• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN REVOLUSI HIJAU PADA MASA ORDE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN REVOLUSI HIJAU PADA MASA ORDE"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN REVOLUSI HIJAU PADA MASA ORDE BARU DAN DAMPAKNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA

Makalah Untuk Mata Kuliah Sejarah Masyarakat Indonesia

Disusun oleh:

Alfathan Wira S. (1406576370) Chintya (1406537501) M. Ismail Hanif (1406569005) Raditya Rahadian (1406537584)

Sayyid Ridha (1406612836)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

(2)
(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia telah menjalankan pemerintahannya selama 70 tahun. Pergantian pemerintahan telah berjalan beberapa kali. Dimulai dari era pasca kemerdekaan di tahun 1945, pemerintahan bergaya liberal di sekitar tahun 1950-an d1950-an pemerintah1950-an demokrasi y1950-ang terpimpin tahun 1959 hingga 1965, Orde Baru dengan masa pemerintahan terlama dengan 32 tahun masa jabatan, hingga era reformasi yang saat ini kita rasakan. Berbagai kebijakan dari pemerintahan yang berganti-ganti tersebut telah kita rasakan dan tentu menimbulkan dampak yang positif maupun negatif bagi kehidupan masyarakat. Salah satu era pemerintahan yang kenangannya masih membekas adalah era Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, presiden kedua RI yang terkenal dengan julukan Bapak Pembangunan. Beliau memimpin bangsa ini kurang lebih 32 tahun, waktu yang tentu sangat lama. Era Orde Baru dikenal dengan masa pembangunannya. Berbagai kebijakan dibentuk dan dibangun pada masa ini. Mulai dari bidang infrastruktur, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya yang sampai saat ini beberapa hasil pembangunan tersebut masih kita rasakan hingga saat ini.

(4)

dunia menjadi Negara pengekspor beras terbesar di dunia dan mencapai swasembada pangan pada tahun 1980-an.

Kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Orde baru saat itu bertujuan bukan hanya untuk meningkatkan pertumbuhan negara saja, akan tetapi juga untuk kesejahteraan penduduk. Arah dan kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah Orde Baru diarahkan pada pembangunan di segala bidang yang ada. Pelaksanaan pembangunan Orde Baru diimplementasikan kedalam suatu program pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) yang disebut dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita dibagi ke dalam beberapa periode yang jangka waktunya 5 tahun. Salah satu kebijakan pembangunan Orde Baru adalah pembangunan bidang pertanian. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Kebijakan pengembangan pertanian itu dinamakan dengan kebijakan Revolusi Hijau yang akan dibahas pada makalah ini, dengan studi kasus daerah Klaten pada awal Repelita I.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang diterapkannya kebijakan Revolusi Hijau oleh pemerintah Orde Baru?

2. Bagaimana pelaksanaan dan hasil yang dicapai dari kebijakan Revolusi Hijau? 3. Apa dampak yang ditimbulkan dari kebijakan Revolusi Hijau bagi kehidupan

sosial ekonomi masyarakat pada masa Orde Baru?

1.3 Tujuan

(5)

BAB II ISI

2.1 Latar Belakang Diterapkannya Kebijakan Revolusi Hijau Oleh Pemerintah Orde Baru

Istilah Revolusi Hijau sempat sangat populer di Indonesia khususnya masa Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Bangsa ini dengan semangat pembangunan terus menerus memunculkan kebijakan yang erat kaitannya dengan pembangunan. Salah satunya adalah Revolusi Hijau ini. Revolusi hijau sering dikenal dengan revolusi agraria adalah suatu perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Munculnya Revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian bibit unggul dalam bidang pertanian.

Revolusi Hijau lahir dari gagasan hasil penelitian dan tulisan Thomas Robert Malthus pada tahun 1766-1834 yang mengemukakan bahwa masalah kemiskinan adalah masalah yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Gagasan tentang Revolusi Hijau bermula dari hasil penelitian dan tulisan Thomas Robert Malthus (1766-1834) yang berpendapat bahwa “Kemiskinan dan kemelaratan adalah masalah yang dihadapi manusia yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pertumbuhan penduduk dengan peningkatan produksi pertanian.”

(6)

yaitu Ford Foundation dan Rockefeller Foundation.1 Dalam penelitian tersebut

mencari berbagai varietas tanaman penghasil biji-bijian, terutama yang diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak (beras dan gandum). Di samping hal tersebut yang juga mempengaruhi perkembangan Revolusi Hijau adalah perkembangan teknologi alat-alat pertanian. Penggunaan alat-alat pertanian modern, seperti mesin, bajak, alat penyemprot hama, mesin penggiling padi, dan pompa irigasi merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan produksi pertanian.

Selanjutnya perkembangan Revolusi Hijau terjadi pada pasca-Perang Dunia II. Perang tersebut menyebabkan di berbagai sendi kehidupan mengalami kerusakan dan roda perekonomian hancur. Lahan-lahan pertanian menjadi hancur yang akhirnya menyebabkan berkurangnya produksi pangan dunia. Dengan hancurnya lahan-lahan pertanian tersebut, maka dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi pertanian seperti pembukaan lahan-lahan pertanian baru, mekanisasi pertanian, penggunaan pupuk-pupuk baru, dan mencari metode yang tepat untuk memberantas hama tanaman. Pada tahun 1962, Rockefeller Foundation bekerja sama dengan Ford Foundation mendirikan sebuah badan penelitian untuk tanaman padi di Filipina. Badan penelitian ini dinamakan International Rice Research Institute (IRRI) yang bertempat di Los Banos, Filipina. Tujuan utama IRRI adalah untuk mencari cara meningkatkan kesejahteraan petani, konsumen, serta lingkungannya.

IRRI telah menghasilkan suatu varietas padi baru yang hasilnya jauh lebih baik daripada hasil varietas lokal di Asia. Varietas baru tersebut merupakan hasil persilangan genetik antara varietas padi jangkung dari Indonesia yang bernama Peta. Hasil persilangan tersebut diberi nama IR 8-288-3 (IR-8) dan di Indonesia dikenal dengan sebutan padi PB-8.2 Perkembangan Revolusi Hijau semakin

meluas di dunia terutama pada daerah-daerah yang dahulunya merupakan daerah sedang berkembang atau daerah yang selalu mengalami kekurangan akan hasil

1Marliana, Evi. Revolusi Hijau dan Dampak Sosial Ekonomi di Kabupaten Klaten [pdf]

(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20156742-S%209501340_Revolusi%20Hijau%20dan.pdf) diakses Kamis 5 November 2015 pukul 22.24.

(7)

pertanian, seperti di India yang telah berhasil melipatgandakan panen gandumnya dalam waktu enam tahun dan menjelang tahun 1970 sudah hampir dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Filipina telah berhasil mengatasi ketergantungannya pada beras impor, bahkan akhir tahun 1960-an telah menjadi eksportir beras. Hal tersebut telah mendasari pemerintah Orde Baru untuk menerapkan kebijakan Revolusi Hijau dan menimbulkan optimisme bahwa Revolusi Hijau dapat menghasilkan cukup banyak pangan untuk memberi makan kepada penduduk sampai waktu yang lebih lama. Produksi hasil pertanian mengalami peningkatan yang cukup melimpah. Apalagi di era Orde Lama ekonomi sangat terpuruk sekali sehingga menuntut pemerintan Orde Baru untuk mencari jalan bagaimana memulihkan kembali perekonomian Indonesia.

Kebijakan Revolusi Hijau termasuk ke dalam Repelita I yang dimulai pada tahun 1969. Tujuan Repelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan di tahap berikutnya. Titik berat pembangunan diletakkan pada pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan mendobrak keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaruan bidang pertanian karena sebagian besar penduduk masih hidup dari pertanian.

2.2 Pelaksanaan Revolusi Hijau dan Hasil yang Dicapai: Studi Kasus Kabupaten Klaten tahun 1968-1969

(8)

memberi penyuluhan kepada para petani tentang cara bertani yang baik dan cara penggunaan alat-alat pertanian secara efektif. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Revolusi Hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Proyek yang pertama ditangani adalah rehabilitasi jaringan irigasi termasuk pengendalian banjir yang meliputi ratusan ribu hektar persawahan dalam upaya mencapai swasembada beras. Program ini juga diikuti dengan program Bimas dengan memberikan kepada petani sarana pupuk melalui pembangunan pabrik-pabrik pupuk urea seperti di Palembang, Cikampek, dan Kalimantan Timur.3

Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.

Terdapat beberapa upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk menggalakan revolusi hijau, diantaranya adalah dengan upaya:

1. Intensifikasi Pertanian, yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan menerapkan formula pancausaha tani (pengolahan tanah, pemilihan bibit unggul, pemupukan, irigasi, dan pemberantasan hama).

2. Ekstensifikasi Pertanian, yaitu upaya memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).

3. Diversifikasi Pertanian Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan

3Setyohadi, Tuk. 2002. Sejarah Perjalanan Bangsa Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Rajawali

(9)

karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.

4. Rehabilitasi Pertanian, merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.

Hasil-hasil dari penerapan Revolusi Hijau dapat dikatakan cukup berhasil. Beberapa hasil positif yang dirinci dari penerapan Revolusi Hijau adalah:

a. Memberikan lapangan kerja bagi para petani maupun buruh pertanian

b. Daerah yang tadinya hanya dapat memproduksi secara terbatas dan hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal masyarakatnya dapat menikmati hasil yang lebih baik karena revolusi hijau.

c. Kekurangan bahan pangan dapat teratasi.

d. Sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga perekonomian Indonesia terutama terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga orang beralih usaha ke sektor agrobisnis.

e. Meningkatkan produktivitas tanaman pangan.

f. Peningkatan produksi pangan menyebabkan kebutuhan primer masyarakat industri menjadi terpenuhi.

g. Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984. h. Kualitas tanaman pangan semakin meningkat.

2.3 Dampak Sosial Ekonomi Bagi Masyarakat Klaten Akibat Kebijakan Revolusi Hijau

(10)

swasembada beras dan berhenti mengimpor beras pada tahun 1984. Padahal, pada tahun 1977 dan 1979 Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar di dunia. Revolusi Hijau memberikan pengaruh yang positif dalam pengadaan pangan. Hal ini berarti Indonesia telah dapat mengatasi masalah pangan. Namun kebijakan revolusi hijau tersebut menimbulkan pengaruh yang kontradiksi dengan kehidupan masyarakat saat itu, terutama petani yang berkaitan langsung dengan kebijakan tersebut.

Pemerintah Orde Baru menjalankan kebijakan revolusi hijau itu dengan cara membimbing para petani menjalankan pertanian sesuai dengan kehendak pemerintah. Sebagai penyalur informasinya dibentuk organisasi bimbingan massal (Bimas) yang melibatkan semua level pemerintahan dari pusat sampai desa. Di tingkat petani, dibentuk kelompok-kelompok tani yang berfungsi untuk menjalankan instruksi di lapangan. Perannya sama seperti prajurit di medan perang, yaitu petani tidak boleh mengambil keputusan soal produksi. Pemerintah akan memutuskan jenis benih apa yang akan digunakan, berapa lama waktu tanam, jenis pupuk, pestisida, dan lain-lain. Kemudian, petani tinggal melaksanakan apa yang diinstruksikan, setelah diberikan penyuluhan oleh lembaga-lembaga penyuluhan yang dibentuk oleh Departemen Pertanian. Kalau ada petani yang menentang instruksi pemerintah, misalnya menanam padi jenis lain, maka aparat keamanan akan "mengamankan"-nya.

(11)

suka mendapatkan instruksi yang jelas dan diberi arahan untuk mencapai target apa.

Revolusi hijau di Klaten berdampak kepada kepemilikan tanah pertanian, yang tadinya adalah kepemilikan komunal berubah menjadi kepemilikan individu. Proses perubahan terjadi karena perkembangan teknologi baru dan meningkatnya jumlah penduduk sehingga nilai tanah semakin tinggi sehingga menimbulkan jual beli tanah karena meluasnya sistem bagi hasil dan sewa menyewa tanah. Kepemilikan tanah hanya dikuasai beberapa orang saja. Dari situ terjadilah ketimpangan antara pemilik tanah dengan petani penggarap, karena kepemilikan tanah disesuaikan menurut struktur sosial yang ada di masyarakat desa. Hal itu akan mempengaruhi para petani kecil dan rakyat yang kurang memiliki sehingga kepemilikan tanah menjadi timpang. Dari kenyataan tersebut ternyata memunculkan buruh tani dan petani miskin di Klaten.

Ketimpangan kepemilikan tanah yang dijelaskan sebelumnya juga berpengaruh terhadap nilai-nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat Klaten. Hal itu ditandai dengan merenggangnya hubungan patron-client dalam masyarakat desa. Perwujudan sistem patron-client dalam pertanian adalah patron sebagai pemilik sawah, sedangkan client disini yaitu: 1) anggota keluarga, memperoleh ½ hingga ¼ dalam setiap hasil panen, 2) tetangga dan kerabat dekat memperoleh ¼ hingga 1/6, dan 3) orang satu desa memperoleh 1/10. Pembagian tersebut semakin lama memberatkan pemilik sawah karena menimbulkan kerugian. Dengan masuknya teknologi baru di pertanian menjadikan produksi lebih komersil. Keadaan tersebut mengakibatkan semakin banyak pemilik yang melepaskan diri dari sistem patron-client itu. Di masa lalu para patron memikul kewajiban moral untuk mendistribusikan kesejahteraan kepada client-nya. Dengan diperkenalkannya teknologi padi baru, petani dirangsang untuk berpikir secara komersial. Prinsip saling tolong menolong antara patron dan client pun mulai ditinggalkan.

(12)

di Klaten. Mereka yang berhasil mengumpulkan modal dari keuntungan produksi pertanian membuka usaha sampingan seperti membuka warung kecil. Selain itu mereka dapat menambah konsumsi dan menutup biaya pendidikan bagi anak-anak mereka. Dengan paket teknologi, biaya produksi memang bertambah. Namun, tingkat produksi yang dihasilkan akan memberikan sisa keuntungan jauh lebih besar daripada keuntungan dalam usaha pertanian tradisional. Peningkatan hasil pertanian dapat dilihat dari bertambahnya luas panen setiap tahunnya. Pada tahun 1968 luas panen padi adalah 49.898 ha, tahun 1970 mencapai 52.916 ha, tahun 1975 mencapai 54.862 ha, dan tahun 1980 mencapai 62.859 ha.

Dengan meningkatnya hasil produksi pertanian kesejahteraan masyarakat pun juga meningkat. Dilihat dari pendapatan per kapita Klaten berdasarkan dari tingkat kabupaten, kecamatan, desa, dan kepala keluarga, terlihat hasil pertanian dari tahun 1976 hingga 1980 di tabel berikut

Tahun Pendapatan Hasil

Produksi Produksi Pertanian

Pendapatan Per Kapita (Rupiah)

1976 48.249.160 20.707.797 46.773

1978 76.944.167 32.546.753 72.299

1980 109.290.711 46.625.906 100.607

(13)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Revolusi Hijau sempat sangat populer di Indonesia khususnya masa Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Revolusi hijau adalah cara bercocok tanam dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Munculnya Revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Terdapat beberapa upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk menggalakan revolusi hijau, diantaranya adalah dengan upaya intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian, dan rehabilitasi pertanian. Hasil positif pun dicapai dari kebijakan Revolusi Hijau, yaitu sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga perekonomian Indonesia terutama terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga orang beralih usaha ke sektor agrobisnis. Bahkan Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1984.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Emerson, Donald K. Indonesia Beyond Soeharto. 2001. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2011. Sejarah Nasional Indonesia VI. –cet.5- Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.

Setyohadi, Tuk. 2002. Sejarah Perjalanan Bangsa Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Rajawali Corporation.

SUMBER REFERENSI

Marliana, Evi. Revolusi Hijau dan Dampak Sosial Ekonomi di Kabupaten Klaten [pdf]

(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20156742-S%209501340_Revolusi

%20Hijau%20dan.pdf) diakses Kamis 5 November 2015 pukul 22.24.

Rangkuti, Khairunnisa. Swasembada Beras Pada masa Orde Baru: Sebuah perspektif

dari sisi Enforcement Negara [web]

(

http://www.kompasiana.com/nisarangkuti/swasembada-beras-pada-masa-

orde-baru-sebuah-perspektif-dari-sisi-enforcement-negara_5500ae248133116619fa7b90) diakses Kamis 5 November 2015 pukul

19.51.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian, bahwa pasien yang didiagnosa hepatitis A selama menjalani rawat inap di RSUD dr Soediran Mangun Sumarso Wonogiri periode Januari 2017 –

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menguji apakah ukuran koperasi dan

“Kritik ekternal i alah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber suatu pemeriksa atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi

Teori pembangunan Chenery (2007) memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perekonomian negara

Hasil perbandingan momen tumpuan dan lapangan dengan menggunakan strip method, PBI 71, dan FEM dapat dilihat pada Tabel 4 dan secara grafik diagram momen dapat dilihat pada

Soegiri Lamongan adalah perlu dilakukan monitoring terhadap efek interaksi obat pada peresepan pasien TB paru terutama untuk obat – obat yang dapat menimbulkan interaksi minor

1) CGS-CIMB berhak menggunakan efek dalam Rekening Efek Nasabah untuk digunakan sebagai jaminan atas kredit Bank atau Lembaga Keuangan lainnya sebagai penggantian untuk