• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL TERHADAP P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL TERHADAP P"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL

TERHADAP PANDANGAN KAUM MODERAT DAN PURITAN TENTANG HAM DAN DEMOKRASI

Oleh: Rendra Khaldun1

A. Pengantar

Beberapa dekade terakhir ini masalah demokrasi dan hak asasi manusia merupakan bahan diskusi yang masih hangat di berbagai pelosok dunia baik oleh orang muslim sendiri maupun nonmuslim karena dikatakan “bertentangan” dengan keyakinan Islam bahkan Islam dikatakan sebagai sebuah ancaman bagi non Islam yang oleh orang-orang Barat dicap sebagai agama yang anti demokrasi dan tidak toleran.2

Sebagian pemimpin gerakan-gerakan Islam menentang demokrasi ala Barat dan sistem pemerintahan parliamenter. Reaksi negatif mereka semakin menjadi bagian dari penolakan umum terhadap pengaruh kolonial Eropa, tindakan mempertahankan Islam agar semakin tidak tergantung kepada Barat, yang menurut sebagian orang Islam bukannya penolakan total terhadap demokrasi. Bahkan dalam dekade-dekade belakangan, banyak Muslim menerima gagasan demokrasi namun mereka berselisih mengenai makna demokrasi yang tepat. Begitu juga sebaliknya, tidak sedikit dari para tokoh-tokoh gerakan Islam yang menolak demokrasi menjadi salah satu bentuk pemerintahan karena berasal dari Barat dan dijadikan sebagai salah salah satu propaganda Barat terhadap dunia Islam.3

Ada perbedaan antara paham demokrasi Barat dan tradisi Islam. Semakin ditekannya liberalisasi politik, electrolal politics, dan demokratisasi tidak berarti menyiratkan diterimanya secara tidak kritis bentuk-bentuk demokrasi Barat. Argumen yang lazim terdengar adalah bahwa Islam memiliki atau dapat melahirkan bentuk-bentuk demokrasi khasnya sendiri dimana kedaulatan rakyat dikukuhkan dalam keseimbangan yang harmonis yang mampu melahirkan banyak bentuk dan konfigurasi.

Isu hak asasi manusia juga memunculkan serangkaian permasalahanan yang serupa. Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu hal yang fundamental, sensitif dan kontroversial.4 Selama beberapa dekade, isu-isu hak asasi manusia

telah menjadi perdebatan menarik di kalangan pemikir modern baik di bidang politik maupun hukum. Hal ini berdasar kepada kecenderungan munculnya isu-isu hak asasi manusia bukan hanya dipengaruhi oleh anasir-anasir politik dan hukum

1Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram

2John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah Abdurrahman dan

MISSI. (Bandung: Mizan, 1994), h. 35

3Untuk lebih jelasnya tentang berbagai respon dari beberapa gerakan dan golongan Islam

lihat Greogry Rose, Velayat e-Faqih and Recovery Islamic Identity, dalam Nikkii R. Keddie (ed.)

Religion and Politic in Iran; Shi’ism from Quietism (London: Yale Univercity Press, 1983), h. 183

4Pasal-pasal kontroversial dalam UDHR menurut sebagian masyarakat Muslim lihat,

(2)

melainkan juga agama dan budaya.5 HAM yang dideklarasikan oleh badan

tertinggi dunia pada 10 Desember 1948 yang dikenal dengan “The Universal

Declaration of Human Rights” atau UDHR (Deklarasi semesta tentang hak asasi

manusia) yang terdiri dari 30 pasal, ternyata belum dapat mengakomodasi keinginan semua bangsa-bangsa di dunia yang amat beragam latar belakang budaya dan agamanya (terutama agama Islam).

Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi. Oleh karena itu hak asasi manusia selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental, dan penting sehingga banyak pendapat yang mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah sebuah “ kekuasaan sekaligus keamanan” yang dimiliki oleh setiap individu.6

Alwi Shihab mengatakan, bahwa hak-hak asasi manusia dalam Islam bersifat teosentris, yakni bertujuan untuk dan bersumber dari Tuhan, sebaliknya HAM menurut pandangannya, lebih bersifat antroposentris, yakni lebih terfokus hanya pada manusia itu sendiri, HAM dalam perspektif kedua menempatkan manusia dalam suatu setting dimana hubungannya dengan Tuhan sama sekali tidak disebut, hak-hak asasi manusia dimulai sebagai perolehan alamiah sejak kelahiran. Perbedaan persepsi tentang manusia, hak-hak berikut nasibnya merupakan salah satu sebab utama yang memicu konflik antara dunia Barat sekuler dan Islam.7

Islam menempatkan Hak-hak manusia sebagai konsekuensi dari pelaksanaan kewajiban terhadap Allah. HAM menurut pandangan Barat sekuler adalah ekspresi kebebasan manusia yang terlepas dari ketentuan Tuhan, agama, moral, atau kewajiban metafisika. Dalam Islam, ekspresi kebebasan manusia harus ditempatkan dalam kerangka keadilan, kasih sayang dan persamaan kedudukan di mata Tuhan.8

Memang, hak-hak yang didaftar dalam risalah deklarasi internasional cenderung bervariasi sekali. Misalnya dokumen-dokumen internasional ini berbicara tentang hak individu atas kebebasan menyampaikan nurani dan keyakinan, kebebasan berbicara, hak atas privasi, tetapi dokumen-dokumen itu juga berbicara tentang hak atas tempat tinggal, hak atas makanan dan gizi yang cukup, dan hak liburan dan cuti wanita (haid, hamil, dan sebagainya). Musykil kiranya jika kita mendiskusikan setiap item yang tertera dalam deklarasi tersebut.

Tulisan ini mencoba memusatkan perhatian pada persoalan pemetaan Khaleed Abou el Fadl terhadap pandangan kaum moderat dan puritan mengenai hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang dianggap sebagai suatu konsep kontroversial.

5 Secara politis negara–negara Barat sering mengangkat isu ini untuk dapat

mengintervensi negara yang menurut mereka belum memberikan perlindungan maupun pelaksanaan hak–hak asasi sesuai srandart internasional.untuk lebih jelasnya lihat. Mayer Ann Elizabeth, Islam Tradition and Politics Human Rights, (Westview Press, 1995), h. 2.

6Untuk lebih jelasnya lihat Harun Nasution dan Bachtiar Efendi (ed.). Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1978), h. 14

7 Alwi Syihab, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan,

1999) h. 179

(3)

B. Epistemologi Khaleed Abou Fadl

Dalam tradisi Islam, al-Qur’an merupakan representasi dari ‘otoritas’ (kewenangan) Allah. Tidak seorangpun mengabaikan Kitab Suci. Seorang muslim yang tulus selalu merujuk kitab sucinya ketika menghadapi masalah di dalam kehidupannya. Ketika masih hidup, Nabi dipandang sebagai orang yang paling otoritatif (paling berwenang), memiliki persyarat yang dapat dipercaya, untuk menafsirkan semua kehendak Allah. Wewenang atau otoritas Nabi ditetapkan secara tertulis di dalam al-Qur’an. Selain itu wewenang beliau juga tercermin dalam perilaku dan visi moral yang terpancar dalam kehidupan beliau.

Menurut ajaran Islam, semua orang termasuk para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in maupun para penguasa harus tunduk pada hukum Allah (hukum Islam). Hukum Islam bertujuan untuk menemukan dan merumuskan kehendakNya. Kehendak Allah bukanlah suatu sistem yang statis dan telah ditentukan berlaku selamanya tanpa mengalami perubahan dan hanya dapat ditemukan dan dirumuskan oleh segolongan orang yang kelak dikenal dengan istilah para mujtahid, fuqaha’,ulama’, mutakallimun/teolog, dan mutashawwifun.9

Pada masa hidupnya, Nabi diakui sebagai suara otoritatif yang mewakili kehendak Tuhan. Ia dipandang sebagai penerima wahyu Tuhan, sehingga secara efektif berperan sebagai otoritas dalam masyarakat Muslim paling awal. Namun setelah beliau wafat, sahabat-sahabat dengan integritas moral yang tinggi mendapatkan wewenang atau menjadi sumber rujukan dalam memahami maksud dan kehendak Allah SWT. Sekaligus menghadapi kemelut serius untuk pertama kalinya tentang persoalan legitimasi dan otoritas.10

Krisis politik dan badai perubahan semakin kuat dan cepat di kalangan umat Islam. Sepeninggal sahabat-sahabat yang otoritatif tersebut, kekuasaan politik mengambil alih wewenang (otoritas) sampai pada abad ke-2 H. muncul calon pemegang otoritas yang sangat hebat dan luar biasa kuatnyauntuk menjadi pesaing, yaitu hukum Tuhan, syari’ah,11 yang dibentuk, disajikan, dan hadirkan

oleh sekelompok profesioanal tertentu yang dikenal dengan istilah fuqaha’ (para ahli hukum).12

Menurut Abou Fadl para ahli hukum Islam telah menjadi sumber legitimasi tekstual. Legitimasi mereka didasarkan pada kemampuan membaca, memahami, dan menafsirkan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan ini terekam, dan mungkin tersembunyi di dalam teks dan para ahli hukum itu itu bertugas

9Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad: Islamic

Research Institute, 1970), 28

10Untuk lebih jelasnya tentang khalifah-khalifah pada periode awal menganggap diri

mereka wakil Tuhan di muka bumi, dan karenanya mereka menganggap al-Qur’an sebagai sebuah sumber yang darinya mereka memutuskan keputusan-kemutusan mereka lihat Patricia Crone dan Martin Hinds, God’s Caliph: Religious Authority in The First Century of Islam (Cambrodge: Cambridge Univercity Press, 1986), 56. Lihat juga Khaled Abou el Fadhl, Atas Nama Tuhan, Dari Fiqh Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Jakarta: Serambi, 2004), 26

11Istilah syari’at juga ditemukan pada kitab suci agama-agama yang sudah muncul

terlebih dahulu sebelum Islam seperti dalam kitab Taurat, Talmud, dan injil. Untuk lebih jelasnya tentang sejarah dan asal usul syari’at lihat Muhammad Sa’id al-Asymawi, Kritik Nalar Syari’ah

(Jogjakarta; LKiS, 2004), 7-29

(4)

menemukan dan mengkajinya. Para ahli hukum itu telah melembagakan kekuasaan yang telah didasarkan pada kharisma ke dalam sebuah asosiasi hukum dengan struktur yang sangat formal dan hierarkis yang pada kenyataannya memiliki kekuatan memaksa yang sangat besar dalam berbagai fase sejarah Islam.13

Khaled Abou El Fadl mengatakan bahwa keberwenangan Tuhan selalu diwakili dan dinegosiasikan oleh manusia. dan, karena perwakilan oleh manusia tidak bisa lagi dihindari, proses negosiasinya pasti akan melibatkan keseimbangan yang rumit antara keberwenangan dan otoritarianisme. Keberwenangan manusia bersifat derivatif dan bukan berasal dari Tuhan atau dari teks (perintah Tuhannya), tapi dari manusia lain. Karena semua manusia diperintahkan untuk mengikuti perintah Tuhannya, maka logis untuk mengatakan bahwa manusia adalah wakil Tuhan.14

Beberapa wakil Tuhan (orang-orang Islam yang beriman dan saleh disebut dengan wakil umum) menundukkan keinginannya dan menyerahkan sebagian keputusannya kepada sekelompok orang atau wakil dari golongan tertentu (yaitu para ahli hukum). Mereka melakukan itu karena mereka memandang wakil dari golongan tersebut memiliki otoritas . kelompok khusus ini menjadi otoritatif karena dipandang memiliki kompetensi dan pemahaman khusus terhadap perintah Tuihan.15

Ada beberapa prasyarat dalam pelimpahan otoritas kepada wakil khusus atau para ahli hukum ini menurut Abou El Fadl. Masing-masing prasyarat tersebut harus dipenuhi atau dilaksanakan. Jika tidak, cukup masuk akal jika dikatakan bahwa, sejauh berkaitan dengan wakil umum, wakil khusus ini telah melakukan tindakan di luar batas kewenangan hukum yang dimilikinya dan mencederai kepercayaan yang diberikan kepada mereka.16Di antara prasyarat-prasyarat yang

menjadi landasan pelimpahan otoritas dari wakil umum kepada wakil khusus antara lain adalah kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri.17

Dengan meminjam istilah Umberto Eco, Khaled Abou Fadl menginginkan bahwa al-Qur’an dan sunnah (text) dipandang sebagai “karya yang terus berubah”, yakni membiarkan diri mereka terbuka bagi berbagai jenis interpretasi. Teks terbuka tidak hanya mendukung interpretasi yang majemuk tapi juga mendorong proses penelitian yang menundukkan teks dalam posisi sentral karena kehendak Tuhan dapat ditemukan melalui pendekatan kumulatif dan terus menerus.18

Ketika seorang pembaca bergelut dengan teks19 dan menarik sebuah hukum

dari teks, resiko yang dihadapinya adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks,

13 Khaeed Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif

(Jakarta: Serambi, 2004), h. 28

14ibid, 98 15ibid, 98 16ibid, 98 17ibid, 100-103

18Khaled, Abou el Fadl, Atas Nama.., 212

19Untuk membaca teks masa lampau, menurut gadamer ada tiga cara atau yang lebih

(5)

atau penetapan membaca akan menjadi perwujudan eksklusif teks tersebut. Akibatnya teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini, teks itu tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca memilih sebuah cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain, teks tersebut larut kedalam karakter pembaca. Jika pembaca melampaui dan menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah bahwa pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, melangit, dan otoriter.20

Oleh sebab itu diperlukan adanya sebuah jarak (space) antara pembaca, dan teks. Yang penting bukan apakah pembaca telah menampilkan makna sebenarnya dari seorang pengarang teks secara akurat, tapi apakah pembaca telah menghargai teks tersebut secara layak dengan mencoba memahaminya, bukan menolaknya.21

Makna dari sebuah teks tidaklah permanen dan akan berkembang secara aktif karena teks berbicara dengan makna yang diperbaharui kepada masing-masing generasi pembaca. Teks tetap relevan dan menduduki posisi sentral karena keterbukaannya memungkinkan dirinya untuk terus mengeluarkan makna. Selama teks bersifat terbuka, ia akan terus berbicara, dan selama ia berbicara ia akan terus relevan dan bermakna penting. Para pembaca akan selalu merujuk kepada teks karena teks akan menghasilkan pemahaman dan interpretasi baru.22

Berbeda halnya jika sebuah teks menjadi tertutup, tidak mampu lagi berbicara atau dibungkam suaranya, tidak ada alasan untuk menggeluti teks, dan bagaimanapun teks sudah membeku dan tertutup. Penutupan teks ini terjadi ketika pembaca bersikeras bahwa teks mengandung makna yang telah ditentukan, stabil, tetap, dan tidak berubah. Sebuah sumber akan menjadi teks yang tertutup ketika seorang pembaca menutup proses interpretasi dan menggabungkan teks dengan penetapan makna tertentu seperti misalnya jika makna dari sebuah hadith tertentu menjadi mapan, makna teks secara efektif telah dinyatakan tertutup.23

Karenanya pembacaan yang cermat dan ketat terhadap teks menjadi basis kesamaan tujuan dan kepastian. Ini membuat sejumlah kalangan menyatakan bahwa teks memiliki realitasnya dan integritasnya sendiri, dan realitas dan integritasnya berhak untuk dipatuhi. Umberto Eco menyatakan bahwa teks memiliki integritas mendasar yang harus dihormati bahwa pembaca tidak boleh menggunakan teks secara bebas. Teks harus dipandang sebagai entitas kompleks yang maknanya tergantung sejarah dan konteksnya. Richard Rorty mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk memberikan status sakral kepada teks. Sepertinya nilai sebuah teks ditentukan oleh bagaimana teks itu digunakan oleh pembaca, sehingga penggunaan teks dipandang sah selama ia melayani tujuan yang memiliki manfaat praktis. 24

Dalam tataran simbolis, penyelidikan interpretasi dalam Islam harus dimulai dan diakhiri dengan maksud pengarang karena maksud Tuhan

20Ibid, 206 21Ibid, 211

22Hal ini disebabkan karena para penafsir membawa “kepentingan”nya sendiri-sendiri

dalam memproduksi komentar-komentar terhadap al-Qur’an (teks), karenanya tidaklan mengherankan jika beragam makna dan penafsiran dari tiap generasi. Untuk lebih jelasnya lihat t Farid Esack, Qur’an: Liberationand Pluralism(Oxford; Oneworld, 1997), 161

(6)

menentukan segalanya. Syari’ah merupakan salah satu produk dari upaya untuk mencari jalan Tuhan yang menuntut bahwa kehidupan yang baik harus dijalani dengan mengikuti arahan Tuhan melalui berbagai macam dalil. Dalil merupakan salah satu petunjuk untuk menunjukkan jalan menuju Tuhan. Wadah penampung petunjuk tersebut adalah teks, sehingga tugas satu-satunya yang dihadapi oleh seorang pembaca adalah mencari kehendak sebenarnya dari seorang pengarang teks.25

Jika kita ingin membaca teks untuk menganalisa sebuah petunjuknya dan untuk menarik implikasi normatif darinya, pembacaan yang bersifat historis mutlak diperlukan. Untuk mengkaji dinamika antara teks dan konteks historisnya, teks harus dibaca dengan sebuah pemahaman akurat tentang kaitan antara teks dan relevansi historisnya. Pembaca yang cermat akan mempertimbangkan fakta bahwa sebuah teks muncul pada masa lalu dan juga muncul pada masa kini. Sebuah teks pada masa lalu akan menyampaikan sebuah makna atau serangkaian makna dalam konteks masa lalu.memahami sebuah konteks masa lalu akan membantu kita menghindari bentuk anakronisme yang dipandang sebagai proyeksi oportunistik dan subyektifitas seorang pembaca atas sebuah teks.26

Teks tidak bersifat pasif dan para pembaca juga tidak mendekati teks dengan kepala kosong. Para pembaca mendekati teks dengan asumsi-asumsi dan normatifitas-normatifitas yang mereka bawa untuk diterapkan dalam proses interpretasi. Dinamika interaktif menciptakan komunitas interpretasi. Tapi pembacaan yang berkesinambungan dan pembacaan ulang terhadap interpretasi dan reinterpretasi terhadap teks, dapat menyusun ulang asumsi-asumsi para anggota komunitas interpretasi, dan konsep-konsepnya tentang makna.

Mengenai asumsi dasar tentang komunitas interpretasi, Khaled Abou Fadlmenyebutkan empat jenis. Asumsi-asumsi tersebut berfungsi sebagai landasan untuk membangun analisis hukum, dan seringkali berfungsi sebagai batas luar bagi penetapan hukum. Keempat jenis asumsi dasar tersebut adalahpertama, asumsi berbasis nilai, menurut Abou Fadlasumsi berbasis nilai ini harus dibangun atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau mendasar oleh sebuah sistem hukum. Asumsi-asumsi tersebut menjadi nilai-nilai mendasar dalam sebuah budaya hukum, atau apa yang oleh komunitas interpretasi hukum tertentu dipandang sebagai asumsi yang secara normatif diperlukan. Misalnya pelestarian kehidupan, perlindungan terhadap hak milik, pentingnya menjaga kesopanan, kebebasan berbicara, atau peningkatan berbagai bentuk ekspresi diri bisa menjadi nilai normatif yang mendasar sebagai sebuah sitem hukum.27

25 Khaled Abou El Fadl, Atas Nama.., 190 26 Ibid., 192

27Teori hukum Islam seringkali membedakan antara apa yang disebut apa yang disebut

dengan dharuriyyat (kemendesakan yang bersifat mendasar), hajjiyyat (kebutuhan mendasar) dan

(7)

Kedua, asumsi metodologis.Menurut Abou Fadl, asumsi metodologis pada sisi-sisi tertentuberbeda dengan asumsi-asumsi berbasis nilai, dan pada sisi yang lain asumsi-asumsi metodologis cenderung tumpang tindih dengan asumsi nilai dalam sistem hukum. Misalnya persoalan apakah konsensus para ahli hukum Madinah bisa menjadi dasar hukum, merupakan persoalan metodologis. Asumsi-asumsi metodologis terkait dengan sarana atau langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan normatif hukum. Asumsi-asumsi semacam itu diakui sebagai perangkat bantu yang mempermudah tercapainya tujuan hukum. Asumsi-asumsi metodologis mungkin muncul dari pendekatan teoritis yang sistematis terhadap hukum, tetapi asumsi-asumsi tersebut cenderung bertahan dan berkembang melalui kekuatan kebiasaan. Asumsi-asumsi tersebut menjadi kerangka yang selalu digunakan oleh budaya hukum dalam menghasilkan hukum. Yang penting dicatat adalah bahwa perdebatan antara berbagai madzhab hukum sangat dipandang bersifat metodologis. Tidak jarang persoalan persoalan metodologis sangat terkait erat dengan asumsi-asumsi berbasis nilai yang menjadikannya tidak selalu mungkin bagi kita untuk dapat membedakan antara asumsi-asumsi metodologis dan asumsi-asumsi berbasis nilai. Misalnya persoalan apakah kepentingan publik dapat mengalahkan atau menyingkirkan bukti tekstual, atau peran kepentingan mendesak (dharuriyyat) dalam menciptakan pengecualian hukum, atau peran istihsan atau ‘urf termasuk dalam persoalan-persoalan metodologis yang sangat terkait erat dengan asumsi-asumsi berbasis nilai seperti pentingnya kesejahteraan publik, perlunya keadilan yang bersifat individual, dan signifikansi praktik sosial.28

Ketiga, asumsi berbasis akal. Menurut Abou Fadl asumsi berbasis akal

ini berbeda dengan dua asumsi sebelumnya,asumsi berbasis akal memperoleh eksistensinya dari logika atau bukti hukum pada penetapan hukum yang bersifat substantif. Ia bukanlah hasil dari dinamika langsung antara Muslim dengan Tuhannya, tapi didasarkan pada hubungan antara seorang Muslim dengan dan berbagai bukti atau perintah Tuhan yang ia temukan. Asumsi berbasis akal diklaim bersandar pada potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif. Asumi semacam itu dipandang sebagai sebagai hasil dari proses objektif dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional, dan bukan hasil dari pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat pribadi. Asumsi berbasis akal tidak mengakui pengaruh nilai normatif, tapi ia menegaskan sikap yang moderat dan objektif. Persoalan yang bersifat menentukan bagi jenis asumsi ini adalah bahwa, seperti halnya pembacaan literal terhadap hukum, ia mengklaim sebagai bebas nilai, dan didasarkan hanya pada bobot pembuktian.29

Keempat, asumsi berbasis iman. Asumsi berbasis iman ini menurut Abou

Fadl lahir dari sebuah hubungan tambahan antara wakil dan Tuannya. Asumsi-asumsi ini tidak mengklaim diperoleh langsung dari perintah Tuannya, tapi dari dinamika antara wakil dan Tuannya. Asumsi-asumsi berbasis iman ini dibangun di atas apa yang kita sebut dengan pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya. Dengan demikian, asumsi-asumsi ini

(8)

membentuk kesadaran atau keyakinan mendasar yang tidak akan dibagikan atau dipertanggungjawabkan kepada orang lain. 30

Dari hasil analisisnya, Abou Fadl menemukan sering terjadi tumpang tindih antara asumsi-asumsi berbasis iman dengan asumsi-asumsi berbasis teologis, bahkan asumsi berbasis teologis ini lebih berpengaruh terhadap penetapan hukum. Namun asumsi-asumsi berbasis teologis seringkali didasarkan pada bukti-bukti teks dan asumsi berbasis iman merupakan hasil dari sesuatu yang kurang konkrit. Demikian juga antara asumsi berbasis nilai dan asumsi berbasis iman sering terjadi kertertumpangtindihan.Asumsi berbasis nilai mengklaim dirinya bersumber hanya dari analisis teks, atau analisis terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar dari perintah-perintah Tuhan, sementara asumsi-asumsi berbasis iman terkait dengan pemahaman tentang Tuhan itu sendiri. Dalam beberapa hal, asumsi berbasis iman terkait dengan normativitas Tuhan, dan asumsi-asumsi berbasis nilai terkait dengan normativitas perintah-Nya.31

Oleh karena itu, sebuah komunitas interpretasi harus mampu mengetahui karakteristik utama dari asumsi-asumsi dasarnya apakah ia bersifat normatif, metodologis, didasarkan pada bukti, atau semata persoalan keimanan dan keyakinan? Menurut Abou Fadl, menjelaskan dan secara kritis menganalisis karakteristik dari asumsi-asumsi komunitas interpretasi tersebut akan menambah keterpaduan diskursus tersebut. Penggunaan berbagai asumsi-asumsi di atas secara intrinsik bukanlah tindakan otoriter. Tapi ketika asumsi-asumsi tersebut berubah menjadi objek loyalitas dan akhirnya menggantikan keberwenangan Tuhan dan perintah-Nya, maka asumsi-asumsi tersebut menjadi problematis. Sejauh mengenai asumsi-asumsi nilai, akal, dan metodologis, moralitas tertingginya adalah moralitas proses, bukan moralitas hasil.32

Dalam pandangan Abou Fadl, sebuah teks tidak memuat kehendak pengarang, sebuah teks memuat upaya pengarang atau pandangan tertentu berkaitan dengan maksud pengarang. Dengan kata lain teks hanya menceritakan kepada kita apa yang dipandang pengarang sebagai hal yang penting tentang dirinya untuk diungkapkan kepada pembaca berdasarkan dinamika historis tertentu yang ia hadapi. Maksud pengarang seperti terungkap dalam teks, terikat oleh pembaca, konteks historis dan bahasa. Teks juga tidak mewakili kehendak Tuhan dan juga tidak mewakili kehendak pengarang. Teks mewujudkan petunjuk-petunjuk kehendak Tuhan dan juga kehendak pengarang.33

Jika memang teks memegang peranan penting dalam menggapai kehendak Tuhan, maka harus dipelihara adanya dinamika proses penentuan makna secara “demokratis”. Dengan begitu, makna tidak boleh digenggam, dicengkram, dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh salah satu atau beberapa aktor yang membelakanginya. Perimbangan kekuasaan dalam penentuan makna perlu terus menerus dijaga dan dipelihara antara pengarang (author) pembaca (reader) dan teks (text). Dominasi atau kekuasaan yang berlebihan pada salah satu pihak akan menyebabkan kebuntuan intelektual.

(9)

Oleh karena itu menurut Abou Fadl agar dapat menentukan makna atau petunjuk-petunjuk kehendak Tuhan, maka antara teks dan pembaca harus melakukan proses negosiasi dan konstruksi. Proses negosiasi inilah yang akhirnya menjadi penentu makna. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa makna merupakan hasil sebuah interaksi antara pengarang, teks dan pembaca, artinya harus ada sebuah negosiasi antara ketiga belah pihak dan bahwa salah satu pihak tidak boleh mendominasi yang lain dalam proses penetapan makna.

C. Terminologi Moderat dan Puritan dalam Perspektif Khaleed Abou El Fadl

Terminologi moderat di derivikasi dari beberapa riwayat hadith Nabi tatkala dihadapkan pada dua pilihan ekstrim. Nabi selalu dilukiskan sebagai sosok moderat yang cenderung menolak terjatuh pada kutub ekstrim. Orang-orang yang dinamai kelompok moderat sudah secara beragam digambarkan sebagai kelompok modernis, progressif, dan reformis. Namun menurut Khaled Abou Fadl tak ada satupun dari istilah-istilah tersebut bisa menggantikan kata moderat.

Istilah modernis mengisyaratkan pada suatu kelompok yang berusaha mengatasi tantangan modernitas, sementara yang lain bersikap reaksioner seperti ingin kembali ke masa lalu. Banyak kalangan moderat mengklaim diri merepresentasikan diri sebagai muslim sejati dan autentik. Namun dalam hal lain, mereka menegaskan bahwa mereka tidak mengubah agama. Sebaliknya mereka berupaya mengajak umat Islam kembali ke keyakinan orisinal mereka. Namun satu hal yang pasti bahwa istilah moderat lebih tepat menggambarkan pendirian keagamaan mayoritas umat Islam dibandingkan reformis dan progressif.34

Sedangkan term puritan sudah dideskripsikan oleh beragam penulis dengan istilah fundamentalisme, militan, ektrimis, radikal, fanatik, jahidis, dan bahkan cukup dengan istilah islamis. Namun Khaled Abou Fadl lebih suka menggunakan term puritan didasarkan dari ciri yang menonjol kelompok ini dalam hal keyakinannya menganut faham absolutisme yang tak kenal kompromi. Dalam banyak hal orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai suatu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.35

Istilah fundamentalis menurut Khaled Abou Fadl adalah sebuah istilah yang sangat problematis untuk disandingkan dengan kata Islam. Menurutnya semua kelompok dan organisasi Islam menyatakan setia menjalanjan ajaran-ajaran fundamental Islam. Bahkan gerakan paling liberal pun akan menegaskan bahwa cita-cita dan pendirian mereka merepresentasikan ajaran-ajaran iman secara lebih baik. Istilah fundamentalis sangat tidak pas untuk konteks Islam karena dalam bahasa Arab istilah tersebut dikenal dengan nama “ushuli” yang berarti seseorang yang bersandar pada hal-hal yang bersifat pokok dan mendasar. Jadi ungkapan “fundamentalisme Islam” akan memunculkan mispersepsi yang tak bisa dihindari 34Tentang berbagai macam terminologi gerakan Islam masa kini lihat Ulil Abshar

Abdallah, Menegaskan Kembali Mashlahat, Pengantar, dalam Zuhairi Mishrawi dan Novriantoni,

Doktrin Islam Progressif Memahami Islam Sebagai Ajaran Rahmat (Jakarta: LSIP dan TIFA, 2004) h. vii dst

35 Khaleed Abou El Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta, Serambi,

(10)

bahwa hanya kelompok fundamentalis saja yang penafsiran mereka bedasarkan al-Qur’an dan al-hadith.36

Sedangkan istilah ekstrimis, fanatis, dan radikal benar-benar menawarkan alternatif yang masuk akal. Yang pasti, Taliban dan al-Qaeda adalah ekstrimis, fanatis, dan radikal. Secara kebahasaan, ekstrimis adalah lawan kata moderasi. Dengan mencerrmati kelompok ini dalam kaitannya dengan pelbagai isu, tampaklah bahwa mereka secara konsisten dan sistematis menganut absolutisme, berfikir dikotomis, dan bahkan idealistik. Pada isu tertentu, sebagaimana mereka menafsirkan warisan Nabi dan para sahabat, kelompok ini cenderung menganut absolutisme, kaku, dan puritan, tidak ekstrimis atau radikal. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang disebutkan diatas tidak selalu dalam setiap isu fanatik, radikal atau ekstrimis, tetapi mereka selalu puritan. Karena ciri khas dari pemikiran mereka adalah bahwa mereka menganut absolutisme dan menuntut adanya kejelasan dalam menafsir teks, bukan watak fanatik, radikal atau ekstrimis.37

D. Pemetaan Khaleed Abou Fadl terhadap Pandangan Kaum Moderat Tentang HAM

HAM dan demokrasi merupakan konsep yang yang sangat sensitif,

kontroversial, dan debatable dalam diskursus keislaman. Di satu sisi kedua konsep tersebut membawa implikasi positif bagi keberlangsungan hidup masyarakat di dunia dan disatu sisi hal tersebut dipandang diskriminatif oleh yang lainnya khususnya oleh umat Islam. Khaleed Abou Fadl mencoba melakukan pemetaan terhadap respon dan pandangan umat Islam terhadap kedua konsep ini yang dia bagi menjadi dua kelompok besar yakni kaum moderat dan kaum puritan.

Tentang hak-hak asasi manusia, banyak muslim moderat sangat skeptis terhadap pandangan yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah konsep universal yang keliru atau HAM adalah merupakan praktik khas Barat dan tidak sesuai atau tidak pas dengan budaya lain dimanapun.38 Di balik klaim-klaim

seperti itu tersembunyi suatu etnosentrisme tertentu karena mereka sama saja mengatakan bahwa masyarakat non Barat pada dasarnya tidak sanggup hidup dibawah sistem pemerintahan non demokrasi yang dibatasi oleh aturan hukum, dan juga tidak sanggup memahami atau menghargai hak-hak asasi manusia.

Muslim moderat percaya bahwa mengupayakan penghargaan dan penegakan hak-hak asasi manusia sebagai tujuan etis yang hendak dicapai merupakan perkara prinsip moral yang mendasar, dan jauh dari konsep universal yang keliru.39 Muslim moderat juga percaya bahwa sementara bisa sangat tidak

jujur untuk berlagak bahwa hukum Islam menawarkan daftar hak-hak asasi

36Untuk lebih jelasnya tentang terminologi istilah fundamentalis, Islam radikal, Islam

Revivalis dan yang sepadan dengannya lihat Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1987), h. 4

37Ibid…., h.31

38 Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, Tradition dan Politics (London: Pinter

Publishers, 1995), h. 8-9

39 Berbagai tanggapan pro dan kontra tentang HAM dalam Islam dan dunia Arab lihat

(11)

manusia yang siap pakai, hak-hak asasi manusia sebagai sebuah konsep dan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan benar-benar bisa dipertemukan dengan teologi hukum Islam. Sejumlah kaum moderat bahkan melangkah lebih jauh lagi dan berpendapat bahwa tak hanya Islam dan demokrasi serta hak-hak asasi manusia bisa dipertemukan, melainkan bahwa Islam memerintahkan dan menuntut sebuah sistim pemerintahan yang demokratis.40

Kaum moderat mengemukakan bahwa minimal semua manusia

mempunyai hak akan harga diri dan kebebasan. Keyakinan orang-orang moderat terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia diawali dengan premis bahwa penindasan adalah pelecehan besar-besaran terhadap Tuhan dan manusia. Al-Qur’an mendeskripsikan para penindas sebagai perusak bumi dan juga

menggambarkan penindasan sebagai bentuk penghinaan terhadap Tuhan. Dalam pemikiran moderat, diakui bahwa semua manusia berhak atas harga diri. Al-Qur’an dengan jelas menganugerahkan harga diri pada setiap manusia.41

Terkait dengan kebebasan dan persamaan hak antar sesama manusia kaum moderat mengatakan bahwa diperbudak dan ditundukkan oleh manusia pada dasarnya tidak selaras dengan kewajiban untuk tunduk kepada Tuhan tanpa syarat. Sesungguhnya al-Qur’an mengundang umat Islam dan kaum non muslim untuk menciptakan sebuah konsensus diantara mereka untuk menyembah Tuhan semata dan tidak memperlakukan satu sama lain sebagai tuhan. Bagi orang-orang

moderat, ayat ini memancangkan sebuah prinsip mendasar dan krusial bahwa manusia semestinya tidak mendominasi satu sama lain. Satu-satunya ketundukan yang bernilai etis adalah ketundukan kepada Tuhan, sedangkan ketundukan manusia dihadapan manusia lain tak lain adalah sebentuk penindasan. Diskursus al-Qur’an ini merangsang umat Islam dan kaum nonmuslim untuk menemukan sebuah tatanan yang dapat menjadi acuan bagi mereka untuk tidak saling mendominasi.42

Dalam tradisi Islam, keadilan adalah sebuah nilai inti dan mendasar. Para sarjana klasik menekankan keadilan sebagai kewajiban Islam sampai-sampai sebagian dari mereka berpendapat bahwa dimata Tuhan, masyarakat nonmuslim yang adil lebih baik nilainya dibandingkan masyarakat muslim yang tidak adil. Para sarjana klasik lainnya mengemukakan bahwa ketundukan sejati kepada Tuhan adalah mustahil adanya bila ketidakadilan merambah dimana-mana ditengah-tengah masyarakat.43

40Kevin Dwyer, Islamic Voice: The Human Rights Debate in Middle East (Berkeley:

Univercity of California, 1991), h. 40

41 Untuk lebih jelasnya lihat Mashood A. Baderin, International Human Rights And

Islamic Law (London: Oxford University Press, 2003), h. 13.

42 Pada masalah-masalah tertentu hal ini dapat dilaksanakan dengan baik seperti masalah

persamaan hak di depan hukum, namun dalam hal lain seperti masalah kebebasan akan sangat sulit untuk mencari titik temu diantara keduanya karena antara Islam dan Barat berasal dari budaya dan karakter yang berbeda. Untuk lebih jelasnya lihat Seyyed Hossein Nashr, Islamic Life and Thought

(New York: State Univercity of New York Press, 1992), h. 16. Khaleed Abou Fadl, Selamatkan Islam…, h. 223

(12)

Landasan keadilan adalah memberikan hak kepada setiap orang. Keadilan yang sempurna berarti mencapai keseimbangan yang juga sempurna antara kewajiban dan hak. Orang-orang moderat berfikir bahwa penegakan keadilan menuntut umat Islam untuk harus berupaya membangun suatu sistem politik yang paling berpeluang menciptakan antara keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam masyarakat. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa pencapaian keadilan mewajibkan umat Islam untuk menemukan suatu sistem yang memungkinkan umat setiap orang untuk menemukan akses terhadap kekuasaan dan institusi dalam masyarakat yang bisa membenahi ketidakadilan dan melindungi orang dari penindasan.44

Al-Qur’an dan al-Hadith memperjelas bahwa manusia punya hak atas pemerolehan hak-hak dan perlindungan di dalam hidup. Dalam tradisi

yuriprudensi Islam, para sarjana klasik telah menyusun skema hak asasi manusia berdasarkan apa yang disebut sebagai “kepentingan yang terlindungi” yang ada pada diri manusia. Para sarjana klasik mendefinisikan lima kepentingan yang terlindungi adalah kehidupan, akal, keturunan, reputasi dan harta. Karena itulah, sistem politik dan hukum Islam harus melindungi dan memperjuangkan kelima hak terlindungi tersebut.45

Demi meningkatkan fungsi dan perlindungan yang diberikan lima kepentingan itu para sarjana klasik menyusun tiga kategorisasi, dengan menegaskan bahwa isu-isu yang terkait dengan semua kepentingan yang terlindungi itu bisa dibagi ke dalam kategori dharuriyat, (kemendesakan yang mendasar atau kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan mendasar atau kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat (kemewahan atau kebutuhan tersier).

Dharuriyyat terdiri atas sesuatu yang mendasar dan esensial bagi

kelangsungan dan perlindungan kepentingan atau hak-hak diatas. Dharuriyyat adalah segala sesuatu yang bila tidak tersedia akan menjadikan kepentingan atau hak-hak diatas tidak bisa terlindungi sama sekali.

Hajjiyat berada sedikit di bawah level dharuriyyat, hajjiyat atau kebutuhan sekunder adalah segala sesuatu yang sangat penting bagi perlindungan

kepentingan atau hak yang dimaksud, tetapi tidak sedemikian darurat. Tidak seperti dharuriyyat, jika dharuriyyat tidak terpenuhi, maka kepentingan atau hak tersebut masih bisa terlindungi, meskipun sangat melemah.

Tahsiniyyat merupakan kebutuhan yang tidak mendesak dan tidak juga sangat penting bagi perlindungan kepentingan atau hak. Sebaliknya, jika terpenuhi tahsiniyyat akan menyempurnakan dijalankannya kepentingan atau hak tersebut.46

Para sarjana klasik tidak mendefinisikan apa yang secara pasti menentukan sesuatu sebagai dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Akan tetapi pada

prinsipnya, mereka berupaya membedakan antara hal-hal yang harus dijamin pemenuhannya bagi orang, sebab hal tersebut sangat esensial dan menjadi sendi kehidupan yang sehat, terhormat, dan bermartabat. Para sarjana klasik

44 Ibid, h. 119

45Lima bentuk perlindungan ini dapat dikatakan sebagai konsep atau teori tentang

perlindungan hak-hak asasi manusia dalam Islam. Term ini dikenal dengan istilah al-kulliyah al khamsah atau maslahah al-mu’tabarah selanjutnya lihat ‘Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh

(Kuwait: Darl al-Qalam, tt) h. 200-201.

(13)

berpendapat bahwa apa yang seyogyanya dipandang sebagai dharuriyyat,

hajjiyat, dan tahsiniyyat bergantung pada setiap generasi muslim untuk

mengeksplorasi dan menentukannya, sesuai dengan tuntunan lingkungan yang bergeser dari waktu yang berubah.

Menurut teori klasik, masyarakat yang berkesederajatan dan adil akan memberlakukan dharuriyyat sebagai suatu yang sangat khusus dan tidak kenal kompromi. Sebuah masyarakat yang bisa melindungi hajiyyat manusia,

melengkapi dharuriyyat, akan dipandang lebih adil dan berkesederajatan.

Akhirnya sebuah masyarakat yang bisa memberikan tahsiniyyat kepada manusia, melengkapi perlindungan terhadap dharuriyyat dan hajiyyat, akan menjadi masyarakat yang paling adil dan berkesedarjatan.47

Kaum moderat ingin membangun tradisi bernilai ini dengan mencoba memancangkan apa saja yang mendesak untuk diperjuangkan oleh manusia, dan juga mencoba untuk mengeksplorasi apa yang boleh jadi bukan sebuah

kemendesakan dalam hidup akan tetap dipandang cukup penting untuk berposisi sebagai kebutuhan atau kemewahan. Kaum moderat berpendapat bahwa, minimal perdebatan klasik mengenai dharuriyyat dan hajjiyyat seyogyanya diterjemahkan di era modern menjadi hak-hak yang bisa bisa melindungi kepentingan individu.48

Tuhan dan manusia sama-sama memiliki hak. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa sementara hak-hak Tuhan akan ditetapkan di hari akhir olehNya, hak-hak individu atau manusia harus dijaga dan ditegakkan oleh manusia di muka bumi. Pada praktiknya, Tuhan akan peduli dengan hak-hakNya di hari akhir, tetapi manusia harus peduli dengan hak-hak mereka dimuka bumi, dengan mengakui hak asasi manusia dan melindungi kesucian hak-hak asasi tersebut.49

E. Pemetaan Khaleed Abou Fadl terhadap Pandangan Kaum Moderat dan Puritan Tentang Demokrasi

Kaum moderat percaya bahwa ada beberapa konsep dan praktik lain dalam warisan Islam yang mendukung prinsip demokrasi. Al-Qur’an dengan jelas memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan semua urusannya lewat musyawarah (syura). Orang-orang moderat membaca ayat ini sebagai perintah Tuhan yang menandaskan kembali tidak dibenarkannya penindasan dan

kesewenangan. Pengambilan keputusan harus tidak oleh orang atau elit despotik. Sebaliknya, umat Islam harus menemukan cara untuk menetapkan keputusan sebagai hasil dari interaksi demokratis diantara banyak orang.50

Melengkapi prinsip musyawarah, ketika Nabi untuk kali pertama memasuki kota Madinah, beliau menyusun sebuah konstitusi yang jelas

memaparkan kewajiban, tugas, dan hak-hak masing-masing kelompok suku (dan juga orang-orang non muslim yang tinggal di Madinah) yang dikenal dengan

47Ibid., h 228-229 48 Ibid., h. 230

49 Ibid., h. 224

(14)

nama Piagam Madinah.51 Preseden sejarah ini memperkuat gagasan bahwa sistem

politik yang sah dalam Islam haruslah pemerintahan konstitusional.

Preseden atau kasus lain yang kerap dikutip dan dijadikan sandaran oleh kaum moderat adalah dibentuknya lembaga perwakilan diawal sejarah Islam yang dikenal dengan istilah ahl-hall wa al-‘aqd.52 Sebelum wafat, khalifah kedua, Umar

Ibn al-Khattab, menunjuk sejumlah tokoh dan tetua dan terkemuka yang mewakili beragam komunitas di Negara Islam dan memberi mereka kekuasaan untuk memerintah negara dalam periode transisi setelah ia wafat dan kemudian juga memilih khalifah ketiga yang akan memimpin negara muslim. Alasan mereka dikatakan sebagai ahl-hall wa al-‘aqd adalah untuk menandai bahwa sebagai wakil komunitas, mereka punya kekuasaan untuk membuat keputusan yang mengikat pada komunitas itu.53

Terakhir kaum moderat bertumpu pada konsep sensus (‘ijma), atau persetujuan bersama dari sekelompok orang bahwa isu tertentu salah atau benar. Kaum moderat telah mencoba menafsirkan kembali konsep konsensus untuk menopang ide demokrasi yang ditentukan oleh kehendak mayoritas. Kaum moderat berpendapat bahwa untuk tujuan memerintah suatu negara, kehendak rakyat merepresentasikan kedaulatan politik, dan kehendak ini mengikat, dan bersifat wajib. Selain itu mereka menegaskan bahwa pandangan-pandangan atau atau suara setiap warga, muslim atau yang lain, seharusnya juga dipertimbangkan dalam rangka mendapatkan kehendak mayoritas, sehingga nanti dapat

menggambarkan kehendak rakyat.54

Oleh sebab itu, kehendak mayoritas harus dihormati, tetapi dalam bingkai parameter konstitusional; jika melanggar batas-batas konstitusional ini kehendak mayoritas tidak akan dihargai. Dengan kata lain, kehendak mayoritas segera dinyatakan sebagai tidak konstitusional. Beberapa orang moderat mengutarakan bahwa parameter konstitusional seharusnya tidak dibatasi pada masalah hak-hak individu, melainkan mencakup pula prinsip-prinsip etis dan moral Islam.

51 Robert N. Bellah seperti yang dikutip oleh Yudi Latif juga menyebut sistem Madinah

sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif (equalitarian participant nationalism). Hal ini berbeda dengan sistem republik negarakota Yunani kuno, yang membuka partisipasi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi 5 persen dari penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Nabi merupakasn sebuah trobosan yang sangat modern dalam sistem ketatanegaraan dunia khususnya Islam, untuk lebih jelasnya lihat Yudi Latif, Tafsir Sosiologis Atas Piagam Madinah, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.). Islam, HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arif Institute for Culture and Humanity, 2007) h. 21

52Al mawardi menamakan orang-orang yang dikelompokkan sebagai orang yang berhak

memilih kepala negara dengan istilah ahl al-ikhtiyar sedangkan ahl al-imamah adalah orang yang dikelompokkan sebagai orang yang berhak dipilih menjadi pemimpin negara, untuk lebih jelasnya lihat Abu Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Darl al Kutub al-‘Ilmiyah, tt), h.6

53 Ahl-Hall wa al-‘aqd diartikan sebagai orang-orang yang mempunyai wewenang

melonggar dan mengikat. Istilah ini telah dirumuskan oleh ulama fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka dalam pemilihan. Untuk lebih jelasnya lihat Muhammad Dhiya al-Din Al Rayis, Al-Nazariyat Siyasah al-Islamiyah (Mesir, Maktabah al Anjlu, 1957), h. 167-168. Khaleed Abou el Fdl, Selamatkan Islam…, h. 231

(15)

Konsekuensinya, jika mayoritas menghendaki sebuah undang-undang yang berbenturan dengan prinsip etika dan moral Islam, maka undang-undang tersebut akan dianggap inkonstituional.55

Ketika membincangkan tentang demokrasi, salah satu persoalan paling sentral adalah isu kedaulatan yakni siapa yang memegang kedaulatan di dalam sebuah sistem demokrasi? Pertanyaan ini terkait dengan pertanyaan siapa pemilik otoritas puncak dan terakhir? Bagi beberapa orang moderat sudah menyuarakan beberapa pendapat terkait dengan hal ini.56Pertama, bahwa otoritas terakhir ada

pada Tuhan, dan dengan begitu Tuhanlah pemegang kedaulatan. Akan tetapi Tuhan telah mendelegasikan otoritas total kepada manusia untuk menjalankan urusan-urusan mereka sesuai dengan kehendak mereka. Tuhan menunda hakNya untuk memberikan pahala atau menghukum siapa yang dikehendakinya kelak di akhirat.

Kedua, bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan sepanjang

menyangkut hukum yang mengatur masalah-masalah manusia. Tuhan memegang kedaulatan dalam hal-hal yang menyangkut hukum abadi. Karena tugas manusia adalah mengatur hukum yang menyangkut masalah-masalah manusia, dan bukan hukum abadi, manusia bebas mengatur sepanjang peraturan itu berupaya

mewujudkan nilai-nilai kebertuhanan di muka bumi.(yaitu berupaya memenuhi hukum abadi). Jika peraturan itu gagal menegakkan nilai-nilai kebertuhanan di muka bumi, hukum semacam itu harus dinyatakan sebagai tidak konstitusional.57

Ketiga, mereka mengatakan bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan

karena urusan-urusan Tuhan diserahkan kepada tuhan, dan urusan-urusan negara diserahkan pada manusia dan nampaknya pendekatan terakhir ini lebih dekat dengan pandangan sekuler.

Isu selanjutnya yang menjadi diskusi bagi kalangan moderat adalah peran yang diharapkan dari hukum syari’at atau hukum agama di dalam sebuah sistem demokrasi muslim. Isu terakhir ini terbukti sangat menantang, dan karena itu mencuatlah begitu beragam pandangan. Pandangan-pandangan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi empat pandangan yakni:

Pertama, mereka menyatakan bahwa peraturan hukum seharusnya

ditentukan ditangan rakyat, kecuali untuk sekelompok peraturan hukum yang bersifat inti yang dikenal dengan istilah hudud. Hudud adalah sehimpunan hukum yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an. Hukum tersebut meliputi

seumpamanya, hukuman bagi bagi kasus zina dan pencurian. Walaupun hudud

mencakup hukuman pidana yang keras, aspek kekerasan dalam hudud ini menjadi terkurangi oleh kenyataan bahwa syarat pembuktian yang dibutuhkan untuk bisa memberlakukan hukuman ini sangat detail dan banyak persyaratannya.

Kedua, beberapa orang moderat tidak mengamini pandapat di atas dan

berpendapat bahwa demokrasi islam seharusnya tidak berupaya menerapkan 55 Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam,…. 232-233

56 Dalam terminologi Barat hal ini disebut sebagai Teiori Kedaulatan Tuhan sedangkan Al

Maududi menyebutnya sebagai Teo Demokrasi. Lihat, Abul A’la Al-Maudadi, et al. Esensi Al-Qur’an Filsafat Politik, Ekonomi, Etika.( Mizan: Bandung, 1984) h. 87.

57Bandingkan dengan pembedaan kekuasaan yang dikemukakan oleh Khallaf dalam

Abdul Wahhab Khallaf, Al Siyasah al-Syar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan, Politik Hukum Islam

(16)

bagian apapun dari huku Syari’at, dan bahwa satu-satunya hukum yang relevan hukum yang dibuat oleh badan legislatif. Dalam pendekatan ini Syari’at berfungsi sebagai panduan moral dan etika, tetapi rakyat secara keseluruhan seharusnya menjadi sumber satu-satunya bagi proses legislasi.

Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa dalam demokrasi Islam, badan

legislatif seharusnya memasukkan hukum apapun yang dipandangnya tepat. Namun demikian, harus ada sebuah peradilan tertinggi yang bisa menghapus setiap undang-undang yang tidak sejalan dengan al-Qur’an. Keempat, bahwa undang-undang itu milik rakyat, dan dengan begitu badan legislatif harus bebas menyetujui perundangan yang mereka anggap tepat. Akan tetapi undang-undang harus sesuai dengan standart moral dasar tertentu yang beroleh

inspirasinya dari Syari’at. Perundang-undangan yang mencederai moral, bahkan jika dikehendaki oleh sebuah badan legislatif, seharusnya dinyatakan tidak konstitusional atau batal.58

Kemudian bagaimana dengan pandangan kaum puritan terhadap masalah demokrasi ini? Menurut Khaleed Abou el Fadl, nyaris semua yang telah diuraikan dimuka adalah merupakan perilaku bid’ah. Menurut orang-orang puritan bahwa demokrasi adalah temuan orang Barat, dan ini cukup menjadi alasan untuk menolaknya. Selain itu orang-orang puritan bersikukuh pada perlunya penciptaan kembali lembaga khalifah sebagai landasan sistem pemerintahan Islam. Dengan ini mereka membayangkan model yang dibangun oleh keempat Khulafa’ al rashidun, yang memegang kekuasaaan setelah meninggalnya Nabi. Orang-orang puritan berusaha menciptakan apa yang mereka bayangkan sebagai replika sistem pemerintahan yang dibangun oleh empat khalifah ini.59

Kenyataan yang gagal diakui oleh orang-orang puritan adalah bahwa para khalifah itu tidak mengambil satu bentuk pemerintahan saja; sebaliknya setiap mereka menerapkan kebijakan-kebijakan yang berbeda dan menciptakan institusi yang berlainan. Dalam kenyataannya, para khalifah itu tidak merepresentasikan suatu teori pemerintahan tertentu, melainkan sebuah institusi historis yang berhasil menyatukan banyak umat Islam pada waktu yang berlainan di masa silam. Intinya, khalifah menjadi suatu simbol kesatuan umat Islam tanpa serta merta membentuk suatu model pemerintahan tertentu.60

Menurut orang-orang puritan, sistem pemerintahan yang tegak diera yang diklaim sebagai masa keemasan khalifah adalah “sistem syuro”, yang ditegaskan oleh orang-orang puritan sebagai lebih tinggi dibandingkan dengan sistem demokrasi Barat. Seperti yang disebut dimuka, syuro adalah konsep al-Qur’an yang berarti pemerintahan atas dasar musyawarah. Akan tetapi anehnya, orang-orang puritan berbicara seolah-olah ada teori pemerintahan yang utuh dan beda

58Kendatipun dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori lengkap

namun disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara, untuk lebih jelasnya liht Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990), h. 1-2. Khaleed Abou Fadl, Selamatkan Islam, ibid., h. 236

59 Untuk lebih jelasnya lihat Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta:

paramadina, 1997), h. 19 dan bandingkan dengan Gregory Rose”Velayat-e Faqih and the Recovery Islamic Identity”, dalam Nikki R. Keddie (ed.). Religion and Politics in Iran; Shi’ism from Quitiesm (London: Yale Univercity Press, 1983), h. 183

(17)

sama sekali yang disebut dengan “syura”. Syura dalam pandangan orang-orang puritan adalah pemimpin despotik yang adil, bijak, dan saleh, yang menerapkan hukum Islam dan memrintah dengan secara berkala merujuk kepada lembaga konsultatif yang mapan. Dalam pandangan orang-orang puritan, seorang

pemimpin yang adil adalah pemimpin yang memberlakukan hukum Tuhan. Raja harus memenuhi syarat-syarat yang ketat berkaitan dengan karekter, kesalehan, dan pengetahuan agamanya. Dengan demikian, dia akan sanggup memahami hukum Tuhan. Pemimpin dan itu harus menerapkan perintah al-Qur’an yaitu bermusyawarah dengan orang berilmu dan saleh, pemimpin itu akan memilih tindakan yang tepat.61

Namun hal yang menarik dari kaum puritan adalah mereka sedikit sekali berbicara tentang jaminan prosedural macam apa yang akan mereka buat untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih itu tetap adil, baik, atau bahkan saleh. Demikian pula, sangat sedikit dibahas ukuran-ukuran yang dipakai untuk

memastikan bahwa pemimpin itu akan betul-betul mematuhi undang-undang dalam yurisprudensi Islam dan tidak secara vulgar menyelewengkan mandatnya. Akan tetapi orang-orang puritan mengandaikan bahwa sepanjang lembaga konsultatif menunjuk seorang penguasa yang sangat saleh, kesalehan akan cukup mampu mengendalikannya. 62

Kaum puritan memberikan kekuasaan kepada negara, yang pada kenyataannya, belum pernah ada dalam sejarah Islam. Negara di era modern mampu memobilisasi kekuasaan yang berlimpah dan memaksakan kehendak di dalam kehidupan rakyat dengan cara yang tidak terbayangkan di era pra modern. Kaum puritan menggunakan menggunakan kekuasaan besar untuk menjalankan apa yang mereka yakini sebagai kehendak Tuhan. Dengan menjalankan hukum Tuhan, keadilan akan tertegakkan karena diyakini orang-orang puritan yakin bahwa konsep hak asasi manusia itu sendiri adalah komponen lain dari invasi intelektual Barat. Dengan memberlakukan hukum-hukum Tuhan, orang-orang Puritan percaya, hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia terpenuhi dengan baik.63

Menurut kaum puritan bahwa saat ini tidak ada satupun negara Islam yang betul-betul Islam. Semua pemerintahan muslim saat ini tidaklah sah karena diantaranya mereka menerapkan hukum yang ada pada aslinya adalah hukum Prancis atau Inggris. Karena itulah, orang-orang puritan meyakini bahwa

pemerintah sekarang harus digulingkan, ketika sarana untuk melakukannya telah tersedia. Inilah salah satu perbedaan antara kaum puritan dan konservatif.

Walaupun kaum konservatif benar-benar yakin bahwa negara Islam harus

mempraktikkan hukum Tuhan. Mereka juga pada umumnya menolak penggunaan kekerasan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan mereka, sementara orang-orang puritan memeluk ideologi kekerasan.64

61ibid, h. 239 62Ibid

63 Bagaimana visi Islam tentang hak-hak asasi manusia telah tenggelam dalam tradisinya

dan disebabkan oleh literalisme yang kelewatan dan kekuasaan yang dispotik lihat Roger Garaudy, Hak-hak Asasi dan Islam; Ketegangan Visi dan Tradisi, terj. Abas aL-Jauhari, Islamika, (Oktober-Desember 1993) h.2.

(18)

F. Implikasi Pandangan Kaum Moderat dan Puritan di Indonesia

Umat Islam, pada skala global tidak memiliki sikap dan bahasa yang sama dalam menghadapi isu demokrasi dan hak asasi manusia, jika kita coba mengikuti kategorisasi Khaled Abou El Fadl, secara kasar dapat terlihat dua kelompok yang saling berhadapan dalam menyikapi masalah demokrasi dan hak asasi manusia yakni puritan dan moderat, masing-masing kelompok mempunyai alasan untuk merasa sebagai pihak yang benar. Kelompok puritan cenderung bersikap anti terhadap semua system Barat, khususnya demokrasi dan hak-hak asasi manusia, tetapi menikmati berbagai hasil teknologinya. Di mata mereka, demokrasi dan hak-hak asasi manusia sebagai produk Barat harus dilawan karena merusak Islam. Mereka ingin menciptakan sebuah dunia berdasarkan pemikiran mereka yang monolitik terhadap Al-Qur’an dan sejarah nabi. Kelompok ini ingin mengubah dunia secara berani dan cepat, sekalipun harus dibayar dengan darah. Sebenarnya kelompok ini tidak punya gagasan peradaban yang jelas, tetapi relative terikat oleh ideology tunggal yang fasitis. Di antara doktrin yang mengikat mereka adalah doktrin taat kepada pemimpin, hampir tanpa reserve, karena itu, ada yang menggolongkan mereka sebagai faksi totalitarian dengan payung syari’ah.

Pada kutub moderat, pada umumnya mereka menerima dan membela gagasan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Kelompok ini tidak risau apakah gagasan itu berasal dari Barat atau Timur, selama prinsip-prinsip itu mendukung cita-cita Al-Qur’an bagi tegaknya keadilan, perdamaian, moralitas, dan hubungan baik sesama umat manusia.

Dalam konteks keindonesiaan yang terjadi sebenarnya tidak berbeda dengan dua kelompok yang disebutkan di atas. Ada golongan-golongan yang masih mencoba untuk menjadikan agama (Islam) sebagai dasar negara, dan seperti yang telah penulis tuliskan di atas, kondisi seperti ini terjadi karena rapuhnya system konstitusi Indonesia, sehingga diperlukan adanya perubahan pada konstitusi.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), sebenarnya diharapkan akan memperjelas posisi antara negara dengan agama ini, agar tidak lagi diungkit-ungkit oleh generasi-generasi penerus Indonesia, tapi nampaknya perubahan UUD 1945 tidak mengakibatkan UUD 1945 menjadi transparan, malah sebaliknya terjadi perhelatan dalam membahas dan meletakkan perubahan serta tambahan substansi UUD 194565. Sehingga

permasalahan posisi agama dan negara belum juga terselesaikan.

Kondisi seperti ini, apabila kita lihat terjadi lebih karena memang tidak di inginkan oleh para penyusun UUD, orang-orang yang ada secara politis tidak menginginkan adanya perubahan tentang posisi agama dan negara dalam UUD, kondisi seperti ini sama dengan apa yang dinyatakan oleh Niccolo Machiavelli bahwa tidak ada yang lebih sulit untuk dilakukan, lebih tidak pasti kesuksesannya, atau lebih berbahaya dibanding dengan membuat suatu system baru yang lainnya. Apapun nama dan bentuknya karena sang pelopor pembaruan akan berhadapan dengan semua pihak yang mendapatkan keuntungan dari system yang lama dan

(19)

hanya akan mendapatkan dukungan setengah hati dari para pihak yang menginginkan keuntungan dari system yang baru.

Ungkapan Machiavelli di atas barangkali ada benarnya, bahwa bagi pembaharu UUD tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan, sehingga nantinya akan merugikan pihakincremental ortodoks24. Mereka sudah faham betul cara

mengais keuntungan dari system yang lama. Jadi, jika mau menginovasikan system yang baru, maka marilah kita berembuk dahulu untung ruginya, baik-buruknya, enak tidaknya, dan segalanya yang bersamaan dengan itu.

Masih dalam konteks keindonesiaan, umat Islam di Indonesia, menurut Kuntowijoyo, memiliki komitmen atas demokrasi yang tidak perlu diragukan lagi.66 Hal ini dapat terjadi karena memang tidak ada perbedaan antara demokrasi

dengan syari’ah Islam. Jika kemudian dipaksakan dengan menjadikan Agama (Islam) sebagai dasar negara, maka tulisan Ali Abdel Raziq yang berjudul

Al-Islam wa Qawa’id as-Sulthan (Islam dan Sendi-sendi Kekuasaan) dan kemudian

diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Islam and The Bases of

Power layak untuk kita renungkan. Dalam buku ini, Abdel Raziq menyangkal

adanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut sebuah “negara Islam” (Daulah Islamiyah an Islamic state), katanya. Hanya menyebut negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan (Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Disini sebenarnya dapat kita lihat bagaimana Raziq telah menerima ajaran sekularisasi, dimana agama tidak memiliki sangkut paut dengan urusan negara, meskipun dia telah mengeluarkan dasar-dasar yang tergolong kuat.67

G. Catatan terhadap Pemetaan Khaleed Abou El Fadl Terhadap Pandangan Kaum Moderat dan Puritan Tentang HAM dan Demokrasi.

Dari pemetaan yang dilakukan oleh Khaleed Abou Fadl tentang pandangan kaum moderat dan kaum puritan mengenai konsep hak asasi manusia dan

demokrasi merupakan sebuah potret dari tanggapan orang-orang Islam terhadap konsep hak asasi manusia dan sistem demokrasi yang menurut sebagian orang Islam penuh dengan kontroversial, tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan merupakan salah satu propaganda Barat untuk menjajah Islam.

Dari hasil pemetaannya terhadap dua kelompok tersebut Khaleed Abou Fadl nampaknya “berat sebelah” dalam membahas argumentasi yang diberikan oleh kaum puritan. Khaleed Abou Fadl tidak melakukan sebuah sintesis terhadap kedua pendapat yang dikemukakan baik oleh kalangan moderat maupun kaum puritan sehingga apa yang telah dikemukakan tidak terlalu bias ataupun subyektif.

Dalam masalah hak-hak asasi manusia Khaleed Abou Fadl sama sekali tidak menyuguhkan pendapat dari kelompok puritan. Hal ini bisa dimaklumi karena kaum puritan menolak prinsip hak-hak asasi manusia yang dikemukakan

66Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 95

67Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Jogjakarat: LKiS, 2010), h.

(20)

oleh PBB secara keseluruhan. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai HAM yang datang dari Barat mengandung unsur bias etnosentris yang merepresentasikan nilai sosio kultural Judeo-Kristen masyarakat Barat dan mereka tidak menerima kalau HAM diklaim sebagai satu-satunya standarhukum internasional modern yang bersifat universal sehingga dapat diterima dinegara mana saja dan kapan saja.

Untuk konsep demokrasi kalau boleh dikatakan bahwa bias ideologis Abou Fadl sangat kentara, hal ini bisa dilihat dari analisis yang tajam dan

mendalam ketika mengkritisi argumentasi yang dikemukakan oleh kaum puritan, sedangkan untuk kaum moderat sebaliknya. Khaleed abou Fadl cenderung melakukan “pembiaran” terhadap argumentasi yang kurang jelas dari kaum moderat seperti konsep ijma’ yang dikemukakan oleh mereka dalam menopang ide demokrasi, Khaleed Abou Fadl tidak menjelaskan secara detail dari pandangan kaum moderat tentang maksud, tujuan, dan konsep ijma’ seperti apa yang akan diterapkan dalam menopang ide demokrasi yang mereka gagas. Padahal, pada dasarnya konsep ijma’ tidak pernah terlaksana dan dilaksanakan dalam sejarah Islam. Jika ijma’ yang dimaksudkan adalah kesepakatan seluruh umat Islam yang ada pada suatu negara tersebut, maka mustahil konsep ini dilaksanakan oleh negara manapun. Namun jika yang dimaksudkan adalah ijma’ dari sekumpulan wakil yang ditunjuk oleh masyarakat (parlemen) maka hal itu bisa dilaksanakan.

Begitu juga dengan konsep syuro, Khaleed tidak melakukan sebuah kompromi atau sintesa terhadap dua pendapat tersebut, Khaleed cenderung menelanjangi konsep yang dikemukakan oleh kaum puritan ketimbang melakukan sebuah sintesis. Padahal, sebagai sebuah konsep, syuro dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi. Baik syuro maupun demokrasi muncul dari anggapan bahwa pertimbangan kolektif (collective liberation) lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual. Kedua konsep tersebut mengasumsikan bahwa pertimbangan mayoritas cenderung lebih komprehensif dan akurat ketimbang penilaian minoritas. Dengan demikian keduanya menjalankan aturan masyarakat melalui penerapan hukum bukannya aturan-aturan individual atau keluarga dengan keputusan yang otokratis.

Pada dasarnya demokrasi dan syuro tidaklah jauh berbeda secara konsep dan prinsip, meskipun keduanya mungkin berbeda dalam rincian penerapannya disesuaikan dengan adat-kebiasaan lokal setempat. Keduanya menolak

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Al Rayis, Muhammad Dhiya al-Din, Al-Nazariyat al-Siyasah al-Islamiyah (Mesir, Maktabah al Anjlu, 1957)

Al-Maudadi, Abul A’la, et al. Esensi Al-Qur’an Filsafat Politik, Ekonomi, Etika.(

Mizan: Bandung, 1984)

Al-Mawardi, Abu Hasan, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Darl al Kutub al-‘Ilmiyah, tt),

Anshari Tayyib (ed.) HAM dan Pluralisme Agama (Surabaya: PKSK, 1997)

Baderin, Mashood A., International Human Rights And Islamic Law (London: Oxford University Press, 2003)

Dwyer, Kevin, Arab Voice; Human Rights Debate in the Middle East (Barkerley: Univercity of California, 1991)

El Fadl, Khaleed Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta, Serambi, 2005)

Esposito, John L., Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah Abdurrahman dan MISSI. (Bandung: Mizan, 1994)

Garaudy, Roger, Hak-hak Asasi dan Islam; Ketegangan Visi dan Tradisi, terj. Abas aL-Jauhari, Islamika, (Oktober-Desember 1993)

Khallaf, Abdul Wahhab, Al Siyasah al-Syar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan. (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994)

---, ‘Abd Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Darl al-Qalam, tt)

Latif, Yudi, Tafsir Sosiologis Atas Piagam Madinah, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.). Islam, HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arif Institute for Culture and Humanity, 2007)

Mayer, Ann Elizabeth, Islam Tradition and Politics Human Rights, (Westview Press, 1995), h. 2.

---,Islam and Human Rights, Tradition dan Politics (London: Pinter Publishers, 1995),

Nasution, Harun, dan Bachtiar Efendi (ed.). Hak Asasi Manusia dalam Islam

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1978)

(22)

Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran

(Jakarta: UI Press, 1990)

---, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: paramadina, 1997)

Syihab, Alwi, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan, 1999)

Rahman, Fazlur, “Implementation of The Concept of State in Pakistani Milieu”,

Islamic Studies, No. 6. (September 1967)

Rosseou, J.J., Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, terj. Ida Sundari Husen dan Hidayat (Jakarta: Dian Rakyat, 1989)

Rose, Gregory, ”Velayat-e Faqih and the Recovery Islamic Identity”, dalam Nikki R. Keddie (ed.). Religion and Politics in Iran; Shi’ism from Quitiesm

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai OR pada setiap model bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor sosiodemografi yang dominan mendorong peningkatan peluang

dan (2) ahli materi adalah Qurrota Ayu Neina, M.Pd. hasil penilaian dari kedua ahli tersebut disajikan pada Tabel 1.. Berdasarkan skor tersebut persentase yang diperoleh dari

Ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan komunikasi antarpribadi dikarenakan penilaian yang positif terhadap diri sendiri disertai dengan komitmen yang

Model desain basisdata yang dihasilkan dari penelitian ini berlaku untuk seluruh kasus fenomena penurunan tanah di Indonesia sehingga dapat langsung diaplikasikan

Kapabilitas setiap tingkatan tergantung pada spectral range, spectral bandwidth, spectral sampling, dan signal-to-noise ratio (S/N). Migrasi citra multispektral ke

(2015) , Mitra Kelompok Serba Usaha (KSU) Srikandi telah melaksanakan proses penyangraian dengan benar sehingga menghasilkan produk kopi sangrai dan kopi bubuk dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh orientasi etis dan equity sensitivity terhadap perilaku etis auditor pemerintah di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan secara keseluruhan dari penelitian mengenai analisis pengaruh equity sensitivity dan ethical sensitivity terhadap perilaku