EXTREMITAS FUNDAMENTALISME DAN
RADIKALISME
ANTHONY
BAB I PENDAHULUAN
I. Pengertian Fundamentalisme
Secara etimologi fundamentalisme berasal dari kata fundamental yang berarti hal-hal yang mendasar atau asas-asas. Sebagai sebuah gerakan (komunitas) keagamaan, fundamentalis dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci. Gagasan dan posisi umat beragama yang mengacu pada istilah “fundamentalisme” tampaknya masih perlu dielaborasi lebih jauh.
Dalam pandangan Gellner, gagasan dasar fundamentalisme adalah bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal (harfiah) dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, re-interpretasi dan tanpa pengurangan. Hal senada dikemukakan oleh David Ray Griffin, dalam bukunya God and Religion in the Modern World. Dapat disebutkan bahwa fundamentalisme adalah sebuah aliran atau faham yang berpegang teguh pada dasar-dasar agama secara ketat melalui penafsiran terhadap kitab suci secara rigid dan
literalis. Dalam pandangan Habermas fundamentalis adalah sebagai gerakan keagamaan yang memberikan porsi sangat terbatas terhadap akal pikiran (rasio), ketika memberikan interpretasi dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan.
Dengan demikian, fundamentalisme dapat disebut sebuah gerakan dalam sebuah aliran atau paham keagamaan yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas. Selain dalam persoalan agama, fundamentalisme terjadi juga pada bidang yang lainnya, seperti fundamentalisme politik, ekonomi dan lainnya. Hanya saja, belakangan, istilah fundamentalisme lebih banyak dan sangat populer dilekatkan pada persoalan keagamaan.
II. Pengertian Radikalisme
Dengan demikian, radikalisme dapat dipahami sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar, fanatik keagamaanya cukup tinggi, tidak jarang penganut paham ini menggunakan kekerasan dalam mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan diyakininya. Kaum radikalis menginginkan adanya perubahan atau pembaruan sosial-keagamaan secara mendasar dengan sistem atau tata nilai baru yang diyakininya. Radikalisme tidak saja berupa paham atau ideologi keagamaan yang bersifat wacana dan pemikiran, pada batas-batas tertentu paham ini dapat menjelma dalam bentuk gerakan dan aksi-aksi di lapangan.
III. Kesimpulan Pengertian
BAB II PEMBAHASAN
I. Tragedi Norwegia (22 Juni 2011)
Penembakan membabi-buta terhadap ratusan orang di Utoeya, Norwegia, yang menewaskan sedikitnya 92 orang jelas adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang manapun. Peristiwa itu adalah teror untuk semua orang, bukan hanya di Norwegia saja.
Bahkan, tragedi penembakan tersebut bisa kita sebut sebagai bencana kemanusiaan. Betapa tidak, setelah mengebom kompleks kantor perdana menteri di Oslo, si pelaku dengan dingin memberondongkan tembakan ke arah ratusan orang yang sedang berkumpul pada acara perkemahan musim panas yang digelar Partai Buruh. Pelaku tindakan gila tersebut diidentifikasi bernama Anders Behring Breivik, seorang yang terindikasi berpandangan ekstrem kanan dan mengaku Kristen fundamentalis.
Tragedi Norwegia mengingatkan pada tragedi pengeboman Oklahoma pada 1995. Bukan saja karena modusnya sama, yakni membeli beberapa ton pupuk yang kemudian diracik menjadi bom. Namun, juga karena si pelaku juga dikungkung oleh pemahaman sempit yang antitoleransi dan fobia terhadap ancaman-ancaman ideologis semu. Belajar dari tragedi tersebut, menyemai pemahaman dan sikap toleran, inklusif, dan cinta damai adalah pekerjaan rumah semua pihak untuk menangkal terorisme.
II. Tragedi Bom Mariot (5 Agustus 2003)
III. Tragedi Bom Bali I dan II (12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005) IV. Kerusuhan Mei 1998
V.
Pembahasan
Fenomena kekerasan di atas mengindikasikan bahwa gerakan “radikalisme agama” menjadi sebuah kekuatan yang laten, muncul tiba-tiba dan berbahaya. Kekerasan atas nama agama menyebabkan pada situasi di mana agama kini sedang mengalami pengujian sejarah secara kritis. Bandul pendulum agama tergantung pada persepsi dan perilaku penganutnya yang akan mengarahkan pada dua sisi, yaitu “humanisasi” atau justru malah sebaliknya, “dehumanisasi”.
Fenomena kekerasan sudah sangat lama terjadi. Kekerasan sering dijadikan alat ampuh untuk memenuhi keinginan beberapa individu atau kelompok terhadap masalah yang begitu kompleks. Dan ternyata kekerasan juga menghinggapi pada agama-agama.
Radikalisme agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
BAB III KESIMPULAN
Kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Setiap agama memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi. Hanya saja, eksplorasi atas makna-makna perdamaian dalam Islam telah dicemari oleh beberapa perilaku kekerasan oleh gerakan radikal. Tugas kaum agamawan adalah bagaimana menawarkan solusi atas kekerasan ini agar ada pernyataan bahwa kekerasan bukanlah ajaran agama.
Karena kekerasan itu akibat dari modernitas, maka Peter L. Berger (2003) menawarkan dua strategi untuk merespon modernitas dan sekularisasi ini, yaitu “revolusi agama” (religious revolution) dan “subkultur agama” (religion subcultures). Yang pertama adalah bagaimana kaum agamawan mampu merubah masyarakat secara keseluruhan dan menghadirkan model agama yang modern. Dan yang kedua adalah bagaimana upaya kita untuk mencegah pengaruh-pengaruh luar agar tidak mudah masuk ke dalam agama.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Fundamentalisme - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Qardhawi, Yusuf, Islam Ekstrem (analisa dan pemecahannya), Mizan, Bandung, 1993
Karel A, Steen Brink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984
Azra, Azyumardi, Memahami Gejala Fundamentalisme.Jurnal Ulumul Qur'an. Edisi 17 Dec 2000
Chulsum, Umi dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Kashiko, 2006.
Dephan, Terorisme. Artikel pada www.balitbangdephan.com. Didownload pada 25 September 2007.
Karyono, Ribut, Fundamentalisme Dalam Kristen – Islam . Yogyakarta: Kalika Press, 2003.
Kompasonline.com edisi Jumat, 02 Maret 2007.
Kompas edisi 2-9-2003
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN iii
Pengertian Fundamentalisme
Pengertian Radikalisme
Kesimpulan Pengertian
BAB II PEMBAHASAN v
Tragedi Norwegia
Tragedi Bom Marriot
Tragedi Bom Bali I dan II
Kerusuhan Mei 1998