• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS RANTAI NILAI VALUE CHAIN DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS RANTAI NILAI VALUE CHAIN DALAM"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

40

Oktavima Wisdaningrum

Dosen Fakultas Ekonomi Prodi Akuntansi Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi

ABSTRAKSI

Analisis value chain merupakan alat analisis yang berguna untuk memahami aktivitas-aktivitas yang membentuk nilai suatu produk atau jasa dan digunakan untuk menciptakan nilai bagi pelanggannya dalam mencapai suatu keunggulan yang kompetitif. Tujuan analisis value-chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value chain di mana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk menurunkan biaya. Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah dapat membuat perusahaan lebih kompetitif. Analisis value chain membantu perusahaan dalam mengidentifikasi posisi perusahaan dan menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam rantai nilai serta mengurangkan atau mengeliminasi aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah pada produk atau jasa.

Kata kunci: value chain, the company’s internal value chain, strategi kompetitif

ABSTRACT

Value chain analysis is a useful analytical tool for understanding the activities that make up the value of a product or service and is used to create value for its customers in achieving a competitive advantage. Objective value-chain analysis is to identify the stages of the value chain where the firm can increase value for the customer or for lower costs. Cost reduction or increase in value added to make the company more competitive. Value chain analysis helps the company identify and analyze the company's position that there are activities in the value chain as well as reduce or eliminate activities that do not create added value to the product or service.

Keywords: value chain, the company's internal value chain, competitive strategy

PENDAHULUAN

Persaingan bisnis yang semakin ketat dikarenakan dampak globalisasi diberlakukanya era perdagangan bebas telah menggeser paradigma bisnis dari Comparative Advantage menjadi Competitive Advantage, yang memaksa kegiatan bisnis/perusahaan memilih strategi yang tepat. Strategi yang dimaksud adalah dimana perusahaan berada dalam posisi strategis dan bisa beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Hal ini berlaku prinsip going concern yang secara umum merupakan tujuan didirikannya suatu entitas bisnis.

Dalam hal ini perusahaan harus bisa membuat pilihan yang terbaik tentang apa yang yang menjadi kebutuhan konsumen dan bagaimana memenuhi kebutuhan atau permintaan konsumen dengan harga yang serendah mungkin. Sehingga dalam hal ini

perusahaan memerlukan suatu strategi dalam menentukan keunggulan kompetitif dan menemukan cara untuk mencapai keunggulan tersebut (Ellitan, 2008).

(2)

guna membuat keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis adalah analisis value chain. John K. Shank dan Vijay Govindarajan (2000) mengungkapkan bahwa keputusan untuk menentukan strategi kompetitif yang dapat diaplikasikan, yaitu (1) strategi biaya rendah (a low-cost strategy) atau (2) strategi diferensiasi (a differentiation strategy). Demi keunggulan kompetitif, dengan perilaku para konsumen yang makin berkembang, seperti menghendaki produk-produk yang lebih beraneka ragam dengan mutu serta pelayanan serba prima dan harga yang terjangkau dalam era globalisasi ini harus

ditanggapi dengan meniadakan

ketidakekonomisan (diseconomies) yang terjadi yang cenderung menghambat kelancaran arus proses penciptaan nilai tambah dari para pemasok sampai ke para konsumen sepanjang value chain. Untuk itu, perlu diidentifikasi dan ditiadakan biaya yang diakibatkan dari aktivitas-aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah sepanjang pelaksanaan analisis value chain.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Analisis Rantai Nilai Istilah rantai nilai (value chain) menggambarkan cara untuk memandang suatu perusahaan sebagai rantai aktivitas yang mengubah input menjadi output yang bernilai bagi pelanggan. Nilai bagi pelanggan berasal dari tiga sumber dasar: aktivitas yang membedakan produk, aktivitas yang menurunkan biaya produk dan aktivitas yang dapat segera memenuhi kebutuhan pelanggan. Analisis rantai nilai (value chain analysis—VCA) berupaya memahami bagaimana suatu bisnis menciptakan nilai bagi pelanggan dengan memeriksa kontribusi dari aktivitas-aktivitas yang berbeda dalam bisnis terhadap nilai tersebut (Pears and Robinson, 2009).

Womack, Jones et al (1990) mendefinisikan Value Chain Analysis (VCA) sebagai berikut:

…..is a technique widely applied in the fields of operations management, process engineering and supply chain management,

for the analysis and subsequent improvement of resource utilization and product flow within manufacturing processes.”

Sedangkan menurut Shank dan Govindarajan (2000), mendefinisikan Value Chain Analyisis, merupakan alat untuk memahami rantai nilai yang membentuk suatu produk. Rantai nilai ini berasal dari aktifitas-aktifitas yang dilakukan, mulai dari bahan baku sampai ke tangan konsumen, termasuk juga pelayanan purna jual. Selanjutnya Porter (1985) menjelaskan, Analisis value-chain merupakan alat analisis stratejik yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan

kompetitif. Value chain dapat

mengidentifikasi dimana value pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara lebih baik

hubungan perusahaan dengan

pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan lain dalam industri (Blocher/Chen/Lin, 1999 diterjemahkan oleh A. Susty Ambarriani, 2000). Value Chain mengidentifikasikan dan menghubungkan berbagai aktivitas stratejik diperusahaan (Hansen, Mowen, 2000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis rantai nilai merupakan suatu alat yang digunakan untuk menciptakan nilai bagi pelanggannya untuk mencapai suatu keunggulan yang kompetitif.

Sifat Value Chain tergantung pada sifat industri dan berbeda-beda untuk perusahaan manufaktur, perusahaan jasa dan organisasi yang tidak berorientasi pada laba. Tujuan dari analisis value-chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value chain di mana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk menurunkan biaya. Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah dapat membuat perusahaan lebih kompetitif.

2. Melakukan Analisis Rantai Nilai Identifikasi Aktivitas

(3)

aktivitas atas proses tersebut ke dalam kategori aktivitas primer atau pendukung. Tantangan bagi manajer pada titik ini adalah untuk secara sangat rinci ”menguraikan” apa yang sebenarnya terjadi ke dalam aktivitas-aktivitas berbeda yang dapat dianalisa dan bukan terpaku pada kategori yang luas dan umum. Dalam buku (Hitt, 2005), Kerangka rantai nilai membagi aktivitas dalam perusahaan menjadi dua kategori umum:

a. Aktivitas Primer (primary activities): Aktivitas yang berkaitan dengan penciptaan fisik produk, penjualannya dan distribusinya ke para pembeli, dan servis setelah adanya penjualan.

b. Aktivitas Pendukung (support activities):

Membantu perusahaan secara

keseluruhan dengan menyediakan dukungan yang diperlukan bagi berlangsungnya aktivitas-aktivitas primer dilakukan secara berkelanjutan.

Berikut gambar dari Pears and Robinson (2009) yamg menjelaskan mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukan, yaitu:

Kegiatan Primer

Alokasi Biaya

Langkah berikutnya adalah mencoba mengaitkan biaya ke setiap aktivitas yang berbeda. Setiap aktivitas dalam rantai nilai mengeluarkan biaya serta mengikat waktu dan aset. Analisis rantai nilai mengharuskan manajer untuk mengalokasikan biaya dan aset ke setiap

aktivitas dan dengan demikian

menyediakan sudut pandang yang sangat berbeda terhadap biaya dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh metode akuntansi biaya tradisional.

3. Memahami Kesulitan dalam Akuntansi Biaya Berbasis Aktivitas

Di hampir semua perusahaan, kebutuhan informasi untuk mendukung akuntansi biaya berbasis aktivitas dapat menciptakan pekerjaan yang berulang karena persyaratan pelaporan keuangan dapat memaksa perusahaan untuk mempertahankan pendekatan tradisional untuk tujuan laporan keuangan. Waktu dan tenaga untuk mengubah ke pendekatan berbasis aktivitas dapat sangat besar dan biasanya masih melibatkan keputusan mengenai alokasi biaya secara arbitrer mencoba mengalokasikan biaya aset atau pekerja tertentu ke berbagai aktivitas yang melibatkannya. Tantangan yang berkaitan dengan penggunaan VCA berbasis biaya tidak menghalangi penggunaan kerangka ini untuk mengidentifikasikan sumber-sumber diferensiasi. Bahkan, melakukan VCA untuk menganalisis keunggulan kompetitif yang

membedakan perusahaan adalah

kompatibel dengan pandangan berbasis sumber daya mengenai pengujian atas aset tak berwujud serta kapabilitas sebagai sumber-sumber kompetensi yang berbeda (Pears and Robinson, 2009).

Identifikasi Aktivitas yang Membedakan Perusahaan

Mencermati rantai nilai perusahaan mungkin tidak hanya akan mengungkapkan keunggulan atau kelemahan biaya, namun juga mengarahkan perhatian pada beberapa sumber keunggulan diferensiasi relatif terhadap pesaing.

Menilai Rantai Nilai

(4)

dalam analisis internal. Terdapat tiga pertimbangan penting dalam tahap analisis rantai nilai: 1) Misi utama perusahaan perlu mempengaruhi pilihan aktivitas yang akan diteliti secara rinci oleh manajer; 2) Sifat dari rantai nilai dan relatif pentingnya aktivitas-aktivitas dalam rantai nilai tersebut bervariasi dari satu industri ke industri lain; 3) Relatif pentingnya aktivitas rantai nilai dapat bervariasi sesuai dengan posisi perusahaan dalam sistem nilai yang lebih luas yang mencakup rantai nilai dari para pemasoknya di hulu serta pelanggan atau rekanan di hilir yang terlibat dalam penyediaan produk atau jasa bagi para pemakai akhir.

4. Tahapan Dalam Analisis Rantai Nilai

Setiap perusahaan

mengembangkan sendiri satu atau lebih dari bagian-bagian dalam value chain, berdasarkan analisis stratejik terhadap keunggulan kompetitifnya. Dalam jurnal Widarsono (2009), menyatakan bahwa analisis value chain mempunyai tiga tahapan yaitu:

1. Mengidentifikasi aktivitas Value Chain Perusahaan mengidentifikasi aktivitas value chain yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam proses desain, pemanufakturan, dan pelayanan

kepada pelanggan. Beberapa

perusahaan mungkin terlibat dalam aktiviatas tunggal atau sebagian dari aktivitas total. Contohnya, beberapa

perusahaan mungkin hanya

memproduksi, sementara perusahaan lain mendistribusikan dan menjual produk.

2. Mengidentifikasi Cost driver pada setiap aktivitas nilai

Cost Driver merupakan faktor yang mengubah jumlah biaya total, oleh karena itu tujuan pada tahap ini adalah mengidentifikasikan aktivitas dimana perusahaan mempunyai keunggulan biaya baik saat ini maupun keunggulan biaya potensial. Misalnya perusahaan yang bergerak dibidang pelayanan komputer (computer service) untuk menangani tugas-tugas pemrosesan

data, sehingga dapat menurunkan biaya

dan mempertahankan atau

meningkatkan keunggulan kompetitif. 3. Mengembangkan keunggulan kompetitif

dengan mengurangi biaya atau menambah nilai.

Pada tahap ini perusahaan menentukan sifat keunggulan kompetitif potensial dan saat ini dengan mempelajari aktivitas nilai dan cost driver yang diidentifikasikan diatas. Dalam melakukan hal tersebut, perusahaan harus melakukan hal-hal berikut :

a. Mengidentifikasi keunggulan kompetitif (Cost Leadership atau diferensiasi).

Analisis aktivitas nilai dapat

membantu manajemen untuk

memahami secara lebih baik tentang keunggulan-keunggulan kompetitif stratejik yang dimiliki oleh perusahaan dan dapat mengetahui posisi perusahaan secara lebih tepat dalam value chain industri secara keseluruhan.

b. Mengidentifikasi peluang akan nilai tambah.

Analisis aktivitas nilai dapat membantu mengidentifikasi aktivitas dimana perusahaan dapat menambah nilai secara siginifikan untuk pelanggan. Contohnya, merupakan hal yang umum sekarang ini bagi pabrik-pabrik pemrosesan makanan dan pabrik pengepakan untuk mengambil lokasi yang dekat dengan pelanggan terbesarnya supaya dapat melakukan pengiriman dengan cepat dan murah.

(5)

menghemat biaya transportasi dan mengurangi kerugian.

Lebih lanjut, analisis value chain

dapat dipergunakan untuk

menentukan pada titik-titik mana dalam rantai nilai yang dapat mengurangi biaya atau memberikan nilai tambah. Sebaliknya dalam perolehan bahan baku atau proses advertensi dan promosi dapat dilakukan dengan cara, Langkah pertama; dalam value chain untuk pemerintah atau organisasi yang tidak berorientasi pada laba adalah membuat pernyataan tentang misi sosial organisasi tersebut, termasuk kebutuhan masyarakat spesifik yang dapat dilayani. Tahap Kedua; adalah mengembangkan sumber daya untuk organisasi, baik personel maupun fasilitasnya. Tahap ketiga dan Tahap keempat; adalah melakukan operasi organisasi dan memberikan jasa kepada masyarakat.

5. Kategori Rantai Nilai

Dalam Gereffi, Gary dan John Humphries (2005), kategori rantai nilai terdiri dari:

a. Hierarchical/Vertical Value Chains (Supplier-Driven): Pada kategori ini, rantai nilai dan tata kelolanya terikat dalam perusahaan trans-nasional yang terintegrasi secara vertikal (misalnya, anak perusahaan dan afiliasi yang harus tunduk pada perintah dari kantor pusat). Kategori ini merupakan jenis rantai nilai paling tradisional dan paling mendekati bentuk penanaman modal asing yang mulai tersebar. b. Captive/Directed Value Chains

(Buyer-Driven): Dalam hal ini, produsen hulu sangat bergantung pada pembeli hilir yang lebih besar dan mapan (atau disebut dengan lead firms). Hal ini tidak hanya terkait dengan transaksi bisnis atau pesanan, tetapi juga untuk mendapatkan bahan, desain,

teknologi, dll. Seringkali produsen harus melakukan investasi yang spesifik untuk memenuhi suatu transaksi, dengan tingkat fleksibilitas

rendah. Dengan demikian,

diperlukan biaya peralihan yang tinggi untuk pindah ke bidang bisnis baru. Produsen hulu tersebut seringkali perusahaan kecil yang kerap “terkurung” oleh kendali lead firm.

c. Relational Value Chains: Jenis rantai nilai ini mengacu pada suatu situasi dimana perusahaan produsen, berdasarkan desain dan

kapasitas produksi yang

disyaratkan, dapat menegosiasikan hubungannya dengan pembeli hilir secara lebih setara. Dengan arus informasi dua arah pada masalah

seperti kondisi pasar,

tecknologi/desain produk dan proses dsb., maka hubungan intra rantai nilai dalam kategori ini dicirikan

dengan adanya saling

ketergantungan dalam lingkup tertentu. Peralihan dari rantai nilai pasti (captive) ke hubungan (relational) dalam literatur lain (contoh: bidang ekonomi, teknologi dan perdagangan, literatur bisnis internasional) disatukan dengan kemajuan dari penataan bergaya OEM (original equipment manufacturing) menjadi lebih ODM (own design manufacturing).

d. Modular atau Balanced Value Chains: Dalam situasi seperti ini, perusahaan produsen kurang begitu bergantung pada lead firm karena penataan produksinya yang lebih fleksibel, sehingga memungkinkan penggunaan peralatan, bahan, teknologi dan lain sebagainya yang lebih generik dan tidak terlalu spesifik terhadap transaksi yang

dilakukan. Ini mencakup

(6)

menyatukan spesifikasi komponen, produk dan proses.

e. Market Driven Value Chains: Tipe ini mengacu pada suatu situasi yang mendekati struktur pasar yang benar-benar kompetitif dalam literatur ekonomi mikro. Dalam kategori ini, terdapat berbagai pilihan pasokan/permintaan dan switching costs ke mitra Rantai Nilai baru cukup rendah bagi kedua belah pihak.

6. Value Chain Internal Perusahaan (The

Company’s Internal ValueChain)

Value chain internal perusahaan merupakan penyusunan seluruh aktivitas penciptaan nilai yang ada di dalam perusahaan tertentu. Value chain ini terdiri atas seluruh aktivitas, baik yang bersifat fisik maupun teknologi yang ada di dalam perusahaan yang dapat menambah nilai produk. Hal penting untuk menganalisis value chain internal perusahaan adalah dengan memahami setiap aktivitas dalam perusahaan yang dilakukan untuk menciptakan keunggulan komperatif. Kemudian mengelola aktivitas-aktivitas itu lebih baik daripada perusahaan-perusahaan lain yang ada dalam industri tersebut. Value chain internal perusahaan dapat dicapai dengan beberapa langkah. Menurut Josep G. Donelan dan Edward A. Kaplan langkah-langkah yang diterapkan dalam pencapain value chain internal perusahaan, yaitu (1) mengidentifikasi aktivitas-aktivitas value chain; (2) menentukan aktivitas value chain yang mana paling strategis; (3) menelusuri biaya-biaya setiap aktivitas value chain; (4) menggunakan informasi biaya aktivitas untuk mengelola setiap aktivitas value chain secara lebih baik daripada perusahaan lain dalam industri tersebut. Perkembangan teknologi (teknologi informasi) akan membawa pengaruh terhadap kekuatan-kekuatan yang mendorong perbaikan dalam teknologi produk dan proses. Monger dalam Prakarsa (1995) menyatakan bahwa perkembangan teknologi telah membawa tiga dampak utama yang berpengaruh terhadap struktur organisasi dan struktur

industri, yaitu (1) Otomatisasi, (2) Disintermediasi, dan (3) Integrasi. Motivasi otomatisasi lambat laun telah beralih dari substitusi tenaga kerja langsung ke pengurangan fungsi dan waktu yang tidak menciptakan nilai tambah dalam rangka untuk memenuhi tuntutan para pelanggan. Disintermediasi dimaksudkan untuk meniadakan proses antara, seperti pembagian kerja. Melalui jalan pintas, aktivitas yang tidak bernilai tambah dapat dihindarkan sehingga mempercepat troughtput time. Integrasi digunakan dalam berbagai konteks, misalnya integrasi sarana, integrasi input, integrasi proses, integrasi output, dan integrasi komunikasi. Penggunaan teknologi berarti berperan untuk meningkatkan produktivitas, efektivitas, dan efisiensi dari pemasok sampai dengan konsumen sepanjang value chain.

7. Analisis Value Chain untuk Keunggulan Kompetitif

Supaya perusahaan bisa unggul dalam persaingan yang sangat ketat dengan lingkungan yang selalu berubah, maka perusahaan perlu mengantisipasi, menanggapi, dan mengurangi atau mengeliminasi hal-hal yang menyebabkan ketidakekonomisan yang terjadi dalam perusahaan. Sebagian besar perusahaan akan berusaha untuk bisa bertahan, bahkan berkembang dalam bisnisnya sehingga yang menjadi andalan adalah keunggulan bersaing. Perusahaan pada umumnya

mampu memperoleh keunggulan

(7)

Analisis value chain merupakan analisis aktivitas-aktivitas yang relevan sepanjang rantai nilai (value chain) yang membentuk suatu produk, yang yang meliputi proses pengadaan, penyimpanan, penggunaan, transformasi dan disposisi sumber daya, mulai dari aktivitas pemasok value chain sampai dengan konsumen value chain yang dapat meningkatkan nilai bagi konsumen dan pemegang saham. Perusahaan harus mampu mengenali posisinya pada value chain yang membentuk suatu produk atau jasa tersebut. Nilai bagi konsumen berarti perusahaan harus memberikan harga yang lebih rendah dengan kualitas yang sama atau memberikan kualitas yang lebih tinggi dengan harga yang sama jika dibandingkan dengan pesaing. Sebaliknya, nilai yang diterima oleh pemegang saham adalah adanya peningkatan nilai saham (Machfoedz, 2004).

Analisis value chain merupakan analisis aktifitas-aktifitas yang menghasilkan nilai, baik yang berasal dari dalam dan luar perusahaan. Konsep value chain memberikan perspektif letak perusahaan dalam rantai nilai industri. Analisis value chain membantu perusahaan untuk memahami rantai nilai yang membentuk produk tersebut. Nilai yang berawal dari bahan mentah sampai dengan penanganan produk setelah dijual kepada konsumen. Perusahaan harus mampu mengenali posisinya pada rantai nilai yang membentuk produk atau jasa tersebut. Hal ini sangat penting untuk mengidentifikasi kesempatan dari persaingan. Setelah mengidentifikasi posisinya, maka perusahaan mengenali aktifitas-aktifitas yang membentuk nilai tersebut. Aktifitas-aktifitas tersebut dikaji untuk mengidentifikasi apakah memberikan nilai bagi produk atau tidak. Jika aktivitas tersebut memberikan nilai, maka akan terus digunakan dan diperbaiki untuk memaksimalkan nilai. Sebaliknya, jika aktifitas tersebut tidak memberikan nilai tambah maka harus dihapus. Menurut Supriyono (2002) aktivitas tidak bernilai tambah adalah aktivitas-aktivitas yang tidak perlu atau aktivitas-aktivitas yang perlu,

namun tidak efisien dan dapat diperbaiki. Jika aktivitas tidak bernilai tambah dilaksanakan, akan berakibat menambah biaya yang tidak perlu dan merintangi kinerja, sehingga menimbulkan biaya tidak bernilai tambah. Biaya tidak bernilai tambah adalah biaya yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah. Biaya tidak bernilai tambah dapat diartikan sebagai biaya atas aktivitas-aktivitas yang dapat dieliminiasi tanpa menimbulkan kesan buruk dari para pelanggan mengenai kinerja, fungsi, atau ukuran mutu lainnya suatu produk. Analisis aktivitas dapat menurunkan biaya dengan cara peniadaan aktivitas, pemilihan aktivitas, pengurangan aktivitas, dan penggunaan aktivitas secara bersama.

Horngren Charles T. dan George Foster (1991) dalam Supriyono (2002) mengungkapkan bahwa dalam kegiatan pemanufakturan ada lima aktivitas utama sering merupakan pemborosan dan tidak perlu, yaitu penjadwalan, pemindahan, penungguan, inspeksi, dan penyimpanan. Biaya dari aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah harus dikurangi atau dieliminasi. Lebih lanjut Horngren Charles T. dan George Foster mengungkapkan bahwa mengurangi biaya dapat dilakukan

dengan empat cara, yaitu (1)

(8)

PENUTUP Kesimpulan

Dari uraian mengenai analisis rantai nilai diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Analisis value chain merupakan alat

analisis yang berguna untuk memahami posisi perubahan dalam suatu rantai yang membentuk nilai suatu produk. Analisis value chain harus dipandang dalam skala yang luas, skala industri. Analisis Value Chain merupakan analisis aktifitas-aktifitas yang menghasilkan nilai, baik yang berasal dari dalam dan luar perusahaan. Perusahaan harus mampu mengenali posisinya pada rantai nilai yang membentuk produk atau jasa tersebut. Hal ini sangat penting untuk mengidentifikasi kesempatan dari persaingan. Setelah mengidentifikasi posisinya, maka perusahaan mengenali aktifitas-aktifitas yang membentuk nilai tersebut.

2. Perusahaan harus mampu memahami posisinya dalam rantai nilai tersebut, kemudian menentukan strategi kompetitifnya: Low Cost atau Diferensiasi untuk bersaing dengan pesaingnya. Perusahaan harus malakukan hubungan yang baik dengan supplier dan distributor untuk memaksimalkan nilai produknya serta menimbulkan rasa percaya dari supplier dan distributor supaya dapat tercipta hubungan yang baik, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing produk.

Saran

Dari penjelasan diatas, saran yang bisa diberikan adalah bahwa dalam penerapan value chain pada perusahaan yang satu dengan yang lain tidaklah sama. Oleh sebab itu perusahaan harus mampu mengidentifikasi perencaan awal yang disusun secara lebih detail, baik dari penggunaan bahan baku maupun dari tenaga kerja dan segala sesuatu yang berhubungan aktivitas perusahaan yang akan menentukan keunggulan kompetitif dari perusahaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh M. 2007. Inovasi Teknologi Dan System Beton Pracetak Di Indonesia: Sebuah Analisa Rantai Nilai. www.haki-konstruksi.com. Yogyakarta.

Blocher/Chen/Lin, 1999. Diterjemahkan oleh A. Susty Ambarriani, 2000. Manajemen Biaya. Jilid 1. Penerbit Salemba: Empat Jakarta.

Ellitan, Lena. 2008. Manajemen Strategi Operasi. Bandung: Alfabeta.

Gereffi, Gary dan John Humphries, The Governance of Global Value Chains.” Review of International Political Economy, 12:1 February 2005: 78-104. Routledge Publications.

Hitt, Michael A, R. Duane Ireland, and Robert E.Hoskisson. 2005. Strategic Management-Competitiveness and Globalization. USA: Thomson International Student Edition.

Hansen, and Mowen, 2000. Management Biaya; Akuntansi dan Pengendalian, alih bahasa Tim Salemba Empat: Jakarta.

Josep G. Donelan dan Edward A. Kaplan. 2000. Value Chain Analysis: A Strategic Approach To Cost Management. James M. Reeve. Reading And Issues In Cost Management. Second Edition. Thomson Learning: South - Western College Publishing

Sujana, I Ketut. 2006. Aplikasi Activity Based Costing (ABC) Dalam Analisis Value Chain Dan Keunggulan Kompetitif. Buletin Studi Ekonomi, Volume 11 Nomor 3.

(9)

Machfoedz, Mas’ud. 2004. “Perubahan Peran Akuntan Manajemen”. Media Akuntansi No 38/Maret.

Mintzberg, H., 1978. Pattern In strategy Formulation. Management Science, 24 (9), 934-948

Pearce II, John.A and Richard B. Robinson. 2009. Strategic Management-Formulation, Implementation and Control. Mc Graw-Hill International Edition. USA.

Porter, Michael E. 1985. Competitive Advantage – Creating a Sustaining Superior Performance, New York: The Free Press.

Prakarsa Wahjudi. 1995. “SIM Sebagai Pendukung dan Penentu Keunggulan Strategi Organisasi”. Media Akuntansi. No.05/THN II/1995.

Schoemaker, P.J.H. 1992. How To Link Strategi Vissionto Core Capabilities. Sloan Management Review, Fale 67-81

Setiawan, Dodi. 2003. Analisis Value Chain dan Keunggulan Kompetitif. Artikel Usahawan no 05 Vol XXXII.

Shank, Jhon K., Govindarajan Vijay. 2000. Strategic Cost Management and the Value Chain., Thomson Learning: USA.

Supriyono. 2002. Akuntansi Biaya Dan Akuntansi Manajemen Untuk Teknologi Maju Dan Globalisasi. Edisi 2.Yogyakarta : BPFE.

Wibowo, Triyono Budi dan Arfan Ikhsan. 2003. “Pengaruh Strategik Komperatif, Motivasi dan Budaya Kerja terhadap

Hubungan Antara Komitmen

Organisasi kepada Karyawan dengan Kinerja Perusahaan”. Simposium Nasional Akuntansi VI, Membangun

Citra Akuntan Melalui Peningkatan Kualitas Pengetahuan, Pendidikan dan Etika Profesi, Surabaya, IAI Kompartemen Akuntan Pendidik.

Widarsono, Agus. 2009. Strategic Value Chain Analysis (Analisis Stratejik Rantai Nilai): Suatu pendekatan Manajemen

Biaya.www.agusw77.files.wordpress.c om

Referensi

Dokumen terkait

Dalam skripsi ini, telah dilakukan perancangan Sistem Pencarian Buku Berbasis RFID dengan menggunakan antarmuka Visual Basic dan basis data MySQL yang merupakan

Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan modul sebagai bahan pembelajaran (Asmalinda, 2008). Oleh yang demikian, diharap dengan

[r]

Pegawai pemerintahan di Kantor Kecamatan Tellulimpoe Kabupaten Sinjai diharapkan lebih meningkatkan disiplin waktu, lebih tepat waktu pada saat jam masuk dan pulang kantor,

bahwa Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru Program Diploma dan Sarjana Universitas Ubudiyah Indonesia melalui Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU)

dengan output yang diinginkan berdasarkan dengan spesifikasi yang telah ditentukan seperti yang terlihat pada Tabel 4.4, sehingga banyaknya pengujian yang dilakukan adalah

H 2 : Auditor dengan sifat Machiavellian tinggi akan cenderung berperilaku tidak etis Seseorang yang memiliki kecenderungan untuk mengontrol dan mem- pengaruhi ornag

Pengendalian proses dilakukan terhadap kerja pada suatu harga tertentu supaya dihasilkan produk yang memenuhi standar, maka pengendalian mutu dilakukan untuk