DAFTAR ISI
I. Definisi dan Ruang Lingkup ...………...………1
II. Hak dan Kedudukan Anak Hasil Kohabitasi (“Kumpul kebo”) menurut Hukum Kewarisan Islam berdasarkan Kewarisan Patrilineal Syafi’I ...5
III. Hak dan Kedudukan Anak Hasil Kohabitasi (“Kumpul kebo”) menurut Hukum Kewarisan Islam berdasarkan Kewarisan Bilateral Hazairin ...7
IV. Hak dan Kedudukan Anak Hasil Kohabitasi (“Kumpul kebo”) menurut Hukum Kewarisan Islam berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ……..8
(DRAFT)
Hak dan Kedudukan Anak Hasil Kohabitasi (“Kumpul Kebo”) menurut Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Oleh: Irma Rahmanisa1 I. Definisi dan Ruang Lingkup
Istilah “kumpul kebo” di Indonesia dewasa ini sering digunakan untuk merepresentasikan suatu keadaan dimana seorang laki-laki dan seorang wanita tinggal bersama dalam satu rumah atau satu tempat tinggal yang sama dan di antara mereka berdua telah timbul hubungan (seksual) layaknya suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah.2 Istilah “kumpul kebo” bukanlah suatu istilah yang
baku.3 Terminologi yang baku adalah “kohabitasi” yang bermakna perihal tinggal
serumah tanpa ikatan perkawinan.4
Ibnu Rusyd mengemukakan, “Zina ialah persetubuhan yang terjadi di luar nikah yang sah, bukan syubhat nikah dan bukan milik (sebagai hamba sahaya).”5
Zina juga termasuk ke dalam di luar perkawinan atau hubungan luar kawin. Pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.6
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan kohabitasi ini masuk kategori sebagai hubungan zina dan hubungan di luar perkawinan/luar kawin.
1Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Indonesia.
2 “Kumpul kebo,” http://www.wikiwand.com/id/Kumpul_kebo, diakses 12 Desember 2017.
3 “Apakah Arti Kumpul Kebo? Ungkapan Indonesia Yang Benarkah Itu?”
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/184, diakses 12 Desember 2017
4 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3, Cet. 2, (Jakarta: Pusat Bahasa Dep. Pendidikan Nasional - Balai Pustaka, 2002), hlm. 579.
5 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juzu’ II (Kairo: Mathba’ah al-Baby Al-Halaby, 1950) hlm. 433, dalam Muhammad Yusuf Ishaq, Pernikahan Wanita Hamil karena Zina menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, (Banda Aceh: IAIN Jami’ah Ar-Raniry, 1983), hlm. 42.
Zina merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama Islam karena perzinaan dapat mengaburkan keturunan, merusak keturunan, menghancurkan rumah tangga, meretakkan hubungan, meluasnya penyakit kelamin, kejahatan nafsu, dan merosotnya akhlak.7 Lebih lanjut perzinaan juga dapat menimbulkan
penyia-nyiaan keturunan dan pemilikan harta kepada selain orang yang berhak atasnya, yakni pewarisan harta si pelaku kepada anak-anak jadah.8 Dalam al
Qur’an surah al Isra 17 ayat 32 Allah SWT berfirman:9
للْيِبَس َٓءَسَو ۗ لةَشِحاَف َناَك ٗهّنِا ىٰٓنّزلا اوُبَرْقَت َلَو
wa laa taqrobuz-zinaaa innahuu kaana faahisyah, wa saaa`a sabiilaa.
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
Anak hasil zina atau anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar’i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan wanita.10 Senada dengan
itu, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya.11 Menurut Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012, anak hasil
zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).12
Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan dari ibunya, karena jelas terlihat dan tidak diragukan lagi,13 selain itu ketika nasab dari pihak bapak
terputus, secara otomatis nasab berpindah ke ibu.14 Menurut Fatwa MUI No. 11
7 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram [Halal wal Haram fil Islam], Cet. 10, diterjemahkan oleh Tim Penerbit Jabal, (Bandung: Penerbit Jabal, 2009), hlm. 157-158.
8 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 9 [Fiqih Sunnah], Ed. Koran, Cet. 2, diterjemahkan oleh Moh. Nabhan Husein, (Bandung: Alma’arif, 1986), hlm. 87.
9 Al Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat Al Isra 17: 32.
10 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris
[Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami], Cet. Kedua, diterjemahkan oleh Addys Aldisar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2009), hlm. 401.
11 Abdul Manan, Op. cit., hlm. 80.
12 Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012, Ketentuan Umum angka 1.
13 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Op. cit., hlm. 401.
Tahun 2012, anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, dan hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.15 Para ulama telah sepakat bahwa seseorang tidak dapat dinasabkan
kepada ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam bulan setelah akad perkawinan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan perkawinan itu adalah enam bulan. Ini berarti jika ada anak yang lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.16
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah dan/atau merupakan hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut (Pasal 99).17
Maka anak yang lahir sebagai bukan akibat dari perkawinan yang sah adalah bukan anak sah, atau dengan kata lain adalah anak luar kawin. Selanjutnya menurut KHI, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 100).18 Ketentuan KHI ini sejalan
dengan ketentuan UU Perkawinan Pasal 42-43 mengenai kedudukan anak, yang dari isinya dapat disimpulkan; anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42); anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1))19
Maka dapat disimpulkan, hak dan kedudukan anak hasil kohabitasi/kumpul kebo menurut hukum kewarisan Islam adalah sama dengan anak hasil zina. Hal ini berakibat kepada kedudukan anak hasil zina=anak hasil kohabitasi. Hak dan kedudukan anak hasil kohabitasi inilah yang
15 Majelis Ulama Indonesia, Op. cit., Ketentuan Hukum angka 1 dan 2.
16 Muhammad Yusuf Ishaq, Op. cit., hlm. 88.
17 Indonesia, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam), Ps. 99 (versi asli).
18 Ibid., Ps. 100.
akan dibahas lebih lanjut di dalam bagian selanjutnya dari makalah ini, berdasarkan hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Sebelumnya akan disinggung sedikit mengenai kedudukan anak hasil zina, yaitu sesuai dengan pendapat jumhur ulama yang berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib, yaitu Nabi SAW bersabda, “Lelaki manapun yang berbuat zina dengan seorang wanita merdeka atau budak, maka anak yang lahir adalah anak zina, tidak bisa mewarisi atau diwarisi.” (HR. Turmudzi).20
Hal ini dijelaskan dengan cukup rinci oleh T.M. Hasbi Ash-shiddiqy: Dalam
‘urf modern dinamakan wa’ad ghairu syar’i (anak yang tidak diakui agama). Sebagaimana ayahnya dinamakan ayah ghairu syar’i. Anak zina, baik lelaki ataupun perempuan, tidak diakui hubungan darah dengan ayahnya, maka dia tidak mewarisi ayahnya dan tidak pula seseorang kerabat ayah, sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya. Lantaran tak ada sebab saling mewarisi antara keduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena anak zina itu diakui hubungan darahnya dengan ibunya, maka dia mewarisi ibunya, sebagaimana dia mewarisi kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya. Maka, apabila meninggal seorang anak yang tidak diakui agama, dengan meninggalkan ayah yang tidak diakui agama dan ibunya yang diakui agama, maka semua harta peninggalannya untuk ibunya dengan jalan fardlu (bagian tetap) dan dengan jalan radd. Jika dia meninggal dengan meninggalkan seorang ibu, saudara laki-laki seibu dan saudara lelaki dari ayahnya yang tidak diakui agama, maka semua harta peninggalan adalah untuk ibunya dan saudara seibu dengan jalan fardlu dan radd. Apabila ibunya meninggal, atau meninggal salah seorang kerabat ibu, maka anak yang ghairu syar’i itu menerima warisan dari ibunya dan kerabat-kerabat ibunya. Dalam hal ini dipegang kaedah-kaedah umum terhadap warisan. Dan apabila ayah yang bukan syar’i meninggal atau salah seorang kerabatnya, maka anak yang bukan syar’i tidak menerima warisan darinya.21
Dalam ketentuan hukum Islam, anak hasil zina dapat mendapatkan harta dari ayah biologisnya melalui jalan wasiat dan hibah, yang akan dijelaskan pula dalam tiap sub-bab pembahasan di bawah. Mengenai wasiat untuk anak hasil zina,
20 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Op. cit., hlm. 402.
ketentuan yang terbaru adalah Fatwa MUI No. 11/2012 yang mengatur mengenai wasiat wajibah untuk anak hasil zina di dalam Ketentuan Umum nomor 4, yaitu: wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya. Namun dalam prakteknya di Indonesia, sepengetahuan penulis belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wasiat wajibah untuk anak hasil zina ini.
Di Indonesia berlaku hukum kewarisan Islam berdasarkan Hukum Kewarisan Islam Bilateral menurut Prof. Hazairin (selanjutnya disebut Kewarisan Bilateral Hazairin), Hukum Kewarisan Islam Patrilineal menurut Imam Syafi’i (selanjutnya disebut Kewarisan Patrilineal Syafi’i), dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Para ahli waris dan/atau pewaris (sebelum meninggal) Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dapat sepakat memilih untuk menundukkan diri pada salah satu dari hukum-hukum kewarisan Islam yang berlaku di atas. Dalam hal ini maka penulis akan membahas mengenai kedudukan anak hasil kohabitasi yang statusnya sama dengan anak hasil zina menurut hukum kewarisan Islam di Indonesia berdasarkan tiga pembagian tersebut di atas.
II. Hak dan Kedudukan Anak Hasil Kohabitasi (“Kumpul kebo”) menurut Hukum Kewarisan Islam berdasarkan Kewarisan Patrilineal Syafi’i.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa laki-laki yang berzina tidak wajib memberi nafkah kepada anak hasil zinanya dan dalam hal kewarisan tidak ada hubungan kewarisan antara keduanya.22
Syafi’i bersama Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa anak hasil zina dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali r.a.23
Ibu dapat mewarisi bagian tetap (fardh), saudara ibu juga mewarisi bagian tetap (fardh), dan sisanya dikembalikan kepada mereka – menurut mereka yang berpendapat adanya pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu
22 Neng Djubaedah, et. al., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hecca Mitra Utama – Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 88.
tidak bisa mewarisi dari orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dngan cara ‘ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.24
Jumhur ulama yang mengikuti pendapat ini juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari sepertiga (1/3), demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari seperenam (1/6).25
Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina wafat, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektar dan meninggalkan ahli waris: ibu, bapak, paman dari pihak ibu, dan bapaknya ibu. Dalam kasus ini, warisan yang diberikan untuk ibu adalah bagian tetap (fardh) dan pengembalian, karena paman dari pihak ibu dan bapaknya ibu termasuk dalam kelompok dzawi al-arham, dan derajat mereka, dalam waris-mewarisi berada setelah dzawi al-arham. Bapak si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya terputus.26
Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina wafat meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu; istri mendapatkan bagian seperdelapan (1/8), anak perempuan separuh (1/2), sebagai bagian tetap (fardh)
dan pengembalian, dan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi, ketika ada bersama furu’ yang mewarisi27 (dalam hal ini saudara
seibu terhijab anak perempuan).
Pemberian wasiat kepada ahli waris hukumnya haram, baik jumlahnya sedikit maupun banyak, karena Allah swt. telah membagikan faraidh; karena wasiat itu akan memberikan tambahan kepada sebagian ahli waris yang telah diberikan harta waris kepadanya. Pengecualiannya adalah jika seluruh ahli waris membolehkannya, karena pada dasarnya hak untuk itu ada di tangan mereka.28
Sebaliknya, wasiat untuk selain ahli waris hukumnya boleh dan sah, dalam hal ini bagi anak hasil zina/kumpul kebo, dengan jumlah maksimal sepertiga dari harta waris atau kurang dari sepertiga. Namun bila para ahli waris membolehkan wasiat
24 Ibid.
25 Ibid.
26 Ibid., hlm. 407.
27 Ibid.
melebihi ketentuan1/3 bagian, hal itu sah saja karena mereka mempunyai hak untuk memutuskannya, tetapi bila salah satu saja tidak menghendaki, maka wasiat yang melebihi 1/3 itu gugur.29 Wasiat dikeluarkan setelah utang dilunasi,30 sesuai
hadits riwayat Ali r.a., Rasulullah bersabda, “Adapun yang pertama kali dilunasi adalah utang, sebelum menunaikan wasiat.”31
Seorang anak hasil zina/kumpul kebo juga dapat diberikan hibah oleh ayah biologisnya.
III. Hak dan Kedudukan Anak Hasil Kohabitasi (“Kumpul kebo”) menurut Hukum Kewarisan Islam berdasarkan Kewarisan Bilateral Hazairin
Dalam buku Hukum Kewarisan Islam Bilateral menurut Al-Quran dan Hadith karya Prof. Dr. Hazairin, perihal anak zina hanya disebutkan berdasarkan riwayat dari Wathilah ibn Al-Aska mengatakan bahwa Rasulullah berkata: “Perempuan menghimpun tiga macam hak mewaris, yakni mewarisi budak lepasannya, mewarisi “anak pungutnya” (anak zinanya) dan mewarisi anak li’annya.” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, - dari Misykat’lmasabih); serta riwayat dari Umar ibn Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, menceritakan bahwa Rasulullah berkata: “Laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan lacur atau dengan hamba-perempuan (budak/hamba sahaya, Pen.) sampai perempuan itu beranak maka anak zina itu tidak mewarisinya dan tidak diwarisinya.” (HR At-Tirmidzi, dari Misykat’lmasabih).32
Maka dapat disimpulkan bahwa Prof. Dr. Hazairin sepakat dengan jumhur ulama dalam pendapat mengenai kedudukan dan hak waris anak hasil zina; yaitu anak hasil zina tidak mewarisi dan tidak diwarisi dari ayahnya dan garis keturunan ayahnya ke atas maupun ke bawah karena tidak memiliki nasab dari ayahnya, dan hanya mewarisi serta diwarisi dari ibunya dan garis keturunan ibunya.
Maka pembagian warisnya sesuai pula dengan pendapat T.M. Hasbi Ash-Shaddiqy; apabila meninggal seorang anak yang tidak diakui agama (hasil zina),
29 Ibid., hlm. 74.
30 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ed. 1, Cet. 8, (Jakarta: Sinar Grafika – Bumi Aksara, 2004), hlm. 93-94.
31 Ibid., hlm. 76.
dengan meninggalkan ayah yang tidak diakui agama dan ibunya yang diakui agama, maka semua harta peninggalannya untuk ibunya dengan jalan fardlu
(bagian tetap) dan dengan jalan radd. Jika dia meninggal dengan meninggalkan seorang ibu, saudara laki-laki seibu dan saudara lelaki dari ayahnya yang tidak diakui agama, maka semua harta peninggalan adalah untuk ibunya dan saudara seibu dengan jalan fardlu dan radd. Apabila ibunya meninggal, atau meninggal salah seorang kerabat ibu, maka anak yang ghairu syar’i itu menerima warisan dari ibunya dan kerabat-kerabat ibunya. Dan apabila ayah yang bukan syar’i meninggal atau salah seorang kerabatnya, maka anak yang bukan syar’i tidak menerima warisan darinya.33
Dalam hal pembagian waris dari anak hasil zina kepada ibu dan kerabat ibu, serta dari ibu dan kerabat ibu kepada anak hasil zina, menggunakan kaedah-kaedah umum terhadap warisan menurut ajaran Kewarisan Bilateral Hazairin.
Anak hasil zina bisa mendapatkan harta peninggalan dari ayah biologisnya (tidak diakui agama) meskipun tidak mendapat hak waris, melalui jalan wasiat34
dan hibah. Tidak ada hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang pantas diwasiatkan sampai dua malam, melainkan hendaklah wasiatnya tertulis di sisi kepalanya.35
Dalam hal jumlah harta yang boleh diwasiatkan, Prof. Hazairin mengikuti dalil dari hadits-hadits yang menetapkan wasiat tidak boleh melampaui 1/3 (sepertiga)36 dari harta peninggalan setelah dikurangi dengan semua utang.3738 IV. Hak dan Kedudukan Anak Hasil Kohabitasi (“Kumpul kebo”)
menurut Hukum Kewarisan Islam berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Seperti telah dijelaskan di atas, KHI mengatur mengenai kedudukan anak luar kawin yaitu dengan mengatur mengenai pengertian anak sah, yaitu: (1) anak
33 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. cit., hlm. 289.
34 Hazairin, Op. cit., hlm. 93.
35 Mohd. Idris Ramulyo, Studi Kasus Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dan Praktek di Pengadilan Agama Pengadilan Negeri, Ed. rev., Cet. 4, (Jakarta: Ind-Hill-Co., 2000), hlm. 315.
36 Hadits riwayat dari Sa’d bin Abi Waqqash dalam Hazairin, Op. cit., hlm. 93.
37 Hadits riwayat dari ‘Ali r.a. berkata bahwa Rasulullah telah menetapkan bahwa wasiat barulah boleh dikeluarkan setelah semua hutang telah dibayarkan. (HR Attirmidzi, Ibn Majah, dari Misykat ’lmasabih) dalam Hazairin, Ibid.
yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah; (2) merupakan hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut (Pasal 99).39 Sehingga anak yang lahir sebagai bukan akibat dari perkawinan yang sah adalah bukan anak sah, atau dengan kata lain adalah anak luar kawin. Kemudian anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 100).40 Di
samping itu, berdasarkan Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama. Maka anak hasil kohabitasi/kumpul kebo secara hukum kedudukannya menurut KHI adalah sama dengan anak luar kawin ini.
[Penulis tidak akan memperdebatkan maupun mengurai mengenai pengertian anak sah berdasarkan KHI, karena penulis merujuk kepada isi pasal 99 ayat (1) KHI yang asli yaitu, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah,” dan bukan berdasarkan isi pasal 99 ayat (1) KHI yang selama ini banyak tercetak maupun tersebar luas di masyarakat yang isinya, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.” 41]
Mengenai hak warisnya, KHI mengatur bahwa anak yang lahir di luar perkawinan (sebagai anak) hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (Pasal 186).42 Maka bila semua ahli waris
ada, dan pewaris adalah anak luar kawin, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ibu, janda atau duda. (Pasal 174 jo. Pasal 186).43 Bagian waris janda
atau duda menurut hemat penulis tetaplah sama karena tidak terkait nasab/keturunan.
39 Indonesia, Instruksi Presiden tentang Menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam, Inpres No. 1 Tahun 1991, (Kompilasi Hukum Islam), Ps. 99 (versi asli).
40 Ibid., Ps. 100.
41 Berdasarkan kuliah Ibu Dr. Neng Djubaedah, S.H., M.H.
42 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Ps. 186. Dalam hal ini penulis juga merujuk kepada pengertian anak yang tidak sah=anak luar kawin berdasarkan Ps. 99 ayat (1) KHI yang asli, dan pengertian anak hasil zina berdasarkan Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 dan untuk seterusnya merujuk kepada pengertian ini.
Besarnya bagian waris berdasarkan KHI adalah (setelah hubungan nasab dan waris dengan ayah kandung dihilangkan):44
(1) Bagian ibu adalah seperenam (1/6) bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua saudara atau lebih, ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian. (Pasal 178 ayat (1))
(2) Anak perempuan bila hanya seorang mendapat separuh (1/2) bagian, bila dua orang atau lebih secara bersama-sama mendapat (2/3) bagian, bila anak perempuan bersama dengan anak laki-laki, bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. (Pasal 176)
(3) Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, seperempat bagian bila meninggalkan anak. (Pasal 179)
(4) Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, seperdelapan bagian bila meninggalkan anak. (Pasal 180)
(5) Bila pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak, saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. (Pasal 181 jo. Pasal. 100)
(6) Bila pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak, satu saudara perempuan kandung (berasal dari ayah dan ibu yang sama, walaupun pewaris tidak senasab dan waris mewarisi dengan ayah kandung), maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara kandung dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. (Pasal 182 jo. Pasal 100)45
(7) Bila saudara perempuan kandung bersama-sama dengan saudara
laki-laki kandung (berasal dari ayah dan ibu yang sama, walaupun pewaris tidak senasab dan waris mewarisi dengan ayah kandung), maka bagian saudara laki-laki adalah dua bagian berbanding satu dengan saudara perempuan. (Pasal 182 jo. Pasal 100)46
44 Ibid., Ps. 176-182 jo. Ps. 186 jo. Ps. 100.
45 Saudara seayah tidak termasuk karena nasabnya terputus, sehingga dalam hal waris-mewaris, (dianggap) tidak ada hubungan dengan saudara seayah.
Mengenai bagian waris saudara kandung laki-laki dan perempuan (nomor 6 dan 7) sesungguhnya penulis belum mendapatkan kepastian bagaimanakah pembagiannya, apakah disamakan dengan saudara seibu atau tetap sesuai redaksinya yaitu sekandung dalam artian seayah (biologis) dan seibu. Mengingat tidak adanya nasab (hubungan keturunan) dengan ayah (berdasarkan Pasal 100 KHI), apakah hal ini akan menurunkan ‘derajat’ saudara kandung pula dalam hal bagian waris sehingga mengurangi bagian yang seharusnya mereka dapatkan seandainya si pewaris adalah anak tidak sah/hasil zina/luar kawin?
Jika si ayah biologis dari anak luar kawin tersebut ingin memberikan harta peninggalan kepadanya, hal tersebut dapat dilakukan dengan jalan wasiat.47
Karena anak tidak sah/anak luar kawin tidak termasuk ahli waris, maka dibolehkan mendapat harta dari wasiat.
Syarat-syarat untuk dapat mewasiatkan sebagian hartanya adalah pewasiat harus berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun, harta benda tersebut harus merupakan haknya, dan kepemilikan terhadap harta yang diwasiatkan tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia (Pasal 194).48 Syarat lain yang penting adalah wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujui (lebih dari sepertiga) (Pasal 195 ayat (2)).49 Bila wasiat melebihi
sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga dari harta warisan (Pasal 201).50 Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, biaya pengurusan jenasah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (Pasal 171 huruf e).51
Di samping melalui jalan wasiat, sang ayah biologis semasa hidupnya diperbolehkan menghibahkan sebagian hartanya kepada si anak hasil zinanya, maksimal sepertiga dari harta bendanya di hadapan dua orang saksi.52
47 Ibid., Ps. 194 ayat (1).
48 Ibid., Ps. 194.
49 Ibid., Ps. 195.
50 Ibid., Ps. 201.
Lebih lanjut, di dalam KHI diatur mengenai pemberian hibah dari orang tua terhadap anaknya. Disebutkan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan (Pasal 211) (garis bawah oleh Pen.), dan hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya (Pasal 212). Sehingga akibat dari dua rumusan pasal ini adalah, ketika harta warisan dibagi setelah pewaris meninggal dunia, hibah tersebut dapat dihitung sebagai warisan, sehingga jika jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah waris yang seharusnya ia miliki menurut ketentuan waris, misalnya berkelebihan, bagian yang termasuk hibah tersebut dapat ditarik kembali, sampai tercapai jumlah total yang seharusnya ahli waris tersebut terima sesuai dengan bagiannya. Sebaliknya jika hibah tersebut jumlahnya masih kurang dari jumlah bagian harta warisan yang seharusnya ia terima, maka harus ditambah dari harta waris hingga mencapai jumlah bagian harta waris yang seharusnya ia terima.
Pengertian “dapat” dalam pasal 211 KHI tersebut bukan berarti imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan. Hal ini karena pemberian hibah orang tua kepada anaknya sebaiknya berpegang kepada prinsip pembagian yang sama antara semua anak tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Interpretasi “dapat” dalam Pasal 211 bukan berarti imperatif ini kemungkinan besar diambil berdasarkan pendapat ulama-ulama Hanafi, Syafi’i, Maliki dan jumhur ulama, bahwa mempersamakan di antara anak-anak itu sunnah, dan pelebihan di antara mereka itu makruh akan tetapi dapat dijalankan.53
Pendapat lain yang mewajibkan (imperatif) persamaan di antara anak-anak beralasan karena melebihkan sebagian anak-anak di atas sebagian yang lain adalah perbuatan yang bathil dan curang. Maka orang yang melakukan itu hendaklah membatalkannya, karena Al-Bukhari juga telah menjelaskan hal ini. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: “Persamakanlah di antara anak-anakmu di dalam pemberian. Seandainya aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku lebihkan anak-anak perempuan.” (HR Ath-Thabrani,
Al-52 Ibid., Ps. 210. Lihat kata “…kepada orang lain…,” ‘orang lain’ di sini adalah siapa saja selain ahli waris.
Baihaqi, Sa’id bin Manshur, dihasankan Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Al-Fath), dan dikuatkan oleh riwayat dari Asy-Sya’bi dari An-Nu’man bin Basyir. 54
Lantas apakah ketentuan pasal 211 dan 212 KHI tersebut juga berlaku bagi anak hasil zina, mengingat anak hasil zina secara biologis adalah ‘anak’?
Di dalam Penjelasan KHI, tidak penulis temukan mengenai siapa saja yang dimaksud sebagai ‘anak’ di dalam Pasal 211 dan Pasal 212 KHI tersebut. Maka penulis berkesimpulan bahwa ‘anak’ yang dimaksud dalam Pasal 211 dan Pasal 212 adalah ‘anak yang sah’ sesuai dengan definisi yang dicantumkan dalam Pasal 99 KHI, jika kasusnya adalah mengenai waris-mewaris antara orang tua (baik laki-laki maupun perempuan) dengan anak sahnya; dan ‘anak luar kawin’ sesuai definisi dalam Pasal 100 KHI juncto Pasal 186 KHI, jika kasusnya mengenai waris-mewaris antara seorang perempuan sebagai pewaris kepada anak luar kawinnya. Pendekatan kesimpulan ini adalah berdasarkan kata warisan yang terdapat dalam Pasal 211 KHI; mengingat bahwa hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, dimana warisan adalah harta warisan
(ketika anak sah mewaris dari kedua orang tuanya dan anak luar kawin hanya mewaris dari ibu dan keluarga ibunya). Sehingga jelaslah bahwa ketika ‘hibah dari orang tua kepada anaknya’ diperhitungkan sebagai ‘warisan’ yang dimaksud Pasal 211, hanyalah mengacu pada hak kewarisan anak yang sah menurut KHI, yaitu dari Pewaris kepada anak-anak sahnya, dan Pewaris yang seorang perempuan (ibu) terhadap anak luar kawinnya, karena anak luar kawin tidaklah memiliki hubungan kewarisan maupun nasab dengan ayah maupun kerabat ayahnya (hanya dianggap sebagai anak ibunya).
Hal ini meninggalkan satu lagi pertanyaan. Jika kita lihat kembali, telah dijelaskan, anak luar kawin tidak memiliki hubungan waris-mewaris dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya, tetapi dapat mendapat hibah semasa ayah biologisnya itu hidup, sesuai dengan Pasal 210 KHI. Yang menjadi persoalan adalah, apakah hibah seseorang, yang dalam hal ini pewaris adalah seorang laki-laki, terhadap anak luar kawin/anak zinanya dapat ditarik kembali berdasarkan isi Pasal 212 KHI?
Pertama-tama penulis akan mengurai mengenai penarikan kembali hibah yang telah diberikan. Jumhur ulama berpendapat bahwa ruju’ (mengambil kembali) di dalam hibah itu haram, sekalipun hibah itu terjadi di antara saudara atau suami-istri, kecuali bila hibah itu adalah hibah dari orang tua kepada anaknya, maka ruju’nya itu dibolehkan berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu “Umar bahwa Nabi saw. bersabda: “Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia ruju’ di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntahannya kembali.” (HR Abu Dawud, An-Nasa`i, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi). Hadits ini menunjukkan haramnya menarik kembali hibah telah yang diberikan, kecuali hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya.55 Isi Pasal 212 KHI telah sesuai dengan dalil hadits tersebut.
Kemudian penulis akan membahas mengenai anak hasil zina. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, anak hasil zina/anak luar kawin berdasarkan Pasal 100 KHI tidaklah memiliki hubungan nasab/keturunan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya, sebagai implikasi dari kalimat “…hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya…” Hal ini juga sesuai dengan pendapat jumhur ulama dan ketentuan dalam hukum Islam bahwa anak luar kawin atau anak hasil zina tidaklah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya dan kerabatnya; tidak pernah ditemukan ketentuan sebaliknya dan tidak ada pengecualian dalam hukum Islam.
Akibatnya, seorang laki-laki tidak dapat mengakui anak tersebut sebagai keturunannya secara formal dan secara hukum (dalam hal ini sebagai ‘anak sebagai penerus garis keturunan’ menurut ketentuan hukum Islam) meskipun secara hakikat biologis ia adalah anak kandungnya. Maka dapat disimpulkan bahwa hibah yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada anak luar kawinnya tidak dapat dianggap sebagai pemberian orang tua kepada anaknya, karena secara nasab/keturunan, anak tersebut tidak boleh diakui sebagai anak dalam konteks
garis keturunan dari ayahnya tersebut. Maka kesimpulannya adalah, hibah seorang laki-laki terhadap anak luar kawinnya/anak hasil zinanya tersebut tidak dapat ditarik kembali, karena secara hukum, hubungan antara keduanya bukanlah hubungan antara orang tua dan anak. Hal ini dipertegas lagi dengan penempatan Pasal 212 tersebut di bagian Buku II Hukum Kewarisan dalam sistematika KHI, maka pengaturan mengenai hibah dalam pasal tersebut ada kaitannya dengan hukum kewarisan Islam menurut KHI.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Fiqh Mawaris. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Djubaedah, Neng, et. al. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Hecca Mitra Utama – Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an & Hadith. Cet. 6. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982.
Ishaq, Muhammad Yusuf. Pernikahan Wanita Hamil karena Zina menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Banda Aceh: IAIN Jami’ah Ar-Raniry, 1983.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir. Hukum Waris [ Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami]. Cet. 2. Diterjemahkan oleh Addys Aldisar dan Fathurrahman. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2009.
Qaradhawi, Yusuf. Halal dan Haram [Halal wal Haram fil Islam]. Cet. 10. Diterjemahkan oleh Tim Penerbit Jabal. Bandung: Penerbit Jabal, 2009.
Ramulyo, Mohd. Idris. Studi Kasus Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dan Praktek di Pengadilan Agama Pengadilan Negeri. Ed. rev. Cet. 4. Jakarta: Ind-Hill-Co., 2000.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah Jilid 9 [Fiqih Sunnah]. Ed. koran. Cet. 2. Diterjemahkan oleh Moh. Nabhan Husein. Bandung: Alma’arif, 1986.
___________. Fikih Sunnah Jilid 14 Mu’amalah [Fiqih Sunnah]. Ed. koran. Cet. 2. Diterjemahkan oleh Mudzakir A. S. Bandung: Alma’arif, 1988.
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Ed. 1. Cet. 8. Jakarta: Sinar Grafika – Bumi Aksara, 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. 3. Cet. 2. (Jakarta: Pusat Bahasa Dep. Pendidikan Nasional - Balai Pustaka, 2002
Tim Redaksi Fokus Media, ed. Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Kompilasi Hukum Islam. Cet. 2. Bandung: Fokusmedia, 2007.
B. Kitab Suci
Al Qur’an. Diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984.
C. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974. TLN No. 3019.
Indonesia. Instruksi Presiden tentang Menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam.
Inpres No.1 Tahun 1991.
Indonesia, Menteri Agama. Keputusan Menteri Agama tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991. Nomor Kepmen 154 Tahun 1991.
D. Peraturan Lain
E. Internet
“Apakah Arti Kumpul Kebo? Ungkapan Indonesia Yang Benarkah Itu?”
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/184. Diakses 12 Desember 2017.