• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ILMIAH. Disusun oleh : Hana Shavira Octavia JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL ILMIAH. Disusun oleh : Hana Shavira Octavia JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2021"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH KEMISKINAN, TINGKAT

PENGANGGURAN TERBUKA DAN INVESTASI TERHADAP

KETIMPANGAN PENDAPATAN

(STUDI KASUS PADA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA TAHUN 2009-2019)

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Hana Shavira Octavia

145020101111077

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(2)

Analisis Pengaruh Kemiskinan, Tingkat Pengangguran Terbuka dan Investasi

terhadap Ketimpangan Pendapatan (Studi Kasus Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta tahun 2009-2019)

Hana Shavira Octavia

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Email: hanashavira@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekonomi daerah berdasarkan nilai PDRB tiap

lapangan usaha serta bagaimana pola klasifikasi daerah, dan melihat pengaruh antara kemiskinan,

tingkat pengangguran terbuka, dan investasi terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi D.I

Yogyakarta tahun 2009-2019. Penelitian bersifat deskriptif kuantitaf. Data yang digunakan berupa

cross section 5 kabupaten/kota di Provinsi D.I Yogyakarta dan time series selama tahun 2009-2019.

Teknik analisis yang digunakan dalam metode deskriptif adalah analisis LQ (Location Quotient) dan

analisis tipology klassen, sedangkan untuk metode kuantitatif berupa analisis regresi data panel

dengan commond effect model.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa melalui analisis LQ, Yogyakarta memiliki 12 sektor

basis yang berfokus pada sektor sekunder dan tersier. Kulon Progo memiliki 8 sektor basis. Bantul

dan Sleman memiliki 7 sektor basis, sementara Gunung Kidul hanya memiliki 6 sektor basis.

Berdasarkan analisis tipologi klassen, Sleman menempati Kuadran I menjadi daerah maju dan tumbuh

pesat, Yogyakarta berada di Kuadran II dengan daerah maju tapi tertekan, Kulon Progo menduduki

Kuadran III dengan daerah cepat berkembang dan Bantul dan Gunung Kidul berada di kuadran IV

yang merupakan daerah relativ tertinggal. Sedangkan melalui analisis regresi data panel, secara

parsial variabel kemiskinan tidak berpengaruh signifikan dan negatif terhadap ketimpangan DIY,

sedangkan variabel TPT dan Investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan

pendapatan di provinsi DIY

Kata kunci: Location Quitient, ketimpangan pendapatan, tipologi klassen, investasi, kemiskinan, pengangguran

A. PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena atau kondisi dimana suatu negara secara berkelanjutan memperbaiki tatanan perekonomian menjadi yang lebih baik dengan memperhatikan serta mengelola sumber daya yang dimiliki sebagai upaya dalam meningkatkan pembangunan perekonomian dan pendapatan nasional. Tentunya akhir dari tujuan pembangunan ekonomi adalah agar terciptanya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yang dapat dilihat dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi serta meratanya distribusi pendapatan antar daerah. Pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pemerataan pendapatan akan menimbulkan dampak yang besar, yakni salah satunya ketimpangan pembangunan. Niswah (2017) berpendapat bahwa terjadinya kesenjangan yang terjadi di suatu wilayah merupakan sebuah konsekuensi dari adanya pembangunan dan tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.

(3)

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki masalah ketimpangan pembangunan yang cukup serius. BPS mencatat tingkat ketimpangan yang diukur melalui rasio gini di Indonesia pada tahun 2009 hingga 2017 mengalami fluktuasi tetapi cenderung meningkat di angka 0,42. Sedangkan pada tahun selanjutnya hingga 2019 indeks gini Indonesia cenderung menurun mencapai angka 0,38 dengan rata-rata penurunan sebesar 0,006. Hal ini menunjukan masih tingginya kesenjangan antar provinsi di Indonesia, sehingga perlu adanya perbaikan dalam menurunkan tingkat ketimpangan baik dari tingkat nasional ataupun lokal. Perbedaan karakteristik wilayah antar daerah menjadi pemicu kuat adanya perbedaan dalam pola pembangunan ekonomi. Adanya ketidakseragaman ini mengakibatkan perbedaan kemampuan daerah yang bisa cepat dan bisa lambat tergantung kemampuan pengelolaan tiap daerah.

Besarnya nilai ketimpangan Indonesia akan berdampak pada daerah atau provinsi yang berpeluang memiliki ketimpangan besar, salah satu provinsi yang memiliki ketimpangan terbesar di Indonesia yang ditunjukan melalui indeks gini adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menempati urutan pertama dalam ketimpangan daerah selama 5 tahun. Menurut data BPS sejak tahun 2010 hingga 2019, DIY selalu berada di atas rasio gini indonesia dan selalu masuk dalam provinsi yang memiliki ketimpangan tertinggi, dengan nilai gini berkisar antara 0,4 - 0,45.

Pembangunan di DIY merupakan suatu upaya dalam meningkatkan perekonomian daerah serta meningkatkan taraf hidup bagi setiap warga. Potensi dan kekayaan alam menjadi keunggulan komparatif bagi suatu wilayah, akan tetapi kemampuan dalam mengembangkan sumber daya manusia dan modal masih terbatas pada wilayah yang berada di pusat, akibatnya kondisi masyarakat belum mencapai tingkat pemerataan. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok pada tingkat persebaran pendapatan antara wilayah yang berada di pusat kota dengan wilayah pinggir atau pedalaman. Wilayah dengan pendapatan rendah menunjukan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat

Gambar 1 : PDRB Provinsi D.I Yogyakarta Atas Dasar Harga Berlaku (Milliar Rupiah)

Sumber : Badan Pusat Statistik, data diolah, 2020

Menurut Kuncoro (1997) dalam Masruri (2016), terjadinya pengangguran terbuka di suatu wilayah diakibatkan karna pembangunan yang lambat serta tidak merata antar wilayah. Adanya keterbatasan kesempatan kerja, menyebabkan persaingan merebut lapangan kerja semakin ketat, apabila angkatan kerja semakin banyak maka hal itu akan menjadi beban pada wilayah tersebut, sehingga pembangunan menjadi lambat. Berdasarkan data BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY setiap tahunnya mengalami fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir. Sleman dan Yogyakarta memiliki nilai TPT tertinggi dengan rata-rata sebesar 4,4 dan 5,7. Nilai ini sangat jauh jika dibandingkan dengan daerah lainnya yakni kulonprogo, bantul dan gunung kidul dengan nilai TPT sebesar 2,5; 3,2; dan 1,9.

Keberhasilan pembangunan ekonomi tentu tidak terlepas dari adanya investasi atau penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri (asing). Investasi memiliki peranan penting sebagai penggerak roda perekonomian daerah. Penempatan investasi pada suatu daerah akan mempengaruhi keberlangsungan perekonomian daerah tersebut di masa depan. Pada kenyataanya, Investasi di DIY masih sangat terbatas, hal ini dibuktikan dengan rendahnya investasi yang diperoleh jika dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Jawa. Kecilnya angka investasi, menunjukan persebaran pada wilayah-wilayah di provinsi DIY masih belum merata, yang mana dampaknya pembangunan daerah khususnya di wilayah yang jauh dari kota akan semakin melambat sehingga kesenjangan pendapatan antar wilayah akan semakin timpang.

0 10000 20000 30000 40000 50000

Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Yogyakarta

(4)

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga tahun 2017 total investasi baik dalam negeri maupun luar negeri di provinsi DIY tercatat sebesar 12 Triliun dan hampir seluruh permodalan investasi berpusat pada Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Akan tetapi di tahun 2018 Kabupaten Kulon Progo menjadi daerah yang diminati oleh para investor dikarenakan pada tahun tersebut mulai pembangunan bandara New Yogyakarta

International Airport (NYIA). Hal ini mengakibatkan pertumbuhan di wilayah tersebut sangat cepat untuk

berkembang. Sedangkan Kabupaten Gunung Kidul hanya memiliki nilai investasi sebesar 340 milyar pada tahun 2019, akibatnya pembangunan di wilayah tersebut sangat jauh tertinggal.

Kemiskinan dan ketimpangan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengetahui seberapa luas kemiskinan di suatu negara, Todaro (2006) menyimpulkan terdapat dua faktor yaitu tingkat rata-rata pendapatan nasional dan tingkat ketimpangan atau ketidakmerata-rataan dalam distribusi pendapatan. Angka kemiskinan provinsi D.I Yogyakarta tertinggi diantara 5 provinsi lain di Pulau Jawa dengan tingkat kemiskinan sebesar 12,23% pada tahun 2019 dengan jumlah penduduk miskin sebesar 485ribu jiwa. Berdasarkan data BPS, persebaran tingkat kemiskinan sebagian besar berada di Kabupaten Gunung Kidul dengan nilai 20,19% dan Kulon Progo sebesar 20,7%. Angka ini 2 kali lipat dengan tingkat kemiskinan di kota Yogyakarta yang hanya sebesar 8,3 % dan Sleman 9%.

Jika sumber-sumber pembangunan ekonomi di suatu wilayah yang meliputi SDM, SDA, dan investasi modal semakin besar maka pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut lebih tinggi dan kondisi perekonomian berjalan dengan lancar, begitu juga sebaliknya jika sumber pembangunan tersebut kurang berkembang maka dampaknya perekonomian tidak stabil dan mengakibatkan disparitas pendapatan

B. KAJIAN PUSTAKA

Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

Todaro dan Smith (2011) mendefinisikan pembangunan sebagai usaha untuk meningkatkan pertumbuhan pendapatan perkapita yang berkelanjutan agar suatu negara dapat mempercepat dan memperbanyak hasil output dibandingkan laju pertumbuhan penduduk. Sedangkan Meier (dalam Kuncoro, 1997) mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi adalah sebuah proses dimana pendapatan perkapita dalam kurun waktu yang panjang mengalami peningkatan, dengan catatan bahwa distribusi pendapatan tidak semakin timpang dan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak mengalami peningkatan.

Pertumbuhan ekonomi menurut Boediono (1981) adalah suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi sebagai proses atau aspek dinamis dari suatu perekonomian, dengan melihat bagaimana perekonomian akan berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Perekonomian suatu wilayah dikatakan tumbuh apabila dalam jangka waktu yang lama mengalami kecenderungan pada kenaikan output perkapita.

Location Quotient (LQ)

Analisis LQ merupakan metode yang membandingkan antara besaran suatu sektor usaha di daerah terhadap sektor yang sama di daerah utama untuk menentukan suatu sektor berada pada sektor basis atau non basis. Analisis LQ menggunakan 2 indikator utama untuk menilai, yakni melalui nilai PDRB daerah dengan PDRB daerah di atasnya. Hasil perhitungan LQ akan menghasilkan 3 indikator dalam pengambilan keputusan, diantaranya: LQ > 1 menunjukan sektor di suatu wilayah merupakan sektor basis yang memiliki keunggulan komparatif, LQ = 1 menunjukan sektor di suatu wilayah merupakan sektor non basis dan tidak memiliki keunggulan komparatif, hanya mampu memproduksi untuk wilayah tersebut, dan LQ < 1, yang menunjukan sektor tersebut adalah non basis dan tidak memiliki keunggulan komparatif, yang mana sektor tersebut belum memberikan keuntungan yang spesifik dan cenderung kurang berkembang.

Tipologi Klassen

Tipologi Klassen berfungsi untuk mengetahui bagaimana pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, yang diukur melalui dua indikator utama yakni rata-rata pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan daerah kabupaten/kota dengan daerah provinsi atau nasional. Jika indikator di suatu kabupaten/kota lebih tinggi maka nilai indikator tersebut berada di atas rata-rata daerah provinsi, begitu juga sebaliknya. Sehingga dari perbandingan tersebut, akan menghasilkan atau

(5)

mengklasifikasikan daerah mana yang masuk dalam tiap kuadran dalam tipologi klassen. Berikut ini adalah penjabaran kriteria daerah kuadran dalam tipologi klassen :

 Kuadran I : Daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan daerah pembanding (high growth and high income).

 Kuadran II : Daerah yang memiliki tingkat pendapatan tinggi namun tingkat pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibandingkan rata-rata daerah pembanding (high income but low growth).

 Kuadran III : Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi relative lebih tinggi, namun pendapatan perkapita lebih rendah dengan rata-rata daerah pembanding (high growth but low income).  Kuadran IV : Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita lebih rendah

dibandingkan daerah pembanding (low growth and low income).

Ketimpangan Pendapatan

Teori disparitas pendapatan wilayah pertama kali dikemukakan oleh Jeffrey G. Williamson yang menganalisa terkait distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat regional (wilayah) di suatu negara. Wilayah yang memiliki pendapatan perkapita tinggi selalu diikuti oleh sekelompok wilayah yang berpendapatan perkapita menengah dan rendah. Jika perbedaan selisih antara wilayah yang berpendapatan tinggi dan rendah sangat besar maka akan menyebabkan ketimpangan (disparitas) yang tinggi. Sementara itu menurut Douglas C. North dalam Hipotesa Neo Klasik menjelaskan bahwa ketika berada di awal proses pembangunan suatu negara, ketimpangan antar wilayah cenderung mengalami peningkatan hingga mencapai titik puncak. Kemudian ketika proses pembangunan berlanjut maka ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan mengalami penurunan secara berangsur-angsur. Berdasarkan hal ini pada negara-negara yang sedang berkembang tingkat ketimpangan lebih tinggi, dan sebaliknya pada negara-negara maju ketimpangan lebih rendah. Sehingga dapat disimpulkan, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah berbentuk hutruf U terbalik (Sjafrizal, 2012).

Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang atau rumah tangga dari sisi ekonomi dalam memenuhi standar minimum kebutuhan dasar baik itu kebutuhan makanan maupun non makanan. Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik kebutuhan makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran yang biasa disebut sebagai garis kemiskinan (proverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Kuncoro (1997) berpendapat bahwa secara makro kemiskinan muncul karena ketidakseimbangan pola kepemilikan sumberdaya yang dapat memicu ketimpangan distribusi pendapatan. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya yang terbatas dan rendah kualitas sebaliknya dengan penduduk kaya yang memiliki sumber daya yang melimpah dan berkualitas.

Tingkat Pengangguran Terbuka

Tingkat Pengangguran Terbuka diukur melalui persentase jumlah penganggur di suatu daerah terhadap jumlah angkatan kerja. Jika semakin tinggi nilai persentase maka semakin tinggi pula pengangguran dalam daerah tersebut, begitu juga sebaliknya. Menurut Kuncoro dalam Masruri (2017) tingkat pengangguran di perkotaan 3 kali lebih tinggi jika dibandingkan pengangguran di pedesaan. Hal itu disebabkan karena terbatasnya kesempatan kerja di perkotaan sehingga pada akhirnya persaingan dalam memperoleh pekerjan akan semakin ketat. Begitu juga pada wilayah pedesaan yang memiliki kesempatan kerja yang terbatas, serta kecilnya upah yang akan didapat sehingga banyak masyarakat melakukan urbanisasi dari desa ke kota guna mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Investasi

Investasi atau penanaman modal merupakan pengeluaran yang tujuannya untuk menambah modal dan manfaat di masa datang dan mengorbankan peluang konsumsi yang ada saat ini. Investasi memiliki 2 aspek yakni konsumsi saat ini dan harapan untuk mendapatkan keuntungan di masa depan. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan distribusi pendapatan. Salah satu penyebab laju pertumbuhan ekonomi meningkat adalah dengan tersedianya modal yang dimiliki atau yang disediakan oleh penduduk berpendapatan tinggi (kapitalis), rata-rata dari mereka menginvestasikan kepada sektor industri yang memiliki produktivitas tinggi dan dapat memperoleh keuntungan yang tinggi. Sehingga dapat disimpulkan untuk

(6)

mengurangi ketimpangan di suatu wilayah, pertumbuhan haruslah memiliki tingkat produktivitas tinggi yang didukung melalui modal yang besar yang diakumulasikan dari investasi. Investasi yang besar berasal dari penduduk berpendapatan tinggi, yang mana mereka termasuk dalam bagian distribusi pendapatan. Sehingga distribusi pendapatan dapat dikatakan sebagai sumber kekuatan, dan pertumbuhan ekonomi (wilayah) sebagai produk atau hasilnya

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif, dengan menggunakan data panel yakni gabungan antara data cross section yakni 5 kabupaten /kota di Provinsi DIY, serta data time series dengan periode tahun 2009-2019. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yakni data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang sudah ada.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif yang dijelaskan melalui analisis LQ guna mengetahui sektor basis dan non basis tiap wilayah kabupaten/kota, serta analisis Tipologi Klassen untuk melihat kondisi pertumbuhan setiap daerah , sedangkan pendekatan kuantitatif dijelaskan melalui analisis regresi data panel, dengan nilai alpha 0.05 atau 5%, yang digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh antara variabel dependent yakni ketimpangan pendapatan dan variabel independent yakni kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, dan investasi. Persamaan analisis regresi panel dalam penelitian ini adalah :

Yit = α + α1X1it + α2X2it + α3X3it + eit Keterangan :

Yit : Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota DIY.

α : koefisien X1 : Kemiskinan

X2 : Tingkat Pengangguran Terbuka X3 : Investasi

e : error

D. PEMBAHASAN

Ketimpangan pendapatan merupakan ketidakmerataan pendapatan antar kelompok masyarakat dalam suatu wilayah. Adanya perbedaan pendapatan disebabkan oleh adanya perbedaan Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), keadaan finansial, dan lain-lain dalam wilayah tersebut. Sehingga kemampuan masing-masing wilayah dalam memperbaiki kondisi perekonomian serta mengatasi ketimpangan akan berbeda-beda. Provinsi DIY memiliki nilai ketimpangan tertinggi di Indonesia, dengan rata-rata peningkatan sebesar 0.0162 pertahunnya. Walaupun DIY termasuk dalam ketimpangan sedang, akan tetapi DIY berada di batas maksimal ketimpangan sedang, sehingga apabila masalah ini tidak diperhatikan maka bisa saja DIY terus mengalami peningkatan nilai ketimpangan.

Tingginya angka indeks gini menunjukan adanya distribusi pendapatan yang tidak merata antar wilayah di kabupaten/kota provinsi DIY serta tingginya kesenjangan pendapatan disebabkan karna golongan kaya naik lebih tinggi dibanding golongan miskin, sehingga adanya gap yang lebar antara si kaya dan si miskin.

0,25 0,28 0,31 0,34 0,370,4 0,43 0,46

Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Yogyakarta

2014 2015 2016 2017 2018 2019

Indeks Gini Kabupaten/Kota Provinsi DIY

(7)

Sumber : Badan Pusat Statistik, data diolah, 2020

1. Location Quotient (LQ)

Berdasarkan hasil perhitungan LQ, dapat diketahui bahwa untuk sektor primer unggul dalam 3 kabupaten dan menjadi sektor basis tertinggi di daerah tersebut, ini menunjukan bahwa masih banyaknya masyarakat yang bertumpu pada sektor primer, khususnya pada sektor pertanian. Untuk itu maka diperlukan upaya yang maksimal dalam pengolahannya agar selalu menjadi sumber pertumbuhan bagi perekonomian daerah. Untuk melihat kondisi sektor tiap daerah maka penulis akan membahas hasil analisis LQ berdasarkan kabupaten/kota, sebagai berikut :

A. Kabupaten Kulon Progo

Kabupaten Kulon Progo memiliki 8 (delapan) sektor basis yang sangat berpengaruh pada pendapatan daerah, yang mana sektor-sektor ini selain mampu mencukupi kebutuhan daerah, juga mampu mengekspor hasil barang/jasa kepada daerah lainnya. Hasil perhitungan LQ tertinggi diperoleh sektor pertambangan dan penggalian dengan total 2,70 kemudian disusul sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 1,92 dan Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 1,60. Sedangkan yang menjadi sektor non basis terbawah pada Kabupaten Kulon Progo adalah sektor jasa perusahaan (0,28), penyediaan akomodasi makan dan minum (0,39) dan real estate (0,50).

Sektor pertambangan dan penggalian Kabupaten Kulon Progo menjadi sektor yang paling mendominasi dibandingkan dengan wilayah lain. Tercatat ada 61 pertambangan resmi yang memiliki IUP (Ijin Usaha Pertambangan) di Kulon Progo, baik di wilayah perairan maupun daratan. Akan tetapi walaupun menjadi sektor basis, namun sektor ini masih memberikan kontribusi PDRB yang sangat sedikit yakni 1,52%, sehingga perlu adanya pengoptimalan seperti meningkatkan teknologi, sarana dan prasarana pendukung, melakukan pembinaan serta pemulihan kawasan yang sebelumnya menjadi kawasan penambangan agar dapat memberikan sumbangan yang besar bagi pendapatan daerah. Jika dilihat dari kontribusi PDRB maka sektor pertanian, kehutanan dan perikanan merupakan sektor yang mendominasi perekonomian Kabupaten Kulon Progo yakni sebesar 18,37% atau setara lebih dari 1 triliyun. Peranan subsektor tanaman pangan, tanaman holtikultura, dan peternakan menjadi subsektor yang memberikan nilai tambah dominan terhadap sektor ini. Akan tetapi peranan sektor ini mengalami penurunan setiap tahunnya, salah satu penyebab penurunannya karena berkurangnya luas lahan serta lambatnya kenaikan harga produk pertanian.

B. Kabupaten Bantul

Berbeda satu sektor dengan Kabupaten Kulon Progo, Bantul memiliki 7 (tujuh) sektor basis yang memiliki kontribusi yang cukup baik dan menjadi sektor basis di daerah ini, dimana sektor-sektor tersebut mampu memenuhi permintaan barang dan jasa dalam dan luar wilayah. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menjadi sektor basis utama yang memiliki nilai terbesar yakni (1,37) kemudian disusul dengan industri pengolahan(1,15), dan sektor pertambangan dan penggalian (1,13). Sementara sektor non basis terbawah adalah sektor jasa perusahaan yakni 0,47. Walaupun sektor basis Kabupaten Bantul hanya 7, akan tetapi jika dilihat secara keseluruhan maka hampir seluruh sektor memiliki nilai yang mendekati 1, artinya seluruh sektor mampu untuk berkembang dan menjadi sektor basis di kemudian hari. Sehingga dapat dikatakan pola perekonomian Kabupaten Bantul adalah yang terbaik ketiga setelah Kabupaten Sleman dan kota Yogyakarta.

Selain menjadi sektor basis utama, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan juga memiliki kontribusi terbesar kedua dalam PDRB setelah industri pengolahan yakni sebesar 13,10%. Tidak heran jika sektor ini menjadi sektor unggulan Kabupaten Bantul, karna secara letak wilayah sangat strategis yang berada di sebelah selatan dan tengah DIY dengan luas lahan sawah sebesar 15.184 Ha. Selain itu, Bantul juga memiliki kondisi tanah yang subur dan bentuk topografi yang bermacam-macam sehingga menghasilkan berbagai komoditas. Subkategori yang banyak menyumbang dalam sektor ini adalah tanaman pangan, dengan komoditas hasil produksi yang terbesar adalah jagung dan ubi.

C. Kabupaten Gunung Kidul

Kabupaten Gunung Kidul, memiliki sektor basis utama yakni pertambangan dan penggalian sebesar 2,53 kemudian disusul dengan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan 2,50 dan sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang sebesar 1,57. Sedangkan yang menjadi setor non basis terbawah

(8)

yakni jasa perusahaan dan real estate sebesar 0,433 dan 0,490. Sub-kategori yang memberikan nilai tambah kepada sektor penggalian dan pertambangan hanya pertambangan dan penggalian lainnya, dikarenakan kategori ini sangat berkaitan erat dengan sumber daya alam yang tersedia. Dan jika dilihat dari kontribusi sektor ini, tidak terlalu memberikan peningkatan yang signifikan akan tetapi hanya berada pada nilai 1,49%

Sama halnya dengan Kabupaten Kulon Progo dan Bantul, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan Gunung Kidul juga mendominasi perekonomian daerah, dengan kontribusi rata-rata sebesar 23,70%. Hingga tahun 2019, seluruh subkategori dalam sektor ini tumbuh positif, dengan pertumbuhan terbesar berada pada kategori perikanan yakni sebesar 4,81%. Komoditas unggulan hasil pertanian Gunung Kidul berupa jagung, ubi, kacang panjang dan lain-lain. Diantara seluruh wilayah, sektor ini yang paling banyak memberikan nilai tambah terhadap PDRB, maka tidak heran jika sektor ini yang menjadi tumpuan ekonomi dan ketahanan pangan serta penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat daerah

D. Kabupaten Sleman

Kabupaten Sleman memiliki 7 sektor basis, diantara yang paling utama adalah sektor jasa perusahaan sebesar 1,65, kemudian sektor konstruksi sebesar 1,18. Sedangkan untuk sektor non basis rata-rata sudah hampir mencapai batasan LQ sehingga mampu untuk berkembang di kemudian hari. Adapun sektor dengan nilai yang paling rendah adalah sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang sebesar 0,47, akan tetapi laju pertumbuhan berfluktuatif dari 2,88%; 2,01%; 4%; dan 10,98% pada tahun 2016-2019.

Berbeda dengan kabupaten lainnya, Sleman lebih unggul pada sektor industri pengolahan. Dimana industri makanan dan minuman menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan daerah mencapai 46,61% atau 2,48 triliun, kemudian disusul industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 18,76%. Kawasan industri tersebar di berbagai daerah di Kabupaten Sleman. Hingga tahun 2017, kecamatan moyudan menjadi wilayah Industri Kecil (IK) terbanyak mencapai 2.107 perusahaan, dan Industri Besar Menengah (IBM) dipegang oleh kecamatan mlati dengan total 29 perusahaan.

E. Kota Yogyakarta

Yogyakarta merupakan daerah dengan sektor basis hampir dua kali lipat terbanyak dibanding daerah lainnya yakni mencapai 12 sektor dengan yang paling tinggi perolehan nilai LQ adalah sektor jasa keuangan dan asuransi (1,70), disusul sektor pengadaan listrik dan gas (1,51) dan sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (1,50). Adapun sektor non basis terendah di Yogyakarta adalah pertambangan dan penggalian (0,007) dan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 0,018. Hal ini menunjukan bahwa Kota Yogyakarta didominasi oleh sektor sekunder dan tersier.

Jasa keuangan dan asuransi memiliki 4 subkategori, diantaranya jasa perantara keuangan, asuransi dan dana pensiun, jasa keuangan lainnya, dan jasa penunjang keuangan. Diantara subkategori tersebut, jasa perantara keuangan mendominasi kontribusi PDRB, khususnya tahun 2013-2019 sebesar 63-65%. Subkategori ini memiliki peran penting dalam pembangunan Kota Yogyakarta, salah satunya menjadi penggerak ekonomi masyarakat, dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian menyalurkan kembali pada masyarakat dalam bentuk kredit, deposito, dan sebagainya yang tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

(9)

Sumber : data diolah, 2020

Dari grafik di atas, terlihat jelas bahwa pola pertumbuan ekonomi di kabupaten/kota D.I Yogyakarta berada di 4 kuadran yang diukur berdasarkan rata-rata PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi. Berikut ini pemaparan dari masing-masing kuadran, diantaranya :

a. Kuadran I (daerah maju dan tumbuh cepat)

Kabupaten Sleman menduduki kuadran I yang mana daerah tersebut memiliki kondisi perekonomian yang cukup baik, sehingga kesejahteraan masyarakat di daerah ini lebih tinggi dibanding daerah lainnya. Umumnya perekonomian daerah terpusat di perkotaan, sehingga Kabupaten Sleman yang secara letak wilayah saling bersebelahan dengan kota Yogyakarta, memiliki dampak positif bagi perekonomian daerahnya. Disamping itu, daerah tersebut juga merupakan daerah utama bagi investor untuk menanamkan modal sebagaimana data yang telah ditampilkan sebelumnya. Sehingga dengan kondisi ekonomi tersebut mampu membuat daerah Sleman berada di daerah maju dan tumbuh pesat berdasarkan tipologi klassen.

b. Kuadran II (daerah maju tapi tertekan)

Pada awalnya kota Yogyakarta berada di kuadran I bersama Kabupaten Sleman, akan tetapi di 3 tahun terakhir nilai laju pertumbuhan ekonomi Yogyakarta kurang dari nilai laju pertumbuhan provinsi, sehingga mengakibatkan daerah tersebut menduduki kuadran ke II, dengan daerah yang maju tapi tertekan. Jika dilihat pada gambar di atas nilai laju pertumbuhan Yogyakarta mendekati batas rata-rata laju pertumbuhan provinsi, sehingga jika pemerintah daerah dapat meningkatkan laju prtumbuhan maka Yogyakarta dapat menjadi daerah yang maju dan tumbuh pesat sebagaimana Kabupaten Sleman

c. Kuadran III (daerah berkembang pesat)

Kabupaten Kulon Progo memiliki jumlah PDRB yang paling keil diantara wilayah lainnya, akan tetapi secara laju pertumbuhan ekonomi khususnya di tahun-tahun terakhir hanya Kulon Progo yang sangat cepat dalam pertumbuhannya. Sehingga Kulon Progo menduduki kuadran III yang mana daerah tersebut merupakan daerah potensial dan berkembang cepat.

d. Kuadran IV (daerah relativ tertinggal)

Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul menduduki wilayah yang relativ tertinggal. Hal ini menunjukkan daerah tersebut kurang maksimal dalam mengembangkan potensi yang ada. Walaupun secara geografis daerah tersebut memiliki luas wilayah tertinggi diantara wilayah lain, namun hal itu kurang berpengaruh terhadap perekomian. Untuk itu pemerintah perlu fokus pada perekonomian Bantul dan Gunung Kidul agar tidak semakin tertinggal dengan wilayah lainnya. Terutama Kabupaten Gunung Kidul yang selama 9 tahun tetap berada di kuadran IV dan menjadi daerah yang relatif tertinggal.

Sjafrizal (2012) dalam Widi Asih (2015) mengemukakan bahwa agar dapat mengetahui mana daerah yang cepat tumbuh dan daerah tertinggal maka dapat diketahui melalui perhitungan tipologi klassen. Todaro dan Smith (2011) dalam Widi Asih (2015) juga mengatakan bahwa ketimpangan antar daerah yang maju dan relatif tertinggal dibuktikan melalui fakta bahwa di Asia Timur memiliki tingkat ketimpangan yang rendah, akan tetapi dapat tumbuh dengan cepat, sedangkan pada wilayah Amerika Latin dan Afrika memiliki tingkat ketimpangan tinggi, dan tumbuh dengan sangat lambat

3. Uji Asumsi Klasik

3.1 Uji Normalitas

Untuk melihat apakah data terdistribusi dengan normal atau tidak dapat dilihat menggunakan uji normalitas. Dalam uji ini melihat nilai probabilitas Jarque-Bera. Apabila nilai yang dihasilkan kurang dari nilai α (0,05) maka data tidak terdistribusi dengan normal, begitu juga sebaliknya jika nilai probabilitas lebih dari nilai α maka data terdistribusi dengan normal. Berdasarkan hasil pengujian, nilai probabilitas JB < 0.05 artinya data terdistribusi dengan normal.

Jarque-Bera 1.093268

(10)

3.2 Uji Multikolinieritas

Untuk melihat apakah terdapat korelasi antar variabel independen yakni tingkat kemiskinan, TPT, dan investasi maka diperlukan uji multikolinieritas. Untuk mengetahui persamaan regresi mengandung multikolinieritas dapat dilihat dengan cara melihat nilai korelasi dan VIF. Jika nilai korelasi >0,8 maka terdapat multikolinieritas. Dan jika nilai Centered VIF <10 maka tidak terdapat multikolinieritas. Dari hasil pengujian, nilai VIF dari masing-masing variabel independent < 10 sehingga tidak ada masalah multikolinieritas.

Variable Centered VIF

C NA

KEMISKINAN 3.125731

TPT 1.763352

INVESTASI 2.075329

3.3 Uji Autokolerasi

Pengujian autokolerasi menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correation LM Test dengan melihat nilai probabilitas. Dari hasil pengujian menunjukkan nilai probabilitas Chi-Square(2) sebesar 0.0692 dimana nilai tersebut lebih besar dari alpha 0,05 sehingga tidak terjadi autokolerasi.

Fstatistic 2.636054

Obs*R-squared 5.342816 Prob. Chi-Square(2) 0.0692 3.4 Uji Heterokedaksitas

Uji heterokedaksitas digunakan untuk melihat apakah terdapat varians yang konstan atau tidak dari residual dalam satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Apabila nilai p-value lebih besar dari nilai alpha 0,05 ( p>α ) maka varians error bersifat homoskedastisitas, sebaliknya jika nilai Prob lebih kecil dari nilai alpha ( p<α ) maka varians error bersifat heterokedaksitas. Dari hasil uji Glejser di atas menunjukan nilai probabilitas variabel independen > 0.05 sehingga tidak terjadi heterokedaksitas.

Variable Prob.

C 0.0218

KEMISKINAN 0.5142

TPT 0.3572

INVESTASI 0.0858

4. Hasil Uji Regresi Panel

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.381880 0.046359 8.237512 0.0000

KEMISKINAN -0.003808 0.003053 -1.247352 0.2184

TPT 0.013111 0.004831 2.714071 0.0093

INVESTASI 0.005957 0.002906 2.049699 0.0460

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.628768 Mean dependent var 0.390116

Adjusted R-squared 0.573478 S.D. dependent var 0.043317

S.E. of regression 0.028290 Akaike info criterion -4.158903

Sum squared resid 0.037615 Schwarz criterion -3.866927

Log likelihood 122.3698 Hannan-Quinn criter. -4.045993

F-statistic 11.37222 Durbin-Watson stat 1.840445

(11)

Uji F-statistik

Uji F bertujuan untuk melihat pengaruh antara keseluruhan variabel independent yakni tingkat kemiskinan, TPT, dan investasi secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependent yakni ketimpangan pendapatan. Berdasarkan hasil uji analisis regresi data panel yang telah dilakukan menunjukan Probabilitas F statistic sebesar 0.000000. Nilai ini lebih kecil dari taraf signifikansi α = 5% atau 0,05. Hal ini menunjukkan

jika nilai Fhitung < Ftabel (0.000000 < 0.05) maka H1 ditolak dan H0 diterima, artinya variabel independent

secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependent.

Uji t-statistik

Uji T bertujuan untuk melihat apakah variabel independen yakni tingkat kemiskinan, TPT, dan investasi secara individual berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Taraf signifikansi menggunakan

α = 5% (0.05). Apabila nilai probabilitas < α (0,05) maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya terdapat pengaruh

signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen. Begitu juga sebaliknya jika nilai probabilitas

> α (0,05) maka H1 ditolak dan H0 diterima, yang artinya tidak adanya pengaruh antara variabel independen

terhadap dependen.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai probabilitas t-statistik variabel kemiskinan sebesar 0.2184, tingkat pengangguran terbuka sebesar 0.0093, dan investasi sebesar 0.0460. Jika menggunakan taraf signifikansi 5% maka variabel TPT dan investasi memiliki pengaruh signifikan terhadap ketimpangan di DIY, sedangkan variabel kemiskinan tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan DIY.

Koefisien Determinasi (R2)

Pengujian koefisien determinasi bertujuan untuk melihat baik atau tidaknya model regresi, dengan melihat kemampuan dari variabel independent dalam menjelaskan variabel dependent. Berdasarkan hasil regresi yang ditunjukkan, nilai koefisien determinasi menunjukan nilai sebesar 0.628768, menunjukan variabel independent dalam penelitian yakni Tingkat Kemiskinan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan Investasi mampu menjelaskan variabel dependent sebesar 62%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Kemiskinan

Setelah dilakukan hasil regresi panel, dalam uji F koefisien yang dihasilkan dari variabel kemiskinan menunjukan angka yang negatif sebesar -0.003808 yang berarti setiap kenaikan tingkat kemiskinan akan menurunkan ketimpangan di Provinsi DIY sebesar 0,003808%. Akan tetapi dalam uji t menunjukan probabilitas tingkat kemiskinan sebesar 0.2184, angka ini lebih besar dari taraf signifikansi 0.05 sehingga variabel tingkat kemiskinan tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan di provinsi DIY. Artinya peningkatan atau penurunan jumlah penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan angka ketimpangan.

Penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kuncoro (1997) bahwa keterkaitan antara tingkat kemiskinan dengan ketimpangan pendapatan tidak dapat dipisahkan. Dari sisi ekonomi secara makro kemiskinan muncul akibat dari ketidakseimbangan pola kepemilikan sumber daya, atau dapat terjadi karna tidak meratanya pembangunan di suatu wilayah, sehingga menimbulkan terjadinya disparitas pendapatan. Dan dapat disimpulkan kemiskinan yang terjadi di DIY memiliki pengaruh terhadap ketimpangan pendapatan di DIY, akan tetapi pengaruhnya tidak terlalu signifikan. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Henny Pangkiro, dkk (2016) yang menunjukan secara individual tingkat kemiskinan tidak memiliki pengaruh terhadap ketimpangan di Provinsi Sulawesi Utara, hal ini diperoleh melalui uji t sebesar 4,233. Dan untuk melihat bagaimana pengaruh variabel kemiskinan terhadap ketimpangan di sulawesi utara diperoleh koeffisien elastisitas sebesar 9,5 signifikan terhadap α 0,03%, sehingga jika kemiskinan meningkat 950 jiwa maka akan berpengaruh terhadap ketimpangan sebesar 0,03%.

Tingkat Pengangguran Terbuka

Pada hasil uji regresi yang telah dilakukan menunjukan adanya pengaruh dari TPT terhadap ketimpangan di Provinsi DIY, baik secara bersama-sama maupun secara individual. Hal ini dibuktikan pada uji regresi menunjukan angka sebesar 0.013111 dan menunjukan adanya pengaruh secara signifikan melalui uji t sebesar 0.0093 lebih kecil dari taraf signifikan sehingga secara parsial TPT juga berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kuncoro (1997) bahwa perpindahan penduduk pada daerah yang memiliki perekonomian lebih berkembang akan berpengaruh pada meningkatnya

(12)

ketimpangan daerah serta merosotnya perekonomian daerah yang ditinggalkan. Hal ini ditunjukkan melalui nilai tingkat pengangguran tertinggi berada pada daerah-daerah maju yakni Kabupaten Sleman dan kota Yogyakarta dua kali lipat lebih besar dibanding daerah lainnya. Hal itu disebabkan karna pengangguran muncul akibat jumlah lapangan yang tersedia lebih kecil dibanding jumlah pencari kerja terutama pencari kerja yang berasal dari wilayah lainnya. Dan hal itu berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi daerah yang tertinggal, dalam hal ini Kabupaten Kulon Progo, Bantul dan Gunung Kidul yang ditunjukkan melalui kecilnya nilai PDRB.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yenny Del Rosa dan Ingra Sovita (2016) bahwa tingkat pengangguran terbuka berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan di Pulau Jawa dengan koefisien regresi sebesar 0.01368 dan probabilitas sebesar 0.0261. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Masruri (2016) bahwa pengangguran terbuka berpengaruh signifikan terhadap peningkatan ketimpangan di Jawa Tengah.

Investasi

Berdasarkan hasil regresi yang telah dilakukan menunjukan adanya pengaruh positif variabel X3

terhadap Y dengan nilai koefisien sebesar 0.005546, sedangkan secara parsial menunjukan nilai yang signifikan yakni sebesar 0.0405, yang mana angka ini lebih kecil daripada taraf signifikansi 0.05 sehingga variabel investasi berpengaruh terhadap ketimpangan di provinsi DIY. Hal ini sejalan dengan teori Harrod Domar yang menjelaskan bahwa adanya hubungan positif antara investasi dengan laju pertumbuhan ekonomi. Jika investasi tidak merata pada beberapa daerah maka akan menimbulkan adanya perbedaan laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah, sehingga hal ini juga berdampak pada timbulnya kesenjangan pendapatan antar wilayah. Selain itu menurut penelitian yang dilakukan oleh Rosmeli (2015) menunjukan hasil yang berbeda, yakni melalui hasil uji regresi yang telah dilakukan menunjukan bahwa PMDN tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan, sedangan PMA memiliki pengaruh terhadap ketimpangan pembangunan di kawasan timur Indonesia

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan:

1. Berdasarkan analisis LQ, Yogyakarta memiliki 12 sektor dan Sleman dengan 7 sektor basis yang berpusat pada sektor sekunder dan tersier, sedangkan kabupaten lainnya rata-rata hanya memiliki 7 sektor basis lebih dominan pada sektor primer, sehingga hal ini berpengaruh terhadap pendapatan & pertumbuhan daerah, dimana sektor primer memiliki nilai tambah yang lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai tambah yang dihasilkan sektor sekunder maupun tersier.

2. Menurut klasifikasi tipologi klassen, Sleman menempati posisi di kuadran I yang berarti daerah tersebut maju dan tumbuh pesat, kota Yogyakarta menempati kuadran II yang tergolong daerah maju tapi tertekan, kabupate Kulon Progo berada di kuadran III menjadi daerah yang cepat berkembang dan Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul yang berada di kuadran IV dan menjadi daerah yang relatif tertinggal.

3. Berdasarkan hasil regresi panel, variabel kemiskinan tidak signifikan terhadap ketimpangan DIY dengan hasil regresi sebesar 0,218. Sedangkan variabel TPT dan Investasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan DIY dengan nilai probabilitas sebesar 0.0093 dan 0.0460, artinya peningkatan dan penurunan tingkat pengangguran maupun besarnya nilai investasi akan mempengaruhi ketimpangan pendapatan di DIY.

Saran:

1. Pemerintah perlu memfokuskan peningkatan perekonomian khususnya pada wilayah yang berada di kuadran IV guna meminimalisir tingginya ketimpangan daerah.

2. Perlunya program pengentasan kemiskinan dengan cara meningkatkan dan memaksimalkan SDA yang ada dan meningkat kualitas SDM, meningkatkan produktivitas sehingga dapat mendorong kenaikan upah dan masyarakat bawah terbebas dari jurang kemiskinan.

3. Memprioritaskan pertumbuhan ekonomi khususnya pada wilayah-wilayah terbelakang dengan cara memperbaiki infrastruktur agar terciptanya konektivitas dengan wilayah maju, serta menciptakan pusat kegiatan ekonomi, seperti sektor pariwisata yang dapat menjadi penyebab adanya multiplier effect terhadap sektor lapangan usaha lainnya sehingga kunjungan wisata tidak terpusat pada daerah perkotaan saja.

(13)

4. Perlu pemerataan investasi pada setiap daerah sehingga tidak hanya terpusat pada wilayah maju. Begitu pula dalam pembagian investasi tidak hanya berfokus pada sektor sekunder dan tersier saja, akan tetapi juga pada sektor primer. Lebih-lebih lagi sektor primer dalam setiap kabupaten menjadi salah satu sektor utama dalam kontribusi terhadap pendapatan daerah dan masih banyaknya masyarakat yang bertumpu pada pekerjaan di sektor tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Asih, Widi. 2015. Analisis Ketimpangan dalam Pembangunan Ekonomi Antar Kecamatan di

Kabupaten Cilacap tahun 2004-2013. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik. 2018. Gini Ratio Provinsi. https://bps.go.id. Diakses pada: 15 Agustus 2018.

Badan Pusat Statistik. 2018. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

https://Yogyakarta.bps.go.id/. Diakses pada: 30 Agustus 2018.

Badan Pusat Statistik. 2019. Persentase Penduduk Miskin.

https://Yogyakarta.bps.go.id/. Diakses

pada: 8 Januari 2019.

Boediono. 1981. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta

Kuncoro, Mudrajat. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta:

(Unit Penerbit dan Percetakan) UPP AMP YKPM.

Masruri. 2016. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, IPM, TPAK, dan Pengangguran Terbuka

terhadap Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Provinsi Jawa Tengah Tahun

2011-2014. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Malang.

Niswah, Feiruz. 2017. Analisis Pengaruh Variabel Struktur Ekonomi, Tingkat Partisipasi Angkatan

Kerja, Kredit Investasi, Dana Alokasi Umum dan Belanja Modal Terhadap Ketimpangan

Pembangunan Antar Provinsi Di Indonesia. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Brawijaya. Malang.

Pangkiro, Hanny, A.K, dkk. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan terhadap Tingkat

Ketimpangan di Provinsi Sulawesi Utara. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam

Ratulangi. Manado.

Rosa, Yeni Del., dan Ingra Sovita. 2016. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan

Distribusi Pendapatan di Pulau Jawa. Universitas Dharma Andalas. Padang. Jurnal Vol. II

No 4.

Rosmeli, 2015. Dampak Investasi dan Tenaga Kerja terhadap Ketimpangan Pembangunan Kawasan

Timur Indonesia. Faakultas Ekonomi Universitas Jambi. Jambi. Jurnal Vol. 10 No 2.

Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. 2006. Pembangunan Ekonomi Terjemahan, Edisi

Kesembilan. Jakarta: Erlangga.

Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. 2011. Pembangunan Ekonomi Terjemahan, Edisi

Kesebelas, jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Gambar

Gambar 1 : PDRB Provinsi D.I Yogyakarta Atas Dasar Harga Berlaku (Milliar Rupiah)

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan

Investasi pembangunan khusus bidang Cipta Karya di Kota Gunungsitoli selama 3-5 tahun terakhir yang bersumber dari APBN, APBD, perusahaan daerah dan masyarakat/swasta..

Berdasarkan dari hasil penelitian, peneliti mencoba memberikan beberapa saran bagi penelitian selanjutnya yaitu: 1) Bagi penelitian selajutnya diharapkan dapat

Meskipun Nahid mengalami culture shock di Amerika Serikat, mencintai Timur Tengah, dan pada awalnya tidak cukup tahan dengan ide menjadikan Australia sebagai rumah

Skripsi, Program Studi S1 Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.. Ikatan Dokter Anak

Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Eksperimental Designs yang bertujuan untuk mengetahui: (1) Gambaran hasil belajar fisika yang diajar dengan model

yang ada dan juga fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani yang sukses sebagai pengusaha agribisnis, mereka umumnya memiliki sebagian besar -jika tidak

Formulasi stategi adaptif masyarakat sekitar hutan terhadap periode jeda hujan dan kemarau panjang dalam kurun waktu 30 tahun Lokus penelitian tentang sistem