• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Aktivitas industri manufaktur, termasuk di Indonesia, diibaratkan sebagai dua sisi mata pisau karena menghasilkan produk industri yang dibutuhkan untuk kehidupan, sekaligus menyebabkan pencemaran lingkungan. Pencemaran air permukaan, air tanah, sungai, danau, dan laut oleh residu bahan kimia organik maupun anorganik serta perubahan iklim global merupakan dampak langsung maupun tidak langsung dari aktivitas tersebut. Diperlukan upaya sistematis untuk mengatasi permasalahan tersebut, seperti perubahan pola hidup manusia ataupun penerapan pendekatan pengelolaan aktivitas industri manufaktur secara komprehensif.

Upaya untuk mengatasi pencemaran industri di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, dimulai sejak era tahun 1970an. Pendekatan utama yang digunakan adalah command-and-control dengan orientasi end-of-pipe

(kebijakan dengan paradigma mengatasi masalah bukan mencegah terjadinya masalah). Kritik banyak diberikan pada pendekatan ini terutama karena tidak adanya insentif bagi pelaku industri untuk berbuat lebih baik dari yang dipersyaratkan peraturan lingkungan. Juga, penanganan pencemaran industri dilakukan tidak dalam konteks ”efektif dan efisien.” Para kritikus tersebut, selanjutnya mengajukan pendekatan lain yaitu market-based incentives, seperti

tax, charges, subsidi, dan transferable discharge permits (TDP). Namun, kedua pendekatan tersebut memandang sistem produksi industri manufaktur sebagai suatu proses linear, di sisi yang satu adalah input sedangkan di sisi yang lain adalah produk dan limbah industri.

Ekologi industri (industrial ecology) adalah disiplin ilmu yang mensinergikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial untuk mencapai tujuan industri yang berkelanjutan (Chertow 1988). Ekologi industri merupakan disiplin ilmu baru, yang memandang proses produksi industri manufaktur bukan sebagai proses linear tetapi sebagai proses tertutup (closed-loop process). Pada tahun 1989, Frosch dan Gallopoulos mempopulerkan konsep ini dengan menyatakan ”kenapa tidak, sistem industri bertingkah-laku seperti sebuah ekosistem, dimana limbah dari suatu spesies dapat menjadi input bagi spesies lain? Kenapa tidak,

(2)

mengurangi penggunaan bahan mentah, pencemaran, dan menghemat perlakuan atas limbah?” (Frosch & Gallopoulos 1989 dalam

Implementasi dari konsep ekologi industri maupun EIP di negara-negara berkembang perlu didahului oleh studi yang mendalam. Chiu dan Yong (2004) menyarankan kepada negara-negara berkembang di Asia yang bermaksud mengaplikasi model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan merumuskan strategi yang sesuai, bukan menerapkan secara mentah model yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Sampai saat

Peck 1996).

Beberapa penelitian terhadap konsep ekologi industri telah dilakukan. Korhonen (2001) melakukan studi terhadap industri perkayuan di Finlandia dan menformulasi model pengembangan industri perkayuan yang meliputi faktor-faktor: roundput, keragaman, saling ketergantungan dan lokalitas. Kassinas (1997) menyimpulkan bahwa jaringan co-location dan inter-firm dapat memperkuat kemampuan bersama perusahan maupun publik untuk mendapatkan keuntungan lingkungan. Li (2005) menunjukkan bahwa konsep ekologi industri dapat menjadi penyokong dicapainya keuntungan kompetitif jika hambatan-hambatan seperti kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya tekanan terhadap kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya kerjasama antara usaha dapat dihilangkan. Juga ditemukan bahwa perlu adanya pemberian fasilitas kepada sektor usaha industri melalui pendekatan fasilitatif.

Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam konsep kawasan industri melahirkan istilah eco-industrial park (EIP), dimana ”eco” merupakan integrasi dari ekologi dan ekonomi (Ayres dan Ayres 2002; Li 2005). Pembangunan EIP pertama dilakukan pada tahun 1995 di Amerika Serikat yang disponsori oleh the US President’s Council for Sustainable Development. Sejak itu, konsep EIP dikenal secara luas sebagai cara baru pengembangan industri (Koenig 2005).

Beberapa penelitian terhadap konsep EIP telah dilakukan. Hewes (2005) menyatakan bahwa agar supaya konsepsi Industrial Symbiosis (IS) dan EIP dapat terwujud maka keterkaitan manusiawi diperlukan. Hasil kajian dari Hewes menunjukkan bahwa strategi yang paling berhasil dalam pengembangan IS dan EIP bukan pada bagaimana memecahkan masalah teknis tapi bagaimana membangun hubungan sosial, yang merupakan faktor yang sering kurang diperhitungkan dalam ekologi industri. Geng (2004) mendapati bahwa penggunaan air segar maupun pembuangan limbah cair di kawasan industri dapat dihemat dengan biaya sistem yang minimal.

(3)

ini Indonesia belum mengembangkan strategi nasional bagi pengembangan “eco-industrial park”.

Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia antara lain dilakukan dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri yang merupakan revisi atas Keppres No. 41 tahun 1996 tentang Kawasan Industri. Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan industri di daerah, memberikan kemudahan bagi kegiatan industri, mendorong kegiatan industri untuk berlokasi di kawasan industri, dan meningkatkan upaya pembangunan industri berwawasan lingkungan. Revisi di atas dilakukan karena tujuan-tujuan tersebut belum dapat dicapai secara optimal

Salah satu tujuannya yaitu mendorong kegiatan industri manufaktur untuk berlokasi di kawasan industri belum tercapai secara optimal. Salah satu indikator belum tercapainya tujuan di atas adalah tingginya tingkat pencemaran udara atau tercemarnya sungai-sungai, khususnya di perkotaan. Terpencarnya pabrik/industri menyulitkan pemerintah untuk melakukan pengawasan dan atau penegakan hukum lingkungan (Kristanto 2002). Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 10 persen dari industri yang ada di Indonesia berada/berlokasi di dalam kawasan industri. Kristanto berargumen bahwa upaya untuk mendorong kegiatan industri berlokasi di suatu kawasan industri tidak dilengkapi dengan instrumen penegakan hukum sehingga kurang optimal dalam pencapaian sasarannya.

Pencemaran industri yang semakin besar, munculnya kesadaran dan kebutuhan untuk mengatasinya, serta kebijakan pemerintah untuk menurunkan tingkat pencemaran dengan cara merumuskan kebijakan penataan kawasan industri yang baru merupakan momentum yang tepat untuk mengkaji model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan: (1) Sesuai Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan Kawasan Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung, 2007). (2). Lokasi penelitian terletak di wilayah yang memiliki infrastrukur yang sangat memadai, antara lain sangat dekat Pelabuhan Laut Samudra Bitung (6 km), Pelabuhan Udara Sam Ratulangi (48 km), jalan akses penghubung ke Manado, (3) Perkembangan dan pertumbuhan industri di lokasi penelitian diduga kurang

(4)

memadai dari yang diharapkan, (4) Mulai adanya protes atas dampak negatif dari aktivitas industri manufaktur, dan (5) Mulai bermasalahnya suplai bahan baku, energi, dan air, serta (6) Implementasi Corporate Social Responsibility

(CSR) belum memadai.

1.2. Tujuan Penelitian

1.2.1. Tujuan Umum:

Membangun model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Mengevaluasi kondisi aktual dari industri agro/manufaktur di Kota Bitung. 2. Menganalisis program pengembangan AEIP Bitung.

3. Menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model AEIP Bitung.

1.3. Kerangka Pemikiran

Rencana penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa mayoritas aktivitas industri manufaktur konvensional saat ini bergantung sepenuhnya pada kemajuan dan perubahan teknologi dan eksploitasi sumberdaya alam. Proses produksi sumber daya alam menjadi bahan baku atau barang jadi dan pemanfaatannya oleh konsumen telah menghasilkan limbah industri dalam jumlah besar sehingga telah berakibat pada perubahan lingkungan global, hujan asam, akumulasi logam berat, dan residu pestisida. Kesadaran akan peran industri sebagai dua mata pisau (menghasilkan produk dan sekaligus pencemaran) pada akhirnya mengkristal dan diadopsi menjadi salah satu perhatian Perserikatan Bangsa Bangsa melalui pembentukan World Commision on Environment and Development (WCED), yang merumuskan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Brundtland 1987).

Selanjutnya disebutkan dalam Brundtland Report, tantangan industri abad ke-21 mengarahkan pada perubahan pemikiran atas hubungan antara pembangunan industri dan perlindungan lingkungan, yang melahirkan konsep

industrial sustainability (pembangunan industri berkelanjutan), konsep yang merujuk pada laporan dari WCED, yang selanjutnya melahirkan konsep ekologi industri (industrial ecology). Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam sistem pemusatan industri (kawasan industri) melahirkan konsep Eco-Industrial Park

(5)

Aspek legal pengembangan industri manufaktur diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 24/2009 tentang Kawasan Industri. Salah satu poin penting dari PP tersebut adalah dorongan kepada industri manufaktur untuk berlokasi di dalam Kawasan Industri.

Potensi keuntungan teoritis dan pengalaman penerapannya di negara-negara maju memunculkan tantangan untuk menerapkannya di negara-negara-negara-negara berkembang. Jawaban terhadap tantangan tersebut perlu dilandasi oleh kajian komprehensif, cermat, dan mendalam terhadap faktor-faktor seperti dasar-dasar teoritis; batasan dan asumsi; situasi industri manufaktur terkait dengan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan; prinsip-prinsip ekologi industri, dan elemen-elemen penyusun model, yang merupakan arsitektur dari model.

Sintesis terhadap arsitektur model menggunakan peralatan analisis seperti ISM, AHP, dan Powersim menghasilkan Model Pengembangan AEIP Bitung. Kerangka pemikiran penelitian yang berisi keterkaitan antara faktor-faktor di dalamnya adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.1

.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan pengembangan AEIP. Selain itu, output dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dan atau pemangku kepentingan lain dalam rangka pengembangan industri, antara lain melalui penerapan kebijakan pengembangan kawasan industri.

1.5. Novelty

Nilai kebaharuan penelitian ini terletak pada kajian komprehensif terhadap penyusunan Model Pengembangan AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara melalui sintesis terhadap komponen-komponen penyusun arsitektur model.

(6)

Gambar 1.1.

Kerangka Penelitian Keberlanjutan Industri Ekologi Industri Kawasan Industri MP-AEIP Bitung Peralatan Analisis Industri Manufaktur/ Agro di Kota Bitung Rekomendasi Kebijakan Peraturan Perundangan (UU No. 5/1985; PP 24/2009; UU 39/29; PERDA, dll) Implikasi Kebijakan Eco-Industrial Park (EIP) Tantangan

Industri Abad XXI

Arsitektur Model Dasar-dasar Teori Prinsip-prinsip ekologi industri Elemen Struktural Batasan/ asumsi Elemen Fungsional Situasi Aktivitas Industri Agro Tantangan Penerapan di Negara-negara Berkembang Sistem Produksi Industri Manufaktur

Gambar

Gambar 1.1.  Kerangka Penelitian Keberlanjutan Industri  Ekologi Industri Kawasan Industri MP-AEIP Bitung Peralatan Analisis  Industri  Manufaktur/  Agro di Kota Bitung  Rekomendasi Kebijakan Peraturan  Perundangan (UU No

Referensi

Dokumen terkait

Untuk potensi komunikasi matematis siswa (komunikasi tertulis) dengan subjek TFI, RAP, FUW kelompok tingkat kemampuan atas dalam mengerjakan soal open ended penjumlahan

Dalam rancangan sistem, tool yang digunakan untuk mengelola database yaitu MySQL. Dengan tool ini akan lebih cepat dalam melakukan pengelolaan database. Tabel yang digunakan

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peningkatan kemampuan sepak sila siswa dengan media bola karet siswa kelas XII SMA Negeri 7 kab.Pangkep untuk siklus

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP),

keluarga, kecenderungan-kecenderungan umum serta pola sikap kedua orang tua terhadap anak akan sangat mempengaruhi perilaku dalam semua tahap pertumbuhannya. Orang

[r]

Menurut Kaaro(2003), pertumbuhan total aktiva cenderung berdampak positif pada leverage , dengan 2 argumentasi : Pertama, pertumbuhan penjualan dari setiap upaya

Salah satu teori Sapta Pesona (7K) mengatakan bahwa objek wisata layak dikunjungi apabila objek wisata tersebut sejuk, yaitu kondisi dilingkungan itu yang memberikan