• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KUANTITAS PENGGUNAAN OBAT ANTIASMA PADA PASIEN ASMA SERANGAN AKUT DI RUMAH SAKIT PARU RESPIRA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EVALUASI KUANTITAS PENGGUNAAN OBAT ANTIASMA PADA PASIEN ASMA SERANGAN AKUT DI RUMAH SAKIT PARU RESPIRA YOGYAKARTA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KUANTITAS PENGGUNAAN OBAT ANTIASMA PADA

PASIEN ASMA SERANGAN AKUT DI RUMAH SAKIT PARU RESPIRA

YOGYAKARTA

1

Lolita,

2

Mas Ulfah Lestari

1Departemen Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan

Jl. Prof. Dr. Soepomo, S.H., Janturan, Umbulharjo, Yogyakarta 55164 2Prodi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan Jl. Prof. Dr. Soepomo, S.H., Janturan, Umbulharjo, Yogyakarta 55164

Email: lolita@pharm.uad.ac.id

ABSTRAK

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau mengancam jiwa (Rai dan Artana, 2016). Sistem ATC/DDD adalah sebagai sarana penggunaan obat untuk meningkatkan kualitas penggunaan obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuantitas penggunaaan obat antiasma pada pasien asma serangan akut di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016 dengan metode ATC/DDD.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pengumpulan data secara retrospektif pada tahun 2016. Analisa data dilakukan dengan dua cara, yaitu menghitung kuantitas penggunaan obat berdasarkan Defined Daily Dose (DDD) per 1000 KPRJ.

Hasil diketahui terdapat 82 pasien yang termasuk inklusi dengan 129 kasus di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016. Terdapat 62,20% perempuan dan 37,80% laki-laki. Karakteristik usia 36-45 tahun sebesar 52,40% lebih banyak terjadi asma serangan akut dibandingkan dengan usia 26-35 tahun sebesar 47,60%.

Evaluasi kuantitas penggunaan antiasma pada pasien asma serangan akut yang paling banyak adalah formoterol sebesar 70,7/1000 KPRJ dan yang paling sedikit adalah fenoterol Hbr sebesar 0,02/1000 KPRJ.

(2)

ABSTRACT

Asthma is a chronic airway inflammatory disease characterized by wheezing, coughing, and tightness in the chest due to airway obstruction. Asthma attacks has variation from mild to severe and can even be fatal or life-threatening (Rai and Artana, 2016). ATC / DDD system means the evaluation methods of the drug use to improve the quality of the use of drug. This study aims to determine the quantity of the use of

antiasma’s drug in acute asthma attack patients at RS Paru Respira Yogyakarta in 2016 by the ATC/DDD method.

This study was an observational study with retrospective data collection in 2016. The data analysis was done by calculating the percentage of the quantity of drug use by Defined Daily Dose (DDD) per 1000 KPRJ. The result was found that there were 82 patients with inclusion criteria of 129 cases in RS Paru Respira Yogyakarta in 2016. There are 62,20% women and 37,80% men. Age characteristics of 36-45 years old more frequently got acute attacks of asthma (52,40%) compared with the age of 26-35 years amount of 47.60%.

The quantity evaluation of antiasma usage in the acute attack asthma patients was formoterol 70.7 / 1000 KPRJ higher than Hbr phenoterol of 0.02 / 1000 KPRJ.

Keywords: Asthma Acute Attack, ATC/DDD

PENDAHULUAN

Asma adalah suatu penyakit yang

heterogen yang dikarakterisir oleh

adanya inflamasi kronis pada saluran

pernafasan. Hal ini ditentukan oleh

adanya riwayat gejala gangguan

pernafasan seperti mengi, nafas

terengah-engah, dada terasa berat/tertekan, dan

batuk, yang bervariasi waktu dan

intensitasnya, diikuti dengan keterbatasan

aliran udara (GINA, 2015). Berdasarkan

RISKESDAS 2013 bahwa umur 25-34

tahun mempunyai prevalensi asma

tertinggi yaitu sebesar 5,7% dan umur 1

tahun memiliki prevalensi asma terendah

sebesar 1,5%. World Health

Organization (WHO) memperkirakan

100-150 juta penduduk dunia menderita

asma. Bahkan, jumlah ini diperkirakan

akan terus bertambah hingga mencapai

180.000 orang setiap tahun (Depkes,

2009).

Asma merupakan salah satu penyakit

yang tidak bisa disembuhkan secara total.

Kesembuhan serangan asma tidak

menjamin dalam waktu dekat akan

terbebas dari ancaman serangan

berikutnya (Hussar, 2009). Evaluasi

kuantitas penggunaan obat yaitu salah

satunya dengan metode ATC (The

Anatomical Therapeutic Chemical)/DDD

(Defined Daily Dose). Metode ini

direkomendasikan oleh WHO untuk

evaluasi penggunaan obat. Hasil evaluasi

penggunaan obat dengan metode

ATC/DDD dengan mudah dapat

dibandingkan. Adanya perbandingan

penggunaan obat di tempat yang berbeda

(3)

adanya perbedaan substansial yang akan

menuntun untuk dilakukannya evaluasi

lebih lanjut ketika ditemukannya

perbedaan yang bermakna, yang pada

akhirnya akan mengarahkan pada

identifikasi masalah dan perbaikan sistem

penggunaan obat (Bergman, 2001).

Berdasarkan RS Paru Respira

Yogyakarta, asma merupakan salah satu

diantara 10 besar penyakit pada pasien

rawat jalan (Anonim, 2016). Evaluasi

penggunaan obat dapat mengidentifikasi

masalah dalam penggunaan obat,

menurunkan Adverse Drug Reaction

(ADR), dan mengoptimalkan terapi obat.

Sedangkan evaluasi kuantitas dengan

menggunakan metode ATC/DDD untuk

meningkatkan kualitas penggunaan obat.

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah rekam medik pasien

asma serangan akut yang menjalani rawat

jalan di RS Paru Respira Yogyakarta

pada tahun 2016. Alat yang digunakan

dalam penelitian ini adalah form

pengambilan data penggunaan obat

antiasma dan seperangkat komputer.

Prosedur Penelitian

Jalannya penelitian secara garis besar

dijelaskan sebagai berikut:

a. Dilakukannya permohonan izin dari

fakultas membuat ethical clearance

dan dari rumah sakit untuk

melakukan penelitian di RS Paru

Respira Yogyakarta.

b. Setelah pemberian izin dari direktur

rumah sakit, lalu ke Instalasi rekam

medik untuk pencatatan data

penggunaan antiasma untuk terapi

asma yang meliputi karakteristik

pasien (no rekam medik, nama, jenis

kelamin, umur dan BB pasien) dan

data penggunaan obat antiasma (jenis

obat, dosis dan frekuensi obat,

bentuk sediaan, dan lama

pemberian).

c. Data di dikelompokkan (klasifikasi

ATC dan perhitungan DDD).

d. Dari analisis hasil dapat dibuat

pembahasan, kesimpulan dan saran.

Analisis Data

Analisis data untuk kuantitas

penggunaan obat dengan metode

ATC/DDD:

1. Mengevaluasi golongan dan jenis

antiasma yang digunakan pasien

rawat jalan pada tahun 2016.

2. Mengelompokkan antiasma

berdasarkan kode ATC dan

menghitung DDD obat antiasma.

Dengan rumus sebagai berikut :

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tentang evaluasi kuantitas

dan rasionalitas penggunaan obat

antiasma merupakan penelitian yang

bersifat observasional deskriptif dengan

teknik pengambilan data secara

retrospektif. Penelitian ini dilakukan

untuk mengevaluasi kuantitas dan

penggunaan obat antiasma dengan

metode ATC/DDD. Data yang diambil

dari populasi ini adalah data dalam rekam

medik pasien asma serangan akut yang

menjalani rawat jalan di RS Paru Respira

Yogyakarta pada tahun 2016.

Data pasien asma serangan akut yang

diperoleh dari Instalasi Rekam Medis di

RS Paru Respira Yogyakarta sebayak 91

pasien, dimana dari 91 pasien tersebut

hanya terdapat 82 pasien (90,1%) dengan

129 kasus yang memenuhi kriteria

inklusi yaitu pasien dengan diagnosa

asma serangan akut (ICD-10/J46).

Terdapat 9 pasien yang tereksklusi

dikarenakan terdapat data yang kurang

lengkap, seperti diantaranya terdapat 2

pasien yang sedang hamil, kemudian 4

pasien yang melakukan pemeriksaan

rawat jalan, namun tidak ada data resep

obat yang diberikan, dan 3 pasien data

dalam rekam medik tidak terbaca.

1. Distribusi Pasien Berdasarkan

Jenis Kelamin

Hasil penelusuran data yang

diperoleh dari rekam medik di

didapatkan sebanyak 31 pasien laki-laki

(37,8%) dan 51 pasien perempuan

(62,2%). Kemudian dihitung persentase

jenis kelamin pasien dengan

membandingkan jumlah total pasien

laki-laki dan perempuan seperti yang

tercantum pada Gambar 1.

Gambar 1. Persentase jenis kelamin pasien asma serangan akut di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016

Pada Gambar 1 menunjukkan jumlah

pasien perempuan lebih banyak

dibanding pasien laki-laki. Penelitian

yang dilakukan oleh Choi 2011

menyatakan bahwa perbandingan

(5)

laki-laki dan perempuan lebih kurang

sama dan pada masa menopause

perempuan lebih banyak dari laki-laki.

Salah satu gejala yang terjadi pada

wanita yang mengalami menopause

adalah emosional dan peningkatan emosi

dapat mengaktifkan sistem parasimpatis

yang dapat menyebabkan kontriksi otot

polos bronkiolus sehingga terjadi

bronkokontriksi (Choi, 2011).

2. Distribusi Pasien Berdasarkan

Umur

Untuk menghitung persentase umur

dibuat kelompok-kelompok umur

berdasarkan Depkes 2009, dimana umur

26-35 tahun termasuk dewasa awal dan

36-45 tahun termasuk dewasa akhir.

Hasil yang diperoleh pada umur 26-35

tahun sebanyak 39 pasien (47,6%) dan

umur 36-45 tahun sebanyak 43 pasien

(52,4%). Kemudian dari tiap-tiap

kelompok umur tersebut dihitung

persentase terhadap jumlah total kasus.

Persentase umur pasien asma serangan

akut di RS Paru respira Yogyakarta pada

thaun 2016 dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Persentase umur pasien asma serangan akut di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016

Pada Gambar 6 menunjukkan

jumlah pasien yang berusia 26-35 tahun

sebanyak 39 pasien (47,6%) lebih sedikit

dibanding pada usia 36-45 tahun

sebanyak 43 pasien (52,4%). Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi usia,

maka fungsi paru semakin menurun.

Peningkatan usia semakin kakunya

dinding paru, berkurangnya fungsi otot

respirasi dan perubahan anatomis saluran

nafas (airway wall remodelling) (Ikawati,

2016).

3. Distribusi Pasien Berdasarkan

Klasifikasi Asma

Hasil penelusuran data yang

diperoleh dari rekam medis di dapat total

kasus asma serangan akut berdasarkan

(6)

sebanyak 129 kasus dengan 82 pasien

dengan menunjukkan jumlah kasus

berdasarkan klasifikasi asma intermiten

sebanyak 11 kasus (8,53%), asma

persisten ringan sebanyak 48 kasus

(37,21%), persisten sedang sebanyak 27

kasus (20,93%) dan asma persisten berat

sebanyak 43 kasus (33,33%). Banyaknya

jumlah pasien rawat jalan kasus asma

serangan akut berdasarkan keparahan

penyakit tercantum pada Gambar 3.

Gambar 3. Persentase klasifikasi asma pada pasien asma serangan akut di RS Paru Respira pada tahun 2016

Pada Gambar 3 menunjukkan jumlah

kasus berdasarkan klasifikasi asma

intermiten sebanyak 11 kasus (8,53%),

asma persisten ringan sebanyak 48 kasus

(37,21%), persisten sedang sebanyak 27

kasus (20,93%) dan asma persisten berat

sebanyak 43 kasus (33,33%). Hal ini

menunjukkan bahwa derajat asma adalah

suatu kontinum dimana derajat berat

asma persisten dapat berkurang atau

bertambah. Derajat gejala eksaserbasi

atau serangan asma dapat bervariasi dan

tidak tergantung dari derajat sebelumnya.

Klasifikasi asma menurut derajat berat

berguna untuk menentukan obat yang

diperlukan pada awal penanganan asma

(Rengganis, 2008).

4. Distribusi Pasien Berdasarkan

Penyakit Penyerta

Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan dari 129 kasus pasien asma

serangan akut yang menjalani rawat jalan

di RS Paru Respira Yogyakarta pada

tahun 2016, diperoleh bahwa jumlah

kasus berdasarkan penyakit penyerta

pada pasien asma adalah hipertensi

sebanyak 8 kasus (6,2%) dan diabetes

mellitus sebanyak 2 kasus (1,6%) dari

129 kasus. Data pasien asma serangan

akut dengan penyakit penyerta dapat

(7)

Gambar 4. Persentase penyakit penyerta pada pasien asma serangan akut di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016

Pada Gambar 4 diperoleh pasien

dengan penyakit penyerta hipertensi lebih

banyak dibandingkan dengan penyakit

diabetes mellitus. Pada kondisi diabetes

mellitus menyebabkan plasma insulin

berkurang, sehingga mengurangi

jalannya nafas dengan penurunan

aktivitas kontraktor otot (Mansi et al.,

2007). Obat antiasma juga dapat

menyebabkan hipertensi, dimana

metilprednisolon memiliki efek samping

yaitu meningkatkan tekanan darah (Dana

et al., 2013 ).

5. Penggunaan Obat Antiasma

Berdasarkan Golongan Obat

Penggunaan obat antiasma

berdasarkan golongan obat yang

menjalani rawat jalan di RS Paru Respira

Yogyakarta pada tahun 2016 dapat

dilihat pada tabel I.

Tabel I. Penggunaan jenis obat pada pasien asma serangan akut di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016

Golongan Nama Obat Frekuensi Penggunaan Persentase (%)

Beta Adrenergik Agonis

Salbutamol 50 38,8

Ventolin Inhaler 4 3,1

Ventolin Nebules 14 10,9

Ventolin Rotacaps 21 16,3

Terbutalin 5 3,9

Kortikosteroid Metilprednisolon 68 52,7

Budesonide 22 17,1

Fluticason 13 10,1

Xantin Aminophylline 14 10,9

Theophylline 33 25,6

Adrenergik Fenoterol Hbr 3 2,3

Antihistamin Cetirizin 26 20,2

Loratadine 2 1,6

Dexametason 3 2,3

Mukolitik Bromhexin 6 4,6

Ambroxol 66 51,2

(8)

Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan bahwa penggunaan obat

antiasma berdasarkan golongan obat

paling tinggi adalah golongan

kortikosteroid yaitu metilprednisolon

sebesar 52,7% sedangkan paling rendah

adalah golongan antihistamin yaitu

loratadine.

Berdasarkan Tabel I menunjukkan

bahwa penggunaan obat antiasma

berdasarkan golongan obat yang paling

besar adalah golongan kortikosteroid,

dimana golongan kortikosteroid banyak

digunakan pada asma serangan akut berat.

Kortikosteroid dalam pengobatan jangka

panjang paling efektif untuk mengontrol

asma. Kortikosteroid mengurangi jumlah

sel inflamasi saluran nafas pada tingkat

selular termasuk eosinofil, limfosit T, sel

mast dan sel dendritik. Hal itu terjadi

dengan menghambat perekrutan sel

inflamasi ke dalam saluran nafas

(Rozaliyani, 2011).

Penggunaan obat antiasma

berdasarkan golongan obat yang paling

kecil adalah golongan antihistamin. Pada

asma alergi, maka antibodi IgE akan

melekat pada permukaan sel mast pada

interstisial paru yang berhubungan erat

dengan bronkiolus dan bronkus kecil.

Alergen kemudian berikatan dengan

antibodi IgE yang melekat pada sel mast

dan menyababkan sel ini berdegranulasi

mengerluarkan berbagai macam mediator.

Beberapa mediator yang dikeluarkan

adalah histamin (Rengganis, 2008).

6. Evaluasi Kuantitas Penggunaan

Antiasma

Antiasma yang digunakan untuk

pasien asma serangan akut yang

menjalani rawat jalan di RS Paru Respira

Yogyakarta selama tahun 2016 dengan

kode ATC dan nilai DDD dapat dilihat

(9)

Tabel II. Kode ATC dan nilai DDD antiasma di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun

R03AC02 Salbutamol Inhalasi Aerosol 0,8 mg R03AC02 Salbutamol Inhalasi Powder 0,8 mg R03AC02 Salbutamol Inhalasi

Solution

10 mg

R03CC02 Salbutamol Oral 12 mg

R03CC03 Terbutalin Oral 15 mg

R03AC12 Salmeterol Inhalasi Aerosol 0,1 mg R03AC12 Salmeterol Inhalasi Powder 0,1 mg R03AC13 Formoterol Inhalasi Powder 24 µg

2 Xantin R03DA05 Aminophylline Oral 0,6 g

R03DA04 Theophylline SR

Oral 0,4 g

3 Adenergik R03AC04 Fenoterol Hbr inhalasi Aerosol 0,6 g 4 Kortikosteroid R03BA02 Budesonide Inhalasi

Solution

1,5 mg

R03BA05 Fluticason Inhalasi Aerosol 0,6 mg R03BA05 Fluticason Inhalasi Powder 0,6 mg

5 Antihistamin R06AE07 Cetirizin Oral 10 mg

7 Antikolinergik R03BB01 Ipratropium Br Inhalasi Solutiom

0,3 mg

Berdasarkan tabel II, data

penggunaan antiasma untuk semua

pasien pada tahun 2016 didapatkan data

nama, golongan, dosis harian, bentuk

sediaan dan jumlah penggunaan antiasma

selama satu tahun. Nama antiasma terdiri

dari nama generik untuk produk generik

dan nama dagang apabila berupa produk

dengan merek dagang yang digunakan.

Bentuk sediaan diperlukan untuk

membedakan antara sediaan oral dengan

sediaan inhalasi. Dalam ATC/DDD

beberapa obat ada yang memiliki nilai

DDD yang berbeda antara sediaan oral

dengan sediaan inhalasi (WHO, 2013).

Berdasarkan tabel II pada

perhitungan total DDD/1000KPRJ,

didapatkan bahwa selama satu tahun

penggunaan antiasma tertinggi adalah

formoterol sebesar 70,7/1000KPRJ yang

berarti dalam 1000 kunjungan pasien

rawat jalan ada 70-71 pasien yang

mendapatkan 1 DDD formoterol,

penggunaan antiasma terendah adalah

fenoterol HBr sebesar 0,02/1000KPRJ

(10)

pasien rawat jalan ada 1 pasien yang

mendapatkan 1 DDD fenoterol HBr.

Penggunaan antiasma untuk pasien rawat

jalan dalam DDD/1000KPRJ selama

tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel III.

Tabel III. Kuantitas penggunaan antiasma dalam DDD/1000KPRJ di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016

Berdasarkan tabel III pada perhitungan

total DDD/1000KPRJ, didapatkan bahwa

selama satu tahun penggunaan antiasma

tertinggi adalah formoterol sebesar

70,7/1000KPRJ sedangkan penggunaan

antiasma terendah adalah fenoterol HBr

sebesar 0,02/1000KPRJ. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa golongan beta

adrenergik yang direkomendasikan

sebagai pengobatan alternatif lain pada

tipe asma persisten berat adalah

Formoterol (Wells et al., 2012). Maka

tingginya penggunaan Formoterol pada

penelitian ini disebabkan karena

banyaknya kejadian serangan asma yang

dialami pasien dengan tipe asma

persisten berat.

7. Profil Kesesuaian Antiasma yang

Digunakan dengan Formularium

Rumah Sakit Khusus Paru Respira

Yogyakarta Tahun 2016 dan

Daftar Obat Esensial Nasional

(DOEN) tahun 2013

Berdasarkan tabel IV diperoleh hasil

perhitungan persentase kesesuaian Antiasma Total Kuantitas Penggunaan

DDD Penggunaan

DDD/1000KPRJ

Salbutamol 192,6 6,62

Terbutaline 10,3 0,4

Aminophylline 50,7 1,7

Theophylline 217,5 7,5

Fenoterol Hbr 0,5 0,02

Budesonide 6,4 0,17

Fluticason Propionat

11,5 0,33

Cetirizin 198 6,9

Loratadin 20 0,7

Acetylcystein 158 5,4

Bromhexin 28,3 0,9

Ambroxol 104,7 3,6

Ipratropium Br 85 2,9

Salmeterol 6,75 0,24

(11)

penggunaan antiasma sebesar 64,7% dari

total jenis penggunaan antiasma pada

tahun 2016 yang direkomendasikan

dalam Formularium RS Paru Respira

Yogyakarta tahun 2016. Hasil

perhitungan persentase kesesuaian

penggunaan antiasma sebesar 75% dari

total jenis antiasma yang digunakan

sesuai dengan antiasma yang

direkomendasikan dalam DOEN 2013

(Kemenkes RI, 2013)

Tabel IV. Kesesuaian Antiasma yang Digunakan dengan Formularium Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta Tahun 2016 dan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) tahun 2013

No Obat yang di gunakan di RS Paru Respira Yogyakarta

Formularium RS Paru Respira Yogyakarta tahun 2016

DOEN tahun 2013

1 Aminophylline Aminophylline Aminophylline

2 Budesonide Budesonide Budesonide

3 Dexametason Dexametason Dexametason

4 Fenoterol Hbr Epinefrin (Adrenalin) Epinefrin (adrenalin)

5 Fluticason propionat Efedrin HCL -

6 Metilprednisolon Fenoterol Hbr -

7 Salbutamol Fluticason propionat -

8 Theophylline Metilprednisolon -

9 Terbutalin Prokaterol HCL -

10 Ipratropium bromide Salbutamol -

11 Kombinasi

-ipratropium bromida dan salbutamol

-fenoterol Hbr dan ipratropium bromide

-salmeterol xinafoate dan fluticasone propionate -budesonide dan formoterol

-

(12)

KESIMPULAN

Evaluasi kuantitas penggunaan

antiasma di RSKP Respira Yogyakarta

pada tahun 2016 berdasarkan metode

ATC/DDD yang terbanyak adalah

formoterol sebesar 70,7/1000KPRJ yang

berarti dalam 1000 kunjungan pasien

rawat jalan ada 70-71 pasien yang

mendapatkan 1 DDD formoterol dan

yang paling sedikit adalah fenoterol Hbr

sebesar 0,02/1000KPRJ yang berarti

dalam 1000 kunjungan pasien rawat jalan

ada 1 pasien yang mendapatkan 1 DDD

fenoterol HBr.

UCAPAN TERIMAKASIH

Segenap staff Rumah Sakit Respira

Paru Yogyakarta yang telah memberikan

kelancaran selama proses penelitian.

DAFTAR PUSTAKA description to quality assement,

A Swedish perspective, Norweg Journal.Epidemiology, 11 (1): 31-36.

Choi, L. S., 2011, Gender-Specific Asthma Treatment, The Korean Academy of Asthma, Allergy and Clinical Immunology, 3(2), 74-80

Dana, W.J., Fuller, M.A., Goldman, M.P., Golembiewski, J.A., Gonzales, J.P., Lowe, J.F., Snoke, J., 2013,

Drug Information Handbook, 22th Edition, Hal:1212,

Lexicomp, American

Pharmacists Association.

Depkes RI (2009). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depertemen Republik Indonesia

GINA (Global Initiative for Asthma), 2015, Global Strategy for Asthma management and prevention, diakses pada 6 Oktober 2016.

Hussar, D.A., 2009, Patient Compliance, in Remington : The science and practice of Pharmacy,

volume II, USA : The Philadelpia College of

Pharmacy and Science.

Ikawati, Z., 2016, Penatalaksanaan Terapi Penyakit Sistem Pernafasan, 1, 105- 161, Bursa Ilmu, Yogyakarta.

Kemenkes RI, 2013, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

312/MENKES/SK/IX/2013 tentang Daftar Obat Esensial Nasional, Menteri Kesehatan Republik Indonesi, Jakarta, diakses tanggal 23 April 2017.

Mansi, R.S.V., Joshi,S.R., Pandloskar, H.L.Dhar, Correlation Between Blood Sugar, Cholesterol and Asthma Status, Indian J Allergy Asthma Immunol, 21(1): 31-34

Rai, I.B.N., dan Artana, I.B., 2016, Astma Meeting Comprehenssive

Approach Of

Asthma,Percetakan Bali, Denpasar.

Rengganis, I., 2008, Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial, Majalah Kedokteran

Indonnesia, 58(11), 446

Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar), 2013,

Badan Penelitian dan

(13)

Kementerian RI tahun 2013 diakses 1 November 2016

Rozaliyani, A., Susanto, A.D.,

Swidarmoko, B., Yunus, F., 2011, Mekanisme Resistensi

Kortikosteroid Pada Asma, J Respir Indo Vol.31, No.4, Oktober 2011:210 223

Wells, B.G., DiPiro, J.T., Schwinghammer, T.L., DiPiro, C.V., 2012, Pharmacotherapy

Handbook Ninth Edition, 821-834, Mc Graw Hill Education.

Gambar

Gambar 1. Persentase jenis kelamin pasien asma serangan akut di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016
Gambar 3. Persentase klasifikasi asma pada pasien asma serangan akut di RS Paru Respira pada tahun 2016
Gambar 4. Persentase penyakit penyerta pada pasien asma serangan akut di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016
Tabel III. Kuantitas penggunaan antiasma dalam DDD/1000KPRJ di RS Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2016

Referensi

Dokumen terkait

Di Jagakarsa pada akuifer 2 menunjukkan tipe air NaMix, artinya bahwa anion utama khususnya klorida dan bikarbonat tidak ada yang dominan, sehingga senyawa yang

Pendamping desa, dalam rangka memfasilitasi tumbuhnya ketaatan dan kepastian hukum dalam tata kehidupan di desa, akan lebih mudah mewujudkannya jikalau dapat mengembangkan

Fokus penelitian ini adalah melakukan identifikasi atribut pelayanan terminal Hamid Rusdi berbasis suara pengguna angkutan umum yang meliputi tingkat kepentingan

Dari hasil simulasi terlihat bahwa: Tegangan lebih yang timbul pada isolator akibat sambaran langsung petir 46.5 kA 1/50 µs pada tiang dengan tahan kaki menara 21 Ω

Selain itu, dari gambar 4 dapat dilihat bahwa air gambut sampel C juga mengalami penurunan penjerapan warna yang paling cepat, dimana dalam waktu kurang dari

Dalam konteks penilaian hasil belajar, depdiknas ( 2003 ) mengemukakan prinsip-prinsip umum penilaian adalah mengukur hasil-hasil belajar yang telah ditentukan dengan jelas dan

 Tindakan siklus ke-2 yang dilakukan dengan pendampingan pelaksanaan pembelajaran kolaboratif telah meningkatkan kompetensi profesional pembelajaran kolaboratif dalam

Latarbelakang: Keluhan yang disampaikan oleh pasien batu ureter tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit yang telah terjadi. Keluhan