• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumber

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumber"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 |

Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Alam Nagari

1

Oleh Nurul Firmansyah

1 Latar Belakang

Lebih kurang 14 tahun terakhir terjadi perubahan besar pada tatanan hukum, politik dan sosial paska berakhirnya rezim Orde Baru. Perubahan hukum dimulai sejak amandemen UUD 1945 yang terjadi dalam empat (4) putaran perubahan, yaitu; (1) perubahan pertama pada tahun 1999 berhubungan dengan

pembatasan kewenangan Presiden dan memperkuat kekuasaan DPR RI sebagai lembaga legislatif, (2) perubahan kedua pada tahun 2000 berhubungan dengan masalah wilayah Negara, Pembagian kekuasaan Pemerintah Daerah, penyempurnaan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR RI, dan ketentuan terperinci tentang Hak Asasi Manusia (HAM), (3) perubahan ketiga pada tahun 2001

berhubungan dengan Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan Negara, dan hubungan antar lembaga Negara, serta ketentuan tentang Pemilihan Umum, terakhir; (4) perubahan keempat pada tahun 2002 berhubungan dengan kelembagaan Negara dan hubungan antar lembaga Negara, penghapusan DPA, tentang pendidikan dan kebudayaan, tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, serta aturan peralihan dan tambahan, Asshiddiqie (2009). Perubahan UUD 1945 tersebut adalah bagian dari

Pembaruan Hukum di Indonesia yang diiringi dengan perubahan perundang-undangannya, baik pada level nasional sampai dengan daerah. Sayangnya, pada konteks pembaruan hukum sumber daya alam dan pengakuan hak-hak masyarakat adat ternyata belum bergerak seperti yang kita inginkan. Perubahan konstitusi yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat2 dalam pengelolaan sumber daya alam ternyata dihambat oleh rezim perundang-undangannya yang sektoral dan pengakuan setengah hati hak masyarakat adat serta sentralisme pengelolaan sumber daya alam.

Disisi lain, Perubahan sistem politik sentralistik ke desentralisasi mempengaruhi pengakuan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Desentralisasi adalah kritik terhadap sentralisasi yang mematikan potensi-potensi daerah dan kesatuan-kesatuan masyarakat adat dalam pengelolaan

1Makalah disampaikan pada Musyawarah Adat : Aplikasi Manajemen Suku dan Pemberdayaan Hukum Adat dalam Hukum Nasional, di Kota Solok, 17-18 Maret 2012. Musyawarah Adat ini yang dilaksanakan oleh Organisasi Perantau Solok Saiyo Sekato atas dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Solok dan Pemerintah Kabupaten Solok Selatan, dan organisasi kemasyarakatan lain.

2 Pasal signifikan dalam amandemen UUD 1945 terhadap hak-hak masyarakat adat terlihat di Pasal 18 B ayat (2)hasil Perubahan UUD 1945

yang kedua, tahun 2000—yang menjelaskan penghormatan terhadap hak-hak tradisional masyarakat adat dan pasal 28 I ayat (3) yang

menjelaskan Hak Asasi Manusia atas masyarakat adat. Walaupun terdapat persyaratan-persyaratan dalam pasal ini terhadap hak masyarakat adat, paling tidak ada hak-hak konstitusional masyarakat adat. Untuk lebih jelas lihat Kurniawarman (2007) Kajian Hukum Peluang dan Kendala Bagi Kebijakan Daerah Dalam Penguatan Tenurial Adat dalam Nasib Tenurial Adat Atas Kawasan Hutan : Tumpang Tindih Klaim Adat

(2)

2 |

sumber daya alam. Celakanya, aras perubahan desentralisasi terhadap pengelolaan sumber daya alam belum signifikan. Berbagai sektor seperti kehutanan, pertambangan, dan sumber daya alam lainnya masih dalam dominasi sektor-sektor di pemerintahan pusat (departemen-departemen). Hal tersebut melahirkan jurang pemisah (gap) antara masyarakat adat dan pemerintah daerah dengan pemerintah, seperti terlihat dalam hal ; pertama; gap antara penguatan hak masyarakat adat melalui kebijakan daerah (Perda) terbentur dengan kebijakan-kebijakan nasional, misalnya pengakuan hak ulayat oleh Perda Propinsi Sumatera Barat no.6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (kemudian disebut ; Perda Tanah Ulayat) di kawasan hutan tidak efektif dilaksanakan. Kedua, mahalnya biaya dan sumber daya masyarakat adat untuk mengakses sumber daya alam di kawasan hutan melalui skema-skema kebijakan kehutanan, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan dan lain-lain.

Propinsi Sumatera Barat mengambil momentum desentralisasi dengan melahirkan dua kebijakan penting tentang keberadaan nagari yang mempunyai hak-hak tradisional (hak ulayat). Yaitu; Perda Propinsi Sumatera Barat no.2 tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari (Kemudian disebut ; Perda Nagari) dan Perda Tanah Ulayat. Dua perda ini mencoba mengintegrasikan sistem pemerintahan adat dengan sistem pemerintahan modern3 dan mencoba memulihkan kembali hak-hak tradisionalnya, termasuk hak ulayat.

Selain peluang, desentralisasi juga melahirkan tantangan baru bagi gerakan pembaruan hukum, yaitu kecenderungan kepentingan elit politik dan pemerintahan terhadap masyarakat adat. Pemekaran nagari adalah salah satu contoh kepentingan elit tersebut. Pemekaran nagari mempunyai motif politik yang kental, yaitu; memperbanyak Daerah Pemilihan (Dapil) demi kepentingan elit-elit partai politik— pengaruh sistem politik liberal dalam artian luas—dan meraup dana alokasi anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dengan alasan jumlah penambahan pemerintahan terendah (desa). Motif tersebut tidak begitu jauh berbeda dengan motif “desanisasi” di masa Orde Baru waluapun aktor, proses dan polanya yang berubah dari kekuatan pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Makalah ini mencoba menjabarkan proses pembaruan hukum pengelolaan SDA yang memuat tantangan dan peluang bagi penguatan dan pengakuan hak-hak nagari pada rentang waktu satu dekade terakhir. Selain itu, makalah ini juga merefleksikan kembali pengalaman-pengalaman advokasi hak nagari dalam pengelolaan SDA (hak ulayat), khususnya pengalaman penulis dan penggiat hak masyarakat adat lainnya di Sumatera Barat sebagai bahan pembelajaran bersama. Metode penulisan makalah menggunakan

3 Integrasi sistem pemerintahan adat dengan system pemerintahan modern telah terjadi sejak zaman colonial belanda sampai dengan

(3)

3 |

pendekatan deskriptif analitik dengan menjelaskan secara analitis; pengalaman – pengalaman advokasi, hasil-hasil penelitian dan data sekunder dari referensi kepustakaan yang relevan.

2

Pengakuan Hak Nagari Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Perda Nagari dan Perda Tanah Ulayat adalah pilar kebijakan daerah di Sumatera Barat untuk meletakkan dasar-dasar pengakuan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Dua perda ini

mempertegas kembali nagari sebagai subjek hak ulayat, dan tanah ulayat sebagai objek hak ulayat dan hak ulayat sebagai hubungan hukum antara subjek dan objek tersebut. Upaya pengakuan hak masyarakat adat (nagari) dalam dua kebijakan daerah ini kemudian berdinamika dengan sistem hukum nasional, yaitu rezim pengaturan otonomi daerah, rezim pengaturan sumber daya alam, dan rezim pengaturan peradilan serta kondisi sosiologis masyarakat adat.

Perda nagari menyebutkan bahwa nagari mempunyai dua fungsi yaitu sebagai satuan pemerintahan administratif (terendah) dan kesatuan masyarakat adat. Nagari melekat padanya kewenangan administratif pemerintahan terendah sekaligus melekat padanya identitas nagari sebagai kesatuan masyarakat adat. Hal tersebut adalah respon pemisahan pemerintahan adat (yang diwakili oleh KAN) yang bersifat informal dengan pemerintahan administratif (yang diwakili kepala desa) yang bersifat formal di masa orde baru yang memecah – mecah nagari menjadi desa-desa administratif. Nagari pada waktu itu tidak sanggup menghadapi tindakan-tindakan administratif yang berakibat pada perampasan tanah ulayat, misalnya penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Nagari kambang kabupaten pesisir selatan yang tidak mengikutsertakan KAN (para ninik mamak) dalam proses penetapan ini. Di masa itu,

Departemen Kehutanan hanya melibatkan pemerintah-pemerintah desa yang berada di wilayah nagari kambang, hal serupa juga yang terjadi di nagari Guguk Malalo kabupaten Tanah Datar dalam kasus penetapan kawasan hutan lindung dan cagar alam Bukit Barisan 1 dan kasus-kasus lain yang serupa.

(4)

4 |

direkrut melalui mekanisme adat. Kondisi diatas tentunya tidak menghilangkan dikotomi pemerintahan formal (pemerintahan nagari) dengan pemerintahan non formal (KAN) dalam nagari, sehingga

melahirkan tumpang tindih pengurusan sumber daya alam di nagari. Dalam perda nagari disebutkan bahwa; ulayat nagari adalah bagian dari kekayaan nagari dan pengelolaannya oleh pemerintah nagari yang terlebih dahulu mesti berkonsultasi dengan KAN. Sedangkan perda tanah ulayat menyebutkan bahwa tanah ulayat nagari dikuasai oleh Ninik mamak di nagari yang tergabung dalam KAN dan pemanfaatannya oleh pemerintah nagari. Artinya dua perda ini menjelaskan pemerintah nagari dengan KAN bekerjasama dalam pengelolaan ulayat nagari. Kerjasama dua lembaga ini tidak selalu berjalan lancar, banyak ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam praktek antara pemerintah nagari dengan KAN, misalnya konflik pemerintah nagari dengan KAN dalam pemanfaatan sarang burung wallet di nagari simarasok kabupaten Agam.

Pembentukan nagari-nagari paska pemberlakuan perda nagari juga menyisakan persoalan-persoalan serius, yaitu tentang batas nagari. Persoalan batas nagari muncul akibat perbedaan tafsir tentang batas nagari dari dua komunitas nagari yang berkonflik. Selama ini, batas-batas nagari dijelaskan secara imaginer melalui pepatah adat dan batas alam. Akibat perubahan waktu, penafsiran pepatah-pepatah tersebut menjadi multi tafsir diantara dua komunitas yang berkonflik tersebut dan juga di perparah lagi dengan perubahan batas alam dan penentuan batas-batas administratif, seperti batas desa-desa, batas kecamatan dan batas kawasan hutan yang tidak didasari oleh batas-batas imaginer tersebut. Akibatnya, batas fisik administratif nagari belum tentu sama dengan batas imaginer nagari secara adat, sehingga melahirkan konflik horizontal yang melibatkan antar nagari, seperti konflik nagari saniang baka-muara pingai, konflik nagari sumpur-bunga tanjung dan lain-lain.

Selain konflik horizontal antar nagari, konflik-konflik vertikal antara masyarakat adat dengan Negara dan atau pemilik modal marak terjadi. Konflik ini paling banyak pada sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan. konflik di sektor perkebunan marak pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit skala besar, terutama di wilayah daratan rendah seperti kabupaten Pasaman barat, Dhamasraya, Pesisir Selatan, Agam dan Solok Selatan. Konflik ini muncul akibat pemerintah dan penguasa “memplintir” perjanjian siliah jariah4 yang konversi hak ulayat ke tanah Negara dengan penetapan Hak Guna Usaha (HGU). Hal serupa juga terjadi pada sektor pertambangan, yaitu perjanjian siliah jariah merubah status tanah ulayat menjadi tanah Negara melalui penetapan kuasa pertambangan dan izin-izin pertambangan skala kecil. Pada sektor kehutanan, konflik muncul akibat penetapan sepihak kawasan hutan dan kemudian

4 Perjanjian siliah jariah adalah perjanjian berdasarkan hukum adat antara masyarakat adat dengan pihak di luar masyarakat adat (pihak ketiga)

(5)

5 |

dibebankan HPH-HPH kepada perusahaan-perusahaan. Konflik HPH PT. AMT dengan nagari-nagari di solok selatan adalah salah satu contohnya. Penetapan kawasan hutan produksi secara sepihak dan pemberian konsesi HPH kepada PT. AMT dilakukan diluar kendali masyarakat adat.

Masyarakat adat pada konflik-konflik diatas umumnya menuntut pengembalian tanah-tanah ulayat mereka paska pemanfaatan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Selain pengembalian tanah, masyarakat adat juga menuntut bagi hasil pemanfaatan tanah-tanah yang sedang dikelola oleh perusahaan-perusahaan ini. Hal ini menunjukkan bahwa konflik vertikal seputar tanah ulayat berupa konflik penguasaan dan konflik pengelolaan dan pemanfaatan. Negosiasi-negosiasi terus dilakukan masyarakat adat terhadap perusahaan, ada yang berhasil ada yang gagal. Keberhasilan negosiasi itu biasanya melingkupi persoalan bagi hasil (pemanfaatan) berupa pemberian-pemberian insentif-insentif kepada masyarakat adat Nagari Lubuk Kilangan dari PT. Semen Padang, nagari-nagari selingkat HPH AMT dan lain-lain. Di sisi lain, terdapat juga kisah kegagalan masyarakat adat dalam menuntut hak-haknya seperti kasus masyarakat adat nagari Tiku kabupaten Agam dengan PT. Minang Agro, kasus PT. Anam koto, kasus ulayat imbang langik di pasaman barat yang dipatahkan kekuatan masyarakat adat dengan cara kriminalisasi terhadap tokoh-tokohnya.

Sebenarnya, Perda tanah ulayat telah mengatur mekanisme-mekanisme pemanfaatan tanah ulayat yang terdiri dari tiga mekanisme, yaitu : pertama, pemanfaatan oleh anggota masyarakat adat (nagari) melalui mekanisme internal nagari berdasarkan hukum adat yang berlaku pada masing-masing nagari tersebut, kedua, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum yang mengacu pada perpress no.36/2005 yang diperbarui dengan perpress 65/2005, dan ketiga, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak ketiga (investasi) melalui mekanisme perjanjian kerjasama atas dasar kesepakatan kedua belah pihak dan disarankan dalam bentuk bagi hasil dan penyertaan modal (tanah ulayat dianggap sebagai bagian dari modal (saham) perusahaan). Perda ini juga menyebutkan bahwa, pada tanah-tanah yang telah dimanfaatkan untuk investasi akan dikembalikan kebentuk semula. Bentuk semula menjadi bias makna bagi tanah-tanah yang dibebankan HGU, apakah kembali ke bentuk tanah Negara berdasarkan UUPA atau tanah ulayat berdasarkan perjanjian kesepakatan “silih jariah.”

Klausul “kembali kebentuk semula” pada tanah-tanah bekas investasi menujukkan upaya memulihkan hak ulayat pada tanah-tanah yang telah dimanfaatkan sebelum Perda ini lahir, paling tidak itu yang disebutkan oleh pembuat kebijakan ini dalam berbagai pertemuan-pertemuan.5 Walaupun multitafsir, klausul ini dapat menjadi alat pemulihan hak ulayat apabila dijelaskan secara konkrit pada perda-perda di

5 Dalam berbagai kesempatan pertemuan, baik seminar dan FGD, ketua Pansus Raperda Tanah Ulayat; Erizal Effendi menyebutkan bahwa tafsir

(6)

6 |

tingkat kabupaten / kota. Perda-perda ditingkat kabupaten atau kota mempunyai daya operasional yang kuat untuk pemulihan hak ulayat paska pemanfaatan untuk investasi tesebut.

Selain itu, perda tanah ulayat juga mengatur mekanisme penyelesaian konflik, yaitu konflik internal dalam nagari dan antar nagari. Mekanisme yang digunakan adalah mekanisme adat. Itu berarti perda TUP hanya mengatur konflik yang bersifat horizontal sedangkan vertikal tidak diatur. Hal itu berkonsekuensi pada upaya penyelesaian konflik bersifat horizontal merupakan tanggung jawab pemerintah daerah melalui perangkat-perangkatnya, sedangkan konflik vertikal secara eksplisit diserahkan kepada peradilan formal (Pengadilan Negeri). Penyelesaian konflik melalui peradilan tidak banyak menguntungkan masyarakat adat karena sifat pembuktian yang formalistis di pengadilan, sedangkan kasus-kasus vertikal terutama pada kasus-kasus perkebunan berstatus HGU mempunyai karakter yang unik dan tidak cukup dengan hanya pada pembuktian formil. Oleh sebab itu, pilihan-pilihan penyelesaian konflik banyak menggunakan cara negosiasi dan mediasi antara masyarakat adat dengan perusahaan karena alasan fleksibelitas dan pendekatan win-win solution, baik itu yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, lawyer ataupun NGO/LSM.

Untuk penyelesaian konflik horizontal, Perda Tanah Ulayat memandatkan gubernur untuk menyusun Peraturan Gubernur. Peraturan Gubenur ini penting, terutama untuk menghadapi konflik-konflik batas nagari secara operasional, namun sayang sampai saat ini peraturan gubernur tersebut belum juga dilahirkan.

Pada sisi lain, konflik kehutanan adalah konflik yang rumit karena dominasi pemerintah pusat dan ketidakpastian tenurial masyarakat adat yang besar pada kawasan hutan. Walaupun perda nagari dan perda tanah ulayat menyebutkan pengakuan hutan adat (hutan yang berada di tanah ulayat) namun tentunya menjadi persoalan bila berhadapan dengan UUK yang mensyaratkan pengakuan terlebih dahulu masyarakat adat melalui Perda yang mekanismen pengakuan tersebut sedang digodok dalam PP

pengukuhan hutan adat. Artinya hutan adat diakui oleh UUK apabila telah diatur dalam PP dan kemudian disahkan (dikukuhkan) masyarakat hukum adat itu dalam Perda. Apakah perda tanah ulayat dan perda nagari bisa dianggap sebagai bentuk pengukuhan masyarakat adat ? tentunya menjadi perdebatan hukum. Secara praktis, departemen kehutanan, dinas kehutanan dan lembaga-lembaga vertikal kehutanan

menganggap bahwa perda nagari dan perda tanah ulayat mengatur hak ulayat diluar kawasan hutan. Hal ini berarti bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari terhadap kawasan hutan mesti melalui skema

(7)

7 |

hutan, baik itu untuk membuka lahan pertanian, agroforestri maupun pemanfaatan kayu. Misalnya, kasus kriminalisasi beberapa orang anggota masyarakat nagari ampiak parak kabupaten pesisir selatan yang membuka lahan pertanian berdasarkan surat izin pemangku adat (surat pelacoan) di kawasan TNKS.

Akhirnya, dinamika pengakuan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di sumatera barat di pengaruhi oleh dua hal, yaitu; pertama, pengakuan masyarakat adat melalui proses legislasi (perda nagari dan perda tanah ulayat) yang berada pada kutub rezim pengaturan Pemerintah Daerah yang mencoba melindungi pemanfaatan tanah untuk investasi dengan mengakui hak ulayat dan mekanisme pemanfaatannya. Pengakuan ini masih mempunyai kelemahan bagi tanah-tanah yang telah dibebankan HGU dan kawasan hutan karena kebijakan ini vis a vis dengan rezim pengaturan sumber daya alam yang sentralistik, baik itu pengaturan HGU dalam UUPA dan kawasan hutan dalam UUK. Kedua, dinamika pengakuan hak masyarakat adat melalui proses administratif, yaitu proses – proses administrasi pemanfaatan tanah yang tidak transparan dan tanggung gugat, seperti penetapan kawasan hutan dan penetapan HGU dan HPH (IUPPHK) yang berdampak pada pengabaian hak ulayat. Ketiga, dinamika pengakuan hak ulayat dalam proses judicial yang masih menganut paham formalisme hukum di lembaga peradilan sehingga kasus-kasus yang bersifat vertikal belum menguntungkan terhadap pengakuan hak-hak masyarakat adat, sehingga, alternatif penyelesaian konflik seperti negosiasi dan mediasi menjadi cara alternatif penyelesaian konflik vertikal ini. Di sisi lain, dalam konteks konflik horizontal, pemerintah daerah mengakui mekanisme adat dalam penyelesaian konflik internal nagari dan mengikat pemda untuk menyelesaikan konflik antar nagari seperti yang dimandatkan oleh perda tanah ulayat walaupun secara operasional perlu Peraturan Gubernur.

3

Dinamika Politik Daerah

Vandergeest dan Wittayapak (2010) menyebutkan bahwa desentralisasi pengelolaan sumber daya alam adalah bentuk demokratisasi pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat lokal dan atau masyarakat adat—―nagari‖. Mereka menyebutkan bahwa desentralisasi pengelolaan sumber daya alam beroperasi pada dua arena, yaitu :

1. Arena administratif, atau desentralisasi administratif yang mengutamakan transfer kekuasaan pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke birokrasi daerah, yang pertanggungjawaban pemerintah daerah tersebut kepada pemerintah pusat atau lazim juga disebut dengan dekonsentrasi. 2. Desentralisasi politik yang berjalan ketika kekuasaan and sumber daya dirubah kepada autoritas yang

(8)

8 |

Bila dilihat, desentralisasi pengelolaan sumber daya alam di sumatera barat dan Indonesia pada umumnya masih menganut desentralisasi administratif sehingga pertanggung jawaban pengelolaan sumber daya alam lebih pada pertanggungjawaban administratif, sehingga kontrol pemerintah pusat begitu besar. Kondisi tersebut diperkuat lagi dengan peran partai politik yang tidak mengakar pada konstituennya di daerah namun mengakar pada elit-elit politik nasional dan daerah. Kondisi ini mempersulit upaya pengakuan dan penguatan hak – hak nagari dalam pengelolaan sumber daya alam.

1) Fenomena Pemekaran Nagari

Fenomena pemekaran nagari adalah contoh kasus, Sejak Tahun 2008, terdapat 91 Penambahan Nagari akibat pemekaran, yaitu dari 554 Nagari menjadi 645 Nagari. Kabupaten pesisir selatan adalah daerah yang paling produktif dalam pemekaran nagari, yaitu dari 76 menjadi 106 Nagari, disamping daerah-daerah lain, seperti solok selatan, padang pariaman dan kabupaten Pasaman. Dari berbagai pemberitaan media, terlihat bahwa alasan-alasan pemekaran nagari dilandasi oleh tiga hal, yaitu; pertama, alasan administratif pemerintahan terendah, seperti akses pelayanan publik pemerintah nagari terhadap masyarakat nagari. Kedua, alasan politis, seperti pemekaran nagari-nagari untuk memenuhi syarat pemekaran kabupaten (khususnya di Pesisir Selatan), dan memperbanyak Daerah Pemilihan (Dapil), ketiga, alasan, budgeting (anggaran daerah), yaitu pemekaran-pemekaran nagari ini bertujuan memperbesar anggaran belanja daerah untuk pembangunan nagari (pemerintahan terendah).

Berbagai alasan diatas seperti mengulang lagi alasan “pemaksaan” sistem pemerintahan desa di masa orde baru, walaupun motif, proses dan aktornya berbeda. Dimasa orde baru, pemberlakukan sistem pemerintahan desa secara politis untuk mempermudah cengkeraman pemerintah pusat yang otoriter pada masyarakat pedesaan di nagari dengan penyeragaman satuan pemerintah desa. Upaya

penyeragaman tersebut adalah politik hukum untuk melumpuhkan kekuatan demokratis masyarakat nagari yang hidup dan berakar pada budaya-budaya lokal (adat), baik secara politik maupun ekonomi yang kemudian digantikan oleh sistem formal pedesaan. Hal itu juga berlaku bagi nagari-nagari di sumatera barat, yaitu pemekaran nagari menjadi desa-desa sehingga melahirkan dikotomi sistem pemerintahan formal (pemerintah desa) dengan sistem pemerintahan informal (Pemerintahan Adat / KAN). Dikotomi tersebut tentunya menguntungkan sistem pemerintahan formal karena didukung penuh oleh pemerintahan orde baru diwaktu itu, baik secara politis maupun ekonomis (alokasi anggaran).

Fenomena hari ini tidak jauh berbeda dengan masa orde baru, yaitu lemahnya nagari dalam

(9)

9 |

diharapkan meninggalkan sistem politik yang sentralistik-seragam ternyata belum mampu merubah fundamen-fundamen politik lokal. Ternyata, Desentralisasi hanya mentransfer kekuasaan politik-ekonomi dari elit pusat ke daerah, sehingga wajar bila pemekaran nagari untuk memenuhi kebutuhan pemekaran kabupaten, anggaran pemerintahan daerah dan alasan-alasan politis dan administratif lainnya, sehingga terjadi formalisasi nagari, yaitu nagari hanya dipandang sebagai satuan administratif belaka.

Nagari sendiri bukanlah hasil ciptaan sistem pemerintahan formal, tetapi lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat adat minangkabau. Berbagai literatur menyebutkan bahwa

nagari adalah ―republic kecil‖ yang “semi-autonom” (Kurniawarman) atau “subkultur” (Nusyirwan

effendi) dengan sistem adatnya sendiri-sendiri (adat salingka nagari) dalam bingkai budaya alam minangkabau. Artinya, nagari memiliki identitas budaya tradisional berupa hukum adat, sistem penguasaan ulayat, sistem kekerabatan, dan bahkan sistem politik-pemerintahan itu sendiri yang kemudian berinteraksi dengan sistem politik-pemerintahan formal. Persoalan muncul dari interaksi tersebut, yaitu seberapa besar sistem politik-pemerintahan formal mempengaruhi keberlangsungan identitas nagari. Alasan-alasan politis, administratif dan ekonomis yang di usung masih dalam bingkai logika pemerintahan formal yang mempengaruhi nagari, dalam konteks ini bahwa alasan kuat

pemekaran nagari untuk memperbanyak Daerah Pemilihan (Dapil) adalah untuk memperkuat sistem politik kepartaian, bukan memperkuat sistem politik nagari dalam interaksinya dengan sistem pemerintahan formal, terutama dalam hal pengambilan keputusan di daerah, baik itu soal kebijakan maupun anggaran.

2) Dampak Pemekaran Nagari

Posisi nagari yang lemah diatas melahirkan ancaman-ancaman serius bagi nagari sebagai kesatuan masyarakat adat yang mempunyai identitas budaya sendiri. Seperti yang disebutkan diatas,

(10)

10 |

Pemekaran nagari memperkuat lagi dikotomi formal-informal diatas, nagari dipecah lagi antara sistem pemerintahan adat (KAN) dengan sistem pemerintahan administrasi (Pemerintahan Nagari) sehingga sulit mengkonsilidasikan diri dari ancaman-ancaman perubahan hukum, ekonomi dan politik. Misalnya soal pengelolaan ulayat nagari; apakah diurus oleh pemerintah nagari atau KAN dan apabila diurus oleh KAN, sejauh mana KAN dapat mengelola dan mengontrol anggaran negara dan hal-hal lain yang bersifat administratif dalam pengelolaan ulayat nagari. Kondisi tersebut menyulitkan upaya maksimalisasi pengelolaan ulayat nagari untuk kesejahteraan masyarakat di nagari karena kontrol administratif berada ditangan pemerintahan nagari.

Model desentralisasi administratif tersebut mempermudah akumulasi sumber daya alam oleh elit-elit politik lokal. Tren hari ini menunjukkan begitu masifnya pertambangan-pertambangan skala kecil yang dikeluarkan Pemerintah Daerah. Pertambangan skala kecil tersebut muncul karena penyebaran deposit sumber daya tambang yang tersebar merata di hampir seluruh wilayah kabupaten-kabupaten di sumatera barat. Akumulasi tambang-tambang ini berakibat pada kerusakan sumber daya alam yang serius terutama diwilayah-wilayah hulu DAS, seperti DAS Batanghari, Rokan, dan tentunya juga membaranya konflik tenurial. Pemekaran nagari yang marak hari ini memperlemah kontrol nagari terhadap pemanfaatan ekstraksi sumber daya alam oleh pemerintah daerah dan pemilik modal.

Tren pemekaran nagari juga mempengaruhi proses negosiasi-negosiasi masyarakat adat (nagari) bagi tanah-tanah yang telah dimanfaatkan oleh pemilik modal. Contohnya adalah pemekaran nagari di kabupaten solok selatan mempengaruhi klaim adat atas HPH yang dikelola oleh PT. AMT, dan klaim-klaim masyarakat terbagi menjadi dua klaim-klaim yaitu klaim-klaim adat oleh KAN dan klaim-klaim masyarakat lokal oleh pemerintah nagari.

Akhirnya, desentralisasi pengelolaan sumber daya alam di sumatera barat masih pada aras desentralisasi administratif sehingga kontra produktif dengan penguatan dan pengakuan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam (atau dalam konteks lebih luas; demokratisasi PSDA). Tentunya, tren politik lokal ini juga menjadi pertimbangan reflektif bagi kita semua masyarakat adat dalam menyusun strategi penguatan hukum adat kedepan.

4

Tantangan Dan Peluang Pengelolaan Sumber Daya Alam Nagari

(11)

11 |

(masyarakat adat). Tantangan objektif hukum dan politik daerah—sebenarnya telah di jelaskan dalam sub topik sebelumnya— terkait penguatan dan pengakuan hak-hak nagari, yaitu :

1. Masih adanya dikotomi pemerintahan formal (pemerintahan nagari) dengan pemerintahan informal (KAN) dalam tubuh nagari melahirkan kerentanan nagari atas dinamika perubahan hukum dan politik, misalnya pemekaran pemerintahan nagari berakibat pada pengulangan kembali sistem

pemerintahan desa yang merusak tatanan nagari di masa orde baru dalam wujud, proses dan cara yang baru di masa reformasi ini. Selain itu, dikotomi ini juga berakibat pada tumpang tindih penguasaan ulayat nagari antara KAN dengan Pemerintah Nagari sehingga melahirkan ketegangan-ketegangan diantara kedua instutusi ini di nagari.

2. Perda tanah ulayat yang mencoba menguatkan hak ulayat dalam pengelolaan sumber daya alam masih terbentur oleh sentralisasi dan sektoralisasi kebijakan sumber daya alam, terutama kehutanan. selain itu perda tanah ulayat belum diiringi dengan kebijakan-kebijakan operasional (perda kabupaten dan peraturan gubernur) sehingga semangat pengembalian tanah ulayat paska HGU menjadi terkendala.

3. Lembaga judicial masih menganut pendekatan formalistik dalam penyelesaian konflik sumber daya alam yang berhubungan dengan hak ulayat yang bersifat vertikal. Hal tersebut berpengaruh pada aksestibilitas pencari keadilan dari kelompok masyarakat adat.

4. Lemahnya akuntabilitas lembaga-lembaga publik dalam pengelolaan sumber daya alam mempengaruhi eksistensi hak ulayat dan penyelesaian konflik sumber daya alam. Seperti

akuntabilitas tindakan-tindakan administratif dalam penetapan kawasan hutan, penetapan HGU dan lain-lain.

5. Desentralisasi administratif yang dianut dalam sistem pemerintahan daerah belum mampu

membangun akuntabilitas pemerintah daerah dengan masyarakat adat, termasuk didalamnya dalam pengelolaan sumber daya alam sehingga keterlibatan nagari dalam pengambilan keputusan-keputusan dalam pengelolaan sumber daya alam didaerah lemah.

(12)

12 |

anggaran daerah dan pemekaran kabupaten, izin-izin pemanfaatan sumber daya alam ekstraktif yang merusak lingkungan.

Dalam setiap tantangan pasti terdapat peluang. Adapun peluang hukum yang bisa dikembangkan adalah :

1. Perda nagari dapat menjadi alat memperkuat hak ulayat dan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam dengan melakukan pengorganisasian nagari sebagai kesatuan masyarakat adat sekaligus bagian dari sistem pemerintah administrasi dengan membangun konsensus antara KAN dan

Pemerintah nagari dalam pengelolaan sumber daya alam di nagari—termasuk didalamnya penguatan manajemen suku ini.

2. Perda tanah ulayat dapat menjadi alat negosiasi untuk pengembalian tanah ulayat (kembali ke bentuk semula) paska HGU dengan mendorong operasionalisasi pasal pengembalian tersebut dalam

peraturan daerah ditingkat kabupaten.

3. Perda tanah ulayat dapat mengikat pemerintah daerah untuk menjalankan upaya penyelesaian konflik horizontal (terutama batas nagari) dengan mendorong lahirnya peraturan operasional tentang

penyelesaian konflik ulayat.

4. Penyelesaian konflik yang bersifat vertikal dapat didorong mekanisme alternatif penyelesaian sengketa seperti negosiasi dan mediasi, baik itu terhadap kelompok pemilik modal maupun pemerintah.

5. Dalam konteks konflik kehutanan, perlu adanya alternatif pengelolaan kolaboratif masyarakat adat – pemerintah melalui skema-skema kebijakan kehutanan, seperti hutan desa dan Hkm. Paling tidak, skema-skema tersebut membuka akses nagari dalam pengelolaan hutan yang kemudian diperkuat dengan konsolidasi elemen-elemen nagari dalam pengelolaan hutan.

6. Dalam konteks tren politik lokal, perlu adanya pendidikan-pendidikan hukum adat dan negara yang lebih intens di nagari-nagari untuk mencegah implikasi negatif dari politisasi nagari untuk

(13)

13 |

5 Kesimpulan

Dari penjabaran diatas, maka kita dapat dimabil kesimpulan sebagai berikut ;

1. Pembaruan hukum di sumatera barat dalam penguatan dan pengakuan hak ulayat dan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya di topang oleh dua kebijakan daerah, yaitu perda nagari dan perda tanah ulayat. Kedua perda ini menjadi semacam fundamen mempertegas interaksi antara nagari sebagai subjek hak dan ulayat sebagai objek hak dan hak ulayat sebagai hubungan hukumnya dalam pengelolaan sumber daya alam oleh nagari.

2. Perda nagari masih meninggalkan persoalan dikotomi antara pemerintahan formil administratif dengan pemerintahan informal adat yang mengakibatkan kerentanan nagari dalam dinamika politik dan hukum di sumatera barat.

3. Perda tanah ulayat belum efektif bekerja akibat belum lahirnya kebijakan-kebijakan operasional, khususnya di tingkat kabupaten.

4. Desentraliasi pengelolaan sumber daya alam masih pada desentraliasi administratif bukan

desentaralisasi politik sehingga memperlemah hubungan rakyat (masyarakat adat) dengan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan didaerah. Hal tersebut menyebabkan kepentingan politik elit di dalam pengambilan keputusan (kebijakan) di daerah lebih kental.

5. Kebijakan kehutanan masih sentralistik sehingga efektifitas perda tanah ulayat dan perda tanah nagari belum efektif dikawasan hutan.

6 Rekomendasi

Dari kesimpulan diatas, maka kita dapat merekomendasikan hal-hal dibawah ini untuk memperkuat hak nagari dalam pengelolaan SDA, yaitu :

1. Kaji ulang Perda Nagari berdasarkan semangat “kembali ka nagari” dengan menyatukan fungsi administratif pemerintah daerah dengan fungsi pemerintahan adat.

2. Memperkuat perda tanah ulayat dengan memproduksi peraturan operasionalnya, baik itu peraturan gubernur dan Perda Kabupaten/kota.

3. Membangun pengelolaan kolaborasi antara Departemen kehutanan, Pemerintah Daerah dan Nagari untuk mengelola SDA di kawasan hutan, baik melalui skema-skema hutan desa, hutan

(14)

14 |

4. Membangun mekanisme penyelesaian konflik pengelolaan SDA (hak ulayat) secara bersama antara pemerintah daerah, nagari, LKAMM, penggiat masyarakat adat, baik untuk konflik yang bersifat vertikal dan atau horizontal melalui kebijakan daerah—propinsi atau kabupaten/kota—berdasarkan prinsip-prinsip nilai kearifan lokal.

5. Moratorium pemekaran nagari—kalaupun ada kebutuhan pemekaran nagari sebaiknya juga diiringi dengan pemekaran secara adat.

6. Konsolidasi dan komunikasi yang intensif perlu dilakukan antara masyarakat adat (nagari), penggiat hak masayarakat adat—LSM / NGO, Akademisi, praktisi, LKAMM dan perantau dengan pengambil kebijakan di daerah dan pengambil kebijakan nasional, termasuk yang telah terjadi dalam

musyawarah adat ini untuk memperkuat (memproduksi) kebijakan-kebijakan hukum pro masyarakat adat.

Referensi

Afrizal, 2007, The Nagari Community, Business and The State : The Origin and the Process of Contemporary Agrarian Protest in West Sumatera, Indonesia, Sawit Watch and Forest Peoples Programme, Bogor.

Asshiddiqie, Jimly, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, PT Buana Ilmu Populer kelompok Gramedia, Jakarta

Firmansyah, Nurul dan Yance Arizona, 2008, Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan; Kajian atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No.6/2008 tentang Tanah Ulayat dan

Pemanfaatannya, HuMa dan Qbar, Jakarta

Kurniawarman (ed), 2007, Nasib Tenurial Adat Atas Kawasan Hutan : Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal Di Sumatera Barat, HuMa dan Qbar, Jakarta.Jakarta.

Kurniawarman, 2005, Hak Ulayat Nagari Atas Tanah Di Sumatera Barat : Jejak dan Agenda Untuk Era Desentralisasi, Yayasan Kemala, World Resource Institute dan Qbar, Jakarta.

Putra, Yerri. S (ed), 2007, Minangkabau Di Persimpangan Generasi, Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang

(15)

15 |

Webb, Edward L and Ganesh P. Shivakoti, 2007, Decentralization, Forest and Rural Communities; Policy Outcomes In South And Southeast Asia, Sage Publications.

Referensi

Dokumen terkait

PENGAKUAN NEGARA TERHADAP HAK ATAS TANAH ADAT BAGI MASYARAKAT ADAT DALAM SISTEM HUKUM DI

Misalkan tentang bagaimana arah politik hukum tentang pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat yang ingin dituju; bagaimana keberadaan masyarakat adat yang

Lahan-basah adalah salah satu sumber daya alam di dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Sumber daya alam ini rentan terhadap perubahan, padahal keberadaannya harus lestari

Berdasarkan pemetaan daerah potensial pengembangan (Geowisata) kepariwisataan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau sumbawa yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar

Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat juga diisyaraatkan dengan disebutkannya istilah masyarakat hukum adat, masyarakat adat, hak

Antara pemerintahan Nagari dan Pemerintah Daerah merupakan bentuk sistem pemerintahan Otonomi, karena nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah Propinsi

Sebagai konsewensi dari penerapan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kabupaten Pulang Pisau, masyarakat hukum adat

Pengakuan hak∕hak ulayat masyarakat adat yang merupakan pengejawantahan dari hak - hak atas jabaran dalam pasal 5 UUPA dinyatakan: Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang