• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 1"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin. Islam merupakan agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia tanpa satupun yang terlewatkan. Cakupan Islam mulai dari ibadah, muamalah, kebudayaan, ilmu pendidikan, ekonomi, hingga sistem politik. Sistem politik dalam agama Islam, khususnya dalam ilmu fiqih disebut dengan fiqih siyasah atau ilmu peerintahan atau ilmu tata Negara. Hal ini menunjukkan bahwa, Islam dengan khususnya membahas dan mengkaji sistem politik atau pemerintahan.

Definisi konsep politik atau siyasah secara umum berbeda dengan definisinya dalam Islam. Politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu politicos yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga Negara. Politik didefinisikan sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Adapun sistem politik dalam Islam diartikan sebagai kegiatan ummat kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syari’at Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan.

Sistem politik memiliki kedudukan tersendiri dalam Islam. Sistem politik ini sangat penting dalam menata kehidupan Negara serta masa depan Negara tersebut. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam surah Al Isra ayat 80 yang artinya, “Dan katakanlah: “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”.

2. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah: a. Apakah pengertian sistem politik dalam Islam?

b. Bagaimanakah kedudukan sistem politik dalam Islam? c. Apa saja prinsip dasar politik dalam Islam?

d. Apa yang dimaksud dengan khilafah?

(2)

3. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui dan memahami pengertian sistem politik dalam Islam dan seluk beluknya. 2. Mengetahui kedudukan dari sistem politik dalam Islam.

3. Mengetahui prinsip-prinsip dasar politik dalam Islam. 4. Mengetahui dan memahami tentang khilafah.

(3)

BAB II PEMBAHASAN 1. PENGERTIAN SISTEM POLITIK DALAM ISLAM

Politik secara bahasa, yaitu dalam bahasa Arab disebut As-Siyasah yang berarti mengelola, mengatur, memerintah, dan melarang sesuatu. Atau secara definisi berarti prinsip-prinsip dan seni mengelola persoalan publik (ensiklopedia ilmu politik). Menurut Yusuf Qardhawi dalam Kamus Al-Kamil, bahwa politik adalah semua yang berhubungan dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat madani.

Kata sistem berasal dari bahasa asing (Inggris), yaitu system, artinya perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas atau susunan yang teratur dengan pandangan, teori, dan asas. Sedangkan kata politik pada mulanya berasal dari Bahasa Yunani atau Latin, Politicos atau politicus, yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis, yang berarti kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai “Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan”. Sedangkan kata Islam, adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci Al Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Dengan demikian, sistem politik Islam adalah sebuah aturan tentang pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai Islam.

Islam memang memberikan landasan kehidupan umat manusia secara lengkap, termasuk di dalamnya kehidupan politik. Tetapi Islam tidak menentukan secara konkrit bentuk kekuasaan politik seperti apa yang diajarkan dalam Islam. Itulah sebabnya, kemudian terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam merumuskan sistem politik Islam.

(4)

kaum Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lainnya untuk memeluk agama Islam, tetapi beliau menginginkan semua penduduk Madinah menghormati perjanjian yang mereka sepakati.

Setelah Rasulullah memiliki kekuasaan secara politik di Madinah, beliau juga menjamin kesepakatan dengan penguasa Mekah agar tidak terjadi perselisihan diantara kedua kekuasaan tersebut, sekalipun dalam perkembangan selanjutnya penguasa Mekah mengingkari perjanjian yang ia tandatangani, sehingga memicu peperangan yang cukup hebat dan dahsyat, seperti perang Badar, perang Uhud, dan lain-lain.

Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu, yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama, ditemukan kata sus, yang berarti penuh kuman, kutu atau rusak, sementara dalam Al Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al Qur’an tidak menguraikan masalah sosial politik.

Banyak ulama ahli AL Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai rujukan, bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan Siyasah al-Syar’iyah (politik keagamaan). Uraian Al Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum. Kata ini pada mulanya berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama, terbentuk kata hikmah, yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasah, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali dan cara pengendalian (M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan umat, 1997: 417).

(5)

untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama Islam (sesuai dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad).

Sistem politik dalam Islam, sudah tentu memiliki asas-asas dalam penyelenggaraannya. Asas-asas itu diantaranya:

a) Hakimiyah Ilahiyyah

Hakimiyyah atau memberikan kuasa pada pengadilan dan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah mutlak Allah SWT. DalamAl-Qur’an telah disebutkan dalam Surah Al-Qassas ayat 70: “Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji dsi dunia dan di akirat, dan bagi-bagi-Nyalah segala penentuan (hukum) dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. Selain itu dalam surah Al An’am ayat 57 telah disebutkan bahwa, “Menetapka hukum itu hanyalah hak Allah”.

Hakimiyyah memiliki pengertian-pengertian, diantaranya:

a. Bahwasanya Allah pemelihara alam semesta yang pada hakikatnya adalah Tuhan yang menjadi pemelihara manusia, dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali tunduk dan patuh kepada sifat IlahiYang Maha Esa.

b. Bahwasanya hak untuk menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapapun kecuali Allah.

c. Bahwasanya Allah sajalah yang memiliki hak mengeluarkan hukum, sebab Dialah satu-satunya pencipta.

d. Bahwasanya Allah saja yang memiliki hak mengeluarkan peraturan-peraturan, sebab Dialah satu-satunya Pemilik.

(6)

Hakimiyyah ilahiyyah membawa arti bahwa teras utama kepada sistem politik dalam Islam adalah tauhid kepada Allah, dai segi rububiyah maupun uluhiyah.

b) Risalah

Jalan kehidupan para Rasul diiktiraf oleh Islam sebagai jalan-jalan hidayah. Jalan kehidupan mereka berlandaskan kepada segala wahyu yang diturunkan oleh Allah untuk diri mereka sendiri dan juga disampaikan kepada umat. Para Rasul sendiri yang menyampaikan hukum-hukum Allah serta syari’at-syari’at-Nya kepada manusia. Risalah berarti kerasulan beberapa orang lelaki di kalangan manusia sejak Nabi Adam a.s hingga Nabi Muhammad SAW., adalah suatu asas yang penting dalam sistem politik Islam. Melalui landasan risalah inilah maka para Rasul mewakili kekuasaan tertinggi Allah dalam bidang perundangan dalam kehidupan manusia. Para Rasul menyampaikan, mentafsir, dan menterjemahkan segala wahyu Allah dengan ucapan dan perbuatan mereka.

Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia menerima segala perintah dan larangan Rasul Allah. Firman Allah yang artinya: “Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagikamu, maka tinggalkanlah” (Q.S Al-Hasyr ayat 7). Dalam surah An Nisa ayat 64: “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizinAllah”.

c) Khilafah

(7)

benar-benar mengikuti hukum-hukum Allah dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Hal ini juga menuntut agar tugas tersebut dipegang oleh orang-orang yang memenuhi syarat.

2. KEDUDUKAN SISTEM POLITIK DALAM ISLAM

Sampai saat ini, umat Islam berbeda pendapat tentang kedudukan politik dalam syari’at Islam, paling tidak dalam hubungan Islam dan ketatanegaraan. Dalam hal ini, terdapat tiga pendapat tentang kedudukan politik dalam Islam, yaitu:

a. Pendapat pertama yang berpendirian, bahwa Islam bukanlah semata-mata agama seperti dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antar manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Para penganut pendapat ini pada umumnya berpendapat bahwa:

1) Islam adalah agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula sistem ketatanegaraan politik. Oleh karenanya, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu mengikuti sistem ketatanegaraan barat.

2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh empat khulafa’ur rasyidin.

Tokoh-tokoh utama dari pendapat ini antara lain, Syeikh Hassan Al Banna, Sayyid Quthb, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana Abul A’la Al Maududi.

(8)

c. Pendapat ketiga yang menolak pendapat, bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap, dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi golongan ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antar manusia dengan Penciptanya saja. Penganut pendapat ini berpendirian, bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh-tokoh dari pendapat ketiga ini adlah Dr. Muhammad Husein Haikal, tokoh yang paling menonjol yang menulis buku Hayatu Muhammad Fi Manzil Al Wahyi.

3. PRINSIP DASAR POLITIK DALAM ISLAM a. Musyawarah

Musyawarah merupakan prinsip pertama dasar politik dalam Islam. Musyawarah merupakan hal yang sangat baik dan penting dalam sistem ketatanegaraan. Dilihat dari segi manapun, musyawarah memiliki manfaat yang lebih banyak. Dengan musyawarah, dalam menentukan dan memutuskan kebijakan publik akan jauh lebih baik, karena dalam musyawarah setiap orang dapat berkumpul dan mengajukan pendapatnya, tanpa sekalipun menjatuhkan pendapat orang lain. Namun, musyawarah bias dianggap tidak efektif jika suatu Negara memiliki wilayah yang sangat luas. Jika suatu Negara sangat luas, lalu Negara tersebut tetap memposisikan musyawarah sebagai prinsip dasar politiknya, maka akan efektif bila musyawarah dilakukan oleh perwakilan-perwakilan dari daerah di Negara tersebut.

Musyawarah mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi atau bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga cara:

 Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.

 Keputusan yang ditetapkan oleh pandangan minoritas.  Keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas.

(9)

musyawarah yang ketiga adalah berkenaan dengan menentukan perkara-perkara baru yang timbul di kalangan ummah melalui proses ijtihad.

b. Keadilan

Prinsip kedua dalam sistem politik Islam adalah keadilan. Hal ini menyangkut dengan keadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan sistem ekonomi Islam. Keadilan dalam bidang sosio ekonomi tidak mungkin terlaksana tanpa ada wujud kuasa politik yang mendukung, melindungi, dan mengembangkannya.

Di dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang terkandung dalam sistem politik Islam meliputi segala jenis hubungan yang berlaku di dalam kehidupan manusia termasuk keadilan diantara rakyat dan pemerintah, diantara dua pihak yang bersengketa di hadapan pihak pengadilan, diantara pasangan suami istri, hingga diantara ibu bapak dengan anaknya.

Oleh sebab kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim adalah merupakan asas utama dalam sistem sosial Islam, maka menjadi peranan utama sistem politik Islam untuk memelihara asas tersebut. Pemeliharaan terhadap keadilan merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utama karena dengannya dapat dikukuhkan kehidupan manusia yang sejahtera diberbagai aspek.

Pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang sangat dibutuhkan bahkan dituntut adalah yang memiliki sikap adil. Adil dalam memimpin, bersikap, adil dalam mengelola dan menata Negara, hingga masyarakat yang dipimpin pun dapat merasakan keadilan tersebut. Hingga masyarakat dapat hidup aman dan sejahtera.

Ada empat makna keadilan, diantaranya:

 Adil dalam arti sama. Artinya tidak membeda-bedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaiman dalamAl Qur’an surah An Nisa ayat 58: “Apabila kamu memutuskan suatu perkara diantara manusia maka hendaklah engkau memutuskan dengan adil”.

(10)

 Adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-ak tersebut kepada pemiliknya.

 Keadilan yang dinisbatkan kepada Allah SWT. Adil disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semuanya yang ada.

Berdasarkan prinsip dasar keadilan ini, akan tercipta sistem pemerintahan Islam yang ideal, yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak di depan umum, keseimbangan dalam memanage kekayaan alam, distribusi pembangunan, keseimbangan antara pemerintah dan rakyat, dan lain-lain.

c. Kebebasan

Prinsip ketiga dalam sistem politik Islam adalah kebebasan. Kebebasan yang dipelihara oleh sistem politik Islam adalah kebebasan yang berteraskan kepada ma’ruf dan kebajikan. Kebebasan ini bermakna pemimpin dalam sistem politik Islam tidak akan mengekang masyarakat yang dipimpin, dengan kata lain tidak bersifat otoriter. Kebebasan ini tidak termasuk dalam kebebasan dalam hal negatif. Kebebasan tetap mengarah pada hal-hal baik, bermanfaat, dan positif.

d. Persamaan

Prinsip keempat dalam sistem politik Islam adalah persamaan atau musawah. Persamaan ini terdiri dari persamaan mendapat dan menuntut hak, persamaan dalam memikul tanggung jawab, dan persamaan berada dalam pengaturan undang-undang. Tidak ada perbedaan antara hak warga Negara satu dengan warga Negara lain. Tidak ada pengistimewaan untuk orang-orang tertentu. Jika asas ini dijalankan dengan baik, maka tidak ada masyarakat yang merasa dirugikan, atau pemimpin berpihak pada golongan tertentu.

e. Hak Menghisab Pihak Pemerintah

(11)

menegakkan kebenaran dan mengapuskan kemungkaran. Hal ini juga berarti rakyat dapat mengawasi pemerintah dalam memimpin Negara, baik tidaknya hal hal yang dilakukan di dalam pemerintahan serta keputusan-keputusan yang dibuat. Prinsip ini berdasarkan firman Allah SWT yang atinya: “…maka berikanlah keputusan diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawanafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereeka malupakan hari perhitungan. (Q.S Sad ayat 26)

4. KHILAFAH

1. Pengertian dan tujuan khilafah

Menurut bahasa, kata khilafah berasal dari kata khalafa yang berarti menggantikan. Dapat pula diartikan kekuasaan atau pemerintahan. Sedangkan menurut istilah, khilafah adalah negara dengan sistem pemerintahan dan peraturannya diatur berdasarkan syariat islam. Dengan kata lain, khilafah adalah sebutan untuk negara yang sistem pemerintahnnya berdasarkan hukum-hukum Islam dan syari’at Islam.

Dalam sejarah islam, khilafah sudah dimulai sejak zaman Rasulullah saw. Dan dilanjutan pada masa Khulafaur Rasyidin. Khilafah pada kedua masa itu merupakan model ideal khilafah yang menjadi rujukan dan contoh bagi penyelenggaraan khilafah pada masa-masa sesudahnya. Pada masa Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin, khilafah diselenggarakan berlandaskan hukum-hukum al-qur’an dan as-sunnah, yang ditaati dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh kaum muslimin.

Secara umum, khilafah mempunyai tiga fungsi, pertama, as sultah at tasyri’iyah yaitu fungsi legislatif yang memiliki wewenang membuat dan menetapkan hukum, kedua, as sultah tanfiziyah, yaitu fungsi eksekutif yang wewenangnya adlah penyelenggaraan negara dan melaksanakan undang-undang, dan ketiga, as sultah qada’iyah, yaitu fungsi yudikatif yang memiliki wewenang pengamanan atas pemberlakuan undang-undang dan penyelenggaraan negara.

(12)

kehidupan bernegara. Maka, bagi umat islam, khilafah merupakan hal sangat prinsip, keberadaannya sangat penting, terutama untuk terjaminnya keamanan dan kebebasan dalam menjalankan syariat agamanya. Syariat islam dapat dijalankan dengan baik, hanya pada suatu negara islam. Karena itu, terwujudnya negara islam merupakan faktor atau sarana utama bagi pelaksanaan syariat islam.

Begitu pentingnya kedudukan khilafah ini bagi umat islam, sehingga para ulama sepakat bahwa hukum mendirikan khilafah adalah fardu kifayah atas semua umat islam. Ada beberapa dasar yang digunakan, yaitu sebagai berikut.

a. Ijma’ sahabat. Seperti dijelaskan dalam sejarah islam, para sahabat mendahulukan permusyawaratan tentang khilafah daripada tentang kepengurusan jenazah Rasulullah saw. Tema besar dalam perbincangan ketika itu adalah siapa khalifah pengganti Rasulullah saw. Dalam permusyawaratan itu akhirnya diperoleh kata sepakat secara aklamasi, Abu Bakar Shiddiq ditetapkan sebagai khalifah, kepala negara islam yang pertama setelah meninggalnya Rasulullah saw.

b. Sejarah membuktikan bahwa suatu komunitas, baik umat, kabilah ataupun society membutuhkan adanya kepemimpinan, atau istilah yang setara dengannya seperti khiafah, imamah, presiden atau raja. Kepemimpinan lahir dari proses kehidupan bermasyarakat dalam memenuhi hajatnya, baik secara bersama-sama maupun demi kepentingan individu semata. Terkait dengan umat islam, beberapa bukti juga menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum-hukum islam mengalami hambatan dan kesulitan, tanpa adanya khilafah.

c. Beberapa ayat al-qur’an dan as-sunnah menunjukkan pentingnya khilafah dan perintah untuk menaatinya. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-qur’an surah An-Nur ayat 55 sebagai berikut.

(13)

berkuasa di bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah dia ridai. Dan dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) Menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan suatu apapun. Tetap barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs An-Nur/24 : 55).

Meski demikian, suatu khilafah islamiyah tidak akan tegak dan terwujud tanpa adanya itikad, usaha, dan perjuangan umat islam secara keseluruhan, termasuk kepedulian mereka kepada saudara-saudara sesama muslim.

Keberadaan khilafah secara khusus memiliki beberapa tujuan, di antaranya sebagai berikut.

a. Terwujudnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijiwai dan dibimbing oleh syariat islam, sehingga melahirkan seni, budaya, bahkan peradaban yang menjunjung tinggi ajaran islam.

b. Terwujudnya keamanan dan stabilitas politik, dengan dukungan instrumen hukum yang berwibawa karena hukum dan perundang-undangannya bersumber dari Asy Syari’, yairu Allah swt. Melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah.

c. Terwujudnya keadilan di segala bidang, yaitu bidang sosial, ekonomi, politik hukum, termasuk HAM, karena kepemimpinan dipahami sebagai amanah dari Allah swt yang harus dipikul sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk sang pemberi amanah.

d. Terwujudnya masyarakat yang taat pada allah swt, rasul-Nya, dan pemimpinnya, yang tercermin dalam kualitas ibadah dan muamalahnya serta pandai bersyukur, bukan sebagai masyarakat yang ingkar pada tuhannya, durhaka pada rasul dan pemimpinnya.

(14)

Khilafah atau pemerintahan islam ditegakkan melalui perjuangan dan permusyawaratan umat islam dan didasari dengan norma-norma ajaran islam, yaitu sebagai berikut.

a. Tauhid (mengesakan allah swt), sebagaimana diperintahkan dalam al-qur’an dan as-sunnah.

b. Keadilan, yaitu sikap proporsional dan tidak zalim terhadap seluruh umat manusia dalam segala urusan.

c. Kejujuran dan keikhlasan serta bertanggung jawab dalam mengemban dan menyampaikan amanat rakyat dengan tidak membeda-bedakan bangsa dan warna kulit (ras).

d. Kedaulatan ditangan rakyat, yang dapat dipahami secara mafhum mukhalafah dari ayat tentang perintah tat kepada ulil amri.

5. DEMOKRASI DALAM ISLAM

Istilah demokrasi berasal dari Yunani kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi, secara bahasa demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Dari sini, dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang meletakkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.

Banyak kalangan non-muslim yang menilai bahwa terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.

(15)

bersumber pada Allah SWT dalam artian syari’at dan wahyu dari Allah SWT. Ada juga yang menyatakan bahwa ada kesesuaian antara demokrasi dengan sistem pemerintahan Islam. Menurut Sadek J Sulayman, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Diantaranya, kebebasan berbicara setiap warga nagara, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan control minoritas, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum (semua harus tunduk kepada hukum), semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.

Dalam hal ini, Al Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Baratterhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, Al Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) adalah sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya Islam menganut paham Teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan seperti Teokrasi yang ditetapkan di Barat padaabad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada pendeta.

Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurutnya, sejalan dengan kemengangan sekulerisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi, kepatuhan kepada hukum, toleransi sesama warga, tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit, serta dilandasi penafsiran hukum Allah melalui ijtihad.

(16)

mutlak ada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syuro (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Allah serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi Allah berposisi sebaga Al Syari’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai Faqih (yang memahami sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan hukum-Nya).

Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara dalam Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam” (Q.S Al-A’rafayat 3).

Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. Menurut Yusuf Qardhawi, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bias dilihat dari beberapah hal, misalnya pertama, dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak boleh mimilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam sholat yang tidak disukai makmum di belakangnya. Ini dapat dianalogikan dengan pemilihan pemimpin. Tidak akan dipilih seorang pemimpin dalam Islam jika ia tidak berkompeten dalam memimpin umat.

(17)

Keempat, penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya, dalam sikap Umar yang bergabung dalam syuro. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Contoh lain adalah pendapat jumhur ulama dan masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini tidak bertentangan dengan syariat Islam yang ada.

Kelima, kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. Kebebasan per ada dalam Islam, namun tetap harus mematuhi kode etik pers sehingga tidak ada pihak yang akan dirugikan nantinya. Kebebasan berpendapat juga ada. Namun, kebebasan berpendapat harus digunakan untuk menyampaikan pendapat dengan baik, sopan, dan logis tanpa menghina atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu. Dalam Islam, terdapat beberapa prinsip demokrasi, diantaranya:

a. Syuro, merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam Al-Qur’an. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yangpaling dikenal sebagai pelaksana syuro adalah ahlul halli wal ‘aqdi pada zaman Khulafaur Rasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas untuk memilih kepala Negara atau khalifah.

b. Al ‘adalah atau keadilan, artinya dalam menegakkan hokum termasuk rekrutmen berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis.

c. Al musawah yakni kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak dapat memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter atau ekploitatif. Kesejajaran ini penting dalam pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.

(18)

e. Al masuliyyah atau tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri. Maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin haruslah dipenuhi.

f. Al hurriyyah atau kebebasan, yang artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberikan hak dan kebebasan. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan sesuai dengan akhlaqul karimah dan dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar, maka tidak ada alasan bagi pemimpin untuk mencegahnya.

BAB III PENUTUP 1. KESIMPULAN

(19)

a. Sistem politik dalam Islam didefinisikan sebagai suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar, dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama Islam.

b. Kedudukan sistem politik dalam Islam terbagi menjadi tiga pandangan, diantaranya:  Pendapat pertama yang berpendirian, bahwa Islam bukanlah semata-mata

agama seperti dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antar manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara.

 Pendapat kedua yang berpendirian, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada urusannya dengan kenegaraan.

 Pendapat ketiga yang menolak pendapat, bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap, dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi golongan ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antar manusia dengan Penciptanya saja. Penganut pendapat ini berpendirian, bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

c. Prinsip dasar politik dalam Islam diantaranya, musyawarah, keadilan, persamaan, kebebasan, dan hak menghisab pihak pemerintah.

(20)

e. Demokrasi dalam Islam, tidak sepenuhnya sejalan dan tidak sepenuhnya bertentangan. Ada aspek-aspek dalam demokrasi yang sejalan dengan sistem pemerintahan dalam Islam, seperti pemilihan pemimpin yang melibatkan orang banyak. Hal yang sangat kontras dari demokrasi dengan sistem pemerintahan dalam Islam yang membuat demokrasi tak sejalan dengan Islam adalah letak kekuasaan tertinggi dan sumber pengambilan hukum. Demokrasi terletak dan bersumber pada rakyat sedangkan sistem pemerintahan Islam, terletak dan bersumber pada Allah.

DAFTAR PUSTAKA

http://syahruddinalga.blogspot.co.id/2011/10/pengertian-sistem-politik-Islam.html

(21)

http://bagiilmublogspot.blogspot.co.id/2012/06/sistem-politik-dalam-Islam.html

http://syahruddinalga.blogspot.co.id/2011/10/kedudukan-sitem-politik-dalam-Islam.html

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan keragaman ciri-ciri yang dimiliki oleh hewan, secara umum kita dapat menge- lompokkan bahwa suatu organisme termasuk dalam dunia hewan apabila memiliki ciri sebagai

Peneliti memilih informan karena informan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti, Fajar sering bolos sekolah dan bermain game online di

Tabel 6.2 : jumlah murid sekolah, murid, dan guru SMA, MAN¸SMK perkecamatan dikota banda aceh. Tabel 7 : kondisi ketenaga kerjaan di kota banda aceh. Tabel 8 : jumlah penganut

Penelitian dilakukan pada dua tahap yaitu dilakukan pembuatan dua formula produk bubur bekatul instan berdasarkan hasil trial and error dan analisis total mikroba dan kadar air

Dari hasil observasi yang telah dilaksanakan melalui pengamatan, pembelajaran Bahasa Indonesia pada aspek membaca dengan penggunaan metode ceramah dan media papan

Untuk mengetahui apakah variabel independen (lama fishing trip, ukuran tonase kapal, ukuran mesin dan umur mesin) berpengaruh terhadap variabel independen (jumlah

Menurut pemimpin pada PT Anugerah Agro Mandiri Ngajuk, hubungan dengan karyawan merupakan hal yang penting karena dengan menjalin hubungan yang erat, maka

Dari sudut disiplin dan sistem administrasi negara efektivitas aktualisasi nilai-nilai Pancasila ditandai dengan adanya konsistensi perilaku individu dan institusi