• Tidak ada hasil yang ditemukan

NAMA: MONA SALAM SIDABUTAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NAMA: MONA SALAM SIDABUTAR"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL NANGEN NANDORBIN PADA MASYARAKAT PAKPAK DI DESA SUKARAMAI KECAMATAN KERAJAAN PAKPAK BHARAT

SKRIPSI SARJANA

O L E H

NAMA: MONA SALAM SIDABUTAR NIM:

110707040

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ii

ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL NANGEN NANDORBIN PADA MASTARAKAT PAKPAK DI DESA SUKARAMAI KECAMATAN KERAJAAN PAKPAK BHARAT

SKRIPSI SARJANA

O L E H

NAMA: MONA SALAM SIDABUTAR NIM:

100707040

Disetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Drs. Fadlin, M.A.

NIP 195812131986011002 NIP 196102201998031003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

iii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Analisis Tekstual dan Musikal Nangen Nandorbin pada Masyarakat Pakpak di Desa Sukarami Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat.” Tujuan utama skripsi ini adalah menganalisis teks dan melodi nangen nandorbin yang dinyanyikan oleh penyanyinya di Desa Sukaramai Pakpak, dengan sampel pada Marseti Limbong. Nangen nandorbin adalah salah satu genre musik vokal (nyanyian) dalam masyarakat Pakpak yang dilakukan secara turun-temurun dan hanya digunakan dalam konteks kehidupan sehari-hari, yang tujuan utamanya untuk mendidik seorang putri yang belum menikah bagaimana bersikap, berkepribadian, dan melakukan kebaikan.

Metode yang penulis gunakan dalam menganalisis nangen nandorbin adalah: studi pustaka, media sosial, internet, pengamatan terlibat, wawancara, perekaman data baik berupa audio, visual, maupun audio visual. Data-data lapangan kemudian diolah di laboratorium yang bersifat etnomusikologis. Teori yang penulis gunakan adalah dua teori utama. Untuk mengkaji teks digunakan teori semiotik, selanjutnya untuk kajian musikal, khususnya melodi, digunakan teori weighted scale.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari sudut analisis teks, lagu ini terdiri dari tujuh bait, yang saling berkaitan. Ketujuh bait tersebut memiliki formula tekstual yang khas. Terjadi perulangan-perulangan kata setiap baitnya, namun ada pula baris yang menjadi ciri khas setiap bait. Tema utamanya adalah mengenai seorang wanita pendamping suami yang ideal dalam konsep etnosains etnik Pakpak. Terdapat tujuh kriteria tipe wanita ideal, yaitu: (1) buluh i bernoh (seperti serumpun bambu yang terbaik), (2) mahan silindung bulan (menjadi pelindung), (3) mahan tongket ku idi (menjadi tongkat penopang), (4) mahan peningkat marga (menjadi peningkat keturunan), (5) mahan dengngan merarih (menjadi teman bercerita), (6) mahan dengngan mengula (menjadi teman bekerja), dan (7) man dengngan ncayur ntua (menjadi teman hidup sampai tua). Dari kajian musikal terhadap melodinya ditemukan hasil sebagai berikut: (i) tangga nada yang digunakan adalah tetratonik; (ii) wilayah nadanya 7 laras, satu oktaf lebih satu laras; (iii) nada dasar berada pada nada paling rendah yaitu Es; (iv) formula melodinya strofik; (v) interval yang digunakan adalah dari prima sampai sekta mayor; (vi) pola-pola kadensanya biner; (vii) jumlah nada-nada yang digunakan mayoritas berada pada nada ketiga, dan (viii) kontur yang digunakan ada tiga yaitu pendulum ke atas, naik, dan turun.

(4)

iv one generation to next generation, uses in their’s everyday life, which main aim to educate a girl before marriage throughout to attitude, personality, and do the good morality.

I use some methods to analyze the nangen nandorbin song: literature study, social media, internet, participant observer, interview, recording data both auditive, visual, and audio visual. The filed work data then analyze in ethnomusicological laboratory. Then the writer uses two main theories. For textual study I use semiotic thaory, and then to musical study I use weighted theory.

In this research I meet the goals, that in the textual analysis context this song shaped by seven integrated verses. These verses have a spesific formula. In the verses can be see repetition each verse, but there is some special text in every verses. The main theme is about a ideal wife which as a partner of her (as a girl friend to the old years). From the musical study of melody, I meet the results here: (i) this song uses tetratonic scale; (ii) it’s ambitus 7 steps, one octave plus one step; (iii) the tonic of this song falling in it’s lowest tone Es, (iv) it’s melodic formula is based on strophic; (v) the interval of this songs begin from perfect prime to major sixth; (vi) it’s cadence patterns binair; (vii) the quantitative of it’s pitchs majority in third tone; and (viii) this song use three contour, pendolous up, ascending, and discending.

(5)
(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dalam rangka menjalani kehidupannya di dunia ini, menghasilkan dan berdasarkan kepada kebudayaan. Budaya ini menjadi identitas seseorang dan sekelompok orang yang menggunakan dan memilikinya. Kebudayaan tersebut muncul untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam rangka menjaga kesinambungan generasi yang diturunkan. Kebudayaan ini memainkan peran penting terhadap perilaku manusia dan benda-benda hasil kreativitas mereka. Kebudayaan juga mengatur siklus atau daur hidup manusia sejak dari janin, lahir, anak-anak, pubertas, dewasa, tua, sampai meninggal dunia. Demikian juga yang terjadi di dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat, yang wilayah kebudayaannya mencakup Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Salah satu ekspresi kebudayaan adalah kesenian.

Dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat dikenal berbagai jenis seni, seperti seni rupa, musik (genderang), tari (tatak), dan seterusnya. Mereka memiliki musik vokal yang disebut nangen, yang terdiri dari beberapa jenis, seperti nangen mendedah (menidurkan anak), nangen merkemenjen (nyanyian sambil menyadap kemenyan), nangen nandorbin (nyanyian nasihat), tangis berru sijahe, dan lain-lainnya.

(7)

2

siapa pun yang akan melamarnya, sehingga putrinya menjadi bahan sorotan kepada ibu-ibu serta orang tua yang ada di masyarakat Pakpak, untuk menjadikan putri yang terdidik dan telaten tersebut menjadi menantunya.

Teks yang disajikan merupakan ungkapan perasaan dari si penyaji, yang strukturnya menggunakan unsur-unsur pantun tradisional Pakpak-Dairi dan Pakpak Bharat, yang di dalamnya ada bait yang umumnya terdiri dari empat baris, juga ada sampiran, isi, rima (persajakan), serta yang tidak kalah pentingnya unsur musikal dalam penyajiannya. Oleh karena itu, kata-kata yang diucapkan tidak boleh sembarangan atau tidak seperti bahasa sehari-hari tetapi ada aturan tersendiri dalam penyampaian kata-kata tersebut. Misalnya, jika seorang ibu menyanyikan nangen nandorbin untuk putrinya, maka pada waktu anaknya mengiyakan perkataan ibunya, maka ia tidak boleh langsung menggunakan kata ibu (bahasa Pakpak: inang), tetapi ditambah dengan kata inang ni beruna. Jika ibu yang menyanyikan juga tidak bisa mengatakan langsung kepada putrinya atau anak perempuannya ucapan anak perempuan (bahasa Pakpak berru) maka ketika ibunya menyanyikan dengan menggunakan kata berru maka diganti dengan tendi ni inangna. Dengan demikian, ada aturan-aturan tertentu dalam penyampaian kata-kata. Sedangkan untuk irama, ada suatu dinamika (tinggi rendah) dalam menyanyikannya pada setiap kata-kata tertentu.

(8)

3

nilai-nilai yang dipegang teguh oleh orang Pakpak Bharat. Dalam tradisi Pakpak Bharat, setiap orang khususnya keluarga dekat, apabila ingin menyajikan nyanyian ini kepada putrinya harus sesuai konteks. Jika orang yang menasehati putrinya tidak menggunakan nangen nandorbin ini, maka mereka dianggap tidak sayang dan tidak perduli kepada putrinya. Hal ini merupakan suatu tradisi pada masyarakat Pakpak ketika menasehati putrinya.

Nangen nandorbin ini juga bisa dikatakan sebagai sarana komunikasi untuk memberitahukan atau sebagai tanda bahwa ada seorang putri yang telah bersedia di pinang oleh siapapun, dan apabila yang sudah di nasehati dengan nangen nandorbin sudah menjadi pilihan terhadap orang-orang di sekitarnya. Dengan mendengar nyanyian tersebut, maka secara otomatis orang-orang di sekitarnya akan mengetahui bahwa ada orang yang telah bersedia di pinang di sekitarnya.

Dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat nangen nandorbin ini tidak pernah disajikan oleh kaum pria. Hal ini memang tidak pernah berlaku pada masyarakat itu sendiri. Untuk menyajikan nangen nandorbin ini memang merupakan tugas dari kaum wanita. Menurut penjelasan para informan tidak pernah ditemukan kaum pria yang menyajikan nangen nandorbin tersebut, karena merupakan hal yang dianggap tabu bagi masyarakat Pakpak jika ada kaum pria yang menyajikan nangen nandorbin ini.

(9)

4

langsung kepada alat musik yang ada tersebut, sehingga disebut lah musik nangen.

Pada awalnya penulis berpikir bahwa teks atau lirik yang diungkapkan penyaji pada waktu menasehati putrinya tersebut hanya berkisar tentang penjodohan putrinya tersebut saja, misalnya kelebihan-kelebihannya, sifat-sifatnya, serta pengalaman ibunya selama bersama putri tersebut. Namun setelah dikaji lebih mendalam, dalam kenyataannya setelah meneliti lebih lanjut ternyata teks yang diungkapkan penyaji tidak hanya itu saja, melainkan bercerita tentang pengalaman atau kegigihan seorang putri tersebut untuk menjalani hidup dan mampu berbagi suka maupun duka kepada keluarga yang akan meminang nya. Pada waktu menasehati putrinya tersebut, maka penyaji mengungkapkan segala pesan-pesan penting di dalam kehidupannya. Dalam hal ini ada istilah: “Sada nandorbin ko buluh i bernoh idi nandorbin nandorbin,” artinya “Serumpun bambu yang di lembah sangat bagus digunakan untuk apa saja.” Jadi putri tersebut diibaratkan tumbuhan bambu di antara rumpun tersebut terdapat satu yang betul-betul bagus dan dapat dipergunakan, karena pada zaman dahulu hingga saat ini tumbuhan bambu adalah tumbuhan yang serbaguna dan multifungsi. Jadi, melalui nangen nandorbin ini di lingkungan Pakpak Bharat semakin menyadari bahwa seorang putri tersebut menjadi putri terbaik dan dapat menjadi penyejuk kepada keluarga yang akan melamarnya.

(10)

5

yang merupakan salah satu musik vokal yang terdapat pada masyarakat Pakpak Bharat di Desa Sukaramai, Pakpak Bharat, yang disajikan dalam konteks pendidikan dan nasihat, dan secara umum nangen nandorbin semakin berkembang dan dipopulerkan karena adanya musik.

Nangen nandorbin adalah nyanyian nasihat mendidik putrinya agar menjadi wanita terbaik, untuk dapat menjadi menantu terbaik bagi masyarakat Pakpak. Disajikan pada saat si putri tersebut masih berada di hadapan ibunya. Teks nya berisi hal-hal perilaku yang paling berkesan untuk di pelajari oleh putrinya kelak di dalam hidupnya, kebaikan dan kelebihan-kelebihannya, serta kemungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi putrinya. Melalui nangen ini pula, orang-orang yang mendengar dapat lebih mengetahui dan mengenal sifat-sifat dari orang yang dinasehati tersebut. Melalui nangen ini para orang tua yang ada dalam masyarakat Pakpak merasa tertarik dan menaruh perhatian kepada putri yang telah terdidik tersebut. Kilas baliknya seorang ibu menyanyikan nangen nandorbin tersebut karena sudah ingin menimang cucu, dan sudah memantapkan bahwa usia putrinya sudah siap untuk dipinang orang.

Pada awalnya Nangen nandorbin adalah nyanyian logogenik yang mengutamakan teks dari pada musik, tetapi banyak perubahan di era sekarang ini bahwa nangen sudah berhubungan dengan musik, bahkan sekarang musik lebih diutamakan dari pada teks.1 Wawancara dengan Bapak Atur Pandapotan

1

(11)

6

Solin, Januari 2015 di Desa Sukaramai, Pakpak Bharat. Dengan melihat uraian dari bapak tersebut menggambarkan kepada kita bahwa menyajikan nangen nandorbin adalah sebuah aktivitas total dari penyajinya yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan. Ini juga memberikan gambaran tentang begitu pentingnya keberadaan nangen nandorbin di dalam kebudayaan Pakpak Bharat.

Melodi disajikan secara strofik, yaitu teksnya berubah-ubah tetapi melodinya sama atau hampir sama (Naiborhu, 2004:150). Sesuai dengan perjalanan waktu dalam konteks kebudayaan Pakpak, maka institusi adat nangen nandorbin ini, mengalami perubahan-perubahan. Di antara penyebab perubahan itu adalah berkembang pesatnya kemajuan tekhnologi, juga agama yang datang ke dalam kehidupan masyarakat Pakpak Bharat. Jika melihat keberadaannya saat ini, nyanyian ini mengalami penurunan pembelajarannya kepada generasi muda. Walaupun secara agama “dilarang,” namun secara kultural tetap dilaksanakan dan menjadi suatu kebiasaan atau tradisi yang turun-temurun dilaksanakan.

Di dalam tulisan Lothar Screiner dikatakan bagaimana hubungan adat dan agama. Segala sesuatu yang mempunyai kebiasaan, baik golongan maupun perorangan, itu mempunyai suatu adat. Juga kecenderungan-kecenderungan yang merupakan kebiasaan yang tidak disadari, bahkan naluri-naluri, orang sebutkan sebagai adat. Oleh karena itu, adat merangkum semua lapangan kehidupan, agama, dan peradilan, hubungan-hubungan keluarga, kehidupan,

(12)

7

dan kematian. Adat dan agama janganlah dianggap sebagai dua hal yang berdiri satu di samping yang lain dan saling terikat. Selain itu, jangan pula orang menganggap bahwa agama berada di atas adat. Tetapi adat itu harus dipahami sebagai keberagaman totaliter dari manusia yang diliputi oleh tradisi mitisnya. Sifat khas keberagaman ini terdapat dalam dijaminnya keselamatan melalui kesetiaan yang kokoh kepada apa yang orang anut. Adat bukanlah agama itu sendiri, melainkan pelaksanaannya secara menyeluruh, yang diperlukan untuk memberlakukan peristiwa keselamatan dari zaman purbakala.

Selain faktor agama, faktor lain yang menyebabkan memudarnya nyanyian ini adalah masyarakat Pakpak yang menganggap hal tersebut merupakan tradisi yang tidak perlu lagi dilestarikan, seiring dengan perkembangan tekhnologi yang sudah semakin maju, maka nyanyian ini, tidak mendapat perhatian lagi. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam bentuk karya ilmiah dengan pendekatan etnomusikologis.

Etnomusikologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji musik dalam konteks kebudayaan. Karena nangen nandorbin ini adalah ilmu yang dimana di dalamnya ada kajian musik di dalam konteks kebudayaan, seperti yang didefinisikan oleh Merriam, sebagai berikut.

(13)

8

wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusico-logy, but the designations do not seem quite apt. The analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).2

Apa yang dikemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam memfusikan kedua disiplin ini, maka dalam etnomusikologi akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu, tentu saja setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian ilmu pada salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk

2

(14)

9

memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara bertahap oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

(15)

masing-10

masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.

Secara khusus, mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.3

Dari semua penujelasan tentang apa itu etnomusikologi, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang merupakan hasil fusi dari antropologi (etnologi) dan musikologi, yang mengkaji musik baik secara struktural dan juga sebagai

3

(16)

11

fenomenal sosial dan budaya manusia di seluruh dunia. Para ahlinya (lulusan sarjana etnomusikologi atau peringkat magister dan doktoral) disebut sebagai etnomusikolog. Ilmu ini sangat relevan dalam mengkaji musikal dan tekstual nangen nandorbin dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat.

Dengan memperhatikan secara seksama semua latar belakang di atas, maka dengan demikian kajian ini akan melihat bagaimana struktur tekstual, dan musikal yang disajikan dalam nangen nandorbin sehingga nyanyian tersebut dapat mempengaruhi atau membawa orang lain larut dalam suasana bangga yang mendalam. Maka penulis meneliti lebih lanjut dan membuat ke dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Analisis Tekstual dan Musikal Nangen Nandorbin Pada Masyarakat Pakpak di Desa Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat.” Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan tentang kebudayaan yang terdapat pada masyarakat Pakpak Bharat.

1.2 Pokok Permasalahan

Sesuai dengan judul skripsi ini dan juga fokus perhatian kepada masalah yang akan diteliti, maka penulis menentukan dua pokok masalah (atau pertanyaan masalah), yaitu sebagai berikut.

(17)

12

2. Bagaimana struktur musikal yang terkandung di dalam nangen nandorbin pada masyarakat Pakpak di Desa Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat?

Pokok masalah pertama, yaitu akan dijabarkan dengan sejauh apa makna-makna yang terdapat dalam lirik nangen nandorbin dengan pendekatan kajian kebudayaan. Kemudian untuk pokok masalah kedua yaitu bagaimana struktur musikal nangen nandorbin dalam kebudayaan masyarakat Pakpak di Desa Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat akan diurai dengan unsur utamanya yaitu melodi yang mencakup tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, nada-nada yang digunakan, distribusi interval, pola-pola kadensa, dan kontur. Dengan fokus pada dua pokok masalah dan unsur-unsur yang akan dikaji, maka diharapkan dalam penelitian ini akan ditemukan hal-hal baru dalam konteks penelitian etnomusikologis.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam rangka penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur dan makna tekstual yang terdapat pada nyanyian nangen nandorbin pada masyarakat Pakpak Di desa Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat.

(18)

13

Secara umum tujuan akhir dalam penelitian ini adalah dengan mengetahui dan memahami struktur dan makna tekstual dan struktur musikal nangen nandorbin pada masyarakat Pakpak di Desa Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat memahami manusia Pakpak Bharat yang memiliki budaya nangen nandorbin sedemikian rupa. Secara etnomusikologi, tujuan akhir menganalisis musik adalah memahami manusia yang menghasilkan musik sedemikian rupa itu (lebih jauh lihat Merriam 1964).

1.4 Manfaat Penelitian

Sebagai usaha untuk memperluas informasi mengenai kebudayaan Pakpak, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut:

a. Sarana untuk memperluas pengetahuan tentang nangen nandorbin terhadap kesenian Pakpak Bharat.

b. Bermanfaat bagi pembaca khususnya yang bergelut di bidang disiplin ilmu etnomusikologi.

c. Sebagai bahan pendokumentasian terhadap kesenian tradisional Pakpak Bharat.

d. Sebagai data etnografi yang akan memperkaya khasanah keilmuan tentang budaya Pakpak Bharat.

1.5 Konsep

(19)

14

terdidik. Jadi, nangen nandorbin adalah nyanyian yang disajikan untuk seorang putri yang terdidik. Nyanyian merupakan bagian dari musik, secara umum musik terbagi atas tiga bagian yaitu: (1) musik vokal, (2) musik instrumental, dan (3) gabungan antara instrumental dan vokal. Yang dimaksud dengan musik vokal adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan mempunyai pola-pola serta aturan untuk bunyi tersebut.

Musik vokal dapat juga disebut nyanyian. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah sesuatu yang berhubungan dengan suara/bunyi yang berirama yang merupakan alat/media untuk menyampaikan maksud seseorang atau tanpa iringan musik.. Berdasarkan uraian di atas maka nangen nandorbin dapat disebut juga sebagai musik vokal atau nyanyian, karena menghasilkan bunyi yang memiliki irama, nada, dinamik, dan pola-pola melodi. Analisis dapat diartikan menguraikan atau memilah-milah suatu hal atau ide ke dalam setiap bagian-bagian sehingga dapat diketahui bagaimana sifat, perbandingan, fungsi, maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut. Analisis yang penulis maksud disini adalah menguraikan struktur musikal, struktur teks serta makna yang terkandung dalam teks tersebut. Sebagai landasan penelitian ini, tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan dari suatu nyanyian. Istilah teks dalam musik vokal berarti syair.

(20)

15

konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya (Keraf,1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang artinya bersifat musik, memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika, interval, frasa, serta pola ritem.

1.6 Kerangka Teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan (Nasution, 1982:126). Dalam tulisan ini yang menjadi pokok permasalahannya adalah mengetahui unsur-unsur tekstual serta musikal yang terkandung dalam nangen nandorbin tersebut. Sesuai dengan dua pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu: tekstual, dan musikal, maka dipergunakan juga dua teori utama. Untuk mengkaji struktur dan makna tekstual digunakan teori semiotika. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musikal yang berupa melodi nangen nandorbin digunakan teori weighted scale.

1.6.1 Teori Semiotika

(21)

16

bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek.

Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.

Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.”

(22)

17

lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan(seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji teks nangen nandorbin.

1.6.2 Teori Weighted Scale

(23)

18

Dalam rangka penelitian ini, sebelum menganalisis melodi nangen nandorbin yang disajikan oleh narasumber penulis, maka terlebih dahulu data audio ditranskripsi ke dalam notasi balok dengan pendekatan etnomusikologis. Setelah dapat ditransmisikan ke dalam bentuk notasi yang bentuknya visual, barulah notasi tersebut dianalisis. Dalam kerja ini juga penulis melakukan penafsiran-penafsiran.

1.7 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini lebih berupa kata-kata secara detail dan bukan berupa angka-angka. Sejalan dengan itu, Bogdan dan Taylor (dalam Maleong 1988:3), mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku masyarakat yang dapat diamati.

(24)

19

penelitian yang menggunakan format penelitian deskriptif, tidak menggunakan dan melakukan pengujian hipotesis, seperti yang dilakukan pada penelitian dengan format eksplanasi. Berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori. Dalam pengolahan dan analisis data , lazimnya menggunakan statistik yang bersifat deskriptif. Selanjutnya yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, adalah mengutip pendapat Denzin, et al. (2009:6) yang menjelaskan bahwa peneliti kualitatif menekankan sifat realitas yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk penelitian. Para peneliti semacam ini mementingkan sifat penelitian yang sarat nilai. Mereka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya.

(25)

20 1.7.1 Studi Kepustakaan

Sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan. Penulis mencari informasi dan referensi untuk mendapat pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini, penulis menggunakan referensi berupa buku dan sebagian besar dari beberapa skripsi yang relevan dengan objek yang diteliti. Selain itu juga buku-buku yang berkait dengan kebudayaan Pakpak Bharat, tentang siklus hidup manusia terutama ritus peralihan antara dunia nyata dan kehidupan pernikahan, tentang sistem religi yang berkaitan dengan pernikahan, dan lain-lain.

Selain itu juga dalam studi kepustakaan ini penulis melakukan survei terhadap tulisan-tulisan di jejaring sosial internet, terutama yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Di dalamnya terdapat data yang diunggah melalui blok dan juga laman web. Data-data ini membantu memahami latar belakang kajian terhadap nangen nandorbin sebagai prilaku sosial, budaya, dan musikal.

1.7.2 Observasi

(26)

21

melakukan penelitian. Adapun lokasi penelitian ini adalah di desa Sukaramai, kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat. Penulis tinggal selama beberapa hari disana untuk melakukan penelitian.

1.7.3 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan teknik wawancara. Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan yang berpusat terhadap pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan yang tidak hanya berfokus pada pokok permasalahan saja tetapi pertanyaan berkembang ke pokok permasalahan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh data lainnya namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat, 1985:139). Dengan melakukan teknik wawancara tersebut, maka penulis mendapatkan banyak informasi tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara terhadap beberapa informan yaitu: bapak Atur Pandapotan Solin. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Pakpak Bharat dan selanjutnya diterjemahkan oleh penulis sendiri, karena penulis adalah keturunan Pakpak Asli dari ibu penulis sehingga penulis tidak mengalami kesulitan dalam berbahasa Pakpak di Desa Sukaramai.

1.7.4 Kerja Laboratorium

(27)

22

dalam kerja laboratorium. Penulis juga akan menstranskripsikan musik tersebut. Transkripsi dilakukan dengan menggunakan notasi balok dengan bantuan perangkat lunak program sibellius agar memperjelas kualitas notasi balok di dalam tulisan ini. Hasilnya dapat dilihat dalam Bab IV skripsi ini. Langkah berikutnya adalah menganalisis aspek melodinya. Untuk melengkapi analisis melodis ini, penulis juga melakukan analisis struktur teks dari nyanyian tersebut.

Setelah melakukan kerja laboratorium, maka penulis membuatnya ke dalam sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan teknik-teknik penulisan karya ilmiah yang berlaku di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan. Sesuai dengan pendekatan di bidang etnomusikologi, maka dalam menganalisis nangen nandorbin dengan dua fokus pokok masalah yaitu: tekstual dan musikal maka perlu dilihat dalam konteks multidisiplin ilmu.

(28)

23

(29)

24 masyarakat2 Pakpak secara umum, serta menggambarkan tentang lokasi penelitian yang saya teliti. Di sini akan saya jelaskan beberapa hal, seperti bahasa, mata pencaharian, sistem kekerabatan, serta kesenian yang terdapat di daerah lokasi yang saya teliti.

Etnik3 Pakpak adalah salah satu suku pribumi di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

1

Dalam konteks studi disiplin antropologi dan juga etnomusikologi, yang dimaksud dengan etnografi adalah sebuah karya antropologi yang isinya berupa deskripsi mengenai kebudayaan satu suku bangsa (etnik). Jenis karya etnografi adalah karangan penting dan mengandung bahan pokok dari kajian antropologis. Namun demikian dalam kenyataannya, karena di dunia ini terdapat berbagai suku bangsa yang jumlahnya kecil (ratusan saja) dan ada yang besar sampai jutaan, maka seorang ahli antropologi (antropolog) yang mendeskripsikan sebuah etnografi, tentu saja tidak bisa mencakup keseluruhan dari suku bangsa yang besar jumlahnya. Oleh itu, pakar antropologi biasanya membatasi jumlah atau lokasi suku bangsa yang ditelitinya. Dalam melakukan penelitian terhadap nangen nandorbin ini, penulis tidak mendeskripsikan keseluruhan etnik Pakpak yang berada di kawasan Sumatera Utara dan Aceh, namun sesuai dengan batasan kajian ini, hanya akan forkus terhadap etnografi etnik Pakpak yang terdapat di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat, Provinsi Sumatera Utara. "kelompok manusia yang terbesar, yang secara umum memiliki adat istiadat, tradisi, sikap, dan rasa bersatu, yang merupakan kesatuan tingkah laku mereka." Lebih jauh lihat J.L. Gillin dan J.P. Gillin (1954:139).

3

(30)

25

1. Kabupaten Dairi ibu kotanya Sidikalang yang terdiri dari 15 Kecamatan dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Keppas dan Pegagan.

2. Kabupaten Aceh Singkil ibu kotanya Singkil yang terdiri dari 15 Kecamatan dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi seluruh daerah Suak Boang.

3. Kabupaten Pakpak Bharat ibu kotanya Salak yang terdiri dari 8 Kecamatan dan 59 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Simsim dan sebagian daerah Keppas.

4. Kota Subulussalam ibu kotanya Subulussalam yang terdiri dari 5 Kecamatan dan Desa/Kelurahan yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil dan masih termasuk Suak Boang.

5. Kabupaten Tapanuli Tengah ibu kotanya Pandan yang terdiri dari 6 Kecamatan dari daerah (wilayah) Kabupaten Tapanuli Tengah adalah hak ulayat Tanah Pakpak (Suak Kelasen) yang terdiri dari Kecamatan Barus, Barus Utara, Sosar Godang, Andam Dewi, Manduamas dan Sirandorung dan 56 Desa/kelurahan.

6. Kabupaten Humbang Hasundutan ibu kotanya Dolok Sanggul yang terdiri dari 3 Kecamatan, yaitu : Kec. Pakkat, Kec. Parlilitan dan Kec. Tara Bintang dan masih termasuk ke dalam Suak Kelasen.

Luas wilayah tanah Pakpak keseluruhan adalah 8.331,12 km2 yang terdiri dari 52 Kecamatan dan 471 Desa/Kelurahan.

(31)

26 Tabel 2.1

Luas Wilayah Budaya Etnik Pakpak di Sumatera Utara dan Aceh

Sumber: Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat (2015)

Selanjutnya tanah hak ulayat Pakpak berbatasan sebagai berikut. (a) Sebelah Utara berbatasan dengan Aceh Tenggara dan Aceh Selatan, (b) Sebelah Timur berbatasan dengan Tanah Karo,

(c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Utara, dan (d) Sebelah Barat berbatasan dengan Tapanuli Tengah.

No Kabupaten/Kecamatan Luas

1 Kabupaten Dairi 1.927,8 Km2

2 Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Madya Subulussalam

375,8 Km2

3 Kabupaten Pakpak Bharat 1.221,3 Km2

4 Kabupaten Barus 84,83 Km2

5 Kecamatan Sosor Gadong 143,18 Km2

6 Kecamatan Andam Dewi 122,42 Km2

7 Kecamatan Manduamas 99,55 Km2

8 Kecamatan Sirandorung 87,82 Km2

9 Kecamatan Pakkat 459,140 Km2

10 Kecamatan Parlilitan 598,70 Km2

11 Kecamatan Tara Bintang 277,30 Km2

(32)

27

2.2 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi Pakpak

Lokasi penelitian yang penulis ambil terletak di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat yang merupakan salah satu daerah/wilayah bermukimnya suku Pakpak yang disebut dengan Suak Pakpak Simsim dan Keppas. Kabupaten Pakpak Bharat adalah sebuah kabupaten yang berada di perbatasan Dairi dan Aceh, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Dairi.

Kabupaten Pakpak Bharat terletak di Pesisir Pantai Barat Sumatera dengan luas wilayah 2.187 Km2 terletak di 2 02’27’30”Lintang Utara /9704’-97 45” 00” Bujur Timur yang berbatasan langsung dengan Kota Subulussalam di sebelah Utara, Samudera Indonesia di sebelah Selatan provinsi Sumatera Utara di sebelah Timur dan Kecamatan Trumon Kabupaten Aceh Selatan di sebelah Barat.

Kabupaten Pakpak Barat terbagi dalam 8 Kecamatan, yaitu sebagai berikut:

(1) Kecamatan Salak, (2) KecamatanTinada, (3) Kecamatan Sipagindar, (4) Kecamatan Kerajaan, (5) Kecamatan Siempat Rube,

(6) Kecamatan PGGS (Pergenteng-genteng sengkut), (7) Kecamatan Sitellu tali urang jehe,

(33)

28 2.3 Penduduk Pakpak di Desa Sukaramai

Berdasarkan data kependudukan yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Desa Sukaramai, Pakpak-Barat, tahun 2015 maka jumlah keseluruhan penduduk desa adalah 1.599 jiwa, yang terdiri dari 817 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 782 jiwa berjenis kelamin perempuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa laki-laki lebih banyak 35 orang dibandingkan perempuan. Dari total 1.599 jiwa penduduk

Desa Sukaramai ini, terdapat sebanyak 343 keluarga. Umumnya sistem pengelolaan keluarga adalah berbasis pada keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Namun ada juga yang menerapkan sistem keluarga batih atau extended family, yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak, dan kerabat dekatnya seperti nenek, kakek, paman, kemenakan, dan lainnya.

Berikut ini adalah data penduduk Desa Sukaramai berdasarkan jenis kelamin dan jumlah keluarga

Tabel 2.2

Penduduk Desa Sukaramai Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki 817 Jiwa

Perempuan 782 Jiwa

Jumlah Total 1599 Jiwa

(34)

29

Kemudian data kependudukan lainnya adalah tingkat pendidikan penduduk di Desa Sukaramai. Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Sukaramai telah sadar akan pentingnya pendidikan dalam rangka menjawab tantangan sosial, yaitu mencari pekerjaan berdasarkan ilmu formal yang diperoleh. Ini dapat dibuktikan bahwa sebahagian besar usia sekolah adalah bersekolah, yaitu usia 7 sampai 18 tahun sebanyak 21 orang. Kemudian tamatan Sekolah Dasar sebanyak 125 orang, tamatan Sekolah Menengah Pertama dan sederajat 111 orang, tamat SMA dan sederajat 75 orang. Bahkan tamatan Perguruan Tinggi (baik dari D1, D2, D3, dan S1) mencapai total 30 orang. Jadi angka ini cukup menggembirakan dalam konteks pendidikan masyarakat Desa Sukaramai. Tingkat pendidikan tersebut tentu perlu juga diimbangi dengan rasa memiliki dan menghayati kebudayaan tradisinya, termasuk melestarikan nangen nandorbin secara bersama-sama.

Tabel 2.3

Data Pendidikan Penduduk Desa Sukaramai Berdasarkan Tingkat Pendidikan

7-18 Tahun Yang tidak pernah sekolah

(35)

30 7-18 Tahun Yang sedang

bersekolah

120 121

18-56 Tahun Yang tidak pernah bersekolah

(36)

31 2.4 Sistem Religi dan Kepercayaan

Pada mulanya masyarakat Pakpak di desa Sukaramai masih menganut animisme dan dinamisme. Mereka percaya akan adanya kekuatan yang berasal dari luar dirinya sendiri. Mereka percaya kepada roh-roh nenek moyang maupun kepada benda-benda alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Sistem religi yang seperti itu percaya kepada dewa-dewa juga.

Sesuai dengan perkembangan zaman, maka pada masa sekarang masyarakat Pakpak menganut berbagai agama besar dunia, terutama agama-agama samawi,4 yaitu: Kristen dan Islam. Antara umat beragama ini di dalam kebudayaan Pakpak terjadi toleransi, yang saling menghargai perbedaan-perbedaan yang hidup bersama di dalam satu wilayah budaya, yaitu budaya Pakpak.

2.4.1 Kepercayaan Kepada Dewa-dewa

Dahulu suku Pakpak mempercayai kekuatan alam gaib dan percaya bahwa alam sumber kehidupan. Masyarakat Pakpak percaya terhadap Debata Guru/Batara Guru yang dikatakan dalam bahasa Pakpak Sitimempa/ Simenembenasa si lot yang artinya yang “menciptakan yang ada di dunia ini.” Debata Guru atau Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan

4

(37)

32

melindungi. Selain itu masyarakat Pakpak awal, mempercayai makhluk-makhluk gaib sebagai berikut ini.

1. Beraspati Tanoh

Diberi simbol dengan gambar Cecak yang berfungsi melindungi segala tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu, kayu atau tumbuhan lainnya, maka ia harus permisi kepada Beraspati Tanoh.

2. Tunggung Ni Kuta

Tunggung ni kuta ini diyakini mempunyai peranan untuk menjaga dan melindungi kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya. Karena itu, maka tunggung nikuta memberikan kepada manusia beberapa benda yaitu sebagai berikut:

a. Lapihen, yaitu terbuat dari kulit kayu yang di dalamnya terdapat tulisan-tulisan yang berbentuk mantra maupun ramuan obat-obatan serta ramalan-ramalan. Tentang ramalan-ramalan tersebut, orang yang membaca harus jujur dan beretika baik serta tujuan untuk kepentingan umum.

b. Naring, yaitu wadah berisi ramuan untuk pelindung kampung.Apabila suatu kampung mendapat ancaman, maka naring akan memberikan pertanda suara gemuruh atau siulan agar masyarakat dapat mengantisipasi gangguan tersebut.

(38)

33

d. Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di dalam tanah yang bertugas untuk mengusir penjahat yang datang.

e. Sembahen Ni Ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya yang diyakini dapat mengganggu kehidupan manusia sekaligus dapat melindungi manusia apabila diberikan sesajian.

f. Tali Solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya mempunyai kepala ular yang digunakan untuk menjerat musuh.

g. Tongket Balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran lebih kurang (1) meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan dipergunakan untuk menerangi jalan yang gelap.

h. Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan musuh. i. Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai dan

danau.

j. Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau, dan air.

2.4.2 Kepercayaan kepada Roh

Etnik Pakpak sebelum datangnya Kristen dan Islam, percaya kepada roh-roh, yang diklasifikasikan dan diistilahkan sebagai berikut ini.

a. Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meninggal mempunyai kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang. b. Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara

turun-temurun.

(39)

34

d. Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari tempat lain secara lintas dan dapat membuat orang menjadi sakit secara tiba-tiba. Biasanya begu laus adalah roh orang yang meninggal dunia secara mendadak.

Selain kepercayan-kepercayaan di atas, masyarakat Pakpak juga mempunyai beberapa kegiatan ritual yang berhubungan dengan kehidupan mereka yaitu sebagai berikut,

a. Meraleng Tendi

Meraleng tendi adalah ritual yang dilakukan ketika seseorang terkejut karena mendengar suara keras dan keadaan dimana seseorang sedang terancam suatu bahaya. Dengan keadaan seperti ini, maka tendi(rohnya) akan pergi meninggalkan raganya. Untuk menjemput tendi (roh) yang pergi tersebut, maka diadakanlah upacarameraleng tendi. Biasanya diadakan dengan membawa sesajen seperti : ayam merah atau ayam putih yang diberikan kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal. Sesajen tersebut dibawa ke tempat pemakaman nenek moyang tersebut atau sesuai dengan petunjuk datu atau dukun.

b. Tolak Bala Atau Pelaus Persilihi Urat-Urat Ambat

(40)

35

akar kayu yang melintang di jalan atau arahnya memotong jalan. Akar ini dipahat atau dibentuk berbentuk patung manusia yang diberi tudung kain dan disemburi dengan sirih. Kemudian disediakan makanan berupa ikan yang bentuknya lurus atau dalam bahasa Pakpak disebut Nurung ncayur(sejenis ikan jurung) serta dilengkapi dengan nasi kuning. Selanjutnya, akar yang sudah dibentuk seperti patung tadi diletakkan di atas niru (tampi) kemudian diletakkan di persimpangan jalan. Hal ini bermakna“ Inilah sebagai pengganti badan semoga jauhlah bahaya dan datanglah keselamatan.” Kepercayaan-kepercayaan di atas sudah jarang dilaksanakan atau ditemukan pada masyarakat Pakpak yang ada di Aceh Singkil sejak masuknya agama. Masyarakat Pakpak di sana sebagian besar sudah memeluk agama yang tetap, yaitu agama yang sudah diakui oleh Pemerintah. Sebagian besar masyarakat Pakpak yang ada di sana beragama Islam, Kristen Protestan, dan sebagian kecil beragama Kristen Khatolik.

2.5 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Pakpak sejak dahulu kala sudah ada suatu ikatan yang mengatur tata krama dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan dan ditaati oleh masyarakat itu sendiri. Sistem tersebut selalu ada dalam upacara-upacara adat termasuk juga dalam upacara kematian.

2.5.1 Sulang Silima

(41)

36

siditengah atau anak tengah dan dengan sebeltek siampun-ampun/anak yang paling kecil, serta anak berru. Sulang silima dalam masyarakat Pakpak adalah kelompok besar dalam kekerabatan masyarakat Pakpak. Sulang silima ini berkaitan dengan pembagian sulang/jambar dari daging-daging tertentu dari seekor hewan seperti kerbau, lembu atau babi yang disembelih dalam konteks upacara adat masyarakat Pakpak.

Pembagian daging atau jambar ini disesuaikan dengan hubungan kekerabatannya dengan pihak kesukuten atau yang melaksanakan upacara. Dalam masyarakat Pakpak, kelima kelompok tersebut masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam acara adat.

a. Kula-kula, merupakan salah satu unsur yang paling pentingdalam sistem kekerabatan pada masyarakat Pakpak. Kula-kula adalah kelompok/ pihak pemberi istri dalam sistem kekerabatan masyarakat Pakpak dan merupakan kelompok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh masyarakat. Dengan demikian, kula-kula juga disebut dengan istilah Debata Ni Idah (Tuhan yang dilihat). Oleh karena itu, pihak kula-kula ini haruslah dihormati. Sikap menentang kula-kula sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan masyarakat Pakpak. Dalam acara-acara adat, kelompok kula-kula diwajibkan untuk hadir, termasuk juga dalam adat kematian dan mendapat peran yang penting termasuk juga dalam upacara kematian. b. Dengan sebeltek adalah mereka yang mempunyai hubungan tali

(42)

37

upacara adat ada kelompok yang dianggap dekat dengan dengan sebeltek Dalam sebuah acara adat, dengan sebeltek dan seluruh keluarganya akan ikut serta dan mendukung acara tersebut. Secara umum, hubungan dengan sebeltek ini dapat disebabkan karena adanya hubungan pertalian darah, sesubklen/semarga, memiliki ibu yang bersaudara, memiliki istri yang bersaudara, dan memiliki suami yang bersaudara.

c. Anak berru artinya anak perempuan yang disebut dengan kelompok pengambil anak dara Dalam sebuah acara adat, anak berru lah yang bertanggung jawab atas acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah sebagai pekerja, penanggung jawab dan pembawa acara pada sebuah acara adat.

Sedangkan situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah anak tengah dan siampun-ampun adalah anak yang paling kecil. Mereka adalah pihak yang mempunyai ikatan persaudaraan yang terdapat dalam sebuah ikatan keluarga. Kelima kelompok di atas mempunyai pembagian sulang yang berbeda, yaitu sebagai berikut.

1. Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang berpesta) akan mendapat sulang per-punca niadep.

2. Situaan (orang tertua yang menjadi tuan rumah sebuah pesta akan mendapat sulang per-isang-isang).

3. Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan mendapat sulang per-tulantengah.

(43)

38

5. Anak berru (pihak yang mengambil anak gadis dari keluarga yang berpesta) akan mendapat sulang perbetekken atau takal peggu.

Biasanya penerimaan perjambaren anak berru disertai dengan takal peggu yang artinya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar terhadap berjalannya pesta. Anak berru lah yang bertugas menyiapkan makanan serta menghidangkan selama pesta berlangsung. Apabila di antara keluarga tersebut akan mengadakan pesta, maka ketiga kelompok abang beradik (situaan, siditengah dan siampun-ampun) akan menerima pembagian (perjambaren) yakni : isang-isang (dagu), tulan tengah (tulang bagian tengah) dan ekur-ekur (ekor). Penerimaan jambar ini boleh bertukar-tukar sesama keluarga tersebut, dengan rincian sebagai berikut. Misalnya: Situaan nomor satu (1); Siditengah nomor (2); dan Siampun-ampun nomor tiga (3). Apabila siditengah yang berpesta, maka urutan menjadi 2.3.1 sedangkan apabila siampun-ampun (bungsu) yang menjadi sukut (yang berpesta) maka penerimaan perjambaren berubah menjadi 3.1.2. Kula-kula dan anak berru tetap menerima puncaniadep atau tulan tengah dan betekken atau takal peggu.

2.6 Mata Pencaharian

Pada umumnya, mata pencaharian penduduk di desa Sukaramai adalah bertani. Melihat kondisi tanah yang subur serta sangat mendukung untuk bercocok tanam, maka tidak heran jika mayoritas penduduk di sana bermata pencaharian sebagai petani.

(44)

39

tanaman kelapa sawit. Sebagian besar lahan pertanian ditanami dengan tanaman kelapa sawit dan merupakan sumber penghasilan atau pendapatan terbesar bagi penduduk di sana. Selain bertani, mata pencaharian lainnya adalah berdagang, buruh pabrik, dan ada juga sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta.

2.7 Bahasa

Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di desa Sukaramai adalah bahasa Pakpak karena mayoritas penduduk di sana adalah suku Pakpak sehingga dalam kehidupan sehari-hari penduduk disana menggunakan bahasa Pakpak begitu juga dalam acara adat. Terdapat juga sebagian kecil suku lain seperti suku Jawa, Karo, Nias, dan Toba yang datang ke desa tersebut, tetapi setelah tinggal beberapa lama di sana, maka mereka mengerti dan fasih menggunakan bahasa Pakpak. Selain bahasa Pakpak, bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Indonesia yang digunakan di tempat-tempat umum, seperti sekolah, Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), dan kantor kelurahan.

Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan masyarakat pakpak, yaitu sebagai berikut.

(1) Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk menghubungkan maksud si pembicara terhadap objek si pembicara.

(45)

40

narrative songs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi—yang disebut tangis milangi (bahasa tutur tangis).

(3) Rana mertendung yaitu gaya bahasa yang digunakan di hutan.

(4) Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh dikatakan di tengah-tengah kampung karena dianggap tidak sopan.

(5 ) Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa mantera oleh guru (Naiborhu, 2006)

2.8 Kesenian 2.8.1 Seni Musik

Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk penyajian dan cara memainkannya. Berdasarkan bentuk penyajiannya, alat-alat musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu Gotchi dan Oning-oningen. Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik tersebut terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: sipaluun, sisempulen dan sipiltiken.

Instrumen Musik Berdasarkan Bentuk Penyajian Gotchi ialah instrumen musik yang disajikan dalam bentuk seperangkat (ansambel) yang terdiri dari: Genderangsisibah, genderang silima, gendang sidua-dua, gerantung, mbotul, gung, dan kalondang.

(46)

41

kesembilan gendang dari ukuran terbesar hingga ukuran terkecil adalah sebagai berikut:

a. Gendang I, Si Raja Gumeruhguh(suara bergemuruh) dengan pola ritmis menginang-inangi atau mengindungi(induk).

b. Gendang II, Si Raja Dumerendeng atau Si Raja Menjujuri dengan pola ritem menjujuri atau mendonggil-donggili (mengagungkan, mentakbiri, menghantarkan).

c. Gendang III s/d VII, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis benna kayu sebagai pembawa ritmis melodis (menenangkan ataumenentramkan).

d. Gendang VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis menehtehi (menyeimbangkan).

e. Gendang IX, Si Raja Mengapuh dengan pola ritmis menganak-anaki atau tabil sondat (menghalang-halangi).

Dalam bentuk seperangkat, kesembilan gendang ini dimainkan bersamasama dengan gung sada rabaan (seperangkat gung yang terdiri dari empat buah, yaitu panggora (penyeru), poi (yang menyahut), tapudep (pemberi semangat) dan pong-pong (yang menetapkan). Instrumen lain yang dipakai adalah sarune (double reed oboe) dan cilat-cilat (simbal concussion). Dalam penyajiannya, ansambel ini hanya dipakai pada jenis upacara sukacita (kerja mbaik) saja pada tingkatan upacara terbesar atau tertinggi saja.

(47)

42

I, III, V, VII dan IX. Adapun nama-nama gendang berdasarkan urutan dari gendang terbesar hungga gendang terkecil adalah sebagai berikut.

a. Gendang I, Si Raja Gumeruhguh dengan pola ritmis menginang-inangi (induk yang bergemuruh).

b. Gendang III, Si Raja Dumerendeng dengan pola ritmis menjujuri atau mendonggil-donggili (menghantarkan atau meneruskan).

c. Gendang V, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis mendua-duai (menentramkan).

d. Gendang VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis mendua-duai (meramaikan).

e. Gendang IX, Si Raja Mengampuh dengan pola ritmis menganaki(menyahuti, mengikuti).

(48)

43

mengusir roh pengganggu di hutan sebelum diolah menjadi lahan pertanian (mendegger uruk) dan hiburan saja seperti upacara penobatan raja atau untuk mengiringitarian pencak.

Ada pula alat musik gerantung adalah nama yang diberikan kepada instrumen musik sejenis gong ceper (gong tanpa pencu yang termasuk ke dalam flat gongs idiophones yang terdiri dari 4 atau 5 buah gerantung. Instrumen ini biasa dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan dan biasa dipakai pada acara peresmian bale (balai desa), bages jojong (rumah adat) dan pada peresmian perkawinan raja atau keturunannya. Instrumen ini juga digunakan sebagai landasan berpijak bagi kedua mempelai pada saat akan memasuki rumah adat. Menurut pandangan masyarakat Pakpak, instrumen ini merupakan simbol kekayaan dan kemakmuran yang hanya dimilki oleh orang tertentu saja, Kemudian alat-alat musik mbotul adalah seperangkat alat musik gong (idiophones) berpencu yang terdiri dari 5, 7 atau 9 buah gong. Disusun berbaris di atas sebuah rak seperti kenong pada tradisi gamelan Jawa. Dalam penggunaannya, instrumen ini berperan sebagai pembawa melodi dan secara ansambel dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan.

Ada pula alat musik gung (gong idiophones) terdiri dari empat buah yang tidak dapat berdiri secara sendiri-sendiri yang artinya dalam penggunaannya harus sekaligus empat buah. Oleh karena itu, gong ini disebut sada rabaan(empat buah gong yang dimainkan secara bersamaan).

Keempat instrumen ini diberi nama sebagai berikut.

(49)

44

b. Gung II (poi), gung terbesar kedua yang berperan sebagai penyahut atau yang memberi sahutan.

c. Gung III (tapudep), gung terbesar ketiga yang berperan sebagai menimpali, menengahi atau memberikan jawaban (aksentuasi ritmis)antara gong pertama dan gong kedua sekaligus pengontrol atas gungpanggora dan poi. d. Gung III (pongpong), gung terkecil yang berperan sebagai pemegang tempo

(memongpongi) atau pengatur kecepatan lagu sekaligus sebagai penjaga kestabilan dari lagu yang dimainkan. Kalondang (xylophones) adalah alat musik yang terbuat dari bilahan kayu berjumlah sembilan buah. Dimainkan secara bersama-sama dengan pong-pong (gong kecil), cilat-cilat (simbal) dan lobat(bamboos recorder). Alat musik ini biasanya digunakan sebagai pengiring tarian (tatak) hiburan dengan membawakan lagu-lagu tertentu yang sifatnya gembira, seperti: ende-ende muat kopi (nyanyian memetik kopi), ende-ende kitobis ( nyanyian mengambil rebung bambu) yang menggambarkan kegembiraan pada saat memetik kopi dan mengambil rebung bambu.

2.8.2 Musik Vokal

Masyarakat Pakpak memberi nama ende-ende (baca: nde-nde) terhadap semua jenis musik vokalnya. Ada beerapa jenis musik vokal yang terdapat pada masyarakat pakpak yang dibedakan berdasarkan fungsi dan penggunaannya masing-masing yaitu sebagai berikut.

(50)

45

tangis milangi karena hal-hal mengharukan yang terdapat di dalam hati penyajinya akan dituturkan-tuturkan (Pakpak: ibilang-bilangken, milangi) dengan gaya menangis (Pakpak : tangis).

Ada beberapa jenis tangis milangi yang terdapat pada masyarakat Pakpak, yaitu sebagai berikut.

a. Tangis si jahe adalah jenis nyanyian yang disajikan oleh gadis (female song) menjelang pernikahannya. Teksnya berisi tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya. Gadis tersebut tentunya akan meninggalkan keluarganya untuk bergabung dengan keluarga suaminya. Selain itu, teks teks nyanyian ini juga berisi tentang semua hal menyedihkan yang mungkin akan dialaminya di lingkungan keluarga suaminya. Walaupun dinyanyikan dengan gaya menangis, namun maksud utama dari tangis ini ialah agar orang yang ditangisi merasa terharu dan selanjutnya akan memberikan petuah-petuah atau nasehat dan berupa materi kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Nasehat yang diberikan umumnya adalah tentang petunjuk hidup berumah tangga dan semua hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bersuami-istri. Nyanyian ini disajikan dengan menggunakan melodi yang berulang-ulang (repetitif) dengan teks yang berubah-ubah.

(51)

saat-46

saat tertentu, seperti ketika berada di hutan, di ladang, di sawah atau tempat-tempat sepi lainnya. Nyanyian ini juga lebih mengutamakan teks daripada melodi. Teksnya berubah-ubah dengan pengulangan-pengulangan melodi yang sama.

c. Tangis simate adalah nyanyian ratapan (lament) kaum wanita ketika salah seorang anggota keluarga meninggal dunia. Disajikan pada saat si mati tersebut masih berada di hadapan orang yang menangis sebelum dikebumikan. Teksnya berisi tentang hal-hal atau perilaku yang paling berkesan dari si mati semasa hidupnya, kebaikan dan kelebihan-kelebihannya serta kemungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi keluarga atas sepeninggal orang yang meninggal tersebut. Melalui tangis ini pula orang-orang yang melayat dapat lebih mengetahui dan mengenal sifat-sifat dari orang yang meninggal tersebut dan yang lebih utama lagi adalah bahwa melalui nyanyian ini para pelayat akan di bawa ke dalam suasana duka yang mendalam melalui gaya tangis simate tersebut sehingga dengan demikian pelayat akan tergerak bersatu ke dalam suatu perasaan sepenanggung sependeritaan. Nyanyian ini adalah nyanyian strofik yang mengutamakan teks daripada melodi. Teks yang disajikan berubah-ubah dengan pengulangan-pengulangan melodi yang sama.

(52)

47

nyanyian ini menggunakan teks yang selalu berubah-ubah dengan melodi yang diulang-ulang (repetitif).

(iii) Orih-orih ialah nyanyian untuk menidurkan anak yang dinyanyikan oleh si pendedah (pengasuh) orangtua atau kakak baik pria maupun wanita. Si anak digendong sambil i orih-orihken (sambil menina bobokkan si anak dalam gendongan) dengan nyanyian yang liriknya berisi tentang nasehat, harapan, cita-cita maupun sebagai curahan kasih sayang terhadap si anak tersebut.

(iv) Oah-oah sering juga disebut kodeng-kodeng, yaitu jenis nyanyian yang teksturnya sama dengan orih-orih. Yang membedakannya ialah cara dalam menina bobokkan si anak. Jika orih-orih disajikan sambil menggendong si anak, maka oah-oah disajikan sambil mengayun si anak pada ayunan yang digantungkan pada sebatang kayu di rumah maupun di pantar (gubuk, dangau) yang terdapat di ladang atau di sawah.

(53)

48

(vi) Nangen ialah nyanyian yang disajikan pada waktu mersukut-sukuten. Setiap ucapan dari tokoh-tokoh yang terdapat pada cerita tersebut disampaikan dengan gaya bernyanyi. Ucapan tokoh tokoh yang terdapat dalam cerita yang dinyanyikan itulah yang disebut nangen, sedangkan rangkaian ceritanya disebut sukut-sukuten. Apabilaseluruh rangkaian cerita dan ucapan para tokoh cerita disampaikan dengan gaya bertutur, maka kegiatan ini disebut dengan sukut-sukuten (bercerita), sedangkan cerita yang menyertakan dalam penyampaiannya disebut sukut-sukuten pake nangen. Namun, pada umumnya sukut sukuten yang menarik haruslah berisi nangen. Kegiatan mersukut-sukuten biasanya dilakukan oleh para tua-tua yang sudah lanjut usia. Cerita sukut-sukuten umumnya berisi tentang pedoman-pedoman hidup dan teladan yang harus dipanuti berdasarkan perilaku yang diperankan oleh tokoh yang terdapat dalam cerita. Tokoh yang baik menjadi panutan sedangkan tokoh yang jahat dihindari. Pencerita (persukut-sukuten) haruslah seorang yang cukup ahli menciptakan karakter tokoh-tokoh melalui warna suara nangen yang berbeda-beda satu sama lainnya sehingga menarik untukdinikmati.Adapun sukut-sukuten yang cukup dikenal oleh masyarakat Pakpak adalah Nandorbin, Sitagandera, Nan Tampuk Mas, Manuk-manuk Si Raja Bayon,

Si buah mburle dan lain sebagainya.

(54)

49

bergandengan tangan dan melantunkan lagu-lagu secara chorus (koor) maupun solo chorus (nyanyian solo yang disambut oleh koor). Pada malam hari kelompok perempuan dewasa sedang menumbuk padi, maka biasanya pada saat itulah anak-anak melakukan kegiatan mardembas. Isi teksnya adalah menggambarkan keindahan alam serta kesuburan tanah Pakpak yang dinyanyikan dengan pengulangan melodi (repetitif) dimana teksnya berubah-ubah sesuai pesan yang disampaikanya.

(viii) Ende-ende Memuro Rohi, nyanyian ini termasuk ke dalam jenis work song, yaitu nyanyian yang disajikan pada saat bekerja. Biasanya dinyanyikan ketika berada di ladang atau di sawah untuk mengusir burung-burung agar tidak memakan padi yang ada di ladang atau di sawah tersebut. Kegiatan muro (menjaga padi) ini biasanya menggunakan alat yang disebut dengan ketter dan gumpar yangdilambai-lambaikan ke tengah ladang padi sambil menyanyikan ende-ende memuro rohi. Jenis-jenis kesenian di atas, baik seni musik maupun musik vokal sudah jarang dtemukan. Seni musik tradisional tersebut sudah digantikan dengan alat musik keyboard dalam upacara-upacara adat, baik upacara perkawinan maupun upacara kematian. Begitu juga dengan musik vokal yang sudah sangat jarang ditemukan, namum masih ada beberapa musik vokal yang masih ditemukan seperti tangis simate dan tangis anak melumang.

(55)

50

dan pada bambu tersebut digantungkan kain bekas yang dilambaikan ke tengah sawah untuk mengusir burung. Fungsi utama alat ini tentu saja menghalau burung, namun tetap dapat dikaji melalui disiplin etnomusikologi, yaitu studi musik dalam kebudayaan. Alat ini dapat digolongkan kepada fungsinya sebagai alat pendukung budaya pertanian.

Dari kajian etnografis etnik Pakpak ini, dan kaitannya dengan penelitian nangen nandorbin, maka dapat diuraikan beberapa hal sebagai berikut. Bahwasanya masyarakat Pakpak, baik itu di Desa Sukaramai atau secara umum di Kabupaten Pakpak Bharat dan juga Kabupaten Dairi, memiliki wujud dan unsur kebudayaannya yang khas. Kebudayaan masyarakat Pakpak ini merupakan hasil dari kontinuitas dan perubahan dalam ruang dan waktu yang mereka lalui. Di dalam kebudayaan masyarakat Pakpak tergambar dengan jelas unsur-unsur animisme, yang kemudian bertransformasi ke era agama-agama besar yang datang ke kawasan ini, sampai kemudian memasuki zaman globalisasi.

(56)

51

(57)

52 BAB III

ANALISIS TEKSTUAL NANGEN NANDORBIN

3.1 Penyajian Nangen Nandorbin

Dalam Bab III ini, penulis akan menganalisis tekstual dan serta makna yang terkandung dari teks nangen nandorbin tersebut. Nangen nandorbin disajikan pada saat putri tersebut masih menginjak remaja. Pada umumnya, nyanyian ini hanya disajikan oleh keluarga dekat saja. Tidak ada peraturan waktu tertentu dalam menyajikan nyanyian ini. Nyanyian ini bebas disajikan pada saat kapan saja selagi seorang putri masih belum menikah.

Ketika nyanyian ini disajikan, maka ibunya tidak boleh bermain-main dalam menyampaikan pesan dan makna yang ada pada teks nyanyian tersebut. Nyanyian ini tidak diiringi alat musik. Nyanyian ini biasanya disajikan ketika melihat putrinya sudah beranjak dewasa, dan harus dididik menjadi seorang putri yang bernilai mahal. Kemudian, nyanyian ini disajikan secara perlahan dimana pada saat suasana dalam keadaan sunyi, maka si penyaji melontarkan perkataan mendidik dengan cara bernyanyi. Kemudian, nyanyian ini sering juga disajikan ketika ada anggota keluarga yang lain datang sehingga keluarga yang ada di sekitar tersebut merasa tertarik kepada putri yang telah terdidik tersebut, sehingga putri tersebut menjadi sorotan masyarakat Pakpak yang ada di Desa Sukaramai.

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 4.1:
+3

Referensi

Dokumen terkait

Perangkat Desa yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan

[r]

7) Pengesahan fotokopi ijazah/STTB, syahadah dari satuan pendidikan yang terakreditasi, sertifikat, dan surat keterangan lain yang menerangkan kelulusan dari

Sangat diperlukan untuk mencapai kantor alur kerja teknologi digital, yang2. sekarang lebih populer sistem e-mail berbasis pada teknologi alur kerja,

Dengan diumumkannya PEMENANG kepada peserta lelang diberikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan, apabila masih terdapat kesalahan di dalam penetapan pemenang

Lemahnya kinerja ekspor dipengaruhi permintaan global yang lemah dan harga komoditas yang terus turun..... 62 Outlook NPI ..T eka a Capital Ouflo s Masih

[r]

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Daerah Kementerian Keuangan Provinsi Jawa Barat melaksanakan Pelelangan Pekerjaan Jasa Konsultansi Pengawas pekerjaan renovasi