commit to user
i
NERACA PERDAGANGAN TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH
(PERIODE 2000:I – 2011:II)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk
Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
MAS FARYANSYAH
NIM. F0108085
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
iv
Orang-orang yang terbaik adalah mereka yang selalu mencoba untuk terus
memperbaiki dirinya.
(Imam Ghozali)
There is no secret to success. It’s the result of preparation, hard work, and learning
from mistakes made along the way.
(Collin Powell)
“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat
suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya
ia dengan kemajuan selangkah pun”
(Bung Karno)
Semangat, Usaha, Berdoa dan Keyakinan yang Kuat akan Menghancurkan Segala
Halangan untuk Meraih Apa yang Kita Impikan.
commit to user
v
Alhamdulillah, dengan Penuh Perjuangan dan Penuh Rasa Syukur Akhirnya
Karya Kecil Ini Berhasil Penulis Selesaikan
Skripsi ini penulis persembahkan untuk :
Ibuk
Almarhum Bapak di Surga
Kakak - kakakku
Sahabat, teman and for U “My Spirit”
commit to user
vi
Assalamu’alaikkum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan
rahmat, dan karunia-Nya, sehingga dengan kemampuan yang ada, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “PENGARUH SELISIH
INFLASI, SELISIH SUKU BUNGA, DAN NERACA PERDAGANGAN
TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH (PERIODE 2000:I – 2011:II)”.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi
Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa
bantuan, bimbingan serta kerjasama yang baik dari berbagai pihak tidak bisa
mewujudkan skripsi ini. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Siti Aisyah Tri Rahayu, M.Si, selaku pembimbing yang telah meminjamkan
jurnal dan buku, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan
memberikan masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini, semoga Allah
SWT membalasnya dan memberikan kemuliaan kepadanya.
2. Dr. Wisnu Untoro, MS, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak
membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi UNS.
3. Drs. Supriyono, M.Si, selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan dan Ibu Dra.
commit to user
vii
Dosen Fakultas Ekonomi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima
kasih atas ilmu, pengalaman dan bimbingan dan yang diberikan selama ini.
5. Bapak Djoko Raharto selaku Kepala Bidang Moneter Bank Indonesia
Yogyakarta. Terima kasih telah memberikan akses untuk memperoleh CD
International Financial Statistic IMF.
6. Ibuk yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkanku dengan penuh
perjuangan serta selalu memanjatkan do’anya demi kesuksesan penulis.
7. Mbak Yuli, Mbak Dwi, Mas Chizam, Mas Widji serta ponakanku Della, Amel,
Iil, Aal, dan Uul yang senantiasa selalu mendoakan dan memberi dorongan
kepada penulis.
8. Rekan-rekan seperjuangan di HMJ EP periode 2009, 2010, dan 2011 yang telah
memberikan banyak pengalaman dan kenangan yang tak terlupakan selama
penulis berada di FE UNS.
9. Teman-teman EP angkatan 2008 dan semua sahabat-sahabatku, terima kasih atas
segala bantuan dan dukungannya.
10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Demikian skripsi ini penulis susun dan tentunya masih banyak kekurangan yang
perlu dibenahi. Semoga karya ini dapat bermafaat bagi seluruh pihak yang membaca
dan terkait dengan skripsi ini.
Surakarta, Agustus 2012
commit to user
viii
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii
Halaman Pengesahan ... iii
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar ... 25
1. Hubungan Inflasi dengan Nilai Tukar ... 25
2. Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Nilai Tukar ... 28
3. Hubungan Neraca Perdagangan dengan Nilai Tukar ... 30
C. Penelitian Sebelumnya ... 31
D. Kerangka Pemikiran ... 36
E. Hipotesis ... 37
commit to user
ix
C. Spesifikasi Model Penelitia... 38
D. Definisi Operasional Variabel ... 39
E. Metode Analisis ... 41
1. Uji Pemilihan Bentuk Fungsi Model... 41
2. Uji Stasioneritas ... 44
a. Uji Multikolinieritas………... 59
b. Uji Heteroskedastisitas………... 59
c. Uji Autokorelasi………... 60
BAB IVANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 62
B. Deskripsi Perkembangan Variabel ... 63
1. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah ... 63
2. Perkembangan Selisih Laju Inflasi ... 66
3. Perkembangan Selisih Tingkat Suku Bunga ... 68
4. Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia ... 69
C. Hasil dan Analisis Data ... 71
1. Uji Pemilihan Bentuk Fungsi Model... 71
2. Uji Stasioneritas ... 72
3. Uji Kointegrasi ... 76
4. Error Correction Model (ECM) ... 77
commit to user
x
a. Uji t………... ... 80
b. Uji F……… ... 82
c. Koefisien Determinasi (R2)………... ... 83
7. Uji Asumsi Klasik………... ... 83
a. Uji Multikolinieritas………... 83
b. Uji Heteroskedastisitas……….... . 84
c. Uji Autokorelasi………... 85
8. Interpretasi Ekonomi………... 86
a. Pengaruh Selisih Laju Inflasi terhadap Nilai Tukar Rupiah…………... ... 86
b. Pengaruh Selisih Tingkat Suku Bunga terhadap Nilai Tukar Rupiah……… 87
c. Pengaruh Neraca Perdagangan Indonesia terhadap Nilai Tukar Rupiah……… 89
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 91
B. Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 94
commit to user
xi
Tabel 4.1. Hasil Uji MWD Model Linier ... 71
Tabel 4.2. Hasil Uji MWD Model Log-Linier ... 72
Tabel 4.3. Hasil Uji Akar-Akar Unit pada Ordo 0 ... 73
Tabel 4.4. Hasil Uji Derajat Integrasi pada Ordo 1 ... 74
Tabel 4.5. Hasil ADF-Test Residual Kointegrasi ... 76
Tabel 4.6. Nilai Koefisien Jangka Panjang Model Nilai Tukar dengan Error Correction Model (ECM) ... 80
Tabel 4.7. Pengaruh Variabel Independen Jangka Pendek terhadap Variabel dependen ... 80
Tabel 4.8. Pengaruh Variabel Independen Jangka Panjang terhadap Variabel dependen ... 81
Tabel 4.9. Hasil Uji Klein ... 84
Tabel 4.10. Hasil Uji White ... 85
Tabel 4.11. Hasil Uji Lagrange Multiple Test ... 86
commit to user
xii
Gambar 1.1. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah/US$ 1998 - 2010... 3
Gambar 2.1. Kurva J : Perubahan Neraca Perdagangan Setelah Depresiasi Kurs ... 20
Gambar 2.2. Kurva J : Perubahan Neraca Perdagangan Setelah Apresiasi Kurs ... 20
Gambar 2.3. Pergerakan Nilai Tukar Akibat Perubahan Tingkat Suku Bunga ... 24
Gambar 2.4. Mekanisme Transmisi Nilai Tukar ke Inflasi ... 27
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 37
Gambar 3.1. Daerah Kritis Uji-t ... 62
Gambar 3.2. Daerah Kritis Uji-F ... 58
Gambar 4.1. Grafik Perkembangan Nilai Tukar Tahun 2000:Q1-2011:Q2... 64
Gambar 4.2. Grafik Perkembangan Selisih Laju Inflasi Tahun 2000:Q1-2011:Q2... 66
Gambar 4.3. Grafik Perkembangan Selisih Tingkat Suku Bunga Tahun 2000:Q1-2011:Q2... 68
Gambar 4.4. Grafik Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia Tahun 2000:Q1-2011:Q2... 70
Gambar 4.5. Grafik Perbandingan Pola Data Tidak Stasioner dan Data Stasioner ... 75
commit to user
xiii
Lampiran 1. Data Penelitian ... 97
Lampiran 2. Uji Pemilihan Bentuk Fungsi Model (MWD Test) ... 99
Lampiran 3. Uji Stasioner dan Derajat Integrasi DF-Test (Level) ... 100
Lampiran 4. ADF-Test (Level) ... 101
Lampiran 5. DF-Test (Ordo 1)... 102
Lampiran 6. ADF-Test (Ordo 1) ... 103
Lampiran 7. Hasil Estimasi Regresi Kointegrasi ... 104
Lampiran 8. Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM)... 105
Lampiran 9. Hasil Uji Heteroskedastisitas Error Correction Model (ECM) ... 106
Lampiran 10. Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM) dengan Weigted Least Squares (WLS) ... 107
Lampiran 11. Hasil Uji Multikolinieritas ... 108
Lampiran 12. Hasil Uji Heteroskedastisitas (Uji White) Model Error Correction Model (ECM) dengan Weigted Least Squares (WLS) ... 114
commit to user
xiv
PENGARUH SELISIH INFLASI, SELISIH SUKU BUNGA DAN NERACA
PERDAGANGAN TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH
(PERIODE 2000:I – 2011:II)
MAS FARYANSYAH
NIM. F0108085
Nilai tukar adalah indikator penting dalam suatu perekonomian. Kestabilan
nilai tukar harus selalu dijaga. Nilai tukar yang fluktuatif dapat mengganggu kegiatan
perekonomian dan menimbulkan ketidakpastian karena dapat mempengaruhi struktur
biaya, investasi, aliran perdagangan internasional, inflasi dan selanjutnya akan
berpengaruh terhadapat output suatu negara.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh selisih laju inflasi
Indonesia dan Amerika Serikat, selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika
Serikat, dan neraca perdagangan Indonesia terhadap nilai tukar rupiah. Alat analisis
yang digunakan yaitu model ekonometrika dengan metode Error Correction Model
(ECM).
Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam jangka panjang, selisih tingkat
inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah, selisih
tingkat suku bunga dan neraca perdagangan Indonesia berpengaruh negatif signifikan
terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Dalam jangka pendek, hanya variabel selisih
tingkat suku bunga yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai tukar
rupiah.
Kata Kunci: Nilai Tukar Rupiah, Selisih Inflasi, Selisih Suku Bunga, Neraca
commit to user
commit to user ABSTRAK
PENGARUH SELISIH INFLASI, SELISIH SUKU BUNGA DAN NERACA PERDAGANGAN TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH
MAS FARYANSYAH NIM. F0108085
Nilai tukar merupakan salah satu indikator penting dalam suatu
perekonomian. Nilai tukar yang fluktuatif dapat mengganggu kegiatan
perekonomian dan menimbulkan ketidakpastian karena dapat mempengaruhi
struktur biaya, investasi, aliran perdagangan internasional, inflasi dan selanjutnya
akan berpengaruh terhadapat output suatu negara.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh selisih laju inflasi
Indonesia dan Amerika Serikat, selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika
Serikat, dan neraca perdagangan Indonesia terhadap nilai tukar rupiah. Alat
analisis yang digunakan yaitu model ekonometrika dengan metode Error
Correction Model (ECM).
Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam jangka panjang, selisih
tingkat inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap perubahan nilai tukar
rupiah, selisih tingkat suku bunga dan dan neraca perdagangan Indonesia
berpengaruh negatif signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Dalam
jangka pendek, hanya variable selisih tingkat suku bunga yang berpengaruh
signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah.
Kata Kunci: Nilai Tukar Rupiah, Selisih Inflasi, Selisih Suku Bunga, Neraca
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Nilai tukar adalah indikator penting dalam suatu perekonomian, oleh
karena itu kestabilan nilai tukar harus selalu dijaga. Nilai tukar yang fluktuatif
dapat mengganggu kegiatan perekonomian dan menimbulkan ketidakpastian.
Warjiyo (1998) menyatakan bahwa pergerakan nilai tukar akan sangat
berpengaruh terhadap perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel.
Pergerakan nilai tukar dapat mengubah harga relatif, sehingga akan
mempengaruhi perkembangan ekspor dan impor. Pergerakan nilai tukar tersebut
selanjutnya akan mempengaruhi permintaan aggregat, laju pertumbuhan ekonomi
dan laju inflasi.
Penelitian tentang dampak pergerakan nilai tukar terhadap variabel makro
ekonomi di beberapa negara telah dilakukan oleh Esquivel dan Larraín (2002),
Engel dan West (2003), Lee dan Boon (2007), Ozturk dan Kalyoncu (2009).
Mereka menemukan bukti empiris bahwa fluktuasi nilai tukar berpengaruh pada
inflasi, suku bunga, aliran perdagangan, penanaman modal asing, penawaran
uang, serta meningkatkan probabilitas terjadinya krisis nilai tukar.
Suatu negara didefinisikan mengalami krisis mata uang apabila nilai
tukarnya mengalami perubahan yang besar dan pada umumnya ditandai dengan
adanya perubahan kebijakan sistim penetapan nilai tukar (Tjahjono,1998). Krisis
nilai tukar menimbulkan implikasi buruk terhadap perekonomian suatu negara
commit to user
tahun 1997. Krisis 1997 dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar berawal
dari krisis mata uang bath Thailand. Berubahnya ekspektasi terhadap mata uang
bath mendorong beberapa mata uang didalam kawasan Asia mengalami
depresiasi. Keadaan tersebut menyebar dengan cepat ke hampir seluruh negara di
kawasan asia tenggara (IMF, Occasional Paper 1999 dalam Subekti, 2010: 6).
Krisis tersebut selanjutnya berdampak menjalar (contagion effect) terhadap
mata uang rupiah. Kondisi tersebut membuat pemerintah Indonesia merubah
sistim nilai tukar dari sistim nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistim
nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) (LTBI 1997/1998:7).
Ritonga (2004) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan meningkatnya permintaan dollar ketika krisis 1998 sehingga nilai
rupiah mengalami depresiasi, yaitu:
1. Kenaikan nilai dollar di beberapa negara menyebabkan para pengusaha
Indonesia yang dalam waktu dekat akan membayar utang luar negerinya
berusaha mendapatkan dollar dalam jumlah yang diperkirakan cukup besar.
2. Para spekulan berusaha mencari keuntungan dengan cara melepas rupiah dan
membeli dollar sehingga menyebabkan nilai rupiah jatuh.
3. Pemegang rupiah berusaha melindungi asset likuidnya dari penurunan nilai
dengan jalan membeli dollar.
Nilai tukar mata uang suatu negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh
besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 2001:171).
Perubahan volume permintaan dan penawaran valuta asing akan menyebabkan
commit to user
(2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan
penawaran akan valuta asing antara lain adalah pembayaran ekspor-impor, aliran
modal, kegiatan spekulasi, dan intervensi oleh bank sentral.
Gambar 1.1 menunjukkan grafik fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar
US. Nilai tukar rupiah mencapai nilai tertinggi pada bulan Juni 1998, yaitu
sebesar Rp 14.900/USD. Nilai tersebut meningkat drastis dibandingkan pada
bulan yang sama pada tahun 1997 sebelum terjadinya krisis, yaitu sebesar Rp
2.450/USD pada bulan Juni 1997.
Nilai tukar rupiah juga mengalami depresiasi mencapai Rp 12.151/USD
pada bulan November 2008 akibat dampak dari krisis global. Menurunnya
permintaan eksternal akibat perlambatan perekonomian global menyebabkan
cadangan devisa menurun dan mengakibatkan penawaran dolar menurun. Disisi
lain, permintaan dollar AS naik signifikan akibat kenaikan harga komoditi import
seperti harga minyak dunia dan adanya aliran modal keluar (capital outflow) yang
signifikan.
Gambar 1.1
Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah/ USD 1998 - 2010
commit to user
Krisis nilai tukar tidak hanya mengakibatkan kenaikan tingkat harga, tetapi
juga mengakibatkan kontraksi perekonomian yang cukup dalam. Melemahnya
nilai tukar mengakibatkan harga barang impor seperti bahan baku, barang modal,
dan barang konsumsi menjadi lebih mahal. Kenaikan harga barang impor
selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya kenaikan harga barang-barang di
dalam negeri (Simorangkir, 2004: 3).
Salah satu dampak krisis 1997 adalah naiknya laju inflasi dari 5,37% pada
bulan September 1997 menjadi 75,47% pada bulan yang sama tahun 1998.
Melemahnya nilai tukar menyebabkan kenaikan harga yang tinggi. Indonesia
sangat tergantung pada nilai tukar karena sektor industrinya banyak menggunakan
bahan baku impor. Depresiasi nilai tukar rupiah akan mengakibatkan naiknya
harga impor bahan baku dan modal sehingga menyebabkan naiknya biaya
produksi. Kenaikan biaya produksi tersebut akan menaikkan harga barang dan
selanjutnya akan memicu naiknya laju inflasi. Rahardjo (2009:176) menyatakan
bahwa tingginya laju inflasi suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya
akan menyebabkan harga barang ekspor menjadi lebih mahal dan selanjutnya
akan dapat menurunkan ekspor. Kondisi tersebut pada akhirnya akan menurunkan
nilai tukar.
Peningkatan biaya produksi menyebabkan sektor industri mengurangi
kapasitas produksinya. Kondisi tersebut tercermin dari menurunnya volume impor
dari 42,704 Miliar USD pada tahun 1997, menjadi sebesar 30,707 Miliar USD
pada akhir tahun 1998. Penurunan kapasitas produksi mengakibatkan perusahaan
commit to user
volume ekspor dari 56,162 Miliar USD tahun 1997, menjadi sebesar 48,354
Miliar USD pada tahun 1998. Penurunan volume ekspor ini disebabkan oleh
kenaikan harga barang-barang ekspor akibat menurunnya kapasitas produksi.
Peningkatan harga komoditas pangan dan minyak dunia menyebabkan
pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi ketika krisis 2008. Depresiasi nilai
tukar rupiah menyebabkan beban yang ditanggung pemerintah dalam APBN
untuk mensubsidi BBM meningkat. Kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut
telah memicu terjadinya cost-push inflation karena berdampak pada kenaikan
biaya produksi dan biaya transportasi sehingga harga jual barang juga ikut naik.
Kenaikan harga barang tersebut selanjutnya memicu kenaikan laju inflasi. Laju
inflasi pada bulan Agustus 2008 mencapai 11,85% dan naik menjadi 12,14% pada
bulan September 2008 (Bank Indonesia, 2008).
Penurunan daya beli masyarakat akibat krisis global di Amerika dan Eropa
mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia juga mengalami penurunan,
sehingga volume permintaan barang produksi Indonesia menurun. Kinerja ekspor
Indonesia tahun 2008/2009 menurun sebesar 19,960 Miliar USD. Dari sisi impor,
volume impor menurun sebesar 27,975 Miliar USD akibat depresiasi rupiah.
Fluktuasi nilai tukar dapat mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh laju
inflasi dan kinerja perdagangan internasional atau ekspor dan impor. Neraca
perdagangan adalah salah satu gambaran dari penawaran dan permintaan terhadap
mata uang asing untuk membiayai ekspor dan impor barang. Kenaikan penawaran
valuta asing terjadi apabila volume ekspor barang meningkat. Jika volume ekspor
commit to user
akan terapresiasi. Begitu juga sebaliknya, jika terdapat kenaikan volume impor
melebihi volume ekspor, maka nilai tukar akan terdepresiasi.
Ozturk and Kalyoncu (2009) telah melakukan penelitian pada Polandia,
Korea Selatan, Pakistan, Hunggaria, Turki dan Afrika Selatan. Mereka
menemukan bukti empiris bahwa volatilitas nilai tukar menurunkan eksport riil
dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Selain itu, Esquivel dan
Larrain (2002) juga telah melakukan penelitian tentang dampak volatilitas nilai
tukar US dollar, yen Jepang dan mark Jerman pada negara berkembang. Mereka
menemukan bukti empiris bahwa satu persen kenaikan volatilitas nilai tukar
negara G-3 akan menurunkan eksport riil negara berkembang sebesar rata-rata dua
persen.
Volume penawaran dan permintaan valuta asing dipengaruhi juga oleh
aliran modal. Aliran modal masuk (capital inflow) dan aliran modal keluar
(capital outflow) sangat dipengaruhi oleh perbedaan suku bunga dalam dan luar
negeri (interest rate differential). Sebagai contoh, jika suku bunga Amerika
Serikat mengalami peningkatan melebihi suku bunga Indonesia, maka imbal hasil
yang ditawarkan Indonesia menjadi kurang kompetitif. Kondisi tersebut dapat
menimbulkan pelarian modal asing (capital outflow). Apabila kenaikan
permintaan terhadap US dollar akibat capital outflow tidak disertai dengan
penawaran yang memadai, maka nilai tukar rupiah akan terdepresiasi.
Peningkatan suku bunga dalam negeri diperlukan agar dapat menarik
minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena imbal
commit to user
inflow) akan dapat meningkatkan volume permintaan terhadap mata uang rupiah
dan selanjutnya nilai tukar rupiah akan terapresiasi. Kebijakan menaikkan suku
bunga dapat menjaga kestabilan nilai tukar, namun disisi lain juga dapat
menurunkan investasi akibat biaya kredit yang meningkat dan selanjutnya dapat
mengganggu kinerja sektor riil.
Gali dan Gertler (1998) melakukan studi tentang hubungan pergerakan
nilai tukar dan suku bunga. Mereka menemukan bukti empiris bahwa terdapat
hubungan antara pergerakan nilai tukar dan suku bunga, yaitu satu persen
depresiasi Mark Jerman terhadap US Dollar, membuat Bundesbank meningkatkan
suku bunga sebesar 5 bps. Di lain pihak, Bank of Japan meningkatkan suku bunga
sebesar 6 bps sebagai respon depresiasi yen terhadap US dollar.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat disimpulkan bahwa
kestabilan nilai tukar dalam suatu perekonomian sangatlah penting. Oleh sebab
itu, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh variabel-variabel ekonomi yang menentukan permintaan dan penawaran
valuta asing US dollar terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Penelitian ini
mengambil judul Pengaruh Selisih Inflasi, Selisih Suku Bunga dan Neraca
Perdagangan Terhadap Nilai Tukar Rupiah (Periode 2000:I – 2011:II). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah; nilai tukar Rp/USD,
inflasi Indonesia, inflasi Amerika Serikat, suku bunga Indonesia, suku bunga
commit to user B.Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh selisih laju inflasi Indonesia dan Amerika Serikat
terhadap nilai tukar rupiah?
2. Bagaimana pengaruh selisih tingkat suku bunga Indonesia dan suku bunga
Amerika Serikat terhadap nilai tukar rupiah?
3. Bagaimana pengaruh neraca perdagangan Indonesia terhadap nilai tukar
rupiah?
C.Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis pengaruh selisih laju inflasi Indonesia dan Amerika
Serikat terhadap nilai tukar rupiah.
2. Untuk menganalisis pengaruh selisih tingkat suku bunga Indonesia dan suku
bunga Amerika Serikat terhadap nilai tukar rupiah.
3. Untuk menganalisis pengaruh neraca perdagangan Indonesia terhadap nilai
tukar rupiah.
D.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
informasi kepada pihak pengambil kebijakan sebagai acuan untuk
menentukan kebijakan yang tepat dalam hal kestabilan nilai tukar rupiah,
guna kepentingan bangsa dan negara.
2. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini digunakan sebagai salah satu sarana untuk
menerapkan teori yang diperoleh dari berbagai literatur selama mengikuti
commit to user
3. Sebagai bahan masukan dan sarana pembanding bagi penelitian-penelitian
selanjutnya yang sejenis.
4. Sebagai bahan yang mampu memperkaya kepustakaan penelitian yang telah
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Nilai Tukar
1. Pengertian Nilai Tukar (Exchange Rate)
Nilai tukar adalah jumlah harga satu unit mata uang asing yang di
representasikan dalam mata uang domestik. Sebagai contoh, kurs rupiah
terhadap US Dollar (Rp/US$), yaitu jumlah rupiah yang diperlukan untuk
memperoleh atau membeli satu US$.
Krugman (2009: 316) mendefinisikan nilai tukar (exchange rate)sebagai:
“The price of one currency in terms of another”.
Levi (2001: 170) mendefinisikan nilai tukar mata uang (exchange rate) suatu
negara sebagai:
“Jumlah satuan mata uang domestik yang dapat dipertukarkan dengan satu unit mata uang negara lain”.
Simorangkir (2004: 4) mendefinisikan nilai tukar mata uang atau kurs sebagai:
“Harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domestik atau dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing”.
Para ekonom membedakan nilai tukar menjadi dua, yaitu nilai tukar
nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata
uang dua negara. Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi
harga-commit to user
harga di luar negeri. Nilai tukar riil tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sederhana sebagai berikut (Simorangkir, 2004: 5):
Q = S P/P*
di mana Q adalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat
harga di dalam negeri dan P* adalah tingkat harga di luar negeri.
Beberapa istilah yang sering digunakan berkaitan dengan kurs valuta
asing adalah sebagai berikut:
a. Kurs beli, yaitu menunjukkan harga beli valuta asing pada saat bank/money
changer membeli valas (valuta asing) atau pada saat seseorang menukarkan
valas dengan rupiah.
b. Kurs jual, yaitu menunjukkan harga jual valuta asing pada saat bank/money
changer menjual valas atau pada saat seseorang menukarkan rupiah dengan
valas.
c. Kurs tengah, yaitu merupakan kurs antara kurs jual dan kurs beli (hasil bagi
dua dari penjumlahan kurs beli dan kurs jual).
Peningkatan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing
disebut dengan apresiasi/ revaluasi, sedangkan turunnya nilai tukar mata uang
domestik terhadap mata uang asing disebut depresiasi/ devaluasi. Sebagai
contoh, jika semula kurs US$1=Rp8.500 kemudian menjadi US$1=Rp9.000,
kondisi tersebut berarti rupiah mengalami depresiasi terhadap US dollar,
sedangkan US dollar mengalami apresiasi terhadap rupiah. Istilah
commit to user
tukar mengambang, sedangkan istilah revaluasi atau devaluasi umumnya
digunakan untuk negara dengan sistem nilai tukar tetap.
Revaluasi atau devaluasi merupakan kebijakan pemerintah yang
diumumkan kepada publik untuk menaikkan atau menurunkan nilai tukar
terhadap mata uang asing. Kebijakan revaluasi atau devaluasi biasanya
dilakukan dalam rangka mempertahankan kinerja perdagangan luar negeri suatu
negara (Rahardjo, 2009:110). Devaluasi biasanya dilakukan untuk mendorong
peningkatan daya saing dan kinerja ekspor. Penurunan nilai tukar menyebabkan
harga barang ekspor relatif lebih murah di luar negeri, sehingga akan
meningkatkan permintaan barang ekspor. Peningkatan volume permintaan
barang ekspor dapat meningkatkan volume ekspor suatu negara dengan asumsi
negara lain tidak melakukan tindakan devaluasi terhadap mata uangnya dan
eksportir dapat memenuhi permintaan ekspornya.
2. Sejarah Sistem Moneter Internasional
Sejarah sistem moneter internasional dikelompokkan dalam empat
periode (Simorangkir, 2004: 8), yaitu:
a. Periode Standar Emas (Gold Standart): 1880-1914
Pada sistem ini, nilai tukar uang domestik terhadap emas ditetapkan
berdasarkan harga resmi yang tetap. Terdapat dua karakteristik utama standar
emas yang ditetapkan oleh negara-negara yang menggunakannya, yaitu: 1)
perorangan dapat dengan bebas mengimpor dan mengekspor emas dan 2)
commit to user
Jumlah uang beredar yang harus dijamin oleh cadangan emas dalam
sistem ini, mendorong terjadinya stabilitas nilai tukar dan harga. Keberhasilan
standar emas disebabkan oleh ketenangan zaman sebelum perang,
perekonomian benar-benar tenang dan jauh dari pergolakan seperti perang
dunia, depresi besar tahun 1930-an, dan gejolak harga minyak OPEC tahun
1973-1974 (Lindert, 1993:422). Kelemahan sistem ini adalah ketika jumlah
cadangan emas tidak mencukupi atau terlalu besar. Jumlah cadangan emas
yang terlalu sedikit dapat mendorong terjadinya deflasi dan melemahnya
kegiatan ekonomi suatu negara. Sebaliknya, jumlah cadangan emas yang
terlalu besar dibandingkan uang beredar, mendorong terjadinya inflasi.
Periode ini berakhir pada perang dunia pertama. Perang telah merusak
arus perdagangan dan mobilitas emas antar negara sehingga standar ini tidak
dapat dipertahankan. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan
perang, negara-negara yang terlibat didalamnya mencetak uang lebih banyak
sehingga tidak sepenuhnya lagi dapat dijamin dengan cadangan emas nasional.
b.Periode Perang Dunia Pertama (PD I) dan Kedua (PD II)
Pada periode perang ini, sistem nilai tukar yang digunakan banyak
mengalami peralihan akibat dari instabilitas keamanan yang berimbas pada
instabilitas ekonomi. Pada periode PD I hingga tahun 1925, banyak negara
menggunakan sistem nilai tukar mengambang bebas. Sementara itu, dari tahun
1925 hingga tahun1931, banyak negara menggunakan sistem nilai tukar tetap
dengan mengaitkan cadangan emas dan valuta asing yang dimiliki atau sering
commit to user
beralih menggunakan sistem nilai tukar mengambang bebas atau mengambang
terkendali.
c. Sistem Bretton Woods
Pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hamshire, Amerika
Serikat, telah diselenggarakan konferensi yang diikuti 44 negara untuk
membahas tentang suatu tatanan moneter internasional yang baru. Hasilnya
adalah suatu keputusan penting yang berupa penerapan sistem nilai tukar tetap
yang secara resmi diikuti oleh 32 negara, serta pendirian dua lembaga
keuangan internasional, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan
International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau sekarang
dikenal dengan World Bank. IMF didirikan dengan tujuan untuk mendorong
kerja sama moneter antar negara, sistem nilai tukar yang lebih baik, dan untuk
memberikan bantuan keuangan jangka pendek apabila ada negara yang
mengalami kesulitan neraca pembayaran. Sedangkan bank dunia didirikan
dengan maksud untuk membiayai rekonstruksi dan pembangunan jangka
panjang.
Negara yang menjadi acuan atau jangkar penentuan nilai tukar dalam
sistem ini adalah Amerika Serikat, karena menjadi satu-satunya negara yang
mengaitkan mata uangnya secara tetap dengan emas. Pada saat itu US$35
ditetapkan nilainya sama dengan satu ounce emas.
d.Pasca Sistem Bretton Woods
Sistem Bretton Woods berakhir pada tahun 1960-1970-an dimana
commit to user
sehingga harus mendevaluasi mata uangnya dari US$35 per ounce emas
menjadi US$38 per ounce emas, dan pada akhirnya melepaskan keterkaitan
mata uang US$ dengan emas. Hal tersebut membuat kepercayaan
negara-negara lain menurun dan menendorong negara-negara-negara-negara lain untuk melepaskan
keterkaitan mata uangnya dengan US$.
Peurunan kepercayaan masyarakat terhadap sistem Bretton Woods pada
awal tahun 1970-an membuat negara-negara anggota IMF dibebaskan untuk
mengembangkan sistem nilai tukar mata uangnya pada tahun 1973. Banyak
negara menggunakan sistem nilai tukar yang berbeda-beda.
Beberapa negara Eropa mendirikan mekanisme nilai tukar European
Monetary System (EMS) pada tahun 1979 untuk menciptakan mekanisme nilai
tukar yang stabil diantara anggota EMS. Setelah itu, sistem ini tergantikan oleh
terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa (European Monetary Union/EMU)
pada tanggal 1 Januari 1999. Dengan terbentuknya EMU, sebelas negara Eropa
menetapkan nilai tukar Euro sebagai mata uang bersama dan berlaku secara
penuh pada Januari 2002. Bank Sentral Eropa (ECB) juga dibentuk dan
bertugas untuk mempertahankan nilai tukar Euro. Diluar Eropa dan Amerika
Serikat, banyak negara-negara di Amerika Latin dan Asia mengalami krisis
nilai tukar pada tahun 1997/1998, oleh sebab itu banyak negara melepaskan
commit to user 3. Kebijakan dan Sistem Nilai Tukar
Sistem nilai tukar diklarifikasikan dalam tiga kelompok (Simorangkir, 2004: 15),
yaitu:
a. Sistem nilai tukar tetap murni (Absolutely fixed exchange rate regime)
Pada sistem nilai tukar tetap, kurs mata uang ditetapkan secara tetap
pada nilai tertentu dengan mata uang asing tertentu. Misalnya, rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat (US$) ditetapkan sebesar Rp 8.500 per US$. Menurut
Rahardjo (2009), Sistem ini mempunyai kelebihan yaitu adanya kepastian nilai
tukar bagi pasar.
Banyak negara meninggalkan sistem ini setelah era Bretton Woods,
tetapi masih ada sebagian kecil negara yang menggunakan sistem nilai tukar
tetap ini. Ada dua penyebab utama suatu negara meninggalkan sistem nilai
tukar tetap. Pertama, dapat mengganggu neraca perdagangan jika penetapan
nilai tukar mata uang domestik lebih mahal dibandingkan dengan nilai
sebenarnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan harga barang ekspor suatu negara
lebih mahal di luar negeri dan akan mengurangi daya saing yang pada akhirnya
akan menurunkan volume ekspor. Di sisi impor, penetapan nilai tukar yang
terlalu tinggi (over-valued) akan menyebabkan harga barang impor menjadi
lebih murah dan selanjutnya meningkatkan volume impor. Kondisi
menurunnya volume ekspor dan meningkatnya volume impor akan
memperburuk neraca perdagangan suatu negara. Kedua,cadangan devisa yang
tidak mencukupi untuk mempertahankan nilai tukar karena harus melakukan
commit to user
menggunakan sistem devisa terkontrol agar ruang gerak pelaku pasar untuk
menyerang nilai tukar dapat dibatasi.
b.Sistem nilai tukar mengambang murni (Pure floating exchange rate
regime)
Dalam sistem nilai tukar mengambang penuh, mekanisme penetapan
nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing ditentukan oleh
mekanisme pasar. Nilai mata uang dapat berubah setiap saat tergantung
penawaran dan permintaannya relatif terhadap mata uang asing di pasar. Dalam
sistem nilai tukar mengambang murni, bank sentral tidak menargetkan besaran
nilai tukar dan tidak juga melakukan intervensi langsung di pasar valas. Sistem
ini sangat rentan oleh serangan para spekulan.
Banyak negara di dunia menggunakan sistem ini karena: pertama,
sistem ini memungkinkan suatu negara mengisolasi kebijakan ekonomi
makronya dari dampak kebijakan dari luar sehingga mempunyai kebebasan
untuk mengeluarkan kebijakan yang independen. Kedua, sistem ini tidak
memerlukan cadangan devisa yang besar karena tidak ada kewajiban untuk
intervensi di pasar valas guna mempertahankan nilai tukar.
Kelemahan sistem ini adalah nilai tukar sangat mudah berfluktuasi
commit to user
c. Sistem nilai tukar tetap tetapi dapat disesuaikan (Fixed But Adjustable
Rate/FBAR)
Sistem ini merupakan kombinasi sistem nilai tukar tetap dengan sistem
nilai tukar mengambang. Dalam sistem nilai tukar FBAR, besarnya nilai tukar
ditetapkan oleh pembuat kebijakan dan dipertahankan melalui intervensi
langsung di pasar valas. Sistem ini mempunyai ciri adanya komitmen dari bank
sentral/pemerintah untuk mempertahankan nilai tukar dalam besaran tertentu.
Nilai tukar dapat berubah namun penyesuaiannya jarang dilakukan untuk
menjaga kredibilitas. Perubahan nilai tukar mencerminkan persepsi resmi dari
pemerintah mengenai perubahan fundamental ekonomi yang memerlukan
penyesuaian nilai tukar atau terdapatnya tekanan pasar yang kuat yang
mempengaruhi cadangan devisa sehingga memaksa perlu penyesuaian nilai
tukar.
4. Teori Nilai Tukar
a. Pendekatan Perdagangan atau Pendekatan Elastisitas
Pendekatan ini mengkaji bahwa besar kecilnya kurs tergantung pada
besar kecilnya transaksi perdagangan barang dan jasa yang dilakukan oleh
suatu negara dengan negara mitra dagangnya (Yuliadi, 2008: 61).
Dalam pendekatan ini, jika nilai impor suatu negara lebih besar
daripada nilai ekspornya, ceteris paribus, berarti negara tersebut mengalami
defisit neraca perdagangan, sehingga nilai tukar mata uangnya mengalami
depresiasi terhadap mata uang mitra dagangnya. Begitu juga sebaliknya, jika
commit to user
berarti negara tersebut mengalami surplus neraca perdagangan, sehingga nilai
tukar mata uangnya mengalami apresiasi terhadap mata uang mitra dagangnya.
Dalam sistim nilai tukar fleksibel, depresiasi atau apresiasi nilai tukar
akan mendorong perubahan arus perdagangan internasional atau ekspor dan
impor dari satu negara ke negara lainnya sehingga akan tercapai keseimbangan
kurs di mana nilai ekspor sama dengan nilai impor. Proses penyesuaian dalam
mencapai keseimbangan kurs tersebut ditentukan oleh sejauh mana elastisitas
impor dan ekspor barang dan jasa terhadap perubahan nilai tukar. Kondisi ini
disebut Marshall-Lerner condition, yaitu kondisi yang menyatakan bahwa
depresiasi akan mengakibatkan surplus transaksi berjalan jika jumlah elastisitas
ekspor dan impor lebih dari satu, dengan asumsi selama terjadi perubahan kurs,
tingkat pendapatan bersih tetap konstan (Krugman, 1994: 224).
Namun, banyak pandangan yang meragukan terpenuhinya kondisi
Marshall-Lerner dalam jangka pendek. Levi (2001: 145) menyatakan bahwa
dalam jangka pendek permintaan barang tidak elastis karena masyarakat
memerlukan waktu untuk menyesuaikan preferensi mereka terhadap barang
substitusi yang dihasilkan di dalam negeri. Setelah konsumen telah beralih ke
barang substitusi impor yang dihasilkan di dalam negeri, maka permintaan
impor dapat diturunkan. Peningkatan volume ekspor juga akan terjadi setelah
konsumen asing bersedia beralih ke produk yang dihasilkan oleh negara kita
dan produsen memiliki kemampuan untuk memproduksi lebih banyak barang
commit to user
Gambar 2.2. Kurva J: Perubahan neraca perdagangan setelah apresiasi kurs Sumber: Levi (2001: 146)
Perubahan Neraca perdagangan
0
-
Waktu +
Oleh karena itu, depresiasi akan memperburuk neraca perdagangan
dalam jangka pendek dan akan membaik dalam jangka panjang setelah terjadi
kenaikan elastisitas antara barang ekspor dan impor. Begitu juga sebaliknya,
apresiasi akan memperbaiki neraca perdagangan dalam jangka pendek dan
selanjutnya akan memperburuk neraca perdagangan dalam jangka panjang.
Kondisi tersebut digambarkan dalam gambar (2.1) kurva J (J-Curve).
Gambar 2.1. Kurva J: Perubahan neraca perdagangan setelah depresiasi kurs Sumber: Levi (2001: 146)
Perubahan Neraca perdagangan
0
-
commit to user b.Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity)
Teori paritas daya beli (Purchasing Power Parity) merumuskan bahwa
kurs antara kedua mata uang adalah rasio tingkat harga umum dari dua negara
yang bersangkutan. Mark (2000:81) menyatakan bahwa:
“International macroeconomists view Casselian PPP as a theory of the
long-run determination of the exchange rate in which the PPP (P-P*)
is a long-run attractor for the nominal exchange rate”.
Mark (2000) menyarankan untuk menggunakan CPI (Consumer Price Indexs)
dalam teori ini karena PPP mengarah pada nilai internal dari mata uang terkait
dan variasi nilai dapat diukur hanya dengan indeks umum.
Terdapat dua bentuk persamaan dalam teori paritas daya beli, yaitu
(Yuliadi, 2008: 64):
1) Paritas Daya Beli Absolut
Teori ini menyatakan bahwa keseimbangan kurs merupakan
perbandingan harga absolute dalam negeri dan luar negeri. Bentuk
persamaannya adalah:
………(2.1)
dimana Rab adalah kurs mata uang negara a terhadap mata uang negara b, dan
P adalah tingkat harga di negara a dan negara b.
Teori ini mengasumsikan bahwa tidak terdapat pajak, biaya transport
atau hambatan lainnya dalam perdagangan internasional, serta semua jenis
commit to user
2) Paritas Daya Beli Relatif
Paritas daya beli relatif dipandang lebih realistis dan potensial untuk
menjelaskan proses terjadinya kurs. Teori ini menyatakan bahwa fluktuasi
kurs valas merupakan prosentase perubahan tingkat harga di kedua negara
dalam periode yang sama. Bentuk persamaannya adalah:
……(2.2)
dimana R adalah kurs, P adalah tingkat harga, 1 adalah periode 1, dan 0
adalah periode dasar.
Misalkan tingkat harga umum di negara B tidak mengalami perubahan
dari periode dasar ke periode 1 (Pb1/Pb0 = 1), sementara pada periode yang
sama, tingkat harga di negara A mengalami kenaikan sebesar 70%, maka
menurut teori PPP relatif, kurs mata uang negara A terhadap mata uang
negara B naik sebesar 70% atau mata uang negara A terhadap mata uang
negara B mengalami depresiasi sebesar 70%.
Untuk mengetahui hubungan tingkat harga dengan nilai tukar dapat
dilihat melalui persamaan di bawah ini (Wibowo dan Amir, 2005):
PInd = PUSA x Rp/US$ ... (2.3)
Jika diketahui bahwa;
PPP = PInd / PUSA atau PPP = CPIInd / CPIUSA ... (2.4)
Maka persamaan (2.3) dapat ditulis menjadi:
Rp/US$ = b (CPIInd / CPIUSA) ... (2.5)
commit to user
Log Rp/US$ = (Log CPIInd– Log CPIUSA) ... (2.6) atau
Log Rp/US$ = (INFInd– INFUSA) ... (2.7)
Model diatas merupakan penurunan dari model paritas daya beli
relatif. Apabila laju inflasi Indonesia lebih tinggi dari Amerika Serikat dan
nilai tukarnya tidak berubah. Keadaan itu menyebabkan harga ekspor barang
Indonesia menjadi relatif lebih mahal. Peningkatan harga akan menurunkan
volume ekspor Indonesia dan meningkatkan volume impor. Kondisi itu
berdampak pada nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi.
c. Paritas Suku Bunga Tidak Tertutup (Uncovered Interest Rate Parity)
Kondisi paritas suku bunga tidak tertutup (uncovered interest parity)
menegaskan hubungan antara tingkat suku bunga dan nilai tukar untuk dua
negara dalam keadaan keseimbangan. Krugman (2009: 336) menyatakan
bahwa,
“The foreign exchange market is in equilibrium when deposits of all
currencies offer the same expected rate of return”.
Miskhin (2008: 218) menyatakan bahwa teori uncovered interest parity
mengasumsikan bahwa dalam perekonomian terbuka dimana modal dapat
mengalir dengan sempurna, masyarakat luar negeri dapat membeli asset
domestik, dan sebaliknya masyarakat domestik dapat membeli asset luar
negeri. Hipotesisnya bahwa investor akan membuat keputusan investasinya
dari perbandingan rate of return to assets, berdasarkan ekspektasi tingkat
commit to user
semua negara, atau semua investasi akan mengalir ke negara dengan expected
return yang lebih tinggi (Illes, 2009). Persamaan UIRP dapat ditulis:
i
$= i
Rp–
………(2.8)Persamaan (2.8) menyatakan bahwa suku bunga domestik sama dengan suku
bunga luar negeri dikurangi ekspektasi apresiasi nilai mata uang domestik dan
mengasumsikan E [et+1] = et+1, maka dapat ditulis kembali:
i
Rp= i
$+
atau sama dengane
t= i
Rp–
i
$Teori ini disebut “uncovered” karena investor tidak terlindungi resiko
terkait dengan ketidakpastian nilai tukar dimasa yang akan datang
e
t+1(Dornbusch, 1998: 400)
Gambar (2.3) menunjukkan pergerakan nilai tukar ketika terjadi
perubahan tingkat suku bunga.
Suku bunga/ Imbalan (dalam rupiah)
Gambar 2.3. Pergerakan nilai tukar akibat perubahan tingkat suku bunga Sumber: Krugman dan Obstfeld (1994: 71)
commit to user
Gambar diatas menunjukkan kondisi dimana terjadi kenaikan tingkat
suku bunga. Sumbu tingkat suku bunga rupiah terlihat bergeser ke kanan ketika
terjadi peningkatan dari R1IND ke R2IND. Kurs semula, yaitu E1RP/US$, perkiraan
simpanan rupiah lebih tinggi daripada simpanan dollar yang jumlahnya sama
dengan jarak antara titik 1 dengan titik 1’. Peningkatan tingkat suku bunga
tersebut menyebabkan rupiah mengalami apresiasi ke titik E2RP/US$.
B.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar
1. Hubungan Inflasi dengan Nilai Tukar
Boediono (1994: 161) menyatakan bahwa inflasi sebagai kecenderungan
dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga
dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali jika kenaikan
tersebut mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain.
Kenaikan harga-harga musiman, seperti menjelang hari raya, atau yang terjadi
sekali saja dan tidak berdampak terhadap kenaikan sebagian besar harga
barang-barang lain juga tidak disebut inflasi. Inflasi di suatu negara dapat menurunkan
daya beli masyarakat dan meningkatkan biaya produksi perusahaan.
Ada beberapa kategori inflasi sebagaimana dikemukakan oleh Nopirin
(2000:27),yaitu :
a. Inflasi berdasarkan laju inflasi
1) Inflasi merayap (creeping inflation), yaitu inflasi yang ditandai dengan
adanya laju inflasi yang sangat rendah yaitu kurang dari 10% per tahun dan
kenaikan harga berjalan sangat lamban dengan persentase kenaikan yang
commit to user
2) Inflasi Menengah (galloping inflation), yaitu ditandai dengan adanya laju
inflasi yang cukup tinggi yaitu diatas 10% sampai dengan 20% per tahun
dan kenaikan harga berlangsung cepat dalam waktu relative singkat.
3) Inflasi tinggi (hyper inflation), yaitu ditandai dengan adanya kenaikan harga
secara umum sampai lima atau enam kali lipat dari semula atau diatas 40%.
Masyarakat tidak lagi mempunyai keinginan untuk menyimpan uang. Nilai
uang merosot dengan tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang.
b. Inflasi berdasarkan faktor penyebabnya
1) Demand pull inflation, adalah inflasi yang terjadi karena bermula dari
adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi
telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati
keadaan kesempatan kerja penuh. Dalam keadaan hampir penuh, kenaikan
permintaan total disamping menaikan harga tetapi juga menaikan hasil
produksi (output). Namun apabila keadaan kesempatan kerja penuh (full
employment) telah tercapai, maka kenaikan permintaan total hanya akan
menaikan harga saja. Kondisi ini kemudian disebut inflasi murni.
2) Cost-push inflation, adalah inflasi yang ditandai dengan turunya produksi.
Keadaan ini timbul karena penurunan dalam penawaran total (aggregate
supply) sebagai akibat kenaikan harga biaya produksi. Kenaikan biaya
produksi pada gilirannya akan menaikan harga dan turunnya produksi.
Laju pertumbuhan inflasi dapat dihitung dari perubahan Indeks Harga
commit to user
temasuk di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Besarnya inflasi pada bulan tertentu dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:
%
IHK = Indeks harga konsumen pada periode t
1 -t
IHK = Indeks harga konsumen pada periode sebelumnya
Hubungan nilai tukar dengan inflasi dapat dijelaskan dengan The Law of
One Price atau hukum satu harga dan Purchasing Power Parity atau paritas
daya beli, seperti dalam persamaan (2.3). Dengan mengacu konsep PPP di atas
dapat dijelaskan hubungan antara nilai tukar dan inflasi pada suatu negara
(Gambar 2.4). Harga barang-barang impor dipengaruhi oleh harga di luar negeri
dan nilai tukar. Apabila harga di luar negeri meningkat, maka harga barang di
dalam negeri yang berasal dari impor juga meningkat. Dalam kaitannya dengan
nilai tukar, apabila terjadi penurunan nilai tukar lokal terhadap mata uang asing
atau depresiasi maka harga barang-barang yang diimpor juga meningkat.
Gambar 2.4. Mekanisme Transmisi Nilai Tukar ke Inflasi Sumber : Simorangkir dan Suseno, 2004: 29
commit to user
Kenaikan harga barang impor relatif terhadap barang di dalam negeri
akibat depresiasi kurs mengakibatkan masyarakat cenderung untuk membeli
lebih banyak barang dalam negeri. Kenaikan permintaan tersebut mendorong
kenaikan harga-harga barang di dalam negeri. Transmisi tidak langsung terjadi
melalui permintaan luar negeri atau ekspor berawal dari perubahan harga barang
impor dan ekspor.
Devaluasi nilai tukar mengakibatkan harga barang impor lebih mahal dan
harga barang ekspor lebih murah. Kenaikan harga barang impor ini dapat
menurunkan volume impor, sedangkan penurunan harga barang ekspor dapat
meningkatkan volume ekspor. Kedua faktor ini secara simultan akan
meningkatkan permintaan eksternal bersih yang selanjutnya akan meningkatkan
permintaan agregat dan pada akhirnya meningkatkan laju inflasi.
2. Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Nilai Tukar
Suku bunga adalah imbal hasil yang diterima hingga jatuh tempo (yield
to maturity) (Miskhin, 2008: 89), atau dapat juga dikatakan sebagai harga yang
harus dibayar apabila terjadi pertukaran antara 1 rupiah sekarang dengan 1
rupiah nanti (misal 1 tahun lagi ) dimana dengan jangka waktu tersebut bisa
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terkait dengan resiko seperti keterlambatan
membayar kembali atau tidak membayar sama sekali, Inflasi yang dapat
menyebabkan penurunan nilai mata uang, serta adanya biaya transaksi.
Hubungan tingkat suku bunga dengan nilai tukar dapat dijelaskan
berdasarkan teori paritas suku bunga yang mengasumsikan bahwa dalam
commit to user
masyarakat luar negeri dapat membeli aset keuangan domestik , dan sebaliknya
masyarakat domestik dapat membeli aset keuangan asing.
Perubahan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan jumlah
investasi di suatu negara. Perubahan itu berasal dari investor domestik maupun
investor asing, khususnya pada jenis investasi pada aset keuangan dan portofolio
yang umumnya berjangka pendek. Dalam sistim nilai tukar mengambang dengan
sistem devisa bebas, perbedaan tingkat suku bunga dapat mempengaruhi aliran
modal (capital flow) dari luar negeri, dan selanjutnya akan mempengaruhi nilai
tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang asing. Misalkan, tingkat
suku bunga dalam negeri (IND) meningkat, sementara tingkat suku bunga luar
negeri (USA) tetap konstan, maka para investor akan melihat adanya tambahan
alasan untuk membeli aset keuangan domestik karena menawarkan imbal hasil
yang lebih tinggi. Kondisi ini, menyebabkan permintaan mata uang rupiah
meningkat dan selanjutnya akan meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar
US.
Namun, Lindert (1993: 373) mengemukakan bahwa kenaikan tingkat
suku bunga suatu negara harus dilihat penyebabnya. Jika kenaikan suku bunga
mencerminkan kebijakan uang ketat dari pemerintah, maka hal tersebut dapat
meningkatkan nilai tukar mata uangnya di pasar valuta asing. Namun, jika
kenaikan suku bunga karena tingginya tingkat harga atau pemerintah akan
melakukan defisit anggaran yang lebih besar, maka ada keraguan untuk
commit to user
3. Hubungan Neraca Perdagangan dengan Nilai Tukar
Neraca perdagangan merupakan bagian dari neraca pembayaran yang
menggambarkan total transaksi ekspor dan impor barang suatu negara dalam
satu periode tertentu. Apabila nilai neraca itu positif berarti ekspor barang
melebihi impornya, yang berarti terjadi surplus neraca perdagangan. Sebaliknya
apabila negatif maka impor barang melebihi ekspornya, yang berarti defisit
dalam neraca perdagangan.
Simorangkir (2004: 31) menyatakan bahwa hubungan neraca
perdagangan dengan nilai tukar didasarkan pada konsep paritas daya beli
(purchasing power parity), yaitu harga barang-barang ekspor dan impor suatu
negara dipengaruhi nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing.
Bila mata uang suatu negara mengalami depresiasi, ekspornya bagi pihak
luarnegeri menjadi makin murah, sedangkan impor bagi penduduk negara itu
menjadi makin mahal. Apresiasi menimbulkan dampak yang sebaliknya, harga
produk negara itu bagi pihak luar negeri makin mahal, sedangkan harga impor
bagi penduduk domestik menjadi lebih murah (Krugman, 1994: 44).
Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan nilai tukar dapat
memperbaiki neraca perdagangan dengan peningkatan volume ekspor karena
terjadi penurunan harga barang ekspor di luar negeri. Sedangkan di sisi impor,
penurunan nilai tukar menyebabkan penurunan volume impor akibat kenaikan
commit to user C.Penelitian Sebelumnya
Kardoyo dan Kuncoro (2002), menganalisis kurs valas dengan pendekatan
box-jenkins menggunakan model ARIMA. Hasil analisis regresi model kurs valas
dengan pendekatan box-jenkins dalam analisis nilai tukar Rp/US$ selama periode
1983.2-2000.3 memperoleh kesimpulan antara lain: pertama, model kurs valas
Frenkel-Bilson yang melibatkan variabel fundamental ekonomi jumlah uang
beredar, tingkat pendapatan nasional, dan tingkat suku bunga, serta
signifikansinya dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar Rp/US$, menghasilkan
temuan bahwa teori paritas suku bunga (interest rate parity) berlaku dalam
mempengaruhi fluktuasi kurs Rp/US$. Kedua, model yang melibatkan variabel
jumlah uang beredar, tingkat pendapatan nasional, dan tingkat inflasi, serta
signifikansinya dalam menjelaskan fenomena kurs Rp/US$ memberikan hasil
bahwa model tersebut layak diterapkan untuk menganalisis kurs Rp/US$. variabel
tingkat inflasi Indonesia terhadap Amerika Serikat signifikan dalam menjelaskan
fenomena fluktuasi kurs Rp/US$, menghasilkan temuan bahwa teori paritas daya
beli (purchasing power parity) juga berlaku dalam mempengaruhi fluktuasi kurs
Rp/US$.
Esquivel dan Larraín (2002), melakukan penelitian dengan judul “The
Impact of G-3 Exchange Rate Volatility on Developing Countries”, yang meneliti
tentang dampak volatilitas nilai tukar US dollar, yen Jepang, dan mark Jerman
pada negara berkembang. Terdapat 28 negara berkembang, termasuk Indonesia
yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Hasil penelitiannya menunjukkan
commit to user
eksport riil negara berkembang sebesar rata-rata dua persen. Volatilitas nilai tukar
G-3 juga mempunyai efek negative pada FDI dan meningkatkan probabilitas
terjadinya krisis nilai tukar pada negara berkembang.
Atmadja (2002), menganalisis pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar
amerika setelah diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di
Indonesia dengan menggunakan model regresi OLS. Periode data yang digunakan
dalam penelitian ini mulai dari bulan Agustus 1997 hingga bulan Desember 2001
dengan variabel-variabel antara lain selisih inflasi antara Indonesia dan Amerika
Serikat, selisih suku bunga riil antara Indonesia dan Amerika Serikat, selisih
perubahan JUB antara Indonesia dan Amerika Serikat, selisih perubahan GDP riil
antara Indonesia dan Amerika Serikat, serta surplus atau defisit BOP Indonesia.
Hasilnya adalah, hanya variabel jumlah uang beredar yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap pergerakan nilai tukar, sedangkan variabel-variabel lainnya
tidak. Dengan demikian, kesimpulan penelitian ini adalah kecuali jumlah uang
beredar, sebagian besar pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat ditentukan oleh faktor-faktor lain, baik faktor ekonomi maupun non
ekonomi.
Wibowo dan Amir (2005), menganalisis tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai tukar rupiah dengan metode residual. Periode data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan mulai dari bulan Januari 2000
sampai dengan bulan Juni 2005 dengan variabel-variabel antara lain kurs, WPI
(Wholesale Price Index) Indonesia dan USA, jumlah uang beredar, PDB riil,
commit to user
variabel moneter yang mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap US$ adalah
selisih pendapatan riil Indonesia dan Amerika, selisih inflasi Indonesia dan
Amerika, selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika, serta nilai tukar
rupiah terhadap US$ satu bulan sebelumnya. Sedangkan selisih jumlah uang
beredar Indonesia dan Amerika belum menunjukkan pengaruh yang signifikan
terhadap nilai tukar rupiah.
Lee and Boon (2007), melakukan penelitian dengan judul
“Macroeconomic factors of exchange rate volatility: Evidence from four
neighbouring ASEAN Economies”, studi ini meneliti hubungan antara variabel
makroekonomi dengan volatilitas nilai tukar dalam jangka pendek maupun jangka
panjang dengan menggunakan metode GARCH. Negara yang dijadikan sampel
dalam penelitian ini adalah Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand, dengan
variabel dependen yang digunakan antara lain penawaran uang (M2), pendapatan
nasional, tingkat suku bunga, indeks inflasi, rasio nominal ekspor terhadap
nominal impor, dan composite indeks. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
adanya pengaruh variabel makroekonomi terhadap volatilitas nilai tukar dalam
jangka panjang pada semua perekonomian kecuali Thailand. Itu
mengimplikasikan bahwa volatilitas nilai tukar dan variabel makroekonomi
bergerak bersama untuk mencapai keseimbangan jangka panjang untuk Malaysia,
Indonesia dan Singapura. Dalam jangka pendek, variabel makroekonomi
kelihatannya mempengaruhi volatilitas pada setiap negara. Hal itu
commit to user
tukar hanya dipengaruhi dari pasar modal. karenanya, pasar modal nampaknya
bermain mempengaruhi volatilitas nilai tukar dalam semua gejolak perekonomian.
Yuliadi (2007), menganalisis nilai tukar rupiah dan implikasinya pada
perekonomian Indonesia dengan pendekatan ECM. Variabel yang digunakan
antara lain kurs Rp/US$, rasio tingkat bunga simpanan domestik terhadap tingkat
bunga internasional, BOP, aliran modal, CPI, dan jumlah uang beredar (M1) serta
memasukkan variabel dummy krisis. Periode data yang digunakan mulai dari
triwulan I tahun 1990 sampai dengan triwulan II tahun 2004. Hasil yang didapat
menunjukkan bahwa rasio tingkat bunga simpanan domestik terhadap tingkat
bunga internasional tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai tukar
Rp/US$ dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Aliran modal berpengaruh
positif dan signifikan terhadap nilai tukar Rp/US$ dalam jangka pendek. Neraca
pembayaran (BOP) berpengaruh signifikan dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Indeks harga konsumen (CPI) tidak berpengaruh secara signifikan dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Jumlah uang beredar (M1) dalam jangka
pendek berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai tukar Rp/US$,
sedangkan dalam analisis jangka panjang tidak berpengaruh secara signifikan.
Dalam jangka panjang, keadaan krisis ekonomi berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap nilai tukar Rp/US$.
Triyono (2008), menganalisis perubahan kurs rupiah terhadap dollar
amerika dengan pendekatan ECM. Analisis ini menggunakan variabel nilai tukar
Rp/US$, jumlah uang beredar, tingkat suku bunga SBI, inflasi, dan nilai impor.
commit to user
analisis jangka panjang variabel inflasi, SBI, dan impor berpengaruh signifikan
dan positif terhadap kurs Rp/US$, sedangkan variabel JUB mempunyai pengaruh
negatife terhadap kurs Rp/US$.
Ozturk dan Kalyoncu (2009), melakukan penelitian dengan judul
“Exchange Rate Volatility and Trade: An Empirical Investigation from
Cross-country Comparison” , yang meneliti dampak volatilitas nilai tukar terhadap aliran
perdagangan dari enam negara pada periode 1980-2005. Dampak dari volatilitas
nilai tukar diuji menggunakan Engle-Granger residual-based cointegrating
technique. Hasil utama menunjukkan bahwa peningkatan volatilitas nilai tukar riil,
mengindikasikan ketidakpastian nilai tukar, menemukan dampak negatif
signifikan pada perdagangan Korea Selatan, Pakistan, Polandia dan Afrika Selatan
dan dampak positif pada Turki dan Hunggaria dalam jangka panjang. Pergerakan
penyimpangan standart dari pertumbuhan nilai tukar riil digunakan untuk
mengukur volatilitas nilai tukar. Cointegration and error correction models
berturut-turut digunakan untuk memperoleh estimasi hubungan kointegrasi dan
pergerakan jangka pendek. Ditemukan bahwa volatilitas nilai tukar menurunkan
eksport riil untuk Polandia, Pakistan, Korea Selatan, dan Afrika Selatan dan
meningkatkan eksport riil untuk Hunggaria dan Turki. Mereka juga menemukan
bahwa volatilitas nilai tukar tidak hanya berlaku pada eksport riil jangka panjang
tetapi juga berlaku dalam jangka pendek untuk semua negara kecuali Korea
commit to user D.Kerangka Pemikiran
Kestabilan nilai tukar harus selalu dipertahankan dalam suatu
perekonomian. Pergerakan nilai tukar akan berpengaruh terhadap berbagai
variabel makro ekonomi dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sesuai dengan Undang-undang No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
menjaga kestabilan nilai rupiah. Dalam hal ini, yaitu kestabilan nilai rupiah
terhadap barang dan jasa (disebut dengan inflasi) dan kestabilan nilai rupiah
terhadap mata uang negara lain (disebut dengan nilai tukar atau kurs rupiah).
Berbagai penelitian yang dilakukan di dalam maupun luar negeri tentang
fluktuasi nilai tukar, menjelaskan bahwa terdapat banyak variabel-variabel
ekonomi makro yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, diantaranya tingkat
harga atau laju inflasi, tingkat suku bunga, dan neraca perdagangan. Perubahan
tingkat harga atau inflasi akan mempengaruhi penawaran dan permintaan mata
uang asing melalui jalur perdagangan internasional atau ekspor dan impor.
Selanjutnya perubahan tingkat suku bunga dalam negeri atau luar negeri akan
mempengaruhi nilai tukar melalui jalur aliran modal (capital flow). Menurut teori
uncovered interest rate parity, modal akan mengalir ke negara dengan tingkat
imbalan atau suku bunga yang lebih tinggi, ceteris paribus. Surplus atau defisit
neraca perdagangan juga merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan nilai
tukar karena merupakan gambaran dari jumlah transaksi ekspor dan impor suatu
commit to user
Penelitian ini membatasi variabel-variabel yang akan diteliti dengan
berdasarkan teori paritas daya beli, teori paritas suku bunga, serta pendekatan
perdagangan. Nilai tukar rupiah terhadap US dollar menjadi variabel dependen,
dimana variabel-variabel independen yang digunakan untuk menjelaskan variabel
dependennya, yaitu: 1) Selisih laju inflasi Indonesia dengan laju inflasi Amerika
Serikat, 2) Selisih tingkat suku bunga Indonesia dengan tingkat suku bunga
Amerika Serikat, 3) Neraca perdagangan Indonesia.
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
E.Hipotesis
Beberapa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Diduga selisih tingkat inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap nilai
tukar Rp/US$.
2. Diduga selisih tingkat suku bunga berpengaruh negatif signifikan terhadap
nilai tukar Rp/US$.
3. Diduga variabel neraca perdagangan berpengaruh negatif signifikan terhadap