BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak sebagai unsur penting kehidupan masa depan memerlukan pembinaan dan
bimbingan khusus agar dapat berkembang baik fisik, mental dan spiritualnya secara
maksimal, perkembangan tersebut terjadi di lingkungan anak.
Lingkungan adalah hal yang penting untuk diperhatikan dalam perkembangan
anak karena pada dasarnya tempat anak mempelajari hal-hal baru dalam
pertumbuhannya adalah di lingkungan, termasuk hal-hal yang dapat mempengaruhi
terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak.
Anne Astasi mantan presiden American Psychological Associaton mengemukakan bahwa pengaruh keturunan kepada tingkah laku tidak terjadi secara langsung, pengaruh keturunan selalu membutuhkan perantara atau pernagsang yang terdapat dalam lingkungan, dan faktor lingkungan menjadi
sumber dari berkembangnya setiap tingkah laku.54
Kesalahan anak yang ringan dapat berkembang menjadi kenakalan anak yangapabila dibiarkan tanpa adanya pengawasan dan pembinaan yang tepat, serta terpadu oleh semua pihak maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindakan kriminalitas, menjadikan anak sebagai pelaku tindak pidana.
Anak yang masih dalam pencarian jati diri mempunyai mental yang sangat
mudahterpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya, sehingga jika
lingkungan tempat anak berada tersebut buruk dapat berpengaruh pada tindakan yang
buruk juga.
55
54
Singgih, yulia, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,PT. BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2008, hlm. 19
55
Perbuatan atau tingkah laku anak yang menyalahi hukum disebut Kenakalan
Remaja (Juvenile Delinquency), Peter Salim mengartikan juvenile delinquency adalah
kenakalan anak remaja yang melanggar hukum, berprilaku anti sosial, melawan orang
tua, berbuat jahat, sehingga sampai diambil tindakan hukum.56
Anak pelaku tindak pidana tidaklah sama dengan orang dewasa sebagai pelaku
tindak pidana, ketentuan hukum mengenai anak-anak khususnya bagi anak yang
melakukan tindak pidana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1997 Anak yang terlanjur masuk ke dalam sistem peradilan pidana tetap harus
diperlakukan sebagai anak yang butuh perlindungan dan bimbingan tentu saja harus
berbeda dengan orang dewasa, termasuk dalam sistem peradilan pidana bagi seorang
anak pelaku tindak pidana tersebut tetaplah mementingkan hal-hal yang bersifat
mendidik dan mementingkan hak anak.
Indonesia telah membuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat
menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu dapat dilihat dari
diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah ada antara lain, Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
56
tentang Pengadilan anak, baik pembedaan perlakuan di dalam hukum acara maupun
ancaman pidananya.
Penerapan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak demi masa depannya yang masih panjang, dan pembedaan perlakuan antara pelaku tindak pidana anak dengan dewasa juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia
yang lebih baik yang berguna bagi diri, keluarga , masyarakat, dan Negara.57
Data dari Direktorat jenderal Pemasyarakatan tentang Kondisi Anak Pelaku
Tindak Pidana saat ini antara lain sebagai berikut:58
1. Lebih dari 7.000 anak sebagai pelaku tindak pidana masuk proses peradilan
setiap tahun
2. Bulan Juli 2010 terdapat 6.273 anak yang berada di Tahanan dan lapas di
seluruh Indonesia, terdiri dari 3.076 anak dengan status tahanan, 3.197 Narapidana dan 56 Anak negara .
3. Dari 6.273 anak tersebut diatas , 2.357anak ditempatkan di Lapas Anak,
sedangkan sisanya sebanyak 3.916 anak ditempatkan di Lapas Dewasa .
4. 5 (lima) Jenis tindak pidana yang paling dominan dilakukan anak yaitu :
Pencurian , Narkotika Susila ,dan penganiayaan dan pengeroyokan
Peradilan anak ada hakikatnya diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik
kembali dan memperbaiki sikap juga perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan
perilaku buruk yang selama ini telah dilakukannya.59
57
Wagiati, Op.cit,hlm. 29
Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia tampaknya hanya fokus
kepada pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana merubah si anak
tersebut menjadi lebih baik.
58
Apong, Penanganan Anak yang bermasalah dengan hukum,
2
59
Data yang ditemukan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pada tahun
2011:60
1. Lapas Klas II Anak Medan Sumut, tanggal 30 Maret 2011,ada 71 Anak
yang telah di vonis hakim PN Medan tetapi belum menerima petikan putusan (Extract Vonnis) dan masa tahanan telah habis.
2. Rutan Pondok Bambu Tanggal 14 Maret 2011, Pada tanggal 11 Maret
2011, tercatat ada 20 Anak yang belum menerima petikan putusan maupun salinan putusan pengadilan, padahal hakim sudah memutus perkara tersebut antara 6 Desember 2010 -28 Februari 2011
3. Rutan Pondok Bambu Tanggal 1 Desember 2011, Ada 126 orang (anak
laki-laki, anak perempuan dan perempuan dewasa) belum menerima extract vonis
4. Ada 162 orang ada putusan tapi belum dilengkapi surat perintah
pelaksanaan putusan (P-48) dan Berita Acara Pelaksanaan eksekusi oleh Jaksa (BA-8) .
Keadaan dimana anak adalah generasi penerus yang diharapkan kelak dan
kemungkinan masih dapat dibimbing lagi karena masih dalam tahap perkembangan,
maka patutlah untuk seterusnya negara mengubah paradigma dalam penangan anak
berhadapan dengan hukum atau anak pelaku tindak pidana.
Komisi Perlindungan anak Indonesia merekomendasi perubahan paradigma
dalam penangan anak berhadapan dengan hukum antara lain:61
1. Penyelesaian kasus ABH/Peradilan pidanaAnak harus merupakan bagian
dari perlindungan anak dan merupakan bagian integral proses pembangunan nasional.
2. Perlindungan ABH harus merupakan keseluruhan proses, dimulai dari
pencegahan, penyelesaian kasus, program rehabilitasi dan reintegrasi ABH ke Masyarakat.
3. Anak, karena karakteristiknya (belum matang baik secara fisik maupun
psikis), memerlukan perlindungan dan penanganan hukum yang khusus dibandingkan dengan orang dewasa
4. Kewajiban negara, masyarakat dan keluarga untuk melindungi anak.
Komite Pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sejalan dengan itu
telah membahas revisi UU Pengadilan anak dengan substansi penting :62
60
Apong,Op.Cit
1. Penyelesaian perkara anak dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif
2. Dalam penyelesaian perkara anak dimungkinkan adanya proses pengalihan
dari proses formal (diversi)
3. Perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir.
Substansi dan hal penting tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang diharapkan akan
mewujudkan sistem peradilan yang lebih spesifik dan sebagai penyempurnaan dan
penanggulangan hambatan- hambatan yang dirasakan pada peraturan sebelumnya dari
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Hal-hal baru yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Anak, diantaranya definisi anak, lembaga-lembaga anak, asas-asas, sanksi pidana,
ketentuan pidana.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dalam Pasal 1 menyebutkan sistem
Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyidikan sampai tahap pembimbingan
setelah menjalani pidana, keseluruhan proses tersebutlah yang menyatu menjadi
sistem peradilan pidana anak.
Pelaksanaan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana berada dalam satu
sistem yang terdiri dari subsistem yang saling berhubungan yang disebut dengan
peradilan pidana atau dalam bahasa inggris criminal justice system.63
63
Mardjono Reksodiputro mengartikan sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah keajahatan, bertujuan mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dan menyelesaikan sebagian besar laporan ataupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana kemudian mencegah
terjadinya korban kejahatan dan mencegah pelaku mengulangi perbuatannya.64
Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak, menekankan atau memusatkan perhatian pada “kepentingan anak”, Sistem peradilan Pidana Anak adalah sistem pengendalian kenakalan anak yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani Penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak,
pemasyarakatan anak.65
Berdasarkan pengertian tersebut jelas bahwa tujuan CJS terwujud apabila keempat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan bekerjasama secara terpadu (integrated Criminal Justice Administrasion).
Istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system (CJS) menurut davies menggambarkan the world system converts an impression of a complect to end, artinya kata sistem menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang kompleks terdiri dari bagian-bagian dan sub-sub bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan satu sama lain dan berjalan sampai akhir.
66
Sistem peradilan pidana terdiri dari 4 (empat) komponen yaitu kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut
bekerjasama dalam menegakkan keadilan. Tahapan dalam proses peradilan pidana
yaitu tahap prajudikasi (sebelum sidang peradilan), meliputi penyidikan dan
penyelidikan, judikasi (selama sidang peradilan) meliputi pemeriksaan dan
pembuktian tuntutan pihak jaksa dan pascajudikasi (setelah sidang peradilan) meliputi
pelaksanaan keputusan yang telah ditetapkan dalam persidangan seperti penempatan
terpidana kedalam lembaga pemasyarakatan.
Peraturan-peraturan minimum Standar Perserikatan Bangsa- Bangsa mengatur
mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak ( United NationsStandard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice (TheBejing Rules))
Bagian satu : Prinsip-prinsip Umum
Butir 5. Tujuan-tujuan Peradilan Anak
5.1. Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan
memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia
anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada
pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggar-pelanggaran hukumnya.
Butir 6. Ruang lingkup kebebasan membuat keputusan
6.1. Mengingat kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam dari anak anak maupun
keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang memadai bagi
kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada seluruh tahap proses
peradilan dan pada tahap tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak,
termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan
pengaturan-pengaturan lanjutannya.
Butir 7. Hak-hak anak
7.1. Langkah-langkah pelindung prosedural yang mendasar seperti praduga tak
bersalah, hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya, hak untuk tetap
menghadapi dan memeriksa silang saksi-saksi dan hak untuk naik banding ke
pihak berwenang yang lebih tinggi akan dijamin pada seluruh tahap proses
peradilan.
Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang
berlaku, hal ini perlu mengingat bahwa anak adalah bagian dari masyarakat yang
mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya oleh karenanya anak
memerlukan perlindungan dan perawatan khusus.67
Konsep diversi dan restorative tersebut merupakan hal baru di Indonesia, awalnya konsep diversi muncul dalam wacana-wacana seminar yang sering diadakan. Berawal dari pengertian dan pemahaman tentang konsep itu menumbuhkan semangat dan keinginan untuk mengkaji konsep tersebut, selanjutnya secara intern kelembagaan yang terlibat dalam sistem peradilan pidana anak tersebut masing-masing membicarakan kembali tentang konsep tersebut dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. Perlindungan hukum tersebut tidak terkecuali bagi anak yang melakukan tindak
pidana, dalam sistem hukum khususnya peradilan pidana anak juga telah menjadi
perhatian penting dengan adanya sistem yang edukatif atau mendidik khusus untuk
anak, perkembangan sistem yang edukatif ini tak terlepas dari konsep diversi dan
restorative justice.
68
Sistem pemidanaan yang bersifat mendidik (edukatif), tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara, memungkinkan dapat tercapainya tujuan dari pembuatan peraturan
yang mengatur tentang anak tersebut.69
Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua / wali atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau
dianutnya. 70
70
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian Latar Belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penanganan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak
pidana pada tahap prajudikasi, judikasi, dan pasca judikasi?
2. Bagaimana konsep diversi dan restorative justice pada sistem peradilan pidana
anak?
3. Apa hambatan yang ada dalam mewujudkan sistem peradilan anak yang
edukatif, dan bagaimana upaya mengatasi hambatan tersebut?
C. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelitian dan penulusuran yang telah dilakukan, baik terhadap
hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di
lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian
menyangkut masalah “Sistem Peradilan Pidana Yang Edukatif terhadap Anak sebagai
Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kabupaten Simalungun)”. Beberapa skripsi ada
membahas tentang “sistem pemidanaan yang edukatif” namun di dalam penelitian
penulis yang dibicarakan adalah sistem peradilan yang edukatif dengan tempat
penelitian kabupaten simalungun sehingga permasalahan yang dibahas tidaklah sama.
Penelitian ini betul asli dari segi substansi maupun dari segi permasalahan
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana proses penanganan yang edukatif terhadap anak
pelaku tindak pidana pada tahap prajudikasi, judikasi dan pasca judikasi.
2. Untuk mengetahui penerapan konsep diversi dan restorative justice pada sistem
peradilan pidana anak.
3. Untuk mengetahui apa saja hambatan yang ada dalam mewujudkan sisitem
peradilan yang edukatif, dan upaya mengatasi hambatan tersebut.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang
hukum acara pidana khususnya dalam hal pelaksanaan sistem peradilan yang
edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana
2. Manfaat dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan
masukan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat dicapainya suatu
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Peradilan secara Yuridis merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk
badan peradilan, dalam peradilan terkait beberapa lembaga yaitu : kejaksaan,
kepolisian, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, bantuan hukum, dalam
mewujudkan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga Negara.71
Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan dari
lembaga-lembaga tersebut, yang diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated
criminal justice administrasion” dan merupakan implementasi atau aplikasi dari
kekuasaan kehakiman dibidang peradilan pidana.72
Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak, menekankan atau memusatkan perhatian pada “kepentingan anak”.Sistem peradilan Pidana Anak adalah sistem pengendalian kenakalan anak yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani Penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak,
pemasyarakatan anak.73
Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu
keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatandan pelanggaran tindak
pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana.74
71
Maidin,Loc.Cit., hlm.66
72Ibid
, hlm.67 yang dikutip dari Marjono Reksodiputro, “Sistem peradilan Pidana Indonesia (melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi)”. Pidato pengukuhan Penerimaan jabatan guru besar tetap dalam ilmu hukum pada fakultas hukum Universitas Indonesia, 1993 hlm.1
73Ibid
, hlm. 70
74
Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa
yang ditemukan dapat dilakukan “penyidikan” atau tidak sesuai dengan cara yang
diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5)75
Penyidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan dari penyidikan, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangkanya.76
Dua penjelasan tersebut hampir tidak ada perbedaan makna keduanya, hanya
bersifat gradual saja, antara penyidikan dan penyelidikan adalah dua fase
tindakanyang berwujud satu, keduanya saling mengisi guna dapat menyelesaikan
pemeriksaan suatu peristiwa pidana.
Pasal 1 butir 1 dan 2, merumuskan pengertian penyidikan yang di lakukan oleh
penyidik yaitu pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
77
Pengertian penyelidikan dan penyidikan walaupun hampir tidak ada
perbedaannya, namun ditinjau dari beberapa segi terdapat beberapa perbedaan:78
a. Dari segi pejabat pelaksana, penyelidik terdiri dari semua anggota Polri,
pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada dibawah pengawasan penyidik,
b. Wewenang terbatas, hanya dalam hal-hal mendapat perintah dari pejabat
penyidik barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut pasal 5 ayat 1 (satu) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya.
75Ibid.
76
Pasal 1 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
77
M. Yahya,Op.cit, Hlm. 109
Pengertian Penangkapan dalam pasal 1 butir 20 dijelaskan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang.79
Penangkapan diperlukan agar pelaku tindak pidana tidak melarikan diri atau
menghilangkan barang bukti yang dapat memberatkan dirinya, walaupun
penangkapan adalah wewenang dari penyidik bukan berarti penyidik dapat menagkap
sesorang dengan sesuka hati.80
Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak
seseorang, jadi penahanan adalah suatu kewenangan penyidik yang sangat Pasal 17 KUHAP menetukan syarat penangkapan adalah Tindakan
penangkapan baru dapat dilakukan oleh seorang penyidik apabila sesorang itu :
‘diduga keras melakukan tindak pidana dan dugaan itu di sertai permulaan bukti yang
cukup’. Adanya bukti permulaan yang cukup dan atas dasar bukti permulaan yang
cukup itulah sesorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditangkap,
agar tidak terjadi kekeliruan dalam penangkapan.
Penjelasan pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka
atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta cara yang diatur oleh undang-undang”.
79
M. Yahya, Ibid, hlm.157
80
bertentangan dengan hak asai manusia, sehingga penyidik haruslah berhati – hati
untuk menahan sesorang.81
Penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali, karena kekeliruan dalam
penahan dapat menimbulkan hal-hal fatal bagi penahanan. Dalam KUHAP diatur
tentang ganti rugi dalam pasal 95 disamping dapat dilakukannya praperadilan.82
2. Pengertian Sistem Peradilan yang edukatif menurut Undang- undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Anak bukanlah mimiatur orang dewasa, anak sebagai pelaku bukanlah sebagai
pelaku murni akan tetapi juga sebagai korban.83
Numerous studies show that one of the most effective ways to help young people in juvenile justice get back on track is by advancing their educational skills, according to the National Center on Education, Juvenile Justice, and Disability. Reconnecting these kids to school has been shown to reduce recidivism. But the quality and even the availability of basic educational services in juvenile justice settings is spotty at best.
"Tragically, some of the kids who need the best options are the ones who get the worst alternatives," says David Domenici, co-founder of Maya Angelou and executive director of the See Forever Foundation.
"Kids who are already behind, have quit or been pushed out of school, or are in a confined facility need the most support to move out of poverty and low education [performance] and into college. They end up in schools that don't work well and it tracks them right back into an unhealthy situation," he says.84
(Sejumlah penelitian menunjukkan bahwasalah satu carayang paling
efektifuntuk membantu kaum mudadalamperadilan anakkembali ke
jaluradalahdenganmemajukanketerampilanpendidikan mereka, menurut
Dewi , Proses diversi dalam SPPA diIndonesia, Expert Consultation meeting, Bali, 2013 84
Caitlin Johnson, SparkAction (at press time, Connect for Kids) , Education : the key to the
future for kids in juvenile justice, January 9, 2006,
National Center on Education, Juvenile Justice, and Disability, menghubungkan kembalianak-anak inike sekolahtelahterbukti mengurangiresidivisme,
tapikualitasdan bahkanketersediaanpelayanan dasar pendidikandalampengaturanperadilan anak adalah di titik terabaik.
"Tragisnya, beberapaanak-anak yangmemerlukan opsi-opsiterbaikadalah orang-orangyang mendapatkanalternatifterburuk," kata DavidDomenici, co-pendiri
MayaAngeloudandirektur eksekutif dariSeeForever Foundation.
"Anak-anakyangsudah tertinggal, telahberhenti atautelah keluar darisekolah, ataudi fasilitasterbataspalingmembutuhkandukunganuntukkeluar dari kemiskinandanpendidikan yang rendah[kinerja] danke perguruan tinggi. Mereka akhirnyadi sekolah-sekolahyang tidakbekerja dengan baikdanitu menjadi jalanmerekasegera kembali kesituasi yang tidak sehat, "katanya.)
Sistem peradilan pidana menuru Romli Asasmitaapabila dipandang sebagai
bagian dari pelaksanaan social defence yang terkait dalam tujuan mewujudkan
kesejahteraan masyarakat maka dalam sistem peradilan terkandung aspek sosial yang
menitik beratkan kepada kegunaan (ekspediensy)85
Sistem pemidanaan edukatif merupakan suatu sistem dimana anak sebagai pelaku tindak pidana tidak hanya diberikan suatu sanksi berupa pemidanaan semata, namun diberikan suatu tindakan (treatment) yang memposisikan anak bukan sebagai pelaku kejahatan layaknya orang dewasa tetapi merupakan individu yang belum dewasa, yang membutuhkan bimbingan moral, mental dan
spiritualnya agar menjadi calon individu dewasa yang lebih baik.86
Sejalan dengan itu sistem pemidanaan yang bersifat mendidik (edukatif), tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara, memungkinkan dapat tercapainya tujuan
dari pembuatan peraturan yang mengatur tentang anak tersebut.87
85
Tolib Efenndi, Sistem Peradilan pidana : perbandingan komponen dan proses peradilan pidana di beberapa negara,Pustaka Yustisia, Jakarta, 2013. Hlm. 12
86
Novie Amalia Nugraheni, “Sistem pemidanaan yang edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana”,( Thesis, Magister ilmu hukum UNDIP,2009). Hlm 20
87
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana anak yang
telah mengatur Konsep diversi dan keadilan restoratif. menurut UU Sistem peradilan
pidana anak tersebut Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.88
Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.89
3. Pengertian Anak
Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk
anak yang masih dalam kandungan".Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990,
"Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan
undang-undang yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal".
Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, "Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya".
88
Pasal 1 ayat 7 UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
89
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberi batasan
yang berbeda antara anak perempuan dengan anak laki-laki, yakni anak perempuan
berumur 16 tahun dan anak laki-laki berumur 19 tahun.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1
Ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka
(1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin”.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
Pasal 1 Ayat 3 menyebutkan “Anak yang berkonflik dengan Hukum selanjutnya
disebut anak adalah anak yangtelah berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO tentang
Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas) tahun.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) memberi batasan mengenai
pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur
21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi:
“belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
Hukum Islam dan Hukum Adat menentukan seorang masih anak-anak atau
sudah dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia
untuk mencapai tingkat kedewasaan.90
90
Marlina, Op.cit, hlm.34
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undang tentang
Perlindungan Anak sendiri ditetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum
mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan belum
pernah menikah.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang
bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini,
menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga
18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.
Sidang uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah
usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.
Sebelumnya, anak yang berusia 8 - 18 tahun diberikan tanggungjawab pidana sesuai
dengan pasal 1 angka 1, pasal 4 ayat 1 dan pasal 5 ayat 1 UU No 3/1997 Tentang
Mengenai batas usia anak untuk dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya,
MK berdasarka
batasminimal usia anak yang dapat dituntut pertanggung jawaban pidana menjadi 12
Tahun.91
Saat ini dalam UU Sistem Peradilan Anak yang baru ini mengatur beberapa hal penting dan salah satunya adalah batasan usia pertanggungjawaban pidana yaitu 12 tahun sampai 18 tahun serta batasan usia anak dapat dikenakan penahanan yaitu 14 tahun sampai 18 tahun (Pasal 32 ayat [2] RUU Sistem Peradilan
Anak). 92
4. Pengertian Kenakalan Anak
Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency”, yang diartikan
dengan anak cacat social. Istilah delinkuen berasal dari delinquency, yang diartikan
dengan kenakalan anak, kenakalan remaja, kenakalan pemuda dan delinkuensi.93
norma hukum maupun norma sosial. Paul Moedikdo, SH mengartikan
94
1. Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi
anak-anak merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya.
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk
menimbulkan keonaran dalam masyarakat.
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial.
91
Ilman, Penerapan pidana penjara bagi anak,
pada tanggal 5 April 2014
92
Ibid
93
Marlina, Op.cit, hlm.37
94
Haryanto, kenakalan anak wujud kepribadian dan kreatifitas,
Ada banyak hukuman edukatif yang bisa diterapkan khususnya pada anak yang
melakukan kesalahan ringan, diantaranya adalah:95
1. Menampakkan wajah masam
Wajah masam yang diperlihatkan oleh orang tua maupun gurunya bisa menjadi hukuman baginya, saat anak melihat perubahan ekspresi wajah kita dengan sendirinya anak akan menyadari jika yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan yang harus diperbaikinya.
2. Memberikan time out
Maksud dari memberikan time out adalah dengan menyuruh si anak untuk berpisah dari kelompoknya, menyuruhnya duduk atau berdiri di suatu ruangan tertentu dalam waktu tertentu untuk merenungi kesalahannya. Hukuman ini cocok untuk anak yang melakukan kesalahan terkait sopan santun baik kepada guru, orang tua, maupun kepada teman sebayanya. 3. Memberi anak tugas bersih-bersih
Saat di sekolah bisa menyuruh anak untuk membersihkan papan tulis, menyapu kelas sebelum pulang sekolah, atau tugas kebersihan lainnya. Saat di rumah, hukuman bisa diberikan dengan menyuruhnya merapikan kamar atau meja belajarnya, menyuruhnya membantu tugas ibu membersihkan rumah. Selain memberikan efek jera, hukuman ini juga bisa mengajarkan tanggungjawab terhadap kebersihan lingkungan kepada si anak.
4. Menyuruh anak meminta maaf kepada orang yang disakitinya ketika anak melakukan kesalahan kepada orang lain maka salah satu hukuman yang bisa berikan kepada si anak adalah dengan menyuruhnya meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Dengan menyuruhnya meminta maaf itu sama dengan kita mengajarkan anak untuk bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
5. Menyuruh anak berjanji untuk tidak mengulanginya
salah satu tujuan diberikannya hukuman kepada anak adalah agar anak tidak mengulangi perbuatannya. Hukuman semacam ini memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah melatih anak untuk berlaku jujur, amanah, dan konsisten untuk menepati janjinya.
6. Menyuruh anak membantu pekerjaan kita
salah satu hukuman yang edukatif adalah dengan menyuruh anak membantu pekerjaan kita, jika di rumah si anak bisa diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan ringan seperti menyapu lantai, membuang sampah, dan lain sebagainya, jika di sekolah, anak bisa diminta untuk membagikan buku kepada siswa lain, menghapus papan tulis dan tugas lainnya
7. Menyuruh anak membaca buku dan menceritakan isinya
95
Aka, Memberikan anak hukuman edukatif,
menyuruh anak membaca buku adalah salah satu jenis hukuman edukatif yang cukup banyak disarankan oleh para pakar pendidikan dibanding dengan memarahi atau memukulnya.
8. Menyuruh anak menghafal
salah satu hukuman edukatif lainnya adalah menyuruh anak menghafal terkait pelajaran yang ia pelajari. Misalnya anak diminta menghafal perkalian atau menghafal surat pendek dalam Alqur’an. Hukuman ini akan sangat bermanfaat untuk mengasah daya ingat, melatih konsentrasi, dan banyak manfaat lainnya.
9. Menyuruh anak menulis
menulis merupakan kegiatan yang sangat baik dibiasakan sejak kecil. Dengan menulis, anak dilatih untuk bisa mentransfer apa yang ada dalam pikiran mereka dalam bentuk tulisan.
10.Mengurangi jatah waktu bermain
Dengan mengurangi jatah waktu bermainnya, diharapkan dapat memberikan efek jera kepada anak dan tidak mengulangi kesalahannya tersebut. Mengurangi jatah bermain anak harus dilakukan dengan mengalihkannya kepada kegiatan positif lainnya.
Delikuensi dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai tingkah laku
yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat.
Badan Koordinasi penanggulangan Kenakalan Remaja dan penyalahgunaan Narkotika Sumatera Utara dalam Makalah “Pola penanggulangan Kenakalan Remaja” Kenakalan remaja adalah terjemahan dari Kata “juvenile delinquency” dan dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asocial, bertentangan dengan agama, dan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.96
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, pasal 1 angka 2 menentukan bahwa anak nakal adalah :
Istilah yang lazim digunakan adalah kejahatan anak dan adapula yang
menggunakan istilah kenakalan remaja.
97
1. Anak yang melakukan tindak pidana
96
Maidin, Op.Cit., hlm.56
97
2. Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dua pengertian anak nakal tersebut diatas yang dapat diselesaikan melalui jalur
hukum adalah pengertian anak nakal menurut poin a, yaitu anak yang melakukan
tindak pidana. KUHP tidak mengenal istilah anak nakal dari pengertian huruf b,
karena KUHP mengatur tentang tindak pidana98
Perumusan tersebut masih dianggap terlalu luas dan masih bisa dipersempit menjadi dua macam sifat kenakalan berdasarkan ringan atau beratnya akibat yang ditimbulkan yaitu;
.
Pasal tersebut dalam penjelasannya tidak memberi penjelasan lebih lanjut,
secara umum dari pasal tersebut dapat diartikan kenakalan sebagai salah satu tingkah
laku anak yang menimbulkan persoalan bagi orang lain.
99
1. Kenakalan semu, merupakan kenakalan yang tidak dianggap kenakalan
bagi pihak ketiga kecuali orang tua mereka, dianggap masih dalam batas kewajaran dan nilai moral.
2. Kenakalan nyata, adalah tingkah laku anak yang dianggap melanggar nilai
social dan nilai moral, sehingga dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
98
Maidin, Opcit, hlm.57
99
Adapun gejala-gejala yang dapat memperlihatkan hal-hal yang mengarah kepada
kenakalan Anak :100
1. Anak-anak yang tidak disukai oleh teman-temannya sehingga anak tersebut menyendiri. Anak yang demikian akan dapat menyebabkan kegoncangan emosi. 2. Anak-anak yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab di rumah atau di
sekolah. Menghindarkan diri dari tanggung jawab biasanya karena anak tidak menyukai pekerjaan yang ditugaskan pada mereka sehingga mereka menjauhkan diri dari padanya dan mencari kesibukan-kesibukan lain yang tidak terbimbing. 3. Anak-anak yang sering mengeluh dalam arti bahwa mereka mengalami masalah
yang oleh dia sendiri tidak sanggup mencari permasalahannya. Anak seperti ini sering terbawa kepada kegoncangan emosi.
4. Anak-anak yang mengalami phobia dan gelisah dalam melewati batas yang berbeda dengan ketakutan anal-anak normal.
5. Anak-anak yang suka berbohong.
6. Anak-anak yang suka menyakiti atau mengganggu teman-temannya di sekolah atau di rumah.
7. Anak-anak yang menyangka bahwa semua guru mereka bersikap tidak baik terhadap mereka dan sengaja menghambat mereka.
8. Anak-anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian.
keluarga, karena merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak.
Menghadapi
dua sikap bicara yaitu :101
1. Sikap/cara yang bersifat preventif yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat memberikan/mengadakan tindakan sebagai berikut :
a) Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.
b) Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.
c) Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.
d) Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam
satu ikatan keluarga.
e)
f) Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif,
supaya kepribadian dan kreatifitas anak terasah.
g) Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.
h) Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.
100
Haryanto, Op.cit
101
2. Sikap/cara yang bersifat represif yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang khusus mengenai masalah perlindungan anak-anak. Selain itu pihak orang tua terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya mengambil sikap sebagai berikut :
a) Mengadakan
diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan anak.
b) Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan
yang menimpa anaknya.
c) Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam
mengawasi
d) Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.
G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian
yuridis normatif102
102
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Surabaya, Bayu media, 2008, hlm. 295
.
Penelitian hukum doktriner atau yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang
lain. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis karena penelitian ini
diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas, rinci dan sistematis. Sedangkan
dikatakan Analitis karena data yang diperoleh akan dianalisis untuk pemecahan
2. Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data penelitian ini bersumber dari data sekunder yang meliputi:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autorotatif artinya
mempunya otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki.103
b. Bahan Hukum Sekunder
Penelitian ini dipakai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penelitian tentang sistem peradilan pidana anak yang edukatif ini yaitu
Undang-undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997, dan Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Bahan Hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku- buku teks
yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal- jurnal hukum, pendapat
para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi uang berkaitan dengan topik
penelitian. 104
103
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 141
104
Jhony, Op.cit, Hlm. 296
Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa bacaan yang relevan
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder105
3. Teknik Pengumpulan Data
Bahan hukum tertier dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus
umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo, serta saran
ajar tentang penulisan karya ilmiah.
Metode Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research),
Pengumpulan data dari literatur-literatur, karya ilmiah peraturan
perundang-undangan, pendapat-pendapat sarjana
b. Penelitian Lapangan (Field research)
Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer, data ini
diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide).
Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
4. Metode Analisa Data
Penelitian ini dianalisis dengan secara kualitatif, dan dikemukakan dalam
bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis
data dengan memperhatikan fakta-fakta dalam pengaplikasiannya di lapangan yang
kemudian dibandingkan dengan teori dalam studi kepustakaan, sebagai cara untuk
menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, metode analisa data
yang digunakan adalah Normatif Kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik
tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan
kualitatif maksudnya analisa data yang bertitik tolak pada informasi-informasi yang
didapat dari responden untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas,
sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan
solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara kesuluruhan dari skripsi ini penulis akan
menguraikan sistematikanya.
Skripsi ini terdiri dari V Bab yaitu:
Bab I Pendahuluan
Uraian dalam Bab ini penulis membuat Latar Belakang, yang
menguraikan latar belakang dari penulisan skripsi ini. Pokok
permasalahan menguraikan tujuan penulis melakukan penelitian dan
penelitan dan penulisan skripsi ini. Keaslian penelitan yaitu suatu
pernyataan bahwa penelitian dan penulisan skripsi ini hanya penulis
yang mengungkapkan. Tinjuan kepustakaan, menguraikan sistem
peradilan yang edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana,
pengertian sistem peradilan anak, pengertian anak, dan pengertian
kenakalan anak. metode penelitian yakni cara yang penulis lakukan
untuk dapat menyusun skripsi ini.
BAB II Proses Penanganan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana
dalam sistem peradilan pidana anak.
Uraian dalam bab ini adalah tentang sistem peradilan anak pada
umumnya yang melibatkan seluruh instansi yang terkait dalam proses
peradilan anak, mulai dari proses peradilan anak tahap prajudikasi
meliputi penyidikan dan penyelidikan, tahap penangkapan dan
penahanan. Proses peradilan pidana anak tahap judikasi meliputi tahap
pemeriksaan perkara, tahap penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan. Proses peradilan pidana anak tahap pasca judikasi meliputi
pelaksanaan keputusan hakim, pemidanaan terhadap anak pelaku
tindak pidana, dan peranan lembaga-lembaga terkait dalam
pelaksanaan peradilan pidana anak.
BAB III Konsep Diversi dan Restorative Justice pada peradilan anak
Uraian dalam bab ini adalah tentang penerapan konsep diversi dan
edukatif, sesuai dengan hukum yang berlaku di indonesia juga sejarah
penggunaan diversi dan restoraive justice saat ini.
BAB IV Hambatan dan upaya penanganan dalam mewujudkan peradilan pidana
anak yang edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana
Uraian dalam bab ini adalah tentang berbagai hambatan yang ada
dalam pelaksanaan peradilan pidana anak ditinjau dari beberapa segi
antara lain hambatan dari segi yuridis, hambatan dari segi aparat
penegak hukum dan hambatan dari segi masyarakat. Penulis juga
menguraikan upaya yang dapat dilaksanakan dalam pelaksanaan
peradilan pidana anak yang edukatif, baik upaya dari segi yuridis,
upaya dari segi aparat penegak hukum, dan upaya dari masyarakat.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran penulis dari bab-bab