Estimasi Ekonomi dari Syariat
Farouk Abdullah AlwyniSyahrul Efendi Dasopang
Apabila ditanyakan, berapa sebenarnya estimasi dana yang dapat dikumpulkan dari beberapa sektor syariat Islam yang berimplikasi ekonomi, seperti aqiqah, kurban, khitan, nikah, talak, haji, umrah, zakat hingga wakaf apabila dihitung secara kumulatif? Pertanyaan ini penting dijawab untuk melihat kekuatan ekonomi umat Islam Indonesia dengan hanya menjalankan beberapa sektor syariat yang umum dilakukan. Satu sektor saja seperti ibadah haji, telah memperlihatkan kepada kita betapa besarnya perputaran dana umat Islam Indonesia, apalagi jika digabungkan dengan sektor-sektor syariat yang lain.
Pada 14 September 2015 yang lalu di Harian Republika, penulis telah menjabarkan perputaran uang yang dihasilkan dari ibadah haji. Penulis menemukan, ternyata 211 ribu orang dari kuota haji untuk Indonesia, telah menyumbang Rp 5,802 triliun. Padahal setiap tahunnya, terdapat 500 ribu orang yang mendaftar untuk pergi haji dengan nilai setoran awal BPIH sejumlah Rp 25 juta. Dari angka tersebut, setiap tahunnya pemerintah menerima dana segar sebesar Rp12,5 triliun. Diperkirakan pada 2018 akan ada dana outstanding sebesar Rp.100 triliun. Sedangkan dana haji yang tersimpan di pundi-pundi pemerintah saat ini, terdapat Rp 70,02 triliun. Sayang sekali, dana itu hanya diinvestasikan dalam bentuk deposito dan penempatan SBSN. Yang harus diingat dari karakteristik ekonomi dari sektor haji, yaitu tidak pernah turun akibat sistem daftar tunggu. Jadi hal ini ibaratnya seperti menghadapi bendungan dana yang berasal dari umat Islam Indonesia.
Sebagaimana diketahui, seorang muslim dari lahir hingga wafat melekat pada dirinya pelaksanaan syariat. Ketika lahir, dikenakan padanya syariat berupa ibadah aqiqah. Kemudian tatkala kanak-kanak, dikenakan padanya ibadah khitan. Setelah mencapai umur dewasa, ia pun melaksanakan ibadah nikah. Apabila pernikahannya tidak langgeng, ia akan melaksanakan talak. Jika dalam hidupnya ia menjadi seorang yang mampu secara ekonomi, ia mengeluarkan zakat mal, melaksanakan haji, umrah dan berkurban. Sedangkan bagi setiap Muslim yang masih bisa membiayai kebutuhan makanan sehari-harinya, dikenakan kewajiban padanya zakat fitrah. Sebagian Muslim yang lain, memberikan nilai tambah pada dirinya di hadapan Tuhan dengan berwakaf. Ketika ia kembali kepada penciptanya, dilaksanakan padanya penyelenggaraan jenazah, mulai dari menshalatkan, memandikan, mengkafani, hingga menguburkannya. Dari rangkaian syariat yang melekat pada diri seorang Muslim tersebut, tentulah padanya terdapat biaya. Di bawah ini penulis berupaya mengestimasi dana yang diperoleh dari rangkaian syariat tersebut.
Sedangkan dari ibadah kurban, karakteristik ekonomi ibadah ini mirip dengan karakteristik zakat mal. Kemiripannya antara lain bahwa mereka yang berkurban merupakan golongan yang mampu. Akan tetapi seperti halnya ibadah zakat mal, kesadaran untuk berkurban masih belum merata dan maksimal. Pada umumnya, mereka yang sadar mengeluarkan zakat mal, akan rajin pula berkurban. Apabila per orang berkurban sebesar harga rata-rata domba atau kambing Rp 2 juta, maka terkumpul nilai kurban sebesar Rp 217 triliun. Nyatanya tidak sebesar itu. Angka riil perolehan zakat yang dikumpulkan oleh Baznas pada 2014 sebesar Rp 3,8 triliun, dapat menjadi perbandingan angka untuk nilai kurban per tahun secara riil.
Lain lagi dengan sektor wakaf. Data Kemenag per 2012, aset wakaf nasional mencapai 3,49 miliar meter persegi tanah pada 420.003 titik di seluruh Indonesia. Bila dirupiahkan dengan hanya Rp 100 ribu per meter persegi, nilainya mencapai Rp 349 triliun. Tentu saja data ini masih terus berubah seiiring pendataan yang terus dilakukan. Data 2015 menunjukkan, aset wakaf berupa tanah telah mencapai 4,2 miliar meter persegi di 423.000 lokasi di seluruh Indonesia.
Lalu bagaimana nilai ekonomis di sektor syariat lain yaitu nikah dan talak. Data menunjukkan, per tahun terdapat 2,5 juta pasangan yang melaksanakan pernikahan. Apabila per pasangan mengeluarkan biaya administrasi nikah sebesar Rp 600 ribu, maka nilainya sudah mencapai Rp 1,5 triliun. Sedangkan angka perceraian per tahun sekitar 300 ribu. Perceraian melalui Pengadilan Agama terdiri dari dua kategori, yaitu permohonan talak yang berasal dari pihak suami dan gugat cerai yang berasal dari pihak istri. Kedua kategori ini memiliki tarif yang berbeda. Tarif permohonan talak rata-rata sebesar Rp 850 ribu, sedangkan tarif gugat cerai sebesar Rp 650 ribu. Mari kita hitung dangan angka rata-rata Rp 700 ribu, maka per tahun saja diperoleh dana dari pelaksanaan syariat talak ini sebesar Rp 210 miliar.
Menurut perhitungan penulis, pertahun diterima dana riil dari berbagai pelaksanaan sektor syariat seperti zakat (fitrah dan mal), aqiqah, kurban, nikah, talak, haji dan umrah sebesar lebih kurang Rp 45 triliun. Apabila dihitung juga potensinya, seperti potensi nilai zakat, potensi nilai kurban, dan potensi nilai wakaf, maka diperoleh dana yang berasal dari usaha menyelenggarakan syariat-syariat tersebut sebesar Rp 775 triliun. Angka ini sangat cukup untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dasar 200 juta jiwa umat Islam Indonesia. Apabila kita tambahkan sekitar Rp 100 triliun dana dari sektor haji yang tersimpan di pundi-pundi pemerintah, maka jumlahnya bertambah menjadi Rp 875 triliun. Yang harus dicatat bahwa nilai dana ratusan triliun tersebut baru dihasilkan dari sektor syariat yang umum dilakukan di Indonesia.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al-A’raf: 96)
---Biodata Singkat Para Penulis
FAROUK ABDULLAH ALWYNI, MA, MBA, memperoleh master di Birmingham University dan New York University. Bekerja lama di Islamic Development Bank (IDB) di Jeddah, kemudian menjadi Direktur Bank Muamalat dan kini sebagai Chairman Center for Islamic Studies, Finance, Economic and Development (CISFED). Selain itu, ia juga Presiden Direktur Alwyni Internasional Capital (AIC).