KEBIJAKAN DIVIDEN
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN DEVIDEN
Salah satu kebijakan deviden yang harus diambil oleh manajemen adalah laba yang
diperoleh oleh perusahaan selama satu periode akan dibagi sebagian untuk deviden dan
sebagian lagi di bagi dalam laba ditahan.
Kebijakan deviden merupakan bagian yang tidak dapat dipisahan dengan keputusan
pendanaan perusahaan. Secara definisi Kebijakan Deviden adalah kebijakan untuk menentukan
berapa laba yang harus dibayarkan (deviden) kepada pemegang saham dan berapa banyak yang
harus ditanam kembali (laba ditahan).
Deviden adalah pendapatan bagi pemegang saham yang dibayarkan setiap akhir periode
sesuai dengan persentasenya. Persentase dari laba yang akan dibagikan sebagai deviden kepada
pemegang saham disebut sebagai Deviden Payout Ratio (DPR)
Bambang Riyanto (2001: 281) mendefinisikan kebijakan dividen sebagai “politik yang bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan
pendapatan untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau untuk
digunakan di dalam perusahaan (laba ditahan).
Menurut Sundjaja dan Barlian (2003: 390) kebijakan dividen adalah rencana tindakan
yang harus diikuti dalam membuat keputusan dividen.
Menurut Wetson dan Brigham (1990:198) kebijakan dividen adalah keputusan untuk membagikan laba atau menahannya guna diinvestasikan kembali di dalam perusahaan.
B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN DEVIDEN
Adapun factor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya deviden yang dibayarkan oleh
perusahaan kepada pemegang saham antara lain :
1. Posisi likuiditas Perusahaan
Likuiditas perusahaan sangat besar pengaruhnya terhadap investasi perusahaan dan
kebijakan pemenuhan kebutuhan dana. Deviden bagi perusahaan merupakan kas keluar, maka
semakin besar posisi kas dan likuiditas perusahaan secara keseluruhan, akan semakin besar
kemampuan perusahaan untuk membayar deviden.
2. Kebutuhan Dana Untuk Membayar Hutang
Apabila perusahaan mengambil hutang untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti
jenis pembiayaan yang lain, perusahaan tersebut menghadapi dua pilihan, yaitu perusahaan
yang lain. Jika keputusannya membayar hutang tesebut, maka biasanya perlu untuk menahan
laba.
3. Tingkat Ekspansi Aktiva
Semakin cepat suatu perusahaan berkembang, semakin besar kebutuhannya untuk
membiayai ekspansi aktivanya, perusahaan cenderung untuk menahan laba daripada
membayarkannya dalam bentuk deviden.
4. Stabilitas Laba
Suatu perusahaan yang mempunyai laba stabil sering kali dapat memperkirakan berapa
besar laba dimasa yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan “DPR” yang tinggi, daripada perusahaan yang labanya berfluktuasi. Deviden yang lebih rendah akan mebih mudah untuk dibayar apabila laba menurun pada masa yang akan datang.
C. TEORI – TEORI KEBIJAKAN DEVIDEN
1. Dividen irrelevance Theory(Dividen Tidak Relevan)
Beberapa kalangan berpendapat bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh
terhadap harga saham perusahaan maupun terhadap biaya modalnya. Jika kebijakan dividen
tidak mempunyai pengaruh yang signifikan, maka hal tersebut tidak relevan.
Pendukung dari tidak relevannya kebijakan dividen adalah Modigliani-Miller (MM).
Mereka berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan dividen itu memang tidak mempengaruhi
harga saham maupun kemakmuran pemegang saham. Lebih lanjut MM berpendapat bahwa
nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dan asset perusahaan tersebut. Dengan demikian nilai perusahaan ditentukan oleh keputusan investasi. Sementara itu keputusan
apakah laba yang diperoleh akan dibagikan dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak
mempengaruhi nilai perusahaan.
MM menyatakan bahwa dividen tidak relevan berdasarkan asumsi-asumsi di bawah ini:
a) Pasar modal sempurna, di mana para investor mempunyai kesamaan informasi, tidak ada
biaya transaksi dan tidak ada pajak.
b) Para investor bersifat rasional.
c) Semua peserta pasar bersifat price-taker.
d) Adanya unsur ketidakpastian bagi arus pendapatan masa datang dan para investor
mempunyai informasi yang sama
e) Manajer dalam pengambilan keputusannya mengenai produksi dan investasinya
disesuaikan dengan informasi tersebut.
g) Perusahaan-perusahaan semestinya memiliki kelas risiko yang sama.
h) Perusahaan dengan produksi yang sekarang memiliki yield yang sama.
2. Teori Bird in The Hand
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon (1959) dan John Lintner (1956) yang
berpendapat bahwa ekuitas atau nilai perusahaan akan turun apabila rasio pembayaran dividen
dinaikkan, karena para investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan modal (capital
gain) yang dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan seandainya para investor menerima dividen. Gordon dan Lintner berpendapat bahwa sesungguhnya investor jauh lebih menghargai
pendapatan yang diharapkan dari dividen daripada pendapatan yang diharapkan dari
keuntungan modal.
MM dalam hal ini tidak setuju bahwa ekuitas atau nilai perusahaan tidak tergantung pada
kebijakan dividen, yang menyiratkan bahwa investor tidak peduli antara dividen dengan
keuntungan modal. MM menamakan pendapat Gordon-Lintner sebagai kekeliruan
bird-in-the-hand, yakni: mendasarkan pada pemikiran bahwa investor memandang satu burung di tangan
lebih berharga dibandingkan seribu burung di udara. Dengan demikian, perusahaan yang
mempunyai dividend payout ratio yang tinggi akan mempunyai nilai perusahaan yang tinggi
pula.
Namun menurut pandangan MM, kebanyakan investor merencanakan untuk
menginvestasikan kembali dividen mereka dalam saham dari perusahaan bersangkutan atau
perusahaan sejenis, dan dalam banyak kasus, tingkat risiko dari arus kas perusahaan bagi
investor dalam jangka panjang hanya ditentukan oleh tingkat risiko arus kas operasinya, bukan
oleh kebijakan pembagian dividen.
3. Teori Preferensi Pajak
Ada tiga alasan yang berkaitan dengan pajak untuk beranggapan bahwa investor mungkin
lebih menyukai pembagian dividen yang rendah dari pada yang tinggi, yaitu:
a) Keuntungan modal dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pada pendapatan dividen. Untuk
itu investor yang kaya (yang memiliki sebagian besar saham) mungkin lebih suka perusahaan
menahan dan menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba mungkin
dianggap menghasilkan kenaikkan harga saham, dan keuntungan modal yang pajaknya rendah
akan menggantikan dividen yang pajaknya tinggi.
c) Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal, sama sekali tidak ada pajak
keuntungan modal yang terutang.
Karena adanya keuntungan-keuntungan pajak ini, para investor mungkin lebih suka
perusahaan menahan sebagian besar laba perusahaan. Jika demikia para investor akan mau
membayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah daripada untuk
perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi.
D. JENIS-JENIS DIVIDEN
Menurut Zaki Baridwan (1993) deviden yang akan dibagikan oleh perusahaan dapat
terbagi dalam beberapa jenis, yaitu:
1. Dividen tunai (cash dividen),
yaitu dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk uang tunai dan
dikenai pajak pada tahun pengeluarannya. Dividen ini yang paling umum dan banyak
digunakan dalam pembagian saham.
2. Dividen saham (stock dividen),
yaitu dividen yang dibagikan perusahaan kepada para pemegang saham dalam bentuk
saham perusahaan sehingga jumlah saham perusahaan menjadi bertambah. Jadi, pemberian
stock dividen ini dilakukan dengan cara mengubah sebagian laba ditahan (retained earnings) menjadi modal saham yang pada dasarnya tidak mengubah jumlah modal sendiri. Namun
demikian cash flow perusahaan tidak terganggu karena perusahaan tidak perlu mengeluarkan
uang tunai. Peristiwa ini dilakukan jika posisi kas perusahaan atau likuiditas diperlukan oleh
perusahaan. Investor dalam hal ini akan memiliki lebih banyak saham tetapi laba per lembar
saham lebih rendah. Proporsi pemilikan investor tidak mengalami perubahan.
Contoh:
PT Abadi memiliki struktur modal sebagai berikut:
Saham biasa (nominal Rp 1000 : 3 000 000 lembar) = Rp 3 000 000 000
Capital surplus = Rp 1 500 000 000
Laba ditahan = Rp 7 500 000 000
Modal sendiri = Rp 12 000 000 000
Perusahaan menentukan stock dividend sebesar 10%.
Bagaimanakah komposisi modal sendiri setelah stock dividend?
Jawab:
Stock dividend 10%
Maka ada tambahan saham sebanyak 10% x 3 000 000 = 300 000 lembar.
Stock deviden = 300 000 x Rp 4.000,- = Rp 1.200.000.000,-
ditransfer dari laba ditahan ke saham biasa dan capital surplus.
a) Nilai nominal saham tidak berubah, maka 300 000 lembar x Rp 1000 = Rp 300.000.000,
ditransfer ke modal saham biasa.
b) Sisanya Rp 1 200 000 000 – Rp 300 000 000,- = Rp 900 000 000,- dimasukkan dalam capital
surplus, sehingga total modal sendiri tidak berubah.
c) Setelah stock dividend maka komposisi modal sendiri PT Abadi :
Saham biasa (nominal Rp 1000 ; 3 300 000 lembar) = Rp 3 300 000 000
Capital surplus = Rp 2 400 000 000
Laba ditahan = Rp 6 300 000 000
Modal sendiri = Rp 12 000 000 000
Stock dividend meningkatkan jumlah saham yang beredar, sehingga laba per saham
(EPS) akan menurun secara proporsional. Jadi para pemegang saham mempunyai jumlah
lembar saham yang bertambah, tetapi mempunyai EPS yang berkurang, sehingga proporsi
keuntungan totalnya tetap tidak berubah. Pembagian stock dividen akan menurunkan harga
saham sehingga tidak memberikan manfaat ekonomis, kalau kemampuan perusahaan dalam
mendapatkan laba tidak berubah, demikian juga dengan biaya modalnya.
Bagaimanapun, harga saham akan dipengaruhi oleh kemampuan memperoleh laba dan
resiko perusahaan (yang tercermin dalam biaya modalnya). Kedua factor tersebut tidak
bisadimanipulasi oleh manajer keuangan. Manajer keuangan tidak bisa menyebabkan
pemegang saham menjadi lebih kaya hanya karena memutuskan untuk membagikan stock
dividend. Umumnya perusahaan memutuskan untuk membagikan stock dividend, karena
mereka memerlukan dana tersebut, dan tidak ingin mengecewakan pemegang saham.
3. Pemecahan Saham (Stock Split)
Stock split adalah pemecahan nilai nominal saham ke dalam nilai nominal yang lebih
saham yang beredar bertambah. Tujuan stock split adalah untuk menempatkan harga pasar
saham dalam trading range tertentu.
Contoh:
PT Abadi menentukan stock split dari satu menjadi dua saham. Komposisi modal sendiri
perusahaan adalah sebagai berikut:
Saham biasa (nominal Rp 5000 ; 600 000 lembar) = Rp 3.000 000
Capital surplus = Rp 1.500 000
Laba ditahan = Rp 7.500 000
Modal sendiri = Rp12.000 000
Setelah stock split, komposisi modal sendiri menjadi:
Saham biasa (nominal Rp 2500 ; 1 200 000 lembar) = Rp 3.000 000
Capital surplus = Rp 1.500 000
Laba ditahan = Rp 7 500 000
Modal sendiri = Rp12.000 juta
Setelah stock split, nilai nominal saham menjadi ½ X Rp 5 000 = Rp 2500 per lembar.
Investor yang semula memiliki 100 lembar saham setelah stock split jumlah saha, yang
dimilikinya menjadi 2 X 100 lembar = 200 lembar, meskipun total nilainya tidak mengalami
perubahan. Kekayaan investor tidak berubah, sehingga tidak ada keuntungan ekonomis yang
diperolehnya dari stock split.
Jadi ada persamaan antara Stock Devidend dan Stock Split, yaitu:
1. Tidak ada pendistribusian kas dalam kedua bentuk itu.
2. Mengakibatan jumlah lembar saham yang beredar meningkat.
3. Total modal sendiri (net worth) tidak berubah, tetapi hanya
4. komposisinya saja yang berubah.
4. Pembelian Kembali Saham (Repurchase Of Stock)
Sebagai akternatif pemberian deviden berupa uang tunai, perusahaan
dapat mendistribusikan pendapatan kepada pemegang saham dengan cara membeli
kembali saham perusahaan (repurchasing stock). Saham yang dibeli kembali itu akan
maka jumlah saham yang beredar akan berkurang, bila diasumsikan pembelian kembali
saham ini tidak memberi pengaruh negative terhadap keuntungan perusahaan, maka EPS
akan meningkat, yang akan, meningkatkan harga pasar saham. Kenaikan harga pasar saham
itu akan memberikan capital gains sebagai ganti deviden kepada para pemegang sahamnya.
Contoh:
PT Abadi adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur
yang memproduksi produk-produk perlengkapan busana wanita dan pria. Pada tahun
2005 memperoleh laba sebesar Rp 550 juta dan 50% dari jumlah tersebut akan
dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk pembelian kembali saham.
Jumlah saham yang beredar saat ini adalah sebanyak 1.100.000 lembar dengan harga
pasar sebesar Rp 2.500,- per lembar saham. Manajer keuangan saat ini menawarkan kepada
mereka yang mau menjual kembali saham biasa yang dimilikinya seharga Rp 2.750,- jadi
seolaholah menawarkan cash dividend Rp 250 per lembar saham. Berdasarkan data tersebut.
carilah:
a. laba per saham dan PER sebelum kebijakan pembelian kembali saham
b. laba per saham setelah kebijakan pembelian kembali saham
c. harga saham setelah kebijakan pembelian kembali saham dengan asumsi PER konstan.
Jawab:
EAT = 550 juta Payout Ratio 50%
Outstanding share = 1,1 juta
P saham = Rp 2500 / lembar
P treasury stock = Rp 2750 / lembar
a. Sebelum kebijakan pembelian saham:
EPS = Rp.550,- juta / 1,1 juta = Rp 500 /lembar
PER = 2500 / 500 = 5 EPS
b. Setelah kebijakan pembalian kembali saham:
EAT untuk treasury stock = ½ x Rp.550,- juta = Rp.275,- juta
Jumlah saham yang dapat ditarik kembali = 275 juta / 2750 = 100 000 lembar
EPS = Rp.550,- juta / 1 juta = Rp 550,- / lembar
c. P saham = PER x EPS =