• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ushul Fiqh.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ushul Fiqh.pdf"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 Daftar isi IV

1. Al-Qism al-awwal Ushul al-Fiqh; Al-Ahkam ; 3. Al-Mabhats al-awwal fiy al-Amr ; 4. Al-Mabhats tsani fiy Nahyi ; 5. Al-Mabhats talits fiy 'Am ; 6. Al-Mabhats rabi' fiy Khas wa al-Takhshis ; 7. Al-Mabhats al-khamis fiy al-Naskh ; 8. Al-Mabhats al-sadis fiy al-Mujmal; 9. Al-Mabhats al-sabi' fiy al-Muthlaq wa al-Muqayyad; 10. Al-Mabhats al-tsamin fiy al-Mafhum wa al-Mantuq; 11. Al-Mabhats al-tasi' fiy Fi'l shahib al-syari'ah; 12. Al-Mabhats al-'asyir fiy Iqrar shahib al-syari'ah; 13. Al-Mabhats al-hadiy 'asyara fiy al-Ijma'; 14. Al-Mabhats al-tsani 'asyara fiy al-Qiyas; 15. Al-Mabhats al-tsalits 'asyara fiy al-Ijtihad, al-Ittiba', al-Taqlid; 16. Al-Qism al-tsani Qawa'id al-Fiqh; 17. Kaidah ke-1; 18. Kaidah ke-2

BAGIAN AWAL USHUL FIQH

Asal (al-ashlu) secara bahasa adalah sesuatu yang menjadi sandaran. Seperti akar yang menjadi dasar tumbuhnya sebuah pohon dan ushul al-fiqh yang menjadi pondasi fiqh. Sedangkan cabang (al-far') adalah sesuatu yang dididrikan diatas sesuatu yang lain. Seperti cabang-cabang pohon (batang dan lainnya) yang berdiri diatas akarnya, dan fiqh yang berdiri diatas ushul-nya.

Menurut istilah asal adalah dalil dan kaidah kulliyat. Seperti perkataan ulama' bahwa dasar

wajibnya shalat adalah al-Kitab (al-Quran). Maksudnya dalil yang mewajibkan shalat adalah al-Quran.

Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 43.

Artinya : “….dan dirikanlah shalat…”

Pendapat ulama' yang menyatakan diperbolehkannya memakan bangkai dalam kondisi darurat (emergency), adalah bertentangan dengan kaidah kulliyat yang berbunyi; "kullu mayyitah harām" artinya : setiap bangkai haram hukumnya. Kaidah ini bersumber dari Firman Allah SWT. Yang berbunyi :

" " تخًٛنا ىكٛهع وشح اًَا

Ushul fiqh merupakan dalil fiqh global. Seperti kemutlakan amr (perintah) menunjukkan makna wajib, mutlaknya nahi (larangan) menunjukkan keharaman, mutlaknya perbuatan Nabi (af'al al-Nabi), mutlaknya ijma', dan mutlaknya qiyas yang kesemuanya itu merupakan hujjah.

lafal “fiqh” dalam bahasa Arab mempunyai arti faham (al-fahm). Sedangkan dalam terminologi syar'iy, fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syari'at yang diperoleh dengan jalan ijtihad. Seperti mengetahui bahwa niat dalam wudhu merupakan suatu kewajiban, dan berbagai permasalahan lain yang masuk dalam ranah ijtihadiyah. Fiqh, berbeda dengan hukum-hukum syari'at yang diketahui tanpa menggunakan metode ijtihad. Seperti mengetahui bahwa shalat lima waktu adalah wajib, perbuatan zina adalah haram, dan berbagai permasalahan lain yang ditetapkan dengan dalil qath'iy. Ilmu seperti ini tidak dinamakan fiqih.

(2)

2 Sedangkan ilmu (ىهعنا) adalah sifat yang dengannya sesuatu yang di kehendaki bisa diketahui dengan sempurna. bodoh (مٓجنا) adalah tidak adanya pengetahuan akan sesuatu perkara. Dzan (ٍظنا) adalah menilai sesuatu yang lebih kuat dari dua perkara. Wahm (ىْٕنا) adalah menemukan sesuatu yang kurang kuat dari dua perkara. Syak (كشنا) adalah menemukan persamaan pada dua perkara.

Keraguan yang timbul tentanga antara apakah seseorang bernama Zaid sedang berdiri atau tidak yang sama-sama kuat dinamakan syak, jika lebih unggul salah satunya dinamakan dzan, dan ketika mengunggulkan salah satu antara keadaan Zaid sedang berdiri atau tidak sedang berdiri dinamakan wahm. Dalam kaitan ini, ilmu dalam pengertian fiqih mengandung pengertian dzan (prasangka). Maksudnya, sebagaimana dalam pembahasan selanjutnya, akan diketemukan adanya kaidah yang menyatakan bahwa produk ijtihad sebagai salah satu mekanisme metode penggalian hukum dalam islam masuk dalam kategori zdanniy (prasangka) dan bukannya qath'iy (pasti).

PEMBAGIAN HUKUM SYARI'AT

Al-Ahkam al-Syar‟iy (hukum-hukum syariat) dibagi menjadi sembilan, yaitu: wajib, mandub, mubah, haram, makruh, sahih, bathil, rukhshah dan 'azimah. Adapun definisi masing-masing sembilan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Wajib, yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan akan diberi pahala dan ketika ditinggalkan akan disiksa. Seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.

2. Mandub, yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan akan diberi pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa. Seperti shalat tahiyat masjid.

3. Haram, yaitu sesuatu yang apabila ditinggalkan akan diberi pahala dan apabila dikerjakan akan disiksa. Seperti riba dan melakukan kerusakan.

4. Makruh, yaitu sesuatu yang diberi pahala apabila ditinggalkan, tapi tidak disiksa apabila dikerjakan. Seperti mendahulukan bagian yang kiri dalam wudhu.

5. Mubah, yaitu sesuatu yang apabila ditinggalkan dan dikerjakan tidak mendapat pahala dan siksa. Seperti tidur siang hari.

6. Shahih, yaitu sesuatu yang didalamnya mencakup rukun dan syarat. 7. Bathil, yaitu sesuatu yang didalamnya tidak mencakup rukun dan syarat.

8. Rukun adalah sesuatu yang menyebabakan sahnya sesuatu (pekerjaan) dan ia merupakan bagian (juz) dari sesuatu (pekerjaan) itu. Seperti membasuh wajah dalam berwudhu dan takbiratul ihram dalam shalat. Adapun syarat adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya sesuatu (pekerjaan), namun ia bukanlah bagian (juz) dari sesuatu (pekerjaan) tersebut.

9. Rukhshah, yaitu perubahan hukum dari berat menjadi ringan, sedangkan sebab hukum asalnya masih tetap. Seperti diperbolehkannya membatalkan puasa bagi musafir meskipun ia tidak

(3)

3 merasa keberatan untuk melanjutkan puasanya. Dan diperbolehkan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa.

10. „Azimah, yaitu hukum seperti kewajiban shalat lima waktu dan haramnya memakan bangkai bagi yang tidak terpaksa.

Pembahasan Ke - 1 AL-AMR

Al-Amr (perintah) yaitu tuntutan untuk mengerjakan dari atasan kepada bawahannya. Dalam pembahasan amr ini terdapat beberapa kaidah sebagai berikut :

1. Perintah (amr) pada dasarnya menunjukkan wujub, kecuali ada dalil yang menunjukkan selainnya.

Firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah (2): 43.Artinya: “…dan dirikanlah shalat dan

tunaikanlah zakat…”

2. Perintah (amr) pada dasarnya tidak memiliki konsekuensi pengulangan, kecuali ada dalil yang menunjukkan selainnya. Firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah (2):196.

3. Perintah (amr) pada dasarnya tidak memiliki konsekuensi untuk segera dikerjakan. Tujuan amr (perintah) adalah terwujudnya suatu pekerjaan tanpa adanya pengkhususan dengan waktu awal. 4. Perintah (amr) terhadap sesuatu berarti juga perintah kepada hal-hal yang menjadi wasilah

(medium) timbulnya sesuatu tersebut.

Contoh perintah shalat berarti perintah untuk bersuci.

5. Perintah terhadap sesuatu berarti larangan (nahi) terhadap hal-hal yang berlawanan dengan sesuatu tersebut.

Firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah (2):83.

Artinya : “….dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia...”

6. Ketika suatu perintah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuannya maka orang yang dikenai perintah telah terbebas dari ikatan (perjanjian) amr tersebut. seperti ketika seseorang yang tidak menemukan air (untuk wudhu) kemudian tayamum dan mengerjakan shalat, maka ia tidak wajib qadha (mengulang) shalat ketika menemukan air.

Pembahasan Ke - 2 AL-NAHY

Al-Nahy (larangan) adalah tuntutan untuk meninggalkan (suatu pekerjaan) dari atasan kepada bawahannya. Pembahasan larangan (al-nahy) meliputi beberapa kaidah sebagai berikut:

(4)

4 1. Larangan (al-nahy) pada dasarnya menunjukkan keharaman (sesuatu yang dilarang), kecuali

adanya petunjuk (dalil) sebaliknya.

2. Larangan (al-nahy) akan suatu hal (dapat diartikan sebagai) perintah akan hal-hal yang berlawanan atau kebalikan dari yang dilarang.

Allah berfirman QS. al-Baqarah (2):188.Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan

harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu

membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

3. Larangan (al-nahy) pada dasarnya menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang dalam ibadah. Seperti shalat dan puasanya perempuan yang haidh.

4. Larangan (al-nahy) pada dasarnya menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang dalam

muamalah. Hal ini terjadi ketika larangan itu dikembalikan kepada kondisi akad (nafs al-'aqd), seperti bai' al-hashot (jual beli dengan cara melemparkan batu kecil atau spekulasi). Namun ketika larangan itu dikembalikan kepada sesuatu yang keluar dari transaksi (faktor eksternal) yang tidak tetap, maka sesuatu yang dilarang tersebut tidak rusak. Seperti hanya jual beli pada waktu adzan jum'at.

Firman Allah SWT dalam QS. Al-Jum‟ah (62):9.

Artinya : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka

bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. al-Jum'ah 9).

Pembahasan Ke - 3 AL-'AM

Al- Am ( عناوا ) adalah sesuatu yang meliputi dua hal atau lebih tanpa adanya batasan. Lafazd-lafazd yang digunakan untuk menunjukkan makna 'am ada empat, yaitu:

1. Isim wahid (mufrod) yang di-ma'rifat-kan dengan huruf lam. Seperti QS. al-Ashr (103): 2-3. Artinya : "Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian kecuali mereka yang beriman…"

2. Isim jama' yang di-ma'rifat-kan dengan huruf lam. Contoh QS. al-Baqarah (2):195.

Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

(5)

5 Artinya: “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.”

4. Isim-isim mubham

a) Lafal “ٍي“ bagi sesuatu yang berakal. Contoh Firman Allah QS. al-Zalzalah (99): 7.

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”

b) Lafal اي bagi yang tidak berakal. Contoh Firman Allah QS. al-Hujarat (49): 18.

Artinya: “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”

c) Lafal ٘ا. Contoh :

تٚلأا..ُٗغحناءاًعلاا ّهف إعذح اّياٚا

d) Lafal ٍََْٚا yang menunjukkan tempat. Contoh QS. al-Nisa' (4): 78.

Artinya: “Dimanapun kamu berada kematian akan mendapatkan kamu…” e) Lafal ٗخيyang menunjukkan zaman. Contoh :

كناط ِجَاف ِثشفع ٗخي

Pembahasan Ke - 4

AL-KHAS DAN AL-TAKHSHIS

Al-khas (صاخنا) adalah sesuatu yang tidak mengandung dua makna atau lebih tanpa adanya batasan. Sedangkan al-takhshish (ضٛظخخنا) adalah mengeluarkan sebagian yang ditunjukkan 'am. Takhshis dibagi menjadi dua, yaitu; takhshis muttashil (bersamaan) dan takhshis munfashil (terpisah). Macam-macam takhshis muttasil :

1) Pengecualian (al-Istisna'). Contoh: QS. al-„Ashr (103): 2-3.Artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian kecuali mereka yang beriman…”

2) Pembatasan (al-taqyid) dengan sifat. Contoh Firman Allah SWT dalam QS. al-Nisa' (4): 96. Artinya: “(Hendaklah) Ia memerdekakan seorang hamba yang beriman…”

3) Pengecualian dengan dengan batas (ghayah). Contoh QS. al-Baqarah (2): 222. Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci…” 4) Pengecualian dengan pengganti (badal). Contoh QS. Ali „Imron(3): 97.

Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...”

(6)

6 1) Pengecualian kitab (Qur‟an) dengan kitab (Qur‟an). Firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah (2): 221.

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik…” ayat ini ditakhsis dengan

Firman Allah SWT dalam QS. al-Maidah (5): 5,

تٚلاا ...ىكهبل ٍي باخكنا ٕحٔا ٍٚزنا ٍي ثاُظحًنأ...ٗناعح ّنٕل ٗنا محا وٕٛنا

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan –sampai pada Firman Allah ta'ala- Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang di beri al-kitab sebelum kamu…

2) Pengecualian al-kitab (al-Qur‟an) dengan al-sunah (al-Hadits).

Firman Allah dalam QS. al-Nisa' (4):11.

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pustaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan…”

Ayat diatas mengandung pengertian bahwa yang mendapat waris termasuk anak kafir tapi ayat tersebut ditakhsis dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:

ىهغًنا شفاكنا لأ شفاكنا ىهغًنا دشٚلا

Artinya: “Seorang anak muslim tidak mendapatkan warisan dari orang tua kafir dan anak kafir tidak mendapatkan warisan dari orang tua muslim.”

3) Pengecualian al-Sunnah (al-Hadits) dengan al-Kitab (al-Qur‟an). Seperti hadits riwayat Bukhari Muslim yang menerangkan bahwa Allah SWT tidak akan menerima shalat seseorang yang masih dalam keadaan hadats sampai dia berwudhu.

ارا ىكذحا ةلاط مبمٚ لا أضٕخٚ ٗخح دذحا

Artinya : Allah tidak menerima shalat kalian, ketika berhadast sehingga kalian berwudhu. Hadits ini di takhsis dengan

Firman Allah SWT. dalam QS.al-Nisa' (4): 43.

Artinya: “Dan jika kamu sakit –sampai pada Firman Allah- kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah…”

4) Pengecualian al-Sunnah (al-Hadits) dengan al-Sunnah (al-Hadits). Contoh hadits Riwayat Bukhari dan Muslim:

ششعنا ءاًغنا جمع اًٛف

Artinya: “Setiap (zar ) yang disirami dengan air hujan zakatnya sebesar seper sepuluh.” Hadits ini ditakhsis dengan hadits riwayat Bukhori dan Muslim :

تلذط كعٔا تغًخ ٌٔد اًٛف ظٛن

Artinya: “Setiap (zar ) yang kurang dari lima wasaq tidak ada zakat.”

(7)

7 Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Ayat tersebut di takhsis dengan ayat yang menerangkan hukum derap/jilid terhadap budak perempuan (amat) yang hanya dijilid separuh dari ketentuan ayat.

Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Nisa' (4):25.

Artinya: “Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami…”

Adapun untuk seorang budak („abd) di-qiyas-kan kepada amat yaitu setengah dari ketentuan yang telah disebutkan diatas.

6) Pengecualian al-Sunnah (al-Hadits) dengan al-Qiyas. Contoh sabda Rasulullah SAW. : ّجاي ٍبأ ذًحا ِأس ّخبٕمعٔ ا ّضشع محٚ ذجإنا ٙن

Artinya: “Orang kaya yang berpaling dari membayar hutang maka halal kehormatan dan keperwiraannya “ (HR. Ahmad dan Ibn Majjah.)

Dikecualikan dari ketentuan hadits diatas, yaitu orang tua yang menunda-nunda membayar hutang pada anaknya meskipun sudah mampu untuk membayarnya. Maka bagi orang tua yang berpaling dari membayar hutang tidak dihalalkan kehormatan dan keperwiraannya karena dengan memakai qiyas awla tidak diperbolehkannya mengucapkan kata-kata kasar kepada mereka yang telah ditetapkan dalam QS. Al-Isra' (17):23.

Artinya: “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"…”

Pembahasan Ke - 5 NASIKH DAN MANSUKH

Al-Nãsikh (خعاُنا) secara bahasa berarti menghilangkan, menghapus, atau memindah. Dalam tinjauan syara', al-nãsikh adalah menghilangkan atau membatalkan hukum syara' yang telah ditetapkan

terdahulu dengan dalil syara' yang baru. Al-Nãsikh menurut sebagian ulama' terbagi menjadi: 1) Menghapus tulisan (al-rasm) dan menetapkan hukum.

Contoh hadits Nabi SAW: تخبنا إًًْجساف اَٛص ارا تخٛشنأ خٛشنا

Sahabat „umar RA berkata bahwa sesungguhnya kami telah membaca hadits dan bahwasanya nabi SAW telah memberlakukan hukum ranjam terhadap dua orang yang berzina muhshon. Maksud lafal ٍُٛظحي dalam hadits diatas adalah تجخٛشنأ خٛشنا

2. Menghapus hukum dan menetapkan tulisan (al-rasm). Contoh QS. al-Baqarah (2): 240.

(8)

8 Artinya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,

hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini di nasikh dengan QS. al-Baqarah (2): 234.

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. 3) Menghapus dua perkara (hukum dan tulisan) secara bersamaan.

Seperti hadits riwayat Muslim dari 'aisyah ra. ٍيشحٚ ثايٕهعي ثاعضس ششع لضَا اًِٛف ٌاك

Hadits yang menerangkan bahwa yang dapat menyebabkan haramnya sebuah pernikahan sepuluh kali susushan yang diketahui ini kemudian dinasikh dengan hadits yang menerangkan lima kali susuan yang mengharamkan:

خب ٍيشحٚ ثايٕهعي ظً

Me-nasikh al-Kitab (ayat Al-Quran) dengan al-Kitab (ayat al-Quran lain) juga diperbolehkan, seperti dalam ayat tentang 'iddah perempuan sebagaimana yang diterangkan diatas.

4) Menghapus al-Sunah dengan al-Kitab.

Seperti menghadap Baitul maqdis dalam shalat yang ditetapkan dengan sunah fi'liyah (perbuatan Nabi). Dalam hadits riwayat Bukhori Muslim disebutkan "bahwasahnya Nabi SAW menghadap baitul maqdis dalam shalatnya selama 16 bulan ". Hadits kemudian dinasikh dengan firman

Allah SWT. dalam QS. al-Baqarah (2): 144.

Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langi, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka

kerjakan.”

5) Nasikh al-Sunah dengan al-Sunah. Seperti hadits riwayat imam Muslim: اْسٔضف شبمنا ةساٚص ٍع ىكخَٛٓ جُك

Artinya: “(dulu) Aku (Nabi) melarang kalian ziarah kubur. Maka (sekarang) Berziarahlah kalian. “ Sebagian ulama' juga ada yang berpendapat tentang diperbolehkannya menasikh al-kitab dengan al- sunah. Seperti

(9)

9

Firman Allah SWT. dalam QS al-Baqarah :(2) 180,

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Ayat diatas dinaskh oleh sabda Nabi SAW: ّجاي ٍبأ ٘زيشخنا ِأس دسٕن تٛطٔلا

Artiny: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. al-Tirmidzi dan Ibn Majjah.)

Pembahasan Ke - 6 MUJMAL DAN BAYAN

Mujmal (مًجًنا) adalah sesuatu yang membutuhkan penjelasan. Contoh seperti lafal ءٔشل pada ayat: ءٔشل تثلاث ٍٓغفَاب ٍظبشخٚ ثامهطًنأ

karena ada persekutuan makna dalam lafal al-quru' maka memungkinkan lafal tersebut mempunyai arti haidh dan suci.

Bayan (ٌاٛبنا) adalah mengeluarkan sesuatu dari kondisi musykil kepada kondisi jelas. Bayan dibagi menjadi:

1) Bayan (penjelas) dengan ucapan (bi al-qawl) seperti pada Firman Allah SWT. yang menerangkan puasa tamatu'

Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 196.

Artinya: “…Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kalian semua telah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna...”

2) Bayan dengan perbuatan atau pekerjaan. seperti pekerjaan Nabi yang menjelaskan tata cara shalat dan lainnya.

3) Bayan dengan tulisan (kutub). Seperti bayan akan kadar zakat, dan diyat anggota badan sebagaimana yang telah dijelaskan Nabi SAW. melalui hadits-haditsnya.

4) Bayan dengan isyarat, seperti isyarat nabi SAW sambil menunjukkan semua jari tangan dalam satu isyarat “satu bulan adalah seperti ini, seperti ini dan seperti ini. Maksudnya 30 hari. Kemudian nabi memebrikan isyarat lagi dengan telapak tangannya sampai tiga kali, dan pada urutan ketiga beliau tidak menunjukkan ibu jarinya sebagai isyarat bahwa dalam bulan terkadang ada yang hanya sejumlah 29 hari.

Pembahasan Ke - 7 MUTLAQ DAN MUQOYYAD

Mutlaq (كهطًنا) adalah lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu hal tanpa adanya batasan. Sedangkan muqoyyad (ذٛمًنا) adalah lafal yang menunjukkan suatu hal dengan adanya batasan (taqyid).

(10)

10 Penting diketahui bahwa apabila terdapat perintah (khithab) yang bersifat mutlak atau umum, maka ia harus diberlakukan seperti keumumannya. Begitupun ketika terdapat perintah yang dibatasi

(muqoyyad) atau bersifat khusus, maka ia harus diberlakukan berdasarkan kadar pembatasan atau kekhususannya tersebut. Namun ketika perintah itu bersifat mutlak pada satu sisi dan muqoyyad pada sisi yang lain, maka sisi kemutlakannya harus ditangguhkan dan diberlakukan sisi kekhususannya. Contohnya seperti lafal “roqobah” (budak) yang dibatasi dengan sifat beriman dalam hal kafarat membunuh.

Allah SWT berfirman dalam QS. al-Nisa' (4): 96.

Artinya : (Hendaklah) Ia memerdekakan seorang hamba yang beriman… Dalam bagian lain, lafal roqobah berlaku umum seperti pada kafarat zhihar

Firman Allah SWT dalam QS. al-Mujadalah )58): 3.Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri

mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Pembahasan Ke - 8 MANTUQ DAN MAFHUM

Mantuq (قٕطًُنا) adalah penunjukan lafal terhadap suatu hal (hukum) ketika diucapkan, sedangkan Mafhum (وٕٓفًنا) adalah penunjukan lafal terhadap hukum yang tidak diucapkan.

Pembagian Mantuq

1. Al-Nash. Yaitu lafal yang tidak mengandung takwil. Seperti Firman Allah SWT. QS. al-Baqarah (2):196.

Artinya: “…Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kalian semua telah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”

2. Al-Zahir. Yaitu lafal yang mengandung takwil atau perlu takwil. Contohnya seperti Firman Allah QS. al-Dzariyat (51):47.

Artinya: “Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa.”

Lafal ذٚا adalah bentuk jamak dari lafal ذٚ yang berarti tangan, dan hal itu (tangan) mustahil bagi Allah SWT. Maka dari itu lafal ذٚا dalam ayat tersebut dipalingkan ke makna ةٕمنا yang berarti kekuatan. Pembagian Mafhum

1. Mafhum muwafaqoh. Yaitu penunjukan hukum yang tidak disebutkan mempunyai kesamaan dengan hukum yang diucapkan. Seperti pencegahan atau larangan memukul kedua orang tua yang dapat

dipahami dari Firman Allah Dalam QS. al-Isra' (17):23.

(11)

11 Artinya: “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan

hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali

janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Larangan membakar (atau hal-hal yang sifatnya merusak) harta anak yatim yang dapat dipahami dari

Firman Allah SWT. dalam QS. al-Nisa' (4): 10.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

2. Mafhum mukholafah. Yaitu lafal yang disebutkan tidak sama dengan yang diucapkan. Contohnya antara lain adalah sebagai berikut:

1) Tidak adanya kewajiban zakat bagi hewan yang digunakan untuk bekerja yang dipahami dari sabda Nabi SAW:

ةاكص واُغنا تًْٚاع ٗف

Artinya: “Pada hewan-hewan yang digembalakan terdapat (wajib) zakat.”

2) Tidak adanya haji kecuali pada bulan-bulan tertentu yang telah masyhur dari pemahaman

Firman Allah SWT. dalam QS. al-Baqarah (2):197.Artinya: “Haji adalah beberapa bulan yang

dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.”

3) Diperbolehkannya jual beli pada hari Jum'at sebelum dikumandangkannya azdan yang dipahami dari Firman Allah QS. al-Jum ah (62): 9.Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Pembahasan Ke - 9 PERBUATAN NABI SAW.

Perbuatan Nabi SAW. terkadang bersifat qurbah (ibadah taqorrub) dalam artian taat dan kadang juga tidak bersifat demikian. Ketika perbuatan Nabi bersifat taqorrub atau taat serta adanya dalil yang menunjukkan kekhususan pada diri Nabi maka hal itu berlaku khusus untuk Nabi SAW. Seperti memiliki istri lebih dari empat.

Allah SWT. berfirman dalam QS al- Nisa' (4): 3.

(12)

12 Namun ketika perbuatan Nabi SAW. tidak disertai dalil yang menunjukkan kekhususannya pada diri Nabi SAW. maka perbuatan tersebut tidak berlaku khusus pada Nabi SAW., tetapi juga meliputi umatnya.

Alllah SWT. berfirman dalam QS. al-Ahzab (33): 21.

Artinya: “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum asal semua perbuatan Nabi SAW. itu untuk diikuti kecuali ada dalil yang menunjukkan kekhususan pada Nabi SAW. saja dalam suatu perbuatan.

Pembahasan Ke - 10 KETETAPAN NABI SAW.

Ketetapan Nabi SAW. atas ucapan seseorang memiliki kedudukan yang sama dengan ucapan Nabi SAW. sendiri. Begitu juga ketetapan Nabi SAW. atas pekerjaan seseorang memiliki kedudukan yang sama dengan pekerjaan Nabi SAW. hal itu karena Nabi SAW. bersifat maksum (terjaga) untuk mengakui perbuatan ingkar seseorang. Contoh dari keterangan diatas adalah pengakuan Nabi SAW. pada sahabat Abu Bakr RA. yang memberikan harta rampasan perang orang kafir yang terbunuh kepada pasukan muslim yang berhasil membunuhnya dan pengakuan Nabi SAW terhadap sahabat Khalid bin Walid RA. yang memakan biawak.

Sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan tidak dihadapan (majlis) Nabi SAW. namun terjadi atas sepengetahuan Nabi SAW. mengetahui dan tidak pula mengingkarinya maka memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pekerjaan atau perkataan yang dilakukan dihadapan Nabi SAW. Seperti pengetahuan Nabi SAW. Dengan sahabat Abu Bakr RA. yang pada saat murka bersumpah untuk tidak makan, namun kemudian melanggar sumpahnya sendiri setelah meyakini adanya kebaikan dalam makan, yakni menjaga kesehatan tubuh

berdasarkan contoh dan keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan diperbolehkannya melanggar sumpah, bahkan disunatkan untuk melanggar sumpah ketika hal itu mengandung sesuatu yang lebih baik.

Pembahasan Ke - 11 IJMA'

Ijma' menurut bahasa adalah kesepakatan atau konsensus. Sedangkan menurut pengertian istilah, Ijma berarti kesepakatan umat islam setelah wafatnya Nabi SAW. pada suatu masa terhadap satu dari beberapa perkara atau permasalahan. Ijma' menurut jumhur ulama' adalah hujjah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW.:

(13)

13 ٘زيشخنا ّجشخا " تعاًجنا ٗهع الله ذٚٔ تنلاضنا ٗهغ ٙخيا عًخجح لا"

Artinya: “Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Pertolongan Allah atas jamaah.”

Ijma' bisa atau sah terjadi dengan ucapan sebagian ulama' dan perbuatan sebagian yang lain, tersiarnya kabar mengenai perkataan atau perbuatan tersebut. Adapun sikap diamnya sebagian ulama' yang lain terhadap terjadinya kesepakatan itu disebut dengan ijma‟ sukutiy. Para ulama telah bersepakat bahwa sesuatu yang biasa keluar dari dubur (anus) dan qubul (kelamin) yaitu kencing dan buang air besar adalah membatalkan wudhu.

Perlu juga diketahui bahwa imam Syafi'i RA. telah menetapkan qiyas dan hadits ahadd untuk kegiatan penetapan (istinbat) hukum, sebagaimana telah dilakukan oleh sebagian sahabat dan tanpa adanya pengingkaran dari sahabat yang lain. Dengan demikian, hal ini juga dinamakan ijma' sukutiy.

Pembahasan Ke - 12 QIYAS

Qiyas adalah hujjah. Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Hasyr (59):2.

Artinya: “…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”

Al-Qiyas (طاٛمنا) menurut bahasa adalah mengukur atau memperkirakan sesuatu atas sesuatu yang lain untuk mengetahui persamaan diantara keduanya, seperti mengukur pakaian dengan lengan. Sedangkan menurut istilah, qiyas berarti mengembalikan hukum cabang (far') kepada hukum asal karena adanya „illat (alasan) yang mempertemukan keduanya dalam hukum. Seperti menqiaskan beras terhadap gandum dalam harta ribawiy dengan titik temu berupa keduanya sama-sama makanan pokok. Rukun Qiyas ada empat yaitu 1) far', 2) asal, 3) hukum asal, dan 4) illat hukum asal. Macam-macam qiyas, di bagi menjadi tiga:

a. Qiyas al-illat

Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menetapkan hukum. Seperti menqiyaskan memukul dengan ucapan yang tercela kepada kedua orang tua dalam keharamannya dengan alasan menyakitkan hati orang tua.

Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Isra (17):23.Artinya: “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "Ah".”

b. Qiyas al-dilalah

Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menunjukkan pada hukum akan tetapi illat tersebut tidak menetapkan pada hukum. Seperti menqiyaskan harta anak kecil dengan harta orang dewasa dalam kewajiban zakat dengan adanya titik temu bahwa harta anak kecil termasuk harta yang sempurna (al-mãl al-tãmm). Boleh juga mengatakan tidak wajib zakat -seperti yang dikatakan Abu Hanifah- dengan

(14)

14 menqiyaskan pada haji yang mana, haji wajib bagi orang dewasa adapun anak kecil tidak wajib untuk haji.

c. Qiyas al-syibh

Yaitu mempersamakan hukum cabang (far') yang masih diragukan antara dua asal dengan mengambil keserupaan yang lebih banyak dari asal tersebut. Contohnya dalam pembahasan budak yang dibunuh, apakah sipembunuh wajib dikenai hukum qishas karena budak juga termasuk manusia, ataukah cukup hanya dengan membayar ganti rugi dengan alasan adanya keserupaan budak dengan binatang, bahwa budak adalah harta. Dalam hal ini budak lebih banyak keserupaannya dengan binatang (harta) sebab, budak bisa diperjual-belikan, diwariskan, dan diwakafkan.

Pembahasan Ke - 13

IJTIHAD, ITTIBA' DAN TAQLID

Ijtihad ialah mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum syara' dengan jalan

menyandarkan hukum (istinbath) kepada al-Quran dan al-Sunah. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid.

Ittiba' adalah menerima ucapan orang lain serta mengetahui sumbernya, dan orang yang melakukan

ittiba‟ disebut dengan muttabi .

Taqlid adalah menerima ucapan seseorang tanpa mengetahui dasarnya, dan orang yang melakukan

taqlid disebut dengan muqollid.

Ijtihad dalam permasalahan agama sangat dibutuhkan. Begitupun dengan ittiba'. Sedangkan taklid dalam agama dianggap sebagai suatu pekerjaan yang hina, karena berdampak lebih jauh terhadap kemunduran umat.

Dalil-dalil untuk ketentuan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:

Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Ankabut (2): 69.Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk

(mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Hadist Nabi SAW. :

ىهغي ٔ ٖساخبنا ِأس" ٌذحأ ٌشجا ّهف أط ْخاَف َذٓخجاف َىكَح ارا ٌِاش ْجَا ّهف باطاف َذٓخجاف ُىكاحنا َىكَح ارا"

Artinya: “Jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala." (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah SWT. berfirman dalam QS. al-A'raf (7): 3.Artinya : Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu

dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).”

(15)

15 Artinya: “Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan

mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.”

Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Zukhruf (43): 22.

Artinya: “Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak

mereka".”

BAGIAN KEDUA QOWA'ID AL-FIQH

Sabda Rasulullah SAW. :

ٖساخبنا ِأس َٖٕ اي ئشيا مكن اًَأ ثاُٛناب لاًعلاا اًَا

Artinya: “Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan ialah apa yang telah diniatkan.” (HR. Bukhari).

Kaidah ke-1 اهدصاقمب روملاا

Segala sesuatu tergantung pada tujuannya. Contoh kaidah:

1. Diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan puasa.

2. Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapann seorang suami kepada istrinya: تٛناخ جَا (engkau adalah wanita yang terasing). Jika suami bertujuan menceraikan dengan

ucapannya tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika ia tidak berniat menceraikan maka tidak jatuh talak-nya.

Kaidah ke-2

لطبم هيف أطخلاف نيعتلا هيف طرتشي ام

Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal.

Contoh kaidah:

1. Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar atau sebaliknya, maka shalatnya tersebut tidak sah.

2. Kesalahan dalam menjelaskan pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada kafarat qatl (pembunuhan).

Referensi

Dokumen terkait

3. Membaca hadits tentang niat riwayat al-Bukhari dari Umar bin Khattab dengan lancar dan fasih.. 4. Menghafalkan hadis tentang niat riwayat al-Bukhari dari Umar bin Khattab

Terkait dengan implementasi pemikiran Muhammad Al-Ghazali dalam studi hadits jika dilihat dari pemikiran-pemikiran yang ia tuangkan dalam kitab Al-Sunnah Al-Nabawiyyah baina

e. Ciri terakhir dari Al-Qur’an yang dianggap sebagai suatu kehati-hatian bagi para ulama untuk membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya itu dimulai dari

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahih mereka berdua dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alai wasallam bersabda:

Diriwayatkan oleh Bukhari (2: 26, 53) dari hadits Buraidah: "Barangsiapa yang meninggalkan shalat asar, maka gugurlah amalannya." Dan diriwayatkan oleh Muslim (626) dari

(HR. Selain itu Hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga berasal dari riwayat Ummu „Athiyah yang juga berisi tentang larangan

Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu

BAB III KRITIK SANAD HADITS TALAK TIGA SEKALIGUS A. Hadits-hadits Tentang Talak Tiga Sekaligus Jatuh Tiga ... Hadits Riwayat Al-Bukhari ... Hadits Riwayat Ibnu Majah ...