• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAJI MOEHAMAD BASIOENI IMRAN 1885 1976

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAJI MOEHAMAD BASIOENI IMRAN 1885 1976 "

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

HAJI MOEHAMAD BASIOENI IMRAN (1885-1976) ULAMA PEMBAHARU DARI KERAJAAN SAMBAS KALIMANTAN BARAT:

BIOGRAFI SINGKAT DAN KARYANYA Oleh: Zulkifli Abdillah

Abstrak

Studi tentang pembaharuan Islam di Indonesia hingga saat ini belum beranjak dari kawasan Pulau Jawa dan Sumatera. Tentu ini tidak berarti bahwa di kawasan lain di Indonesia tidak ada gerakan pembaharuan. Hal ini terbukti bahwa di Kerajaan Sambas, Kalimantan Barat pernah melahirkan seorang sosok pembaharu, yaitu Haji Moehammad Basioeni Imran. Ia adalah Maharaja Imam di Kerajaan Sambas yang pernah berguru langsung ke dua ulama pembaharu terkemuka dunia Islam, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Muhammad Rasyid Ridha. Dalam skala lokal Kalimantan Barat, khususnya di Sambas, peran Haji Moehammad Basioen Imran sangat penting dalam upaya melakukan pembaharuan. Sebagai pejabat kerajaan, Basioeni Imran memiliki keleluasaan untuk melakukan berbagai perubahan untuk memajukan umat Islam, khususnya di dunia pendidikan. Di bidang ini beliau telah melakukan modernisasi Madrasah al-Sulthaniyah milik Kerajaan Sambas. Ide-ide pembaharuan juga disebarluaskan melalui karya-karya tulisnya yang bisa dikatakan cukup banyak. Tercatat ada 17 buah buku yang telah ditulis oleh Basioeni Imran. Dari sejumlah karyanya, dapat disimpulkan bahwa pemikiran pembaharuan yang diusung Basioeni Imran adalah meneruskan ide pembaharuan Ibu Taimiyah dan dan Rasyid Ridha. Siapa dan apa saja karya-karya Basioeni Imran akan dijelaskan dalam tulisan ini.

Kata-kata Kunci: Basioeni Imran, Maharaja Imam, Pembaharu.

A. Pendahuluan

“Mengapa kaum muslimin mundur dan mengapa kaum selain mereka maju (Limaza taakhkharal muslimun wa limaza taqaddama ghairuhum)?”1 Inilah

1Secara ringkas pertanyaan Basioeni Imran adalah sebagai berikut: (1) Apa yang menjadi sebab kaum muslimin dalam keadaan lemah dan mundur—terutama kaum Muslimin Indonesia dan Malaysia--, baik tentang urusan keduniaannya maupun urusan keagamaannya; dan kita (kaum Muslimin) menjadi golongan yang hina dina, tidak mempunyai daya dan kekuatan, padahal Allah menyatakan dengan firman-Nya dalam kitab-Nya yang mulia: “ Dan kemuliaan itu bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman” (al-Munafiqun: 8). Di manakah “kemuliaan” orang-orang yang telah beriman (kaum Muslimin) sekarang ini? Adakah benar bagi seorang yang mengaku ber-iman, bahwa ia menjadi seorang yang mulia-raya, walaupun keadaannya hina-dina; tidak ada daripadanya sedikit pun daripada sebab-sebab yang mendatangkan kemuliaan; (2) Apa yang menjadi sebab timbulnya kemajuan bagi bangsa-bangsa Eropa, Amerika dan Jepang, dengan suatu kemajuan yang mengagumkan? Adakah mungkin bagi kaum Muslim memperoleh kemajuan sebagai yang telah dicapai oleh mereka itu, jika sekiranya kaum Muslim telah mengikuti sebab-sebab yang telah dikerjakan mereka, yang tidak dilanggar batas-batas agamanya (Islam) ataukah tidak.(lihat lebih lanjut: Arsalan, al-Amir Syakib, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, (terj. Munawwar Chalil), Jakarta: Bulan Bintang, 1954, khususnya bagian Pengantar oleh penerjemah,

(2)

pokok pertanyaan sangat penting yang disampaikan oleh Haji Moehamad Basioeni Imran (selanjutnya ditulis Basioeni Imran) melalui sebuah surat yang dikirimkan kepada Syekh Muhammad Rasyid Ridha2. Pertanyaan tersebut oleh

Rasyid Ridha dikirimkan kepada Al-Amir Syakib Arsalan di Lausanne, dengan harapan agar diberikan jawaban yang memuaskan. Oleh Syakib Arsalan pertanyaan penting tersebut dijawab dengan panjang lebar, berlandaskan ayat al-Quran dan Hadis Nabi. Jawaban-jawaban ini diberikan kepada Rasyid Ridha. Basioeni Imran minta agar jawaban atas pertanyaannya dimuat dalam majalah al-Manar, dengan tujuan agar dapat dibaca dan diketahui oleh para pembaca di seluruh dunia Islam. Selanjutnya jawaban-jawaban Syakib Arsalan ini diterbitkan, oleh Rasyid Ridha melalui percetakan al-Manar, dalam sebuah buku dengan kata pengantar dan beberapa komentar dari Rasyid Ridha sendiri. Buku yang berjudul Limazaa Taakkhar al-Muslimun wa Limaza Taqadama Ghairuhum ini selanjutnya diterjemahkan oleh K.H. Munawar Khalil dengan judul Mengapa Kaum Muslim Mundur.

Pertanyaan yang diajukan oleh Basioeni Imran jelas bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Ini terbukti secara khusus Rasyid Ridha harus meminta kepada Al-Amir Syakib Arsalan untuk menjawabnya. Jawaban yang diberikan juga tidak singkat, bahkan harus dijawab dengan 19 seri artikel jawaban3. Pertanyaan ini selain menunjukkan kegelisahan terhadap kondisi umat

Islam pada saat itu, juga sekaligus menunjukkan kualitas diri penanya sebagai seorang ulama terkemuka saat itu di Kerajaan Sambas. Kualitas keulamaan Basioeni Imran dapat dilihat baik dari sisi pendidikan yang dilaluinya, karya-hal. viii-ix).

2Syeikh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) adalah salah seorang revivalis dan reformis Islam dari Mesir. Ia dilahirkan di sebuah desa dekat Tripoli, yang waktu itu bagian Suriah. Setelah menempuh pendidikan awal di sekolah agama tradisional, Ridha masuk ke sekolah yang didirikan oleh ulama tercerahkan, Syaikh Husain Al-Jisr (w. 1909) yang percaya bahwa jalan menuju kemajuan bangsa Muslim adalah melalui sintesis antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan modern. Dengan demikian Ridha memperoleh pendidikan menyeluruh dalam doktrin dan tradisi Islam serta pengetahuan yang cukup tentang ilmu alam dan bahasa (Turki dan Prancis). Dia mempelajari karya-karya Al-Ghazali (w.1111) dan Ibn Taimiyah (w. 1328), yang mengilhaminya dengan kebutuhan untuk mereformasi kondisi kaum Muslim yang merosot serta memurnikan Islam dari praktik-praktik sufi yang merusak [John L. Esposito (ed.). Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jilid 6. (terj. Eva Y.N., dkk.). (Bandung: Mizan.2002); lihat juga: Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. ke-14, (Jakarta: Bulan Bintang, 2011), hal. 60-67; Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam,

(Jakarta: Rajawali Press), hal.113-129)].

(3)

karya yang dihasilkan, maupun peran sosial politik yang dilakoninya selama hidup.

Dari aspek pendidikan, Basioeni Imran adalah salah seorang murid dari dua tokoh ulama terkemuka yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (di Makkah, Arab Saudi) dan juga Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (di Mesir). Karya-karya yang dihasilkan oleh Basioeni Imran juga banyak, tercatat ada 12 kitab (karya sendiri, terjemahan, petikan kitab-kitab) yang mencakup bidang ilmu tauhid, fikih, sejarah, dan ilmu hisab. Sementara di bidang sosial politik Basioni Imran dipercayai oleh pihak Kerajaan Sambas sebagai Maharaja Iman4 dan

melakukan modernisasi Madrasah Al-Sulthaniyah. Pada Pemilu tahun 1955 Basioni Imran juga terpilih sebagai anggota Konstituante dari Partai Masyumi.

Studi-studi tentang gerakan pembaharuan Islam5 di Indonesia hampir

semuanya mengarahkan pandangan ke daerah Sumatera dan Jawa6. Nyaris tidak

4 Maharaja Imam adalah nama jabatan tertinggi yang mengurusi masalah agama Islam di masa Kerajaan Sambas. Pada awalnya nama jabatan ini adalah Imam. Imam Kerajaan Sambas yang pertama bernama Haji Mushthafa Nuruddin yang dilantik oleh Sultan Muhammad Ali Shafiyuddin (Pertama) pada tahun 1186 H/1772 M. Kira-kira 100 tahun kemudian, tepatnya pada 1289 H/1872 M barulah istilah ‘Maharaja Imam’ digunakan. Maharaja Imam Kerajaan Sambas yang pertama ialah Maharaja Imam Muhammad Arif bin Nuruddin as-Sambasi yang dilantik oleh Sultan Muhammad Ali Shafiyuddin (Kedua). Sebelum itu, pada 1238 H/1823 M, beliau hanya digelar ‘Imam’. Disebabkan umurnya telah lanjut, beliau menyandang pangkat Maharaja Imam hanya setahun. Pada tahun 1290 H/1873 M, dilantik anak beliau bernama Muhammad Imran bin Muhammad Arif as-Sambasi menggantikannya menjadi Maharaja Imam. Terakhir sekali dilantik pula cucu Maharaja Imam yang pertama pada 1331 H/1913 M yaitu Haji Moehammad Basioeni Imran bin Maharaja Muhammad Imran. Secara hirarkis, jabatan dibawah Maharaja Imam adalah: Imam muda atau Imam Maharaja; Maharaja Khatib; Khatib Maharaja; Sidana Khatib; Penghulu (untuk beberapa tempat di luar ibukota Kerajaan); Lebai (di setiap Kampung); Bilal dan Modim (untuk setiap masjid) (Lihat: Wan Mohd. Shaghir Abdullah, 2013, Muhammaad Basioeni Imran,

artikel dalam: http://mabmonline.org, akses 10 September 2013; Moh. Haitami Salim, dkk.

Sejarah Kerajaan Sambas, (Pontianak: STAIN Pontianak, 2010), (Laporan Penelitian), hal. 61. 5 Pembaharuan Islam yang dimaksud di sini adalah mengikuti pendapat Harun Nasution yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah usaha mengubah paham-paham keagamaan Islam, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditumbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga yang tepat menurut beliau adalah pembaharuan dalam Islam. Untuk mudahnya, dalam tulisan ini digunakan istilah pembaharuan Islam (tanpa sisipan kata “dalam”. Lihat lebih lanjut: Harun Nasution,

Op.Cit., hal. 3-4.

6 Beberapa studi tersebut misalnya: (1) Harry J.Benda , The Crescent and The rising Sun,

(Den Haag: Van Hoee: 1958); terjemahannya Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980); (2) Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, (New York: Oxford University Press, 1973), edisi Indonesia: Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996); (3) Alfian,

Islamic Modernism in Indonesian Politics: The Muhammadijah Movement During the Dutch Colonial Period (1912-1942). (The University of Wisconsin PH, 1969, tesis); (4) Taufik Abdullah,

(4)

ada studi tentang gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan di daerah lain, misalnya di Kalimantan dan Sulawesi, khususnya lagi Kalimantan Barat. Hal ini sedikit banyaknya akan berdampak pada pandangan bahwa di luar Sumatera dan Jawa tidak ada ulama yang melakukan gerakan pembaharuan Islam, padahal tidak demikian adanya. Oleh karena itu, studi tentang Basioeni Imran sebagai tokoh pembaharu di Kerajaan Sambas layak untuk dilakukan khususnya untuk mengisi kekosongan tersebut.

Terdapat beberapa tulisan dan hasil penelitian yang mengulas kehidupan Basioeni Imran. Di antaranya adalah buku yang ditulis oleh Mahrus Efendi7,

Muhammad Rahmatullah8 dan Erwin9. Hasil penelitian yang belum diterbitkan

adalah penelitian A. Muis Ismail10 dan Pabali Musa11. Sementara Gusti Mahyudin

Ardhi12 menulis sebuah makalah yang dipresentasikan di Brunei Darussalam.

Penulis juga menemukan dua artikel singkat yang ditulis oleh Wan Moh. Shaghir Abdullah13 yang dimuat secara online.

Secara khusus ada beberapa alasan yang mendorong penulis untuk melakukan studi dan menulis tentang Basioeni Imran. Pertama, sebagaimana disebutkan di atas, Basioeni Imran berguru pada dua orang ulama yang relatif berbeda corak pemikiran, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau14 (ulama

Press, 1988), hal. 260-264.

7 Machrus Effendy. Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas. (Jakarta: Dian Kemilau, 1995.)

8 Muhammad Rahmatullah. Pemikiran Fiqh Maharaja Imam Kerajaan Sambas Basioeni Imran (1885-1976). (Pontianak: Bulan Sabit Press, 2003).

9 Erwin Mahrus. Falsafah dan Gerakan Pendidikan Islam Maharaja Imam Sambas Muhammad Basioeni Imran (1885-1976). (Pontianak: STAIN Pontianak Press. 2007).

10 A. Muis Ismail. Mengenal Muhammad Basioeni Imran. (Pontianak: FISIP UNTAN, 1993) (Laporan Penelitian).

11 Pabali Musa. Muhammad Basioeni Imran (1883-1976); Rekonstruksi Pemikiran Maharaja Imam Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999).(Tesis, tidak diterbitkan).

12 Gusti Mahyudin Ardhi. Muhammad Basioeni Imran 1883-1976, Maharaja Imam Kerajaan Sambas, Rekonstruksi Pemikiran Keagaman dan Politik Kenegaraan. (Makalah Seminar Pusat Sejarah Brunei, 2001)

13 Wan Moh. Shaghir Abdullah, Basiyuni Imran Maharaja Imam Sambas, (artikel online: http://ulama-nusantara.blogspot.com, 2006, akses: 25 Sepetember 2013; Wan Moh. Shaghir Abdullah, 2013. Op.Cit.

(5)

Sunni) dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha (ulama Salafiyah, penerus ide-ide pembaharuan Al-Afghani dan Muhammad Abduh). Dengan demikian, pemikiran dan pola gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Basioeni Imran memadukan kedua corak pemikiran tersebut. Kedua, Basioeni Imran adalah ulama yang produktif menulis sebagai media untuk menularkan ide pembaharuannya ke tengah masyarakat. Tentu saja karya-karyanya sangat penting untuk dikaji. Ketiga, dalam melakukan gerakan pembaharuan Basioeni Imran menggunakan “kekuataan politik”, yaitu memanfaatkan kedudukannya sebagai Maharaja Imam Kerajaan Sambas. Sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang keagamaan di Kerajaan Sambas, Basioeni Imran dengan leluasa dapat mengalirkan ide pembaharuannya melalui jalur resmi kerajaan. Keempat, pengaruh pembaharuan yang dilakukan oleh Basioeni Imran menunjukkan signifikansi di masyarakat Sambas hingga saat ini.

Tulisan ini membatasi diri hanya pada tiga hal yang menyangkut Basioeni Imran yaitu: riwayat hidup, karya-karya yang dihasilkan dan usaha pembaharuan yang dilakukannya di bidang pendidikan. Masih banyak hal yang seharusnya diungkapkan, misalnya konteks sosial, politik, dan kehidupan keagamaan yang melingkupi kehidupan Basioeni Imran. Namun karena keterbatasan ruang maka dengan sangat terpaksa kajian tentang konteks tersebut tidak dibahas. Kajian konteks ini penting untuk melihat latar belakang yang membentuk diri Basioeni Imran. Hal penting lain yang juga tidak dimasukkan dalam tulisan ini adalah kajian yang mendalam tentang benang merah pemikiran pembaharuan Basioeni Imran. Tulisan ini dimaksudkan hanya sebagai pengenalan awal tentang sosok seorang pemaharu Islam dari Sambas di kancah kajian ke-Islam-an di Indonesia khususnya dan dunia Islam pada umumnya.

B. Riwayah Hidup Singkat Haji Mohammad Basioeni Imran

(6)

bernama Sa’mi, wafat pada saat Basioeni Imran dan ketiga adiknya masih kecil. Mereka kemudian diasuh oleh ibu tirinya bernama Badriyah (G.M. Ardhi, 2001: 4). Berdasarkan keterangan Badran (salah seorang anak Basioeni Imran), saat berusia enam hingga tujuh tahun Basioeni Imran belajar al-Quran dengan ayahnya sendiri dan kemudian disekolahkan pada Sekolah Rakyat (SR), dan sejak saat itu beliau telah memahami ilmu Nahwu dan Sharaf (kaidah bahasa Arab). Hal yang sama dikemukakan oleh Pijper15 bahwa Basioeni Imran dalam suratnya

menjelaskan: “Pada waktu saya berumur 6 atau 7 tahun, ayah saya mengajar saya membaca al-Quran dan menyekolahkan saya di Sekolah Rakyat (volkschool). Kemudian saya diajari dasar-dasar nahwu dan sharaf, yaitu kitab al-Jurumiyah dan Kaylani”. Selain belajar dengan ayahnya, Basioeni Imran juga belajar agama kepada Haji Muhammad Djabir16. Di SR beliau hanya sekolah selama dua tahun,

untuk selanjutnya masuk ke Madrasah al-Sulthaniah dan belajar di sana selama 10 tahun.17

Setelah tamat mengaji al-Quran dan sekolah di sekolah Melayu (Madrasah al-Sulthaniah) di Sambas, pada tahun 1898 Basioeni Imran melanjutkan pelajaran agama Islamnya ke Mekkah.18 Selain untuk menuntut ilmu agama Islam, di

Mekkah beliau juga melaksanakan ibadah rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Di Mekkah, selama lima tahun Basioeni Imran belajar kepada beberapa orang guru yaitu Tuang Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman Serawak, Syaikh Achmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Ali Maliki (Arab). Dari Tuan Guru Umar Sumbawa dan Tuang Guru Usman Serawak, Basioeni Imran belajar ilmu Nahwu, Sharaf dan Fikih. Sementara dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau beliau belajar ilmu fikih. Selanjutnya ilmu bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Ma'ani, Badi', Bayan), ilmu mantiq dan beberapa ilmu pengetahuan lain seperti ushul fikih, tafsir serta ilmu tauhid beliau belajar dari Syaikh Ali Maliki

15 Pijper, G.F. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950.

(diterjemahkan oleh Tudjimah). (Jakarta: UI Press, 1984), hal. 18.

16 Haji Muhammad Djabir adalah anak dari Maharaja Imam Haji Muhammad Arif atau paman Basioeni Imran. Pernah berguru kepada Syekh Abu Bakri Syatha, Syekh Muhammad bin Ismail Al-Fathani dan Syekh Ahmad Al-Fathani. Karyanya (yang baru ditemukan) adalah Risalah al-Hajj (selesai ditulis 12 Rabiul Awwal 1331 H) (Moh. Haitami Salim, dkk. Op. Cit. hal. 103).

17 Gusti Mahyudin Ardhi. Op.Cit. hal. 4.

(7)

(seorang Arab).19

Pada tahun 1324 H beliau disuruh pulang ke Sambas oleh orang tuanya. Sejak pulang dari Mekkah beliau secara rutin berlangganan majalah al-Manar.20 Selain itu beliau juga mempelajari berbagai kitab berbahasa Arab dari Mesir.21

Mulai tahun 1905 (setelah pulang dari Mekkah), Basioeni Imran diangkat oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin menjadi Imam pembantu di Masjid Jami’ (masjid Istana) Sambas dan memberikan pelajaran agama Islam di Istana Sultan Sambas kepada putri-putri dan ahli istana.

Setelah tiga tahun mengabdi di Masjid Jami’ dan Istana Sultan Sambas, pada tahun 1908 Basioeni Imran berangkant ke Cairo Mesir ditemani oleh saudaranya H. Achmad Fauzi Imran dan temannya H. Achmad Sood. Tujuan keberangkatannya adalah untuk melanjutkan pelajaran agama Islamnya pada sekolah menengah al-Azhar di Cairo, Mesir. Setelah menamatkan pendidikan di sekolah tersebut beliau melanjutkan pendidikannya di Madrasah Darudda’wah wal Irsyad” yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha.22 Di samping belajar

secara formal di kedua lembaga pendidikan tersebut, Basioeni Imran dan saudaranya bersama beberapa mahasiswa lainnya dari juga belajar secara privat kepada seorang ulama terkemuka dari Al-Azhar Sayyid Ali Surur al-Zankaluni23.

Dari Muhammad Rasyid Ridha, Basioeni Imran banyak belajar ilmu tasir dan ilmu tauhid. Menurut Badran24 di Mesir Basioeni Imran banyak menulis di

majalah al-Manar dan surat kabar al-Ittihad yang diterbitkan oleh para penuntut ilmu di Mesir dengan pimpinan redaksi Muhammad Fadullah Suhaimi.

Pada bulan Sya’ban 1331 H/1913 Basioeni Imran kembali ke Sambas karena ayahnya sakit keras. Pada tanggal 22 Ramadhan 1331 H/25 Agustus 1913 H. Maharaja Imam Haji Muhammad Imran, sang ayah meninggal dunia. Setelah

19 Pijper. op.cit.

20 Majalah ini pertama kali terbit tahun 1898 dalam bentuk majalah mingguan, dan berikutnya menjadi majalah bulanan hingga berhenti terbit tahuan 1935. Azyumardi Azra menyatakan bahwa majalah ini adalah karya pribadi Ridha dan memilki pengaruh yang tidak dapat dipandang remeh sebagai perangkat instrumental dalam penyebaran ide-ide kaum pembaharu atau modernis di dunia Melayu-Indonesia. Lihat lebih lanjut: Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 183-186. Lihat Juga: Harun Nasution, Op.Cit., hal 70.

21 Badran Basioeni Imran. Mengenal H.M. Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas.

(naskah ketikan,tt, td.), hal. 8-9.

22Moehammad Basioeni Imran. op.cit. Lihat juga: Haitami Salim, Op.Cit., hal. 85. 23 Salah seorang murid Rasyid Ridha (Harun Nasution, Op.Cit. hal.68).

(8)

pulang dari Mesir, Basioeni Imran tetap mendalami kitab-kitab fikih maupun kitab lainnya terutama tafsir al-Manar dan majalah al-Manar. Untuk meningkatkan kemampuannya, maka ia melatih diri dengan menulis beberapa kitab dan/atau risalah dalam bahasa Arab. Di samping itu, ia juga sering mengajukan pertanyaan tentang soal-soal agama melalui surat kepada redaksi majalah al-Manar.25 Di antara pertanyaan yang diajukan adalah tentang

kemunduran umat Islam dan majunya kaum lain sebagaimana telah disebutkan pada bagian pendahuluan. Semua itu telah memberikan arti dan pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan keilmuan dan kegiatan Basioeni Imran di kemudian hari.

Setelah ayahnya wafat, maka jabatan Maharaja Imam mengalami kekosongan. Selanjutnya dengan besluit Sultan Muhammad Tsafiuddin tertanggal 9 November 1913, Basioeni Imran diangkat menjadi Maharaja Imam, Qadli dan Mufti di Kerajaan Sambas26 menggantikan ayahnya. Jabatan sebagai Maharaja

Imam ini diemban beliau hingga masa kemerdekaan Indoensia, saat kerajaan Sambas secara otomatis tidak lagi berfungsi secara politis-administratif. Di samping menjabat sebagai Maharaja Imam, Qadli dan Mufti di Kerajaan Sambas, sejumlah jabatan lainya pernah diemban oleh Basioeni Imran, antara lain:27

1. Anggota Plaatselijk Fonds Sambas dalam tahun 1920 (berdasarkan Besluit Residen Borneo Barat).

2. President Mahkamah Raad Agama di Kerajaan Sambas sejak tanggal 30 Januari 1927 (berdasarkan Besluit Besturcommissie Kerajaan Sambas).

3. Pengawas bagi Sekolah Agama Islam di Sambas sejak 1918.

4. Anggota Rubbercommissie di Pontianak pada tahun 1934-1939 (berdasarkan Besluit Resident Borneo Barat).

5. Ketua Perkumpulan Tarbiatul Islam Sambas tahun 1936-1950.

6. Penghulu Landgerecht (berdasarkan Besluit nomor 3 Resident Borneo Barat tgl. 5 Februari 1946).

7. Adviseur dari Zelfbestuurscommissie Sambas (berdasarkan Besluit nomor 57 Resident Borneo Barat tgl. 20 Februari 1946.

25Pijper, op.cit. Hal 145.

26Moehammad Basioeni Imran. op.cit.

(9)

8. Ridder in de Orde van Oranje Nassau (berdasarkan Besluit nomor 99 Ratu Wilhelmina tgl. 13 September 1946. .

9. Anggota Konstituante RI wakil Partai Masyumi Kalimantan Barat hasil Pemilu 1955 (berdasarkan Petikan Surat Keputusan Panitia Pemeriksaan No. 305/1956/K).

10. Penata Hukum Tk. I atau Ketua Pengadilan Agama Mahkamah Syariah Kalimantan Barat tahun 1966-1975.(G.M. Ardhi, 2001:5).

Pada tahun 1974 beliau menderita penyakit darah tinggi selama dua tahun dan sempat dirawat di Rumah Sakit Sungai Jawi Pontianak. Pada hari Senin tanggal 26 Juli 1976 Haji Moehamad Basioeni Imran wafat di Pontianak dalam usia 93 tahun. Pada hari yang sama jenazah beliau dibawa ke Sambas dan dimakamkan di Kampung Dagang Timur Sambas.

C. Pembaharuan di Bidang Pendidikan

Salah satu langkah pembaharuan yang dilakukan oleh Basioeni Imran adalah melakukan perubahan mendasar pada lembaga pendidikan bentukan Kerajaan Sambas, Madrasah al-Sulthaniyah. Madrasah ini didirikan secara formal pada tahun 1916 oleh Sulthan Muhammad Tsafiuddin II. Pada masa-masa awal berdirinya, kurikulum madrasah al-Sulthaniyah terbatas pada muatan pelajaran yang bersifat keagamaan. Beberapa perubahan mendasar dilakukan oleh Basioeni Imran bersama Ahmad Fauzi dan Abdurrahman Hamid sepulang menuntut ilmu dari Makkah dan Mesir.

Beberapa perubahan mendasar yang dilakukan oleh Basioeni Imran adalah sebagai berikut. Pertama, perubahan di bidang kurikulum. Di samping mempelajari kitab-kitab standar berbahasa Arab yang ditulis oleh pakar dari Timur Tengah28 Basioeni Imran mulai memasukkan mata pelajaran umum seperti

berhitung, membaca dan menulis huruf Latin. Kedua, merubah madrasah yang hanya untuk kelangan kerabat keraton selanjutnya menjadi lembaga pendidikan yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat, khususnya putra-putri di Sambas. Oleh karena itu, peran Madrasah al-Sulthaniyah pun mulai berubah. Jika awalnya

28 seperti kitab al-Islam: Syari’ah wa ‘Aqidah (Mahmud Syaltut), Fath al-Qarib

(10)

hanya berfungsi sebagai institusi bagi transmisi ilmu, kemudian berkembang sebagai wadah utama reproduksi ulama. Sampai tahun 1930-an, madrasah ini menjadi lembaga pemberi otorisasi bagi seseorang untuk menjadi pejabat agama di wilayah kerajaan Sambas.29

Perubahan ketiga, yang lebih mendasar adalah merubah Madrasah al-Sulthaniyah menjadi sekolah Tarbiatoel Islam sejak tangal 1 Juli 1936. Bahasa pengantar dalam proses pembelajaran yang semula menggunakan bahasa Melayu lama dan aksara Arab Jawi mulai diperbarui . Yaitu dengan memasukkan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pada kelas 4-7, sementara kelas 1-3 tetap menggunakan bahasa Melayu. Perubahan berikutnya adalah rekruitmen tenaga pendidik yang lebih profesional dengan mendatangkan para guru dari luar daerah seperti dari Sumatera Barat terutama perguruan al-Tawalib dan Perguruan Syafi’i di Kayu Tanam. Tenaga pendidik yang datang dari Sumatera dan Jawa ini dimaksudkan agar dapat memberikan nuansa baru, karena dari dua daerah ini perkembangan pendidikannya mendahului daerah lain.30

Melanjutkan perubahan kelembagaan, maka perubahan mendasar juga dilakukan pada aspek kurikulum. Pada saat berbentuk Madrasah al-Sulthaniyah telah dilakukan perubahan dengan memasukkan pelajaran berhitung dan baca tulis Latin. Perubahan kurikulum kemudian berlanjut saat telah berubah menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam, yaitu dengan memasukkan mata pelajaran umum seperti ilmu sejarah, berhitung, ilmu alam, ilmu tumbuhan, ilmu hewan, ilmu manusia, Bahasa Belanda dan bahasa Indonesia, di samping ilmu-ilmu keislaman. Menurut Basioeni Imran, ilmu pengetahuan umum adalah sarana penting untuk mengejar kemajuan. Meskipun demikian, penguasaan ilmu-ilmu tersebut tidak menyebabkan seseorang tercerabut dari akar keagamaannya.31

D. Karya-karya Haji Mohammad Basioeni Imran

Semasa hidupnya Basioeni Imran banyak menulis, baik yang telah dicetak maupun yang masih hasil ketikan atau tulisan tangan di buku tulis. Berikut adalah

29 Moh. Haitami Salim, dkk. Op.Cit. hal. 70 30 Ibid. hal. 71-73.

(11)

beberapa karya Basioeni Imran.32

1. Tarjamah Durus al-Tarikh Syariat (Terjemah Pelajaran Sejarah Hukum Islam) Kitab ini masih merupakan manuskrip terjemahan ringkas kitab Durus al-Tarikh karangan Syaikh Muhyiddin al-Khayyath, seorang ulama Beirut-Lebanon. Karya setebal 56 halaman ini tidak dicetak dan mungkin satu-satunya buku utuh dan ditulisnya ketika masih berada di Mesir.

Dalam pendahuluan kitab Tarjamah Durus al-Tarikh al-Syari’ah misalnya, Basioeni Imran menyebut latar belakang penulisan kitab ini. Ia menjelaskan:33

Kemudian daripada itu maka adalah daripada [sebesar-besar] sebaik-baik amal yaitu amal yang kembali manfaatnya dan faedahnya kepada kaumnya dan anak-anak, agamanya dan bahasanya. Oleh karena itu kepinginlah saya akan amal yang seperti itu maka jika tiada dapat sekaliannya jangan ditinggalkan sekaliannya padahal bukanlah saya daripada ahli yang demikian dan bukanlah ini masa bagi yang demikian itu karena adalah saya sekarang sedang menuntut ilmu akan tetapi oleh ka[re]na yang tersebut itu tiadalah menegahkan oleh besar pekerjaan itu.

Apakala adalah ilmu tarikh itu daripada segala ilmu-ilmu yang besar faedahnya bagi tiap manusia tetapi ialah ilmu yang wajib atasnya ia ketahui akan dia istimewanya tarikh Nabi kita sallallahu alaihi wasallam dan tiada saya dapat sebuah kitab dengan bahasa Melayu pada tarikh Nabi kita (saw) yang patut bagi anak-anak bangsa kita Melayu memilihlah saya akan menterjemahkan kitab Durus al-Tarikh bagi yang alim Syekh Muhyiddin al-Khayyath, daripada ahli Beirut ke bahasa Melayu. Adapun ini kitab empat bahagian yang pertama pada tarikh Nabi (saw). Yang kedua pada tarikh al-Khulafaurrasyidin. Yang ketiga pada tarikh daulah Amawiyah, dan yang keempat pada tarikh daulah Abbasiyah.

Dan kata pengarangnya itu dua bahagian lagi akan ia keluarkan. Maka sesungguhnya pengarangnya itu telah izinkan kepada saya menterjemahkan sekalian bahagian-bahagian kitab itu. Insya Allah akan saya terjemahkan akan bahagian pertama itu melainkan di dalam waktu yang picik dan menyambar daripada waktu bersenang.

2. Bidayah al-Tawhid fi al-Ilm al-Tawhid (Dasar-dasar ke-Esa-an Allah dalam Ilmu Tawhid).

Kitab ini ditulis pada hari Rabu 13 Jumadil Awwal 1336 H (27 Maret 1918), terdiri dari 59 halaman. Dicetak oleh penerbitan al-Ahmadiyah Singapura pada tahun yang sama. Kitab berbahasa Melayu ini mungkin merupakan karya pertama Basioeni Imran yang dicetak di suatu penerbitan. Kitab setebal 59 32Penjelasan mengenai karya-karya Basioeni Imran ini dikutip dari: Haitami Salim, dkk.

op.cit. Hal. 88-99.

33Lihat lebih lanjut: Moehammad Basioeni Imran.. Tarjamah Durus al-Tarikh Syariah.

(12)

halaman ini memuat enam bab yang ditambah dengan daftar ralat, pengantar penulis, pendahuluan, dan penutup.

Di dalam kata pengantarnya, Basioeni Imran menjelaskan bahwa kitab ini merupakan saduran dari beberapa kitab, yaitu kitab Jawahir Kalamiyyah, karya ‘Allamah Syaikh Tahir Jawazairi, kitab Kalimat al-Tawhid karya al-‘Allamah Syaikh Husein Waaly al-Mishry, dan kitab Kifayat al-‘Awwam. Diakuinya kandungan kitab ini sepenuhnya mengikuti isi kitab-kitab tersebut, sedangkan susunannya dan sistematika pembahasannya disesuaikan dengan “perasaan” orang Melayu.

Dalam kitab Bidayat al-Tawhid fi ‘Ilm al-Tawhid ini Basioeni Imran menegaskan bahwa mempelajari pokok-pokok agama (usuluddin) secara garis besarnya adalah hukumnya wajib peorangan (fardhu ‘ain) bagi setiap ‘aqil baligh (muslim dewasa) sedangkan mempelajarinya secara rinci hukumnya wajib bagi orang banyak (fardhu kifayah). Kitab ini ditulis tidak saja menjelaskan pokok-pokok akidah Islam akan tetapi juga untuk memurnikan dan meluruskan keyakinan dan amal keagamaan yang menyimpang dari ajaran-ajaran syariat berdasarkan kepada al-Quran serta sunnah yang sahih dan qath’i (bersifat pasti) .

3. Risalah Cahaya Suluh

Risalah Cahaya Suluh, Pada Mendirikan Jumat Kurang Daripada Empat Puluh selesai ditulis pada waktu Maghrib malam Jumat 22 Safar 1339 H (14 Oktober 1920 M). Dicetak pada tahun yang sama di percetakan al-Ikhwan, Singapura.

Risalah Cahaya Suluh juga ditulis dalam edisi bahasa Arab dengan judul al-Nusus wa al-Baharin ‘ala Iqamat al-Jumu’ah bi mad al-‘Arba’in, (“Beberapa Nash dan Argumentasi tentang Mendirikan Shalat Jumat yang Kurang dari 40 Orang”). Dicetak di percetakan al-Manar Kairo tahun 1344 H / 1925 M. Tujuan penulisan risalah Cahaya Suluh 34 ini dapat dilihat dari penjelasannya kepada Pijper pada tahun 1950. Basioeni Imran menjelaskan:

(13)

“Di kerajaan Sambas orang jarang shalat Jumat, bahkan Masjid Agung di ibu kota saja hanya dikunjungi oleh kurang lebih 500 orang; dan ini sangat sedikit bagi suatu kota besar. Inilah yang menyebabkan hatinya tergugah untuk memperkenalkan qawl qadim Syafi’i yang mengizinkan shalat Jumat dengan jama’ah kurang dari empat puluh orang, namun demikian shalatnya tetap sah. Pendapat ini dilaksanakan di Kerajaan Sambas dan tentang ini tidak pernah timbul pertentangan.”35

Dalam pengantarnya Basioeni Imran menjelaskan bahwa naskah ini ditulis sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan dan permintaan fatwa kepadanya tentang hukum sah atau tidak shalat Jumat yang jamaahnya kurang dari empat puluh orang serta bagaimana kedudukan shalat mua’dah (mengulanginya dengan shalat Zuhur) setelah Jumat. Di samping itu banyak pula fatwa-fatwa liar tentang masalah ini yang simpang siur dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sehingga membingungkan mereka, bahkan kadang-kadang menimbulkan perselisihan.

4. Zikr al-Maulid al-Nabawi (Mengingat Kelahiran Nabi)

Kitab Zikr al-Maulid al-Nabawi36 adalah karangan Muhammad Rasyid Ridha yang cukup besar. Untuk itu lebih mudah memahaminya Basioeni Imran menerjemahkannya secara ringkas.

Pada bagian pengantar kitab Zikr al-Maulid al-Nabawi ini Basioeni Imran menjelaskan:

“Maka adalah di dalam beberapa tahun lalu saya menulis surat ke hadrat ‘allamah muslih sayyid Muhammad Rasyid Ridha Sahib al-Mannar di Mesir mohon akan ditunjukkan kepada saya satu kitab atau risalah yang patut dan bagus untuk menunjuki orang-orang muslimin kepada jalan kebenaran dan kebagusan agama Islam untuk memanggil akan orang-orang asing kepada agama yang mulia itu, dan saya berjanji dengan dia apabila ada itu kitab atau risalah maka saya terjemahkan risalahnya (Zikr al-Maulid al-Nabawi) ringkasan perjalanan dan ceritera Nabi kita Muhammad SAW, maka saya pun terjemahkan mukhtasar-nya di dalam bulan Ramadan tahun 1374 [sekitar 1928] karena hendak mengambil pendeknya.” Kandungan kitab ini memuat masalah acara memperingati kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW, yaitu apakah hukumnya sebagai suatu kegiatan mengada-ada yang baik (bid’ah hasanah) atau yang tercela (bid’ah sayyi’ah).

35 Pijper, op.cit. hal. 147.

(14)

5. Tazkir (Peringatan)

Judul lengkap kitab ini adalah Tazkir, Sabil al-Najah fi Tarikh al-Salah (Jalan Kelepasan pada Mengingati Orang yang Meninggalkan Sembahyang). Kitab ini selesai ditulis di Sambas pada hari Rabu, 9 Rabiul Awwal 1349 H (3 September 1930 M). Kemudian dicetak oleh percetakan al-Ahmadiyah, Singapura, pada 23 Sya’ban 1349 H (12 Januari 1931 M).

Pemikiran Basioeni Imran dalam kitab Tadzkir37 (Peringatan) ini menarik untuk dilihat. Kata Tadzkir (memperingati, mengingatkan, atau peringatan) di awal judul kitab ini merupakan tema pokok keseluruhan isi kitab. Sasaran kitab ini adalah kepada tiga kelompok orang Islam. Pertama, mengingatkan orang yang tidak mau shalat, dengan menunjukkan betapa besarnya dosa orang yang tidak mau shalat. Kedua, mengingatkan orang yang tidak tahu shalat, dengan mengemukakan syarat, rukun serta tata cara shalat. Ketiga, mengingatkan orang yang belum sempurna shalatnya, dengan menjelaskan perlunya tertib, khusyu’ dan mengerti serta memahami bacaan shalat.

Beberapa kitab yang dijadikan rujukan resmi Basioeni Imran dalam menulis karya ini adalah: Kitab al-Zawajir karangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitam, kitab al-Azhar karangan Imam Nawawi, majalah al-Mannar edisi 31, dan kitab Muhazzab.

6. Khulashah Sirah al-Muhammadiyyah (Ringkasan Sejarah Hidup Muhammad) Kitab Khulashah Sirah al-Muhammadiyyah adalah kitab sejarah karangan Muhammad Rasyid Ridha. Basioeni Imran menambahkan kata-kata Hakikat Seruan Islam pada judul terjemahannya. Terjemahan setebal 89 halaman ini selesai ditulis setelah shalat Isya pada malam Ahad, 29 Sya’ban 1349 H / 18 Januari 1931 M. Kemudian dicetak oleh percetakan al-Ahmadiyah, Singapura, tahun 1351 H / 1931 M. Naskah ketikan juga ditemukan yang berbahasa Melayu beraksara Latin, namun beberapa halaman hilang.

Dalam pengantar kitab Khulashah Sirah al-Muhammadiyyah38 (Ringkasan

37 Lihat lebih lanjut Muhammad Basioeni Imran. Tadzkir, Sabil Najah fi Tarik al-Salah (Jalan Kelepasan pada Mengingati Orang yang Meninggalkan Sembahyang). (Singapura: Matba’ah al-Ahmadiyah, 1931)

38 Lihat lebih lanjut Muhammad Basioeni Imran. Khulasah Sirat al-Muhammadiyah.

(15)

Sejarah Hidup Muhammad) ini, Basioeni Imran menyampaikan keterangan tentang penulisan kitab ini:

“Kemudian datang surat beliau (Muhammad Rasyid Rida) itu bertarikh 20 Jumadil Akhir 1349 bersamaan 11 Nopember 1930 jawab surat saya di dalam perkara hendak menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Melayu maka katanya: “Tuan mulailah dengan menterjemahkan risalah kami (Khulasah Sirah Muhammadiyah) yang ia pungut dari Zikr al-Maulid serta tuan sayyid itu kirim satu naskah kepada saya.”

Kandungan kitab ini memuat petunjuk bagi orang-orang Islam untuk tetap berada pada jalan kebenaran dan kebaikan, mengajak orang lain untuk masuk Islam. Di samping itu dimuat juga tafsir al-Quran. Kitab ini juga berbicara masalah ushul (pokok-pokok akidah Islam). Di bagian akhir kitab, penulis menambahkan keterangan tentang hukum maulid, apakah bid’ah yang baik atau yang jelek.

7. Nur al-Siraj fi Qissat al-Isra’ wa al-Mi’raj (Cahaya Pelita pada Ceritera Isra’ dan Mi’raj)

Kitab ini ditulis oleh Basioeni Imran pada bulan Rajab 1334 H / 1916 M yang selesai selama dua hari, kemudian direvisi pada hari Jumat, 23 Jumadil Akhir 1357 H / 19 Agustus 1938 M. ditulis dengan huruf “Jawi” (Arab Melayu), seluruhnya berjumlah 26 halaman.

Meskipun terkesan sederhana, harus diakui terdapat beberapa pemikiran yang disebutnya ”hikmah dari Allah”, yang patut dihargai, yaitu pertama, menyodorkan konsep malaikat mimpi yang membedakan mimpi dengan isra’ dan mi’raj. Dalam mimpi ruh tidak pergi kemana-mana, akan tetapi malaikat mimpi yang mendatangkan berbagai peristiwa yang dialami di dalam mimpi. Kedua, keberanian Basioeni Imran dalam menetapkan bahwa shalat wajib yang dikehendaki Allah sejak semula adalah lima kali.

8. Al-Janaiz (Kitab Jenazah)

(16)

Dalam kitab berikutnya yaitu al-Jana’iz39 (Kitab Jenazah) dibahas hal-ihwal kematian. Dalam pembahasannya, Basioeni Imran menggunakan tiga pola. Pertama, bersandar kepada keterangan al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, dan pendapat ulama terdahulu terutama ulama mazhab Syafi’i. Kedua, merujuk kepada pemikiran-pemikiran kontemporer pada masa itu terutama kepada pemikiran Muhammad Rasyid Ridha. Ketiga, berijtihad sendiri setelah memperhatikan dan membandingkan berbagai pendapat yang ada.

9. Irsyad al-Gilman fi Adab Tilawat al-Qur’an (Petunjuk Praktis untuk Anak tentang Adab Membaca al-Quran)

Kitab ini selesai ditulis Basioeni Imran pada tanggal 5 Syawal 1352 (21 Januari 1934). Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan al-Ahmadiyah Singapura.

Kemudian kitab Irsyad al-Gilman fi Adab Tilawat al-Qur’an40 (Petunjuk Praktis tentang Adab Membaca al-Quran) Dalam kata pengantar bukunya ia menjelaskan:

“Dan Quran itu untuk beribadah dengan lafadz-lafadznya yakni dibaca akan dia baik pun di dalam sembahyang atau di luar sembahyang dan paham akan maknanya atau tiada maka semuanya itu diberi pahala atasnya asal dengan betul dan ikhlas akan tetapi Quran itu diturunkan ialah supaya dibaca akan dia dengan betul dan dipahamkan maknanya dan maksudnya karena di dalamnya hidayah (petunjuk) kepada jalan kebajikan dunia dan akhirat dan cahaya yang sangat terang bagi segala hati dan akal maka orang yang membaca Quran tiada paham akan maknanya dan maksudnya sedikitlah bahagian daripadanya”.

Sistematika pembahasan kitab ini terdiri dari: Hukum menyentuh Mushaf; Adab Membaca al-Quran antara lain meliputi: suci daripada najis dan hadats (yakni tahir) dan suci batin dari sifat riya’ (keangkuhan) ‘ujub (rasa angkuh) dan sum’ah namun sebaliknya harus ikhlas, khusyu’ (penuh konsentrasi) tawaddu’ (rendah hati) dan khasyyah (takut kepada Allah ta’ala); Sunnah-sunnah yang berkaitan dengan membaca al-Quran; dan perihal sujud tilawah.

39 Lihat lebih lanjut: Muhammad Basioeni Imran, Kitab al-Janaiz. (Tasikmalaya: Percetakan Galunggung, 1949).

(17)

10.Durus al-Tawhid (Pelajaran-Pelajaran tentang Tawhid)

Kitab ini selesai ditulis Basioeni Imran pada tanggal 20 Rajab tahun 1354 (18 Oktober 1935). Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan al-Ahmadiyah Singapura. Menurut keterangan Basioeni Imran, karya ini merupakan terjemahan dari kuliah-kuliah Muhammad Rasyid Rida.

Dalam pengantar kitab Durus al-Tawhid 41 ini Basioeni Imran menjelaskan bahwa karya ini merupakan terjemahan dari kuliah-kuliah Muhammad Rasyid Rida.

(‘Amma ba’du) adapun kemudian daripada itu, maka adalah kira-kira dalam tahun 1329 atau 1330 (tahun Hijjrah) saya belajar di Madrasah Dar al-Dakwah wa al-Irsyad di Mesir yang telah didirikan oleh Sayyid M. Rasyid Rida Sahib Mannar. Dan adalah beliau itu mengajarkan al-Quran dan pelajaran Tauhid (ushuluddin) daripada barang yang dituliskan sendiri, maka setengah daripada murid-murid madrasah (sekolah itu) ada menyalin pelajaran atau pengajian tauhid itu dan saya dapat satu naskah daripadanya. Maka saya pandang bahwa pelajaran tauhid yang diajarkan oleh tuan guru itu kepada kami sangat perlunya disiarkan di antara orang muslimin sekalipun ia pendek karena ialah akidah atau i’tiqad yang bersetuju dengan kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya Muhammad SAW lagipun terlalu mudah memahamkannya.

Dan diadakan Madrasah Dar al-Dakwah wa al-Irsyad maksudnya ialah akan mengeluarkan murid-murid yang cakap menunjukkan orang-orang muslimin kepada agama Islam yang betul lagi bersih daripada khurafat dan bid’ah-bid’ah maka sekalian pelajarannya demikian. Dari dan karena itu saya terjemahkan akan dia dengan bahasa Melayu supaya dicapai faedahnya oleh anak-anak negeri saya (Sambas Borneo Barat) dan saudara-saudara Islam di mana-mana negeri yang mengerti Bahasa Melayu. Bertambah-tambah kuat kehendak saya akan menterjemahkannya ialah bahwa saya dapat kabar bahwa tuan guru kami itu Sayyid Muhammd Rasyid Ridha telah wafat (kembali ke rahmat Allah Ta’ala) di Mesir hari Kamis, 23 Jumadil Awwal tahun 1354 ia dapat sakit keras terus meninggal di dalam otomobil. Ketika ia kembali dari Negeri Swiss mengantarkan Amir Sa’ud bin Imam Abdul Aziz raja Hijaz dan Nejd hendak berlayar pulang ke Makkah musyarrafah ialah tiada putus pahala amalnya itu Dan pelajaran ini teratur atas soal dan jawab, maka saya tulis S artinya soal – pertanyaan – dan saya tulis J artinya jawab. Dan saya namai akan ini risalah “Durus al-Tawhid al-Sayyid Muhammad Rasyid” dan ada jua saya tambah-tambah di hasyiyah itu supaya terang. Maka saya harap akan Allah Ta’ala beri manfaat dengan dia akan orang-orang yang membacanya dan mempelajarinya dengan ikhlas dan bersih hati “sesungguhnya Dia maha mendengar doa”.

(18)

Dari penjelasannya tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi yang mendorong Basioeni Imran menterjemahkan kitab ini adalah pertama, menurutnya ilmu tauhid merupakan ilmu yang wajib dipelajari, karena merupakan akidah yang bersumber dari al-Quran dan hadis. Kedua, kesadaran akan kurangnya kitab-kitab tauhid yang ditulis dalam bahasa Melayu. Ketiga, adanya keinginan untuk beramal jariyah di bidang ilmu, agar ilmu dari gurunya tidak terputus.

Selain kitab tersebut, ada juga kitab Khutbah Jumat, Hari Raya Aidilfitri, Hari Raya Aidiladha dan Gerhana, ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (khusus khutbah gerhana) dicetak oleh Mathba'ah al-Ahmadiah, tanpa tahun.42

Beberapa kitab berikut ini informasinya diperoleh dari keterangan Pijper43

berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Basioeni Imran kepadanya:

1.Daw’ al-Misbah fi Faskh al-Nikah (Cahaya Lampu Untuk Membatalkan Nikah)

Kitab ini dicetak di Penang pada tahun 1938 M. Kandungan kitab ini membahas suatu persoalan yang timbul dalam kehidupan beragama yaitu faskh nikah. Menurut Pijper, Basioeni Imran memberikan keterangan padanya bahwa kebiasaan “taqliq”, yaitu talaq yang dikenakan persyaratan dan diucapkan pada waktu upacara pernikahan dilangsungkan tidak dikenal di daerah Sambas. Pembatalan pernikahan biasanya dilaksanakan dengan jalan fasakh (menyatakan tidak berlaku lagi). Tentu saja harus ada alasan yang kuat untuk mengajukan faskh dan ini harus diajukan kepada Maharaja Imam, beliaulah yang menangani semua urusan yang berhubungan dengan faskh di seluruh kerajaan Sambas.

2.Al-Nusus wa al-Barahin ‘ala Iqamat al-Jum’ah bimad al-Arba’in (Beberapa Dalil dan Argumentasi dalam Melaksanakan Shalat Jumat yang Kurang dari Empat Puluh Orang)

Karya ini merupakan edisi bahasa Arab dari risalah Cahaya Suluh. Dicetak oleh percetakan al-Manar Kairo tahun 1344 H / 1925 M.

3.Husn al-Jawab ‘an Isbat al-Ahillah bi al-Hisab (Molek Jawaban tentang 42Wan Moh. Shaghir Abdullah. 2006. Op.Cit.

(19)

Menetapkan Awal Bulan Dengan Hitungan).44

4.Manhal al-Gharibin fi Iqamat al-Jumu’ah bi dun al-‘Arba’in (Pendapat Orang yang Asing tentang Melaksanakan Shalat Jumat Kurang dari Empat Puluh Orang)

Risalah ini ditulis pada 14 Ramadan 1332 H / 1914 M. Mungkin tidak diterbitkan karena menurut Basioeni Imran risalah ini masih berlanjut.

5.Al-Tazkirat Badi’ah fi Ahkam al-Jum’ah (Peringatan Bagi yang Mengada-ada dalam Hukum Shalat Jumat)

Risalah ini merupakan kelanjutan risalah Manhal, ditulis dalam bahasa Arab dan selesai ditulis pada 17 Muharram 1339 H / 1920 M. Menurut keterangan Basioeni Imran risalah ini juga bersambung dan mungkin kitab yang menyempurnakannya adalah kitab al-Nusus.

Selain karya-karya Basioeni Imran yang dipublikasi seperti tersebut di atas, masih terdapat beberapa manuskrip yang belum sempat diterbitkan antara lain: Tafsir Surat-surat Pendek, Tafsir Ayat Puasa, Penetapan Awal Bulan, terjemahan al-Umm al-Syafí, beberapa buku harian, dan sejumlah naskah kullijatul muballighin (1967). Salah satu naskah yang penulis temukan di museum di Sambas karya Basioeni Imran adalah naskah ketikan berjudul Al-Ibanatoe wal inshafoe fil masaailiddiniah wa izalati attafarruqi fiha wal ichtilaaf (Menjatakan dan Menengahi (mengadili) pada Masalah Agama dan Menghilangkan Berpetjah Belah dan Bersalah-salahan padanya) berbahasa Melayu beraksara Latin. Sepengetahuan penulis, naskah ini belum dipublikasikan dan naskahnya masih utuh. Naskah ini sangat penting untuk dipahami, khususnya jika ingin memahami pandangan-pandangan Basioeni Imaran sebagai seorang pembaharu. Oleh karena itu, secara khusus naskah ini akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.45

Naskah al-Ibanah diketik dengan menggunakan aksara latin dan berbahasa melayu; kecuali ayat Al-Quran dan Hadis Nabi ditulis dengan bahasa dan aksara Arab. Naskah diketik pada kertas biasa tanpa cap kertas atau water mark berukuran 22,2 cm X 16 cm diketik pada kedua sisi dengan jumlah halaman

44 Kitab ini diselesaikan pada 6 Ramadan 1352 H/23 Desember 1933 M. Membicarakan hisab anak [awal] bulan untuk melakukan puasa dan hari raya. Dicetak oleh Maktabah az-Zainiyah, Penang, 1938. Diberi Kata Pengantar oleh Syeikh Tahir Jalaluddin al-Minangkabau. (Wan Moh. Shaghir Abdullah, 2013.Op.Cit).

(20)

sebanyak 122 halaman. Secara umum naskah dalam kondisi baik, kecuali sisi bawah naskah sudah dimakan rayap sehingga ada beberapa tulisan di beberapa halaman yang hilang. Sebagaiana disebutkan di atas, naskah ini tersimpan di Museum Tamadun Islam Nagri Sambas di kota Sambas.

Mengikuti pendapat gurunya, Muhammad Rasyid Ridha, Basioeni Imran dalam naskah ini berupaya menjelaskan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi siapa saja. Basieoni Imran terkesan berupaya agak memperlunak syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid. Jelas terlihat bahwa Basioeni Imran tidak setuju dengan sikap taqlid dan jumud yang menggejala di tubuh umat Islam. Karena sikap tersebut mengarahkan umat untuk berselisih dan berpecah belah. Oleh karenanya perlu diupayakan secara konseptual dan praktis untuk mengeluarkan umat Islam dari perselisihan dan perpecahan. Dan naskah yang ditulis Basioeni Imran ini mengambil posisi di sini.

Jika ditelaah apa yang ditulis dalam naskah ini, terkesan bahwa Basioeni Imran cenderung pada mazhab Ahmad bin Hanbal dan mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah. Hal ini dapat dipahami mengingat ia adalah murid dari Muhammad Rasyid Ridha. Seperti yang dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa Muhammad Rasyid Ridha masih terikat pada pendapat-pendapat Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Gerakan Muhammad bin Abd al-Wahab karena semazhab ia sokong dengan kuat.46 Apakah Basioeni Imran juga cenderung kepada aliran

Wahhabi, sebagaimana gurunya, tidak dapat kita nyatakan secara pasti. Yang jelas, di dalam naskah ini Basioeni Imran tidak senang umat Islam saling mengejek dengan memberi gelar-gelar yang tidak pantas kepada saudaranya sesama muslim, termasuk menyebut atau menggelari seseorang sebagai Wahhabi.

C. Penutup

(21)

sistem pendidikan Madrasah al-Sulthaniyah yang kemudian berkonsekuensi berubah menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam. Untuk menularkan ide-ide pembaharuannya, Basioeni Imran telah pula menghasilkan banyak karya tulis, baik yang sudah diterbitkan dan beredar luas di masyarakat maupun yang belum sempat diterbitkan dan diedarkan. Dari kajian awal ini dapat dikatakan bahwa Basioeni Imran tergolong ulama pembaharu di dunia Islam, khususnya di Sambas Kalimantan Barat. Hingga kini pengaruh pembaharuan yang dilakukan oleh Basioeni Imran masih menampakkan hasilnya di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. 2013. Muhammaad Basioeni Imran. Artikel online dalam: http://mabmonline.org: Akses 10 September 2013.

A. Muis Ismail. 1993. Mengenal Muhammad Basioeni Imran. Pontianak: FISIP UNTAN. (Laporan Penelitian).

(22)

Arsalan, al-Amir Syakib. 1954. Mengapa Kaum Muslimin Mundur. (terj. Munawwar Chalil). Jakarta: Bulan Bintang.

Azyumardi Azra. 2002. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan.

Badran bin M. Basioeni Imaran, Mengenal: H.M. Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas, , (tt), (Makalah koleksi pribadi), td.

Benda Harry J. 1958. The Crescent and The rising Sun, Den Haag: Van Hoee; terjemahannya: 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya.

Deliar Noer. 1973. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, New York: Oxford University Press. Edisi Indonesia: 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES.

Erwin Mahrus. 2007. Falsafah dan Gerakan Pendidikan Islam Maharaja Imam Sambas Muhammad Basioeni Imran (1885-1976). Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Erwin Mahrus, dkk. 2003. Shaykh Ahmad Khatib Sambas: Sufi & Ulama Dikenal Dunia. Pontianak: Untan Press.

Esposito, John L. (ed.). 2002. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jilid 6. (terj. Eva Y.N., dkk.). Bandung: Mizan.

Gusti Mahyuddin Ardhi. 2001. Muhammad Basioeni Imran 1883-1976 Maharaja Imam Kerajaan Sambas Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan dan Politik Kenegaraan. Kertas Kerja yang disampaikan dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara XI di Bandar Sri Begawan Brunai Darussalam, td.

Harun Nasution. 2002. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press. ---. 2011. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:

Bulan Bintang.

Machrus Effendy. 1995. Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas. Jakarta: Dian Kemilau.

Moehammad Basioeni Imran. 1916. Tarjamah Durus al-Tarikh al-Syari’ah. (Manuskrip).

---.1920. Bidayat Tawhid fi Ilmi Tawhid. Singapura: Matba’ah al-Ahmadiyah.

(23)

Puluh. Singapura: Matba’ah al-Ikhwan.

---. 1931. Khulasah Sirat Muhammadiyah. Singapura: Matba’ah al-Ahmadiyah.

---. 1931. Tadzkir, Sabil al-Najah fi Tarik al-Salah (Jalan Kelepasan pada Mengingati Orang yang Meninggalkan Sembahyang). Singapura: Matba’ah al-Ahmadiyah.

---, 1933. Al-Ibanatoe wal Inshafoe fil Masaailiddiniah wa Izalati Attafarruqi Fiha wal Ichtilaaf. Sambas. (Naskah ketikan).

---. 1934. Irsyad Ghilman fi Adab Tilawat Qur’an. Singapura: al-Matba’ah al-Ahmadiyah.

---.1935. Durus al-Tawhid. Singapura: al-Matba’ah al-Ahmadiyah.

---. 1938. Nur Siraj fi Qissat Isra’ wa Mi’raj. Singapura: Matba’ah al-Ahmadiyah.

---. 1949. Kitab al-Janaiz. Tasikmalaya: Percetakan Galunggung.

---. 1950. Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni Imran. Sambas. (Naskah ketikan).

Moh. Haitami Salim, dkk. 2010. Sejarah Kerajaan Sambas. . Pontianak: STAIN Pontianak. (Laporan Penelitian, td).

Muhammad Rahmatullah. 2003. Pemikiran Fiqh Maharaja Imam Kerajaan Sambas Basioeni Imran (1885-1976). Pontianak: Bulan Sabit Press.

Pabali Musa. 1999. Muhammad Basioeni Imran (1883-1976); Rekonstruksi Pemikiran Maharaja Imam Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Tesis).

Pijper, G.F., 1984. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. diterjemahkan oleh Tudjimah. Jakarta: UI Press .

Ris'an Rusli. 2013. Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Steembrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.

---. 1988. Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.

(24)

STAIN Press.

Lampiran:

BIODATA PENULIS

(25)

Tempat, tgl lahir : Sungai Udang, 28 Juli 1971

Alamat : Jl. Tanjung Raya 2, Komplek Cendana Indah No. A.27, Pontianak-Kalimantan Barat.

Telpon : 085217267766

E-mail : zulkifli.abdillah@ymail.com

Pendidikan : S.2 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Sejarah Peradaban Islam. (Sedang Studi S.3 Ilmu Sejarah di FIB UNPAD).

Tempat Tugas : IAIN Pontianak

Bidang Keahlian : Sejarah Peradaban Islam

Publikasi terakhir : 1. Peta Dakwah di Kalimantan Barat Seri Kedua: Profil Majelis Taklim di Kota Pontianak (Buku, editor dan kontributor, 2011).

2. Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat (Buku, Anggota Tim Penulis, 2011).

3. Islam and Plurality of Society in West Kalimantan [Artikel Jurnal: AL-ALBAB: Borneo Journal of Religious Studies (BJRS) Volume 1 Number 1, Desember 2012].

Bandung, 1 Oktober 2013, Ttd.

Referensi

Dokumen terkait

Dari data pengukuran di atas dapat dilakukan analisa perbandingan karakteristik Mesin Toyota Tipe 7K 1800 cc dengan sistem injeksi elektronik (EFI) dan sistem

Pelatihan menjadi salah satu cara yang paling tepat untuk memastikan seluruh pegawai dapat menjalankan tugasnya dengan baik, namun sampai saat ini pelatihan yang

Tidak diperbolehkan untuk budidaya selain pertanian sawah atau tanaman pangan (tidak boleh alih fungsi lahan menjadi permukiman, fasilitasi sosial, perdagangan dan

Alhamdulillahi robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA

1) Menghasilkan lulusan dokter yang memiliki kompetensi sesuai dengan (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) SKDI Tahun 2012 yang berwawasan global dengan

Berdasarkan penelusuran terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan objek dalam penelitian ini, penulis menemukan beberapa karya ilmiah berupa buku- buku dan jurnal

Proses hukum itu rumit jika semua elemen tidak dapat kooperatif, namun jika bukti- bukti dan keterangan dari korban jelas ada, saksi semua ada, dan polisi kooperatif ya Seruni