami istri dan anak-anak yang belum dewasa

(Hartono dan Azis, 2008:79). Dalam faktor keluarga dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Persoalan ekonomi keluarga

Kondisi ekonomi keluarga yang miskin seringkali dipahami sebagai faktor

utama yang memaksa anak untuk turun ke jalan. Akibat kemiskinanan atau

faktor ekonomi tersebut, anak terpaksa mencari nafkah untuk membantu

memenuhi kebutuhan hidup keluarganya atau untuk kebutuhan pribadinya,

sehingga banyak anak yang putus sekolah dan turun ke jalan untuk bekerja

sebagai pengamen, pengemis, dan lain-lain.

b. Kekerasan dalam keluarga

Kekerasan dalam keluarga adalah salah satu faktor yang mendorong anak

lari dari rumah dan pergi ke jalan. Tindak kekerasan yang dilakukan anggota

keluarga terhadap anak memang dapat terjadi di semua lapisan sosial

masyarakat. Namun, pada lapisan bawah, kemungkinan terjadinya kekerasan

lebih besar dengan tipe yang lebih beragam.

Kekerasan terhadap anak dapat terkait dengan masalah ekonomi. Hali ini

bisa terjadi ketika sebuah keluarga mengalami berbagai masalah akibat beban

ekonomi yang tidak tertahankan. Sebagian atau seluruh masalah keluarga itu

kemudian terpaksa dibebankan pada anak-anak mereka. Bentuk pelimpahan

beban itu bukan saja memaksa anak bekerja, tetapi bisa juga menjadikan anak

sebagai sasaran kekesalan terhadap keadaan. Ketika si anak sudah menjadi

sasaran kekesalan, maka tindak kekerasan sangat mungkin akan dilakukan

(14)

Menurut Gunarsa (dalam Zulfadli, 2004:8), keluarga sebagai landasan bagi

anak yang memberikan macam bentuk dasar:

1. Didalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera, seseorang anak

akan memperoleh latihan-latihan dasar dalam mengembangkan sikap

sosial yang baik dan kebiasaan berprilaku. Misalnya anak belajar

melakukan tugas-tugas tertentu dan mengikuti tata cara keluarganya,

belajar disiplin diri dan disiplin waktu agar kelak kebiasaan disiplin

terbentuk dan memudahkan anak dalam pergaulan dan hubungan sosial

dengan temen-teman, serta mendukung kelancaran perkembangan

kongkrit dan prestasi.

2. Didalam keluarga dan hubungan-hubungan antar anggota keluarga

membentuk pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial dan

interaksi yang lebih luas. Anak akan belajar dari latihan-latihan dasar

mengembangkan sikap-sikap sosial yang baik. Kebiasaan-kebiasaan

bertingkah laku yang memudahkan terbentuknya perilaku tanpa

keragu-raguan, tanpa pertarungan motif dan konflik yang terlalu lama.

3. Didalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan

memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang

diharapkan. Dalam keluarga anak juga bisa belajar mengenai kewibawaan

dan sikap ototriter dari yang lebih tua, anak belajar mematuhi peraturan

tatacara keluarga.

4. Didalam keluarga anak akan mengalami peristiwa yang menyenangkan,

menyedihkan, penolakan, belas kasih dan frustasi. Keluarga sangat penting

(15)

perkembangan emosi, respon, kepercayaan anak, remaja, dan orang

dewasa.

Menurut BKKBN (2011), terdapat fungsi-fungsi yang seharusnya berjalan

didalam kehidupan keluarga. Fungsi yang dimaksud tersebut dikenal sebagai

“Delapan Fungsi Keluarga”, yaitu:

1. Pertama fungsi “Agama”, yang mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana pembinaan kehidupan ber Agama yaitu beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap langkah yang dilakukan oleh setiap

anggota keluarga hendaknya selalu berpijak pada tuntunan agama yang

dianutnya. Dalam menerapkan fungsi Agama, yang tidak boleh diabaikan

salah satunya adalah toleransi ber-agama, mengingat bahwa kita hidup

dinegara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan mempunyai

kepercayaan dan agama yang sangat beragam.

2. Kedua “Fungsi Sosial Budaya” yang mempunyai makna bahwa keluarga adalah menjadi wahana pembinaan dan persemaian nilai-nilai luhur

budaya yang selama ini menjadi panutan dalam tata kehidupan mereka.

Sehingga nilai luhur yang selama ini sudah menjadi panutan dalam

kehidupan bangsa tetap dapat dipertahankan dan dipelihara.

3. Ketiga “Fungsi Cinta Kasih” yang mempunyai makna bahwa keluarga harus menjadi tempat untuk menciptakan suasana cinta dan kasih sayang

dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarkat, berbangsa dan bernegara.

Dalam kehidupan keluarga cinta kasih dan kasih saynag antara anggota

keluarga akan dapat menumbuhkan rasa bertanggung jawab yang besar

(16)

keluarga akan selalu menjaga komitmen yang telah dibuat bersama,

demikian juga dalam kehidupan bermasyarakat, dengan fungsi ini akan

menumbuhkan keharmonisan dalam bertetangga dan bermasyarakat.

4. Keempat “Fungsi Perlindungan” yang mempunyai makna bahwa keluarga itu merupakan wahana terciptnanya suasana aman, nyaman, damai dan

adil bagi seluruh anggota keluarganya. Sehingga setiap anggota keluarga

akan selalu merasa bahwa tempat yang paling baik dan pantas adalah

didalam lingkungan keluarganya sendiri, dan ini tentu sangat membantu

dalam menghadapi segala tantangan yang muncul dalam kehidupannya.

5. Kelima “Fungsi Reproduksi” yang mempunyai makna bahwa didalam keluarga tempat diterapkannya cara hidup sehat, khususnya dalam

kehidupan reproduksi. Diharpkan setiap anggota keluarga harus

memahami cara hidup sehat dan mengerti tentang kesehatan

reproduksinya. Oleh sebab itu pemahaman dan pengetahuan tentang alat

kontrasepsi, alat kontrasepsi rasional, pengetahuan lain tentang penyiapan

kehidupan berkeluarga bagi remaja, tentang ketahanan keluarga melalui

bina-bina yang tentu wajib harus dimiliki.

6. Keenam “Fungsi Pendidikan” yang mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana terbaik dalam proses sosialisasi dan pendidikan bagi

anak-anaknya. Pendidikan dalam keluarga ini sebetulnya adalah pendidikan inti

yang menjadi fondasi untuk perkembangan anak. Sedangkan pendidikan

yang diperoleh dari sekolah maupun dari lingkungan sebetulnya hanya

(17)

7. Ketujuh “Fungsi Ekonomi” yang mempunyai makna, bahwa keluarga tempat membina kualitas kehidupan ekonomi, dan kesejahteraan keluarga.

Setiap anggota keluarganya punya kewajiban yang sama untuk

melakukanan kegiatan yang akan menambah kesejahteraan keluarga. Ini

mempunyai makna bahwa seluaruh anggota keluarga dapat bersikap

ekonomis, realistis dan mau berjuang untuk peningkatan kesejahteraan

keluarga.

8. Kedelapan “Fungsi Lingkungan” yang mempunyai makna, bahwa kelaurga adalah wahana untuk menciptakan warganya yang mampu hidup

harmonis dengan lingkungan masyarakat sektitar dan alam, dalam bentuk

keharmonisan antar anggota keluarga, keharmonisan dengan tetangga serta

keharmonisanterhadapalam sekitarnya.

(http://www.bkkbn.go.id/ViewArtikel.aspx?ArtikelIID=35. Diakses pada

13:00 WIB. 6 Maret 2015).

2. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor pendorong anak turun ke

jalan. Adakalanya sebelum terpengaruh faktor lingkungan, seorang anak memang

berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga faktor lingkungan, seperti diajak

teman atau bermasalah disekolah, menjadi penguat alasan untuk turun ke jalanan.

Namun demikian, banyak ditemukan kasus anak jalanan yang bukan berasal dari

keluarga miskin dan tidak mengalami kekerasan dalam keluarga, tetapi justu

(18)

ini umumnya identik dengan soal gaya hidup dan kehendak si anak sendiri untuk

mencari kebebasan (YLPS HUMANA, 2004:14).

Selanjut menurut Surjana (dalam Siregar, dkk., 2006:26) menyebutkan

bahwa faktor yang mendorong anak turun ke jalan terbagi dalam tiga tingkatan,

yakni:

1. Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarga. Sebab-sebab yang bisa diidentifikasikan dari anak

adalah lari dari rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan

orang tua yang terbiasa dengan mengunakan kekerasan, seperti sering

menampar, memukul, menganiaya karena kesalahan kecil, jika sudah

melampaui batas toleransi anak, maka anak cenderung memilih keluar dari

rumah dan hidup di jalanan), disuruh bekerja dengan kondisi masih

sekolah atau disuruh putus sekolah, dalam rangka bertualang,

bermain-main atau diajak teman. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah

terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, salah

perawatan dari orang tua sehingga mengalami kekerasan di rumah

(childabuse) kesulitan berhubungan dengan keluarga karena terpisah dari

orang tua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari anak

maupun keluarga ini salaing terkait satu sama lain.

2. Tingkat meso (underlying cause), yaitu anak turun ke jalanan dilatar belakangi oleh faktor di masyarakat seperti kebiasaan mengajarkan untuk

bekerja sehingga suatu saat menjadi keharusan kemudian meninggalkan

(19)

masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu meningkatkan

ekonomi keluarga. Menurut Suparlan, 1993 (dalam Pramuchtia, 2008:11),

sekali kebudayaan kemiskinan tersebut tumbuh, ia cenderung

melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melalui pengaruhnya

terhadap anak-anak. Ketika anak-anak di wilayah slum brumur enam atau

tujuh tahu, mereka biasanya menyerap nilai-nilai dasar dan sikap-sikap

dari sub-kebudayaan mereka dan secara kejiwaan tidak sanggup

memanfaatkan kondisi-kondisi perubahan dan memberikan

kesempatan-kesempatan yang mungkin terjadi dalam hidup mereka. Hal ini terlihat

dari penelitian Handoyo dkk, 2004 (dalam Pramuchtia, 2008:11), bahwa

anak jalanan yang turun ke jalan pada usia dini (3 sampai 10 tahun) adalah

mereka yang mengikuti aktivitas orang mencari nafkah.

3. Tingkat makro (basic cause), memberikan penjelasan seperti peluang pekerjaan pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal

dan keahlian besar, urbanisasi, biaya pendidikan yang tinggi, dan belum

adanya kesamaan persepsi instansi pemerintah terhadap anak jalanan. Oleh

karenanya, anak dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya

cenderung memilih untuk turun ke jalanan yang tidak memerlukan

keahlian besar.

Lubis, dkk, 2006, kemudian menjelaskan beberapa faktor berpengaruh

terhadap anak turun ke jalanan ialah faktor kemiskinan dan faktor sosial.

(20)

Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak ke

jalanan. Hal tersebut terjadi karena adanya keluarga anak jalanan yang

merasa tidak mampu memberikan hak dasar untuk tumbuh kembang anak.

Alasan-alasan tersebut antara lain:

a. Jumlah beban anggota keluarga lebih tinggi dibandingkan dengan

pendapatan orang tua.

b. Ketidakmampuan keluarga mengelola keuangan untuk melihat

prioritas pengeluaran rumah tangga.

c. Urbanisasi, yakni kota yang padat penduduknya dan banyak keluarga

bermasalah, baik masalah ekonomi, sosial dan pendidikan rendah

membuat sebagian anak-anak mereka turun ke jalan.

2. Faktor sosial

Beberapa faktor sosial yang mempengaruhi anak turun ke jalan antara lain:

a. Adanya pembiaran dari orang tua terhadap anak yang meninggalkan

sekolah dan menimati kehidupan jalanan. Orang tua berfikir pragmatis,

ketika anak mampu mencari uang untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya maka hal tersebut dirasa sangat menguntungkan, apalagi

anak bisa memberikan setoran kepada orang tua maka pujianpun akan

diberikan.

b. Anak-anak sejak usia dini telah diperkenalkan dengan kehidupan

jalanan, kondisi tersebut berpengaruh terhadap perkembangan fisik,

(21)

c. Anak tidak menemukan tempat yang menyenangkan untuk bermain,

belajar dan berinteraksi sosial dengan teman-temannya. Anak-anak

kecewa dengan kehidupan keluarga dan sekolah yang tidak menjawab

kepentingan dan kebutuhan anak.

d. Anak-anak tidak mendapat perhatian, kasih sayan dan perlindungan

dari tindakan eksploitasi serta kekerasan di dalam rumah tangga.

Kemudian anak memilih jalan pintas lari dari rumah meski tanpa

tempat tujuan yang pasti (PKPA, 2011:26).

2.2.4. Resiko Anak Jalanan

Menjadi anak jalanan selalu penuh dengan resiko. Resiko tersebut ada

yang ditimbulkan oleh relasi anak dengan lingkungan fisik (spasial), relasi anak

dengan lingkungan sosial budaya, atau relasi anak dengan struktur atau aparatus

kekuasaan. Dengan demikian ruang-ruang publik perkotaan dengan segala macam

interaksi yang terjadi di dalamnya selalu berpotensi mengancam keselamatan

anak-anak yang banyak menghabiskan waktu di dalamnya. Sejauh ini ada beberap

macam resiko yang dialami anak jalanan, antara lain: korban operasi tertib sosial,

korban kekerasan orang dewasa, kehilangan pengasuhan, resiko penyakit,

kehilangan kesempatan pendidikan, eksploitasi seksual dan berkonflik dengan

hukum (YLPS HUMANA, 2004:24).

Darwansyah (2012), menyebutkan akibat yang ditimbulkan bagi sang anak

di jalanan adalah:

1. Perkembangan dan pembentukan kepribadian anak tidak berjalan dengan

(22)

tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh,

sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia

jalanan yang keras, sehingga hal ini akan berpengaruh negatif terhadap

perkembangan dan pembentukan kepribadian sang anak.

2. Anak-anak jalan pada umumnya menjadi pribadi yang introvert (tidak

terbuka), cenderung sukar mengendalikan diri, dan lebih bersifat asosial.

3. Bagi anak jalanan perempuan seringkali mereka dijadikan sebagai tempat

pelampiasan kebutuhan seksual para preman (lelaki dewasa yang

sama-sama tinggal di jalanan), atau bahkan mereka dijual sebagai pelacur.

4. Menjadi subjek dan objek kriminalitas. Seorang anak jalan seringkali

dimanfaatkan oleh para preman untuk mencari uang sebanyak -banyaknya

dengan cara yang tidak benar seperti mencurui dan merampas. Dan

kadang-kadang anak jalanan yang tidak patuh dengan orang yang

menyuruhnya bisa menerima perlakuan kriminal seperti dipukul dan

dianiaya atau bahkan diperkosa bagi anak jalanan perempuan.

5. Kehidupan masa depan sang anak tidak terjamin karena tidak dibekali oleh

pengetahuan dan keterampilan yang cukup ketika masih kecil. Bahkan

dapat dikatakan anak-anak jalanan itu tidak mempunyai masa depan.

Selamanya mereka akan berada di jalanan dan akan sulit sekali bagi

mereka untuk keluar dari kehidupan jalanan.

6. Pendidikan formal sang anak tidak maksimal karena mereka mungkin

lebih memilih untuk berada di jalanan daripada di sekolah dengan berbagai

(23)

2.3. Pendekatan Penyelesaian Anak Jalanan

Berbagai upaya yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam usaha

mengatasi anak jalanan di perkotaan dilaksanakan dengan melibatkan semua

unsur yang terkait baik instansi pemerintah, International Labour Organization (ILO) maupun organisasi kemasyarkatan non pemerintah (NGO) yang fokus

dalam upaya pendampingan dan perlindungan pekerja anak (Jauchar, 2008:155).

Sementara itu Twikromo 1999 (dalam Jauchar, 2008:155), melihat bahwa

setidaknya ada dua pendekatan yang lazim digunakan dalam menanggulangi

masalah anak jalanan yaitu: Pertama, Penanggulangan preventif. Biasanya dibawa kesituasi formal, cara semacam ini cenderung dilaksanakan didalam kelas dengan

jumlah peserta yang cukup besar, seperti situasi formal yang mana bimbingan,

latihan dan pendekatan bisa diselenggarakan secara individual di jalan-jalan, dan

Kedua, Penanggulangan represif. Dilakukan secara terorganisir dan instansi pemerintah untuk mengurangi atau mencegah meluasnya pengaruh masalah anak

jalanan seperti razia. Upaya penanggulangan secara represif biasanya

dilaksanakan oleh pemerintah kota ketika melihat aktifitas anak jalanan telah

menggangu ketertiban umum/perkotaan.

Menurut Jauchar (2008: 161-163), guna mengatasi permasalahan anak

jalan, terdapat tiga startegi penanggulangan anak jalanan melalui identifikasi dan

pengembangan kelompok sasaran yang diharapkan mampu mengakomodir

beebagai segmen usia yang ada dalam anak jalanan. Ketiga strategi itu adalah:

1. Pengembangan pendidikan formal/non formal

2. Pengembangan kemampuan permodalan

(24)

Strategi pertama berupa pengembangan pendidikan formal/non formal

lebih diajukan pada anak-anak jalanan usia sekolah (5-9 tahun dan 10-14 tahun)

yaitu agar mereka tetap dapat melanjutkan sekolahnya dan berada dalam

lingkungan sekolah dan keluarga. Dalam strategi ini instansi terkait tidak hanya

bekerja sendiri, akan tetapi juga menjalin kerjasama dengan lembaga swadaya

masyarakat yang fokus dalam bidang pendampingan dan perlindungan anak.

Strategi kedua terkait dengan kemampuan permodalan yang ditujukan

pada anak-anak jalanan yang sudah dro out dari sekolah dan usia sudah tidak

memungkinkan untuk melanjutkan sekolah. Melalui strategi ini anak -anak jalanan

diberi pelatihan keterampilan dan permodalan baik secara kelompok maupun

perorangan. Upaya pengembangan strategi ini dilaksanakan dengan pola

kemitraan dengan lembaga-lembaga terkait yang memilik kompetensi dalam

bidang usaha tertentu. Usia anak jalanan yang mendapatkan program ini terutama

bagi mereka yang berusia antara 16-19 tahun. Hal ini dilaksanakan dengan asumsi

bahwa mereka akan segera memasuki masa remaja yang berarti pola pikir mereka

diharapkan dapat berkembanga untuk beralih berwirausaha dan tidak lagi berada

di jalanan.

Strategi ketiga adalah pengembangan kelembagaan ekonomi kerakyatan.

Anak-anak jalanan yang semula berusaha secara individu, didorong agar mau

berusaha secara berkelompok maupun perorangan. Pembentukan kelompok

maupun jenis usaha yang akan dilaksanakan hendaknya muncul dari aspirasi

mereka sendiri. Peran institusi pemerintah maupun lembaga-lembaga

pemberdayaan dilaksanakan terbatas pada upaya pendampingan dan monitoring

(25)

bimbingan sehingga keterlibatan mereka dalam kelompok murni karena kesaan

visi dan sehingga terjalin susana kondusif dalam melaksanakan usaha-usahanya.

2.4.Kerangka Pemikiran

Pemenuhan kebutuhan perlindungan anak, baik itu perlindungan,

perawatan, hak asuh, dan kebutuhannya sering terkendala oleh berbagai faktor

yang menyebabkan anak turun ke jalan. Berbagai faktor tersebut dibagi dalam tiga

tingkatan, yakni tingkat mikro, tingkat messo, dan tingkat makro.

Tingkat mikro memberikan penjelasan bahwa anak memilih untuk turun

ke jalanan lebih dilatar belakangi oleh anak itu sendiri, yaitu seperti lari dari

rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan orang tua yang terbiasa

dengan menggunakan kekerasan, seperti sering menampar, memukul, menganiaya

karena kesalahan kecil, jika sudah melampaui batas toleransi anak, maka anak

cenderung memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan), disuruh bekerja

dengan kondisi masih sekolah atau disuruh putus sekolah, berpetualang, atau

bermain-main. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah penelantaraan,

ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, salah perawatan dari

orang tua sehingga mengalami kekerasan di rumah (childabuse), serta kesulitan berhubungan dengan keluarga karena terpisah dari orang tua. Permasalahan atau

sebab-sebab yang timbul baik dari anak maupun keluarga ini saling terkait satu

sama lain.

Tingkat messo memberikan penjelasan bahwa anak turun ke jalanan

dilatar belakangi oleh faktor masyarakat (lingkungan sosial) seperti kebiasaan

(26)

kemudian meninggalkan sekolah. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah

pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu

meningkatknan ekonomi keluarga. Oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk

bekerja pada masyarakat lain seperti pergi ke kota untuk bekerja, hal ini sudah

menjadi kebiasaan pada masyarakat dewasa dan anak-anak.

Tingkat yang terakhir, yakni tingkat makro memberikan penjelasan seperti

peluang pekerjaan pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal

dan keahlian besar, biaya pendidikan yang tinggi dan perilaku guru yang

diskriminatif, dan belum adanya kesamaan persepsi instansi pemerintah terhadap

anak jalanan. Oleh karenanya, anak dengan keterbatasan kemampuan yang

dimilikinya cenderung memilih untuk turun ke jalanan yang tidak memerlukan

(27)

Untuk memperjelas alur pemikiran tersebut, Peneliti membuat bagan yang

menggunakan kerangka pemikiran tersebut sebagai berikut:

Bagan Alur Pikir

Anak

Tingkat Mikro:

Anak dan Keluarga

Tingkat Meso:

Lingkungan Sosial

Tingkat Makro:

Peluang pekerjaan, pendidikan, dan pemerintah

(28)

2.5. Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya

menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan diteliti, untuk

menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang akan dijadikan

objek penelitian. Dengan kata lain, Penulis berupaya membawa para pembaca

untuk memaknai konsep sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh

Penulis. Jadi, definisi konsep ialah pengertian yang terbatas dari suatu konsep

yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011:138).

Untuk lebih memahami pengertian konsep-konsep yang akan digunakan,

maka penulis membatasi konsep-konsep tersebut sebagai berikut:

1. Faktor adalah sesuatu yang mempengaruhi atas terjadinya hal tertentu.

2. Faktor dominan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang lebih

mempengaruhi atas terjadinya hal tertentu dibandingkan faktor lainnya.

3. Anak jalanan adalah anak yang berusia 6-18 tahun yang menghabiskan

seluruh ataupun sebagian besar waktunya di jalanan untuk bermain

maupun bekerja, yang tinggal bersama orang tuanya ataupun yang tinggal

terpisah dari orang tuanya

4. Faktor-faktor anak menjadi anak jalanan adalah sesuatu hal yang

mempengaruhi seorang anak dengan umur 6-18 tahun dalam

menghabiskan seluruh ataupun sebagian besar waktunya di jalanan untuk

bermain maupun bekerja, yang tinggal bersama ataupun terpisah dari

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga yang selalu memberikan dukungan, secara khusus kepada Ibunda tercinta yang menjadi alasan utama saya bertahan menjalani proses perkuliahan dengan berbagai

1) Kelompok anak yang hidup di jalanan.. a) Menghabiskan seluruh waktunya di jalanan. b) Hidup dalam kelompok kecil atau perorangan. c) Tidur di ruang-ruang atau cekungan di

Kurangnya keterlibatan pihak keluarga/kerabat juga menjadi faktor yang sangat mempengaruhi, dibuktikan dari pernyataan informan kunci bahwa tidak ada pihak keluarga/kerabat

mengetahui permasalahan anak jalanan melalui penelitian yang berjudul “ Faktor- Faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan (Studi Kasus di Terminal Amplas Kota Medan) ”.

masalah anak jalanan adalah salah satu permasalahan sosial yang akut.

Langkah-langkah apa saja yang telah dilakukan dalam rangka menangani, mencegah, dan mengurangi anak yang menjadi anak jalanan di Kelurahan Sei Mati. Jelaskan

Oleh karenanya, anak jalanan merupakan anak yang dipaksa keberadaannya oleh suatu keadaan (faktor ekonomi, keharmonisan, keluarga, kriminalitas, dan sebagainya) yang ia

Sedangkan seseorang yang berasal dari keluarga yang premitif (keluarga yang tidak terlalu menjaga anknya dan menerima perilaku anak ) cenderung akan mudah untuk terlibat