• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (Sebuah Kajian Stilistika)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (Sebuah Kajian Stilistika)"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK

KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE

(Sebuah Kajian Stilistika)

SKRIPSI

Oleh:

WAHYUNINGTYAS DEWI INTANSARI

K1208051

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Wahyuningtyas Dewi Intansari

NIM : K1208051

Jurusan/Program Studi : PBS/Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia

menyatakan bahwa skripsi saya berjudul ”ANTOLOGI PUISI O AMUK

KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (SEBUAH KAJIAN

STILISTIKA)” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu,

sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam daftar pustaka.

Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil

jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, Agustus

2012

Yang membuat

pernyataan,

(3)

commit to user

iii

ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK

KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE

(Sebuah Kajian Stilistika)

Oleh:

WAHYUNINGTYAS DEWI INTANSARI

K1208051

Skripsi

diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(4)

commit to user

iv

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Surakarta, Agustus 2012

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Budhi Setiawan, M. Pd. Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum.

(5)

commit to user

v

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari : Jumat

Tanggal : 10 Agustus 2012

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dr. Kundharu

Saddhono, S.S., M. Hum. _______________

Sekretaris : Drs.

Swandono., M. Hum. _______________

Anggota I : Dr. Budhi

Setiawan, M. Pd. _______________

Anggota II : Dr. Nugraheni

Eko W., M. Hum. _______________

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

a.n. Dekan,

Prof. Dr. rer.nat. Sajidan, M. Si.

(6)

commit to user

vi

OTTO

Introspeksi diri merupakan cara yang tepat

untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kelemahan.

Sahabat sejati tidak seperti bayangan. Ketika kita berada di tempat yang

terang dia berdiri tegak di belakang kita, akan tetapi ketika kita berada dalam

kegelapan dia hilang entah kemana.

Menangis mungkin tidak akan pernah menyelesaikan sebuah

permasalahan, tetapi itu lebih baik daripada kita mengeluarkan kemarahan yang

justru akan memperburuk keadaan.

Kadang-kadang sesuatu yang membuat kita tidak dihargai oleh orang lain

adalah karena kita kurang atau tidak bisa menghargai diri sendiri.

Keberhasilan berawal dari kepercayaan kita terhadap rahmat dan

(7)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Teriring syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk :

”Bapak Sutidjab, Ibu Sri Lestari serta Almarhumah Uti”

Untuk doa yang tiada putus dalam setiap langkahku, kasih sayang serta

pengorbanan yang tidak terbatas. Semuanya tidak akan pernah terganti bahkan

jika seluruh hidupku ku abdikan pada kalian. Semoga karya ini mampu menjadi

kebanggaan dan pengganti peluh serta cucuran air mata yang tertumpah untukku.

“Mas Yudo, Mas Wawan, Mas Andung dan Mas Didit”

Keempat kakak laki-laki yang selalu mendukung dan memberikan

semangat sehingga aku mampu menyelesaikan setiap tantangan dalam hidupku.

”Mbak Naning, Mbak Dian, Mbak Loly dan Mbak Yuyun”

Untuk nasihat dan pengalaman hidup yang telah dibagi. Terimakasih pula

telah menjadi bagian dari Keluarga Sutidjab.

”Arya, Raya dan Raka”

Untuk keceriaan dan celoteh riang yang mampu memberikan inspirasi

untuk Bulik dalam menulis.:)

”seseorang yang mengisi salah satu sudut hati”

Untuk kesabaran yang tidak pernah habis dan untuk hari-hari yang telah

(8)

commit to user

viii

ABSTRAK

Wahyuningtyas Dewi Intansari. ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK

KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (SEBUAH KAJIAN STILISTIKA). Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.Juli 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) gaya bunyi, 2)

gaya kata, 3) gaya kalimat dan 4) citraan dalam antologi puisi O Amuk Kapak

karya Sutardji Calzoum Bachrie.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data, menganalisis dan menginterpretasikan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Data yang diperoleh berupa dokumen yang terurai dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka. Objek penelitian adalah tujuh puisi yang terdapat dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie. Teknik pengumpulan data adalah dengan simak, catat dan studi pustaka. Validitas data menggunakan teknik triangulasi teori. Analisis data menggunakan teknik analisis mengalir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam puisi-puisi Sutardji: (1) gaya bunyi mendominasi, hal ini ditunjukkan dengan adanya aliterasi dan asonansi dalam setiap puisi; (2) gaya kata sederhana mendominasi keseluruhan puisi, majas yang digunakan adalah majas hiperbola, sinekdoke, personifikasi; (3) gaya kalimat yyang sederhana tampak dalam masing-masing puisi, sarana retorika yang terdapat dalam baris-baris puisi adalah repetisi atau pengulangan, erotesis atau pertanyaan retorika, gaya bahasa klimaks dan polisindeton; (4) citraan yang digunakan dalam puisi bervariasi, semua jenis citraan muncul dalam puisi tersebut.

Simpulan penelitian ini adalah gaya bunyi yang terdapat dalam puisi-puisi tersebut meliputi asonansi, aliterasi, dan kakafoni. Gaya kata didominasi oleh kata sederhana yang bermakna denotatif. Bahasa figuratif yang digunakan antara lain sinekdoke, personifikasi, hiperbola dan metafora. Gaya kalimat yang muncul dalam puisi didominasi dengan kalimat sederhana. Gaya retorika yang terdapat dalam puisi adalah repetisi, erotesis, polisindeton, dan klimaks. Citraan merupakan aspek yang sangat mendominasi dalam puisi-puisi tersebut. Citraan yang tampak meliputi citraan perabaan, citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak, citraan pencecapan dan citraan intelektual.

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi

ilmu pengetahuan, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul ”ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK

KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (SEBUAH KAJIAN

STILISTIKA)”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk

mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat uluran tangan dan

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan penuh kerendahan dan ketulusan

hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni.

3. Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

4. Dr. Budhi Setiawan, M. Pd., selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan

motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Nugraheni Eko W., S. S., M. Hum., selaku Pembimbing II, yang selalu

memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Drs. Swandono., M. Pd., selaku Pembimbing Akademik yang selalu

memberikan semangat dan dukungan.

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

sudi membagi ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang dimiliki

sehingga menjadi bekal berharga bagi penulis.

8. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan serta para

petugas Perpustakaan Pusat UNS atas pelayanan yang telah diberikan.

9. Teman-teman P. Bastind khususnya angkatan 2008 atas kebersamaan,

(10)

commit to user

x

10.Bapak Ibu tercinta, serta keluarga besarku yang telah membantu doa dan

berbagai pengorbanan serta kasih sayang di dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak

mungkin disebutkan satu persatu.

Akhirnya, penulis sepenuhnya menyadari bahwa di dalam penelitian ini

masih ada kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Oleh

karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua

pihak untuk sempurnanya skripsi ini. Meskipun demikian, penulis berharap

semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Surakarta, Agustus 2012

(11)

commit to user

c. Karakteristik Puisi-puisi Sutardji C. B. ... 16

2. Stilistika ... 18

a. Hakikat Stilistika ... 18

(12)

commit to user

xii

c. Tujuan Stilistika ... 49

B. Penelitian Relevan ... 50

C. Kerangka Berpikir ... 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 56

A. Tempat danWaktu Penelitian ... 56

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 57

C. Data dan Sumber Data ... 57

D. Teknik Sampling ... 57

E. Pengumpulan Data... 58

F. Validitas Data ... 58

G. Analisis Data ... 58

H. Prosedur Penelitian ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Deskripsi Data ... 61

B. Analisis Stilistika Puisi ... 62

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 104

A. Simpulan ... 104

B. Implikasi ... 105

C. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 107

LAMPIRAN ... 110

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ... 56

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

(15)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan hasil cipta, karya dan karsa manusia. Sastra sebagai hasil

kreasi manusia dapat pula diartikan sebagai buah pemikiran yang menunjukkan

keluhuran budi, kepekaan terhadap keadaan sosial dan merupakan sarana bagi

manusia untuk mengungkapkan pemikiran yang dibingkai dengan keindahan.

Sastra sebagai hasil pekerjaan seni manusia tidak akan pernah lepas dari bahasa

yang merupakan media utama dalam karya sastra. Bahasa dan manusia erat

kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering bermula dari persoalan

dan permasalahan yang ada pada manusia dan lingkungannya, kemudian dengan

adanya imajinasi yang tinggi seorang pengarang menuangkan masalah-masalah

yang ada di sekitarnya menjadi sebuah karya sastra. Sastra sebagai sarana

komunikasi memiliki beberapa kelebihan, yaitu mampu menyampaikan makna

secara lugas dan tersirat. Kelebihan inilah yang membuat sastra tidak hanya

dinikmati keindahannya akan tetapi juga dipergunakan sebagai sarana komunikasi

antara penyair dengan penikmat karya sastra tersebut.

Karya sastra merupakan sebuah fenomena dan produk sosial sehingga yang

terlihat dalam karya sastra adalah sebuah entitas masyarakat yang bergerak, baik

yang berkaitan dengan pola struktur, fungsi, maupun aktivitas dan kondisi sosial

budaya sebagai latar belakang kehidupan masyarakat pada saat karya sastra itu

diciptakan (Tarigan, 2011: 67). Selanjutnya Endraswara (2011: 6), mengatakan

bahwa pada dasarnya antara sastra dan masyarakat terdapat hubungan yang

hakiki. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: (a) karya sastra

dihasilkan oleh pengarang, (b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat,

(c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) hasil

karya itu dapat dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

Bahasa sebagai medium dalam karya sastra mempunyai peran sentral,

selain sebagai sarana komunikasi juga harus memenuhi aspek estetika. Berbagai

(16)

commit to user

disiasati, didayagunakan dan dimanipulasi sehingga tampil berbeda dengan bahasa

dalam karya nonsastra. Meskipun demikian, bahasa sastra tidak secara mutlak

menggunakan kalimat-kalimat konotatif. Kalimat denotatif tetap diperlukan selain

juga didukung dengan adanya kalimat konotatif untuk mencapai aspek estetika.

Salah satu karya sastra yang mempunyai keunikan, baik dari bentuk fisik

maupun pilihan katanya adalah puisi. Sebuah puisi mampu mengungkapkan isi

atau makna dari sebuah prosa yang terdiri dari ribuan kata. Puisi merupakan

rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang terpenting, diekspresikan dan

diubah dalam wujud yang berkesan (estetis). Kekuatan itulah yang menyebabkan

sebuah puisi memiliki kekuatan komunikasi literer yaitu tindak komunikasi yang

membutuhkan intensitas intelektual. Dengan demikian, akan dihasilkan puisi yang

merupakan perwakilan perasaan penyair dan pendokumentasian

peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar penyair.

Puisi merupakan salah satu media dalam karya sastra yang menggambarkan

kehidupan dengan mengangkat masalah sosial dalam masyarakat. Persoalan sosial

tersebut merupakan tanggapan atau respon penulis terhadap fenomena

permasalahan yang ada di sekelilingnya, sehingga dapat dikatakan bahwa seorang

penyair tidak bisa lepas dari pengaruh sosial budaya masyarakatnya. Latar sosial

budaya itu terwujud dalam tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem

kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan masyarakat, kesenian dan benda-benda

kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.

Eksistensi puisi di nusantara merupakan bukti bahwa puisi adalah jenis

karya sastra tertua. Perkembangan puisi dari masa ke masa menjadikan puisi

berkembang menjadi beragam jenis dengan karakteristik yang menyertai dan

membedakan masing-masing jenis. Jenis karya seni ini masing-masing

mempunyai ciri untuk mengungkapkan tujuan. Puisi merupakan suatu karya sastra

yang banyak digunakan untuk tujuan tersebut di samping karya seni lain. Puisi

sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium untuk mengungkapkan

makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yakni tanda-tanda yang

(17)

commit to user

Kepiawaian penyair dalam memilih kata dan menyusunnya mengambil

peran yang sangat penting dalam tercapainya makna atau maksud dari penulisan

puisi. Penulisan puisi bersifat khas yang membedakannya dengan bentuk prosa.

Penyajian puisi umumnya lebih mengutamakan imajinasi yang ditimbulkan.

Manipulasi bunyi dipergunakan untuk memperoleh keserasian bunyi dan irama

sehingga aspek keindahan dapat terwujud dalam sebuah puisi.

Kecermatan pengarang dalam mendayagunakan dan memanipulasi bunyi

akan menghasilkan suatu ciri khas dalam karyanya, yang disebut dengan gaya

bahasa. Gaya bahasa pada masing-masing periode penyair berbeda sebagai

cerminan kedalaman intuisi dan pengalaman. Penggunaan gaya bahasa yang

berbeda dalam mengunggapkan sebuah tema yang sama akan menghasilkan karya

yang berbeda.

Pada lingkupnya puisi diciptakan oleh seseorang dengan melukiskan dan

mengekspresikan watak-watak yang penting si pengarang, bukan hanya

menciptakan keindahan. Aminuddin (1997: 65) menyatakan dalam puisi misalnya

membutuhkan efek-efek emotif yang mempengaruhi karya sastra. Efek-efek

tersebut dapat diperoleh melalui aspek kebahasaan, paduan bunyi, penggunaan

tanda baca, cara penulisan dan lain sebagainya. Kriteria tersebut membantu dalam

menganalisis sebuah puisi.

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia puisi juga mengalami

perkembangan, sehingga muncullah jenis puisi kontemporer. Puisi kontemporer

merupakan puisi modern yang lepas dari aturan-aturan puisi lama dan

mengembalikan puisi kepada bentuk asalnya yaitu sebagai mantra. Salah satu

penyair yang terkenal melalui puisi kontemporer adalah Sutardji Calzoum Bachrie

dengan antologi puisinya yang berjudul O Amuk Kapak.

O Amuk Kapak merupakan antologi puisi kontemporer karya Sutardji

dalam kurun tahun 1966-1979. Puisi-puisi yang terdapat didalamnya sebenarnya

diterbitkan dalam tiga buku, yaitu O, Amuk, dan Kapak. Ketiga buku yang

kemudian dijadikan sebuah antologi puisi ini berisikan 67 puisi yang sangat

menarik dikaji karena susunan dan kata yang dipergunakan berbeda dengan karya

(18)

commit to user

Sutardji merupakan salah satu penyair fenomenal yang mengemukakan

jenis puisi kontemporer ketika para penyair lain memfokuskan puisinya pada

kedalaman makna. Sajak-sajaknya memperlihatkan seorang Sutardji sebagai

pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang

hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi

kata seperti dalam mantra.

Pemilihan kata, frasa, dan bunyi memegang peranan penting bagi puisi

kontemporer. Selain itu tipografi juga mendapat perhatian yang besar dari penyair

karena tata letak tiap kata menjadi penting dan mempengaruhi makna yang akan

dicapai. Ciri yang khas dari puisi modern pada umumnya inilah yang membuat

penulis tertarik untuk mengkaji puisi kontemporer pada antologi Puisi O Amuk

Kapak menggunakan sudut pandang stilistika yang mencoba menganalisis gaya

yang ditimbulkan dari penggunaan bahasa yang khas oleh pengarang.

Endraswara mengemukakan bahwa penelitian stilistika atau gaya bahasa

memang masih jarang dilakukan. Kalaupun ada yang pernah melakukan, biasanya

masih sepotong-potong dan kurang memadai (2011: 72). Bertolak dari pendapat

tersebut peneliti berkeinginan untuk berusaha mengkaji puisi kontemporer

menggunakan kajian stilistika. Puisi-puisi yang terdapat dalam antologi puisi O

Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie mencerminkan gaya yang khas dari

puisi kontemporer dan sesuai apabila dikaji menggunakan stilistika. Penelitian ini

dimulai dengan pendeskripsian gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat, dan citraan

sebagai wujud unsur kajian stilistika. Pengkajian terhadap empat aspek tersebut

diharapkan mampu memberikan sebuah kajian stilistika yang memadai dan

mampu mencapai tujuan penelitian stilistika, yaitu penilaian terhadap karya sastra

secara objektif dan ilmiah.Berdasarkan latar belakang di atas peneliti melakukan

penelitian yang dinyatakan dengan judul “Antologi Puisi O Amuk Kapak Karya

(19)

commit to user B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dalam penelitian ini

dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:

1. bagaimana gaya bunyi dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak?

2. bagaimana gaya kata dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak?

3. bagaimana gaya kalimat dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak?

4. bagaimana citraan dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas adalah:

1. mendeskripsikan gaya bunyi dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak.

2. mendeskripsikan gaya kata dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak.

3. mendeskripsikan gaya kalimat dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak.

4. mendeskripsikan citraan dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum

Bachrie ditinjau dari sudut pandang stilistika diharapkan dapat memberikan

manfaat, baik teoretis maupun praktis.

a. Manfaat Teoretis

Meletakkan dasar bagi penelitian stilistika karya sastra yang lain. Hasil kajian

stilistika ini memberikan kontribusi bagi pengembangan linguistik studi

maupun terapan sekaligus dalam analisis karya sastra.

b. Manfaat Praktis

a. Bagi Pembaca

Memberikan informasi kepada pembaca mengenai bentuk gaya bahasa

yang digunakan dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji

Calzoum Bachrie.

b. Bagi Penulis

Menambah pengetahuan mengenai pemakaian gaya bahasa dalam kata

(20)

commit to user

c. Bagi Pendidik

Menambah pengetahuan pendidik mengenai stilistika dan implikasinya

terhadap materi pembelajaran bahasa Indonesia.

d. Bagi Peserta Didik

Menambah wawasan peserta didik tentang stilistika dan pemanfaatan gaya

(21)

commit to user

Istilah puisi berasal dari Bahasa Yunani poeites, yang juga terdapat dalam

Bahasa Latin poeta yang artinya pembangun, pembentuk, pembuat. Pengertian ini

kemudian berkembang menjadi orang yang mencipta melalui imajinasinya, yang

bisa menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980: 10).

Puisi adalah salah satu karya seni yang tua. Puisi hidup sejak manusia

menemukan kesenangan dalam bahasa. Kesenangan inilah yang menciptakan

keindahan dalam puisi baik melalui susunan kata maupun pada pilihan kata (diksi)

yang digunakan. Puisi merupakan bahasa yang multidimensional, yang mampu

menembus pikiran, perasaan dan imaji manusia yang memiliki sifat dan ciri

tersendiri. Hal inilah yang membedakan puisi dengan karya sastra lainnya.

Waluyo (1995: 22) mengemukakan bahwa dibanding karya sastra yang

lain, puisi lebih bersifat konotatif. Hal inilah yang menyebabkan bahasa dalam

puisi menjadi multitafsir (poliinterpretable). Sifat multitafsir yang terdapat dalam

puisi ini justru menjadi kekuatan akibat pemadatan dan pengkonsentrasian

kekuatan bahasa dalam puisi.

Menurut Situmorang (1980: 7) puisi merupakan penghayatan kehidupan

manusia yang dipantulkan oleh penciptanya dengan segala pribadinya, pikirannya,

perasaannya, kemauannya dan lain-lain. Dengan demikian, puisi tidak hanya

menjadi salah satu jenis karya sastra akan tetapi lebih dari itu melalui puisi kita

bisa melihat pemikiran dan sudut pandang pengarang dalam menyikapi sebuah

permasalahan.

Richards (dalam Sumardjo dan Saini, 1986: 124-125) mengemukakan

bahwa ada empat arti puisi. Pertama arti lugas, yaitu pendapat menyair mengenai

pokok pembicarannya (tema puisi). Kedua arti yang berhubungan dengan

(22)

commit to user

yang berhubungan dengan nada, bagaimana penyair mengungkapkan pikiran dan

perasaannya, dalam hal ini ada dua faktor yang sangat mempengaruhi yaitu,

pokok pembicaraan dan orang yang diajak bicara. Arti yang keempat berhubungan

dengan apa yang diinginkan penyair terhadap pembaca, namun dalam hal ini tidak

selalu penyair menginginkan agar ia dapat mempengaruhi pembaca. Seringkali

penyair hanya ingin menuangkan pikiran dan perasaan pribadinya melalui

karyanya.

Berbeda dengan pendapat di atas, Blake dan Shelley (dalam Aminuddin,

1997: 13) mengemukakan bahwa puisi bukan dianggap sebagai imitasi kehidupan

melainkan sebagai simbolisasi nilai yang terkandung dalam kehidupan. Makna

yang terkandung dalam puisi bukan apa yang dilihat melainkan esensi dari apa

yang terlihat.

Kekuatan puisi tidak hanya diperoleh melalui pilihan kata yang dianggap

mewakili pesan atau arti puisi, tipografi atau bentuk puisi ternyata juga mampu

menyampaikan maksud yang ingin dicapai oleh penyair. Sehubungan dengan hal

tersebut, Semi (1993: 137) mengemukakan bahwa puisi adalah penjelmaan

pikiran dan perasaan serta pengalaman jiwa penyair dalam bentuk tertentu. Bentuk

itu adalah lambang yang mewakili angan-angannya. Meskipun demikian, menurut

Pradopo (1987: 3) orang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya

tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna,

yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa puisi

merupakan jenis karya sastra yang memiliki ciri khas, antara lain: bahasanya

padat tetapi kaya makna, dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik yang

merupakan seni menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan melalui medium kata

yang terbatas. Tantangan dalam menghasilkan puisi yang indah bukan hanya

terletak pada kecermatan merangkai kata akan tetapi juga ketercapaian irama

musikal yang merdu, padu dan harmonis, sehingga hal yang diungkapkan melalui

(23)

commit to user b. Unsur-unsur Pembangun Puisi

Puisi merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun

yang bersifat padu, saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang

lainnya. Unsur pembangun ini selanjutnya dibagi menjadi dua, yaitu struktur fisik

dan struktur batin puisi.

Struktur fisik puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, majas,

versifikasi, dan tipografi puisi. Sedangkan unsur batin puisi terdiri atas tema,

nada, perasaan dan amanat (Waluyo, 1995: 28).

Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Richards. Berbeda dengan

Waluyo, istilah yang digunakan adalah hakikat puisi yang terdiri atas tema, nada,

perasaan dan amanat dan metode puisi yang terdiri atas diksi, pengimajian, kata

konkret, majas, rima dan ritma.

Menurut Semi (1993: 107-108) bahwa bentuk fisik dan mental sebuah puisi

pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari tiga

lapisan. Pertama lapisan bunyi, yaitu lapisan lambang-lambang bahasa sastra yang

sering juga kita sebut sebagai bentuk fisik puisi. Kedua, lapisan arti, yaitu

sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang

terdiri dari lapisan bunyi bahasa. Lapisan ketiga yaitu lapisan tema yang

merupakan suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan

penyair, atau sesuatu efek tertentu yang didambakan penyair. Lapisan arti dan

tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental atau struktur batin sebuah

puisi.

Ada juga yang menyatakan bahwa unsur-unsur puisi secara bersamaan

tanpa ada pemisahan antara struktur batin dan struktur fisik. Badrun (1989: 6)

mengemukakan bahwa unsur puisi terdiri dari diksi, imajeri, sarana retorika,

bunyi, irama, tipografi, dan tema atau makna. Senada dengan pendapat Badrun,

Situmorang (1983: 27-36) juga menggabungkan unsur-unsur puisi menjadi judul,

arti kata, imajeri, simbol, bahasa figuratif, bunyi, rima, ritme (irama) dan tema.

Walaupun digabungkan antara struktur batin dan fisik sebenarnya apa yang

(24)

commit to user 1) Struktur Fisik Puisi

Struktur fisik puisi membahas bagaimana kreatifitas penyair dalam

menciptakan puisi. Oleh karena itu, Richards mengemukakan bahwa struktur fisik

ini sebagai metode puisi. Hal ini dapat dilihat pada pilihan kata penyair (diksi),

pengimajian, bagaimana kata-kata diperkonkret, penciptaan lambang dan kiasan

(majas), bagaimana versifikasi, serta bagaimana penyair menyusun tata wajah

puisi (tipografi) (Waluyo, 1995: 147). Unsur-unsur tersebut adalah sebagai

berikut:

a) Diksi

Pemilihan kata sangat erat kaitannya dengan hakikat puisi yang penuh

pemadatan. Oleh karena itu, penyair harus pandai memilih kata-kata. Penyair

harus cermat agar komposisi bunyi rima dan irama memiliki kedudukan yang

sesuai dan indah.

Menurut Waluyo (1995: 73) diksi dalam puisi memiliki peran yang sangat

penting. Pemilihan kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis sehingga

bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan katanya sekalipun maknanya

sama.

Selain itu, Tarigan (2011: 29) mengemukakan diksi adalah pilihan kata

yang digunakan oleh penyair. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang,

waktu, falsafah, amanat, efek, dan nada dalam suatu puisi. Pemilihan kata yang

tepat dapat menjelmakan pengalaman jiwa dengan setepat-tepatnya. Diksi juga

merupakan kode budaya asal penyair, yang menjadi sebagian kunci untuk

memahami puisi.

b) Citraan

Citraan atau pengimajian (imagery) merupakan penggunaan bahasa untuk

menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, pikiran

dan setiap pengalaman indera atau pengalaman indera yang istimewa. Dalam hal

ini yang dimaksud adalah citraan yang meliputi gambaran angan-angan dan

pengguna bahasa yang menggambarkan angan-angan tersebut, sedangkan setiap

(25)

commit to user

Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata konkret dan khas (Waluyo,

1995: 79). Secara spesifik menurut Tarigan (2011: 31) dalam menciptakan karya

penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga

merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa dan perasaan tersebut. Penyair

berusaha agar penikmat dapat melihat, merasakan mendengar, dan menyentuh apa

yang ia alami dan rasakan. Kajian citraan dalam rangka studi stilistika perlu

dilakukan karena studi stilistika mengkhususkan pada pemakaian bahasa secara

khusus (pemakaian gaya bahasa).

Pradopo (1987: 81-87) membagi citraan menjadi beberapa jenis yaitu (1)

visual imagery adalah citraan yang ditimbulkan oleh penglihatan, (2) auditory

imagery adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran, (3) citraan gerak

(movement imagery) yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yang secara

nyata tidak bergerak tetapi digambarkan mampu bergerak, (4) citraan yang

ditimbulkan oleh warna lokal (local colour). Imaji merupakan salah satu alat

kepuitisan yang digunakan oleh penyair untuk menarik perhatian pembaca bahkan

meyakinkannya terhadap realitas yang didendangkan melalui syairnya

(Situmorang, 1980: 20).

c) Kata-kata Konkret

Kata konkret merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat,

membayangkan dengan jitu apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang.

Penggunaan kata yang diperkonkret erat kaitannya dengan penggunaan bahasa

kiasan dan lambang. Kata konkret menurut Waluyo (1995: 81) merupakan syarat

atau sebab terjadinya pengimajian atau citraan.

Kepiawaian penyair dalam memperkonkret kata-kata maka pembaca seolah

dapat melihat, mendengar atau merasakan seperti apa yang dilukiskan oleh

penyair. Tarigan (2011: 32) mengungkapkan salah satu cara membangkitkan daya

bayang imajinasi para penikmat puisi adalah menggunakan kata-kata yang tepat,

kata yang dapat menyarankan suatu pengertian secara menyeluruh sehingga

(26)

commit to user

d) Bahasa Figuratif

Menurut Abrams (dalam Supriyanto, 2009: 55) bahasa figuratif adalah

penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang

dipakai sehari-hari, penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna

kata atau rangkaian kata untuk memperoleh beberapa arti khusus atau efek

khusus. Adanya bahasa kiasan menurut Pradopo (1987: 62) menyebabkan sajak

menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama

menimbulkan kejelasan gambar angan. Waluyo (1995: 83) mengemukakan bahwa

bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan

banyak makna. Bahasa figuratif merupakan sarana bagi penyair untuk mengatakan

sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung

mengungkapkan makna. Bahasa figuratif ialah cara yang dipergunakan penyair

untuk membangkitkan dan menciptakan imagery dengan mempergunakan gaya

bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya perlambang sehingga makin jelas

makna atau lukisan yang hendak dikemukakannya (Situmorang, 1983: 22).

Menurut Endraswara (2011: 73) terdapat dua macam bahasa kiasan atau

stilistik kiasan, yaitu gaya retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik meliputi

eufemisme, paradoks, tautologi, pleonasme, sarkasme dan sebagainya. Gaya

retorik menurut Kridalaksana (dalam Supriyanto, 2009: 55) merupakan alat untuk

memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu

dengan membandingkan atau mengasosiasikan dua hal. Gaya kiasan menurut

Abrams (dalam Supriyanto, 2009: 56) terdiri dari simile (perbandingan), metafora,

metonimi, sinekdoke dan personifikasi. Sementara itu, Pradopo (1987: 62)

membagi bahasa kias menjadi tujuh jenis yaitu perbandingan, metafora,

perumpamaan, epos, personifikasi, metonimi, dan alegori. Menurut Ratna (2009:

164) majas (figure of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud

penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan.

e) Verifikasi

Rima, ritme dan metrum mempunyai makna yang berkaitan yang kemudian

disebut dengan verifikasi. Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi yang

(27)

commit to user

Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi merdu dan menarik bila

dibaca. Rima memegang peranan penting dalam menciptakan keindahan sebuah

puisi. Menurut Semi (1993: 121) pengaruh rima dalam puisi sangatlah besar, ia

menyebabkan terjadinya rasa keindahan, timbulnya imajinasi, munculnya daya

pukau, dan lebih dari itu ia dapat memperkuat pengertian. Bentuk-bentuk rima

yang paling sering muncul adalah aliterasi, asonansi, dan rima akhir.

Bunyi-bunyi yang berulang, kemudian menimbulkan suatu gerak yang

teratur. Gerak yang teratur tersebut disebut ritme atau rhythm. Situmorang (1983:

22) mengemukakan bahwa irama atau ritme merupakan totalitas dari tinggi rendah

suara, panjang pendek suara, cepat lambatnya suara waktu membaca atau

mendeklamasikan sanjak. Masing-masing angkatan mempunyai perbedaan cara

mengulang hal-hal yang dipandang membentuk ritme.

Tarigan (2011: 35) mengatakan rima dan ritme memiliki pengaruh untuk

memperjelas makna puisi. Dalam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah

turun naiknya suara secara teratur. Sedangkan metrum adalah irama yang tetap,

pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo, 1987: 40). Selanjutnya

Short (1997: 127) mengemukakan bahwa metrum (metre) adalah lapisan ekstra

dari struktur irama pada puisi sebagai ciri khas.

Poetry has more marked, and more complex, rhythmic effecs than ordinary

language because it has an extra layer of rhythmic structuring, which is usually

called metre.

Selanjutnya Short (1997: 131) menambahkan jenis-jenis metrum yang

meliputi iamb (X/= „di dum‟), trochee (/X= „dum di‟), anapest (XX/= „di di

dum‟), dactyl (/XX= „dum di di‟).

f) Tata Wajah (tipografi)

Tata wajah atau tipografi merupakan salah satu ciri yang membedakan puisi

dengan karya sastra lain. Bentuk-bentuk puisi ini kemudian semakin berkembang

tidak hanya berbentuk konvensional yaitu bait namun mengikuti pemikiran

penyair yang semakin kreatif.

Istilah tipografi secara harfiah berasal dari seni mencetak dengan desain

(28)

commit to user

dengan unsur visual puisi yang mempunyai peranan cukup penting karena dapat

menarik perhatian pembaca. Selain itu tipografi dapat juga membantu pembaca

memahami makna atau situasi yang tergambar dalam puisi (1989: 87).

Menurut Waluyo (1995: 97) cara penulisan sebuah teks sebagai larik-larik

yang khas menciptakan makna tambahan. Makna tambahan itu diperkuat oleh

penyajian tipografi puisi. Dalam puisi-puisi Sutardji C. B. tipografi dipandang

begitu penting sehingga menggeser kedudukan makna kata-kata.

2) Struktur Batin Puisi

Struktur batin berperan untuk menjiwai sebuah puisi. Dalam hal ini

menurut Nurhayati (2008: 40-43) hakikat puisi terdiri atas beberapa komponen

yang membangun sebuah puisi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a) Tema (sense)

Tema merupakan gagasan atau ide pokok dalam suatu kajian puisi. Hal

yang menjadi pokok persoalan dalam puisi tersebut. Setiap puisi memiliki pokok

persoalan yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Pokok permasalahan

dalam sebuah puisi mengacu pada penyair.

Menurut Tarigan (2011: 10-11) dalam puisi memiliki subject matter yang

hendak dikemukakan atau ditonjolkan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh

pengalaman-pengalaman penyair. Makna yang terkandung dalam subject

matter adalah sense atau tema dalam puisi tersebut.Waluyo (1995: 107)

mengemukakan bahwa tema puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus.

Puisi sebagai hasil cipta penyair merupakan media yang digunakan oleh

penyair untuk berkomunikasi dengan pembacanya. Berbagai pengalaman, baik

yang dialami langsung maupun yang disaksikan oleh penyair dituangkan dalam

larik-larik puisi.

b) Perasaan (feeling)

Perasaan merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang terdapat

dalam puisinya. Dalam hal ini pada umumnya setiap penyair tentunya akan

(29)

commit to user

12) rasa (feeling) yaitu merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan

yang ada pada puisinya.

Pada kenyataanya setiap manusia mempunyai sikap dan pandangan tertentu

terhadap suatu permasalahan. Perasaan itulah yang kemudian dituangkan oleh

penyair dalam puisinya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu.

Perasaan (feeling) adalah gambaran perasaan yang dialami oleh penyair

dalam proses penciptaan puisinya. Perasaan yang diungkapkan penyair

berpengaruh terhadap pemilihan bentuk fisik (metode) puisi (Waluyo, 1995: 124).

c) Nada (tone)

Tarigan (2011: 13) mengemukakan bahwa nada adalah sikap penyair

terhadap pembaca puisi yang berkenaan dengan pokok permasalahan yang

dikemukakan dalam puisinya. Nada merupakan refleksi sikap penyair terhadap

pembacanya, baik suasana hati, dan pandangan moral, dan terkadang muncul pula

karakter kepribadian pengarangnya tercemin dalam puisi.

Penyair menunjukkan pula sikapnya kepada pembacanya, misalnya dengan

sikap menggurui, menyindir atau bersifat lugas. Dengan adanya nada pada puisi,

menurut Waluyo (1995: 130) menjadikan puisi bukan hanya ungkapan yang

bersifat teknis, namun suatu ungkapan yang bersifat total karena seluruh aspek

psikologis penyair turut terlibat.

d) Amanat (intention)

Amanat adalah hal yang dapat dipahami oleh pembaca setelah pembaca

memahami tema dan nada dari puisi tersebut. Amanat merupakan hal yang

mendorong penyair untuk menciptakan puisinya (Waluyo, 1995: 130). Dalam hal

ini penyair menciptakan puisinya dan amanat secara tidak langsung muncul

melalui tema yang diungkapkan. Amanat berhubungan dengan makna karya sastra

dan bersifat interpretatif, yaitu setiap orang bisa mempunyai penafsiran yang

(30)

commit to user

c. Karakteristik Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachrie

Periodisasi puisi terbagi manjadi beberapa angkatan. Pada masing-masing

angkatan terdapat karakteristik yang menjadi pembeda dan menjadi ciri khas.

Pada angkatan 1966, ciri yang dominan adalah puisi yang menggunakan kata-kata

sebagai mantra. Bentuk fisik puisi ditempatkan dalam kedudukan terpenting.

Untuk tujuan-tujuan tersebut, ada beberapa cara yang dilakukan oleh Sutardji

dalam puisinya yang kemudian disebut dengan puisi kontemporer.

Pada setiap puisi Sutardji terdapat penyimpangan-penyimpangan bahasa

yang sengaja dilakukan untuk menciptakan “keanehan” yang pada masa itu belum

pernah secara intensif dilakukan oleh penyair lain. Penyimpangan itu antara lain

berupa penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata,

penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan imbuhan, pembentukan jenis

kata dari jenis kata lain tanpa mengubah bentuk morfologinya. Penyimpangan ini

dapat ditemukan pada semua puisi ciptaan Sutardji (Pradopo, 1987: 106).

Penghapusan tanda baca menciptakan efek kegandaan tafsir dan

mengakibatkan bait-bait puisi sebagai mantra yang terdiri dari kata yang berulang,

berderet tanpa koma. Puisi yang tidak menggunakan tanda baca ini menarik

perhatian pembaca atau penikmatnya atas ucapan yang berturut-turut tersebut.

Contoh puisi yang menggunakan sedikit tanda baca adalah puisi Mantera.

(31)

commit to user

Tanda seru dalam puisi di atas digunakan untuk menegaskan serta

menambah efek puitis.

Puisi-puisi Sutardji juga mempunyai ciri kata yang digabungkan, sehingga

seolah-olah kata-kata tersebut menjadi satu kata dan mempunyai satu pengertian

yang tak terpisahkan. Penggabungan kata belum pernah dilakukan dalam dunia

puisi Indonesia. Efek yang ditimbulkan dari penggabungan kata adalah

penyangatan dan melebih-lebihkan.

Penghilangan imbuhan merupakan salah satu ciri Sutardji dalam

menciptakan puisinya. Tanpa imbuhan kata yang tersusun menjadi lebih berirama

dan mendapatkan daya ekspresi yang penuh karena kepadatannya.

Hal lain yang dilakukan Sutardji dalam puisinya yang kemudian menjadi

ciri pembeda dengan penyair lain adalah pemutusan kata. Kata-kata diputus-putus

menjadi suku kata atau dibalik suku katanya sehingga menarik perhatian dan

memberikan makna baru atau malah sebaliknya, kata-kata tersebut menjadi

kehilangan makna yang kemudian memunculkan sugesti kesia-siaan atau arti yang

tidak sempurna lagi. Sajak yang sangat terkenal dan menggunakan pemenggalan

kata adalah Tragedi Winka & Sihka. Dalam sajak tersebut kata “kawin” dan

“kasih” dipenggal-penggal sedemikian rupa dan disusun secara zigzag.

Kepiawaian Sutardji dalam membentuk kata-kata benda atau kata kerja

langsung menjadi kata keadaan atau sifat juga menjadikan puisi-puisi

kontemporer menjadi berbeda pada umumnya. Pada puisi yang berjudul Solitude

dapat dilihat kreatifitas Sutardji mengubah kata kerja menjadi kata sifat.

(32)

commit to user

samping yang paling Kau!

Dengan ucapan seperti di atas semua kata menjadi baru, segar dan

ekspresif. Selain itu bentuk yang berbeda dengan karya sastra, terutama puisi pada

umumnya menjadi sebuah ciri khas bagi karya Sutardji Calzoum Bachrie.

2. Stilistika

a. Hakikat Stilistika

Stilistika (stylistic) dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Secara

etimologis stylistic berhubungan dengan kata style yang berarti gaya. Aminuddin

(1997: 13) mengemukakan style dapat diartikan sebagai bentuk pengungkapan

ekspresi kebahasaan sesuai dengan kedalaman emosi dan sesuatu yang ingin

direfleksikan pengarang secara tidak langsung. Menurut Keraf (2000: 112) istilah

style yang berasal dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat tulis yang berkembang

maknanya menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan

kata-kata secara indah.

Dengan demikian stilistika adalah ilmu pemanfaatan gaya bahasa dalam

karya sastra, penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra, gaya

bahasa yang muncul ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa ini

merupakan efek seni dan dipengaruhi oleh hati nurani. Melalui gaya bahasa itu

seorang penyair mengungkapkan idenya. Pengungkapan ide yang diciptakan

melalui keindahan dengan gaya bahasa pengarangnya (Endraswara, 2011: 72-73).

Atmazaki (1990: 93) mengemukakan stilistika sebagai ilmu mengenai

penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berpusat kepada pemakaian bahasa.

Obyek kajiannya adalah karya sastra, karya yang sudah ada. Jadi kajian terhadap

suatu karya sastra dari sudut pandang stilistika tidak menyangkut bagaimana

proses penciptaan karya sastra tersebut.

Chvatik (dalam Aminuddin, 1997: 21) mengemukakan bahwa stilistik

sebagai studi bahasa dalam teks sastra merujuk pada bentuk penggunaan bahasa

sebagai kode estetik, sebagai hasil kreasi seni yang memiliki ciri semantis dan isi

(33)

commit to user

Style is the aesthetic quality of the highest semantic and content synthesis of a work which is realized in the aesthetic object throught the receptive activity of the receiver. Whithout an understanding of the style of a work its specific artistic semantic system, its over all artistic meaning, cannot be adequately interpreted.

Melalui ide dan pemikirannya pengarang membentuk konsep gagasannya

untuk menghasilkan karya sastra. Namun yang menjadi perhatian adalah

kompleksitas dari kekayaan unsur pembentuk karya sastra yang dijadikan sasaran

kajian adalah wujud penggunaan sistem tandanya.

Secara sederhana menurut Sudiman dikutip Nurhayati (2008: 8) “Stilistika

adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya

sastra”. Konsep utamanya adalah penggunaan bahasa dan gaya bahasa.

Bagaimana seorang pengarang mengungkapkan karyanya dengan dasar dan

pemikirannya sendiri.

Dalam hal ini untuk memahami konsep stilistik secara seksama Nurhayati

(2008: 7) mengemukakan pada dasarnya stilistika memiliki dua pemahaman dan

jalan pemikiran yang berbeda. Pemikiran tersebut menekankan pada aspek

gramatikal dengan memberikan contoh-contoh analisis linguistik terhadap karya

sastra yang diamati. Selain itu pula stilistika mempunyai pertalian juga dengan

aspek-aspek sastra yang menjadi objek penelitiannya adalah wacana sastra.

Stilistika secara definitif adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya

bahasa. Tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Dalam

pengertiannya secara luas stilistika merupakan ilmu tentang gaya, meliputi

berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia (Ratna, 2009: 167).

Menurut Situmorang (1980: 11) analisis stilistis berusaha memahami dan

menjelaskan lapis arti dengan kemungkinan gaya yang ditimbulkannya.

Ketatabahasaan memegang peranan penting dalam menimbulkan gaya.

Karya sastra pada analisis stilistika memiliki kaitan erat dengan bahasa

yang menjadi medium utamanya. Ratna (2009: 330) menyatakan bahwa analisis

yang baik adalah kajian yang memelihara keseimbangan antara prinsip linguistik

dan sastra kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian aspek estetis.

Dalam kajian stilistika hendaknya sampai pada dua hal yaitu makna dan

(34)

commit to user

sedangkan fungsi terbesit dari peranan stilistika dalam membangun karya

(Endraswara, 2011: 76).

Bradford (1997: 35) mengemukakan bahwa kritik baru dari stilistika tidak

hanya berkaitan dengan identifikasi fitur linguistik yang membuat puisi berbeda

dengan wacana lain, tapi dengan puisi sebagai bentuk signifikasi yang misterius

yang mengubah hubungan akrab antara bahasa dan makna.

New Critical stylistics is concerned not only with the identification of linguistic feature that make poetry different from other discourses, but with poetry as a form of signification which mysteriously transforms the familiar relationship between language and meaning.

Studi stilistika hanya terfokus pada aspek gaya, bahwa aspek gaya secara

esensial berkaitan dengan wujud pemaparan karya sastra sebagai bentuk

penyampaian gagasan pengarangnya. Penggunaan stilistika sebagai metode

analisis sastra adalah untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impresionistis

dan subjektif (Aminuddin, 1997: 42).

Sejalan dengan pernyataan di atas dalam kajian stilistik dipengaruhi oleh

karya sastra dan bentuk pendekatan yang digunakan. Nurhayati (2008: 13-20)

mengemukakan lima pendekatan yang dapat digunakan yaitu, sebagai berikut:

 Pendekatan Halliday

Dalam pendekatan ini Halliday mengilustrasikan bagaimana kategori-kategori

dan metode-metode linguistik deskriptif dapat diaplikasikan ke dalam analisis

teks-teks sastra seperti dalam materi analisis teks yang lainnya. Melalui hal ini

analisis bukan hanya kepada interprestasi atau evaluasi estetika terhadap

pesan-pesan sastra yang dianalisisnya tetapi hanya kepada deskripsi

unsur-unsur bahasa. Dalam kajiannya ia tidak mengungkapkan bagaimana

bentuk-bentuk verbal tersebut disusun sehingga berhubungan dengan bentuk-bentuk lainnya

(35)

commit to user

 Pendekatan Sinclair

Pendekatan ini searah dengan teori pendekatan Halliday. Ia menerapkan

kategori-kategori deskripsi linguistik Halliday. Sinclair mengemukakan

terdapat dua aspek yang berperan penting dalam pengungkapan pola-pola

intratekstual karya sastra.

 Pendekatan Goeffrey Leech

Leech mengemukakan bahwa karya sastra mengandung dimensi-dimensi

makna tambahan yang beroperasi pula di dalam wacana lainnya. Leech

mengungkapkan tiga gejala ekspresi sastra, yaitu cohesion, foregrounding,

dan cohesion of foregrounding. Ketiga gejala ekspresi ini menghadirkan

dimensi-dimensi makna yang berbeda yang tidak tercakup oleh deskripsi

linguistik dengan kategori-kategori normalnya. Cohesion merupakan

hubungan interatekstual antara unsur gramatikal dengan unsur leksikal yang

jalin-menjalin dalam sebuah teks sehingga menjadi sebuah unit wacana yang

lengkap. Foregrounding merupakan gejala khas yang hanya terdapat dalam

karya sastra. Sedangkan cohesion of foregrounding adalah

penyimpangan-penyimpangan dalam teks yang dihubungkan dengan bentuk lain untuk

membentuk pola-pola intratekstual.

 Pendekatan Roman Jakobson

Pendekatan ini menggolongkan fungsi puitik bahasa sebagai sebuah

penggunaan bahasa yang berpusat kepada bentuk aktual dari pesan itu sendiri.

Tulisan sastra tidak seperti bentuk-bentuk lainnya. Dalam tulisan sastra

ditemukan pesan yang berpusat pada pesan itu sendiri.

 Pendekatan Samuel R. Levin

Pendekatan Levin dalam analisis stilistika serupa dengan pendekatan Halliday

dan Sinclair yang berpusat pada analisis butir-butir linguistik. Levin juga

mengembangkan gagasan kesejajaran yang juga dikemukakan oleh Jakobson.

Dalam hal ini kesejajaran tersebut berlaku pada level fonologi, sintaksis, dan

(36)

commit to user

Sementara itu menurut Wellek dan Warren (dalam Sutejo, 2010: 7) paling

tidak ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan dalam mendekati dan

menganalisis stilistika. Pertama, diawali dengan analisis sistematis tentang sistem

linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan interpretasi tentang ciri-cirinya dilihat

dari tujuan estetis karya tersebut sebagai “makna total”.

b. Bidang Kajian Stilistika

Kajian stilistika dalam karya sastra terfokus pada bentuk dan tanda

linguistik yang terdapat pada sebuah karya sastra. Menurut Aminuddin (1997: 44)

karya sastra sebagai kajian stilistik antara lain terwujud sebagai tulisan, yang

dapat berupa kata-kata, tanda baca, gambar, serta bentuk tanda lain yang dapat

dianalogikan sebagai kata-kata.

Sudjiman (dalam Asis, 2010: 103) mengemukakan bahwa pusat perhatian

stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seseorang pembicara atau penulis

untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana.

Selanjutnya Junus (dalam Asis, 2010: 103) berpendapat bahwa gaya sebagai

penyimpangan dianggap sebagai pemakaian bahasa yang berbeda dari bahasa

biasa. Hal ini dapat dipahami sebagai pemakaian bahasa yang lain atau sebagai

pemakaian bahasa yang menyalahi tata bahasa. Dalam hal ini, penyimpangan

dapat dihubungkan dengan konsep licentia poeitica „kebebasan penyair‟ yang

dipahami sebagai kebebasan penyair atau penulis untuk melanggar hukum atau

tata bahasa. Jadi cara penyair dalam menyatakan maksud dan gaya bahasa

merupakan hal yang harus diperhatikan dalam kajian stilistika.

Keraf (2000: 112) berpendapat bahwa persoalan gaya bahasa meliputi

semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa dan

kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan.

Unsur-unsur stilistika sebagai tanda dapat berupa gaya bunyi (fonem), gaya

kata (diksi), gaya kalimat (sintaksis), gaya wacana (discourse), bahasa figuratif

(37)

commit to user

1) Gaya Bunyi (fonem)

Fonem merupakan unsur bahasa terkecil dalam satuan bahasa yang terbagi

menjadi dua, yaitu vokal (bunyi hidup) dan konsonan (bunyi mati).

Masing-masing fonem dapat menimbulkan atau membedakan arti tertentu. Misalnya

“suka” dan “duka”, memiliki makna atau arti yang berbeda karena adanya fonem

/s/ dan /d/. Fonem memegang peranan penting dalam penciptaan efek estetik pada

sebuah karya sastra khususnya pada genre puisi.

Pemanfaatan gaya bunyi pada sebuah karya sastra berhubungan erat dengan

irama dan rima. Timbulnya irama dalam sebuah puisi karena adanya asonansi dan

aliterasi yang menimbulkan orkestrasi bunyi yang menciptakan nada dan suasana

tertentu.

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi

vokal yang sama, dipergunakan untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar

keindahan. Misalnya: sepisau luka sepisau duri, sepikul dosa sepukau sepi.

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud pengulangan konsonan

yang sama. Misalnya: sepisau luka sepisau duri, sepikul dosa sepukau sepi

(Keraf, 2000: 130).

Masing-masing fonem dapat menciptakan suasana yang berbeda. Misalnya

saja fonem /a/ menciptakan nada dan suasana gembira sedangkan fonem /u/

menciptakan nada dan suasana sendu. Dalam sebuah puisi, orkestrasi bunyi dapat

menimbulkan apa yang disebut dengan efoni dan kakafoni. Efoni adalah

bunyi-bunyi yang merdu dan menyenangkan yang menciptakan musikalisasi bunyi-bunyi yang

indah. Sedangkan kakafoni adalah bunyi-bunyi parau, aneh, berat, kasar,

terkadang tidak menyenangkan dan tidak menimbulkan musikalisasi bunyi.

Walaupun demikian kakafoni tetap dibutuhkan untuk mencapai efek makna

tertentu.

Gaya bunyi sebagai unsur kajian stilistika adalah pemanfaatan bunyi-bunyi

tertentu sehingga menimbulkan orkestrasi bunyi yang indah. Menurut Aminuddin

(1997: 147) penggunaan bunyi dalam karya sastra, khususnya puisi meliputi

(38)

commit to user

suprasegmental. Dalam penelitian ini gaya bunyi meliputi rima (termasuk rima

vokal), irama, asonansi, aliterasi, efoni dan kakafoni.

2) Gaya Kata (diksi)

Diksi secara sederhana dapat dinyatakan sebagai pilihan kata yang

digunakan oleh penyair dalam puisinya. Puisi adalah bentuk karya tulis yang tidak

memakai banyak kata-kata, cendurung tidak deskriptif dan naratif, sehingga

pemilihan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan maksud dan nuansa tulisan

haruslah dicermati dengan seksama. Termasuk di dalamnya menghindari

pengulangan kata yang sama terlampau sering, pemilihan sinonim yang mewakili,

sampai ke penggunaan tanda baca dan susunan bahasa. Misalnya mengungkapkan

rasa kesepian, kata mana yang akan digunakan; sunyi, diam, nelangsa, sendiri,

sedih, sepi, senyap atau hening. Meski berkonotasi sama, tiap kata yang terpilih

akan memberi warna yang berbeda apabila disandingkan dengan kata-kata lainnya

dalam keseluruhan puisi.

Selanjutnya Keraf (2000: 24) mengemukakan bahwa diksi atau pilihan kata

mencakup tiga hal, yakni: (1) pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk

menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata

yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana

yang paling baik dalam suatu situasi; (2) kemampuan membedakan secara tepat

nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan

untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang

dimiliki kelompok masyarakat pendengar; (3) penguasaan sejumlah besar kosa

kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Berdasarkan pendapat di atas, makna diksi ternyata tidak hanya mencakup

pilihan kata akan tetapi juga meliputi kemampuan penggunaan kata secara tepat,

pengelompokkkan dan penyusunan kata serta penggunaan ungkapan dan gaya

bahasa untuk menimbulkan efek estetis dalam karya sastra.

Kata-kata yang digunakan dalam puisi umumnya sama saja dengan

(39)

commit to user

penggunaan kata dalam puisi adalah penempatannya serta penggunaannya

dilakukan secara hati-hati dan teliti serta lebih tepat.

Menurut Nurgiyantoro (1995: 290) gaya kata harus dibedakan apakah kata

tersebut kompleks atau sederhana, formal atau kolokial, denotasi atau konotasi.

Sebuah kata termasuk dalam kelompok gaya kata kompleks apabila dalam

melakukan pilihan kata mempertimbangkan bentuk dan makna, sehingga kata

yang digunakan mampu mengkomunikasikan makna, pesan serta gagasan yang

akan disampaikan. Selain itu pilihan kata yang digunakan tentu saja harus mampu

mendukung tercapainya tujuan estetis yang diinginkan oleh pengarang. Sedangkan

yang dimaksud dengan pilihan kata sederhana jika diksi yang digunakan hanya

untuk mencapai keindahan tanpa mempertimbangkan kata serta bentuknya.

Diksi formal adalah diksi yang mempertimbangkan aspek fonologis,

misalnya untuk kepentingan aliterasi, irama, dan efek bunyi tertentu. Diksi

dikatakan kolokial jika diksi yang digunakan mampu mewakili gagasan yang akan

disampaikan.

Makna kata denotatif dan konotatif merupakan aspek yang sangat penting

yang tidak boleh diabaikan dalam penelitian ini. Makna denotatif atau biasa

disebut makna lugas yaitu makna yang sesuai dengan kamus adalah makna kata

yang sebenarnya. Suatu kata dikatakan memiliki makna denotatif apabila kata

tersebut tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Sedangkan

konotasi atau makna konotatif merupakan makna kias. Sebuah kata mengandung

makna konotatif apabila kata tersebut mengandung arti tambahan, perasaan

tertentu atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum. Oleh karena

itu, pilihan kata atau diksi dalam karya sastra lebih banyak bertalian dengan

pilihan kata yang bersifat konotatif.

Kata sebagai unsur esensial dalam sebuah karya sastra mendapatkan

perhatian khusus dari para sastrawan karena tersampainya pesan atau gagasan

yang ingin disampaikan dipengaruhi oleh kata dan susunannya. Oleh karena itu,

dalam proses penciptaan karyanya para sastrawan sangat berhati-hati dalam

memilih kata dan menyusunnya. Sastrawan memilih kata dengan tepat agar kata

(40)

commit to user

Apalagi dalam proses penciptaan terjadi pemadatan kata, sehingga kata-kata yang

digunakan dalam puisi harus benar-benar dipilih secara cermat.

Chaer (2007: 68) mengemukakan permasalahan yang termasuk dalam

lingkup kajian mengenai diksi secara umum adalah: (a) kesamaan makna kata

(sinonimi); (b) kebalikan makna kata (antonimi); (c) ketercakupan makna

(hiponimi, hipernimi); (d) keberlainan makna (polisemi, homonimi).

Menurut Keraf (2000: 25) kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata

sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek

isi makna. Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan

pancaindera, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi

atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau

pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi. Reaksi yang timbul itu dapat

berwujud “pengertian” atau “tindakan” atau kedua-duanya.

Makna kata dapat dibatasi sebagai hubungan antara bentuk dengan hal atau

barang yang diwakilinya. Dalam hal ini kata dalam kaitannya sebagai media

komunikasi mengandung beberapa unsur yaitu: pengertian, perasaan, nada dan

tujuan.

Wellek (dalam Pradopo, 1987: 60) mengemukakan bahwa bahasa sastra itu

penuh arti ganda, penuh homonim, kategori-kategori “arbitraire”, atau irrasional,

menyerap peristiwa-peristiwa sejarah, ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi.

Pendeknya bahasa sastra itu sangat konotatif. Selanjutnya menurut Pradopo

(1987: 59) kumpulam asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah

kata diperoleh dari setting yang dilukiskan itu disebut konotasi. Konotasi

menyempurnakan denotasi dengan menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai.

Senada dengan pendapat Pradopo, Tarigan (1984: 29) juga menyatakan

bahwa konotasi atau nilai kata inilah yang justru lebih banyak memberi efek bagi

para penikmatnya. Sementara itu, Kridalaksana (1988: 91) mengemukakan bahwa

kata konotatif adalah kata yang memiliki makna tambahan yang terlepas dari

makna harfiahnya yang didasarkan pada perasaan atau pikiran yang timbul pada

(41)

commit to user

Makna konotatif merupakan makna kata yang terlepas dari makna

sebenarnya. Makna ini umumnya berbeda dengan makna kata dalam komunikasi

pada umumnya. Perbedaan ini didasarkan pada perasaan, pikiran, maupun

persepsi pengarang terhadap apa yang dibahasakan.

Kata konkret (concrete words) merupakan kata yang dapat melukiskan

dengan tepat pikiran atau gagasan yang akan disampaikan oleh pengarang.

Penggunaan kata konkret bertujuan untuk mempermudah pembaca dan penikmat

karya sastra dalam memahami sebuah karya sastra. Menurut Situmorang (1980:

26) tidak ada kata lain yang setepat dan sekonkrit kata-kata tersebut dalam

melukiskan hal tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya kata (diksi) yang

harus diperhatikan dalam kajian stilistika adalah kata yang digunakan dalam puisi

sederhana atau kompleks, formal dan kolokial, makna denotasi dan konotasi

kata-kata konkret, sinonimi, antonimi, hiponimi dan hipernimi, polisemi dan

homonimi.

3) Gaya Kalimat (sintaksis)

Kalimat merupakan wujud verbal karya sastra yang menentukan gaya

pengarang, yakni cara pengarang menyusun kalimat-kalimat dalam karyanya.

Dalam dunia sastra, pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam

mempergunakan dan mengkreasikan bahasa (licentia poetica) untuk mencapai

efek yang diinginkan, sehingga adanya penyimpangan kebahasaan, termasuk

penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar.

Gaya kalimat menurut Pradopo (2003: 11) ialah penggunaan suatu kalimat

untuk memperoleh efek tertentu, misalnya inverse, gaya kalimat tanya, perintah

dan elips; karakteristik, panjang pendek, struktur dan proporsi

sederhana-majemuknya termasuk gaya kalimat. Demikian pula sarana retorika yang berupa

kalimat hiperbola, paradoks, klimaks, antiklimaks, antitesis dan koreksio.

Selanjutnya sarana retorika untuk tiap periode kesusastraan Indonesia

(42)

commit to user

adalah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan

penjumlahan (enumerasi) (Pradopo, 1987: 94).

Dalam analisis gaya kalimat perlu diperhatikan struktur kalimat yang

membentuk kalimat tersebut, sederhana atau kompleks, hubungan antar klausanya

jika merupakan struktur kompleks, bentuk sintaksisnya, deklaratif, interogatif,

imperatif, atau ekslamatif. Sebuah kalimat dikatakan kompleks jika dalam satu

kalimat terdiri dari dua klausa atau lebih (Nurgiyantoro, 2005: 294).

Penggunaan kalimat dalam karya sastra mempunyai tujuan yang sedikit

berbeda dengan penggunaan kalimat dalam karya ilmiah. Kalimat dalam karya

sastra disusun dengan pertimbangan tertentu dari pengarang untuk mencapai efek

yang diinginkan. Dalam hal ini penyiasatan struktur kata menjadi hal yang

diperbolehkan guna mencapai tujuan tersebut. Wujud penyiasatan tersebut bisa

berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu dan

sebagainya. Penggunaan konjungsi di awal kalimat mungkin dilakukan untuk

memperoleh efisiensi dan menekankan unsur tertentu. Menurut Nurgiyantoro

(2005: 302) ada bermacam-macam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan

struktur kalimat misalnya gaya repetisi, paralelisme, anafora, polisindeton,

asindeton, antitesis, aliterasi, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris.

Selanjutnya Keraf (2000: 124-136) menyebutkan gaya bahasa berdasarkan

struktur kalimat dan retorika antara lain: klimaks, antiklimaks, paralelisme,

antitesis, repetisi, aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asindeton,

polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, histeron, prosteron, pleonasme

dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio,

hiperbola, paradoks dan oksimoron.

a) Klimaks

Gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang urutan

penyampaiannya menunjukkan semakin meningkatnya kadar pentingnya gagasan

itu (Nurgiyantoro, 2005: 303). Sejalan dengan pengertian tersebut Sutejo (2010:

29) mengemukakan bahwa klimaks termasuk jenis gaya bahasa penegasan dan

menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama makin memuncak

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir ..............................................................
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
gambar angan yang ingin diciptakan oleh penyair.
+2

Referensi

Dokumen terkait

mengacu kepada makhluk yang berada dibumi namun kau secara konotatif dalam puisi ini tidak akan masuk pada isotopi manusia jika kita maknai sebagai Tuhan karena tak

Analisis deviasi ini, ditempuh dengan beberapa langkah penting di antaranya, pengumpulan/menentukan deviasi-deviasi yang terdapat pada puisi O Amuk

(1) Pemanfaatan bunyi bahasa dalam Sêrat Tripama meliputi asonansi atau purwakanthi guru swara, aliterasi atau purwakanthi guru sastra , dan purwakanthi basa ; (2)

Puisi Hamidase Kokoro gaya bahasa atau stistika penyair tampak pada kelihaian penggunaan diksi konotatif dan denotatif, kata khusus, serta kata-kata yang dekat dengan

Penelitian yang berjudul “Unsur-Unsur Mantra Melayu dalam Kumpulan Puisi O Amuk Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachri: Kajian Dekonstruksi bertujuan untuk mendeskripsikan

  Dalam pengkajian  ini,  pertama dilakukan  pengkajian  stilistika puisi  “Tuhan,  Kita   Begitu Dekat”yang  meliputi gaya  bunyi, gaya  kata  (diksi),  gaya  kalimat,

Dalam kesempatan kali ini akan dijelaskan unsur unsur bunyi bahasa dalam puisi "kita saksikan" karya Sapardi Djoko Damono.Penggunaan aspek asonansi dan alitrasi akan dibahas akan

Dalam puisi karya Fadli Zon, terdapat penggunaan gaya bahasa aliterasi pada puisi berjudul “Doa yang Ditukar” dapat dilihat dalam kutipan puisi berikut ini.. Kenapa kau tukar Direvisi